8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumah Sakit
2.1.1 Pengertian Rumah Sakit
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018, rumah sakit merupakan pusat pelayanan kesehatan yang dimana menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan rawat jalan, dan gawat darurat (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Menurut WHO (World Health Organization ), rumah sakit merupakan suatu organisasi sosial dan kesehatan yang fungsinya menyediakan pelayanan paripurna, kesembuhan penyakit dan pencegahan penyakit kepada masyarakat. Rumah sakit adalah pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan dan pusat penelitian medis.
2.1.2 Pelayanan Rumah Sakit
Pelayanan rumah sakit yang diberikan rumah sakit dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
1. Pelayanan utama yang terdiri dari:
a. Pelayanan medik atau keperawatan mempunyai berbagai staf medis fungsional sesuai dengan jenis dan status penyakit penderita tertentu. Staf medis di pelayanan ini terdiri dari staf dokter umum, bedah syaraf, bedah jantung dan toraks, bedah tulang, bedah urologi, anestesi, bedah obstetric dan ginekologi, dan bedah proktologi (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
b. Pelayanan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan rumah sakit karena hampir semua pelayanan yang diberikan pada penderita di rumah sakit berintervensi dengan farmasi atau perbekalan kesehatan.
Instalasi Farmasi Rumah Sakit bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengendalian sediaan farmasi atau perbekalan
kesehatan, mulai dari perencanaan, penetapan spesifikasi, pengadaan, pengendalian mutu, penyimpanan, serta dispensing, distribusi bagi penderita, pemantauan efek, pemberian informasi, dan sebagainya, semuanya itu adalah tugas, fungsi serta tanggung jawab di Instalasi Farmasi Rumah Sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
c. Pelayanan pendukung terdiri dari pelayanan laboratorium, pelayanan ahli gizi dan makanan, rekaman medis, bank darah, sterilisasi, pemeriksaan sinar-X dan layanan sosial (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
d. Pelayanan penunjang nonmedik pelayanan yang terdiri laundri atau binatu, pengolah makanan, pemeliharaan sarana prasarana dan alat kesehatan, sistem informasi dan komunikasi, dan pemulasaran jenazah (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2.2 Klasifikasi Rumah Sakit
2.2.1 Rumah Sakit Berdasarkan Pelayanan
Pengklasifikasian rumah sakit dilakukan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut (Kementerian Kesehatan RI, 2019) diantaranya:
1. Rumah Sakit Umum
Rumah sakit umum dibagi lagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu:
kelas A, Kelas B, Kelas C, dan kelas D serta Kelas D pratama.
Pengklasifikasian ini tentunya berdasarkan perbedaan pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, bangunan dan prasarana (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2. Rumah Sakit Khusus
Rumah sakit khusus memiliki klasifikasi kelas A, Kelas B, Kelas C yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ,
jenis penyakit, atau kekhususan lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2.2.2 Rumah sakit berdasarkan bentuk
Rumah sakit dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk (Kementerian Kesehatan RI, 2019), antara ilain:
1. Rumah Sakit Menetap
Rumah sakit menetap merupakan rumah sakit yang didirikan secara permanen dan dalam jangka waktu yang lama, dalam pelayanan kesehatan diberikan secara paripurna dan menyediakan berbagi pelayanan seperti rawat jalan dan gawat darurat (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2. Rumah Sakit Bergerak
Rumah sakit bergerak merupakan rumah sakit sementara yang siap digunakan serta dapat berpindah lokasi yang dapat berupa bus, kapal laut, gerbong kereta api, caravan atau container (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
3. Rumah Sakit Lapangan
Rumah sakit lapangan merupakan rumah sakit yang didirikan pada lokasi tertentu selama masa tanggap darurat di wilayah bencana dan berupa tenda diruang terbuka, bisa juga pada bangunan permanen yang difungsikan sebagai rumah sakit sementara (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2.3 Jenis Pelayanan Di Rumah Sakit
Banyak jenis pelayanan diberikan oleh rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2019) yang didasarkan pada klasifikasi rumah sakit antara lain :
2.3.1 Rumah Sakit Umum
Pelayanan rumah sakit tipe ini meliputi (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
1. Pelayanan medik sebagaimana dimaksud adalah paling sedikit terdiri dari :
a. Pelayanan gawat darurat
Pelayanan gawat darurat harus dilakukan 24 (dua puluh empat) jam sehari dan terus-menerus (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
b. Pelayanan medik spesialis dasar
Pelayanan medik spesialis dasar meliputi penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, dan obstetri dan ginekologi (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
c. Pelayanan medik spesialis penunjang
Pelayanan medik spesialis penunjang meliputi pelayanan anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi, dan rehabilitasi medik (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
d. Pelayanan medik spesialis lain
Pelayanan medik spesialis lain yang meliputi pelayanan mata, THT (Telinga Hidung Tenggorokan), saraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, ortopedi, urologi, bedah saraf, bedah plastik, serta kedokteran forensik (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
e. Pelayanan medik subspesialis
Pelayanan medik subspesialis meliputi pelayanan subspesialis di bidang bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetri dan ginekologi, mata, THT (Telinga Hidung Tenggorokan), saraf,
jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, dokter bedah plastik, dan gigi mulut (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2. Pelayanan kefarmasian
Pelayanan kefarmasian ini terdiri dari pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (BMHP), dan pelayanan farmasi klinik (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
3. Pelayanan Keperawatan dan kebidanan
Pelayanan Keperawatan dan kebidanan ini mencakup asuhan keperawatan umum dan spesialis serta asuhan kebidanan (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
4. Pelayanan penunjang klinik
Secara intens memperkenalkan kepada seluruh masyarakat umum dan penyakit, gizi, sterilisasi instrumen dan rekam medik (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
5. Pelayanan penunjang non klinik
Properti non-alkohol ini merupakan kombinasi dari laundry atau linen, jasa boga atau dapur, sprei, dokumen, ambulans, sistem informasi dan sosial, AC, dan linen kamar mandi (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
6. Pelayanan rawat inap
Pelayanan rawat inap sudah dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
a. Rumah sakit milik pemerintah jumlah tempat tidur perawatan kelas III paling sedikit 30% dari seluruh tempat (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
b. Rumah sakit milik swasta jumlah tempat tidur perawatan Kelas III paling sedikit 20% dari seluruh tempat tidur (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
c. Rumah sakit milik pemerintah dan rumah sakit milik swasta jumlah tempat tidur perawatan diintensifkan sekitar 5% (batas) seluruh tempat tidur (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2.3.2 Rumah Sakit Khusus
Pelayanan rumah sakit tipe ini meliputi (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
1. Pelayanan medik
• Pelayanan gawat darurat
• pelayanan medik umum
• Pelayanan medik spesialis dasar sesuai dengan kekhususan
• Pelayanan medik spesialis atau subspesialis sesuai kekhususan
• Pelayanan medis penunjang khusus 2. Pelayanan kefarmasian
3. Pelayanan Keperawatan 4. Klinik Pelayanan penunjang
5. Pelayanan penunjang non ilinik (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2.3.3 Rumah Sakit Tipe Kelas
Berdasarkan kelasnya rumah sakit dikelompokkan dalam 4 kelas mulai dari A, B, C, D. Dimana membedakan keempat kelas tersebut sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
a. Pelayanan Medis
b. Pelayanan dan asuhan keperawatan
c. Lembaga Pemasyarakatan Medis dan Non Medis : d. Pendidikan, penelitian dan pengembangan
e. Administrasi umum keuangan:
Rumah sakit tersebut memiliki spesifikasi yang berbeda dalam kemampuan anggota pelayanan kesehatan, keempat rumah sakit diklasifikasikan menjadi (Kementerian Kesehatan RI, 2019):
a. Rumah Sakit Tipe A
Rumah sakit tipe A merupakan rumah sakit pusat dan memiliki kemampuan pelayanan medik yang lengkap, yang terdapat 4 pelayanan medik spesialis dasar, 5 penunjang medik spesialis, 12 spesialis lain selain dasar, dan 13 subspesialis (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
b. Rumah Sakit Tipe B
Rumah sakit tipe B ini merupakan tipe rumah sakit yang masih termasuk dalam pelayanan kesehatan tingkat tersier, yang memiliki fasilitas dan kemampuan pelayanan terdapat 4 spesialis dasar, 4 spesialis penunjang medik, 2 spasialis, 8 subspesialis, rumah sakit tipe ini adalah rujukan lanjutan dari rumah sakit type C (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
c. Rumah Sakit Tipe C
Rumah sakit tipe C ini merupakan rumah sakit tipe C yang merupakan rujukan lanjutan dari setingkat di atas pelayanan kesehatan primer dan pelayanan yang diberikan sudah bersifat spesialis dan kadang juga memberikan pelayanan subspesialis (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
d. Rumah Sakit Tipe D
Rumah sakit tipe D ini adalah tipe rumah sakit yang menyediakan layanan medis dasar, hanya sebatas pada pelayanan kesehatan dasar seperti umum dan kesehatan gigi dan sudah memiliki fasilitas dan layanan medis paling sedikit 2 pelayanan medis dasar (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
2.4 Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IRFS)
Kementerian Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016 menyatakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Instalasi Farmasi unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.
Standar pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian, melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Instalasi farmasi rumah sakit di bawah pimpinan seorang Apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundangan-undangan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan atau sediaan farmasi, dispensing obat resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu dan pengendalian distibusi dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit, serta pelayanan farmasi klinis (Rusli, 2016).
2.4.1 Tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tujuan instalasi farmasi rumah sakit yaitu melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolan perbekalan kesehatan. Sediaan farmasi dan perbekalan yaitu obat, bahan obat, gas medis dan alat kesehatan, mulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan rawat jalan dan rawat inap Rusli, 2016).
2.4.2 Tugas Pokok dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
Tugas pokok dan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016, adalah sebagai berikut :
1. Selenggarakan kegiatan pelayanan farmasi yang kompoten berdasarkan prosedur kefarmasian dan etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu, dan efisien.
3. Melakukan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna maksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan risiko.
4. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.
5. Berperan aktif dalam tim komite/tim farmasis dan terapi.
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan kefarmasian.
7. Memfasilitasi dan mendorong standar pengobatan dan formularium rumah sakit.
Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, antara lain (Kementerian Kesehatan RI, 2016):
1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habus pakai :
a. Memilih sediaan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit.
b. Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, bahan medis habis pakai secara optimal.
c. Memproduksi sediaan farmasi memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
d. Menerima sediaan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.
e. Menyimpan sediaan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.
f. Mendistribusikan sediaan farmasi ke unit pelayanan di rumah sakit.
g. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.
h. Melaksanakan pelayanan obat “unit dose” atau dosis sehari.
i. Melaksanakan pelayanan farmasi dengan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi (apabila memungkinkan).
j. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan media habis pakai.
k. Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak digunakan.
l. Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
m. Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
2. Klinik Pelayanan Farmasi (Kementerian Kesehatan RI, 2016):
a. Mengkaji instruksi pengobatan atau resep pasien.
b. Identifikasi masalah berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan.
c. Pelaksanaan penelusuran penggunaan obat.
d. Melaksanakan rekonsiliasi obat.
e. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien atau keluarga.
f. Memberikan konseling kepada pasien atau keluarga.
g. Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO).
h. Pemantauan efek terapi obat;
i. Pemantauan efek samping obat;
j. Pemantuan Kadar Obat Dalam Darah (PKOD).
k. Pelaksanaan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
l. Melaksanakan pelayanan informasi obat (PIO) kepada tenaga kesehatan lain, pasien atau keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit.
m. Melaksanakan penyuluhan kesehatan rumah sakit (PKRS).
2.4.3 Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alkes
Berdasarkan Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Kementerian Kesehatan tahun 2019 menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan terjangkau (Kementerian Kesehatan RI, 2019). Kegiatan yang dilakukan meliputi :
1. Pelayanan Farmasi Klinis
Pelayanan farmasi adalah pelayanan harus dilakukan oleh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang melakukan pelayanan kefarmasian harus dibawah pengawasan apoteker. Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Pelayanan farmasi sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 tahun 2016, antara lain :
a. Pengkajian Resep
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi administrasi, persyaratan-persyaratan farmasi dan persyaratan klinis untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
b. Dispensing
Dispensing kegiatan pelayanan dimulai dengan validasi resep, interprestasi resep, menyiapkan dan meracik obat, memberikan label atau etiket, memperbaiki obat dengan mempersembahkan informasi obat yang disertai dengan dokumentasi sistem (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
c. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)
Kegiatan memantau respons terhadap obat yang merugikan atau tidak terjadi pada dosis normal yang digunakan untuk manusia yang bertujuan profilaksis, diagnosa dan terapi (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
d. Pelayanan Informasi Obat
Kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien (Sukamto, 2017).
e. Konseling
Proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pada pasien rawat jalan dan rawat inap i(Sukamto, 2017).
f. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
Pemeriksaan beberapa obat tertentu atas permintaan dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit (Sukamto, 2017).
g. Ronde atau Kunjungi Pasien
Kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya (Sukamto, 2017).
h. Pengkajian Penggunaan Obat
Evaluasi program penggunaan obat yang terstruktur dan untuk menjamin obat-obatan yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien (Sukamto, 2017).
i. Pengeluaran
Penyerahan, penyiapan, serta pemberian obat adalah bagian dari pemberian. Menggunakan obat yang sesuai dengan yang tertulis dalam resep, dihitung jumlah kebutuhan obat dalam resep, perhatikan tanggal kadaluarsa dan keadaan fisik obat (Sukamto, 2017).
j. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat adalah proses memastikan bahwa pasien mendapatkan obat yang terjangkau dan efektif dengan memaksimalkan efikasi serta efek samping (Sukamto, 2017).
k. Pemantauan Efek Samping Obat (MESO) (Sukamto, 2017) 2. Manajemen Farmasi
Manajemen farmasi adalah proses kegiatan farmasi atau mengatur proses yang berkaitan dengan obat-obatan. Manajemen farmasi di rumah sakit salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan mutu dan pelayanan dari rumah sakit sehingga efisiensi dan produktivitas dari rumah sakit juga akan meningkat (Nurul, 2021). Manajemen farmasi yang terdapat beberapa tahapan dalam manajemen farmasi rumah sakit, yaitu (Kementerian Kesehatan RI, 2016) :
a. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaa kebutuhan melakukan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, serta harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan serta anggaran (Nurul, 2021).
b. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan agar merealisasikan kebutuhan yang direncanakan serta telah disetujui, pengadaan tersebut meliputi (Nurul, 2021) :
a. Produksi ada dua yaitu produksi steril serta non steril b. Sumbang atau droping
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan proses menerima sediaan farmasi yang mana telah diadakan sesuai aturan yang berlaku, dengan jalan membeli langsung, tender, konsinyasi ataupun dengan sumbangan (Nurul, 2021).
d. Penyimpanan
Penyimpanan merupakan aktivitas pengaturan sediaan farmasi sesuai dengan persyaratan, yang imeliputi (Nurul, 2021) :
a. Menurut bentuk sediaan serta jenisnya b. Menurut suhu kestabilannya
c. Mudah tidaknya meledak atau terbakar d. Tahan atau tidak tahan terhadap cahaya e. Pendistribusian
Pendistribusian adalah segala aktivitas mendistibusikan perbekalan farmasi di rumah sakit agar pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap serta rawat jalan dan juga agar menunjang pelayanan medis (Nurul, 2021).
f. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai peraturan perundang-undangan Adapun tujuan dari pemusnahan dan penarikan obat ini (Nurul, 2021) :
a. Menjaga keselamatan kerja serta menghindarkan dari pengotoran lingkungan.
b. Menghindarkan atas pembiayaan barang yang sudah tidak layak untuk dipelihara
c. Menghindari masyarakat terpapar produk yang tidak terjamin keamanan, khasiat atau manfaat dan mutunya.
g. Pengendalian
Pengendalian adalah untuk mengetahui jumlah pemesanan obat sampai dengan peneriman obat. Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai (Nurul, Arifah, & Darwin., 2020).
h. Administrasi
Administrasi dilakukan dengan membuat catatan laporan mulai dari laporam keuangan sampai dengan pemusnahan dan penarikan (Nurul, Arifah, & Darwin., 2020).
2.5 Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyiapkan dan atau membuat serta menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang sudah ditetapkan (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan Kementerian Kesehatan RI Nomor 72 Tahun 2016, pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat, apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien administrasi terdiri dari :
a. Nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien.
b. Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter.
c. Tanggal resep.
d. Ruangan atau unit asal resep
Persyaratan farmasetik meliputi :
a. Nama obat, bentuk dan kekuatan sediaan
b. Dosis dan jumlah obat c. Stabilitas
d. Aturan dan cara penggunaan Persyaratan klinis terdiri dari :
a. Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat b. Duplikasi pengobatan
c. Alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) d. Kontraindikasi
e. Interaksi obat
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan, ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Setiap tahap alur pelayanan resep ini dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya kesalahan pemberian obat (medication eror) (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
2.6 Standar Pelayanan Minimal Farmasi Rumah Sakit
Berdasarkan Surat Kementerian Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, terdapat 21 jenis pelayanan rumah sakit yang minimal wajib disediakan oleh rumah sakit, salah satunya adalah pelayanan farmasi yang terdiri dari :
1. Waktu tunggu pelayanan a. Obat Non Racikan
Obat non racikan merupakan tenggang waktu mulai pasien menyerahkan resep sampai dengan menerima obat non racikan dengan istandar yang iditetapkan Kementerian Kesehatan RI ≤ 30 menit (Kementerian Kesehatan RI, 2008).
b. Obat Racikan
Obat racikan merupakan tenggang waktu mulai pasien menyerahkan resep sampai dengan menerima obat racikan yaitu ≤ 60 menit (Kementerian Kesehatan RI, 2008).
c. Tidak ada kejadiaan kesalahan pemberian obat.
d. Kepuasan pelanggan
e. Penulisan resep sesuai formularium
Terdapat pula indikator mutu yang menilai setiap jenis pelayanan diberikan, salah satunya mengenai waktu tunggu pelayanan terbagi menjadi dua yaitu waktu tunggu pelayanan obat non racikan dan waktu tunggu pelayanan obat racikan.
Standar yang lain menurut (WHO, 1993; Septyawati, 2014) menyebutkan sebagai berikut :
Tabel II. 1 Indikator Pelayanan Resep
Indikator Pelayanan Resep WHO 1993 Indikator WHO
• Rata-rata lama waktu konsultasi 10 menit
• Rata-rata waktu dispensing obat racikan 20 menit
• Rata-rata lama waktu dispensing obat non racikan
10 enit
2.7 Waktu Tunggu atau Waiting Timeses
Waktu tunggu adalah total waktu yang digunakan oleh pasien menunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terhitung dari pasien mendaftar sampai pasien dipanggil atau masuk ke ruang pelayanan (Laeliyah & Subekti, 2017).
Menurut Kementerian Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2008 menyebutkan bahwa waktu tunggu pelayanan obat adalah waktu mulai pasien menyerahkan resep sampai menerima obat racikan. Standar waktu tunggu obat non racikan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan adalah ≤ 30 menit. Sedangkan, waktu tunggu obat racikan standar waktu padalah ≤ 60 menit. Waktu tunggu merupakan salah satu indikator peniliaian mutu pelayanan farmasi. Salah satu komponen yang potensial menyebabkan ketidakpuasan pasien dapat berupa waktu tunggu yang lama (Purwandari, N., Suryoputor, A., & Arso, S, 2017).
Tujuan waktu merupakan mencapai hasil yang terbaik dari suatu kerja yang dikerjakan memerlukan koordinasi, semakin jelas bahwa waktu adalah hal yang sangat penting, tetapi banyak hasil yang ditemukan banyak pekerjaan yang baik dan sesuai waktu yang ditetapkan tetapi sering salah. Waktu tunggu merupakan
masalah yang masih banyak dijumpai dalam praktik pelayanan kesehatan, dan salah satu komponen yang potensial menyebabkan ketidakpuasan, dengan menunggu waktu yang lama menyebabkan ketidakpuasan terhadap pasien (Heru, 2017).
Tabel II. 2 Indikator waktu tunggu pelayanan obat
Indikator Standar Minimal
Waktu tunggu pelayanan obat jadi ≤ 30 menit Waktu tunggu pelayanan obat
racikan
≤ 60 menit
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Waktu Tunggu
Tingginya perbandingan rasio dokter dan pasien, kurangnya jumlah staf tenaga kesehatan, jadwal perjanjian antara dokter dan pasien yang kurang terorganisir, pasien yang tidak memenuhi janji, petugas medis dan paramedis yang terlambat dan kurang perhatian terhadap jadwal yang sudah ditetapkan merupakan beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi waktu tunggu pasien (Torry et al, 2016).
a. Jenis resep ini dibedakan yaitu antara resep racikan dan resep non racikan.
Jenis resep racikan membutuhkan waktu yang lama lama yaitu sebesar 92,7%, dibandingkan dengan resep non racikan yaitu sebesar 35,6%. Jenis resep jika ditotalkan akan berjumlah > 100 % hal ini dikarenakan pengerjaan resep racikan diperlukan waktu untuk penginputan resep, menghitung dosis serta perlu dilakukan peracikan pada tahap pengerjaannya (Heny, Agustina,
& Ari., 2020).
b. Jumlah Resep dan Kelengkapan resep. Setiap penambahan item obat didalam resep memberikan penambahan waktu pada setiap tahap pelayanan resep. Penelitian diperlihatkan jumlah item obat banyak membutuhkan waktu pelayanan lebih lama yaitu sebesar 66,3% dibandingkan dengan jumlah item sedikit yaitu 33,8% yang mana total keseluruhan jumlah resep dan kelengkapan resep < 100 %.
c. Shift petugas, pada shift pagi memerlukan waktu pelayanan yang lebih cepat 81,6% dibandingkan dengan shift sore.
d. Ketersediaan SDM yang cukup dan terampil.
e. Ketersediaan obat sesuai resep yang diterima, sehingga waktu yang terbuang untuk mencari obat pengganti yang lain dapat dikurangi.
f. Sarana dan fasilitas.
g. Partisipasi pasien/keluarganya selama menunggu proses layanan resep.