• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Kajian Teori a. Bencana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Kajian Teori a. Bencana"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan 1. Kajian Teori

a. Bencana

Menurut Undang - Undang atau UU No. 24 tahun 2007 tentang bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah atau PP No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulanan Bencana, yang bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.

Bencana alam merupakan suatu kejadian yang mengancam dan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Karangsambung merupakan Kawasan Cagar Alam Geologi Karangsambung yang terdapat beraneka ragam batuan dimana proses terbentuknya mulai dari dasar samudera hingga ke tepian benua.

Bencana alam yang sering terjadi pada kawasan ini yaitu berupa longsorlahan (gerakan massa/tanah) dan banjir. Pada wilayah penelitian yang teridentifikasi gerakan tinggi umumnya tersusun oleh litologi batuan vulkanik (breksi dan batupasir Formasi Waturanda), Batuan di Komplek Melang yang telah mengalami pelapukan yang intensif dan lanjut.

(2)

commit to user b. Longsorlahan

Longsorlahan merupakan suatu bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan massa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar (Suripin, 2004: 38).

”Landslides are downslope movements of rock and soil along slip surface. They are always associated with disturbance of the equilibrium relationship which exists between stress and strength in material testing on slopes (Smith, K., 1996: 187).”

Longsorlahan adalah gerakan batuan dan tanah menuruni lereng sepanjang permukaan slip. Longsorlahan selalu dikaitkan dengan gangguan keseimbangan lereng yang ada antara kekuatan gaya dorong dan gaya tahan material pada lereng.

”Landslide was used by Sharpe as a group name for several type of mass movement of rock debris. As a class landslide are distinguished from the preceding groups in that there is more rapid movement and the moving mass has less water in it. Five types of landslides are recognized : slump, debris slide, debris fall, rockslide, and rockfall (Thornbury, 1958: 92).”

Longsorlahan digunakan oleh Sharpe sebagai nama untuk beberapa tipe gerakan massa dari puing-puing batu. Kelas longsorlahan dibedakan dari kelompok sebelumnya yaitu gerakan yang lebih cepat dan massa bergerak memiliki sedikit air di dalamnya. Lima jenis longsorlahan yaitu: kemerosotan, puing-puing slide, puing-puing jatuh, longsoran batu, dan runtuhan.

Menurut Dibyosaputro (1992: 27) longsorlahan adalah salah satu tipe gerakan massa batuan dan tanah menuruni lereng akibat gaya gravitasi bumi.

Berbagai faktor yang mempengaruhi longsorlahan secara garis besar adalah iklim, geologi, geomorfologi, dan vegetasi penutup/penggunaan lahan. Dari diagram tersebut tampak bahwa longsorlahan (landslides) merupakan bagian dari gerakan massa dalam kategori tipe gerakan cepat dengan material longsoran yang relatif kering. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada diagram.

(3)

commit to user

Gambar 2.1. Diagram Klasifikasi Proses Gerakan Massa Menurut Carson dan Kirby (1972) dalam Dibyosaputro

Pengetahuan tentang kontribusi masing-masing faktor tersebut pada kejadian longsorlahan sangat diperlukan dalam menentukan daerah-daerah rawan berdasarkan jenis gerakan tanahnya. Varnes (1978) dalam Smith (1996: 187) megklasifikasikan jenis dan mekanisme terjadinya longsorlahan ke dalam beberapa kelas (jenis longsorlahan), seperti tabel 2.1. sebagai berikut :

Tabel 2.1. Jenis dan Mekanisme Terjadinya Gerakan Tanah ke dalam Beberapa Kelas

Jenis Gerakan

Jenis material

Batu Tanah

Butir Kasar Butir Halus

Runtuhan Runtuhan

Batu

Runtuhan bahan

rombakan Runtuhan tanah

Jungkiran Jungkiran

batu

Jungkiran bahan

rombakan Jungkiran tanah

Longsoran Rotasi Sedikit Nendatan

batu

Nendatan bahan

rombakan Nendatan tanah Translasi Banyak

Gelinciran bongkahan

batu

Gelinciran bongkah bahan rombakan

Gelinciran bongkah tanah Gerakan Laterial Gelincir batu Gelincir bahan

rombakan Gelincir tanah

Aliran

Gerakan laterial batu

Gerakan laterial

bahan rombakan Gerakan laterial Aliran batu

Aliran bahan

rombakan Aliran tanah (rayapan tanah)

Majemuk Gabungan dua atau tiga tipe gerakan

(Sumber : Varnes (1978) dalam Smith (1996: 187))

Longsorlahan adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya masa tanah dan batuan ke tempat/daerah yang lebih rendah (Direktorat Jenderal Geologi Tata Lingkungan, 1981: 3).

(4)

commit to user

b

a a1

a2

Gerakan masa tanah ini dapat terjadi pada lereng-lereng yang hambat geser tanah/batuannya lebih kecil dari berat masa tanah/batuan itu, sebagaimana dijelaskan dalam skema berikut ini.

Gambar 2.2. Skema Gerakan Masa pada Lereng (Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Anonim, 1981: 3) keterangan gambar :

a = Gaya berat masa pada titik beratnya

a1 & a2 = Vektor gaya berat; besarnya tergantung dari sudut lereng b = Gaya hambatan

b<a1 = Terjadi gerakan masa ke arah vektor a1

Menurut Cruden dan Varnes (1992) dalam Hardiyatmo (2006: 15) menjelaskan bahwa karakteristik gerakan massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi lima macam (Gambar 2.3.) yaitu :

a. Jatuhan (falls)

Jatuhan (falls) adalah gerakan jatuh material pembentuk lereng (tanah atau batuan) di udara dengan tanpa adanya interaksi antara bagian-bagian material yang longsor. Jatuhan terjadi tanpa adanya bidang longsor, dan banyak terjadi pada lereng terjal atau tegak yang terdiri dari batuan yang mempunyai bidang-bidang tidak menerus (diskontinuitas).

b. Robohan (topples)

Robohan (topples) adalah gerakan material roboh dan biasanya terjadi pada lereng batuan yang sangat terjal sampai tegak yang mempunyai bidang- bidang ketidakmenerusan yang relatif vertikal. Tipe gerakan hampir sama dengan jatuhan, hanya gerakan batuan longsor adalah mengguling hingga roboh, yang berakibat batuan lepas dari permukaan lerengnya. Faktor utama

(5)

commit to user

yang menyebabkan robohan, adalah seperti halnya kejadian jatuhan batuan, yaitu air yang mengisi retakan.

c. Longsoran (slides)

Longsoran (slides) adalah gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, disepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah.

d. Sebaran (spreads)

Sebaran (spreads) yang termasuk longsoran translasional juga disebut sebaran lateral (lateral spreading), adalah kombinasi dari meluasnya massa tanah dan turunnya massa batuan terpecah ke dalam material lunak di bawahnya (Cruden dan Varnes 1992) dalam Hardiyatmo (2006: 27).

Permukaan bidang longsor tidak berada di lokasi terjadinya geseran terkuat.

e. Aliran (flows)

Aliran (flows) adalah gerakan hancuran material ke bawah lereng dan mengalir seperti cairan kental. Aliran sering terjadi dalam bidang geser relatif sempit. Material yang terbawa oleh aliran dapat terdiri dari berbagai macam partikel tanah (termasuk batu-batu besar), kayu-kayuan, ranting, dan lain-lain.

a) b)

c) d)

(6)

commit to user

Gambar 2.3. Tipe-tipe Gerakan Longsorlahan, Jatuhan (falls) (a), Robohan (topples) (b), Longsoran (slides) (c), Sebaran (spreads) (d), dan Aliran (flows) (e) (Cruden dan Varnes (1992)

dalam Hardiyatmo (2006: 16))

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa longsorlahan (landslide) adalah pergerakan suatu material penyusun lereng berupa massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng, yang terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Proses tersebut melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan.

Bagian-bagian longsoran yang diusulkan oleh Cruden dan Varnes (1992), diperlihatkan dalam gambar 2.4. Sesuai dengan nomor yang tertera dalam gambar tersebut disajikan beberapa definisi menurut Cruden dan Varnes (1992) dalam Hardiyatmo (2006: 42).

1. Mahkota (crown): lokasi di bagian atas zona longsor yang terletak di atas scrap utama (main scrap).

2. Scrap mayor atau scrap utama (main scrap): permukaan miring, tajam pada zona tanah yang tidak terganggu oleh longsoran yang terletak diujung atas longsoran.

3. Puncak (top): titik tertinggi dari bagian kontak antara material yang tidak bergerak dengan scrap utama.

4. Kepala (head): bagian atas longsoran diantara material yang bergerak dengan scrap utama.

5. Scrap minor (minor scrap): permukaan miring tajam pada material yang bergerak yang terbentuk oleh akibat perbedaan gerakan.

e)

(7)

commit to user

6. Tubuh utama (main body): bagian dari material yang bergerak yang menutupi permukaan bidang longsor.

7. Kaki (foot): bagian longsoran yang bergerak melampaui kaki lereng.

8. Ujung bawah (kip): titik pada bagian kaki longsoran yang letaknya paling jauh dari puncak longsoran.

9. Ujung kaki (toe): margin bagian terbawah dari material yang bergerak.

10. Bidang longsor atau bidang runtuh (surface of repture): permukaan bidang longsor yang merupakan bagian terbawah dari material bergerak atau permukaan yang merupakan batas dari material yang bergerak dan diam.

11. Ujung kaki bidang longsor (toe of surface repture): perpotongan antara bagian terbawah dari bidang longsor dan permukaan tanah asli.

12. Permukaan pemisah (surface of separation): permukaan tanah asli yang sekarang tertutup kaki longsoran.

13. Material pindahan (displaced material): material yang berpindah dari tempat asalnya oleh gerakan.

Gambar 2.4. Bagian-bagian Longsoran dalam Pemotongan Tiga Dimensi Menurut Cruden dan Varnes (1992)

dalam Hardiyatmo (2006: 43)

(8)

commit to user

Dalam penelitian ini pengklasifikasian tipe longsorlahan menggunakan sistem klasifikasi menurut Cruden dan Varnes (1992) dalam Hardiyatmo (2006:

16). Identifikasi tipe longsorlahan dalam penelitian ini hanya pada tipe-tipe longsorlahan yang termasuk ke dalam tipe gerakan longsor cepat karena jejak longsoran lebih mudah diamati secara langsung dan risiko yang ditimbulkan dapat dirasakan secara langsung di lapangan.

Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981: 9) faktor – faktor penyebab longsorlahan antara lain adalah sebagai berikut: topografi atau lereng, keadaan tanah atau batuan, termasuk struktur, perlapisan, keairan, termasuk curah hujan, gempa/gempabumi, dan keadaan vegetasi/hutan dan penggunaan lahan.

Parameter penyebab longsorlahan dalam penelitian ini sebagai berikut : 1) Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian longsorlahan. Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 180o apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

2) Pengikisan/Erosi

Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu akibat penggundulan hutan di sekitar tikungan sungai, tebing akan menjadi terjal.

3) Iklim

Curah hujan merupakan salah satu faktor penentu tingkat potensi bahaya longsorlahan, semakin tinggi nilai curah hujannya, maka sudah dapat dipastikan bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang mempunyai potensi tertinggi terjadi longsorlahan.

4) Permeabilitas Tanah

Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah untuk meloloskan air melalui pori-pori dalam keadaan jenuh. Air yang masuk dalam tanah akan

(9)

commit to user

mengurangi gesekan dalam tanah sehingga akan mempengaruhi tingkat kerentanan longsorlahan.

5) Tekstur Tanah

Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif 3 golongan besar partikel tanah dalam suatu massa, terutama perbandingan antara fraksi-fraksi lempung (clay), debu (silt) dan pasir (sand). Semakin halus tekstur semakin luas permukaan butir tanah, maka semakin banyak kemampuan menyerap air, sehingga semakin besar peranannya terhadap kejadian longsorlahan.

6) Pelapukan Batuan

Pelapukan adalah proses penghancuran bantuan menjadi bahan rombakan (debris) dan tanah (van Zuidam, 1979: 254). Mudah tidaknya batuan terganggu oleh kekuatan dari luar ditunjukkan oleh tingkat pelapukannya.

Bantuan yang cepat mengalami pelapukan adalah bantuan yang terbuka karena dipengaruhi oleh iklim. Semakin lanjut pelapukan batuan maka semakin rentan mengalami longsorlahan.

7) Penggunaan Lahan (land use)

Penggunaan lahan mempunyai pengaruh besar terhadap kondisi air tanah, hal ini akan mempengaruhi kondisi tanah dan batuan yang pada akhrinya juga akan mempengaruhi keseimbangan lereng. Pengaruhnya dapat bersifat memperbesar atau memperkecil kekuatan geser tanah pembentuk lereng.

c. Tingkat Kerawanan Longsorlahan

Menurut Sugalang dan Kholidin dalam Sulastoro dan Mudiyono (1997: 10) Tingkat kerawanan longsorlahan menggambarkan tingkat kemungkinan suatu lereng atau daerah untuk mengalami longsoran. Peta tingkat kerawanan longsorlahan dapat dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif.

Cara kualitatif dilakukan dengan cara mengevaluasi bentuk bentangalam, kondisi geologi, curah hujan, penggunaan lahan atau jenis tumbuh- tumbuhan dan kegempaan. Cara kuantitatif dilakukan dengan cara menghitung sudut lereng kritis dengan menghitung faktor keamanan suatu lereng.

”Vulnerability (susceptibility) is the physical traits or physical characteristics of condition a region prone to such disasters. The term

(10)

commit to user

vulnerability is a stage before the disaster (pre-elevent phase) (Scheinerbauer and Ehrlich, 2004 in Thywissen, 2006: 191).”

Kerawanan longsorlahan adalah ciri-ciri fisik atau karakteristik fisik dari kondisi suatu wilayah yang rentan terhadap bencana tersebut. Istilah kerawanan adalah suatu tahapan sebelum terjadinya bencana (pre-elevent phase).

Sedangkan menurut Dibyosaputra (1992: 32-33) bahaya longsorlahan adalah longsorlahan yang dimungkinkan akan terjadi di waktu yang akan datang. Terdapat tujuh parameter yang dijadikan dasar untuk evaluasi tingkat kerawanan longsorlahan.

Dalam penelitian ini tingkat kerawanan longsorlahan ditentukan berdasarkan pengharkatan dari masing-masing parameter pengaruh tingkat kerawanan longsorlahan. Pengharkatan masing-masing parameter terdiri atas lima kelas menurut Sumantri (2004: 36) yaitu:

1) Nilai 1 menunjukkan parameter sangat mempengaruhi kelongsoran, 2) Nilai 2 menunjukkan parameter cukup mempengaruhi kelongsoran, 3) Nilai 3 menunjukkan parameter kurang mempengaruhi kelongsoran, 4) Nilai 4 menunjukkan parameter tidak mempengaruhi kelongsoran dan 5) Nilai 5 menunjukkan parameter sangat tidak mempengaruhi kelongsoran.

Pengharkatan didasarkan pada besarnya kontribusi atau pengaruh parameter terhadap tingkat kerawanan longsorlahan, jadi semakin besar kontribusi atau pengaruh parameter terhadap tingkat kerawanan longsorlahan, maka harkatnya semakin besar dan sebaliknya semakin kecil pengaruh parameter terhadap tingkat kerawanan longsorlahan, maka harkatnya semakin kecil.

Skala pengharkatan dilakukan pada parameter topografi, tingkat erosi, permeabilitas tanah, tekstur tanah, solum tanah, penutupan lahan, dan penggunaan lahan. Hasil pengharkatan setiap parameter kemudian dijumlahkan untuk kemudian dikelompokkan ke dalam tingkat kerawanan longsorlahan (Dibyosaputra, 1992: 33).

Perhitungan tingkat masing-masing kelas dalam tingkat kerawanan longsorlahan adalah sebagai berikut:

(11)

commit to user

a) Jumlah parameter pendukung longsorlahan adalah 7 b) Nilai terendah harkat adalah 1 dan nilai tertinggi adalah 5

dengan demikian maka, Keterangan :

Ki = Interval kelas longsorlahan Xt = Jumlah nilai tertinggi dari harkat Xr = Jumlah nilai terendah dari harkat k = Jumlah kelas kerawanan longsorlahan

Klasifikasi tingkat kerawanan longsorlahan diperoleh dari penjumlahan pengharkatan parameter, untuk jumlah harkat terendah termasuk kedalam klas kerawanan longsorlahan dengan tingkat kerawanan tertinggi dan sebaliknya untuk jumlah harkat tertinggi termasuk kedalam tingkat kerawanan terendah.

Klasifikasinya sebagai berikut:

1) Klas I = Merupakan blok yang mempunyai tingkat kerawanan paling tinggi atau klas I dalam potensi kelongsoran, untuk blok ini memerlukan tindakan pengelolaan yang paling intensif, kondisi pada blok ini mempunyai prosentasi penutupan lahan rendah (lahan gundul), mempunyai topografi curam (>30%).

2) Klas II = Merupakan blok yang mempunyai potensi kelongsoran klas II, dalam blok ini mempunyai topografi miring (15% - 30%), tidak ada penutupan lahan dan merupakan lahan bekas tebangan.

3) Klas III = Merupakan blok yang mempunyai bahaya tingkat kelongsoran cukup tinggi atau klas III, dalam blok ini mempunyai topografi bergunung (>30%), mempunyai tingkat penutupan lahan sedang.

4) Klas IV = Merupakan blok yang mempunyai bahaya kelongsoran sedang atau klas IV yaitu blok yang mempunyai prosentasi topografi >30% dan mempunyai tingkat penutupan vegetasi tinggi.

Ki = Xt - Xr k

(12)

commit to user

5) Klas V = Merupakan blok yang mempunyai bahaya kelongsoran rendah atau klas V yaitu blok yang mempunyai tingkat penutupan lahan sangat tinggi dengan topografi 15% - 30%.

6) Klas VI = Merupakan blok yang mempunyai potensi kelongsoran sangat rendah, mempunyai kemiringan 15%, penutupan vegetasi rapat dan permanen.

7) Klas VII = Merupakan lahan yang tidak berpotensi terhadap kelongsoran, lahan ini mempunyai kemiringan 0% - 15% dan tingkat kerapatan vegetasi rendah.

Langkah selanjutnya yaitu menentukan Prioritas Pengelolaan Lahan dengan persamaan Nurwikian Puswardani dalam Sumantri (2004: 40). Prioritas Pengelolaan Lahan (PPL) diperlukan dalam pengambilan kebijakan pemanfaatan lingkungan khususnya pada daerah-daerah rawan longsorlahan untuk mengurangi tingkat risiko longsorlahan baik secara fisik maupun sosial.

Penentuan skor klas Prioritas Pengelolaan Lahan (PPL) menggunakan persamaan Subagyo (1986: 8) melalui tahap-tahap sebagai berikut:

(a) Menentukan Kelas. Dalam menentukan jumlah kelas ini bebas sesuai dengan kebutuhan dan banyak sedikitnya penyebaran data (Subagyo, 1986: 6).

(b) Menetukan Range. Range adalah jarak antara data terkecil sampai dengan data terbesar atau sama dengan selisih data terkecil dengan data terbesar (Subagyo, 1986: 8).

(c) Menentukan Interval Kelas. Interval kelas dapat dihitung dengan range dibagi jumlah kelas (Subagyo, 1986: 8).

(d) Menentukan Skor Kelas. Dalam menentukan kelas semua data harus bisa masuk. Data terkecil harus bisa masuk kelas pertama dan data terbesar juga bisa masuk kelas terakhir (Subagyo, 1986: 8).

Penentuan kelas Prioritas Pengelolaan Lahan (PPL) nilai total harkat yang diperoleh dari penjumlahan harkat parameter dikalikan nilai penalaran Sumantri sebagai berikut:

(13)

commit to user keterangan :

PPL = Prioritas Pengelolaan Lahan

3T = Merupakan faktor lereng yang memiliki pengaruh besar terhadap tingkat prioritas pemeliharaan lahan sebab makin curam lereng maka bahaya kelongsoran akan lebih besar daripada kemiringan yang datar atau landai sehingga disini dinilai dengan angka maksimal yaitu 3.

2R = Merupakan faktor relief hal ini sangat tergantung pada fisiografi setempat, fisiogafi berbukit atau bergunung akan mempunyai potensi kelongsoran tinggi dibandingkan dengan fisiografi datar, sehingga dinilai lebih rendah yaitu 2.

2JV = Merupakan faktor jenis vegetasi faktor ini mempunyai kaitan dengan longsorlahan sebab jenis vegetasi tanaman keras mempunyai perakaran tunggang dan luas sehingga akan lebih menahan dapat menahan kelongsoran dibandingkan vegetasi rumput-rumputan yang mempunyai perakaran kecil dan serabut sehingga di sini diberi nilai 2.

2TT = Merupakan faktor tekstur tanah untuk tekstur pasir lebih mudah meloloskan air daripada tekstur lempungan. Hal ini berakibat tekstur pasir mudah membuat tanah jenuh dan mengalami pergeseran. Untuk tekstur tanah mempengaruhi tingkat kelongsoran lebih rendah dari topografi dan diberi nilai 2.

2E = Merupakan faktor erosi pada daerah penelitian dapat dibuat prediksi bahaya kelongsoran, erosi permukaan lebih rendah dalam penyebab kelongsoran daripada erosi parit sehingga diberi nilai 2.

3PL = Merupakan faktor penutupan lahan, faktor ini sangat mempengaruhi potensi kelongsoran sebab penutupan lahan akan mengontrol limpasan air permukaan sehingga diberi nilai 3.

3PT = Merupakan faktor penutupan tanah, faktor ini sangat mempengaruhi kelongsoran sebab penutupan tanah akan mengontrol limpasan air permukaan, sehingga diberi nilai 3.

3CH = Merupakan faktor curah hujan, faktor ini merupakan faktor penting dalam potensi kelongsoran dengan curah hujan tinggi tanah akan cepat jenuh dan menyebabkan potensi longsor tinggi sehingga diberi nilai 3.

Bilangan pada nilai harkat di atas berbeda-beda, hal ini didasarkan pada penalaran yang dilakukan oleh Sumantri. Nilainya berkisar antara 1 sampai dengan 3, untuk nilai 3 sangat mempengaruhi, nilai 2 cukup mempengaruhi dan untuk nilai 1 tidak mempengaruhi.

Penentuan klas PPL dilakukan berdasarkan pertimbangan pengaruh parameter kelongsoran di daerah penelitian sebagai berikut:

PPL= 3*T+2*R+2*JV+2*TT+2*E+1*PL+3*PT+3*CH

(14)

commit to user

Klasifikasi tingkat kerawanan longsorlahan menurut Sumantri (2004: 40) sebagai berikut:

(a) Klas A = Daerah yang memerlukan tindakan pengelolaan yang paling intensif, kondisi pada blok ini mempunyai persentase penutupan lahan rendah (lahan gundul), mempunyai topografi sangat curam (>21%) sehingga diperlukan masukan pengelolaan sangat tinggi.

(b) Klas B = Merupakan daerah yang mempunyai topografi curam (14% - 20%), tidak ada penutupan lahan dan merupakan lahan bekas tebangan, diperlukan pengelolaan dengan masukan yang tinggi.

(c) Klas C = Merupakan daerah yang mempunyai topografi sangat curam (>21%), mempunyai tingkat penutupan lahan sedang dan diperlukan masukan pengelolaan cukup tinggi.

(d) Klas D = Merupakan daerah yang mempunyai persentase topografi >21%

dan mempunyai tingkat penutupan vegetasi tinggi, sehingga perlu dilakukan pengelolaan dengan masukan sedang.

(e) Klas E = Merupakan daerah yang mempunyai tingkat penutupan lahan sangat tinggi dengan topografi 14% - 20% sehingga diperlukan pengelolaan yang berupa masukan rendah.

(f) Klas F = Merupakan daerah yang mempunyai kemiringan 14%, penutupan vegetasi rapat dan permanen, diperlukan pengelolaan dengan masukan sangat rendah.

(g) Klas G = Merupakan lahan yang mempunyai kemiringan 0% - 14% dan tingkat kerapatan vegetasi rendah. Blok ini tidak perlu dilakukan pengelolaan yang perlu dilakukan ialah menjaga keadaannya tidak diganggu.

d. Mitigasi Bencana

Menurut Surono dalam Pusat Vulknologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2008: 21) mitigasi adalah upaya atau langkah-langkah memperkecil dampak bencana.

(15)

commit to user

Mitigasi bencana longsorlahan adalah suatu usaha memperkecil jatuhnya korban manusia dan atau kerugian harta benda akibat peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan oleh keduanya yang mengakibatkan jatuhnya korban, penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat (Lili Somantri, 2010: 4).

Disaster mitigation is the main starting point of disaster management.

Disaster mitigation as a collection of activities that reduce the risk (reduce the level of vulnerability and danger) of the disaster. In mitigation, can generally be grouped into structural mitigation (efforts related to engineering) and non-structural mitigation (non-physical).

Community participation in disaster mitigation should be implemented as much as possible avalanches through community empowerment that leads to community-based landslide disaster management (Kuswaji Dwi P, 2006: 175).

Mitigasi bencana dapat dilakukan berdasarkan pada tipologi lereng dan hujan pemicu terjadinya longsor tanah. Hal ini dapat terjadi mengingat kondisi lereng yang kemiringannya melampaui 20º (40%) umumnya potensi untuk bergerak atau longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut.

Keberadaan Undang – Undang Republik Indonesia No.24/2007; Undang - Undang No.26/2007 tentang penanggulangan bencana dan penataan ruang telah mengubah pola pikir mitigasi bencana dari penanganan bencana menjadi penanggulangan bencana yang menitikberatkan pada upaya-upaya sebelum terjadi bencana longsorlahan. Penanggulangan bencana tidak hanya berorientasi pada saat tanggap darurat, melainkan dilakukan sebelum (pra bencana), pada saat terjadi bencana dan setelah (pasca bencana). Penataan ruang dan wilayah yang memperhatikan aspek kebencanaan seperti ini sangat tepat diterapkan dalam rangka mengurangi bencana. Kegiatan yang dilakukan pra bencana bisa

(16)

commit to user

berupa pembuatan peta kerawanan longsorlahan, pemantauan tanah longsorlahan, atau penyebaran informasi daerah rawan bencana longsorlahan ke daerah. Pada saat terjadi bencana dilakukan pengiriman tim tanggap darurat untuk melakukan penyelidikan daerah bencana dan memberikan rekomendasi teknis penanggulangan bencana longsorlahan kepada pemerintah daerah dan instansi setempat.

Setelah daerah rawan longsor diketahui lokasinya melalui hasil pemetaan serta telah teridentifikasi dan terinventarisasi tingkat kerawanannya maupun faktor penyebabnya maka akan menjadi lebih mudah dalam upaya pengelolaannya. Secara rinci metode konservasi yang dilakukan untuk meminimalisir longsorlahan di Kecamatan Karangsambung dijabarkan sebagai berikut (Arsyad, 1989: 112) :

a. Metode Vegetatif

Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa- sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan longsor. Metode vegetatif bertujuan untuk : melindungi tanah terhadap daya perusak butir – butir hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak terhadap aliran air di atas permukaan tanah, dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Upaya pengendalian longsor secara vegetatif menurut Dwiatmo (1985: 4) diarahkan untuk :

1) Menanami kembali lahan kosong. Lahan kosong yang terpukul oleh titik hujan di permukaan, segera diusahakan penutupannya dengan penanaman kembali jenis – jenis tanaman yang cepat tumbuh “quick growing species” misalnya; Colopogonium, Crotalaria, Flemingia congesta, Accasia vilosa, Leuceuna, Stylosantus, dan Rumput gajah.

2) Mengatur sistem penanaman (crop management) dimaksudkan agar tanaman dapat : menahan erosi permukaan yaitu dengan penanaman urut kontur (contour cropping), memberikan penutup ganda kepada

(17)

commit to user

permukaan tanah dan memberikan penutup yang terus menerus (continue) yaitu dengan tumpangsari atau multiple cropping, memberikan suplisi hara yang habis terpakai oleh tanaman yaitu dengan tumpang gilir atau crop rotation, dan memberikan pertahanan yang berlapis terhadap run-off yaitu dengan penanaman berstrip (strip cropping).

3) Membuat penghalang dengan tanaman. Penghalang dapat berupa : a) Penghalang rumput (grass barier )yaitu tanaman rumput yang

ditanam dalam barisan/larikan biasanya dengan lebar 50 cm, sejajar kontur. Rumput (rumput gajah, setara rumput BB dan rumput BD)ditanam merata sehingga dapat menahan dan menghalangi aliran run-off dan endapan partikel – partikel tanah yang diangkutnya.

b)

Penghalang tanaman perdu/semak ditanam sejajar dengan kontur.

Jenis tanaman yang sering digunakan adalah Watapana (Accasia villosa) dan Lamtoro (Leuceuna).

4) Memacu pertumbuhan tanaman dengan pupuk organis maupun anorganis sehingga dapat cepat berfungsi sebagai penutup lahan (cover crop) yang dapat mengendalikan run-off dan erosi.

5) Pengolahan tanah minimum (minimum tillage) yaitu mengurangi pengolahan tanah yang menyebabkan dispersi agregat tanah. Misalnya penggemburan, proses pengolahan ini justru terjadi pada musim hujan pada saat erosivitas tinggi.

b. Metode Teknik

Metode teknik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah.

Metode mekanik bertujuan untuk : memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, memperbaiki dan memperbesar infiltrasi ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, dan penyediaan air bagi tanaman.

(18)

commit to user

Menurut Dwiatmo (1985: 8) metode mekanik dapat diartikan sebagai metode teknik sipil. Agar tujuan metode ini dapat tercapai maka upaya pengendalian erosi atau konservasi tanah dapat dicapai dengan jalan :

1) Pembuatan Teras. Teras adalah bangunan konservasi tanah yang terbentuk saluran, guludan atau kombinasi keduanya yang dibuat sejajar dengan garis kontur (SCSA, 1978 ) dalam Dwiatmo (1985: 9).

Bangunan teras dibedakan menjadi lima, yaitu :

a) Teras Saluran. Teras ini berbentuk saluran, dibuat khusus ataupun sambil mengerjakan lahan. Dalam dan lebarnya dibuat 30 cm meskipun sebenarnya harus disesuaikan dengan jumlah air yang ditampung dari daerah di atasnya. Sebagaimana dijelaskan dalam gambar 2.5. berikut ini.

Gambar 2.5. Sketsa Bangunan Teras Saluran (Dwiatmo, 1985: 10) Jarak antar teras disesuaikan dengan derajat kemiringan, intensitas hujan dan ukuran saluran yaitu antara 5 – 10 meter. Agar air di dalam saluran dapat tersalur ke saluran pembuangan, maka dasar saluran dibuat miring ke saluran pembuangan dengan gradien 1 permil hingga 1 persen.

b) Teras Guludan. Teras guludan pada dasarnya berfungsi seperti teras saluran tetapi bentuk penangkapannya berupa guludan atau anggelan. Guludan dapat dibuat dari tanah, batu, ataupun sisa-sisa tanaman. Lebar dan tinggi guludan sama kurang lebih 30 cm atau disesuaikan dengan banyaknya air run-off yang ditampung seperti halnya teras saluran. Lebih jelasnya perhatikan gambar 2.6. di bawah ini :

(19)

commit to user

Gambar 2.6. Sketsa Bangunan Teras Guludan (Dwiatmo, 1985: 11) c) Teras Kredit. Teras kredit merupakan gabungan antara saluran dan

guludan menjadi satu. Gabungan ini dimaksudkan untuk memperbesar daya tampung air dan endapannya. Dengan menggabungkan kedua jenis teras saluran dan guludan, maka daya tampung air menjadi dua kali lebih besar, sedang pengendapannya juga lebih besar. Dari sini teras disebut teras kredit. Lebih jelasnya perhatikan gambar 2.7.

d) Teras Bangku (bench terrace). Teras bangku terdiri dari saluran dan guludan, tetapi letak saluran dan guludan dibuat terpisah oleh bidang tanaman semusim. Bidang olah dibuat miring ke belakang (ke hulu) agar air run-off mengalir menuju ke bidang tanah asli, bukan ke tanah urugan sehingga tidak mudah longsor. Seperti dijelaskan dalam gambar 2.8. halaman 49.

Gambar 2.7. Sketsa Bangunan Teras Kredit (Dwiatmo (1985: 11

Gambar 2.8. Sketsa Bangunan Teras Bangku (Dwiatmo, 1985: 12)

(20)

commit to user

Teras bangku dibuat pada lahan miring di lahan kering untuk tanaman semusim. Sebaiknya teras bangku dibuat pada lahan yang tidak terlalu curam yaitu di bawah 45%. Karena pada lahan yang curam ada kemungkinan penggalian akan mengenai/sampai lahan yang padas yaitu batuan induk. Akibatnya lahan urugan hasil galian akan tertumpuk pada lahan keras yang impermiable. Bila hujan turun air yang meresap ke dalam tanah akan tetap berada di atas lapisan impermeable, dan dapat berfungsi sebagai agen atau media peluncur yang menyebabkan tanah longsor (landslide), longsorlahan sering terjadi pula pada lahan dengan teras bangku yang dialiri untuk persawahan. Maka letak saluran harus diperhatikan seperti gambar 2.9. di bawah ini.

Gambar 2.9. Letak Saluran Pembuangan Pada Teras Bangku (Dwiatmo, 1985: 13)

e) Teras Datar. Pada dasarnya sama dengan teras bangku tetapi bidang olahnya dibuat datar sebagai bidang olah untuk tujuan penggenangan tanaman padi, maka hindari pembuatan teras datar untuk sawah di lahan yang curam, karena kemungkinan terjadi longsoran tanah.

Gambar 2.10. Sketsa Bangunan Teras Datar (Dwiatmo,1985: 13) 2) Pembuatan saluran – saluran pembuangan dibuat dengan arah tegak lurus

kontur agar kecepatan (velositas) alirannya tinggi. Pada hamparan yang telah diteras, kelebihan air dialirkan ke saluran pembuangan melalui saluran peresapan teras seperti dalam gambar 2.11.

(21)

commit to user

Gambar 2.11. Sketsa Pembuatan Saluran Pembuangan (Dwiatmo 1985: 14)

3) Pembuatan bangunan terjunan dibangun pada saluran yang mempunyai kemiringan (slope, gradien, heling) besar, sehingga mempunyai kecepatan besar. Dengan bangunan terjunan ini maka kecepatan dapat diatur sampai batas yang aman, tidak mengerosi.

4) Pembuatan dam pengendali. Dam pengendali dibangun pada alur sungai untuk menampung air dan hasil – hasil erosi yang diangkutnya dari daerah hulu. Bangunan dam Pengendali dikenal dengan dua macam tipe yaitu :

(1) Dam pengendali tipe urugan tanah dengan kedap air. Tipe dam pengendali ini seperti dalam gambar sebagai berikut:

Gambar 2.12. Penampang Melintang Dam Pengendali (Dwiatmo, 1985: 15)

(2) Dam pengendali tipe urugan tanah homogin. Pada dasarnya tipe ini sama dengan tipe urugan dengan kedap air, hanya tidak memakai lapisan kedap air. Tubuh bendung akan berfungsi sebagai kedap air.

(3) Pembuatan dam penahan. Dam penahan tidak dapat menahan air tetapi hanya menahan hasil – hasil erosi daerah hulunya.

(4) Pembuatan trucuk dan riprap untuk mengendalikan erosi tebing sungai atau jurang-jurang kecil ataupun erosi permukaan.

(5) Pembuatan bangunan pengendali jurang dengan pembuatan bangunan gully, plug, gully drop, atau lainya. Di atas jurang dibuat

(22)

commit to user

saluran pengelak (divertion ditch) untuk mengalirkan air ke tempat yang lebih aman.

e. Satuan Lahan

Satuan lahan merupakan kelompok lokasi yang berhubungan yang mempunyai bentuk lahan tertentu di dalam sistem lahan dan seluruh satuan lahan yang sama yang tersebar akan mempunyai asosiasi lokasi yang sama pula (Sitorus, 1998: 93).

Menurut Widiatmaka (2007: 20) satuan peta lahan (Land Mapping Unit) adalah kelompok lahan yang mempunyai sifat-sifat yang sama atau hampir sama, yang penyebarannya digambarkan dalam peta sebagai hasil dari suatu survei sumberdaya alam (seperti survei tanah, inventarisasi hutan dan sebagainya).

Berdasarkan dua pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa satuan lahan adalah kelompok lahan yang mempunyai sifat-sifat yang saling berhubungan dan hampir sama serta mempunyai asosiasi lokasi yang sama.

Dalam penelitian ini satuan lahan berperan sebagai satuan analisis.

Satuan lahan merupakan tumpangsusun (overlay) dari data penggunaan lahan, data tanah, data lereng, dan data geologi untuk mengetahui keterkaitan antara keempat data. Setiap satuan lahan dilakukan pengenalan sifat morfologi tanah dan karakteristik lingkungan fisik dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data-data tersebut meliputi jenis tanah, formasi batuan, kemiringan lereng, pengolahan lahan, solum tanah, tingkat erosi, jenis vegetasi, tipe longsorlahan, material longsor, batas wilayah, luas wilayah, jumlah penduduk, kejadian longsorlahan, data geologi dan data curah hujan pada setiap satuan lahan.

(23)

commit to user Gambar 2.13. Diagram Satuan Lahan

f. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tool) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam.

Menurut Prahasta (2009: 4) SIG adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial.

Dalam penelitian ini Sistem Informasi Geografi berperan sebagai alat untuk menganalisis, memanipulasi data-data yang telah dikumpulkan yang kemudian akan mengeluarkan hasil akhir (Output) berupa peta-peta tematik sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis yang digunakan adalah fungsi klasifikasi penumpangsusunan (overlay) beberapa peta tematik karakteristik lahan daerah penelitian sehingga akan menjadi peta satuan lahan yang selanjutnya akan dijadikan sebagai peta tentatif. Fungsi klasifikasi dalam SIG berusaha mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu (Prahasta, 2009:

73).

Adapun alasan mengapa konsep-konsep beserta aplikasi-aplikasinya menjadi menarik untuk digunakan, diantaranya adalah : (Prahasta, 2009: 6 )

Satuan lahan

Penggunaan lahan (Sawah)

Lereng (Kelas IV) Jenis tanah (Latosol)

Formasi Batuan (Teok) Teok – IV – La – Sw

(24)

commit to user

a. SIG sangat efektif dalam membantu proses-proses pembentukan, pengembangan, atau perbaikan peta mental yang telah dimiliki oleh setiap orang yang menggunakannya (selama hidupnya) dan selalu berdampingan dengan lingkungan fisik dunia nyata yang penuh dengan kesan-kesan visual.

b. SIG dapat digunakan sebagai alat bantu (baik sebagai tool maupun tutorial) utama yang interaktif, menarik dan menantang di dalam usaha-usaha meningkatkan pemahaman, pengertian, pembelajaran dan pendidikan (mulai dari usia sekolah hingga dewasa) mengenai ide-ide atau konsep-konsep lokasi, ruang (Spatial), kependudukan dan unsur-unsur geografis yang terdapat di permukaan bumi berikut data-data atribut terkait yang menyertainya.

c. SIG menggunakan baik data spasial maupun atribut terintegrasi hingga sistemnya dapat menjawab baik pertanyaan spasial (berikut pemodelannya) maupun non-spasial memiliki kemampuan analisis spasial dan non-spasial dan sebagainya.

Prahasta (2009: 1) mengemukakan, ArcView merupakan salah satu perangkat lunak desktop dengan system informasi geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI (Enviromental System Researh Institute,inc).

Dengan ArcView, pengguna dapat memiliki kemampuan–kemampuan untuk melakukan visualisasi, mengeksplore, seleksi data, menganalisis data secara geografis dan sebagainya. Kemampuan- kemampuan perangkat SIG ArcView ini secara umum adalah sebagai berikut:

1) Pertukaran data; membaca dan menuliskan data dari dan kedalam format perangkat lunak SIG lainnya.

2) elakukan analisis statistik dan operasi-operasi matematis.

3) Menampilkan informasi (basisdata) spasial maupun atribut dan menjawab Query spasial maupun atribut.

4) Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG dan membuat peta tematik.

5) Melakukan fungsi-fungsi SIG khusus lainnya dengan menggunakan ekstension pendukung perangkat lunak ArcView, dan sebagainya.

(25)

commit to user 2. Penelitian yang Relevan

Sumantri (2004) melakukan penelitian dengan judul Potensi Bencana Tanah Longsor di Daerah Bagian Hulu Sungai Selondo dan Nglarangan Desa Ngrayudan Kecamatan Jogorogo Kabupaten Ngawi. Meneliti tentang Potensi Bencana Tanah Longsor di Daerah Bagian Hulu Sungai Selondo dan Nglarangan Desa Ngrayudan Kecamatan Jogorogo Kabupaten Ngawi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memicu timbulnya tanah longsor di Daerah Ngrayudan Kecamatan Jogorogo dan untuk mengetahui tingkat kelongsoran daerah tangkapan air Sungai Selondo dan Nglarangan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei lapangan.dan analisis data primer dan sekunder. Metode ini digunakan untuk memperoleh data sifat fisik tanah, kemiringan lereng dan jenis penggunaan lahan serta prosentase penutupan lahan.

Hasil yang diperoleh yaitu: (1) Faktor yang menimbulkan bencana tanah longsor terdiri dari : (a) sosial ekonomi masyarakat tergolong rendah yang mendorong penggunaan sumberdaya alam (hutan dan tanah) secara besar- besaran untuk memenuhi kebutuhan, (b) tanah daerah penelitian termasuk Andisol mempunyai kemiringan >30% dengan kandungan debu dan pasir tinggi sehingga akan mudah meloloskan air, serta mempunyai batuan induk yang merupakan batuan abu vulkan sebagai bidang gelincir sehingga bersifat impermeabel, (c) populasi vegetasi yang rusak akibat penebangan hutan pinus sehingga terjadi infiltrasi air hujan ke dalam tanah secara besar-besaran, (d) besarnya curah hujan daerah setempat yang tergolong tinggi hal ini mengakibatkan banyak air hujan yang jatuh ke tanah. (2) Daerah Hulu Sungai Selondo dan Nglarangan berpotensi terjadi tanah longsor dengan tingkat kerawanan berbeda-beda antar bagian/blok. Hal tersebut sesuai dengan faktor yang mempengaruhi potensi kelongsoran di setiap bagian/blok, lebih jelas sebagai berikut: (a) Potensi kelongsoran tingkat I terjadi di blok 2 dan 7, blok ini mempunyai kemiringan lereng >30% tanpa vegetasi pokok (bekas tebangan) penutupan tanah sangat rendah, blok 2 jenis tanahnya Vitrik Haplustand dan

(26)

commit to user

blok 7 jenis tanahnya Lithik Haplustands, (b) Potensi kelongsoran tingkat II terjadi di blok 3, kemiringan lereng 15-30% tanpa vegetasi pokok (bekas tebangan), penutupan tanah sangat rendah, jenis tanah Vitrik Haplustand, (c) Potensi kelongsoran tingkat III, terjadi di blok 5 blok ini mempunyai kemiringan lereng >30% , vegetasi pinus bercampur semak dengan jarak tanam pinus acak, penutupan tanah sedang dengan jenis tanah Lithik Haplustands, (d) Potensi kelongsoran tingkat IV terjadi di blok 6, blok ini memiliki kemiringan lereng >30%, merupakan hutan heterogen dengan penutupan tanah tinggi dengan jenis tanah Lithik Haplustands, (e) Potensi kelongsoran tingkat V terjadi di blok 4, memiliki kemiringan lereng 15-30% merupakan hutan pinus sebagian terbakar dengan kerapatan sedang, jenis tanah Vitrik Haplustands, (f) Potensi kelongsoran tingkat VI terjadi di blok 1 dengan kemiringan lereng 15%, vegetasi hutan pinus dengan kerapatan tinggi dan jenis tanah Vitrik Haplustands.

Deny Asih Maulina (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali.

Meneliti tentang kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo, dengan tujuan untuk mengetahui tipe longsorlahan dan agihan tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo.

Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Gejala yang diamati dalam penelitian ini adalah kondisi geologi, curah hujan, kemiringan lereng, tingkat erosi, permeabilitas tanah, tekstur tanah dan penggunaan lahan.

Penelitian dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga akan diketahui keadaan yang akan datang dengan kondisi tanpa perubahan dan tindakan apa yang seyogyanya diambil untuk mengantisipasi terjadinya longsorlahan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Tipe longsorlahan di Kecamatan Cepogo terdiri dari dua tipe yaitu nendatan tanah (slump) dan tipe runtuhan material campuran (debris fall), (2) Tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo terdiri dari tiga klas kerawanan dengan agihan sebagai berikut : (a) Klas I merupakan klas yang paling tinggi

(27)

commit to user

berpotensi rawan longsorlahan mempunyai luas daerah kerawanan 1.386,76 Ha atau 25,43% dari luas seluruh daerah penelitian. (b) Klas II merupakan klas yang tinggi berpotensi rawan longsorlahan mempunyai luas 3.360,39 Ha atau 61,63% dari luas seluruh daerah penelitian. (c) Klas III merupakan klas yang cukup tinggi berpotensi rawan terhadap longsorlahan. Mempunyai luas daerah kerawanan 641 Ha atau 11,76% dari luas seluruh daerah penelitian.

Intan Fatmasari (2010) melakukan penelitian dengan judul Tingkat Risiko Longsor dan Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu Hulu Kabupaten Pacitan dan Ponorogo Tahun 2009. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan karakteristik tipe longsor di DAS Grindulu hulu, mengetahui tingkat kerentanan dan risiko longsor di DAS Grindulu Hulu dan arahan konservasi lahan di DAS Grindulu Hulu.

Metode yang digunakan adalah deskriptif spasial. Populasi adalah seluruh satuan lahan yang ada di DAS Grindulu Hulu tersusun dari peta tanah, peta lereng, peta geologi, dan peta penggunaan lahan dengan jumlah 44 satuan lahan, sampel diambil dengan teknik sampel wilayah (area sampling). Teknik pengumpulan data diperoleh dengan observasi lapangan, dokumentasi, dan uji laboratorium. Teknik analisis data dengan cara scoring parameter penentu Tingkat Bahaya Longsor yang menghasilkan peta Tingkat Bahaya Longsor, tipe longsor dengan data dari lapangan dan melihat material longsor, kerentanan dengan data kepadatan penduduk yang dipetakan menjadi peta Kepadatan Penduduk kemudian di overlay dengan Tingkat Bahaya Longsor sehingga menghasilkan peta Tingkat Kerentanan Longsor, risiko dengan dengan mengkorelasikan antara hasil TBL dan Tingkat Kerentanan Longsor yaitu overlay peta Tingkat Bahaya Longsor dan peta Tingkat Kerentanan Longsor sehingga menghasilkan peta Tingkat Risiko Longsor, dan konservasi lahan dengan metode konservasi secara teknik dan vegetatif.

Hasil yang diperoleh adalah : (1) Tipe longsorlahan Nendatan berada pada morfologi bergelombang, yang terdapat pada kelas TBL rendah hingga sedang dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 5617,8 Ha. Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran berada pada morfologi bergelombang

(28)

commit to user

hingga berbukit, yang terdapat pada kelas TBL tinggi dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 2877,4 Ha. Tipe Longsoran Jatuhan Batu berada pada morfologi bergunung, yang terdapat pada kelas TBL sangat tinggi dan tersebar di 2 desa dengan luas keseluruhan 35,2 Ha. (2) Tingkat kerentanan tertinggi/

sangat rentan berada di Desa Gemaharjo dengan luas 492,3 Ha (30,1%) dan Tingkat kerentanan terendah/ tidak rentan berada di Desa Ploso dengan luas 839,9 Ha (18,3%). Sementara itu untuk tingkat risiko tertinggi berada Desa Gemaharjo dengan luas 699,5 Ha (40,9%) dan tingkat risiko terendah berada di Desa Ploso dengan luas 1378,6 Ha (33,9%). 3) Di DAS Grindulu Hulu terdapat 32 arahan konservasi lahan dengan 4 prioritas penanganan. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III memiliki luasan tertinggi yaitu 3197,7 Ha (42,6%) dan Arahan Konservasi Lahan pada Prioritas Penanganan II memiliki luasan terendah yaitu 462,9 Ha (6,1%).

Rizka Zaenur Rohmah (2013) melakukan penelitian dengan judul Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan dan Mitigasi Bencana di Kecamatan Karangsambung Kabupaten Kebumen Tahun 2013. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui tipe longsorlahan dan agihan tingkat kerawanan longsorlahan dan mitigasi bencana yang dilakukan akibat longsorlahan di Kecamatan Karangsambung.

Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan spasial.

Gejala yang diamati dalam penelitian ini adalah kondisi geologi, curah hujan, kemiringan lereng, tingkat erosi, permeabilitas tanah, tekstur tanah, kedalaman solum tanah, kedalaman pelapukan dan penggunaan lahan. Populasi adalah seluruh satuan lahan yang ada di Kecamatan Karangsambung tersusun dari peta tanah, peta lereng, peta geologi, dan peta penggunaan lahan dengan jumlah 26 satuan lahan, sampel diambil dengan teknik sampel purposif (purposif sampling). Teknik pengumpulan data diperoleh dengan observasi lapangan, dokumentasi, dan uji laboratorium. Teknik analisis data dengan cara scoring parameter penentu kerawanan longsorlahan yang menghasilkan peta Tingkat Kerawanan Longsorlahan, tipe longsor dengan data dari lapangan dan melihat

(29)

commit to user

material longsor, dan mitigasi bencana longsorlahan dengan metode teknik dan vegetatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Tipe longsorlahan di Kecamatan Karangsambung terdiri dari empat tipe yaitu jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), dan aliran (flows). (2) Tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Karangsambung terdiri dari dua klas kerawanan dengan agihan sebagai berikut: (a) Klas II merupakan klas yang tinggi berpotensi rawan longsorlahan mempunyai luas 3.290,92 Ha atau 42,14 % dari luas seluruh daerah penelitian dan (b) Klas III merupakan klas yang cukup tinggi berpotensi rawan terhadap longsorlahan. Mempunyai luas daerah kerawanan 4.518,22 Ha atau 57,86 % dari luas seluruh daerah penelitian. (3) Mitigasi bencana longsorlahan dilakukan baik secara teknik maupun secara vegetatif berdasarkan tipe longsorlahan meliputi jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), dan aliran (flows).

Ketiga penelitian yang relevan di atas untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.2.

(30)

commit to user Tabel 2.2. Penelitian yang Relevan

Peneliti Sumantri

(2004)

Deny Asih Maulina (2009)

Intan Fatmasari (2010)

Rizka Zaenur Rohmah (2013) Judul Potensi Bencana Tanah

Longsor di Daerah Bagian Hulu Sungai Selondo dan Nglarangan Desa Ngrayudan Kecamatan Jogorogo Kabupaten Ngawi

Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan di Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali

Tingkat Resiko Longsor dan Arahan Konservasi Lahan DAS Grindulu Hulu Kabupaten Pacitan dan Ponorogo Tahun 2009

Analisis Tingkat Kerawanan Longsorlahan dan Mitigasi Bencana di Kecamatan

Karangsambung Kabupaten Kebumen Tujuan  Mengetahui faktor-

faktor yang memicu timbulnya tanah longsor di Daerah Ngrayudan Kecamatan Jogorogo

 Mengetahui tingkat kelongsoran daerah tangkapan air Sungai

Selondo dan

Nglarangan.

 Mengetahui tipe longsorlahan yang terdapat di Kecamatan Cepogo

 Mengetahui agihan tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Cepogo

 Mengetahui Tingkat Bahaya Longsor (TBL) dan karakteristik tipe longsor di DAS Grindulu Hulu

 Mengetahui tingkat kerentanan dan resiko longsor di DAS Grindulu Hulu dan arahan konservasi lahan di DAS Grindulu Hulu

 Mengetahui tingkat kerawanan

longsorlahan dan agihannya di Kecamatan Karangsambung

 Mengetahui karakteristik tipe longsorlahan dan agihannya di Kecamatan Karangsambung

 Mengetahui mitigasi bencana yang dilakukan akibat longsorlahan di Kecamatan Karangsambung Metode

penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei lapangan dan analisis data primer dan sekunder.

Metode observasi lapangan dan analisis data primer dan sekunder

Metode deskriptif spasial Metode deskriptif dengan pendekatan spasial

Hasil penelitian

 Faktor yang

menimbulkan bencana tanah longsor terdiri dari : a. sosial ekonomi masyarakat tergolong rendah yang mendorong penggunaan

sumberdaya alam (hutan dan tanah) secara besar- besaran untuk

memenuhi kebutuhan, b.

tanah daerah penelitian termasuk Andisol mempunyai kemiringan

>30% sehingga akan mudah meloloskan air, mempunyai batuan induk abu vulkan sebagai bidang gelincir, c. populasi vegetasi yang rusak akibat

 Tipe longsorlahan di Kecamatan Cepogo terdiri dari dua tipe yaitu nendatan tanah (slump) dan tipe runtuhan material campuran (debris fall).

 Tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan Cepogo terdiri dari tiga klas kerawanan dengan agihan sebagai berikut : a) Klas I merupakan klas yang paling tinggi berpotensi rawan longsorlahan mempunyai luas daerah kerawanan 1.386,76 Ha atau 25,43% dari luas

 Tipe longsorlahan Nendatan berada pada morfologi bergelombang, yang terdapat pada kelas TBL rendah hingga sedang dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 5617,8 Ha.

Tipe Longsoran Runtuhan Material Campuran berada pada morfologi bergelombang hingga berbukit, yang terdapat pada kelas TBL tinggi dan tersebar di 8 desa dengan luas keseluruhan 2877,4 Ha.

Tipe Longsoran Jatuhan Batu berada pada morfologi bergunung, yang terdapat pada kelas

Tipe longsorlahan di Kecamatan

Karangsambung terdiri dari empat tipe yaitu jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), dan aliran (flows).

Tingkat kerawanan longsorlahan di Kecamatan

Karangsambung terdiri dari dua klas

kerawanan dengan agihan sebagai berikut (a) Klas II merupakan klas yang tinggi berpotensi rawan

(31)

commit to user

penebangan hutan pinus, d. besarnya curah hujan.

 Daerah Hulu Sungai Selondo dan Nglarangan berpotensi terjadi tanah longsor dengan tingkat kerawanan berbeda- beda antar bagian/blok.

Hal tersebut sesuai dengan faktor yang mempengaruhi potensi kelongsoran di setiap bagian/blok. Berikut klasifikasi potensi bencana tanah longsor di daerah penelitian: a.

Potensi kelongsoran tingkat I b. Potensi kelongsoran tingkat II c.

Potensi kelongsoran tingkat III, d. Potensi kelongsoran tingkat IV, e. Potensi kelongsoran tingkat V f. Potensi kelongsoran tingkat VI.

seluruh daerah penelitian. b) Klas II merupakan klas yang tinggi berpotensi rawan longsorlahan mempunyai luas 3.360,39 Ha atau 61,63% dari luas seluruh daerah penelitian. c) Klas III merupakan klas yang cukup tinggi

berpotensi rawan terhadap longsorlahan.

Mempunyai luas daerah kerawanan 641 Ha atau 11,76% dari luas seluruh daerah penelitian.

TBL sangat tinggi dan tersebar di 2 desa dengan luas keseluruhan 35,2 Ha.

 Tingkat kerentanan tertinggi/ sangat rentan berada di Desa

Gemaharjo dengan luas 492,3 Ha (30,1%) dan Tingkat kerentanan terendah/ tidak rentan berada di Desa Ploso dengan luas 839,9 Ha (18,3%). Sementara itu untuk tingkat risiko tertinggi berada Desa Gemaharjo dengan luas 699,5 Ha (40,9%) dan tingkat risiko terendah berada di Desa Ploso dengan luas 1378,6 Ha (33,9%). 3) Di DAS Grindulu Hulu terdapat 32 arahan konservasi lahan dengan 4 prioritas penanganan. Arahan Konservasi Lahan Pada Prioritas Penanganan III memiliki luasan tertinggi yaitu 3197,7 Ha (42,6%) dan Arahan Konservasi Lahan pada Prioritas Penanganan II memiliki luasan terendah yaitu 462,9 Ha (6,1%).

longsorlahan mempunyai luas 3.290,92 Ha atau 42,14

% dari luas seluruh daerah penelitian dan (b) Klas III merupakan klas yang cukup tinggi berpotensi rawan terhadap longsorlahan.

Mempunyai luas daerah kerawanan 4.518,22 Ha atau 57,86

% dari luas seluruh daerah penelitian.

Mitigasi bencana longsorlahan dilakukan baik secara teknik maupun secara vegetatif berdasarkan tipe longsorlahan meliputi jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), dan aliran (flows).

41

(32)

commit to user B. Kerangka Berpikir

Peristiwa longsorlahan merupakan pergerakan massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng yang bergerak ke bawah atau ke luar lereng dan merupakan proses alami. Proses tersebut disebabkan karena adanya gangguan keseimbangan lereng di daerah tersebut.

Manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup melakukan berbagai upaya, antara lain dengan memanfaatkan sumberdaya alam. Di dalam memanfaatkan sumberdaya alam, kadang-kadang harus ditempuh dengan kemungkinan adanya suatu risiko. Bencana alam longsorlahan merupakan salah satu risiko dari pemanfaatan sumberdaya alam yang sering terjadi di daerah pegunungan atau daerah perbukitan terjal. Pemenuhan kebutuhan akan lahan di daerah pegunungan atau perbukitan sering dilakukan dengan memanfaatkan daerah berlereng terjal dengan cara memotong tebing ataupun mengolah lereng yang terjal yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kemantapan lereng yang berarti memperbesar kemungkinan longsorlahan.

Berdasarkan material dan parameter yang mempengaruhinya, longsorlahan dapat dibagi menjadi jatuhan (falls), robohan (topples), longsoran (slides), sebaran (spreads), dan aliran (flows). Longsorlahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor dari dalam yang meliputi tebal solum tanah dan permeabilitas tanah, dan faktor dari luar yang meliputi kemiringan lereng, erosi, penggunaan lahan dan penutupan lahan. Faktor-faktor tersebut dapat berdiri sendiri ataupun dapat saling menunjang satu sama lainnya untuk memberikan kontribusi terhadap terjadinya longsorlahan.

Tingkat kerawanan longsorlahan diperoleh dengan pengharkatan dari tiap parameter atau faktor-faktor yang mempengaruhi longsorlahan, kemudian diklasifikasikan berdasarkan total skor dari tiap parameter parameter atau faktor- faktor yang mempengaruhi longsorlahan. Untuk mengetahui dengan jelas agihan masing-masing tingkat kerawanan longsor pada setiap satuan lahan dilakukan overlay peta geologi, peta topografi, peta penggunaan lahan, peta tanah dan

(33)

commit to user

parameter penentu kerawanan longsor menghasilkan peta tingkat kerawanan longsor.

Prioritas Pengelolaan Lahan sebagai masukan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan daerah rawan terhadap longsorlahan dengan pertimbangan pengaruh parameter yang sekaligus juga menjadi karakter fisik daerah penelitian.

Sehingga dari Prioritas Pengelolaan Lahan ini diharapkan dapat mengurangi risiko bahaya longsorlahan di daerah penelitian.

Mitigasi bencana dapat dilakukan berdasarkan pada tipologi lereng dan hujan pemicu terjadinya longsorlahan. Hal ini dapat terjadi mengingat kondisi lereng yang kemiringannya melampaui 20º (40%) umumnya potensi untuk bergerak atau longsor. Potensi terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lerengnya, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup, dan penggunaan lahan pada lereng tersebut.

Analisis tingkat kerawanan longsorlahan ini dapat digunakan untuk penyusunan sistem informasi penanggulangan bencana yang digunakan sebagai masukan bagi perencanaan dan pembangunan wilayah maupun penyempurnaan tataruang wilayah. Selain itu, sebagai masukan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan daerah rawan terhadap longsorlahan dengan pertimbangan pengaruh parameter yang sekaligus juga menjadi karakter fisik daerah penelitian. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsorlahan, gejala awal lereng akan bergerak, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan. Sistem peringatan dini yang efektif sebaiknya dibuat berdasarkan prediksi, bilamana dan dimana longsor akan terjadi juga tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat bencana datang. Sehingga diharapkan dapat meminimalkan dampak akibat bahaya longsorlahan di daerah penelitian. Lebih jelasnya disajikan pada Gambar 2.14 Diagram alur kerangka pemikiran.

(34)

commit to user

44

Keterangan

: Proses

: Data : Hasil

: Arah Kerja

Gambar 2.14. Diagram Alur Kerangka Pemikiran

Kecamatan Karangsambung

Faktor Penyebab Potensi Longsorlahan

Faktor Luar:

- Curah Hujan - Tingkat Erosi - Kemiringan Lereng - Penggunaan Lahan

Tipe Longsorlahan:

- Jatuhan (falls) - Robohan (topples) - Longsoran (slides)

- Sebaran/Rayapan (spreads) - Aliran (flows)

Faktor Dalam:

- Permeabilitas Tanah - Tekstur Tanah - Solum Tanah - Pelapukan Batuan

Agihan Tingkat Kerawanan Longsorlahan Tingkat Kerawanan

Longsorlahan

Arahan Mitigasi Bencana

44

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memahami resiliensi ekonomi rumah tangga petani dalam pengelolaan Ume Talang di Desa Lebung Gajah Kecamatan Tulung

Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa persepsi kemudahan berpengaruh negatif terhadap niat dalam melakukan pembayaran menggunakan metode Go-Pay pada aplikasi

Tingginya nilai MHD tersebut disebabkan oleh kepadatan penduduk Kota Surakarta yang paling tinggi dibanding kabupaten/kota lain di Jawa Tengah dan juga curah hujan dalam

Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami apa yang diperolehnya sehingga dapat menerangkan dan menjelaskan kembali serta memanfaatkan

pembelajaran probing promting sendiri akan diberikan kepada kelas eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol akan menggunakan model pembelajaran scramble. Dari jumlah

2) Koordinasi adalah kemampuan untuk mempersatukan ataupun memisahkan suatu tugas kerja yang kompleks. Dengan ketentuan bahwa gerakan koordinasi meliputi kesempurnaan

Pengalaman belajar dalam kegiatan discovery learning dilakukan melalui aktivitas penemuan dengan pemecahan masalah terkait materi pelajaran untuk menemukan konsep secara

Metode ceramah dan bertanya merupakan dasar dari semua metode pembelajaran lainnya. metode ceramah dan bertanya merupakan strategi dimana guru memberi presentasi