Kata Pengantar
B
ulan September 2015 menandai kesepakatan dunia untuk program pembangunan yaitu “Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development” atau “Mengalihrupakan Dunia Kita: Agenda Tahun 2030. Dalam kesepakatan itu, ditetapkan Sustainable Development Goals atau SDGs, yang terdiri dari 17 gol, misi-misi ini diarahkan untuk menyelesaikan masalah dunia mulai dari pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, penyediaan air bersih dan sanitasi, sampai pelestarian lingkungan. Salah satu bagian yang harus dicapai dan menjadi ukuran keberhasilan dari suatu negara adalah Goal ke 4 dan 5 yaitu Quality Education (Goal 4) dan Gender Equality (Goal 5).Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke-4 untuk Indonesia terdiri dari target 4.1, yaitu Pendidikan Dasar dan menengah yang gratis, setara dan berkualitas.
Selanjutnya target 4.2 yaitu Perkembangan, Pengasuhan, dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang Berkualitas. Kemudian pada target 4.3 terdapat Pendidikan Tinggi, Teknis dan Kejujuran yang Berkualitas dan Terjangkau. Keahlian Teknis dan Kejuruan yang Relevan menjadi salah satu tujuan prioritas 4.4. dan pada tujuan target 4.5, akses yang setara pada semua tingkatan pendidikan dan pelatihan bagi anak yang rentan. Tujuan target 4.6 yaitu kemampuan membaca dan matematika.
Hal ini dilihat dari kelompok penduduk dengan tingkat keaksaraan terendah adalah penduduk dari kuintil termiskin. Target tujuan yang terakhir, 4.7, ialah pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terus memperbarui komitmen internasional untuk pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan, dengan menciptakan sebuah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, melalui lingkungan dan sistem akuntabilitas global yang mengutamakan kolaborasi, kerjasama, dan inovasi. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4 secara khusus diarahkan untuk pengembangan pendidikan dan bertujuan untuk memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas yang setara dan juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.
Begitupun halnya dengan Goal (tujuan) ke 5 yaitu Gender Equality yang didalamnya terdiri dari yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam usia harapan hidup, pendidikan, jumlah pendapatan, serta GEM (Gender Empowerment Measure), yang mengukur kesetaraan dalam partisipasi politik dan beberapa sektor lainnya. Memiliki kesataran pendapatan, menerima pendidikan yang sama, atau Modul Perlindungan Pekerja Perempuan
Bekerja dengan Aman dan Nyaman
Penulis: Prof. Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si; Dr. Subi Sudarto Editor: Dr. Samto; Dr. Subi Sudarto, Betty Sinaga, Roslina Siregar
Diterbitkan oleh: Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020 vi+ 30 hlm + foto; 17 x 24 cm
Hak Cipta © 2020 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dilindungi Undang-Undang
proporsi yang aktif dalam politik sama-sama 20 persen, maka angka GDI (Gender Development Index), dan GEM adalah 1, atau telah terjadi “perfect equality”.
Konsep kesetaraan kuantitatif (50/50) inilah yang diidealkan oleh UNDP (United Nations Development Programme), sehingga mengharapkan seluruh negara di dunia dapat mencapai kesetaraan yang demikian.
Dalam rangka dukungan terhadap tercapainya Goals tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dalam hal ini Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, Direktorat Jenderal PAUD dan Pendidikan Masyarakat berupaya secara maksimal untuk menciptakan sarana dan prasarana pembelajaran yang mumpuni. Di tahun 2019 ini sebanyak 15 modul terkait dengan Pendidikan Berkelanjutan dengan kekhususan yang berprespektif gender dengan melibatkan tim penyusun sesuai kepakarannya.
Modul ini sebagai bahan bacaan bagi perempuan atau individu yang peduli pada isu pemberdayaan perempuan sebagai aset bangsa. Modul ini berisi uraian materi yang bertujuan sebagai penyadaran kritis untuk perempuan yang memiliki potensi luar biasa untuk membangun keluarga dan komunitas yang sejahtera, damai, dan toleran. Membangun keluarga dan komunitas ini, perempuan diharapkan peka terhadap isu kemandirian ekonomi, akses sumber daya, keberlanjutan lingkungan, dan toleran dalam keragaman masyarakat Indonesia serta bijak dalam memilih konten-konten yang mempunyai manfaat tinggi.
Jakarta, Oktober 2020 Direktur Pendidikan Masyarakat
dan Pendidikan Khusus
Dr. Samto
NIP. 196506201992031002
Daftar Isi
Kata Pengantar ... iii
Daftar Isi ... v
Bekerja dengan Aman dan Nyaman ... 1
Defi nisi Ketenagakerjaan Menurut UU RI Nomor 13 Tahun 2003 ... 1
Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan ... 2
Jenis-jenis Pekerjaan ... 3
Peran Gender dalam Bekerja ... 8
Perlakuan Tidak Adil dalam Pekerjaan ... 11
Diskriminasi Perempuan Saat Bekerja ... 13
Tips Mengatasi Diskriminasi di Tempat Kerja ... 15
Hak dan Perlindungan Perempuan Bekerja ... 15
Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Perempuan ... 16
Pekerja Perempuan dan Ekonomi Sektor Informal ... 21
Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) ... 26
Daftar Pustaka ... 28
Saat ini telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang semakin cepat ditandai dengan tum- buhnya industri-industri baru. Hal ini menimbulkan terbukanya peluang bagi angkatan kerja laki-laki maupun perempuan sebagai akibat dari tuntutan ekonomi yang mende- sak dan berkurangnya peluang serta penghasilan di bidang pertanian yang tidak mem- berikan hasil yang tepat dan rutin (Sisao, 2019).
Meningkatnya peluang kerja bagi laki-laki dan perempuan diikuti dengan semakin ban- yaknya perempuan yang terlibat dalam kegiatan bekerja. Kenaikan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan disebabkan oleh bertambahnya kemiskinan dan merebakn- ya pengangguran. Di lingkungan keluarga semakin mereka dihimpit kemiskinan, sema- kin berat tekanan yang mengharuskan mereka mencari pekerjaan produktif sekalipun dengan imbalan yang sangat rendah (Tjaja, 2018).
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud Ketenagakerjaan adalah segala sesuatu yang ber- hubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa ker- ja. Sedangkan Tenaga Kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pekerja atau Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan me- nerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Bekerja dengan Aman dan Nyaman
Ketenagakerjaan Menurut UU RI Nomor 13 Tahun 2003
Pekerjaan adalah rangkaian tugas yang dirancang untuk dikerjakan oleh satu orang dan sebagai imbalan diberikan upah dan gaji menurut klasifi kasi dan berat ringannya pekerjaan yang dikerjakan. Sedangkan kerja (Renita, 2016) adalah sudut sosial dari kegiatan yang dilakukan dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan umum, Indo- nesia memiliki ragam jenis dan variasi terkait dengan jenis pekerjaan. Kerja bisa juga disebut sebagai alat untuk mendapatkan uang. Sehingga kebutuhan dapat terpenuhi, salah satunya dengan bekerja (Anshori, 2013).
Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Saat ini telah terjadi pergeseran pandangan tentang per- empuan bekerja. Dulu, perempuan be kerja dianggap sebagai tidak pantas, mereka diwajibkan untuk bera- da di rumah menjalankan pekerja an-pekerjaan do- mestik seperti mengurus rumah tangga, mengurus anak dan mengurus suami. Na mun, seiring dengan perkembangan jaman, perempuan sudah diperbole- hkan untuk bekerja di luar rumah.
Masuknya perempuan di sektor pekerjaan tentu me- mer lukan berbagai penyesuaian karena pada hakekatnya pe rem puan mempunyai perbedaan kebutuhan dengan laki-laki se-
bagai akibat dari perbedaan biologisnya (bahwa perempuan menstruasi, hamil, mela- hirkan, menyu sui dengan ASI), sementara laki-laki tidak. Penyesuaian lainnya adalah meng ubah pandangan masyarakat yang memandang bahwa tempat terbaik perem- puan adalah di dalam rumah, dan peran terbaik perempuan adalah mengurus peker- jaan-pekerjaan domestik.
Peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan, khususnya di sektor industri, dise- babkan karena dua hal, antara lain 1) sektor industri, seperti industri rokok, tekstil, konfeksi, dan industri makanan serta minuman, menuntut ketelitian, ketekunan, dan sifat-sifat lain yang umumnya dimiliki oleh perempuan, 2) tenaga kerja perempuan dipandang lebih penurut dan murah sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan bagi pengusaha. Perusahaan yang menggunakan pekerja perempuan dianggap men- gambil strategi yang tepat dan menguntungkan, karena pada kenyataannya pekerja perempuan diberikan gaji lebih rendah dibandingkan dengan pekerja laki-laki, meski- pun resiko yang didapatkan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut sama (Sayogjo, 2018; Mather, 2016).
Dahulu perempuan diwajibkan untuk berada di rumah, mengurus suami
dan anak. Namun, seiring berkembangnya zaman,
perempuan masa kini sudah diperbolehkan untuk
bekerja di luar rumah.
sumber: sayangianak.com
Gambar 1. Pe rem puan mempunyai perbedaan kebutuhan dengan laki-laki sebagai akibat dari perbedaan biologisnya
Jenis-jenis Pekerjaan
Bekerja dapat digunakan oleh seseorang untuk meningkatkan kepercayaan diri. Jenis pekerjaan adalah kumpulan pekerjaan yang mempunyai rangkaian tugas yang ber- samaan. Terdapat 10 jenis golongan pokok menurut Klasifi kasi Baku Jenis Pekerjaan Indonesia (KBJI) antara lain:
1. Pejabat lembaga legislatif, pejabat tinggi, dan manajer 2. Tenaga Profesional
3. Teknisi dan Asisten tenaga profesional 4. Tenaga tata usaha
5. Tenaga usaha jasa dan tenaga penjualan di toko dan pasar 6. Tenaga usaha pertanian dan peternakan
7. Tenaga pengolahan dan kerajinan 8. Operator dan praktisi mesin
9. Pekerja kasar, dan tenaga kebersihan 10. TNI dan POLRI
Beragamnya jenis pekerjaan yang dapat dilakukan perempuan tergantung kepada preferensi dan kompetensi yang dimiliki oleh perempuan. Semakin tinggi posisi suatu jabatan dan semakin kompleks jenis pekerjaan yang dilakukan membuat perempuan semakin sulit dapat menembus jenis pekerjaan itu. Sebagai misal adalah jenis peker- jaan sebagai Pejabat lembaga legislatif, pejabat tinggi, dan manajer. Selain mens- yaratkan pendidikan yang memadai, jabatan ini memerlukan kompetensi yang tinggi dan persaingan yang sangat ketat. Belum lagi adanya bias gender yang menganggap bahwa perempuan dipandang kurang pantas menduduki posisi ini. Berbeda halnya dengan pekerjaan-pekerjaan di sektor informal seperti usaha jasa penjualan, jasa per- tanian, buruh pabrik dan sejenisnya. Jenis pekerjaan ini relatif lebih mudah untuk bisa dikerjakan oleh perempuan. Meski demikian, untuk mengerjakan semua jenis pekerja-
an itu ada pertanyaan penting yang mena rik untuk kita ajukan.
Pertanyaan pentingnya adalah apakah mereka dapat bekerja de ngan aman dan nyaman?
Untuk mengetahui hal ini, mari- lah kita perhatikan defi nisi aman dan nyaman berdasar- kan Ka mus Besar Bahasa In- donesia. Yang dimaksud de- ngan aman adalah: (1) bebas dari bahaya; (2) bebas dari gang guan; (3) terlindung atau tersembunyi; tidak dapat diam- bil orang: (4) pasti, tidak me- ragukan, tidak me ngandung risiko; (5) tente ram, tidak mera- sa takut atau kha watir. Sedang- kan pengerti an kenyamanan adalah suatu kon disi perasaan seseorang yang merasa nya- man berdasarkan persepsi ma- sing-masing individu.
Pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan berbagai macam regulasi untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan nyaman bagi pekerja (khususnya pekerja perempuan) berupa perlindungan terh- adap tenaga kerja.
Terdapat tiga hal yang mempengaruhi jenis pekerjaan seseorang menurut Saidah (2013) antara lain:
1. Bakat dan Minat/Bidang Studi yang diminati
Setiap orang memiliki bakat dan kemampuan serta minat yang berbeda-beda. Mi- nat, bakat dan kemampuan itulah yang akan menuntun untuk medapatkan peker- jaan. Misal, orang berbakat menulis akan memilih menjadi penulis, orang yang berbakat melukis akan lebih tertarik menjadi pelukis. Seseorang yang menaruh minat pada lukisan, akan berusaha bekerja menjadi seorang kurator di galeri seni.
Begitu juga dengan seseorang yang tertarik dengan bidang studi keilmuan atau pendidikan akan berusaha untuk bekerja sebagai pendidik maupun pengajar.
sumber: www.epicentrochile.com/www.edunews.id/jawapos.com/merdeka.com/kejuangan.blogspot.com/surabaya.tribunnews.com
Gambar 3. Perempuan dalam berbagai sektor pekerjaan
ebas dari at atau
a amm- m me me- duuung
e eraaa-- a annnggg- annnaanana s saaanaann
n n nya-a-a--
m m m ma-aaa
sumber: soksinews.com
Gambar 3. Perempuan yang berkarir di TNI dan POLRI
2. Jenis Kelamin
Pada dasarnya Tuhan telah mencip- takan perempuan dan laki-laki dengan membawa kelebihan, bakat, kemam- puan, dan kelemahan masing-masing.
Jenis kelamin tersebut kerap kali men- jadi penentu seseorang dalam mencari pekerjaan. Misal, perempuan cend- erung bekerja sebaga tenaga penga- jar, tenaga penjualan, pegawai sipil, tenaga kerajinan atau hal-hal yang berhubungan dengan ketelitian dan kesabaran. Sedangkan laki-laki umum- nya bekerja sebagai pejabat, manajer, teknisi, operator, TNI,dan POLRI atau hal-hal yang berkaitan dengan tenaga dan kekuatan fi sik.
3. Daerah tempat tinggal
Daerah tempat tinggal juga mempen- garuhi jenis pekerjaan yang akan dipi- lih orang seseorang. Misal, seseorang yang tinggal di desa, cenderung beker- ja sebagai petani, penggembala, dan
peternak. Sedangkan seseorang yang tinggal di kota akan memilih pekerjaan yang berhubungan dengan industri atau pabrik.
Pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin adalah pembagian kerja atas perbedaan biologis dan sosio-kultural, dimana perempuan bersifat lemah lembut, bersifat me- layani, ketergantungan, emosional, dan tidak bisa bekerja keras. Pembagian kerja ber- dasarkan jenis kelamin muncul karena perbedaan psikologis yang disebabkan oleh faktor biologis dan sosio-kultural dalam proses pembentukan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.
Hal-hal yang menyebabkan pembagian kerja (Skolnick, 2014; Budiman, 2016) ber- dasarkan jenis kelamin antara lain:
1. Pandangan atau anggapan masyarakat mengenai keadaan fi sik perempuan yang lemah dan laki-laki kuat.
2. Kebiasaan dalam masyarakat mengenai pemilihan pekerjaan laki-laki dan pe- rempuan.
Bentuk-bentuk tenaga kerja (Rasjidin, 2015) dibedakan menjadi dua kelompok, antara lain:
1. Tenaga kerja rohani
Adalah tenaga kerja yang dalam ke- giatan kerja lebih banyak menggu- nakan pikiran yang produktif dalam proses produksi. Contohnya manager, direktur, dan sejenis nya.
2. Tenaga kerja jasmani
Adalah tenaga kerja yang dalam ke- giatannya lebih banyak mencakup kegiatan pelaksanaan yang produktif dalam produksi. Tenaga kerja jasmani terdiri dari beberapa bagian
a. Tenaga kerja terdidik/tenaga ahli/
tenaga mahir
Tenaga kerja yang mendapatkan keahlian atau kemahiran pada sua tu bidang karena sekolah atau
pendidikan formal dan non-formal. Contoh sarjana, dokter, guru, dan dosen b. Tenaga kerja terlatih
Tenaga kerja memiliki keahlian dalam bidang tertentu yang didapat melalui
sumber: youtube.com/genial.id
Gambar 5. Pekerjaan berdasarkan minat
sumber: liputan6.com
Gambar 6. Pekerjaan yang identik dengan perempuan
sumber: liveindonesia.id
Gambar 7. Pekerjaan menurut daerah tempat tinggal
sumber: www.tutwuri.id
Gambar 8. Pemimpin daerah termasuk dikategorikan sebagai tenaga kerja rohani
pengalaman kerja, tidak memerlukan pendidikan, namun dibutuhkan latihan berulang agar menguasai pekerjaan tersebut. Contoh: sopir, pelayanan toko, tukang masak, montir, dan pelukis.
c. Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih
Dapat dikatakan sebagai tenaga kerja kasar yang hanya mengandalkan tenaga saja. Contoh: kuli, buruh angkut, buruh pabrik, pembantu, dan tukang becak.
Peran Gender dalam Bekerja
March, Smyth & Mukhopadhyay (2008:18) menyatakan bahwa gender mengacu pa da perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. Identitas gender menentukan ba- gaimana laki-laki dan perempuan diharapkan untuk berpikir dan bertindak sebagaima- na cara yang dianut oleh masyarakat. Akibatnya muncul sifat dasar bahwa kuat adalah milik laki-laki dan lemah adalah milik perempuan, yang secara bertahap diakui oleh masyarakat sebagai pembeda sehingga memberi legitimasi untuk pemisahan kerja antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh berbagai faktor seperti politik, ekonomi, ideologi, bu- daya, dan relasi yang tidak setara.
Seiring perkembangan zaman, perempuan ikut bekerja untuk membantu pasangannya memenuhi kebutuhan keluarga. Perempuan ingin membantu pasangan dan diri sendiri dalam mencapai kemakmuran bersama dan meningkatkan status ekonomi sebagai cara untuk melarikan diri dari kemiskinan (Othman, 2015; Ramadani, 2016). Perem- puan yang bekerja memiliki dua peran yang harus dijalankan, yaitu peran domestik dan peran publik (Wahid dan Lancia, 2018; Anshori et al., 2017).
1. Peran Domestik
Adalah segala kegiatan yang ber kaitan dengan keluarga dan di identikkan dilakukan didalam rumah. Kegiatan terkait peran do- mestik adalah peran sebagai istri, dan peran sebagai ibu. Peran do- mestik menuntut perempuan me- laksanakan tugas sesuai kodrat, misal hamil, melahirkan, meny- usui, merawat, mendidik anak, dan mengelola pekerjaan rumah tangga.
2. Peran Publik
Adalah kegiatan yang berhubun- gan dengan pekerjaan diluar ru- mah dan mendapatkan gaji/upah.
Pe rempuan yang berkeluarga yang bekerja dianggap sudah me- miliki peran publik, karena perem- puan mengerjakan pekerjaan di luar pekerjaan rumah tangga.
Mi sal, perempuan bekerja menja- di buruh pabrik, bekerja menjadi ma nager, bekerja di salon kecan- tikan, dan sebagainya.
Alasan perempuan bekerja pada sektor publik antara lain, 1) untuk kepentingan eko no- mi rumah tangga, 2) kemandirian dalam bekerja dapat lebih terasah, 3) belajar mengh- adapi tantangan baik sosial, ekonomi, dan budaya, dan 4) meningkatkan status sosial (Ruswaningsih, 2017).
Intan (2014) menjelaskan bahwa bila dikaitkan dengan kondisi sosial masyarakat, ma- sih terjadi pembatasan peran bagi perempuan. Misal perempuan yang mengandung, me lahirkan, dan menyusui, langkahnya terbatas di sekitar lingkungan rumah, dan dira- sa lebih cocok hanya melakukan peran domestik saja. Sehingga, anggapan ini menye- babkan masih banyak perempuan berada pada status sosial tingkat bawah. Selain itu, apabila perempuan memiliki pekerjaan dan berperan pada sektor publik, maka pen dapatan yang diterimanya dianggap sebagai penghasilan sampingan, meskipun
sumber: idntimes.com/genpi.co
Gambar 9. Tenaga kerja ahli (kiri) dan tenaga kerja terlatih (kanan)
sumber: orami.co.id/www.allthingshair.com
Gambar 10. Perempuan sebagai peran domestik (atas) dan perempuan juga sebgai publik (bawah)
jumlahnya lebih banyak dari pendapatan suami. Meskipun demikian, seiring perkem- bangan jaman, lapangan kerja dan peluang kerja pada sektor publik membuat perem- puan dapat bekerja sesuai bidang dan kemampuan yang dimiliki, tidak terbatas pada jenis kelamin.
Munandar (2016), menjelaskan beberapa keuntungan yang dirasakan perempuan bekerja antara lain
1. Meningkatkan harga diri dan sikap terhadap diri sendiri
2. Adanya kepuasan hidup dan berpandangan positif terhadap masyarakat 3. Berkurangnya keluhan-keluhan fi sik
4. Lebih memperhatikan penampilan
5. Memiliki pengertian terhadap pekerjaan suami sehingga berdampak positif ter- hadap hubungan suami istri
6. Mempunyai sikap positif terhadap pekerjaan dan penyesuaian pribadi dan so- sial yang baik
Konfl ik peran sering kali dihadapi oleh perempuan yang sudah berkeluarga sekaligus bekerja. Perempuan yang berkeluarga dan bekerja akan dihadapkan pada dua keadaan yang bertentangan. Satu sisi perempuan mempunyai peranan di dalam keluarga yaitu melayani suami, mendidik anak, dan menjadi ibu rumah tangga yang mengurus keper- luan seluruh anggota keluarga. Satu sisi yang lain, perempuan juga dihadapkan pada tanggung jawab dengan pekerjaan yang dimiliki (Ramadani, 2016). Nofi anti (2016) juga menjelaskan bahwa konfl ik dapat terjadi pada perempuan yang bekerja di sektor publik antara lain: 1) kurang memperhatikan keluarga, 2) kurang bersosialisasi dalam lingkungan, 3) pandangan orang lain tentang perempuan yang bekerja.
Solusi yang dapat diberikan pada perempuan yang memilih bekerja dan memiliki konf- lik peran menurut Gani dan Ara (2010) antara lain:
1. Memperbaiki dan menjaga komunikasi dengan atasan, rekan kerja, dan bawa- han dalam situasi kerja
2. Memperkuat dan menjaga komunikasi dengan anggota keluarga 3. Menghindari memainkan peran sebagai laki-laki di dalam rumah.
Masalah-masalah yang muncul pada saat perempuan memiliki dua peran yang di- jalankan antara lain:
1. Perempuan sering kali menjadi lebih dominan mengerjakan peran publik (bekerja diluar rumah) dibandingkan dengan peran domestik (peran sebagai istri, ibu, dan mengurus rumah tangga).
2. Perempuan masih merasa rendah diri dengan peran publik yang dimilikinya.
Meskipun perempuan bekerja, penghasilannya dianggap masih sebatas peng- hasilan sampingan yang hanya cukup untuk membeli bedak dan lipstik.
Perlakuan Tidak Adil dalam Pekerjaan
Selain konfl ik peran yang dihadapi oleh perempuan, Saidah (2013) dan Wibowo (2011) menyebutkan bahwa perempuan masih mendapatkan perlakuan tidak adil pada saat sedang mencari pekerjaan ataupun pada saat dia bekerja. Perlakuan tidak adil terse- but antara lain:
1. Stereotip
Stereotip atau pelabelan yang diterima oleh perempuan masih ditemukan pada saat perempuan akan mencari pekerjaan maupun pada perempuan yang sudah bekerja. Akibat dari stereotip tersebut perempuan menjadi dipersulit dalam mencari pekerjaan. Misal, pekerjaan yang membutuhkan tenaga, contohnya teknik, akan lebih banyak membutuhkan pekerja laki-laki dibandingkan perempuan. Sedangkan perempuan, karena dianggap memiliki sifat dan pribadi yang ramah dan lembut, dirasa tidak cocok untuk masuk dalam pekerjaan teknis.
2. Subordinasi
Subordinasi atau penomorduaan adalah anggapan bahwa perempuan lebih rendah atau berada pada posisi nomor dua dari laki-laki. Contoh, perempuan dianggap ti- dak akan mampu bekerja diluar rumah, karena perempuan tidak memiliki kemam- puan, dan lebih cocok bekerja di rumah (Ibu Rumah Tangga).
sumber: www.thejobnetwork.com
Gambar 11. Perempuan masih mendapatkan perlakuan tidak adil pada saat sedang mencari pekerjaan
atau organisasi penyedia kerja. Diskriminasi tersebut menurut Newbold (2005), antara lain:
1. Perempuan lemah secara fi sik dari laki-laki, dan dapat membahayakan orang lain apabila dalam keadaan terdesak.
2. Berisiko lebih besar mengalami kekerasan seksual.
3. Perempuan memiliki mental yang lemah dan dianggap tidak mampu mengam- bil beban bekerja.
4. Perempuan mungkin terlibat secara emosional atau seksual dengan partner kerja.
Diskriminasi Perempuan Saat Bekerja
Diskriminasi perempuan saat bekerja sering terjadi. Hal tersebut erat kaitannya perem- puan sebagai pekerja masih dianggap beban, lemah, tidak kuat menghadapi tekanan sehingga mudah dijadikan sasaran diskriminasi, terlebih oleh orang lain yang berada di lingkungan tempat kerja yang sama (Hertian, 2018). Berikut adalah beberapa contoh terkait dengan diskriminasi pekerja perempuan di saat bekerja, antara lain:
1. Dispensasi Lembur
Contoh: Kalimat ‘pulang malam itu ti- dak aman untuk perempuan’, menjadi diskri minasi yang sering dilontarkan oleh partner kerja laki-laki terhadap teman kerja perempuannya saat pe- rusahaan menyuruh untuk lembur. Pa- dahal, kejahatan yang terjadi di malam hari bisa dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Jika memang perusa- haan menyuruh lembur, jangan sampai mengucapkan kalimat tersebut kepada teman kerja perempuan, hanya karena dia adalah seorang perempuan.
2. Kesenjangan Pendapatan
Seringkali pekerja perempuan diberi- kan upah lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Padahal pekerjaan yang dilakukan sama. Ada pandangan 3. Marginalisasi
Marginalisasi atau peminggiran adalah perempuan dipinggirkan oleh keadaan yang menganggap bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan untuk mengerja- kan pekerjaan yang diberikan. Perempuan dianggap tidak mampu mengikuti arus perkembangan teknologi, sehingga pekerjaan yang semula dikerjakan oleh perem- puan, kini diambil oleh mesin yang dioperasikan oleh laki-laki. Misal, pemintalan benang dilakukan oleh perempuan, sekarang digantikan oleh mesin yang dioper- asikan laki-laki.
4. Beban Ganda
Beban ganda adalah kondisi pada perempuan yang menyebabkan perempuan mendapatkan lebih banyak pekerjaan dibandingkan dengan laki-laki. Misal, per- empuan yang sudah menikah dan memiliki pekerjaan diluar rumah, akan berada pada posisi beban ganda. Sebab, selain harus menyelesaikan kewajiban dalam bekerja, perempuan juga harus menyelesaikan pekerjaan dan kewajiban sebagai istri dan ibu, saat di rumah.
5. Peran Gender
Peran Gender atau Gender Role adalah kondisi atau status atau peran yang diber- ikan pada perempuan dalam kehidupan masyarakat. Misal, laki-laki memiliki peran sebagai pencari nafkah dan kepala rumah tangga, sedangkan perempuan diang- gap tidak cocok untuk mencari nafkah dan menjadi kepala rumah tangga.
6. Kekerasan
Kekerasan yang didapatkan oleh perempuan di tempat bekerja lebih banyak ber- bentuk kekerasan seksual, kekerasan fi sik, kekerasan ekonomi dan kekerasan psi- kologis. Misalnya,
a. Perempuan mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh di tempat bekerja. Mi- sal, digoda dengan kalimat-kalimat tidak senonoh hingga diperkosa di tempat kerja. Hal-hal tersebut masuk dalam kategori pelecehan seksual.
b. Perempuan mendapatkan dorongan, pukulan kecil, cubitan maupun diberikan pekerjaan melebihi kapasitas dan kemampuan sehingga menyebabkan pe rem- puan menjadi sakit, termasuk dalam kekerasan fi sik.
c. Perempuan dieksploitasi untuk mendapatkan uang dalam jumlah lebih banyak dengan menjual dirinya, termasuk dalam kekerasan ekonomi.
d. Perempuan mendapat gunjingan dan tekanan-tekanan pada saat bekerja me- rupakan bentuk dari kekerasan psikologis.
Selain ketidakadilan pekerja perempuan berkaitan dengan gender yang dimiliki, per- empuan pekerja juga dihadapkan pada diskriminasi yang diberikan oleh perusahaan
sumber: jawapos.com
Gambar 12. Perempuan sebagai pekerja masih diang- gap beban, lemah, tidak kuat menghadapi tekanan.
bahwa tanggung jawab ekonomi keluarga hanya ada pada laki-laki sehingga saat perempuan bekerja maka dirinya hanya dibayar untuk diri sendiri, bukan termasuk anggota ke luarganya. Padahal cukup banyak perempuan yang bekerja dengan menanggung kebutuhan seluruh anggota keluarganya. Hal ini sudah masuk dalam diskriminasi pemberian pendapatan yang dilihat berdasarkan jenis kelamin, bukan berdasarkan kemampuan dan kinerja.
3. Kesenjangan Kesempatan
Sering ditemukan bahwa pekerja laki-laki lebih memiliki kesempatan untuk ikut pelatihan ataupun untuk ikut dalam bursa kenaikan pangkat atau jabatan. Padahal kinerja dan kemampuan pekerja perempuan sama dengan pekerja laki-laki. Alasan mengapa kesempatan lebih diberikan kepada pekerja laki-laki karena pekerja per- empuan dianggap tidak mampu, tidak mau, dan tidak percaya diri.
4. Suara yang Tidak Didengar
Pada saat rapat, perempuan sering tidak berani mengemukakan pendapatnya, atau kalaupun mengemukakan pendapat, suaranya sering tidak didengarkan.
Meskipun perempuan diberi waktu untuk berbicara, namun pendapat mereka ser- ing tidak dianggap ada.
5. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual hingga kekerasan seksual sering diterima oleh perempuan di lingkungan tempat kerja. Seperti godaan, siulan, rayuan, memaksa untuk meme- gang area tubuh, memukul, menghina fi sik.
Tips Mengatasi Diskriminasi di Tempat Kerja
Meskipun perempuan mendapat perlakuan tidak adil dalam pekerjaan, perempuan dapat mengatasi hal tersebut (Asta, 2019) . Berikut adalah tips cara mengatasi atasan atau teman kerja yang kurang menyenangkan:
1. Bicarakan langsung dengan atasan 2. Menghindari konfl ik
3. Ramah dan bersikap baik kepada siapapun 4. Fokus bekerja dan lakukan yang terbaik 5. Bersikap profesional
6. Mendengarkan dan berterimakasih 7. Jangan mudah percaya pada siapapun
Hak dan Perlindungan Perempuan Bekerja
Hak Pekerja Perempuan
Ketika perempuan memilih bekerja, pasti memiliki beberapa faktor yang memotivasi (Oka dan Sumawidari, 2018) antara lain:
1. Faktor Ekonomi
Perempuan menjadi pekerja untuk mendukung perekonomian keluarga, yang dise- babkan karena perempuan tersebut menjadi kepala rumah tangga setelah bercerai dengan suaminya.
2. Faktor Budaya
ketidakadilan yang pekerja perempuan terima, membuat pekerja perempuan ingin membuktikan bahwa mereka juga mampu untuk bekerja sama dengan laki-laki 3. Faktor Sosial
Perkembangan teknologi memicu perempuan untuk ikut bekerja sehingga dapat membuka wawasan.
Nofi anti (2016) menjelaskan bahwa alasan perempuan memasuki dunia kerja antara lain:
a. Kondisi luar yang memungkinkan dan menarik perempuan untuk bekerja. Kondisi atau situasi saat ini membuat pekerjaan rumah tangga tidak terlalu repot lagi. Hal
sumber: www.moneycrashers.com
Gambar 13. Pelecehan seksual hingga kekerasan seksual sering diterima oleh perempuan di lingkungan tempat kerja.
tersebut dapat disebabkan karena adanya pembatasan kelahiran, kecanggihan alat-alat rumah tangga, adanya cleaning service, tempattempat penitipan anak dan sebagainya. Semua itu membuat ibu rumah tangga memiliki waktu luang lebih banyak.
b. Motif ekonomi, mendorong perempuan untuk bekerja karena kepentingan ekonomi keluarga. Kebanyakan dari mereka bekerja karena rendahnya penghasilan suami atau karena ingin meningkatkan taraf kehidupan
c. Motif psikologis, perempuan terdorong untuk bekerja karena kesenangan, menghilangkan kesepian atau kejenuhan dirumah, menghilangkan rasa terisolir secara sosial dan (terutama bagi mereka yang sudah berpendidikan tinggi), bekerja adalah sebagai kebutuhan aktualisasi diri
d. Adanya rasa tanggung jawab sosial, karena telah mengambil fasilitas untuk be la jar di universitas dan sekarang saatnya untuk mengamalkan ilmu yang telah di da- patkan di masyarakat.
Peran gender dalam masyarakat yang sudah dijelaskan sebelumnya menyebabkan perempuan itu tidak rasional atau lebih mengedepankan emosi, sehingga dianggap tidak mampu tampil untuk mengambil keputusan dalam pekerjaan. Saat bekerja pun, perempuan diposisikan pada bagian yang tidak memerlukan ketrampilan, misal buruh, tenaga suruh, yang biasanya memiliki upah rendah, tidak mendapatkan perlindungan hukum, dan juga jaminan kesehatan serta keselamatan di tempat kerja. Faktor-fak- tor yang mempengaruhi perempuan belum mendapatkan hak dalam bekerja, menurut (Susiana, 2017) , antara lain:
1. Faktor internal
Faktor internal berkaitan dengn rendahnya pengetahuan dan pemahaman pekerja perempuan mengenai hak yang dimiliki
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal berkaitan dengan budaya patriarki, marginalisasi dalam peker- jaan, stereotip kepada perempuan dan kurangnya sosialisasi.
Perlindungan Terhadap Tenaga Kerja Perempuan Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar peker- ja dan menjamin kesamaan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun un- tuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha (Clinton, 2016).
Agusmidah (2010) dan Susiana (2017) membagi perlindungan pekerja menjadi tiga macam, yaitu perlindungan ekonomi, perlindungan sosial, dan perlindungan teknis.
Ketiga macam perlindungan pekerja digambarkan sebagai berikut:
Perlindungan Ekonomi
Perlindungan Sosial
Perlindungan Teknis Perlindungan
Pekerja
Suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup untuk memenuhi keperluan sehari- hari baginya serta keluarganya, termasuk ketika pekerja tidak mampu bekerja karena suatu hal di luar kehendaknya Perlindungan
Ekonomi
Suatu perlindungan berkaitan dengan usaha yang berkaitan dengan kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan peri kehidupan sebagai manusia pada umumnya dan sebagai anggota ma sya- rakat dan anggota keluarga atau biasa disebut kesehatan kerja.
Perlindungan Sosial
Suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha- usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat-alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan, dan perlindungan.
Perlindungan Teknis
Perempuan memiliki hak yang sama untuk bekerja dan mendapatkan perlindungan sama dengan laki-laki di tempat kerja. Kebijakan yang mengatur perempuan bekerja antara lain:
1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women yang telah diratifi kasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8 per-04/Men/1989 tentang Syarat- syarat Kerja Malam dan Tata Cara Memperkerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Keputusan 224/
Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
Tanggung jawab yang berkaitan dengan perlindungan ini dibebankan kepada peng- usaha. Menurut keputusan ini, pengusaha berkewajiban untuk:
1. Menyediakan angkutan antar jemput untuk pekerja perempuan yang bekerja dan pulang pukul 23.00 s/d 05.00
2. Menyediakan petugas keamanan di tempat kerja untuk memastikan bahwa pekerja dan perempuan aman dari kemungkinan perbuatan asusila di tempat kerja
3. Menyediakan fasilitas tempat kerja yang didukung ketersediaan kamar mandi atau WC dan penerangan yang layak
4. Memberikan makanan dan minuman yang bergizi sekurang-kurangnya 1.400 kalori
Rosalina (2015) menjelaskan secara ringkas penggolongan hak bagi pekerja perem- puan sebagai berikut
Tabel 1. Penggolongan Hak Pekerja Perempuan
Penggolongan Hak Pekerja Perempuan Rincian Hak Pekerja Perempuan Hak pekerja perempuan di bidang reproduksi • Hak atas cuti haid
• Hak atas cuti hamil dan keguguran
• Hak atas pemberian kesempatan menyusui Hak pekerja perempuan di bidang kesehatan dan
keselamatan kerja
• Pencegahan kecelakaan kerja
• Penetapan waktu kerja sesuai peraturan
• Pemberian istirahat yang cukup Hak pekerja perempuan di bidang kehormatan
perempuan
• Penyedia petugas keamanan
• Penyediaan toilet yang layak dengan penerangan yang memadai dan dipisah antara laki-laki dan perempuan
Hak-hak pekerja perempuan di bidang sistem pengupahan
• Upah setara dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama
• Cuti yang dibayar
Sumber: Rosalina, 2015 sumber: tribunnews/cakramandiri.com/campinafactorytour/www.klikdokter.com
Gambar 14. Pengusaha diwajibkan memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan
Ketenagakerjaan secara implisit sudah memberikan perlindungan kepada pekerja perempuan. Dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagaker- jaan, khususnya dalam pasal 76, pasal 79 ayat 2, pasal 80, pasal 81, pasal 82, pasal 83, pasal 84, dan pasal 93. Hal-hal yang berhubungan dengan pekerja perempuan menurut Mirwansyah (2018), antara lain:
1. Dalam kesetaraan sebagai wanita sekalipun fi sik lebih lemah dari laki-laki, namun dalam mencapai karir dan jabatan tidak ada perbedaan lagi di dalam pelaksanaan tugas oleh karena itu pandangan yang menggambarkan seorang perempuan lebih rendah atau kurang pintar sudah tidak ada lagi
2. Terhadap perempuan karena kodratnya melahirkan seorang anak, padahal seseorang yang melahirkan kondisi fi siknya lemah, maka perlu istirahat, oleh peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan memberikan cuti istirahat 1,5 (satu setengah) bulan sebelum melahirkan dan 1,5 (satu setengah) bulan setelah melahirkan. Hal itu juga berlaku apabila mengalami gugur kandungan yang diberikan 1,5 (satu setengah) bulan cuti istirahat dengan tetap diberikan upah, dengan syarat ada keterangan dari dokter atau bidan kandungan
3. Terhadap pekerja perempuan (karyawati) yang mengalami haid dan merasa sakit dapat meminta pada pengusaha untuk tidak melaksanakan pekerjaan selama 2 (dua) hari yang kemudian diatur dalam Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.
4. Pemberian upah tidak boleh dibedakan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konversi ILO No. 100 Tahun 1950 yang telah diratifi kasi dalam Un- dang-Undang Nomor.80 Tahun 1957 tentang Pengupahan yang sama antara lakilaki dan perempuan dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No- mor. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan hal ini terbukti dengan penetapan upah minimum yang tidak ada perbedaan besarnya upah antara laki-laki dan perempuan.
5. Pekerja buruh perempuan yang umumnya kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan pada malam hari mulai pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 termasuk pertempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi keselamatan kandungan maupun pekerja yang bersangkutan.
6. Pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Menyikapi berbagai isu dan masalah dalam ketenagakerjaan tersebut, pemerintah da lam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Ke- menPPPA) telah membentuk Permen PPPA No. 5 Tahun 2015 tentang Penyediaan Sarana dan Prasarana yang Responsif Gender dan Peduli Anak. Pada Bab III pasal
3 ayat 2,3,4 Permen PPPA Nomor 5 Tahun 2015 menyebutkan bahwa sarana kerja yang dimaksud mencakup:
1. Ruang ASI
2. Ruang penitipan anak/day care center 3. Fasilitas pelayanan kesehatan
4. Sarana kerja lainnya yang menunjang termasuk sumber daya manusia sebagai pengelolanya
Pekerja Perempuan dan Ekonomi Sektor Informal Perempuan yang bekerja tidak hanya di sektor publik atau formal saja, melainkan juga di sektor informal. Perempuan di sektor ini cenderung memiliki tingkat keamanan bekerja dan jaminan kesejahteraan hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan per- empuan yang bekerja pada sektor formal. Pekerja perempuan dalam sektor informal masih dianggap tidak bernilai ekonomi atau bernilai ekonomi sangat rendah karena perempuan yang bekerja dianggap sebatas pencari nafkah tambahan bukan pencari
sumber: imigrasi.go.id/pmrgahita.blogspot.com/tinytoesindonesia.com
Gambar 15. Sarana di tempat kerja
babkan perempuan hanya bisa memasuki lapangan pekerjaan yang berupah mu- rah, yang dalam hal ini adalah sektor informal.
Sebagian besar perempuan di Indonesia memang bekerja di sektor informal dan sektor ini sebenarnya potensial dilihat sebagai agen ekonomi untuk menyejahterakan perem- puan termasuk di dalamnya menurunkan angka kemiskinan keluarga dan angka kema- tian ibu melahirkan. Pekerja perempuan banyak terserap sektor informal, penyebab- nya adalah pada sektor informal memiliki waktu yang fl eksibel dan tidak mempunyai banyak syarat untuk memasukinya. Namun, kenyataanya perempuan di sektor ini ban- yak terpinggirkan. perempuan di sektor informal juga tidak memiliki asuransi keseha- tan, atau jaminan keselamatan kerja. Program-program pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah kebanyakan tidak menyasar perempuan, dan perempuan yang bekerja di sektor informal yang menjadi target dari program pemberdayaan tersebut kebanya- kan tidak dilibatkan dalam perencanaan penganggaran (Khanifah, 2019; Aryaningrum
& Armansyah, 2016). Contoh perempuan yang bekerja pada sektor informal antara lain: petani perempuan, buruh tani perempuan, buruh cuci, buruh gendhong di pas- ar-pasar tradisional, asisten rumah tangga (ART), pedagang asongan perempuan, bu- ruh pemetik cabai di kios pedagang cabai, buruh pembatik, perempuan penggendong pasir, dan pedagang koran perempuan.
Buruh gendhong adalah sebutan bagi buruh pasa yang menggendong barang dagan- gan, baik itu barang dagangan pelanggan maupun barang dagangan dari pemilik kios, yang digendong dari satu tempat ke tempat lain. Rata-rata buruh gendhong adalah perempuan paruh baya hingga perempuan usia senja. Kalau dilihat, pekerjaan ini nafkah utama. Sektor informal sering dikaitkan
dengan ciri-ciri utama pengusaha dan pelaku sektor informal, antara lain: kegiatan usaha bermodal utama pada kemandirian rakyat, memanfaatkan teknologi sederhana, pekerjanya terutama berasal dari tena- ga kerja keluarga tanpa penghasilan, bahan baku usaha kebanyakan me- manfaatkan sumber daya lokal, seba- gian besar melayani kebutuhan rakyat kelas menengah ke bawah, pendidikan dan kualitas sumber daya pelaku ter- golong rendah (Aryaningrum & Arman- syah, 2016). Selain itu Sihombing et al., (2011) menjelaskan terdapat 11 ciri sektor informal antara lain:
a. Usaha tidak terorganisasi b. Tidak ada izin usaha c. Kegiatan tidak teratur
d. Kebijakan dan bantuan dari pemerintah tidak ada e. Pekerja dapat mudah keluar masuk
f. Teknologi sederhana g. Modal dan usahanya kecil h. Tidak perlu pendidikan formal
i. Dilakukan sendiri, buruh berasal dari keluarga j. Dikonsumsi golongan menengah ke bawah
k. Modal milik sendiri atau pinjam dari kredit tidak resmi
Secara lebih spesifi k, hal yang menyebabkan pekerja sektor informal identik dengan perempuan, Sofi ani (2017), antara lain:
1. Perempuan menggenggam status subordinasi berganda, yang mengakibatan per- empuan dicitrakan sebagai pekerja ideal yang ditampilkan: rajin, ulet, teliti, patuh dan dapat diberi upah rendah (murah)
2. Citra perempuan yang ditampilkan: rajin, ulet, teliti, patuh, dan dapat diberi upah rendah, sehingga pekerjaan informal dianggap sangat tepat untuk perempuan.
Pekerja perempuan juga dianggab bahagia dengan kesempatan kerja yang diper- olehnya, sehingga mereka manjadi mudah diatur dan tidak banyak menuntut.
3. Keterbatasan perempuan sebagai individu (human capital) dalam hal pendidikan,
pengalaman dan ketrampilan kerja, kesempatan kerja serta faktor biologis menye- sumber: faridaardiyah.blogspot.com
Gambar 16. Buruh gendong di pasar Beringharjo
cenderung dilakukan oleh laki-laki, karena seperti yang terlihat pada gambar 16, be- ban yang diangkat setiap perempuan antara 50-100 kg. Meskipun beban yang harus digendong saat besar, namun upah yang diberikan sangat kecil.
Misal, di pasar Beringharjo Yogyakarta, upah yang diberikan pada buruh gendhong an- tara Rp 2.000-4.000. Selain menjadi buruh gendong, perempuan-perempuan perkasa itu juga menjadi buruh pemetik cabai di kios pedagang cabai, dengan upah Rp 4.000 per kilo cabai yang mereka petik. Alasan perempuan-perempuan paruh baya yang perkasa itu bekerja keras merelakan punggung mereka sakit, tak lain karena untuk memenuhi kebutuhan anak mereka.
Kebutuhan makan dan biaya sekolah anak-anak mereka menjadi motiva- si terbesar untuk tetap bekerja mesti berat. Buruh gendong pasar rata-rata adalah ibu tunggal, janda, dan nenek dari cucu yang masih butuh dihidu- pi (Aminah, 2019). Selain itu, sektor informal lebih banyak dipilih perem- puan karena sektor ini lebih fl eksi- bel, artinya selain untuk menambah pendapatan keluarga, fungsi sebagai ibu rumah tangga juga masih dapat dilakukan. Dengan adanya fl eksibilitas pada sektor informal tersebut memun- gkinkan tenaga kerja wanita lebih ses- uai bekerja didalamnya (Hakim, 2011).
Karakteristik pekerja perempuan sek- tor informal, antara lain: 1) pendidikan yang rendah; 2) umur yang sudah ti- dak muda; 3) memiliki ketrampilan yang rendah; 4) tidak pernah mengi- kuti pelatihan; 5) pekerjaan biasanya adalah sebagai pedagang (Lamba, 2011). Kemudahan sektor informal un- tuk dimasuki menjadi salah satu ala- san perempuan untuk bekerja. Karena pada kenyataannya motivasi perempuan untuk bekerja bukanlah sekedar mengi- si waktu senggang akan tetapi membantu suami dalam menopang ekonomi rumah tangga. Selain itu, alasan perempuan masih ingin bekerja pada sektor informal adalah
untuk mengusir rasa bosan. Perempuan paruh baya yang tidak bekerja mengalami ke- bosanan, sehingga tidak menjadi masalah bila harus bekerja menjadi buruh gendhong atau buruh cuci atau buruh petik cabai, asalkan bisa berkumpul bersama teman-teman seusianya (Rodhiyah, 2013).
Ancaman yang bisa dialami oleh pekerja perempuan dalam sektor informal antara lain 1. Di “garuk” aparat Pemda, biasanya disertai dengan:
a. Pemukulan
b. Perampasan/penghancuran/perusakan barang dagangan 2. Dipungli/diperas aparat, bisa terjadi pada:
c. Saat sehari-hari menjalankan usaha
d. Saat “menebus” barang dagangan yang ditahan e. Saat “menebus” pekerja sektor informal yang ditahan
Selain itu, ancaman-ancaman yang dapat menimpa pekerja perempuan sektor infor- mal menurut Sofi ani (2017), antara lain:
1. Pengingkaran sosial (social ekslusion) baik yang dilakukan oleh laki-laki, insti- tusi pendukung maupun negara
2. Peraturan kerja yang tidak jelas
3. Sistem penggajian yang tidak proporsional 4. Tidak ada jaminan sosial dan kesehatan 5. Keengganan hukum memberikan pengingkaran
sumber: brilio.net/bpjsketenagakerjaan.go.id
Gambar 17. Pekerja perempuan disektor informal
sumber: minews.id
Gambar 18. Ancaman kekerasan dapat dialami pekerja perempuan sektor informal
Pekerja perempuan sangat rentan mendapati dirinya dalam kondisi kerja yang tidak aman. Sampai saat ini, perempuan terlalu dilambangkan dengan sektor-sektor yang secara tradisional sudah tidak aman seperti pekerjaan rumah tangga, pekerjaan rumah, pengolahan makanan, industri elektronik dan sektor garmen. Perempuan juga selalu dikaitkan dengan pekerjaan paruh waktu, yang pada akhirnya jarangkali mendapat upah cukup untuk mandiri secara keuangan.
Kondisi kerja tanpa standar dimana pekerja/buruh berupah rendah, tidak aman, tidak ada kestabilan kelangsungan pekerjaan, tanpa perlindungan, dan tidak dapat meng- hidupi rumah tangga disebut precarious work. Ciri-ciri suatu pekerjaan dianggap pre- carious work, antara lain: 1) Ketidakpastian mengenai status dan masa kerja; 2) ke- mungkinan banyak nya majikan ata majikan yang disamarkan atau hubungan kerja ambigu (pekerja yang dipekerjakan oleh agen atau sub-kontraktor) sehingga membuat pekerja berada dalam situasi yang sulit ketika tidak ada kejelasan mengenai siapa pihak yang harus bertanggung jawab dan harus mempertanggungjawabkan hak dan manfaat pekerja; 3) Hak-hak pekerja tidak memadai atau bahkan tidak ada; 4) akses yang kurang terhadap perlindungan sosial dan manfaat biasanya berhubungan den- gan pekerjaan; 5) upah rendah; 6) hambatan praktikal untuk bergabung dengan serikat pekerja dan membuat perjanjian kerja bersama (ILO, 2012).
Masalah-masalah yang dihadapi oleh pekerja perempuan sektor informal (Adi, 2015) antara lain:
1. Tingkatan pendidikan yang rendah, sehingga sebagian besar ditempatkan pada bidang-bidang yang tidak memerlukan pendidikan dan ketrampilan khusus, dan ini juga berpengaruh terhadap upah yang mereka terima
2. Tenaga kerja wanita rawan oleh tindakan pelecehan seksual di lingkungan kerja 3. Tidak adanya pembatasan jam kerja dan juga perlindungan akan kesehatan
dan keselamatan kerja
Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) Ada beberapa hal yang menyebabkan perempuan mempunyai potensi resiko lebih besar dari pada laki-laki, yaitu 1) ada perbedaan anatomis; 2) perempuan mengala- mi siklus haid kehamilan; 3) perlakuan terhadap pekerja perempuan berbeda dengan pekerja laki-laki; 4) perempuan menjalankan peran ganda; dan 5) perempuan sering mengalami pelecehan seksual maupun kekerasan dalam pekerjaan.
GP2SP merupakan upaya dari Pemerintah, masyarakat maupun pengusaha untuk menggalang kesadaran dan peran guna meningkatkan kepedulian dalam upaya mem- perbaiki kesehatan pekerja perempuan sehingga dapat meningkatkan produktivitas.
Peningkatan status gizi pekerja, khususnya pekerja perempuan dilakukan melalui:
1. Pemeriksaan kesehatan berkala termasuk pemeriksaan Hb 2. Pemberian obat gizi (tablet tambah darah yang berisi zat besi)
3. Pemenuhan kecukupan gizi selama waktu kerja sebagai upaya peningkatan menu makanan
4. Pemenuhan kebutuhan hidrasi
5. Pelayanan kesehatan reproduksi, mulai dari: Sebelum Hamil (Konseling IMS, Pelayanan KB); saat Hamil (Pemeriksaan Kehamilan); Bersalin, berupa kon- seling gizi ibu menyusui & ASI ekslusif, serta Jaminan Persalinan; saat NIFAS (berupa Pelayanan KB Pasca Persalinan, ASI Ekslusif, Pemberian 2 (dua) kap- sul vitamin A selama nifas, dan konseling menyusui).
6. Peningkatan pemberian ASI selama waktu di tempat kerja sebagai hasil dari SKB 3 Menteri antara Menteri Pemberdayaan Perempuan: Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Kesehatan.
sumber: jawapos.com
Gambar 19. Pemberian obat gizi kepada perempuan dalam upaya memperbaiki kesehatan pekerja perempuan sehingga dapat meningkatkan produktivitas untuk mewujudkan Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif.
March, C., Smyth, I., & Mukhopadhyay, M. (2010). A Guide to Gender Analysis Frame- works. Oxford: Oxfam GB.
Mirwansyah. (2018). Perlindungan Hukum Pekerja Wanita Terhadap Sistem Pengupa- han yang Layak sebagai Refl eksi Hubungan Industrial yang Selaras dan Serasi.
Jurnal Pendidikan, 2(1), 1-22
Newbold, G. (2005). Women Offi ciers Working in Men’s Prisons. Social Policy Journal of New Zealand, 25(1), 105-117
Nofi anti, L. (2016). Perempuan di Sektor Publik. Jurnal Marwah, XV(1), 51-62
Oka, I.D & Sumawidari, L.A.K. (2018). Factors that Motivate Balinese Women Working on Cruise Ships. International Journal of Applied Sciences in Tourism and Events, 2(2), 125-135
Othman, M.B. (2015). Role of Women in Achieving Shared Prosperity: An Impact Study of Islamic Microfi nance in Malaysia. Social and Behavioural Sciences, 211, 1043- 1048.
Rahmalina, W. (2017). Identifi kasi Faktor yang Mempengaruhi Jenis Pekerjaan Ber- dasarkan Karakteristik Penduduk di Sumatera Barat. Jurnal Teknologi dan Sistm Informasi, 2(1), 150-165.
Ramadani, N. (2016). Implikasi Peran Ganda Perempuan Dalam Kehidupan Keluarga dan Lingkungan Masyarakat. Sosietas, 6(2), 1-15.
Rodhiyah. (2013). Profi l Tenaga Kerja Perempuan di Sektor Usaha Kecil Menengah (Studi Pada Tenaga Kerja Perempuan UKM). Jurnal Administrasi Bisnis, 2(1), 51- 63.
Rosalina, M. (2015). Tingkat Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan di Bidang Pertani- an dan Non pertanian. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Mas- yarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Unpublished.
Ruswianingsih, S. (2017). Aktivitas Domestik dan Publik Perempuan Kerja (Studi Ter- hadap Perempuan Pedagang Kelontong di Pekapuran Raya Banjarmasin). Jurnal Kajian Gender, 1(2), 89-106.
Saidah. (2013). Sistem Pembagian Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin (Analisis Gender Terhadap Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit). Jurnal Sosiologi Konsentrasi, 1(1), 1-12.
Adi, M.K. (2015). Masalah-masalah Tenaga Kerja Wanita di Sektor Informal dan Per- lindungan Hukum. Jurnal Hukum, 3(1), 34-43
Aminah. (2019). Potret Sendu Buruh Gendong Pasar Beringharjo. Wolez. Retrieved from http://wolez.id/potrer-sendu-buruh-gendong-pasar-beringharjo/
Agusmidah. (2010). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bogor: Penerbit Ghalia Indo- nesia
Anshori, N.SI. (2013). Makna Kerja (Meaning of Work) Suatu Studi Etnografi Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Daerah Istimewa Yogyakarta, Psikologi Industri dan Organisasi, 2(3), 157-162.
Anshori, D.S., Kosasih, E., & Farida, S. (2017). Membincangkan Feminisme: Refl eksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Wanita. Bandung: Pustaka Hidayah.
Aryaningrum, K., & Armansyah. (2016). Peluang Pekerja Wanita Sektor Informal Pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Kota Palembang. Jurnal Administrasi, 6(9), 57-69
Clinton, B. (2016). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Tenaga Kerja Wanita di PT.
Beka Engineering Pangkalan Kerinci. JOM Fakultas Hukum, III(2), 1-15
Gani, A., dan Ara, R. (2010). Confl icting Worlds of Working Women: Findings of an Exploratory Study. Indian Journal of Industrial Relations, 46(1), 61-73.
Hakim, L.(2011). Perkembangan Pekerja Wanita Di Sektor Informal: Hasil Analisa Dan Proxy Data Sensus Penduduk. Among makarti, 4(7), 15-30.
Hertian, N. (2018). Lima Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan di Lingkungan Ker- ja. Work.co. Retrieved from: https://xwork.co/blog/5-bentuk-diskriminasi-terha- dap-perempuan-di-lingkungan-kerja/
ILO. (2012). From Precarious Work to Decent Work. Geneva: ILO Publishing
Intan, S. (2014). Kedudukan Perempuan dalam Domestik dan Publik Perspektif Gen- der. Jurnal Publik Profetik, 2(1), 1-16.
Khanifah. (2019). Mustahil Ekonomi Tanpa Peran Perempuan. Jurnal Perempuan.
Retrieved from https://www.jurnalperempuan.org/mustahil-ekonomi-tanpa-per- an-perempuan.html
Lamba, A. (2011). Kondisi Sektor Informal Perkotaan dalam Perekonomian Jayapu- ra-Papua. Jurnal Ekonomi Bisnis, 16(2), 50-60.
Daftar Pustaka
Sihombing, U.P., Asfi nawati, Gatot. (2011). Pekerja Sektor Informal. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Sofi ani, T. (2017). Perlindungan Hukum Pekerja Perempuan Sektor Informal. MU- WAZAH, 9(2), 138-150
Susiana, S. (2017). Perlindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Femi- nisme. Jurnal Aspirasi, 8(2), 207-222
Wahid, U., dan Lancia, F. (2018). Pertukaran Peran Domestik dan Publik Menurut Per- spektif Wacana Sosial Halliday. Mediator: Jurnal Komunikasi, 11(1), 106-118.
Wibowo, E.D. (2011). Peran Ganda Perempuan dan Kesetaran Gender. Jurnal Mu- wazah, 3(1), 356-373.