BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas a. Pengertian Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas merupakan sebutan bagi individu yang mempunyai suatu keterbatasan, baik fisik, maupun mental. Kata
“penyandang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu, kata disabilitas merupakan kata bahasa indonesia yang berasal dari kata serapan dalam bahasa Inggris yaitu disability yang berarti cacat atau ketidakmampuan.
WHO mendefinisikan disabilitas sebagai “A restriction or inability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being, mostly resulting from impairment” (Barbotte, 1994: 1047).
Yaitu Pembatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam kisaran yang dianggap normal untuk manusia, sebagian besar akibat dari gangguan
Selain definisi diatas WHO juga mengemukakan pula definisi disabilitas yang berbasis pada model sosial sebagai berikut :
1) Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang disertai akibat terhadap fungsi tertentu. Misalnya kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki.
2) Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan) adalah kerugian atau keterbatasan dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekal tidak memperhitungkan orang-orang yang menyandang “kerusakan/kelemahan” tertentu dan karenanya
15
3) mengeluarkan orang-orang itu dari arus aktivitas sosial (Peter Coleridge, 2007: 132)
Di Indonesia pengertian penyandang disabilitas secara yuridis termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, yaitu
“Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.”
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat yang menyebutkan penyandang disabilitas sebagai penyandang cacat. Penyandang cacat seringkali dilihat sebagai subyek hukum yang kurang diberdayakan. Istilah “Cacat” dicap sebagai sesuatu yang negatif. Kata “penyandang” dikenal banyak orang sebagai seseorang dengan label negatif yaitu cacat pada keseluruhan. Namun pada kenyataan bisa saja seorang penyandang disabilitas hanya mempunyai kekurangan fisik tertentu, bukan secara keseluruhan (Nur Paikah, 2017:
337).
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
Terdapat berbagai jenis orang-orang dengan kebutuhan khusus atau disabilitas. Hal ini berarti bahwa penyandang disabilitas mempunyai definisi masing-masing yang mana kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh
dan berkembang dengan baik.
Menurut Reefani, penyandang disabilitas dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu (Nur Kholis Reefani, 2013: 17) :
1) Disabilitas Mental
Disabilitas mental atau kelainan mental terdiri dari:
a) Mental Tinggi. Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.
b) Mental Rendah. Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c) Berkesulitan Belajar Spesifik. Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh.
2) Disabilitas Fisik
Disabilitas Fisik atau kelainan fisik terdiri dari:
a) Kelainan Tubuh (Tunadaksa). Tuna daksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.
b) Kelainan Indera Penglihatan (Tunanetra). Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.
c) Kelainan Pendengaran (Tunarungu). Tunarungu adalah individu
17
yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.
d) Kelainan Bicara (Tunawicara). Tunawicara adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan bicara.
3) Tunaganda (disabilitas ganda)
Tunaganda atau penderita cacat lebih dari satu kecacatan (cacat fisik dan mental) merupakan mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaan, misalnya penyandang tuna netra dengan tuna rungu sekaligus, penyandang tuna daksa disertai dengan tuna grahita atau bahkan sekaligus.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, ragam disabilitas meliputi :
(1) Penyandang Disabilitas Fisik, yaitu terganggunya fungsi gerak, antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, cerebral pasly (CP), akibat stroke, akibat kusta dan orang kecil.
(2) Penyandang Disabilitas Intelektual, yaitu terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan dibawah rata-rata antara lain lambat belajar, disabilitas grehita, dan down syndrom.
(3) Penyandang Disabilitas Mental, yaitu terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain :
(a) Psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
(b) Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kememuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif
(4) Penyandang Disabilitas Sensorik, yaitu terganggunya salahsatu fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu dan/atau disabilitas wicara.
b. Hak-hak Penyandang Disabilitas
Penyandang Disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan masyarakat. Sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia, penyandang disabilitas seharusnya mendapatkan perlakuan yang khusus, yang dimaksud perlakuan yang khusus yaitu upaya perlindungan terhadap tindakan diskriminasi, terutama perlindungan dari pelanggaran hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya dari penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia universal (Istifarroh dan Widhi Cahyo Nugroho, 2019: 22).
Terkait dengan hak penyandang disabilitas, terlebih dahulu perlu diperhatikan tentang makna hak. Hak ada sejak manusia lahir dan melekat pada setiap orang. Diantaranya yaitu hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusian, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya (Mansyur Faqih, 1999:
17).
Pengertian hak lebih banyak dihubungkan dengan Hak Asasi Manusia.
Pengertian hak asasi manusia dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa,
“Hak Aasasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat dan pada
19
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-NYA, yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Hak secara garis besar dapat disimpulkan sebagai hak-hak yang diakui secara Universal melekat pada manusia. Sehingga tidak ada seorangpun yang dapat mengurangi ataupun merampas hak asasi manusia tersebut. Jikalau terdapat pembatasan seperti dalam Pasal 28 J UUD NRI 1945 hanya boleh dilakukan dengan Undang-Undang. Hak Penyandang Disabilitas merupakan bagian dari hak asasi manusia secara umum.
Convention Rights Persons with Disabilities yang juga telah diratifikasi di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 menyatakan Hak penyandang Disabilitas berupa:
1) Kesetaraan dan nondiskriminasi, negara pihak wajib memastikan terwujudnya kesetaraan dengan cara:
a) Larangan terhadap diskriminasi atas dasar kecacatan, serta menjamin perlindungan hukum dari berbagai bentuk diskriminasi.
b) Mengedepankan kepentingan anak dengan disabilitas dalam menentukan berbagai hal.
c) Menjamin kebebasan anak dengan disabilitas dalam mengemukakan pendapat mengenai hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, menjadikannya sebagai dasar pertimbangan sesuai dengan tingkat kematangan dan kedewasaan mereka, serta menjamin ketersediaan bantuan sesuai dengan tingkat usia dan disabilitas mereka.
2) Pengakuan yang setara di hadapan hukum
Penyandang disabilitas memiliki hak atas pengakuan dihadapan
hukum. Negara harus mengakui penyandang disabilitas berhak menikmati kapasitas legal dengan berdasarkan kesetaraan, dan menyediakan akses dukungan yang dibutuhkan (Ni Komang Sutrisni, 2015: 105-106).
2. Tinjauan Umum Tentang Kewajiban Terkait Pemberian Kerja Bagi Penyandang Disabilitas
a. Pengertian Kewajiban
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kewajiban diartikan sebagai suatu yang harus dilakukan, tidak boleh tidak dilaksanakan atau ditinggalkan. Kewajiban berarti segala sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Menurut Prof. R. M. T. Sukamto Notonagoro kewajiban adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh pihak tertentu, dengan rasa tanggung jawab yang pada prinsipnya bisa dituntut dengan paksa oleh orang yang memiliki kepentingan. Berdasarkan pengertian tersebut, kewajiban memang bisa timbul atas dua hal. Yang pertama karena keinginan sendiri, dan yang kedua karena keinginan dari orang atau pihak lainnya. Sehingga kewajiban seseorang bisa berasal dari adanya hak yang dimiliki oleh orang lain, terhadap orang yang diberi kewajiban. Kewajiban juga sebagai bentuk tanggungjawab atas permasalahan tertentu. Menurut George Nathaniel Curzon, terdapat beberapa macam jenis kewajiban diantaranya yaitu:
1) Kewajiban Mutlak
Kewajiban mutlak merupakan kewajiban seseorang terhadap dirinya sendiri yang tidak berhubungan dengan hak dan tidak mutlak melibatkan hak di pihak lain.
2) Kewajiban Publik
Kewajiban publik adalah kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak
21
publik.
3) Kewajiban Positif dan Negatif
Kewajiban positif dan negatif adalah kewajiban yang mengharuskan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kewajiban positif menghendaki dilakukannya sesuatu, sedangkan kewajiban negatif menghendaki tidak dilakukannya sesuatu.
4) Kewajiban Umum dan Khusus
Kewajiban umum (universal) adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh warga negara secara umum. Sedangkan, kewajiban khusus adalah kewajiban yang ditujukan kepada golongan tertentu, bidang hukum tertentu, atau perjanjian.
5) Kewajiban Primer
Kewajiban primer adalah kewajiban yang dapat timbul dari tindakan yang tidak melawan hukum, misalnya kewajiban untuk tidak mencemarkan nama baik dan kewajiban yang sifatnya memberikan sanksi. Selain itu, kewajiban primer juga bisa timbul akibat perbuatan melawan hukum, misalnya kewajiban membayar kerugian dalam hukum perdata.
(https://www.pelajaran.co.id/2019/16/pengertian-kewajiban-jenis-dan-c ontoh-kewajiban-menurut-para-ahli.html diakses pada 28 Mei 2020 pukul 18.25).
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia juga mengatur beberapa kewajiban seorang Warga Negara Indonesia antara lain :
Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”,
Pasal 27 ayat (3) UUD NRI 1945 “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”,
Pasal 28 J ayat (1) UUD NRI 1945 “Setiap orang wajib menghormati hak asai manusia orang lain”,
Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Pasal 30 ayat (1) UUD NRI 1945 “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.
b. Pemberian Kerja Bagi Penyandang Disabilitas
Kesempatan kerja dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang mencerminkan jumlah dari total angkatan kerja yang dapat diserap.
Kesempatan kerja adalah penduduk usia 15 tahun keatas yang bekerja yang disebut dengan pekerja. Kesempatan kerja menurut Tambunan, adalah
“termasuk lapangan pekerjaan yang sudah diduduki (employment) dan masih lowong. Dari lapangan pekerjaan yang masih lowong tersebut adanya kebutuhan berarti adanya kesempatan kerja bagi orang yang menganggur”
(Tambunan, 2002: 78).
Sebagai bentuk perlindungan hukum pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia terkhususnya terhadap hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi penyandang disabilitas, Indonesia harus memiliki peraturan hukum yang adil dan tegas dalam mengatur.
Hak penyandang disabilitas dalam memperoleh pekerjaan, terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”
23
Dalam Penjelasan Pasal 5 Undang-Undang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang disabilitas. Pada aturan tersebut dapat kita lihat bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, termasuk penyandang disabilitas sekalipun.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, hak atas pekerjaan terdapat pada Pasal 11 yang menyatakan bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun Swasta tanpa diskriminasi serta memperoleh upah yang sama dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama serta tidak di berhentikan dari pekerjaaanya dengan alasan disabilitas.
Hak penyandang disabilitas diletakan dalam konvensi sebagai suatu kewajiban Negara untuk menjamin dan memajukan pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui langkah legislatif (pembuatan peraturan) dan administratif (prosedur yang mendukung) serta melakukan harmonisasi peraturan termasuk juga menghapuskan aturan dan budaya yang melanggar hak penyandang disabilitas. Komitmen pemerintah diwujudkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk menghormati, melindungi, memenuhi serta memajukan hak-hak penyandang disabilitas. Undang-undang Penyandang Disabilitas memuat 153 pasal dengan rincian pengaturan mengenai hak penyandang disabilitas diatur di dalam sebelas pasal, yaitu pada Bab III (dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 26). Didalam Konvensi Penyandang Disabilitas ditegaskan bahwa kewajiban Negara adalah merealisasikan hak-hak yang
termuat didalam Konvensi melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan (Istifarroh dan Widhi Cahyo Nugroho, 2019: 25).
Disabilitas seharusnya tidak menjadi halangan penyandang disabilitas untuk memperoleh hak konstitusionalnya. Pasal 53 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja dan mewajibkan perusahaan swasta mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerjanya. Namun dalam praktiknya, terkadang ketentuan tersebut tidak berjalan dengan baik. Penyandang disabilitas sering dilihat dengan sebelah mata karena keadaan fisik dan mentalnya. Maka dari itu semua institusi, baik pemerintahan ataupun swasta wajib memperhatikan penyandang disabilitas, sehingga kebutuhan tersebut dapat terpenuhi dan ketentuan tersebut dapat berjalan dengan lancar.
3. Tinjauan Umum Tentang Implementasi a. Pengertian Implementasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan implementasi sebagai suatu pelaksanaan atau penerapan (https://kbbi.web.id/implementasi diakses pada tanggal 22 Desember 2020 Pukul 01.20 WIB). Secara umum dapat kita ketahui bahwa implementasi merupakan tindakan atau pelaksanaan rencana yang telah disusun dengan matang dan rinci. Implementasi biasanya dilakukan setelah segala perencanaan dianggap telah matang dan sempurna.
Terdapat beberapa pendapat ahli tentang implementasi, yaitu : 1) Nurdin Husman
Mengatakan bahwa implementasi adalah berawal dari aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem, implementasi bukan
25
hanya sekedar aktivitas, tetapi juga merupakan suatu kegiatan yang terencana agar tercapainya suatu tujuan (Nurdin Usman, 2002: 70).
2) Oemar Hamalik
Implementasi merupakan suatu penerapan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam bentuk tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik perubahan pengetahuan, ketrampilan, maupun nilai dan sikap (Oemar Hamalik, 2007: 237).
3) Grindle
Bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan disalurkan untuk mencapai sasaran (Haedar Akib, 2010: 2)
4) Lane
Implementasi sebagai konsep yang dapat dibagi dalam dua bagian yaitu merupakan persamaan fungsi dari maksud serta output dan outcome. Maksudnya formula implementasi merupakan fungsi yang terdiri dari maksud dan tujuan, hasil sebagai produk dan hasil dari akibat (Haedar Akib, 2010: 2).
Dalam hubungannya dengan penulisan hukum ini, implementasi wajib dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan agar terhapusnya suatu masalah terciptanya suatu tujuan daripada hukum itu sendiri.
Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa implementasi dapat berawal dari mekanisme suatu sistem, implementasi adalah kegiatan terencana untuk memberikan dampak agar mencapai tujuan dari kegiatan tersebut. Oleh karena itu, implementasi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus dipengaruhi oleh objeknya, dan salahsatu objeknya yaitu peraturan perundang-undangan.
Implementasi terdiri dari tujuan atas sasaran kebijakan, aktivitas, atau
kegiatan pencapaian tujuan. Keberhasilan suatu implementasi dapat dilihat melalui proses dan pencapaian tujuan hasil akhir yaitu: sebuah ketercapaian atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih pada suatu kebijakan.
b. Teori Implementasi Hukum
Hukum sesungguhnya berhakikat sebagai organisme yang hidup (es ist und wird mit dem volke) seperti yang dikatakan Von Savigny bahwa hukum akan tetap hidup dan berkembang berseiring dengan perkembangan masyarakat, atas dasar otoritasnya sendiri yang moral. Dalam hal ini hukum harus tetap berfungsi atau berarti bagi untuk dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan pelaksanaan hukum antara lain pembentukan hukum harus dilaksanakan dengan baik, aparat hukum yang bekerja juga harus memusatkan tugasnya dengan baik pula, selain itu sarana dan fasilitas serta kesadaran dari masyarakat itu sendiri juga sangat penting, dan yang lain adalah ketaan hukum juga dipengaruhi oleh kemaslahatan, keteraturan, serta ketertiban masyarakat (Ellya Rosana, 2013: 105).
Jika berbicara tentang implementasi hukum berarti berbicara mengenai tentang pelaksanaan hukum itu sendiri dimana hukum dibentuk sanksi dari peraturan hukum atau dari para aparat hukum.
Dalam pembentukan aturan hukum, terbangun asas yang utama agar tercipta suatu kejelasan terhadap peraturan hukum, asas tersebut adalah kepastian hukum. Gagasan mengenai asas kepastian hukum ini diperkenalkan oleh Gustav Radbruch yang menuliskan bahwa di dalam hukum terdapat 3 (tiga) nilai dasar hukum, yakni: Keadilan (Gerechtigkeit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit), dan Kepastian Hukum (Rechtssicherheit) (Mario Julyano, Aditya Yuli Sulistyawan, 2019: 14). Unsur keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstruktif bagi hukum. Keadilan menjadikan landasan moral bagi hukum dan menjadi tolak ukur sistem
27
hukum. Unsur kemanfaatan, didalam nilai kemanfaatan hukum berfungsi sebagai alat untuk melihat fenomena masyarakat atau realita sosial. Unsur kemanfaatan dapat dilihat dari bekerjanya hukum dalam masyarakat apakah efektiv dan berdaya guna bagi masyarakat, atau tidak. Yang terakhir adalah unsur kepastian hukum, sejatinya asas ini dimaknai sebagai suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang konkret bagi hukum yang bersangkutan. Dalam kepastian hukum, terdapat hukum positif dan juga hukum tertulis, hukum tertulis merupakan hukum yang ditulis oleh lembaga negara berwenang, serta mempunyai sanksi hukum didalamnya, hukum tertulis ditandai dengan diumumkannya di Lembaga Negara.
Diantara ketiga unsur tersebut Gustav menyadari bahwa akan terdapat suatu ketegangan, karena ketiganya memiliki tuntutan yang berbeda-beda serta potensi yang saling bertantangan. Maka dari itu Gustav akan menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama ditunjukan pada nilai keadilan, lalu nilai kemanfaatan dan yang terakhir adalah kepstian hukum.
Hal ini menunjukan bahwa Gustav menempatkan nilai keadilan pada posisi yang terutama
4. Tinjauan Umum Tentang Teori Efektifitas Hukum
Peraturan Perundang-Undangan yang baik seharusnya dapat diterima dengan baik dalam masyarakat agar dapat mencapai tujuan dari dibuatnya peraturan tersebut. Namun pada kenyataanya masih banyak Undang-Undang yang diabaikan bahkan tidak diketahui oleh masyarakat sehingga tidak berjalan dengan efektif. Banyak hal-hal yang mempengaruhi ketidak efektifan dari peraturan tersebut, contohnya Undang-Undang tidak jelas atau kabur, aparat yang tidak konsisten dalam menjalankan peraturan, hingga masyarakat yang kurang peduli akan pelaksanaan peraturan tersebut.
Berbicara tentang efektivitas, tidak bisa dilepaskan dengan keberhasilan atas
suatu tugas atau kebijakan. Sesuatu dapat disebut dengan efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan sebelumnya (Octarina Albizzia, Utami Sulistiana, dan Supardal, 2018: 26).
Istilah teori efektifitas hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu Effectiveness of the Legal Theory, dan dalam bahasa Belanda disebut dengan Effectiviteit van de Juridische Theorie. Hans Kelsen menyebutkan bahwa efektifitas hukum adalah bagaimana orang yang pada kenyataannya berbuat menurut suatu cara agar dapat menghindari sanksi yang diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan bagaimana sanksi tersebut benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi (Hans Kelsen, 2006: 39).
Menurut Soerjono Soekanto teori efektifitas hukum dapat ditentukan dalam 5 faktor, yaitu:
a) Faktor Undang-Undang itu sendiri,
b) Faktor penegak hukum yang membentuk dan menerapkan hukum, c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung,
d) Faktor masyarakat dimana hukum tersebut berlaku, dan e) Faktor kebudayaan sebagai hasil karya, cipta dan rasa.
Dimana kelima faktor tersebut sangat berkaitan dengan erat (Soerjono Soekanto, 1983:5).
Teori efektivitas hukum adalah teori yang dapat digunakan untuk mengkaji dan menganalisis keberhasilan ataupun kegagalan dari suatu peraturan perundang-undangan yang dikaji. Terdapat 3 (tiga) fokus dalam kajian teori efektivitas hukum, yaitu:
1) Keberhasilan dalam pelaksanaan hukum, bahwa hukum telah mencapai tujuan dan maksudnya, dan dapat dikatakan efektif dalam implementasinya di masyarakat.
2) Kegagalan dalam pelaksanan hukum, bahwa hukum tidak dapat mencapai tujuan dan maksudnya.
29
3) Faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu hal-hal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan hukum, yaitu :
a) Aspek keberhasilannya, meliputi substansi hukum, struktur, kultur dan fasilitasnya.
b) Aspek kegagalannya, meliputi norma hukum tidak jelas, aparatur hukum yang korup atau masyarakat yang tidak sadar hukum
(Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013: 302).
Dalam penegakan hukum di Indonesia, terdapat beberapa faktor penghalang yang menjadi kendala bagi penegakan hukum. Lawrence M.
Friedman dalam jurnal yang ditulis oleh Yusi Permatasi, Yuwono Prianto menyebutkan bahwa dalam teori sistem hukum, yang menyatakan bahwa hukum yang baik harus terdapat 3 unsur dari hukum itu sendiri, yaitu (Yusi Permatasari dan Yuwono Prianto, 2018: 15-25):
1) Struktur Hukum (Legal Structure)
Lembaga-lembaga yang ada di Indonesia mulai dari badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif menjalankan tugas sesuai dengan struktur hukum yang ada, tatanan kelembagaan dan kinerja atau hak serta kewajiban masing-masing lembaga. Adapun penegakan hukum dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau yang biasa disebut sebagai aparatur penegak hukum, seperti kepolisi, kehakim, kejaksaan dan advokat.
2) Substansi Hukum (Legal Substance)
Substansi yang dimaksud disini adalah aturan, norma, dan pola perilaku masyarakat.
3) Budaya Hukum (Legal Culture)
Sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum seperti keyakinan, nilai, gagasan dan harapan mereka, dengan kata lain ini merupakan bagian dari budaya umum yang menyangkut sistem hukum.
Keberhasilan implementasi kebijakan dapat dikaji berdasarkan proses implementasi (perspektif proses) dan hasil yang dicapai (perspektif hasil). Pada perspektif proses, program dikatakan berhasil apabila pelaksanaannya sesuai dengan petunjuk dan ketentuan pelaksanaan yang mencakup tata cara pelaksanaan, agen pelaksana, kelompok sasaran dan manfaat program. Sedangkan pada perspektif hasil dinilai berhasil manakala programnya membawa dampak yang diinginkan. Implementasi kebijakan dianggap berhasil ketika telah nampak konsistensi antara proses yang dilalui dengan hasil yang dicapai (Haedar Akib, 2010: 7).
31
B. Kerangka Pemikiran
Bagan 2.1 Kerangka Pemikiran Implementasi Kewajiban Pemberian Kerja Bagi Penyandang Disabilitas Di Perusahaan
Swasta Nakamura Holistic Theraphy Surakarta
Pasal 53 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
Tidak Terpenuhi Terpenuhi
Solusi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan
Kewajiban
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia
Mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas tanpa diskriminasi.
Hambatan
Keterangan :
Dalam rangka terjamin dan terpenuhinya hak kesejahteraan setiap orang tidak terkecuali kaum disabilitas, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan yang dimilikinya. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja dapat memperoleh pekerjaan yang layak tanpa adanya diskriminasi. Dimana hal ini juga berlaku bagi penyandang disabilitas dalam upaya memperoleh pekerjaan yang layak untuk dirinya. Pemerintah telah membuat suatu peraturan yang dituangkan dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang isinya adalah
“(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan/Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.
(2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.”.
Penulis ingin menekankan pada ayat (2) Pasal 53 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tersebut pada wilayah kota Surakarta saat ini.
Penelitian hukum ini bermaksud mengkaji bagaimana implementasi kewajiban pemberian pekerjaan bagi penyandang disabilitas di perusahaan Nakamura Holistic Theraphy Surakarta yang telah tertulis dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Apakah secara kuantitas kewajiban pemberian kerja bagi penyandang disabilitas di HeadOffice perusahaan swasta Nakamura Holistic Theraphy Surakarta tersebut telah terpenuhi dengan baik atau tidak terpenuhi, bagaimana pembinaan karir bagi penyandang disabilitas apa kendala yang dialami oleh perusahaan dan bagaimana solusinya agar dapat mencapai tujuan dari perundang-undangan yang terkait yaitu mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas tanpa diskriminasi.