• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN MANTRA DALAM TRADISI MAITAI ALLO MACOA PADA MASYARAKAT DESA ONGKO KEC. CAMPALAGIAN KAB. POLMAN: TINJAUAN SEMIOTIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGGUNAAN MANTRA DALAM TRADISI MAITAI ALLO MACOA PADA MASYARAKAT DESA ONGKO KEC. CAMPALAGIAN KAB. POLMAN: TINJAUAN SEMIOTIK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN MANTRA DALAM TRADISI MAITAI ALLO MACOA PADA MASYARAKAT DESA ONGKO KEC. CAMPALAGIAN KAB. POLMAN: TINJAUAN

SEMIOTIK

The Use of Mantra in the tradition of Maitai Allo Macoa in Ongko people Campalagian subdistrict Polman regecny: A review of the Semiotics

1

Hajaratul Aswad, 2Nurhayaty, 3Ikhwan said

1Program Studi linguistik, Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Hasanuddin, Makassar(email : Hayaraswad@gmail.com)

2Program Studi linguistik, Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Hasanuddin, Makassar(email : Nurhayatisyair@gmail.com)

3Program Studi linguistik, Fakultas Ilmu Budaya,Universitas Hasanuddin, Makassar(email :Ionesaid@gmail.com )

Alamat Korespondensi:

Hajaratul Aswad Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin Makassar, 90245

Email: Hayaraswad@gmail.com

(2)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan menafsirkan dan menjelaskan hubungan antara mantra dengan tradisi Maitai Allo Macoa, makna mantra yang terkandung dalam tradisi Maitai Allo Macoa dan dampak existensi mantra dan tradisi Maitai Allo Macoa pada masyarakat Desa Ongko. Mantra yang berupa karya puisi lama terdiri dari kata pembuka dan penutup. Sedangkan naskah merupakan karya kebudayaan menggunakan simbol-simbol yang mempunyai makna. Penelitian ini bersifat kualitatif, yang berorientasi pada tuturan, berupa mantra baca-baca dan naskah simbol Maitai Allo Macoa. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Ongko Kec. Campalagian Kab.

Polman. Pemerolehan data diperoleh dengan melakukan observasi, wawancara terbuka dan tertutup, merekam dan mencatat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunan mantra dalam naskah Maitai Allo Macoa untuk merantau di Kab. Polman terdiri tiga jenis mantra dan satu naskah, yakni mantra pembueang, peakkeyang, asslamakang dan naskah Maitai Allo Macoa. Secara umum teks mantra tersebut memiliki hubungan yang dekat dengan teks Alquran Artinya, penciptaan mantra merantau mendapat inspirasi dari kandungan teks Alquran.

Yang menentukan hari baik dalam naskah tersebut, yaitu waktu dan makna simbol yang digunakan sebagai petunjuk untuk menjalankan kegiatan yang dianggap sakral. Eksistensi atau dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan mantra dan naskah tradisi Maitai Allo Macoa yaitu kesuksesan dan keselamatan.

Kata kunci: Mantra merantau, naskah maitai allo macoa.

Abtract

The aims of this research were to decipher and to explain interaction between spell and Maitai Allo Macoa tradition, the exsistence of spell and tradition of Maitai Allo Macoa especially to sociaty in Ongko village. The content of spell is the old poem that consist of proface and cloosing. Whereas the manuscript is a creation of cultural that used the symbols and have meaning. This study was qualitative research that orient to the words in the form of spelling and the manuscript of symbols of Maitai Allo Macoa. This research was done in Ongko village sub regency Campalagian, Polman regency. The data were gained by observation, either close and open interview to society, recorded and written. The result of this research showed that the sociaty usually used the spell in the manuscript of Maitai Allo Macoa before going to wander. It consists of there kinds of spell and one manuscript; pembueang, peakkeyang, assalamakang and Maitai Allo Macoa manuscript. In general, the spelling manuscript has relationship to the Holy Al-Qur’an text. It means the creation of spelling inspired by Holy Alquran. Things that decide the good day in the manuscript are time and symbol meaning which are used as the direction to held the holy activity. The exsistence or effect on the using of the spell and tradition of Maitai Allo Macoa is success and safety.

Keywords: the spell of wander , manuscript of Maitai Allo Macoa.

(3)

PENDAHULUAN

Dewasa ini telah diketahui bahwa bahasa adalah kekayaan budaya yang menunjukan Identitas dari setiap kelompok suku, ras dan agama. Bahasa sebagai representasi keunikan penutur-penuturnya dalam memandang dunia dan sekitarnya (Wijana dan Muhammad, 2006)

Keraf (dalam Smarapradhipa 2005:1) memberikan dua pengertian bahasa yakni pertama, menyatakan bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan kedua, bahasa adalah sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer.

Salah satu bentuk ungkapan bahasa sebagai produk kebudayaan ialah penggunaan mantra dalam kehidupan masyarakat. Mantra lahir dari masyarakat sebagai perwujudan atas keyakinan atau kepercayaan. Masyarakat tradisional memandang bahwa, mantra bersatu dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari, seorang pawang atau dukun yang ingin menyembuhkan penyakit misalnya, dilakukan dengan membacakan mantra. Berbagai kegiatan dalam pembacaan mantra dilakukan oleh dukun atau pawang dan masyarakat tradisional itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan adat, tradisi dan budayanya.

Mantra dan masyarakat memiliki hubungan yang erat. Artinya, mantra ada karena ada masyarakat pewarisnya. Lahirnya mantra di tengah-tengah masyarakat merupakan suatu perwujudan atas kepercayaan dan keyakinan yang dimilikinya. Berdasarkan informasi dari hasil penelitian diketahui bahwa mantra terdiri atas beberapa tujuan seperti yang telah dikemukakan oleh Rusyana (1970) dalam hasil penelitiannya membagi mantra berdasarkan tujuannya menjadi 7 bagian yaitu: (1) Jampe (jampi), (2) Asihan (pekasih), (3) Singlar (pengusir), (4) Jangjawokan (ampi), (5) Rajah (kata-kata pembuka jampi), (6) Ajian –ajian (jampi ajian kekuatan), dan (7) Pelet (Guna-guna). Diketahui bahwa ketujuh bagian tersebut dapat dikelompokkan ke dalam mantra putih „white magic’ dan mantra hitam „black magic’.

Dapat dicermati pula bahwa mantra putih di antaranya bertujuan menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit.

Adapun kategori mantra hitam di antaranya bertujuan mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.

(4)

Kehadiran mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks di jaman sekarang.

Tradisi “Maitai Allo Macoa” merupakan warisan nenek moyang terdahulu yang dipercaya sebagai kegiatan menentukan waktu dalam hari yang dianggap baik untuk memulai peperangan. Hingga saat ini, tradisi “Maitai Allo Macoa” masih digunakan secara turun- temurun oleh masyarakat Desa Ongko. Pada awalnya tradisi “Maitai Allo Macoa” hanya digunakan oleh Manyam Bumi, yaitu Raja Balanipa X dalam menentukan waktu dan hari untuk berangkat kemedan perang melangsungkan peperangan. Seiring perkembangan zaman dari masa ke masa, tradisi “Maitai Allo macoa” juga mulai digunakan dalam berbagai hal, yaitu berangkat berdagang untuk menjual dagangan, berangkat mencari pekerjaaan atau menuntut ilmu di tanah rantauan, menentukan waktu dan hari baik untuk memulai acara pernikahan atau untuk membangun rumah, dan menentukan waktu dan hari baik untuk menjalankan kegiatan adat.

Mengenai serangkaian penggunaan mantra di dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” hal demikian dilakukan dengan mengacu pada teks naskah yang sudah dijelaskan secara lengkap dan terperinci. Selain itu, informasi tentang penggunaan mantra dalam naskah tradisi ”Maitai Allo Macoa” dapat dibagi menjadi lima jenis berdasarkan teks dan tujuan penggunaannya yaitu:

1. Mantra Bangun tidur (Paissangang Pembueang) 2. Mantra pemberangkatan (Paissangang Peakkeyang) 3. Mantra Keselamatan (Paissangang Assalamang)

Penggunaan mantra dalam tradisi yang dikemukakan di atas diyakini mampu mendatangkan kekuatan gaib yang bisa membantu dan memudahkan pembaca mantra guna mendapatkan apa yang ingin dicapai dalam perantauan.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang bahasa mantra yang dilakukan oleh Saputra dan Puji (2013) berjudul ‟‟Tradisi Santet sebagai Pranata Budaya Lokal : Kajian Kelisanan Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Banyuwangi” yang mana penelitian tersebut membahas tentang perbandingan antara varian teks mantra Sabuk Mangir dan mantra Jaran Goyang ditinjau dari teori formula sintaktis, formula repetisi yang bervariasi, dan formula repetisi tautotes. Teori ini dipopulerkan oleh Parry dan Lord, yang kemudian dikenal sebagai teori formula Parry-Lord. Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan struktural dan etmografi. Dari hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa belum memberikan penjelasan yang komprehensif tentang bagaimana hubungan antara

(5)

mantra dan tradisi serta makna yang terkandung dalam mantra itu sendiri. Dengan kata lain, hasil penelitian tersebut belum mengkaji secara spesifik makna yang terkandung dalam mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang pada masyarakat Banyuwangi baik secara lingusitik maupun berkaitan dengan pendekatan semiotik dalam konteks tradisi dan konteks budayanya.

Oleh karena itu, penelitian ini akan memfokuskan tentang makna mantra yang terkandung dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dan kaitan antara bahasa mantra dalam tradisi tersebut dengan pendekatan semiotika, yaitu bahasa dilihat dari dalam dirinya (leksikogramatika) dan peranannya dalam kelompok tertentu sebagai pengungkapan gagasan atau konsep (Sutjaja, 1990:69).

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian dan Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif.

Data kualitatif merupakan data yang berbentuk kata, kalimat, gerak tubuh, ekspresi wajah, bagan, gambar dan foto (Sugiyono, 2014:7). Data yang diperoleh di lapangan menggunakan metode kualitatif dan di analisis dengan menggunakan tinjauan teori Semiotik.

Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa informan (pemangku adat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda), di Desa Ongko Kab. Polewali Mandar hasil pengamatan di lapangan. Adapun jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer berupa naskah “Maitai Allo Macoa”dan teks mantra yang diperoleh langsung dari informan dan data sekunder yang diperoleh di kantor desa setempat.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Desa Ongko, Kec. Campalagian, Kab. Polman dan waktu penelitan di lakukan selama 3 bulan, yakni dari bulan Februari 2017 sampai bulan April 2017.

Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode observasi. Observasi dilakukan untuk memvalidasi data hasil survei dan mendalami pemahaman responden. Observasi dilakukan selama 2 bulan di tempat-tempat umum di Desa Ongko melalui rekaman dan pencatatan. Selanjutnya, informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat memberi gambaran tentang situasi penggunaan mantra dalam tradisi

“Maitai Allo Macoa” yang sesungguhnya, terutama hubungan antara mantra dan naskah

(6)

“Maitai Allo Macoa” yang digunakan oleh masyarakat Desa Ongko untuk merantau sedangkan teknik pengumpulan data pada penelitian ini, yaitu teknik wawancara dan dokumentasi. Teknik wawancara ini dilakukan dengan menyampaikan pertanyaan yang menyangkut tentang mantra dan naskah serta makna yang terkandaung didalamnya kemudian pertanyaan dikembangkan untuk memeroleh data yang lengkap berdasarkan pertanyaan- pertanyaan yang telah disiapkan Sementara Teknik dokumentasi dilakukan dengan cara mencatat peristiwa yang ada atau sudah berlalu di lapangan. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang

Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, langkah pertama yang dilakukan untuk menganalisis data adalah mentranskrip hasil rekaman tanpa menambahkan atau mengurangi. Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi data yang terkumpul dari hasil rekaman dengan cara memilah antara data mantra pembueang, peakkeyang dan assalamakang dengan data tentang penggunaan naskah “Maitai Allo Macoa” untuk merantau. Setelah proses identifikasi data selesai dilakukan, langkah berikutnya adalah mengelompokan dan mengklasifikasi data yang bersumber dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam hasil wawancara dengan menggunakan pendekatan teori sastra. Pengklasifikasian data berdasarkan penggunaan mantra dalam tradisi “Maitai Allo Macoa”, kemudian variabel penelitian dikaitkan dengan objek penelitian tentang makna mantra dan naskah, hubungan antara mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” serta dampak eksistens bagi masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” untuk merantau.

Setelah proses identifikasi dan klasifikasi data selesai di lakukan, selanjutnya data mantra kemudian di analisis dengan menggunakan teori semiotika Michael Riffaterre untuk membangun serangkaian arti dan mengungkap makna yang terkandung dalam mantra sedangkan data naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” pada penelitian ini di analisis dengan menggunakan teori semiotika Carles Cander Pierce guna menentukan tanda simbolical sign, iconic sign dan indexical sign yang terdapat dalam naskah tersebut, setelah analisis data selesai dilakukan. Dari hasil analisis akan menunjukkan bentuk hubungan antara mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” serta dampak eksistensi yang ditimbulkan bagi masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dalam menjalani aktifitas merantau, kemudian hasil analisis disimpulkan hubungan anatara mantra merantau dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dan kandungan makna mantra dan naskah ”Maitai Allo Macoa” serta dampak eksistensi yang ditimbulkan bagi

(7)

masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dalam menjalani aktifitas merantau.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan informan pada masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dalam menjalani aktifitas merantau.

Pemilihan wilayah sampel berada di Dusun Ongko. Hal dilakukan dengan pertimbangan bahwa : 1) Dusun Ongko merupakan wilayah yang dianggap representatif dari dusun lain yang berada di Desa Ongko 2) Dusun Ongko merupakan wilayah terluas dan terbanyak jumlah penduduknya diantara Dusun-Dusun yang lain dan juga merupakan pusat tempat tinggal bagi informan seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama tokoh pemuda dan pemangku adat.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik sampling jenuh. Teknik sampling jenuh adalah penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang atau penelitian yang ingin membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat kecil. Istilah lain dari sampling jenuh adalah sensus dimana semua anggota populasi dijadikan sampel.

Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak tiga data mantra dan satu data naskah yang berupa hubungan antara mantra dengan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dan arti serta makna konvensioal yang terkandung dalam mantra dan naskah tradisi

“Maitai Allo Macoa” menurut informan pada masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dengan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” untuk menjalani aktivitas merantau.

HASIL PENELTIAN

Hasil penelitian ini secara umum berkaitan dengan aspek kesusastraan, yakni penggunaan mantra dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” pada masyarakat Desa Ongko. Aspek penggunaan mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” tersebut yakni hubungan antara mantra dan tradisi “Maitai Allo Macoa”, Makna yang terkandung dalam tradisi “Maitai Allo Macoa serta dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan mantra dan tradisi “Maitai Allo Macoa” pada masyarakat Desa Ongko.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa penggunaan mantra dalam tradisi “Maitai Allo Macoa” pada masyarakat Desa Ongko meliputi: (1) hubungan antara mantra dan tradisi

(8)

“Maitai Allo Macoa”, (2) Makna mantra yang terkandung dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa, (3) Dampak yang ditimbulkan dalam penggunaan mantra dan tradisi “Maitai Allo Macoa” pada masyarakat Desa Ongko. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat penggunaan mantra dalam tradisi “Maitai Allo Macoa” (1) Mantra dan naskah “Maitai Allo Macoa” memiliki hubungan yang erat, hubungan erat antara mantra dan naskah tradisi

“Maitai Allo Macoa” terdiri dari dua tahap penggunan, yaitu pertama menentukan tujuan penggunaan naskah dan mencari hari baik dengan menggunakan naskah “Maitai Allo Macoa dan kedua melakukan pembacaan mantra berdasarkan pada tujuan penggunaan naskah tradisi

“Maitai Allo Macoa untuk menjalani aktivitas merantau (2) Mengungkap makna yang terkandung dalam mantra dengan menggunakan teori semiotika Michael Riffaterre yang menggunakan tiga model pembacaan, yaitu pembacaan heuristik dan hermenuitik, matriks dan model dan hubungan intertekstual dan menentukan tiga jenis tanda yang terdapat dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dengan menggunakan teori semiotika Carles Sander Pierce (3) Dampak eksistensi bagi masyarakat adat Desa Ongko yang menggunkan mantra dan tradisi “Maitai Allo Macoa” dalam menjalani aktifitas merantau.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa interaksi antara sastra lisan dan sastra tulis tampaknya memiliki unsur-unsur yang sejalan. Hal tersebut dapat dilihat pada penggunaan mantra dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” yang digunakan oleh masyarakat adat Desa Ongko untuk menjalani aktivitas merantau.

Mantra yang terdapat dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” merupakan sastra lisan yang berbentuk puisi lama dan tergolong sebagai puisi tradisional yang dimiliki oleh masyarakat suku Mandar yang berada di Desa Ongko sedangkan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” merupakan sastra tulis yang memiliki bentuk dan struktur yang didalamnya terdapat tanda-tanda yang memiliki arti dan mengandung makna yang digunakan sebagai pedoman dalam mencari waktu dan hari baik untuk menjalani berbagai aktivitas kerja yang dianggap sakral.

Tradisi “Maitai Allo Macoa” merupakan adat istiadat pada masyarakat adat Desa Ongko yang sudah sejak lama berkembang dan dijalankan secara turun temurun oleh masyarakatnya yang menggunakan naskah “Maitai Allo Macoa” dalam mencari waktu dan menentukan hari baik untuk menjalani berbagai aktivitas kerja yang dianggap sakral.

Asimilasi antara mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” pada masyarakat adat Desa Ongko merupakan kuenswekuensi logis adanya penyatuan antara adat dengan kebudayaan.

(9)

Mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” memiliki hubungan yang begitu erat, hubungan erat antara mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” terletak pada tujuan dan fungsi kegunaannya. Selain itu, bentuk hubungan antara mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dapat dilihat pada dua tahap yang digunakan oleh informan pada masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dalam menjalani aktivitas merantau.

Tahap pertama, yaitu menentukan tujuan penggunaan naskah dan mencari waktu dan hari baik yang terdapat dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa”.

Berdasarkan tinjauan teori semiotika menurut pandangan Carles Sander Pierce, yang digunakan untuk mengkaji data naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” pada masyarakat adat Desa Ongko, maka dapat dijelaskan bahwa cara yang digunakan oleh informan pada masyarakat adat Desa Ongko dalam mencari waktu dan hari baik untuk menjalani aktivitas merantau, yaitu dengan menggunakan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 1

Tabel „‟Maitai Allo Macoa”

No

Ahad

Makna Konvensional Waktu Icon, indeks

dan Simbol Arti 1

2

3

4

Pagi

6-8 = Kosong

Upaya akan menemui kegagalan

Dhuha

8-11 ɫ

Mayat

Upaya Akan

mendapatkan celaka.

Tengah Hari

11-12

Hidup

Upaya Akan menghasilkan kehidupan yang lebih baik.

Dhuhur 12-3

Pulang

Pokok

Upaya yang ingin dicapai Akan sia-sia.

(10)

5 Ashar

3-6 Berisi

Upayaakan berjalan sesuai dengan yang direncanakan

Dari tabel naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” di atas tersebut, maka dapat ditemukan tiga jenis tanda yang terdapat di dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” yang digunakan sebagai petunjuk dalam menentukan baik atau tidaknya waktu dan hari untuk menjalani aktifitas merantau. Ketiga jenis tanda itu ialah icon (iconic sign), tanda indeks (indexical sign) dan tanda simbol (simbolical sign).

Hari ahad pada pukul 8-11 yang menunjuk pada tanda

ɫ

yang terdapat pada tabel di atas disebut sebagai (sibolical sign) yang menunjukkan hubungan arbitrer antara penanda dengan petandanya. Simbol

ɫ ini

artinya hidup yang menandai pada suatu kehidupan yang lebih baik dan menandakan, bahwa hari minggu pada pukul 8-11 merupakan waktu yang dianggap baik dalam menjalani aktivitas merantau sedangkan petanda dalam tanda ini mengartikan bahwa kehidupan yang lebih baik akan diperoleh oleh “si” pengguna pada saat berada ditanah rantauan

Hari ahad pada pukul 11-12 yang menunjuk pada tanda yang terdapat dalam tabel naskah “Maitai Allo Macoa” disebut sebagai (indexical sign) yang menunjukan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dengan petandanya. Tanda ini artinya mati yang menandai pada suatu kematian dan menandakan bahwa hari minggu pada pukul 11-12 merupakan waktu yang dianggap tidak baik dalam menajalani aktifitas merantau sedangkan petanda pada tanda ini mengartikan, bahwa musibah bahkan kematian dapat menimpa oleh

“si” pengguna pada saat berada ditanah rantauan.

Hari ahad pada pukul 12-3 yang menunjuk pada tanda yang terdapat pada tabel tersebut disebut sebagai (iconic sign) yang memiliki keserupaan antara penanda dengan petandanya. Tanda icon ini artinya berisi dapat pula berarti memuat atau padat yang menandai pada sesuatu yang banyak isinya dan menandakan bahwa ahad pada pukul 12-3 merupakan waktu yang dianggap baik dalam menjalani aktivitas merantau sedangkan petanda dalam tanda ini mengartikan, bahwa upaya yang dilakukan akan memeroleh kemudahan dalam mewujudknnya dan ketika hari ahad pada pukul 12-3 digunakan untuk menjalani aktivitas merantau dalam menuntut ilmu atau pun mencari kerja ditanah rantauan, maka “si”

pengguna akan mendapatkan hasil yang berisi. Dari tabel naskah tersebut, maka dapat diberi

(11)

simpulan, bahwa hari ahad pada pukul 8-11 yang menunjuk pada simbol ɫ merupakan waktu dan hari yang dianggap baik untuk dalam menjalani aktivitas kerja yang dianggap sakral.

Tahap kedua, yaitu melakukan pembacaan mantra sesudah menentukan waktu dan hari baik yang terdapat dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa”. Penggunaan mantra dalam tradisi “Maitai Allo Macoa” terdiri dari paissangang pembueang (Mantra bangun tidur), paissangang peakkeyang (mantra pemberangkatan) dan paissangang assalamakang (Mantra keselamatan) yang digunakan oleh informan pada masyarakat adat Desa Ongko sesudah menentukan waktu dan hari baik yang terdapat dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa”

dan dibacakan pada saat akan menjalani aktivitas merantau . Mantra (1)

Paissangang pembueang (mantra bangun tidur) di bawah ini dibacakan pada saat bangun tidur dari tempat pembaringan dan digunakan sesudah mencari hari dan menentukan waktu baik yang terdapat di dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” untuk menjalani aktivitas merantau.

Bismillah

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha SWT (Ya Allah ya Tuhanku)

I..Ali membueq Si..Ali bangung

(diriku menyatu dengan Ali Bin Abu Thalib bangun dari tempat pembaringan) sisaqu pasaur ilalang sangallona

saya sendiri yang berkuasa dalam hari ini

(Aku dengan Ali Bin Abu Thalib yang berkuasa pada hari ini) Kumpayakun

Jadilah

(Kabulkanlah ya Allah)

1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a) Pembacaan Heuristik

Mantra di atas pada baris pertama diawali dengan penggunaan kata Bismillah yang artinya dengan menyebut nama Tuhan YME kemudian pada baris kedua terdapat nama Ali yang artinya orang yang terpuji, kata ini tertuju pada Ali Bin Abu thalib sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW dan merupakan khalifah keempat dalam sejarah peradaban ummat islam yang dikenal sebagai sosok pemimpin yang jujur, bijak, berani dan cerdas selanjutnya pada baris ketiga terdapat penggunaan kata sisaqu pasaur yang artinya saya sendiri yang berkuasa yang menunjukan pada suatu keinginan bagi “si” pembaca untuk memeroleh kekuasaan dan

(12)

pada baris keempat terdapat penggunaan kata ilalang sangallona yang artinya didalam sehari penuh dapat juga berarti kekuasaan akan diraih dalam sehari penuh dan hari-hari berikutnya pada saat mantra selesai di bacakan, pada baris penutup diakhiri dengan kata Kumpayakun yang artinya jadilah

b) Pembacaan Hermeneutik

Sesuai fungsinya, mantra ini sesungguhnya sudah mengimplikasikan keinginan si pengguna untuk memeroleh kekuasaan. Keinginan ini ditujukan dalam bentuk sebuah permohonan yang ditujukan kepada Tuhan YME dengan melalui perantaraan suatu wujud yang tidak terlihat. Keinginan itu secara terkstual terdapat pada baris pertama dan kedua dalam bait mantra, yaitu Bismillah dan i...Ali membueq.

Fonem /i/ pada awal kata Ali dapat disinonimkan dengan huruf “si” dalam bahasa indonesia. Kata ini merupakan penanda jamak yang menunjuk pada nama orang ketiga tunggal dan secara linguistik huruf tersebut tidak memiliki arti. Namun, dalam kesatuan isi mantra “i” mengandung makna konotatif, yaitu sebuah perintah yang ditujukan pada suatu wujud yang tidak terlihat atau pun dalam kesleruhan isi mantra huruf “i” ini diartikan sebagai perintah yang ditujukan pada suatu wujud yang tidak terlihat agar yang diperintah dapat memberi kemudahan bagi “si” pembaca dalam mewujudkan fungsi mantra yang dibacakan.

Kata Ali dalam baris yang sama pada mantra ini yang artinya orang terpuji yang ditujukan pada Ali Bin Abu Thalib yang juga khalifah keempat dalam sejarah peradaban umat islam dan dikenal sebagai sosok pemimpin yang jujur, bijak, berani dan cerdas. Ada hubungan yang erat antara isi perintah dengan fungsi mantra, di mana mantra ini berfungsi dalam memudahkan “si” pembaca untuk memperoleh kekuasaan dan isi perintah dalam mantra ini memerintahkan pada suatu wujud yang tidak terlihat agar yang di perintah memberi kemudahan bagi “si” pembaca untuk menjadi seorang pemimpin yang jujur, bijak, berani dan cerdas pada saat berada di tanah rantaun.

2) Matriks dan model

Dari hasil pembacaan hermeneutik ditemukan tanda yang monumental dan merupakan matriks dan model pada mantra ini. Tanda itu adalah i..Ali membueq yang terdapat dalam baris kedua pada mantra pembueang. Kata ini merupakan inti dari kseleuruhan isi mantra pembueang yang merupakan penanda yang menandai sasaran dari pembacaan mantra. Setiap mantra tentunya mengandung sasaran dan tujuan dari pembacaannya untuk menunjukkan fungsinya.

3) Hubungan intertekstual

(13)

Dalam keseluruhan isi mantra ini memberi gambaran tentang hubungan kedekatan antara manusia, malaikat, dan Wali Allah dengan Tuhan. Sedangkan arti dan kandungan makna yang terdapat didalam teks mantra ini memiliki hubungan dengan konsep Kosmologi.

Dalam konsep kosmologi, hubungan kedekatan antara tuhan dengan tiap-tiap mahluk berbeda. Jarak hubungan antara Malaikat, Tuhan dengan Nabi, Tuhan dan Wali Allah, lebih dekat hubungan antara malaikat dengan Tuhan. Demikian pula jarak hubungan antara manusia dengan Tuhan lebih jauh dari pada hubungan antara Nabi dengan Tuhan.

Mantra ini dibacakan dan diungkapkan sebagai bentuk permohonan yang ditujukan terhadap sang penguasa alam dan seluruh isinya. Namun permohonan ini di sampaikan melalui perantaraan suatu wujud yang tidak terlihat. Penggunaan fonem /i/ pada awal kata Ali dalam bait mantra ini menandakan adanya suatu wujud yang tidak terlihat yang diperintah dan merupakan perantara yang diyakini memiliki tingkat hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan dengan melalui perantaraan tersebut, maka permohonan yang disampaikan akan lebih cepat terkabul.

Mantra (2)

Paissangang peakkeyang atau mantra (pemberangkatan) dibawah ini, digunakan sesudah mencari hari dan menentukan waktu baik yang terdapat di dalam naskah tradisi

“Maitai Allo Macoa” dibacakan ketika sudah bersiap turun dari rumah untuk menjalani aktivitas merantau.

Bismillah

Dengan menyebut nama Allah SWT.

(ya Allah ya tuhanku)

Sulo sulona langiq, rattinganna allo cahaya langit, teriknya matahari

(engkaulah pemilik cahaya dan sang pemberi cahaya, mentarimu yang memancarkan cahaya) mayallaq lino, mayallaq bulang

terangnya dunia, terangnya bulan (alam yang terang, bulan yang bersinar) mayallaq duapa iyau, naita anganana tau

diriku lebih terang dan bercahaya dalam penglihatan orang-orang disekitarku.

(aku menyatu dengan cahaya mentari yang dapat memberi manfaat untuk semua mahluk yang

ada dimuka bumi dan aku menyatu dengan sinar rembulanyang dapat menerangi kegelapan) Kumpayakun

Jadilah

(kabulkanlah ya Allah)

Mantra ini di bacakan secara berulang-ulang sebanyak tiga kali.

(14)

1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a) Pembacaan Heuristik

Baris pertama dalam mantra diatas diawali dengan kata bismillah yang memiliki arti yang sama dalam kata pembuka pada mantra sebelumnya. Selanjutnya pada baris kedua terdapat kata sulo-sulonalangiq dan rattinganna allo. Kata sulo diartikan sebagai penerang sedangkan sulona yang berarti yang menerangi dan langiq artinya langit. Kata Sulo-sulona langiq mengandung makna penerang yang menerangi alam dan seluruh isinya. Kata Rattingganna yang artinya teriknya berarti terik yang memamancarkan cahaya dan allo yang artinya mentari. Kata Rattingganna allo mengandung makna terik mentari yang memancarkan cahaya dan memberi manfaat bagi alam dan seluruh isinya. Kemudian pada baris ketiga dalam bait mantra ini disebutkan kata mayallaq lino dan mayallaq bulang. Kata mayallaq lino artinya alam yang terang diartikan juga sebagai terik yang keluar dari mentari dan menerangi alam disaat siang hari dan mayallaq bulang artinya bulang yang terang berarti sinar rembulan yang memamancarkan cahaya dan menyinari bumi disaat malam hari dan pada baris keempat dalam bait mantra ini terdapat kalimat mayallaq duapa iyau naita angannana tau dini dilino yang artinya diri si pembaca jauh lebih bercahaya dan bersinar dari terik mentari yang menerangi alam dan sinar rembulan yang menyinari bumi pada penglihatan orang-orang yang berada disekelilingnya. Pada baris terakhir dalam bait mantra ini ditemukan penggunaan kata Kumpayakun yang artinya jadilah

b) Pembacaan Hermeneutik

Pada bait mantra ini terdiri dari lima baris. Baris pertama diawali dengan kata Bismillah yang artinya dengan menyebut nama tuhan YME dan mengandung makna segala sesuatu yang akan dilakukan sepenuhnya disandarkan terhadap Tuhan YME.

Pada baris kedua dalam mantra ini disebutkan kata sulo-sulona langiq dan rattingganna allo. Sulo yang artinya „cahaya‟ dan sulona berarti „cahanya‟. Kata ini dibacakan secara reduplikasi ataupun dalam mantra kata ini diucapkan secara berulang menjadi kata sulo- sulona yang berarti „cahaya dari yang memberi cahaya‟. Secara linguistik morfem “na” yang terdapat pada akhir kata sulo merupakan penanda pasif dan secara semiotik morfem ini mengandung makna konotatif, yaitu perintah yang ditujukan kepada suatu wujud yang tidak terlihat yang dipercaya dapat memberi pertolongan dan diyakini dapat menyampaikan permohonan “si” pembaca terhadap Tuhan YME.

(15)

Pada baris ketiga dalam bait mantra ini ditemukan kata mayallaq lino dan mayallaq bulang. Mayallaq lino yang artinya alam yang terang-benderang dapat juga berarti sinar tata surya yang memamtulkan cahaya yang terang kedalam bumi dan mayallaq bulang artinya sinar rembulan yang berarti sinar rembulan yang menyinari alam pada malam hari kata ini mengimplikasikan pada situasi alam yang yang terang oleh sinar mentari dan situasi bumi yang disinari oleh rembulan pada malam hari. Pada baris keempat dalam bait mantra ini terdapat kalimat mayallaq duapa iyau naita anggannana tau dini dilino yang artinya diri sipembaca jauh lebih bercahaya, dari mentari dan lebih bersinar dari rembulan dalam penglihatan orang-orang yang berada disekelilingnya. Kalimat ini mengandung makna yang mereferensikan pada suatu keinginan si pembaca agar memeroleh cahaya dan sinar yang dapat menerangi orang-orang yang berada di sekelilingnya sinar dan cahaya itu dapat dimaknai sebagai „cahaya ilahi‟ dan sinar ilmu dengan segala kebaikan yang keluar dari hati yang bersih yang memberi manfaat bagi seluruh mahluk ciptaan tuhan di muka bumi. Baris penutup dalam bait mantra ini ditemukan kata kumpayakun yang artinya jadilah dan mengandung makna segala sesuatu sulit untuk terjadi ketika Tuhan YME yang menghendaki maka akan terjadi.

2) Matriks dan Model

Dari hasil pembacaan hermenuitik ditemukan dua tanda yang monumental dan merupakan matriks dan model pada mantra ini. Kedua tanda itu adalah sulo-sulona langit dan mayallaq bulang. Model pertama pada mantra ini adalah sulo-sulona langit yang mengimplikasikan pada sinar yang menerangi alam dan seluruh isinya serta memberi manfaat pada semua mahluk yang berada didalamnya. Sedangkan mayallaq bulang adalah model kedua pada mantra pembueang, kata ini diungkapkan secara berulang pada baris ketiga dan keempat dan merupakan muara dan tumpuan dari keseluruhan isi mantra ini.

3) Hubungan Intertekstual.

Kata sulona mengandung makna, yaitu cahaya dari pemilik cahaya dan sang pemberi cahaya. Kata ini sekaligus mereferensikan pada suatu keinginan yang dimiliki oleh “si”

pembaca agar cahaya dengan segala kebaikan dan sinar terang yang menerangi alam yang memberi manfaat bagi seluruh mahluk yang berada didalamnya dapat merasuk dan keluar dari kalbu hati “si” pembaca. Kata sulo-sulona dapat juga dimaknai sebagai cahaya ilahi yang bersumber dari Tuhan YME yang dapat menerangi kegelapan dan sinar ilmu dengan segala kebaikan yang keluar dari hati yang bersih yang dapat memberi manfaat bagi seluruh mahluk ciptaan Tuhan yang ada dimuka bumi.

Teks mantra ini, memiliki hubungan dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran pada

(16)

surat An-Nur ayat 53 yang didalamnya terdapat firman Allah SWT yang artinyaAllah itu (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, perumpamaan cahayanya seperti relung-relung yang di dalamnya terdapat lampu. Tempat terbitnya berbagai cahaya Ilahi itu dalam hati manusia dan rahasia-rahasianya" perlu diketahui bahwa hati seseorang sehingga dapat memancarkan cahaya Ilahi itu tidak lain dan tidak bukan adalah sinar ilmu, sinar ma'rifat serta nur tauhid. Cahaya yang keluar dari bintang, bulan juga matahari lebih baik daripada cahaya yang keluar dari hati manusia.

Mantra (3)

Paissangang assalamakang (mantra keselamatan) di bawah ini, digunakan sesudah mencari hari dan menentukan waktu baik yang terdapat di dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” dan dibacakan saat berada di depan rumah untuk menjalani aktivitas merantau.

Bismillah.

Dengan menyebut nama Allah SWT (Ya Allah ya tuhanku)

I..rarin diong

masalah bukan tujuan

(Masalah kutempatkan pada tempat yang paling rendah) I..nyaman diaya

kenyamanan diatas segalanya.

(kenyamanan kutempatkan pada tempat yang paling tinggi) Nyaman para nyaman,

nyaman dalam kenyamanan

(Semoga orang-orang yang bersama denganku memeroleh kenyamanan dan keselamatan) Para tangmanga-ngapa.

semua tanpa ada ap-apa

(Semoga penyerta yang bersama denganku terhindar dari segala malah bahaya) Kumpayakun

Jadilah

(Kabulkanlah ya Allah)

Mantra diatas dibacakan secara berulang-ulang sebanyak tiga kali.

1) Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a) Pembacaan Heuristik

Pada bait mantra ini terdiri dari empat baris, baris pertama pada mantra ini diawali dengan kata Bismillah yang memiliki arti yang sama dalam kata pembuka pada mantra sebelumnya. Selanjutnya kata i...raring yang artinya masalah dan diong yang artinya dibawah

(17)

dapat juga berarti masalah ditempatkan pada tempat yang paling rendah, sedangkan kata i...nyamang diaya yang artinya nyaman diatas, daapat juga berarti kenyamanan ditempatkan pada tempat yang tertinggi kemudian baris ketiga pada mantra ini terdapat kalimat nyamang para nyamang dan para tang magapa-ngapa. Nyamang yang artinya nyaman, kenyamanan dan para yang artinya penyerta, kata ini ditujukan kepada para penyerta ataupun orang-orang yang sedang bersama dengan si pengguna dalam menjalani aktifitas perjalanan sedangkan para tang mangapa-ngapa yang artinya tanpa mengapa-ngapa dapat juga berarti para penyerta dalam keadaan yang aman, nyaman dan selamat dan baris terakhir pada bait mantra ini ditemukan kata kumpayakun yang artinya jadilah.

b) Pembacaan Hermeneutik

Kata i...raring diong dan i...nyaman diaya merupakan penanda yang menandai pada sebuah perintah untuk melindungi agar “si” pembaca memperoleh kenyaman dan keselamatan dalam proses aktivitas yang dilakukan. Kata nyaman pada baris kedua dalam bait mantra ini sesungguhnya menyebabkan munculnya kata yang sama pada baris berikutnya. Tiap baris dalam mantra ini memiliki keterkaitan yang erat yang menggambarkan maksud dari keseluruhan isi mantra. Hubungan yang tercipta pada tiap isi mantra merupakan hubungan kausalitas yang meyakinakan bahwa hal itu adalah suatu bentuk tanda indeksikal.

Tanda indeksikal ini menandai sesuatu yang sifatnya menyuruh agar patuh terhadap perintah si pengguna mantra. Untuk itu, mahluk gaib ataupun suatu wujud yang tidak terlihat akan melakukan apa yang di perintahkan untuknya.

Baris ketiga pada bait mantra ini terdapat kalimat nyamang para nyamang dan para tang mangapa-ngapa. Kata nyamang artinya nyaman dapat juga diartikan sebagai kenyamanan dan kata para yang artinya penyerta ataupun kata ini juga ditujukan pada orang- orang yang sedang melakukan aktifitas perjalanan dengan “si” pembaca. Sedangkan kalimat para tang mangapa-ngapa yang artinya penyerta tanpa mengapa-mengapa. Kalimat tersebut ditujukan pada penyerta yang sedang melakukan aktifitas perjalanan dengan “si” pembaca agar dijauhkan dari masalah atau mala bahaya dan diberi kenyamanan dan keselamatan pada proses aktivitas perjalanan yang dilakukan.

2) Matriks dan Model

Dari hasil pembacaan hermenuitik ditemukan dua tanda yang monumental dan merupakan matriks dan model yang terdapat dalam baris kedua pada mantra ini. Kedua tanda itu adalah i...raring diong dan i...nyaman diaya dan merupakan aktualisasi dari matriks (pusat pemaknaan) yang disebut sebagai model pada mantra.

(18)

3) Hubungan Intertekstual

Sikap egaliter masyarakat Desa Ongko yang melekat pada corak kehidupan mereka sebagai perantau, tampaknya juga dikukuhkan oleh paham liku-liku kehidupan didalam perantauan dengan melihat teks-teks mantra yang digunakan seperti diatas.

Dampak eksistensi mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa”

Eksistensi mantra dan naskah “Maitai Allo Macoa” hingga saat ini penggunaannya masih dipertahankan dan dijalankan secara ketat oleh informan atau pun masyarakat adat Desa Ongko. Hal tersebut dapat dilihat pada acara-acara perkawinan dan kegiatan merantau yang dijalankan oleh masyarakatnya. Dalam melangsungkan acara tersebut terdapat kecendrungan bagi masyarakat adat Desa Ongko menggunakan waktu dan hari seperti senin pada pukul 11-12 kemudian ahad, pada pukul 8-11 dan selanjutnya hari ahad pada pukul 8- 11 waktu dan hari yang digunakan dalam melangsungkan acara atau pun kegiatan yang dianggap sakral tersebut, memiliki kesesuaian dengan waktu dan hari yang terdapat di dalam naskah tradisi “Maitia Allo Macoa”. Adapun dampak yang ditimbulkan bagi informan ataupun masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dengan Naskah “Maitia Allo Macoa” dalam melangsungkan rangkaian proses acara perkawinan dan kegiatan merantau menuntut ilmu di tanah rantauan yaitu keselamatan dan kesuksesan.

Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil kajian bab sebelumnya (hasil dan pembahasan), penulis dapat menarik beberapa simpulan yang selaras dengan tujuan penelitian, yakni:

Pertama, Hubungan antara mantra dan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa” pada masyarakat adat Desa Ongko terdiri dari dua tahap penggunaan, (1) menentukan tujuan penggunaan naskah dan mencari hari baik yang terdapat dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa”; (2) melakukan pembacaan mantra berdasrkan pada tujuan dari penggunaan naskah tradisi “Maitai Allo Macoa”.

Kedua, dari hasil analisis data naskah dalam tinjauan teori semiotika Carles Sander Pierce, maka dapat ditentukan tiga jenis tanda yang digunakan sebagai petunjuk dalam menentukan baik atau pun tidaknya waktu dan hari yang terdapat di dalam naskah tradisi “Maitai Allo Macoa”. Ketiga jenis tanda itu ialah Indexical sign , sombolical sign ɫ dan Iconic sign sedangkan hasil analisis data mantra dalam tinjauan semiotika Michael Riffaterre yang menggunakan tiga model pembacaan untuk membangun serangkaian arti dan mengungkap makna yang terkandung didalamnya, maka dapat diberi simpulan, bahwa

Pemaknaan tingkat pertama (pembacaan heuristik) pada ketiga teks mantra merantau membuahkan sebuah heterogenitas yang takgramatikal, terkoyak koyak, dan

(19)

tidak terpadu. Akan tetapi, setelah diadakan pembacaan lebih jauh melalui pembacaan semiotik tingkat kedua (pembacaan hermeneutik) pada ketiga teks mantra diperoleh sebuah makna yang padu tentang isi, sasaran, dan tujuan dari pembacaanmantra yang digunakan dalam menjalani aktivitas merantau.

Matriks dan model, terdapat beberapa tanda yang monumental yang disebut sebagai matriks (pusat pemaknaan) yang ditemukan dalam tiap-tiap bait teks mantra. Melalui penentuan model yang disebut sebagai matriks maka pemaknaan pada tiap-tiap bait teks mantra menjadi lebih terfocus. Dengan demikian, diperoleh makna yang utuh pada setiap bait mantra merantau.

Hubungan intertekstual, antara teks mantra merantau dengan teks-teks lain memperlihatkan bagaimana teks mantra merantau memiliki kesamaan dan perbedaan dengan teks-teks lain. Pada umumnya, mantra merantau pada masyarakat adat Desa Ongko diawali dengan kata Bismillah dan diakhiri dengan kata kumpayakun. Kedua kata ini memperlihatkan bahwa teks mantra merantau memiliki hubungan yang lebih dekat dengan teks Al-Quran.

Artinya, penciptaan mantra merantau pada masyarakat adat Desa Ongko mendapat inspirasi dari kandungan teks Al-Quran.

Ketiga, eksistensi penggunaan mantra dan nasakah tradisi “Maitai Allo Macoa” bagi masyarakat Desa Ongko, hingga saat ini masih dijalankan secara turun temurun oleh masyarakatnya. Hal tersebut dapat dilihat pada acara-acara pernikahan yang dilangsungkan oleh masyarakatnya. Waktu dan hari yang digunakan dalam melangsungkan acara pernikahan tersebut memiliki kesesuaian dengan waktu dan hari baik yang terdapat dalam naskah “Maitai Allo Macoa‟ sedangkan dampak yang ditimbulkan bagi informan atau pun masyarakat adat Desa Ongko yang menggunakan mantra dan naskah tradisi “Maitia Allo Macoa”, yaitu senantiasa diberi keselamatan dan kesuksesan dalam setiap proses aktivitas yang dilakukan.

Saran

Diperlukan dukungan dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk lebih memperhatikan hal yang menyangkut kebudayaan Suku Mandar pada masyarakat Desa Ongko di Kab. Polman.

Perlunya pemahaman mendalam bagi generasai pelanjut tentang Mantra dan tradisi

“Maitai Allo Macoa” agar dapat melestarikan budaya sendiri sebagai identitas jati diri bangsa dan Untuk penelitan selanjutnya, penulis menyarankan agar melakukan pengkajian lebih dalam tentang tinjauan agama dan perspektif budaya lain tentang mantra yang digunakan oleh masyarakat adat di Desa Ongko untuk menjalani aktivitas merantau.

(20)

DAFTAR PUSTAKA.

Alwi, Hasan., dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi III). Jakarta: Balai Pustaka.

Arikunto, 2010. Prosedur Penelitian Edisi Revisi 2010.

Program Pasca sarjana UNHAS. 2006 Pedoman Penulisan Tesis dan disertasi Edisi 4.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Uniawati, 2007. Mantra Melaut Suku Bajo Interpertasi Semiotika riffaterre. (Online).

https://core.ac.uk/download/pdf/11717283.pdf diakses 12 Maret 2012

Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita lakukan Dengannya (Jakarta: yayasan Sumber Agung:10, 1993.

Referensi

Dokumen terkait

Banyak dari mereka yang kurang memahami akan sejarah serta peranan Sungai Ciliwung di masa lalu sehingga mereka terkesan tidak peduli terhadap kondisi Sungai Ciliwung saat

Birleşik Amerika'nın önde gelen sağlık ürünleri kuruluşu Procter&Gamble tarafından , Lüleburgaz'daki modern ilaç kompleksinde 2001 yılında yapılan titiz

Pengaruh Gerakan Wahabi Terhadap Berdirinya Organisasi Kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) Tahun 1926; Halik, 060210302105; 83 Halaman Program Studi Pendidikan

Tri Edhi Budhi Soesilo, MSi sebagai Sekretaris Program Studi Kajian Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia atas masukan sehubungan konsep-konsep Ilmu Lingkungan yang turut

Apabila mengacu pada RPJMD Kabupaten Bojonegoro tahun 2013-2018 serta Peraturan Bupati Bojonegoro No mor 10 Tahun 2017 tentang Sistem Informasi Desa, website desa

Gagasan-gagasan yang dibangun dikaitkan dengan “menggali” dusun wisata budaya, karena itu tim mempresentasikan alternatif gambaran Dusun Wisata Budaya. Selain itu, digali

Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Arcandra dicitrakan sebagai korban dari pemerintah terkait kasus kewarganegaraan gandanya, (2) Arcandra dicitrakan sebagai