• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon Sp) DENGAN METODE OKSIDASI UNTUK PEMBUATAN EDIBLE FILM SKRIPSI OLEH : ANDI ALFIANI SYAMSUL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon Sp) DENGAN METODE OKSIDASI UNTUK PEMBUATAN EDIBLE FILM SKRIPSI OLEH : ANDI ALFIANI SYAMSUL"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

MODIFIKASI PATI SAGU (Metroxylon Sp) DENGAN METODE OKSIDASI UNTUK PEMBUATAN EDIBLE FILM

SKRIPSI

OLEH :

ANDI ALFIANI SYAMSUL 14 22 060 373

PROGRAM STUDI AGROINDUSTRI

JURUSAN TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP

2018

(2)
(3)
(4)

iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama Mahasiswa : Andi Alfiani Syamsul

Nim : 14 22 060 373

Program Studi : Agroindustri

Perguruan Tinggi : Politeknik Pertanian Negeri Pangkep

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tugas akhir yang saya tulis dengan judul “Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon Sp) dengan Metode Oksidai untuk Pembuatan Edible Film” merupakan hasil karya saya sendiri bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tugas akhir ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari tugas akhir saya kepada Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

Pangkep, Juli 2018 Yang menyatakan,

Andi Alfiani Syamsul

(5)

v SUMMARY

ANDI ALFIANI SYAMSUL. 14 22 060 373. Modified Sago Starch (Metroxylon Sp) by Oxidation Method for Edible Film Making. Guided by RETA and TASIR.

Oxidation reactions with hydrogen peroxide on sago starch can affect the proximate test value, physicochemical properties and edible film properties. The presence of hydrogen peroxide increases the physicochemical properties of sago starch so that the modified quality of sago starch is better than pure sago starch.

The purpose of this study was to process the modification of sago starch (Metroxylon Sp) by oxidation method in the manufacture of edible films, and to analyze the physical and chemical characteristics of modified sago starch with oxidation method in making edible films. This study consists of three stages, the first step is modification of sago starch with oxidation method with the formula of hydrogen peroxide for 1, 2, 3, and 4% which aims to obtain modified sago starch which is feasible to be the basic ingredient in making edible films. The second stage was modified sago starch analyzed with characteristics such as water content, ash content, protein content, fat content, swelling power, gelatinization temperature, and amylose content. The third stage is the making of edible films from the second stage of the research which produces modified sago starch best seen from the test parameters.

Characteristic test results show the best quality to be used as raw material for making edible films, namely oxidation modified sago starch with a concentration of 4%. The effect of oxidation by H2O2 on edible films results in changes in hydrophilic properties including contact angle. Pure sago starch edible film shows a smaller contact angle value. The hydrophilic nature of edible film decreases in the presence of hydrogen peroxide. The high hydrophobicity of modified sago starch films is caused by the role of carboxyl groups present in the molecular chain.

Keywords: oxidation, hydrogen peroxide, phycochemical properties, edible film, hydrophobicity.

(6)

vi RINGKASAN

ANDI ALFIANI SYAMSUL. 14 22 060 373. Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon Sp) Dengan Metode Oksidasi Untuk Pembuatan Edible Film. Dibimbing oleh RETA dan TASIR.

Reaksi oksidasi dengan hidrogen peroksida pada pati sagu dapat mempengaruhi nilai uji proksimat, sifat fisikokimia serta sifat edible film. Adanya hidrogen peroksida, meningkatkan sifat fisikokimia dari pati sagu sehingga kualitas pati sagu yang dimodifikasi lebih baik daripada pati sagu murni.

Tujuan penelitian ini adalah melakukan proses pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon Sp) dengan metode oksidasi dalam pembuatan edible film, dan menganalisis karakteristik fisik dan kimia pada pati sagu modifikasi dengan metode oksidasi dalam pembuatan edible film. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, langkah pertama adalah modifikasi pati sagu dengan metode oksidasi dengan formula hidrogen peroksida untuk 1, 2, 3, dan 4% yang bertujuan untuk mendapatkan pati sagu modifikasi yang layak untuk menjadi bahan dasar dalam pembuatan edible film. Tahap kedua adalah pati sagu modifikasi dianalisis dengan ciri-ciri seperti kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, swelling power, temperatur gelatinisasi, dan kadar amilosa. Tahap ketiga adalah pembuatan edible film dari tahap kedua penelitian yang menghasilkan pati sagu modifikasi paling baik dilihat dari uji parameter.

Hasil pengujian karakteristik menunjukkan mutu terbaik untuk dijadikan bahan baku pembuatan edible film yaitu pati sagu modifikasi oksidasi dengan konsentrasi 4%. Efek oksidasi oleh H2O2 pada edible film menghasilkan perubahan pada sifat hidrofilik termasuk contact angle. Edible film pati sagu murni menunjukkan nilai contact angle yang lebih kecil. Sifat hidrofilik dari edible film menurun dengan adanya hidrogen peroksida. Hidrofobisitas yang tinggi dari film pati sagu modifikasi disebabkan oleh peran gugus karboksil yang ada pada rantai molekul.

Kata kunci : oksidasi, hidrogen peroksida, sifat fikokimia, edible film, hidrofobisitas

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kahadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Modifikasi Pati Sagu (Metroxylon Sp) dengan Metode Oksidasi untuk Pembuatan Edible Film”.

Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada teladan kita pejuang padang pasir yang membawa umat manusia ke alam yang terang menerang yakni kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW, manusia panutan bagi seluruh umat manusia.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, ada banyak hambatan yang menjadi rel kehidupan bagi keberhasilan penulis. Pencapaian titik takdir terbaik manusia yang telah digariskan dari Allah SWT. Untuk itu, dukungan dari segala kalangan sangat dibutuhkan mulai dari kalangan keluarga hingga kalangan umum.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua, yaitu Ayahanda Andi Syamsul Yunus dan Ibunda Bau Nurdailah, kepada Dr. Reta, S.TP., M.Si selaku pembimbing 1 dan Bapak Ir. Tasir, M.Si selaku pembimbing 2 yang telah membimbing penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini, serta segenap keluarga tercinta yang telah memberikan bantuan moril maupun material sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, hanya doa dan bakti yang dapat penulis persembahkan kepada Ayahanda dan Ibunda serta segenap keluarga atas segala pengorbanannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Darmawan, M.P selaku Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.

2. Ir. Nurlaeli Fattah, M.Si selaku ketua jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

3. Zulfitriany Dwiyanti Mustaka, SP., MP selaku ketua Program Studi Agroindustri.

4. Ibu Dr. Dewi Sondari selaku pembimbing lapangan di Pusat Penelitian Kimia, Tanggerang Selatan.

5. Ibu Arnida Mustafa, S.TP., M..Si selaku penguji 1.

6. Ibu Rahmawati Saleh , S.Si., M.Si selaku penguji 2.

7. Seluruh staf dosen dan teknisi Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.

(8)

viii

8. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri pangkep khususnya Program Studi Agroindustri.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Pangkep, Juli 2018

Andi Alfiani Syamsul

(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI ... iii

SUMMARY ... iv

RINGKASAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pati Sagu ... 3

2.1.1. Klasifikasi Sagu ... 4

2.1.2. Kandungan Nutrisi Sagu ... 5

2.1.3. Khasiat dan Manfaat Sagu ... 5

2.2. Pati ... 6

2.3. Karakterisasi Bahan secara Fisiokimia ... 6

2.3.1. Kadar Air ... 6

2.3.2. Kadar Protein ... 8

2.3.3. Kadar Abu ... 8

2.3.4. Kadar Lemak ... 9

2.3.5. Swelling Power dan Indeks Kelarutan ... 9

(10)

x

2.3.6. Temperatur Gelatinisasi ... 11

2.3.7. Kadar Amilosa ... 11

2.3.8. Penentuan Gugus Karboksil ... 12

2.4. Modifikasi Oksidasi ... 12

2.5. Edible Film ... 13

2.6. Bahan Tambahan ... 14

2.6.1. Hidrogen Peroksida (H2O2)... 14

2.6.2. Gliserol ... 14

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 16

3.2. Bahan dan Alat ... 16

3.3. Metodologi Penelitian ... 16

3.3.1. Penelitian Pendahuluan ... 16

3.3.2. Penelitian Tahap Kedua ... 18

3.3.3. Penelitian Tahap Ketiga ... 21

3.3.4. Karakterisasi Edible Film ... 22

IV. HASIL dan PEMBAHASAN 4.1. Hasil Uji Proksimat dan Fisiokimia ... 24

4.2. Karakterisasi Edible Film ... 29

V. PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 31

5.2. Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 31 LAMPIRAN

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman Sagu (Metroxylon sagu R.) ... 4

2. Alur Proses Modifikasi Oksidasi ... 17

3. Reaksi Oksidasi pada Pati ... 18

4. Alur Proses Edible Film ... 22

5. Swelling Power dan Indeks Kelarutan ... 25

6. Temperatur Gelatinisasi ... 26

7. Kandungan Amilosa ... 26

8. Kandungan Gugus Karboksil ... 27

9. Reaksi Pati Sagu dan H2O2 ... 27

10. Pati Sagu Murni dan Modifikasi ... 29

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Klasifikasi Sagu (Metroxylon Sp) ... 5

2. Syarat Mutu Pati Sagu Murni Menurut SNI 01-3729-1995 ... 5

3. Hasil Uji Proksimat Sagu Murni dan Modifikasi ... 24

4. Sifat Gelatinisasi Pati Sagu Murni dan Modifikasi ... 28

5. Kandungan Air Edible Film Pati Sagu Murni dan Modifikasi ... 29

(13)

1 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pohon sagu banyak tumbuh di negara-negara tropis khususnya di Asia Tenggara seperti Indonesia dan Malaysia, sebagian Melanesia, Mi-cronesia dan beberapa daerah di South Amerika (Corbishley dan Miller, 1984). Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta Ha atau 51,3% dari 2.201 juta Ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea (43,3%). Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal seluas 1,5 dan 0,2% (Abner dan Miftahorrahman, 2002).

Daerah potensial penghasil sagu di Indonesia antara lain Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Diperkirakan 90% areal sagu Indonesia berada di Papua (Abner dan Miftahorrahman, 2002).

Pohon sagu dapat mencapai tinggi 9-15 m pada saat siap panen dengan umur kurang lebih 8-15 tahun tergantung dari spesiesnya. Untuk memproduksi patikomersial, pohon sagu yang berumur 8 tahun dapat dipanen. Secara liar tumbuh pada daerah rawa-rawa dan akan mati setelah selesai fase generatif (Corbishley dan Miller, 1984). Pada fase generatif ini sebagian besar pati akan dipergunakan untuk pembentukan bunga dan biji.

Pati merupakan biopolimer paling melimpah kedua setelah selulosa yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, dapat diperbaharui, dan tersedia di seluruh bagian dunia. Sagu merupakan salah satu dari beberapa tanaman tropis yang mengandung jumlah pati yang sangat banyak yang terdapat di bagian batangnya dengan kapasitas mencapai 300 kg dan produktivitasnya mencapai empat kali lipat lebih besar dibandingkan padi (Ehara., 2012).

Dari segi kualitas, pati sagu alami memiliki beberapa kekurangan seperti viskositas yang tidak konsisten atau profil pasta yang bervariasi, memiliki bau yang tidak umum, dan warna yang pudar. Keterbatasan dalam hal resistensi terhadap shear dan suhu rendah serta memiliki kecenderungan yang tinggi terhadap retrogradasi menjadi faktor pembatas dalam hal penerimaan konsumen serta pengaplikasiannya (Sandhu et al., 2008).

(14)

2 Untuk mengatasi keterbatasan dalam hal fungsional agar dapat diterima oleh konsumen, dilakukan modifikasi pati sagu dengan menggunakan H2O2 yang merupakan agen pengoksidasi. Oksidasi akan mengubah gugus hidroksil pada pati menjadi karboksil, oksidasi juga akan memecah ikatan glikosidik pada molekul pati. Pati termodifikasi dengan metode oksidasi digunakan secara luas di dalam industri pangan dan nonpangan di mana pembentukan film dan sifat adhesi diinginkan (Xiao et al., 2012).

Edible film merupakan pengemas yang bersifat renewable. Keuntungan suatu edible film antara lain dapat menghambat difusi oksigen dan uap air kedalam bahan dilapisi, menghambat pembusukan oleh mikroba dan keamanannya untuk dikonsumsi. Plasticizer diperlukan untuk pembentukan lapisan kontinyu yang elastis. Jenis plasticizer yang digunakan adalah gliserol (Saleh et al., 2017).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon Sp) dengan metode oksidasi dalam pembuatan edible film ?

2. Bagaimana menentukan karakteristik fisik dan kimia pada pati sagu modifikasi dengan metode oksidasi dalam pembuatan edible film ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah di atas maka tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Melakukan proses pembuatan modifikasi pati sagu (Metroxylon Sp) dengan metode oksidasi dalam pembuatan edible film.

2. Menganalisis karakteristik fisik dan kimia pada pati sagu modifikasi dengan metode oksidasi dalam pembuatan edible film.

(15)

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pati Sagu

Sagu (Metroxylon Sp) termasuk tumbuhan monokotil dari keluarga Palmae.

Terdapat empat marga palma yang kandungan patinya banyak dimanfaatkan, yaitu Metroxylon sp, Coripha sp, Euqeissona sp, dan Cariota sp. (Ruddle et al., 1978).

Batang sagu terdiri atas lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur atau isi sagu yang mengandung serat-serat dan pati. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm dan bagian tersebut di daerah Maluku sering digunakan sebagai bahan bangunan. Pohon sagu yang masih muda mempunyai kulit yang lebih tipis dibandingkan sagu dewasa (Haryanto dan Pangloli, 1992).

Metroxylon berasal dari bahasa latin yang terdiri atas dua kata, yaitu Metro/Metra dan Xylon. Metra berarti pith (isi batang atau empulur) dan Xylon berarti xylem. Kata sago atau sagu memiliki arti pati yang terkandung dalam batang palma sagu (Flach, 1997). Di Indonesia ada beberapa nama daerah untuk tanaman sagu seperti rumbia, kirai (Sunda), ambulung kersulu (Jawa), dan Lapia (Ambon). Warga Malaysia mengenal sagu dengan sebutan rumbia dan balau, lumbia (Philipina), thagu bin (Myanmar), saku (Kamboja), dan sakhu (Thailand), (Ruddle et al., 1976).

Sagu yang merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang potensial di Indonesia dapat digunakan untuk penganekaragaman pangan sesuai dengan INPRES No. 20 tahun 1979 (Haryanto dan Pangloli dalam Bintoro, 2008). Sagu merupakan sumber karbohidrat penting di Indonesia dan menempati urutan ke-4 setelah ubi kayu, jagung dan ubi jalar (Lestari et al., 2009).

Tanaman sagu memiliki kandungan jumlah pati yang cukup banyak. Jika dihitung jumlah pati yang dapat sagu hasilkan, maka akan terlihat perbandingan yang cukup besar antara jumlah pati yang dihasilkan oleh tanaman sagu satu hektar dengan tanaman jagung atau padi satu hektar. Pati yang terdapat dalam satu batang sagu berkisar 200-400 kg. Beberapa peneliti jepang menemukan pohon sagu yang mengandung pati 800-900 kg/batang sagu. pati sagu mengandung 84.7% karbohidrat yang terdiri atas 73% amilopektin dan 27% amilosa (Wiyono dan Silitonga dalam Bintoro, 2008).

(16)

4 Tanaman sagu dipanen ketika tanaman telah berbuah. Selama pembentukan buah berlangsung, masih ada beberapa daun fungsional dan proses akumulasi pati meskipun kecepatannya menurun. Bagian terendah batang menjadi hampir kosong, pati disimpan di batang yang lebih tinggi. Oleh karena itu, bagian paling bawah dari batang (50-100 cm) dari bawah disisakan. Waktu ini adalah waktu didapatkan produktifitas sagu paling tinggi dan juga rendemen tertinggi per unit pekerja (Flach 1997).

Gambar 1. Tanaman sagu (Metroxylon sagu R.)

2.1.1. Klasifikasi Sagu.

Berdasarkan penelitian dari Ruddle et.al ( 1978 ) kedudukan tanaman sagu mulai dari taksonomi, morfolologi dan klasifikasinya adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Klasifikasi Sagu

Kingdom Plantae (Tumbuhan)

Sub Kingdom Trachebionta (Tumbuhan berpebuluh)

Super devisi Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi Magniliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas Liliopsida (Berkeping satu/monokotil)

Sub kelas Arecidae

Ordo Arecales

Genus Metroxylon

Spesies Metroxylon sagu

(17)

5 2.1.2. Kandungan Nutrisi Sagu

Berdasarkan hasil SNI 01-3729-1995 syarat mutu pati sagu dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Syarat Mutu Pati Sagu Menurut SNI 01 – 3729 – 1995

No. Komponen Kandungan

1. Kadar air, % (b/b) Maks. 13

2. Kadar abu, % (b/b) Maks. 0,5

3. Kadar serat kasar, % (b/b) Maks. 0,1 4. Dearjat asam (ml NaOH 1 N/100 g) Maks. 4

5. Kadar SO2 (mg/kg) Maks. 30

6. Jenis pati lain selain pati sagu Tidak boleh ada 7. Kehalusan (lolos ayakan 100 mesh) % (b/b) Min. 95

8. Total Plate Count (koloni/g) Maks. 106 Sumber. SNI 01-3729-1995

Tinggi rendahnya suatu mutu ditentukan oleh banyak faktor mutu seperti ukuran, bentuk, warna, aroma, rasa, dan lainnya. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh konsumen dan produsen, maka perlu dikeluarkan standar mutu terhadap suatu barang karena pati sagu merupakan sumber karbohidrat yang penting dan diharapkan penggunaannya sebagai diversifikasi pola makanan.

Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai standar mutu pati sagu (Anonim, 2010) seperti terlihat pada Tabel 2.

2.1.3. Khasiat dan Manfaat Sagu

Saat ini pemasaran sagu masih terbatas pada pasar lokal bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Selain itu, bentuk sagu mentah dan panganan biasanya dipasarkan di depan rumah, dengan membuat warung kecil sebagai tempat berjualan sayur dan sagu serta hasil bumi lain seperti pisang. Peluang pemasaran sagu yang lebih luas di masa yang akan datang sangat prospek, mengingat sagu merupakan salah satu bahan pembuatan panganan khas Sulawesi yang dikenal yaitu “bagea”. Di samping itu, dengan dukungan teknologi ragam pemanfaatan sagu saat ini tidak terbatas hanya pada bahan pangan untuk manusia,

(18)

6 tetapi juga dapat diolah menjadi bahan baku pakan ternak dan ikan serta sumber energi bioetanol sebagai pengganti minyak bumi dan gas alam (Bintoro et al.,2010).

Selain itu mengonsumsi aneka makanan dari sagu, dalam bentuk olahan seperti snack, mie dan lain -lain dapat memberikan beberapa manfaat antara lain:

memberikan efek mengenyangkan tetapi tidak menyebabkan kegemukan, mencegah sembelit sehingga dapat mencegah terjadinya kanker usus,tidak cepat meningkatkan kadar glukosa dalam darah, sehingga dapat dikonsumsi oleh penderita diabetes (Soenardi dan Wulan, 2009).

2.2. Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik, yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi (Hill dan Kelley, 1942). Selain ukuran granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).

Umumnya pati mengandung 15 – 30% amilosa, 70 – 85% amilopektin dan 5 – 10% material antara. Struktur dan jenis material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa pati biji-bijian mengandung bahan antara yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati umbi (Greenwood, 1975).

2.3. Karakterisasi Bahan secara Fisiokimia 2.3.1. Kadar Air

Kadar air merupakan pemegang peranan penting, kecuali temperatur maka aktivitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara ketiganya.

Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air dimana air bebas yang dapat membantu berlangsungnya proses tersebut (Anonim, 2010).

(19)

7 Kadar air bahan menunjukkan banyaknya kandungan air persatuan bobot bahan. Dalam hal ini terdapat dua metode untuk menentukan kadar air bahan tersebut yaitu berdasarkan bobot kering (dry basis) dan berdasarkan bobot basah (wet basis). Dalam penentuan kadar air bahan pangan biasanya dilakukan berdasarkan bobot basah. Dalam perhitungan ini berlaku rumus sebagai berikut:

KA = (Wa / Wb) x 100% (Taib, 1988).

Teknologi pengawetan bahan pangan pada dasarnya adalah berada dalam dua alternatif yaitu yang pertama menghambat enzim-enzim dan aktivitas/pertumbuhan mikroba dengan menurunkan suhunya hingga dibawah titik beku 00C dan yang kedua adalah menurunkan kandungan air bahan pangan sehingga kurang/tidak memberi kesempatan untuk tumbuhnya mikroba dengan pengeringan kandungan air yang ada di dalam maupun di permukaan bahan pangan, hingga mencapai kondisi tertentu (Suharto, 1991).

Berdasarkan kadar air (bobot basah dan bobot kering) dan bahan basah maupun bahan setelah dikeringkan, dapat ditentukan rasio pengeringan (drying ratio) dari bahan yang dikeringkan tersebut. Besarnya “drying ratio“ dapat dihitung sebagai bobot bahan sebelum pengeringan per bobot bahan setelah pengeringan. Dapat dihitung dengan rumus: drying ratio = bobot bahan sebelum pengeringan/bobot bahan setelah pengeringan (Winarno, 1984).

Terdapat beberapa macam metode untuk menentukan kadar air dalam bahan makanan, tergantung pada sifat bahan yang akan di analisis. Penentuan kadar air bahan pangan. Penetapan kadar air bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan sejumlah sample dalam oven. Sifat dari metode analisa kadar air dengan menggunakan metode oven berdasarkan pada gravimetri, yaitu berdasarkan pada selisih berat sebelum pemanasan dan setelah pemanasan.

Sehingga sebelum dilakukan analisa, terlebih dahulu dilakukan penimbangan cawan yang akan dipergunakan untuk mengeringkan sample. Penimbangan dilakukan sampai berat cawan konstan, yaitu dengan memanaskan cawan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 1 jam (Anonim, 2011).

(20)

8 2.3.2. Kadar Protein

Protein adalah molekul yang sangat vital untuk organisme dan terdapat di semua sel yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor (Santoso 2008). Struktur & fungsi ditentukan oleh kombinasi, jumlah dan urutan asam amino sedangkan sifat fisik dan kimiawi dipengaruhi oleh asam amino penyusunnya (Page 1997). Kebanyakan protein merupakan enzim atau subunit enzim. Jenis protein lain berperan dalam fungsi struktural atau mekanis, seperti misalnya protein yang membentuk batang dan sendi sitoskeleton. Protein terlibat dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi, sistem kendali dalam bentuk hormon (Santoso, 2008).

2.3.3. Kadar Abu

Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat pada suatu bahan pangan. Bahan pangan terdiri dari 96% bahan anorganik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Kadar abu tersebut dapat menunjukan total mineral dalam suatu bahan pangan. Bahan-bahan organik dalam proses pembakaran akan terbakar tetapi komponen anorganiknya tidak, karena itulah disebut sebagai kadar abu. Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan makanan (Astuti, 2011).

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam yaitu :

1. Garam-garam organik, misalnya garam dari as. malat, oxalate, asetat., pektat dan lain-lain.

2. Garam-garam anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam alkali (Anonim, 2011).

(21)

9 2.3.4. Kadar Lemak

Lemak merupakan sekelompok besar molekul-molekul alam yang terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, dan oksigen meliputi asam lemak, malam, sterol, vitamin-vitamin yang larut di dalam lemak (contohnya A, D, E, dan K), monogliserida, digliserida, fosfolipid, glikolipid, terpenoid (termasuk di dalamnya getah dan steroid) dan lain-lain. Lemak secara khusus menjadi sebutan bagi minyak hewani pada suhu ruang, lepas dari wujudnya yang padat maupun cair, yang terdapat pada jaringan tubuh yang disebut adiposa (Anonim, 2010).

Lemak atau minyak (lipid) adalah senyawa yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik atau pelarut non polar seperti ether, benzena, dan khloroform (Setiasih & Sukarti, 2008, hal. 1). Berdasarkan sumbernya, lemak dibedakan menjadi dua, yaitu lemak nabati (misalnya kelapa, margarin, kacang tanah, kemiri, buah avokad, minyak goreng nabati), serta lemak hewani (misalnya daging, minyak ikan, susu, keju, mentega dan gajih atau lemak hewan) (Widmer, 2006, hal. 11).

Penentuan kadar minyak atau lemak suatu bahan padat dapat dilakukan dengan menggunakan alat Soxhlet. Cara ini dapat juga digunakan untuk ekstraksi minyak dari suatu bahan yang mengandung minyak. Ektraksi dengan alat Soxhlet merupakan cara ekstraksi yang efisien karena dengan alat ini pelarut yang digunakan dapat diperoleh kembali (Setiasih & Sukarti, 2008, hal. 23).

2.3.5. Swelling Power dan Indeks Kelarutan

Definisi daya kembang pati (swelling power) didefinisikan sebagai pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati dalam air (Balagopan et al., 1988). Swelling power dan kelarutan terjadi karena adanya ikatan non-kovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Swelling menghasilkan massa kental terdiri dari fasa kontinyu dari amilosa terlarut dan amilopektin (An, 2005). Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30% (Winarno, 2002). Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin (Li dan Yeh, 2001). Nilai swelling power dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu sekitar 50-950C dengan interval 50C. Granula pati tidak larut dalam air dingin

(22)

10 tetapi bagian amorfus pada granula pati dapat menyerap air sampai 30% tanpa merusak struktur misel. Jika suspensi dipanaskan maka akan terjadi pembengkakan granula. Pada mulanya pembengkakan granula bersifat reversibel tetapi jika pemanasan telah mencapai suhu tertentu pengembangan granula menjadi irreversibel dan terjadi perubahan struktur granula. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55-650C merupakan pembengkakan sesungguhnya. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali ke kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Gugus hidroksil bebas yang terdapat pada proses gelatinisasi akan menyerap molekul air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan granula pati. Karena jumlah gugus hidroksil dari molekul pati sangat besar, maka kemampuan menyerap air juga sangat besar. (Swinkles, 1985)

Semakin kecil perbandingan pati dengan air maka nilai swelling power dan nilai kelarutan semakin besar (Adity, 2009). Peningkatan swelling power akibat pemanasan suspensi pati pada suhu yang semakin tinggi disebabkan kadar amilosa yang semakin rendah atau amilopektin dalam pati lebih tinggi. Amilopektin berada pada daerah amorf granula pati. Daerah amorf merupakan daerah yang renggang dan kurang padat, sehingga mudah dimasuki air. Bagian amorf merupakan bagian yang lebih mudah menyerap air (Hood, 1982 dalam Haryadi, 2006). Semakin banyak amilopektin pada pati, maka daerah amorf akan semakin luas, sehingga penyerapan air akan semakin besar (Rahman, 2007).

Swelling power yang tinggi berarti semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air (Suriani, 2008). Nilai swelling power pati tapioka tinggi amilosa pada berbagai kombinasi perlakuan tidak berbeda nyata. Nilai swelling power pati tinggi amilosa berkisar antara 3,56 sampai 11,56%. Peningkatan suhu, lama waktu pemanasan pati menghasilkan pati tinggi amilosa yang didominasi oleh fraksi amilosa dengan bobot molekul rendah. Hal ini mengakibatkan tidak terjadinya peningkatan kemampuan pati untuk mengembang lebih besar. Kong dkk. (2009) menyatakan bahwa swelling power pati tergantung pada komponen amilosanya. Hasil penelitian Yuliasih dkk. (2007) juga menyatakan bahwa komponen pati mempengaruhi kemampuan penyerapan air dan daya pengembangan pati.

(23)

11 2.3.6. Temperatur Gelatinisasi

Gelatinisasi merupakan fenomena pembentukan gel yang diawali dengan pembengkakan granula pati akibat penyerapan air. Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan mulai bengkak namun terbatas, sekitar 30% dari berat tepung. Proses pemanasan adonan tepung akan menyebabkan granula semakin membengkak karena penyerapan air semakin banyak. Suhu dimana pembengkakan maksimal disebut dengan suhu gelatinisasi.

Selanjutnya pengembangan granula pati juga disebabkan masuknya air ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul-molekul penyusun pati (Anonim, 2010)

Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan karena molekul–molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan hidrogen lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Bila suhu suspensi naik, maka ikatan hidrogen makin lemah, sedangkan energi kinetik molekul-molekul air meningkat, memperlemah ikatan hidrogen antar molekul air. Bila pati dipanaskan dalam suhu kritikal dengan adanya air yang berlebih granula akan mengimbibisi air, membengkak dan beberapa pati akan terlarut dalam larutan yang ditandai dengan perubahan suspensi pati yang semula keruh menjadi bening dan tentunya akan berpengaruh terhadap kenaikan viskositas (Tian et al., 1991).

2.3.7. Kadar Amilosa

Amilosa (polisakarida yang linier) dan amilopektin (polisakarida yang bercabang) adalah komponen dari pati. Pati adalah karbohidrat terbesar dalam tanaman berklorofil. Tiap jenis pati tertentu disusun oleh kedua fraksi tersebut dalam perbandingan yang berbeda-beda. Amilosa merupakan komponen pati yang mempunyai rantai lurus dan larut dalam air, pada umumnya amilosa menyusun pati 17–21 %. Polimer amilosa tersusun dari glukosa sebagai monomernya, setiap monomer terhubung dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati (Anonim, 2010).

Umumnya pati mengandung 15-30 % amilosa, 70-85 % amilopektin sedangkan 5-10 % adalah bahan antara. Dalam aplikasinya, amilosa banyak

(24)

12 digunakan sebagai bahan makanan karena mempunyai sifat dapat memberi efek keras atau pera dalam bahan makanan. Selain itu, amilosa banyak digunakan sebagai sediaan farmasi terutama pada formula sediaan tablet, baik sebagai pengisi, penghancur, maupun sebagai bahan pengikat (Anonim, 2010).

Kadar amilosa dalam suatu bahan makanan dapat diketahui secara spektrofotometrik berdasarkan prinsip bahwa amilosa akan berwarna biru jika bereaksi dengan senyawa iodin. Intensitas warna biru akan berbeda tergantung dari kadar amilosa dalam bahan. Semakin pekat konsentrasi warna biru maka semakin tinggi kadar amilosa dalam suatu bahan tersebut. (Anonim, 2010)

2.3.8. Penentuan Gugus Karboksil (Chattopadhyay et al, 1998).

Pati sagu modifikasi sebanyak 3 gram divakum dengan ditambahkan 400 ml aquades sampai menjadi bubur pati kemudian dipindahkan ke dalam beker gelas yang berisi 300 ml aquades. Setelah itu dipanaskan dalam waterbath selama 10 menit dengan pengadukan kontinyu. Kemudian lakukan pengambilan larutan sampel sebanyak 40 ml dan ditambahkan 25 ml HCl dan 3 tetes indikator PP, lalu titrasi dengan menggunakan NaOH 1 mol/L sampai pH nya 8,3.

% Karboksil = × × , ×

2.4. Modifikasi Oksidasi

Modifikasi adalah pati yang gagus hidroksinya telah mengalami perubahan dengan reaksi kimia yang dapat berupa esterifikasi, eterifikasi, atau oksidasi (Flenche, 1985). Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat yang dapat disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang diinginkan adalah pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan rendah, daya tahan terhadap “sharing” mekanis yang baik serta daya pengental yang tahan terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi (Wirakartakusuma, et al., 1989).

Modifikasi pati dapat dilakukan secara kimia, fisik, maupun enzimatik.

Secara fisik, modifikasi pati dapat dilakukan dengan cara gelatinisasi, heat moisture treatment, dan annealing. Sedangkan modifikasi pati secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan asam, oksidasi, cross linking, dan starch esthers.

(25)

13 Setiap metode modifikasi tersebut menghasilkan pati termodifikasi dengan sifat yang berbeda-beda (Anonim, 2010).

Modifikasi dengan oksidasi menghasilkan pati dengan sifat lebih jernih, kekuatan regangan dan kekentalannya lebih rendah. Oksidasi secara konvensional biasanya menggunakan oksidator anorganik, seperti hipoklorit, permanganat, dikhoromat, nitrogen oksida (Silva dkk., 2008) dan persulfat (Zhang dkk., 2007) untuk memasukkan gugus karboksil (Kuakpetoon dan Wang., 2008) atau periodat untuk mendapatkan ikatan C-C dan gugus aldehid (Varma dkk., 1997). Namun oksidator-oksidator tersebut cukup mahal, beracun dan menghasilkan banyak limbah seperti senyawa terhalogenasi, logam berat dan garam nitrat dan nitrit.

Oleh karena itu, ditinjau dari sudut pandang ekonomi dan kelestarian lingkungan, maka oksidasi pati dengan oksidator dan katalis yang murah dan ramah lingkungan sangat diperlukan. Beberapa percobaan oksidasi pati dengan Hidrogen Peroksida (H2O2) telah banyakdilakukan karena oksidator ini ramah lingkungan dan dalam batas tertentu diperbolehkan untuk pengolahan makanan (Anonim, 2010).

2.5. Edible Film

Merurut Arpah (1997) dikutip Christsania (2008), edible packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk, yaitu: edible film, edible coating, dan enkapsulasi. Hal yang membedakan edible coating dengan edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi sebagai pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Fungsi dari edible film sebagai penghambat perpindahan uap air, menghambat pertukaran gas, mencegah kehilangan aroma, mencegah perpindahan lemak, meningkatkan karakteristik fisik, dan sebagai pembawa zat aditif. Edible film yang terbuat dari lipida dan juga film dua lapis (bilayer) ataupun campuran yang terbuat dari lipida dan protein atau polisakarida pada umumya baik digunakan sebagai penghambat perpindahan uap air dibandingkn dengan edible

(26)

14 film yang terbuat dari protein dan polisakarida dikarenakan lebih bersifat hidrofobik (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006). Jumlah karbondioksida dan oksigen yang kontak dengan produk merupakan salah satu yang harus diperhatikan untuk mempertahan kualitas produk dan akan berakibat pula terhadap umur simpan produk (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).

Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan substansi lain untuk mempertinggi kualitas warna, aroma, dan tekstur produk, untuk mengontrol pertumbuhan mikroba, serta untuk meningkatkan seluruh kenampakan. Asam benzoat, natrium benzoat, asam sorbat, potasium sorbat, dan asam propionat merupakan beberapa antimikroba yang ditambahkan pada edible film untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Asam sitrat, asam askorbat, dan ester lainnya, merupakan beberapa antioksidan yang ditambahkan pada edible film untuk meningkatkan kestabilan dan mempertahankan komposisi gizi dan warna makanan dengan mencegah oksidasi ketengikan, degradasi, dan pemudaran warna (discoloration) (Cuppett, 1994 dalam Krochta, Baldwin, Dan Nisperos-Carriedo, 1994).

2.6. Bahan Tambahan

2.6.1. Hidrogen Peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida (H2O2) adalah zat kimia bersifat asam lemah berupa cairan tak berwarna, agak lebih kental daripada air, namun merupakan oksidator atau agen pemutih yang kuat. Hidrogen peroksida terbuat dari hidrogen (H2) dan oksigen (O2). Selain digunakan sebagai pemutih, hidrogen peroksida juga digunakan sebagai antiseptik dan beberapa produk industri rumahan. Hidrogen peroksida dengan konsentrasi rendah (3-9%) biasanya digunakan sebagai campuran aplikasi obat, pemutih pakaian, hingga bleaching rambut. Di dunia industri, hidrogen peroksida dalam konsentrasi yang lebih tinggi digunakan sebagai pemutih untuk tekstil dan kertas (Anonim, 2010).

2.6.2. Gliserol

Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Gliserol memiliki berat molekul 92,1 g/mol dan massa jenis 1,23 g/cm2. Rumus molekul gliserol adalah C3H8O3

dengan nama kimia 1,2,3, - propanatriol. Gliserol terdapat pada lemak hewani

(27)

15 dan minyak nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat. Gliserol adalah senyawa netral, rasa manis, tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 20OC dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu 290OC. Gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol namun tidak larut dalam minyak. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik (Winarno, 1997). Gliserol memiliki titik didih tinggi karena adanya ikatan hidrogen yang sangat kuat antar molekul gliserol (Austin, 1985).

Gliserol bermanfaat sebagai anti beku (antifreeze) serta mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya. Campuran antara gliserol dan asam lemak digunakan sebagai bahan kosmetika dan obat-obatan (Austin, 1985).

(28)

16 III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai pada Februari - Juni 2018 di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Penelitian Kimia, Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPITEK), Tangerang Selatan, Serpong.

3.2. Bahan dan Alat a. Bahan

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian adalah pati sagu yang berasal dari daerah Ambon. Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan pati sagu modifikasi oksidasi adalah Hidrogen Peroksida 37% (Merck Darmstadt, Germany).

b. Alat

Peralatan yang digunakan dalam modifikasi pati sagu dan pembuatan edible film adalah cawan persolin, cawan petri, oven, desikator, spatula, timbangan, penjepit, gelas piala, termometer, stopwatch, lumpang, alu, erlenmeyer, water bath, hot plate, vakum, dan alat-alat lain untuk analisis.

3.3. Metode Penelitian

Data hasil penelitian akan dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

3.3.1. Penelitian Pendahuluan

Pati sagu murni dimodifikasi melalui metode oksidasi dengan konsentrasi H2O2 yang bervariasi yaitu : 1, 2, 3 dan 4% yang bertujuan untuk mendapatkan pati modifikasi yang layak untuk dijadikan bahan dasar dalam pembuatan edible film. Diagram alir proses pembuatan pati sagu modifikasi oksidasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

(29)

17 H2O

Gambar 2. Alur Proses Modifikasi Oksidasi

Suspensi pati + larutan H2O2

(1%, 2%, 3%, dan 4%)

Reaksi oksidasi (120 menit)

stirrer

Pati Teroksidasi

Penyaringan dan pengvakuman

Pengeringan (48 jam) Pencucian 4x

Penggilingan

Penyimpanan

Pati sagu modifikasi

Pati sagu (100 g) + Aquades (100 ml)

(30)

18 Gambar 3. Reaksi Oksidasi pada Pati

3.3.2. Penelitian Tahap Kedua

Pati sagu yang telah dimodifikasi dianalisis secara karakteristik diantaranya kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak, swelling power, temperatur gelatinisasi, dan kadar amilosa.

3.3.2.1. Kadar Air (AOAC, 2000)

Cawan kosong pada oven dengan suhu 1050C selama 3 jam. Kemudian dipindahkan ke dalam desikator hingga dingin, lalu ditimbang sebanyak 3 g pati sagu ke dalam cawan kemudian lalu di oven dengan suhu 1050C selama 3 jam.

Setelah kering, cawan sampel dipindahkan ke dalam desikator. Setelah dingin, cawan ditimbang kembali dan memulai menghitung kadar air dengan rumus sebagai berikut :

% Kadar Air = × 100 %

Keterangan :

W = Berat cawan kosong setelah dikeringkan W1 = Berat sampel sebelum dikeringkan W2 = Berat sampel setelah dikeringkan

(31)

19 3.3.2.2. Kadar Protein (Northrop, 1926)

Pati sagu ditimbang 5 g yang dilarutkan dengan aquades di dalam labu ukur 100 ml hingga tera. Kemudian 10 ml suspensi pati sagu diambil dan dipindahkan ke dalam erlenmeyer lalu ditambahkan 20 ml aquades , 0.4 ml K2SO4 0.5 M dan 3-4 tetes indikator PP. Kemudian dititrasi kembali dengan NaOH 0.1 N. Lalu larutkan blanko dititrasi, hitung sesuai dengan rumus sebagai berikut :

Kadar N % = # $%$&' ()*+&, # $%$&' -,)./0 ×1 1)23 × × , 4 5&')$ ()*+&, ×

Kadar Protein = %N × Fk (6,25)

3.3.2.3. Kadar Abu (AOAC, 2000)

Cawan kosong dengan kondisi tertutup dimasukkan ke dalam furnace dengan suhu 5500C selama 24 jam. Kemudian pindahkan ke dalam desikator dan disimpan selama 30 menit. Kemudian cawan kosong ditimbang dengan penutupnya dengan 3 angka desimal. Dan tambahkan 5 g sampel pati sagu di dalam cawan kemudian ditimbang. Kemudian cawan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam furnace dengan suhu 2000C dan 5500C selama 6 jam.

Kemudian dinginkan ke dalam desikator selama 30 menit dan pastikan sampel sudah jadi abu. Kemudian timbang cawan dengan kodisi tertutup dan lakukan perhitungan sebagai berikut :

% Kadar Abu = 5&')$ )-6 ().+&, (&$&,)7 8%96'.):& 5&')$ :);). /0(0.<

5&')$ ()*+&, (&-&,6* 8%0=&. × 100%

3.3.3.4. Kadar Lemak (Horwitz, 2000)

Timbang 5 g pati sagu, setelah ditimbang masukkan kedalam selongsong kertaslalu distriples. Solongsong kemudian dimasukkan kedalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan.

Lalu di extrak dengan N-heksan 300 ml selama 6 jam. Ekstrak lemak kemudian dipindahkan kedalam erlenmeyer yang telah diketahui bobotnya, evaporator hingga heksan menyisahkan lemak kemudian oven dengan suhu 1050C lalu dipindahkan ke desikator untuk didinginkan dan kemudian ditimbang. Dan pengeringan diulang hingga bobot konstan.

(32)

20 % Lemak = > >

> × 100%

Keterangan :

W = Bobot sampel

W1 = Bobot erlenmeyer sebelum dikeringkan W2 = Bobot erlenmeyer setelah dikeringkan 3.3.3.5. Analisis Swelling Power (Sennayake et al, 2013)

Sampel ditimbang sebanyak 0,5 g dilarutkan dalam 50 ml aquades dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml yang telah diketahui bobotnya. Suspensi tersebut ditempatkan pada water bath dengan suhu 700C selama 2 jam dengan pengadukan kontinyu. Sebanyak 30 ml larutan yang jernih dimasukkan ke cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Keringkan cawan berisi larutan dan erlenmeyer yang berisi endapan ke dalam oven suhu 1000C selama 5 jam.

Kemudian ditimbang dan dihitung dalam rumus sebagai berikut :

Indeks kelarutan dalam air (%) = ?&.)*-)7). -0-0$ × *,

50-0$ ()*+&, ×,)'6$). @&'.%7 A).< 8%)*-%,× 100 % Swelling point = 50-0$ +)($) A).< *&.<&.8)+

50-0$ ()*+&, × %%.8&/( /&,)'6$).

3.3.3.6. Suhu Gelatinisasi (Akpa et al, 1994)

Pati sagu ditimbang sebanyak 1,5 g dan tambahkan H2O sebanyak 10 ml kemudian diukur pH nya. Larutan distirrer di dalam waterbath. Gunakan termometer untuk mengetahui suhu saat terbentuk gel atau warna larutan milky.

3.3.3.7. Kadar Amilosa (AOAC, 2016) a. Penetapan Standar Amilosa

Amilosa murni ditimbang 0,01 dimasukkan ke dalam beker gelas, lalu ditambahkan 0,25ml etanol 95%. Kemudian ditambahkan 2,25 NaOH dan dipanaskan dalam penangas selama 10 menit dengan suhu 500C. Setelah itu ditambahkan H2O dan ditera dalam 25 ml. Siapkan labu ukur 50 ml 5 buah dan masing-masing diberi label 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, 20 ppm. Lalu pada masing-masing labu dipipet amilosa murni 1 ml (4 ppm), 2 ml (8 ppm), 3 ml (12 ppm), 4 ml (16 ppm), 5 ml (20 ppm). Kemudian tambahkan CH3COOH 0,2 ml ( 4 ppm), 0,4 ml (8 ppm), 0,6 ml (12 ppm), 0,8 ml (16 ppm), 1 ml ( 20 ppm).

(33)

21 Kemudian tambahkan Iod 2 ml pada masing-masing larutan lalu tera kedalam labu 100 ml. Diamkan 20 menit dan ukur absorbansi λ= 620 nm.

b. Pengujian Kadar Amilosa pada Sampel

Sampel ditimbang 100 mg + 1 ml etanol 95% ditambahkan 9 ml NaOH 1 N dan dipanaskan dalam penangas selama 10 menit dengan suhu 500C. Tambahkan H2O hingga tera dalam labu 100 ml, dikocok. Diambil 1 ml sampel ke dalam labu 50 ml dan tambahkan 1 ml CH3COOH 1N dan 2 ml Ki 2% ditera dengan H2O.

Diamkan selama 20 menit hingga berubah warna. Kemudian ukur absorbansi λ=

620 dan hitung kadar amilosa dalam rumus :

Kadar amilosa % = B-(0'-).(% ×C/ ×# ×

> × 100

3.3.3. Penelitian Tahap Ketiga

Pembuatan edible film dari penelitian tahap kedua yang menghasilkan pati sagu modifikasi yang terbaik yang dilihat dari pengujian parameter, digunakan sebagai acuan pembuatan edible film. Adapun alaur proses pembuatan edible film dapat dilihat pada Gambar 4.

(34)

22 Gambar 4. Alur Proses Edible Film

3.3.4. Karakterisasi Edible Film

3.3.4.1. Kandungan Air (Genevois et al., 2016)

Kelembaban sampel film ditentukan dengan menerapkan metode gravimetri dua langkah. Pertama, sampel dikeringkan dalam oven (110 ° C – 24 jam) dan, kedua, disimpan dalam desikator sampai berat konstan tercapai. Hasil akhir dinyatakan sebagai g air per 100 g film kering.

Kandungan Air % = D0 D

D0 × 100%

Pati sagu

Pemanasan (15-20 menit)

Pencampuran

Larutan edible film

Pencetakan

Pengeringan oven (24 jam)

Pengeringan suhu ruang

Edible film

Gliserol (C3H8O3)

(35)

23 Keterangan

Mo = Berat sampel sebelum pengeringan (g) M = Berat erlenmeyer setelah pengeringan (g)

Contact Angles edible film dilakukan untuk mengetahui sifat hidrofilik serta hidrofobik dari edible film dengan menyesuaikan metode Bangyekan et al (2005). Kuat tarik dan elongasi edible film diuji untuk mengetahui sifat elastis edible film.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap sebelumnya telah dilakukan fermentasi dari dekstrin dan sirup glukosa pati sagu untuk mendapatkan jenis substrat dan konsentrasi substrat yang optimum untuk

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama ekstraksi pati dari biji palado, tahap kedua modifikasi pati dengan perlakuan tiga metode yaitu

Latar belakang penelitian menjelaskan mengenai hal yang melatarbelakangi pemilihan topik yakni gambaran mengenai potensi pati kacang merah sebagai bahan baku

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan mentega dan pati sagu terhadap sifat kimia, sifat fisik, dan organoleptik es krim sari

Pembuatan biokomposit menggunakan metode casting , dimana dilakukan penambahan bahan aditif ke dalam matriks pati sagu dengan penambahan 1-4 wt% selulosa nanokristal kulit

Perhitungan pembuatan biokomposit pada lampiran ini diambil contoh biokomposit dengan penambahan 1% NCC (%w), 10% asam asetat (%w) dan 30% gliserol (%w).. Pati sagu

Latar belakang penelitian menjelaskan mengenai hal yang melatarbelakangi pemilihan topik yakni gambaran mengenai potensi pati kacang merah sebagai bahan baku