10
PENGENDALIAN HAMA ULAT API (Setothosea asigna) DENGAN
MENGGUNAKAN EKSTRAKSI DAUN LAMTORO (Leucaena leucocephala)
JULAILI IRNI1
1 Fakultas Agro Teknologi Universitas Prima Indonesia Email : [email protected]
ABSTRAK
Lamtoro (Leucaena leucocephala Lam.) merupakan perdu yang berkhasiat sebagai obat dan mengandung zat aktif yang berupa alkaloid, saponin, flavonoid, mimosin, tanin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan vitamin B.
daun lamtoro terdapat kandungan senyawa yang disinyalir dapat digunakan sebagai bioinsektisida. Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pisau (cutter), blender, kain kasa, karet gelang, gunting, kertas saring, saringan, toples, semprotan, neraca analitik, peralatan gelas, labu ukur, pipet mikro, corong pisah, pinset, spatula, aluminium foil, rotary evaporator, Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), hotplate stirer, magnetic stirer, alat tulis, stopwatch dan kamera. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah decis, daun lamtoro, aquades, etanol 96 %, larva ulat api (Setothosea asigna V. Eecke), daun kelapa sawit dan bibit kelapa sawit (main nursery) umur 8 bulan.Senyawa kimia tersebut adalah tanin dan mimosin.Data dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui tingkat signifikan, apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Hasil penelitian ini yaitu ekstrak daun lamtoro efektif dalam mengendalikan hama ulat api (Setothosea asigna V. Eecke) pada tanaman kelapa sawit. Konsentrasi 70% merupakan yang paling cepat dalam mengendalikan hama ulat api (Setothosea asigna).
Kata kunci: Pengendalian, Ulat api, Lamtoro, Alkaloid
e-ISSN : 2599-3232
11 PENDAHULUAN
Kelapa sawit merupakan komoditas tanaman perkebunan yang diunggulkan di Indonesia. Tanaman yang produk utamanya terdiri dari minyak sawit/crude palm oil (CPO) dan minyak inti sawit/palm kernel oil (PKO) memiliki nilai ekonomis yang tinggi dan menjadi salah satu penyumbang devisa negara yang terbesar dibandingkan dengan komoditas tanaman perkebunan lainnya (Fauzi et al., 2012).
Dalam budidaya kelapa sawit terdapat berbagai macam masalah yang dapat merugikan. Salah satu kendala yang paling penting dalam budidaya kelapa sawit adalah hama ulat api Setothosea asigna V. Eecke.
Disebut ulat api karena punggungnya berbulu kasar kaku dan beracun. Racun dari ulat api tersebut keluar melalui bulu kasar berupa cairan yang jika terkena tangan terasa gatal dan panas (Fauzi et al., 2012). Ulat api Setothosea asigna V. Eecke memakan baik daun muda maupun daun tua. Pada fase larva hama ini sudah menyerang daun tanaman kelapa sawit. Pada serangan berat hama ini dapat memakan seluruh permukaan daun tanaman sehingga daun tanaman tampak melidi. Seekor ulat api jenis ini mampu mengonsumsi daun seluas 300-500 cm² (Purba et al., 2005).
Meskipun tidak mematikan tanaman, hama ini sangat merugikan secara ekonomi. Daun yang habis akan mengganggu proses fotosintesis tanaman kelapa sawit yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kelapa sawit. Biasanya produksi akan turun 2 tahun setelah terjadi serangan ulat api maupun ulat kantong (Sinagaet al., 2015).
Pengendalian hama sebagai salah satu bagian dari pengelolaan tanaman perlu mendapatkan perhatian, karena serangan jenis hama tertentu pada tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) seperti hama ulat api (Setothosea asigna V. Eecke) yang
lebih dominan terdapat pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat menyebabkan kehilangan seluruh hasil. Sampai saat ini pengendalian hama ulat api masih terus dengan penyemprotan insektisida kimia walaupun banyak menimbulkan efek negatif. Secara teknis, pengendalian nabati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan.
Lamtoro dengan nama ilmiah
Leucaena leucocephala Lam.
merupakan perdu yang berkhasiat sebagai obat dan mengandung zat aktif yang berupa alkaloid, saponin, flavonoid, mimosin, tanin, leukanin, protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin A dan vitamin B. Menurut Hariana (2015), biji dan seluruh bagian tumbuhan lamtoro dapat dimanfaatkan.
Dalam daun lamtoro terdapat kandungan senyawa yang disinyalir dapat digunakan sebagai bioinsektisida.
Senyawa kimia tersebut adalah tanin dan mimosin. Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman dan disintesis oleh tanaman (Jayanegara dan Sofyan, 2008). Tanin termasuk dalam kelas senyawa yang memiliki berat molekul lebih dari 500 dalton (Da) dan jumlah gugus hidroksil fenolik yang cukup banyak untuk membentuk ikatan silang dengan protein dan makromolekul lainnya (D’Mello, 2000).
METODE PENELITIAN
Penelitan ini dilaksanakan di Pusat Laboratorium Agro Terpadu Universitas Prima Indonesia Jalan Ayahanda, Laboratorium Biokimia Universitas Sumatera Utara (USU), dan Laboratorium Uji Politeknik Teknologi Kimia Industri (PTKI) Medan dan untuk aplikasi di lapangan berada di Jalan Lembaga, Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang dengan suhu lingkungan 32oC. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Juni
12 2018. Peralatan yang digunakan pada
penelitian ini adalah pisau (cutter), blender, kain kasa, karet gelang, gunting, kertas saring, saringan, toples, semprotan, neraca analitik, peralatan gelas, labu ukur, pipet mikro, corong pisah, pinset, spatula, aluminium foil, rotary evaporator, Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), hotplate stirer, magnetic stirer, alat tulis, stopwatch dan kamera. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah decis, daun lamtoro, aquades, etanol 96 %, larva ulat api (Setothosea asigna V. Eecke), daun kelapa sawit dan bibit kelapa sawit (main nursery) umur 8 bulan.
Analisis Data
Data dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui tingkat signifikan, apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5%
(Gomez dan Gomez, 2010). Setelah itu diolah dengan menggunakan perangkat lunak SAS 9.1.3.
Prosedur Kerja Preparasi Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman lamtoro yang dapat diperoleh di pinggiran jalan, semak-semak dan tepi parit. Tanaman lamtoro segar ditimbang terlebih dahulu sebanyak 2,4 kg. Tanaman lamtoro mula-mula dibersihkan, dicuci dengan air, kemudian dikering anginkan selama 10-14 hari. Daun lamtoro yang sudah kering ditumbuk dengan menggunakan lumpang hingga halus dan kemudian disaring sehingga berbentuk menjadi bubuk.
Maserasi Daun Lamtoro
Sebanyak 70 gram bubuk daun lamtoro yang telah ditimbang menggunakan neraca analitik diambil dan dimasukan ke dalam botol setelah itu direndam dengan etanol 96%
sebanyak 475 mL kemudian botol dibungkus dengan menggunakan aluminium foil sebanyak dua lapis, maserasi ini dilakukan selama 5 hari.
Setelah 5 hari hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring sehingga didapatkan filtrat. Residu yang diperoleh dilakukan maserasi kembali sebanyak 3 kali untuk meyakinkan senyawa-senyawa pada bubuk daun lamtoro sudah terserap oleh etanol, dari hasil maserasi maka akan diperoleh filtrat.
Pembuatan Larutan
Ekstrak pekat yang telah didapatkan dari hasil Rotary evaporator diencerkan dengan aquades menjadi beberapa variasi konsentrasi yaitu 10%, 20%, 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, dan 90%. Pembuatan larutan menggunakan labu ukur 25 mL dan pipet mikro untuk mengambil crude extract (Ginting, 2017). Untuk pembuatan larutan dapat menggunakan
rumus pengenceran
(V1 x M1 = V2 x M2).
Uji Insektisida
Pengujian insektisida ini akan dilaksanakan di lapangan dengan cara meletakkan 5 ekor hama ulat api (Setothosea asigna V. Eecke) pada tanaman kelapa sawit berumur 8 bulan. Setelah itu, hama ulat api (Setothosea asigna V. Eecke) dibiarkan selama 1 minggu pada tanaman kelapa sawit agar hama ulat api tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Identifikasi Gugus Fungsi Crude Extract
Crude extract diambil sebanyak 10 tetes dimasukkan ke dalam toples kecil dan diteteskan pada Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). Setelah itu maka akan keluar gugus fungsi yang terkandung di dalam daun lamtoro melalui komputer yang menggunakan perangkat lunak OPUS yang berbentuk grafik.
13 Hasil dan Pembahasan
Analisis Waktu Kematian Hama Ulat Api
Tabel 1. Waktu kematian hama ulat api dengan perlakuan insektisida nabati ekstrak daun lamtoro Perlakuan Rataan (Detik) L0 1694 b L1 102366 a L2 105809 a L3 97815 a L4 10920 b L5 8242 b L6 8766 b L7 7837 b L8 7949 b L9 10048 b Keterangan: L0: Insektisida
“Deltametrin” 4 ml/l, L1:
10% Ekstrak Daun Lamtoro, L2: 20% Ekstrak Daun Lamtoro, L3: 30%
Ekstrak Daun Lamtoro, L4:
40% Ekstrak Daun Lamtoro, L5: 50% Ekstrak Daun Lamtoro, L6: 60%
Ekstrak Daun Lamtoro, L7:
70% Ekstrak Daun Lamtoro, L8: 80% Ekstrak Daun Lamtoro, L9: 90%
Ekstrak Daun Lamtoro.
Tabel 1. Menunjukkan hasil penelitian bahwa rataan waktu kematian hama ulat api (Setothosea asigna V. Eecke) yang tercepat terdapat pada perlakuan L7 menggunakan ekstrak daun lamtoro 70% yakni 7837 detik setelah aplikasi.
Berdasarkan penelitian Madusari (2018) menyatakan bahwa apabila semakin lama waktu yang dibutuhkan maka semakin tinggi pula tingkat kematian hama ulat api (Setothosea asigna V.
Eecke). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ekstrak daun lamtoro dengan pelarut hexana dan etanol menyebabkan hilangnya nafsu makan (antifeedant) hama ulat grayak (Spodoptera litura) pada tanaman tomat sehingga ekstrak daun lamtoro diyakinkan dapat menjadi insektisida nabati dalam pengendalian
hama ulat api (Setothosea asigna V.
Eecke) (Negi et al., 2016).
Menurut Hopkins dan Hiiner (2004), tanin menekan konsumsi makanan, tingkat pertumbuhan dan kemampuan bertahan. Tanin dan saponin memiliki rasa yang pahit sehingga dapat menyebabkan mekanisme penghambatan makan pada larva uji. Rasa yang pahit menyebabkan larva tidak mau makan sehingga larva akan kelaparan dan akhimya mati. Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan dengan cara mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan sehingga diperkirakan proses pencernaan larva menjadi terganggu akibat zat tanin tersebut (Yunita et al., 2009).
3.2 Uji Insektisida “Deltametrin”
Gambar 1. Uji Insektisida “Deltametrrin”
Pada pengamatan penelitian
menggunakan insektisida
“Deltamethrin”, setelah disemprot hama ulat api masih aktif bergerak, namun dalam waktu 9 menit setelah penyemprotan pergerakan ulat mulai melambat dan berhenti beraktivitas.
Ulat mulai berjatuhan pada waktu 777 detik atau sekitar 13 menit, ulat mati seluruhnya pada waktu 1694 detik sekitar 28 menit 14 detik. Ulat mati dengan badan kaku dan keras, perut menggelembung, dan kulit mengkerut.
Insektisida “Deltamethrin” terbukti yang paling cepat dalam mengendalikan ulat api (S. asigna) dibandingkan dengan penggunaan insektisida nabati
14 ekstrak daun lamtoro. Sinaga (2015)
menyatakan bahwa perlakuan insektisida “Deltametrhin” merupakan yang paling efektif daripada perlakuan lainnya dengan persentase mortalitas 100% 4 hari setelah aplikasi.
3.3 Uji Crude Extract 70%
Gambar 2. Uji Crude Extract 70%
Pada pengamatan penelitian menggunakan ekstrak daun lamtoro 70%, setelah disemprot hama ulat api masih aktif bergerak, namun dalam waktu 1 jam 20 menit setelah penyemprotan pergerakan ulat mulai melambat dan berhenti beraktivitas.
Ulat mulai berjatuhan pada waktu 4168 detik atau sekitar 1 jam 9 menit, ulat mati seluruhnya pada waktu 7837 detik sekitar 2 jam 10 menit. Ulat mati dengan badan kaku, perut menggelembung, dan kulit mengkerut.
3.4 Hasil Gugus Fungsi
Gambar 3. Fourier Transform Infra Red Spectroscopy
Gambar 3. Struktur Kimia Tanin Sumber: (Robinson, 1995)
Dari hasil analisis FTIR diatas telah didapatkan bahwa pada daerah1013-1110 cm-1 terdapat C-O (Asam karbosilat). Pada daerah 1407- 1449 cm-1 terdapat C-H (Alkana). Pada daerah1643-1680 cm-1 terdapat C=C (Alkena). Pada daerah 2840-2950 cm-1 terdapat C-H (Alkana). Dan pada daerah 3338-3500 cm-1 terdapat O-H (Amina).
4. KESIMPULAN
Ekstrak daun lamtoro efektif dalam mengendalikan hama ulat api (Setothosea asigna V. Eecke) pada tanaman kelapa sawit. Konsentrasi 70%
merupakan yang paling cepat dalam mengendalikan hama ulat api (Setothosea asigna).
DAFTAR PUSTAKA
D’Mello, J. P. F. 2000. Antinutritional factors and mycotoxins. In: J. P.
F. D’Mello (Ed.). Farm Animal Metabolism and Nutrition.
Wallingford, United Kingdom, CAB International. Hal. 383-403.
Fauzi, Y., Y. E. Widyastuti, I.
Satyawibawa, R. H. Paeru.
2012. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal: 3-7.
Ginting E. C. 2017. Pemanfaatan Ekstrak Jahe Sebagai Insektisida Nabati Dalam Pengendalian Hama Ulat Api (Setothosea asigna V. Eecke) Pada Tanaman Kelapa Sawit.
15 Skripsi, Universitas Prima
Indonesia.
Gomez, K.A, dan Gomez, A.A. 2010.
Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian, Edisi Kedua Universitas Indonesia, Press Jakarta.
Hopkins, W. G. and N. P. A. Hiiner.
2004. Introduction to Plant Physiology. Third Edition. John Wiley and Sons, Inc. Ontario.
Jayanegara, A. and A. Sofyan. 2008.
Penentuan Aktivis Biologis Tanin Beberapa Hijauan secara in vitro Menggunakan ‘Hohenheim Gas Test’ dengan Polietilen Glikol Sebagai Determinan. Media Peternakan. Vol: 31(1). Hal: 44- 52.
Madusari Sylvia. 2018. Uji Pengendalian Pengaruh Ekstrak Carica papaya (Caricaceae) Terhadap Mortalitas Larva (Setothosea asigna V. Eecke).
Jurnal Teknologi. Vol: 10(1). Hal:
47-58.
Negi. P, B.S. Rawat, D.S. Negi. 2016.
Antifeedant Constituents from Leucaena leucocephala Lam..
Journal of Applied
Pharmaceutical Science. Vol. 6 (12), Hal. 28-31.
Purba, R.Y., A. Susanto, dan S.
Prawirosukarto. 2005. Hama- Hama pada Kelapa Sawit. Buku I, Serangga Hama pada Kelapa Sawit. Seri Buku Saku 12. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.29 pp.
Robinson, T. 1995. Kandungan Senyawa Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan oleh Kosasih Padmawinata.
Bandung: Penerbit ITB.
Sinaga, M., Syahrial, O., dan Lisnawita, 2015, Efektifitas beberapa
Teknik Pengendalian Setothosea asigna V. Eecke pada Fase Vegetatif Kelapa Sawit di Rumah Kaca, Jurnal Online Agroekoteaknologi, 3(2):
634-641.
Yunita, E., Suprapti, N., Hidayat, J..
2009. Pengaruh Ekstrak Daun Teklan (Eupatoriumriparium) terhadap Mortalitas dan Perkembangan Larva Aedes
aegepti. Bioma.
Vol. 11, Hal: 11-17.