• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi pati talas Kimpul Termodifikasi Secara HMT (Heat Moisture Treatment) pada Pembuatan Bakso Ayam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi pati talas Kimpul Termodifikasi Secara HMT (Heat Moisture Treatment) pada Pembuatan Bakso Ayam."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI

APLIKASI PATI TALAS KIMPUL TERMODIFIKASI SECARA

HMT (

HEAT MOISTURE TREATMENT

) PADA PEMBUATAN

BAKSO AYAM

Tahun ke 1 dari rencana 1 tahun

Ketua Tim:

I PUTU SUPARTHANA, S.P., M.Agr., Ph.D. (NIDN: 0002097207)

Anggota Tim:

DR. IR. I NENGAH KENCANA PUTRA, M.S. (NIDN: 0024045709)

NI WAYAN WISANIYASA, S.TP., MP. (NIDN: 0013047101)

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

NOPEMBER 2015

Dibiayai oleh

DIPA PNBP Universitas Udayana

(2)
(3)

RINGKASAN

Dalam pembuatan bakso, bahan pengenyal merupakan bahan yang sangat penting karena bahan ini dapat menghasilkan bakso dengan karakteristiknya kenyal, kompak, dan juicy yang digemari oleh konsumen. Sampai saat ini, pengenyal yang banyak digunakan pada umumnya adalah sodium tri poli fosfat (STPP). STPP merupakan bahan tambahan pangan sintetik, yang bila digunakan secara berlebihan akan beresiko pada kesehatan. Untuk menggantikan penggunaan STPP, pati talas kimpul termodifikasi (PTKT) merupakan bahan yang aman digunakan sebagai pengenyal pada pembuatan bakso. PTKT merupakan pati tipe C yang memiliki daya ikat air yang tinggi, stabilitas terhadap panas yang baik, dan kemampuan membentuk gel yang tinggi sehingga mampu memperbaiki karakteristik bakso yang dihasilkan.

Penelitian ini bertujuan: 1) mengetahui pengaruh penambahan PTKT terhadap karakteristik bakso ayam; 2) mengetahui pengaruh jumlah penambahan PTKT yang optimal pada proses pembuatan bakso ayam; serta 3) mengetahui karakteristik bakso ayam yang ditambahkan PTKT.

(4)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Shang Hyang Widhi Wasa atas Asungkerta Wara Nugraha-Nya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan. Penelitian ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pemanfaatan umbi talas kimpul (keladi) yang populasinya cukup tinggi di daerah Bali. Salah satu produk yang dapat dihasilkan dari umbi talas kimpul ini adalah pati termodifikasi, yang nantinya dapat dimanfaatkan dalam pembuatan bakso ayam.

Penelitian ini dibiayai dari dana yang bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) PNBP Universitas Udayana Nomor SP DIPA: 023.04.2.415253/2015, tanggal 23 Februari 2015, dengan surat perjanjian penugasan Nomor: 246-297/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, tanggal 21 April 2015.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Rektor Universitas Udayana, atas fasilitas yang telah diberikan.

2. Bapak Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana atas fasilitas laboratorium yang telah diberikan.

Sudah barang tentu penelitian ini masih banyak kekurangannya, maka dari itu saran-saran yang sifatnya membangun dari semua pihak akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini ada manfaatnya bagi perkembangan ilmu dan teknologi pangan.

Denpasar, 20 Nopember 2015

(5)

DAFTAR ISI

2.1. Pati Talas Kimpul Termodifikasi (PTKT) ...10

2.2. Bakso...11

4.2. Rancangan Percobaan dan Analisis Data ………. 17

4.3. Pelaksanaan Penelitian ………. 17

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ………. 29

DAFTAR PUSTAKA ...30

LAMPIRAN-LAMPIRAN ...33

(6)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Syarat Mutu Obyektif dari Bakso Daging Menurut SNI No. 01-3818 (1995) .. 15

2. Nilai rata-rata kadar air bakso ayam. ... 28

3. Nilai rata-rata kadar abu bakso ayam ……… 24

4. Nilai rata-rata kadar lemak bakso ayam ……… 24

5. Nilai rata-rata kadar protein bakso ayam ……….. 25

(7)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Umbi talas kimpul sebagai bahan penelitian ……… 19

2. Proses ekstraksi pati talas kimpul ………. 19

3. Pati talas kimpul ……… 20

4. Proses pengovenan dalam pembuatan pati termodifikasi ………. 20

5. Pati talas kimpul termodifikasi. Panel A: pati termodifikasi setelah dikeluarkan dari oven; panel B: PTKT yang masih berbentuk granul diblender dan diayak hingga berbentuk tepung; panel C: PTKT. ... 21

6. Bakso ayam yang dibuat dengan penyenyal alami, pati talas kimpul termodifikasi. a: bakso ayam tanpa penambahan pengenyal; b, c dan d : bakso ayam dengan penambahan pengenyal alami berturut-turut sebanyak 5, 20 dan 25%. ... 22

7. Pengamatan fisik bakso ayam yang menggunakan pengenyal alami (PTKT). a: bakso ayam tanpa pengenyal; b,c,d,e dan f berturut-turut adalah bakso ayam dengan pengenyal alami (PTKT) sebanyak 5,10, 15, 20, dan 25%. ... 20

(8)

BAB 1. PENDAHULUAN

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan keamanan pangan yang dikonsumsi, penelitian pun dewasa ini banyak mengarah pada penemuan bahan pangan yang aman bagi kesehatan. Dalam pembuatan bakso bahan pengenyal merupakan bahan yang sangat penting, karena bahan ini dapat menghasilkan bakso dengan karakteristik kenyal, kompak, dan juicy yang digemari oleh konsumen. Sampai saat ini, pengenyal yang banyak digunakan pada umumnya adalah sodium tri poli fosfat (STPP), namun sebagaimana halnya dengan bahan tambahan pangan lainnya, bahan ini memiliki batas penggunaan (maksimal 0,3%), sehingga penggunaannya di industri harus dibatasi dengan peraturan yang ketat (SNI, 1995).

Dalam prakteknya pada pedagang bakso, STPP cenderung digunakan secara berlebihan, sehingga menimbulkan rasa pahit. Selain STPP, produsen terkadang menyalahgunakan sodium tetra boraks (Na2B4O7.10H2O) untuk mengenyalkan bakso yang penggunaanya dalam bidang pangan dilarang.

Untuk mengurangi penggunaan STPP dan mencegah penyalahgunaan boraks pada industri pangan, pati talas kimpul termodifikasi (PTKT) dengan teknik heat moisture-treatment (HMT) merupakan alternatif yang aman digunakan sebagai pengenyal pada pembuatan bakso. PTKT memiliki daya ikat air yang tinggi serta tergolong sebagai pati tipe C yang memiliki stabilitas terhadap panas lebih baik dan kemampuan membentuk gel yang lebih tinggi sehingga mampu memperbaiki karakteristik bakso yang dihasilkan.

Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) merupakan tanaman yang telah dikenal di Bali, sejak jaman dahulu. Talas kimpul dapat tumbuh di daerah tropis maupun sub-tropis, iklim lembab maupun kering, serta ketinggian tempat dengan kisaran yang lebar (0 – 1300 m) di atas permukaan laut (Anonimus, 2007). Hal tersebut menyebabkan talas kimpul sangat mudah tumbuh di daerah-daerah pertanian di Pulau Bali. Potensi produksi talas kimpul rata-rata per hektar adalah 30 ton (Anonimus, 2007), suatu produksi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan padi (4 - 6 ton per hektar).

(9)

bakso telah dilakukan oleh Felicia (2010). Hasil penelitiannya menunjukkan, penambahan pati garut termodifikasi 10 % pada pembuatan bakso sapi dapat memperbaiki tekstur bakso yang dihasilkan. Penelitian penggunaan PTKT pada pembuatan bakso belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, penelitian mengenai penambahan PTKT pada pembuatan bakso ayam perlu dilakukan dengan tujuan untuk .

1) Mengetahui pengaruh penambahan PTKT terhadap karakteristik bakso ayam.

2) Mengetahui pengaruh jumlah penambahan PTKT yang optimal pada proses pembuatan bakso ayam.

3) Mengetahui karakteristik bakso ayam yang ditambahkan PTKT

(10)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pati Talas Kimpul Termodifikasi (PTKT)

Pati termodifikasi adalah pati yang telah diberi perlakuan tertentu dengan tujuan untuk menghasilkan pati yang sifatnya yang lebih baik dari sebelumnya (Glicksman, 1969). Proses modifikasi pati mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hidrogen molekul pati secara terkontrol. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki karakteristik fisiko-kimia pati agar sesuai untuk suatu aplikasi spesifik. Perubahan di tingkat molekuler ini tidak atau hanya sedikit mengubah bentuk granula pati, sehingga asal botani pati termodifikasi masih bisa dikenali secara mikroskopik. Modifikasi pati dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti: secara kimia, biokimia dan fisik (Syamsir, et al., 2012).

Salah satu teknik memodifikasi pati secara fisik adalah teknik heat-moisture treatment (HMT). Teknik ini telah dilaporkan dapat meningkatkan ketahanan pati

terhadap panas, perlakuan mekanis, dan pH asam (Taggart, 2004) melalui peningkatan suhu gelatinisasi dan penurunan kapasitas pembengkakan granula (Jacobs dan Delcour, 1998). Pada teknik HMT, pati dengan kadar air terbatas (< 35%) dipanaskan pada suhu di atas suhu transisi gelas namun masih di bawah suhu gelatinisasi dalam periode waktu tertentu. Perlakuan tersebut menyebabkan perubahan konformasi molekul pati yang menghasilkan struktur kristalin yang lebih resisten terhadap proses gelatinisasi (Jacobs dan Delcour, 1998).

Menurut Purwania, et al. (2006) pembuatan pati termodifikasi dengan teknik HMT, yaitu pati mula-mula dilembabkan dengan penambahan air hingga mencapai kadar air 25%. Pati selanjutnya dioven pada 110 oC selama 16 jam, dengan sekali-sekali dilakukan pengadukan meratakan pemanasan. Pati yang telah mengalami proses pemanasan selanjutnya dikeringkan pada 50 oC selama 12 jam, untuk menurunkan kadar airnya.

(11)

Menurut Schoch dan Maywald (1968), berdasarkan profil gelatinisasinya, pati ada 4 jenis yaitu tipe A, B, C dan D. Profil tipe A menunjukkan pati yang memiliki kemampuan mengembang yang tinggi yang ditunjukkan dengan tingginya viskositas puncak serta terjadi penurunan viskositas selama pemanasan (mengalami breakdown) contohnya pati kentang dan tapioka alami. Profil tipe B profilnya mirip dengan pati tipe A akan tetapi dengan viskositas maksimum lebih rendah contohnya pati dari serealia. Profil tipe C adalah pati yang mengalami pengembangan yang terbatas, yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas breakdown (menunjukkan ketahanan terhadap panas yang tinggi) contohnya pati yang dimodifikasi dengan ikatan silang atau dengan HMT. Profil tipe D adalah pati yang mengalami pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan rendahnya profil viskositas contoh pati yang mengandung amilosa lebih dari 55%.

Penggunaan pati termodifikasi pada pembuatan produk pangan dapat meningkatkan kualitas maupun nilai fungsional produk pangan tersebut (Saguilan, et al., 2005). Beberapa hasil penelitian menunjukkan, pati termodifikasi dapat menurunkan daya cerna pati tersebut yang dikenal dengan resistant starch (RS). RS diketahui mempunyai sifat fisiologis yang baik bagi kesehatan seperti mencegah kanker kolon, memiliki efek hipoglikemik, berperan sebagai prebiotik, memiliki efek hipokolesterolemik, dan menghambat akumulasi lemak (Sajilata, et al., 2004)

Penelitian pembuatan umbi talas kimpul menjadi PTKT menggunakan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) telah dilakukan oleh Putra (2014). Hasil penelitiannya

menunjukkan, perlakuan HMT dapat mengubah pati talas kimpul yang semula termasuk pati tipe B menjadi tipe C. Penelitian penambahan pati termodifikasi pada pembuatan bakso telah dilakukan oleh Felicia (2010). Hasil penelitiannya menunjukkan, penambahan pati garut termodifikasi 10 % pada pembuatan bakso sapi dapat memperbaiki tekstur bakso yang dihasilkan.

2.2. Bakso

(12)

2.2.1. Bahan bakso

Dalam pembuatan bakso daging, bahan-bahan yang umum digunakan adalah daging, bahan pengisi, garam dapur dan bumbu, dan es atau air es.

a. Daging

Ada 3 jaringan utama yang menyusun daging, yaitu jaringan otot (muscle tissue), jaringan lemak (adipose tissue), dan jaringan ikat (connective tissue). Komponen utama dari daging adalah protein. Kandungan protein daging berkisar antara 16 - 22%, namun umumnya sekitar 18,5% (Soeparno, 1998). Daging untuk pembuatan bakso biasanya diperoleh dari ternak seperti ayam dan sapi.

Daging berkadar lemak terlalu tinggi kurang baik untuk pembuatan bakso (Elviera, 1988). Lemak dalam adonan bakso akan mencair saat pemasakan dan keluar bersama air perebusan. Keluarnya lemak ini akan mempengaruhi permukaan produk yaitu menjadi tidak rata (berlubang-lubang), sehingga dapat mengurangi penerimaan konsumen.

Daging yang digunakan pada pembuatan bakso umumnya dalam kondisi segar tanpa mengalami tahap penyimpanan sebelumnya, sehingga dapat dihasilkan sifat kekenyalan bakso yang diharapkan (Pandisurya, 1983).

Daging yang telah melewati masa prerigor akan menyebabkan penurunan mutu bakso, terutama pada sifat kekenyalan dan kekompakannya. Daging yang digunakan untuk membuat bakso pada industri umumnya berumur kurang dari dua jam setelah pemotongan atau prerigor (Elviera, 1988). Pada fase prerigor jumlah protein yang terekstrak dari daging dengan adanya perlakuan fisik dan kimia lebih besar dibandingkan fase rigor mortis. Jumlah protein yang terekstrak mempengaruhi mutu bakso, semakin banyak protein terekstrak, maka jumlah zat pengemulsi semakin tinggi, sehingga emulsi menjadi lebih stabil. Menurut Wilson, et al. (1981) daging pada keadaan prerigor juga memiliki daya ikat terhadap air lebih tinggi, sehingga permukaan produk yang dihasilkan tidak basah.

b. Bahan pengisi

(13)

adalah pati yang tidak larut dalam air dingin dan dalam air panas dapat membentuk gel yang kental. Tujuan penambahan bahan pengisi pada produk-produk emulsi adalah: memperbaiki stabilitas emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat irisan, meningkatkan cita rasa, dan mengurangi biaya produksi. Berdasarkan SNI 01-3818-1995 penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso adalah 50% dari berat daging. Menurut Elviera (1988) jumlah penggunaan bahan pengisi pada bakso umumnya berkisar antara 50% sampai 100% dari berat daging.

c. Garam dapur dan bumbu

Garam merupakan bahan yang umum ditambahkan pada pembuatan produk emulsi. Kemampuan garam untuk melarutkan protein otot sangat penting dalam pembuatan produk-produk emulsi. Protein terlarut ini bertindak sebagai emulsifier yang dapat mengemulsi partikel-partikel lemak dan mengikat air sehingga menstabilkan emulsi. Menurut Ruusunen dan Puolanne (2005) garam berperan dalam menentukan menyebabkan protein yang terlarut terlalu rendah (Sunarlim, 1992).

Selain garam dapur, bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah MSG (Monosodium Glutamate), bawang putih dan bawang merah, dan terkadang juga ditambahkan merica, sehingga dapat meningkatkan cita rasa produk bakso.

d. Es atau air es

(14)

Pisula (1984) menyatakan, penambahan air dalam bentuk es, mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: mempermudah ekstraksi protein serabut otot, mempertahankan suhu adonan, dan membantu pembentukan emulsi. Suhu optimum untuk ekstraksi protein serabut otot adalah 4 – 5 oC, sedangkan suhu untuk mempertahankan kestabilan adonan tidak diperkenankan melebihi 20 oC. Suhu adonan yang melebihi 20 oC pada saat penghancuran daging harus dihindari, karena dapat menghambat ekstraksi protein serabut otot akibat terjadinya koagulasi protein.

2.2.2. Pengenyal bakso

Faktor penentu dalam pembentukan tekstur dan kekompakan bakso adalah ekstrak protein miofibrilar. Hsu dan Sun (2006) menyatakan, ekstrak protein miofibrilar memiliki sifat-sifat fungsional yang relatif rendah (terutama berkaitan dengan tekstur produk daging) jika dipanaskan tanpa adanya garam dan atau fosfat. Oleh karena itu penggunaan senyawa fosfat sebagai bahan pengenyal diperlukan untuk menghasilkan produk bakso yang kompak dan kenyal.

Senyawa fosfat merupakan water binding agent yang efektif yang dapat meningkatkan stabilitas emulsi dan tekstur pada produk daging olahan (Eilert et al., 1996). Fosfat dalam adonan dapat meningkatkan kelarutan aktomiosin, yang akan menstabilkan WHC, tekstur, dan mengurangi cooking loss (De Freitas et al., 1997).

Sodium tri poli fosfat (STPP) adalah bentuk polifosfat yang paling sering digunakan di industri daging (Lampila, 1992). Penggunaan STPP memiliki pembatas, karena memiliki rasa yang agak pahit pada konsentrasi tertentu. Ketentuan SNI (1995) membatasi penggunaan STPP dengan kadar maksimal 3 g/kg untuk produk bakso

2.2.2. Pembuatan bakso

(15)

2.2.3. Syarat Mutu Bakso

Menurut SNI No. 01-3818 (1995) bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan. Syarat mutu bakso daging adalah seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Obyektif dari Bakso Daging Menurut SNI No. 01-3818 (1995) No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Air % b/b Maks. 70.0

2 Abu % b/b Maks. 3.0

3 Protein % b/b Min. 9.0

4 Lemak % b/b Maks. 2.0

5 Boraks - Tidak boleh ada

6 Cemaran mikroba - -

6.1 Angka Lempeng Total Koloni / g Maks. 1.0 x 105 6.2 Escherichia coli APM / g < 3

(16)

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian adalah:

1. Mengetahui pengaruh penambahan PTKT terhadap karakteristik bakso ayam.

2. Mengetahui pengaruh jumlah penambahan PTKT yang optimal pada proses pembuatan bakso ayam.

3. Mengetahui karakteristik bakso ayam yang ditambahkan PTKT

3.2.Manfaat Penelitian

(17)

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1. Bahan Penelitian:

Umbi talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) yang dipergunakan dalam penelitian ini dibeli langsung dari petani di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Bahan-bahan untuk pembuatan bakso antara lain daging ayam, tapioka, garam dapur, bawang putih, es, dan lada. Untuk keperluan analisis digunakan akuades, etanol 80%, kertas saring, alkohol 10%, HCl 25%, NaOH 45%, indikator metilen blue 0.2%, heksana, asam asetat 1M, larutan iod (0,2% iod dalam 2% potasium iodida), K2SO4, HgO, Na2S2O3, H2SO4, H3BO3, HCl, dan indikator PP.

4.2. Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dirancang dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan (Yitnosumarta, 1991). Perlakuan yang diuji dalam penelitian ini adalah jumlah penambahan PTKT yang terdiri dari 6 taraf yaitu: 0, 5, 10, 15, 20, dan 25%.

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, dan bila terdapat keragaman yang nyata pada perlakuan, maka dilanjutkan dengan pengujian perbedaan antar nilai rata-rata menggunakan  Duncan’s multiple range test (DMRT).

4.3. Pelaksanaan Penelitian

4.3.1. Pembuatan Pati Talas Kimpul

Metode pembuatan pati talas kimpul yang digunakan berdasarkan metode pembuatan pati menurut Widowati, et al. (1997) yang dimodifikasi. Talas kimpul dikupas dengan ketebalan 1 mm, dicuci, dan selanjutnya diiris-iris dengan ketebalan 2 mm. Irisan ini selanjutnya direndam dalam larutan garam dengan konsentrasi 2 % selama 1 jam, kemudian dicuci. Irisan talas kimpul dihancurkan dengan blender, ditambahkan air, kemudian diperas. Filtrat yang diperoleh diendapkan selama 2 jam, dan cairan yang ada di atasnya didekantasi. Endapan pati yang diperoleh kembali dibilas dengan air dan diendapkan selama 2 jam. Cairan kembali didekantasi, endapan pati yang diperoleh lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 70 oC. Gumpalan pati yang diperoleh dihancurkan menggunakan blender.

4.3.2. Pembuatan PTKT

(18)

dilakukan berdasarkan metode menurut Purwania, et al., (2006). Ditimbang 100 g pati dalam kotak plastik tahan panas (berbahan dasar plastik PP), ditambahkan aquades dengan jumlah tertentu sehingga diperoleh kadar air dan 30%. Pati diaduk merata, lalu didiamkan selama 12 jam pada suhu 4 oC untuk menyeragamkan kadar airnya. Selanjutnya kotak ini dibungkus dengan aluminum foil sebelum dimasukkan ke dalam oven pada suhu 110 oC selama 10 jam, dengan sekali-sekali dilakukan pengadukan meratakan pemanasan. Pati selanjutnya dikeringkan pada 60 oC selama 8 jam.

4.3.3. Pembuatan Bakso Ayam

Pembuatan bakso ayam dilakukan dengan cara sebagai berikut. Daging ayam, ditambahkan garam 5%, dan es 25%, dihancurkan dengan food processor. Setelah halus ditambahkan bahan pengisi berupa campuran tapioka dan PTKT sebanyak 50 % dari daging, lada 1%, dan MSG 2%, dicampur rata lalu didiamkan selama 5 menit. Formulasi campuran bahan pengisi adalah tapioka dicampur dengan PTKT sebanyak sesuai dengan perlakuan yaitu 0, 5, 10, 15, 20, dan 25%. Pencetakan bakso dilakukan dalam air panas 60 oC selama 10 menit. Selanjutnya dilakukan perebusan dalam air suhu 80 oC selama 10 menit.

4.4. Variabel Pengamatan

(19)

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pembuatan Pati

Bahan baku pati yang digunakan dalam penelitian ini berupa umbi talas kimpul (keladi) yang dibeli langsung di ladang petani di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 10 kg keladi, dan berat pati bersih yang dihasilkan sebanyak 0,93 kg. Dengan demikian rendemen pati yang diperoleh sebesar 9,3 persen.

Gambar 1. Umbi talas kimpul sebagai bahan penelitian

(20)

Gambar 3. Pati talas kimpul

5.2. Pembuatan Pati Termodifikasi

Pembuatan pati talas kimpul termodifikasi dilakukan dengan metode HMT sebagaimana diuraikan dalam metode penelitian. Pati berhasil dimodifikasi dalam wadah plastik (tupper ware) tahan panas yang diselimuti dengan alumunium foil yang kemudian dipanaskan tanpa menggunakan oven khusus tetapi bisa dengan oven yang biasa dipakai di rumah tangga (gbr. 4).

(21)

Pati talas kimpul setelah mengalami proses HMT (setelah dikeluarkan dari oven) mengalami perubahan fisik yang semula berbentuk bubuk (tepung) menjadi berbentuk granula-granula. Untuk itu pati ini selanjutnya perlu dikembalikan bentuk fisiknya menjadi bubuk agar dapat digunakan dalam pembuatan bakso ayam . langkah ini dilakukan dengan bantuan alat blender (gbr. 5B) kemudian diayak dengan ayakan tepung. Pati tahap akhir yang telah dimodifikasi dan siap digunakan untuk penelitian ditunjukkan dalam gambar 5C.

(22)

5.3. Pembuatan Bakso Ayam

Bakso ayam telah dapat dibuat dengan menggunakan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi yang dikombinasikan dengan bahan pengisi berupa tepung tapioka dengan perbandingan sesuai perlakuan yaitu: 0, 5, 10, 15, 20, dan 25%.

Gambar 6. Bakso ayam yang dibuat dengan penyenyal alami, pati talas kimpul termodifikasi. a: bakso ayam tanpa penambahan pengenyal; b, c dan d : bakso ayam dengan penambahan pengenyal alami berturut-turut sebanyak 5, 20 dan 25%.

5.4. Pengamatan Bakso Ayam

5.4.1. Pengamatan Fisik Bakso Ayam

Pada pengamatan fisik bakso bagian luar, tampak dalam gambar 6, ada perbedaan warna bakso tanpa tambahan bahan pengenyal alami (kontrol, gbr. 6a) dengan bakso yang diberi perlakuan penambahan bahan pengenyal alami berupa PTKT (gbr. 6 b, c, dan d). Kekenyalan bakso ayam yang dibuat dengan menggunakan PTKT sebagai bahan pengenyalnya dapat diamati secara mudahnya melalui fisik bakso bagian tengah (irisan melintang bakso). Kekenyalan bakso lebih lanjut dapat dianalisa dengan menggunakan alat penetrometer. Sebagaimana tampak dalam gambar 7, bakso yang diberi pengenyal alami (gbr. 7 b,c,d,e,f) tampak tidak terlalu berongga dibandingkan kontrolnya (tanpa penambahan bahan pengenyal)(gbr. 7a).

a

b

(23)

a b c d e f

Gambar 7. Pengamatan fisik bakso ayam yang menggunakan pengenyal alami (PTKT). a: bakso ayam tanpa pengenyal; b,c,d,e dan f berturut-turut adalah bakso ayam dengan pengenyal alami (PTKT) sebanyak 5,10, 15, 20, dan 25%.

5.4.2. Analisis Proksimat Bakso Ayam

a. Kadar Air

Berdasarkan hasil analisa keragaman kadar air bakso ayam yang ditambahkan pengenyal alami (PTKT), dengan variasi jumlah tertentu (sesuai perlakuan), bahwa penambahan bahan pengenyal berupa pati talas kimpul termodifikasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan maupun terhadap kontrol. Nilai rata-rata kadar air bakso ayam ini dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai rata-rata kadar air bakso ayam berkisar antara 66,38% sampai 67,23%. Kadar air maksimal bakso menurut SNI (01-3818-1995) adalah sebesar 70%. Nilai rata-rata tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa penambahan bahan pengenyal alami (0%) dan terendah pada perlakuan 15% penambahan bahan pengenyal. Namun demikian penambahan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi HMT sampai 25% tidak berpengaruh pada kadar air bakso ayam. Tabel 2. Nilai rata-rata kadar air bakso ayam

Perlakuan Rata-rata SD Notasi

P0 67.23 0.57 a

P1 67.03 0.30 a

P2 67.15 0.32 a

P3 66.38 0.37 a

P4 67.38 1.03 a

(24)

Keterangan: notasi yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p > 0.05)

b. Kadar Abu

Hasil analisis dengan sidik ragam terhadap kadar abu bakso ayam dengan penambahan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi dengan HMT menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan dan terhadap control. Nilai rata-rata kadar abu pada tiap perlakuan dapat dilihat pada table 3.

Tabel 3. Nilai rata-rata kadar abu bakso ayam Perlakuan Rata-rata SD Notasi

P0 1.17 0.27 a

Keterangan: notasi yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p > 0.05) Nilai rata-rata kadar abu bakso ayam pada penelitian ini berkisar antara 1,06% sampai 1,23%. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan15% bahan pengenyal alami sedangkan terendah pada penambahan 25%, namun demikian antar perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata termasuk dengan kontrolnya.

c. Kadar Lemak

Kadar lemak bakso ayam yang dianalisis dengan sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi (HMT) tidak perpengaruh nyata terhadap kadar lemak. Nilai rata-rata kadar lemak dapat dilihat pada table 4.

Tabel 4. Nilai rata-rata kadar lemak bakso ayam Perlakuan Rata-rata SD Notasi

P0 10.52 1.78 a

(25)

Nilai rata-rata kadar lemak tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan bahan pengenyal alami sebanyak 10%, sedangkan terendah pada penambahan 25%, namun demikian penambahan bahan pengenyal alami hingga 25% tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak.

d. Kadar Protein

Hasil analisis dengan sidik ragam terhadap kadar protein bakso ayam menunjukkan bahwa penambahan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi (HMT) berpengaruh nyata terhadap kadar proteinnya. Nilai rata-rata kadar protein dapat dilihat pada table 5.

Tabel 5. Nilai rata-rata kadar protein bakso ayam Perlakuan Rata-rata SD Notasi

P0 12.91 2.17 a

Keterangan: notasi yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p > 0.05). notasi yang tidak sama menunjukkan adanya perbedaan yang sangat

nyata (P<0,01).

Nilai kadar protein tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa penambahan bahan pengenyal alami (perlakuan 0%) sedangkan terendah pada perlakuan penambahan 20%. Selain control, peningkatan jumlah penambahan bahan pengenyal alami sampai 25% tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein.

5.4.3. Sifat Sensoris

(26)

Gambar 8. Uji sensoris bakso ayam yang dilakukan oleh para mahasiswa FTP Unud tingkat akhir.

a. Warna

Analisis keragaman terhadap warna bakso ayam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi (HMT) tidak berpengaruh nyata (P > 0.05) terhadap warna bakso ayam. Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata kesukaan yang diberikan panelis terhadap warna bakso ayam berkisar antara 5,5 - 5,9. Penilaian tertinggi dihasilkan pada perlakuan penambahan bahan pengenyal alami sebanyak 10% (P2) dan 15% (P3), sedangkan penilaian terendah dihasilkan pada perlakuan penambahan 20% (P4). Warna bakso sangat ditentukan jenis daging yang digunakan. Daging ayam cenderung menghasilkan bakso berwarna putih keabuan sedangkan daging sapi menghasilkan warna bakso kemerahan.

b. Tekstur

(27)

bahan-bahan yang ditambahkan (Triatmojo, 1992). c. Aroma

Analisis sidik ragam pada kesukaan panelis terhadap aroma menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi (HMT) berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap aroma bakso ayam. Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata kesukaan yang diberikan panelis terhadap aroma bakso ayam berkisar antara 4,7 - 6,0. Penilaian tertinggi dihasilkan pada perlakuan penambahan bahan pengenyal alami sebanyak 20% (P4), sedangkan penilaian terendah dihasilkan pada perlakuan penambahan 0% (P0). Aroma bakso ayam pada penelitian ini diduga disebabkan oleh jenis daging dan bumbu yang dibuat dengan resep tersendiri. Kesukaan panelis terhadap aroma bakso ayam ini meningkat seiring jumlah penambahan bahan pengenyal alami. Diduga pula bahwa bahan pengenyal alami yang terbuat dari pati talas kimpul memberi pengaruh tersendiri terhadap aroma bakso ayam ini.

d. Citarasa

Analisis sidik ragam pada kesukaan panelis terhadap citarasa menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi (HMT) berpengaruh sangat nyata (P < 0.01) terhadap citarasa bakso ayam. Tabel 6 menunjukkan nilai rata-rata kesukaan yang diberikan panelis terhadap citarasa bakso ayam berkisar antara 3,8 - 5,3. Penilaian tertinggi dihasilkan pada perlakuan penambahan bahan pengenyal alami sebanyak 15% (P3), sedangkan penilaian terendah dihasilkan pada perlakuan penambahan 0% (P0). Citarasa berkaitan erat dengan aroma. Penambahan bahan pengenyal yang terbuat dari pati talas kimpul dapat meningkatkan citarasa bakso ayam yang dihasilkan sampai pada taraf 15%. Data ini memperkuat dugaan bahwa aroma dan citarasa bakso ayam dipengaruhi oleh aroma dan citarasa dari bahan pengenyal yang terbuat dari pati talas kimpul.

e. Keseluruhan

(28)

Tabel 6. Pengaruh penambahan bahan pengenyal (PTKT) terhadap kesukaan panelis terhadap warna, tekstur, aroma, rasa dan keseluruhan bakso ayam.

Keterangan:

(29)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Penggunaan bahan pengenyal alami berupa pati talas kimpul termodifikasi (PTKT) pada pembuatan bakso ayam memberi pengaruh nyata pada beberapa aspek dari sifat kimia yaitu kadar protein; dan sensorisnya yaitu aroma dan citarasa.

2. Penggunaan PTKT sebagai bahan pengenyal bakso ayam berpengaruh pada penambahan hingga 10% yang dapat menghasilkan bakso ayam yang paling disukai panelis

3. Penambahan PTKT pada pembuatan bakso ayam masih bisa diterima sampai 15%

6.2. Saran

Dari data yang diperoleh pada penelitian ini dapat disarankan untuk menghindari sedapat mungkin penggunaan bahan tambahan pangan sintetik khususnya dalam pembuatan bakso ayam.

(30)

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2007. Budidaya Pertanian.

http://warintek.bantul.go.id/web.php?mod=basisdata&kat=1&sub=2&file=191. Sept, 12, 2007.

AOAC. 1995. Official methods analysis of the association of official agriculture chemist. Assoc. of Official Agric. Chemist. Washington, DC

Apriyantono, Fardiaz, D. dan Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates and H. Corke. 2001. Bihon-type of noodles from heat-moisture treated sweet potato starch. J of Food Sci. 66(4) : 604-609 De Freitas, Z, Sebranek JG, Olson DGand Carr JM. 1997. Carrageenan effects on salt

soluble meat proteins in model systems. J of Food Sci 62 : 539– 543.

De Man, J.M. 1989. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Terjemahan: K. Padmawinata. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Dewan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818-1995. Badan Standardisasi Nasional. Bakso Daging, Jakarta. 62 Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Glicksman, M. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press, New York

Gunaratne, A., R. Hoover. 2002. Effect of heat–moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymer 49: 425-437.

Hermanianto, J. dan Aulia. 2001. Pengembangan aroma dan cita rasa bakso dengan penggunaan flavor. J Teknologi dan Industri PanganXII 2(1) : 102-107.

Hsu, S.Y. and L.Y. Sun. 2006. Comparisons on 10 non-meat protein fat substitutes for low-fat Kung-wans. J of Food Technology74(6) 47-53.

Jacobs, H. and J.A. Delcour. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch, with retention of the granular structure: a review. J. Agric. Food Chem. 46(8): 2895−2905  

Lampila, L.E. 1992. Functions and uses of phosphates in the seafood industry, J of Aquatic Food Product Technology1 (3/4) : 29–41.

Larmond, E. 1970. Method for Sensory Evaluation of Foods. Canada Departement of Agriculture, Ottawa

Pandisurya, C. 1983. Pengaruh Jenis Daging dan Penambahan Tepung Terhadap Mutu Bakso. [skripsi]. FATETA, IPB, Bogor.

Pisula, A. 1984. Meat Processing. FAO, Rome.

(31)

Purnomo, H. 1990. Kajian Mutu Bakso Daging Sapi, Bakso Urat dan Bakso Aci di Daerah Bogor. Skripsi. FATETA, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Purwania, E.Y., Widaningruma, Thahira R., and Muslich. 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its noodle quality. Indonesian Journal of Agricultural Science 7(1): 8-14

Putra, I N.K., N.W. Wisaniyasa dan A.A.I.S. Wiadnyani. 2014. Modifikasi Pati Talas Kimpul dengan Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dalam Upaya Pemanfaatannya sebagai Pensubstitusi Terigu pada Produksi Mie Instant. Laporan Penelitian. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.

Saguilan. 2005. Resistant starch-rich powders prepared by autoclaving of native and lintherized banana starch: partial characterization. J Starch 57: 405 – 412. Sajilata S, J.L. Jannink, dan P.J. White. 2005. In vitro bile acid binding of flours from

oat varying in percentage and molecular weight distribution of β-glucan. J of Agric and Food Chemistry 53: 8797 – 8803

Schoch, T.J. dan E.C. Maywald, 1968. Di dalam Collado, L.S. dan Corke, H. 1999. Heat-moisture treatment Effects on Sweetpotato Starches Differing in Amylose Content. Food Chemistry 65: 339 – 346

Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB Press, Bogor.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.

Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan Mutu. [disertasi]. Program Pasca Sarjana. IPB, Bogor.

Syamsir, E., P. Hariyadi, D. Fardiaz, N. Andarwulan dan F. Kusnandar. 2012. Pengaruh proses heat-moisture treatment (HMT) terhadap karakteristik fisikokimia pati. J. Teknol. dan Industri Pangan 28(1): 100-106

Triatmojo, S. 1992. Pengaruh Pengantian Daging Sapi Dengan Daging Kerbau, Ayam Dan Kelinci Pada Komposisi Dan Kualitas Bakso. Laporan Penelitian Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Vermeylen, R.B., Goderis and J.A. Delcour. 2006. An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. J of Carbohydrate Polymer 64(2) : 364-375. 67

Wilson, N.R.P., E.J. Dyett, R.W. Hughes and C.R.V. Jones. 1981. Meat and Meat Products. Applied Science Publisher, London.

(32)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Laporan Penggunaan Anggaran.

Laporan Penggunaan Anggaran

Penelitian Hibah Unggulan Program Studi (HUPS)

Judul : APLIKASI PATI TALAS KIMPUL TERMODIFIKASI SECARA HMT (HEAT MOISTURE TREATMENT) PADA PEMBUATAN BAKSO AYAM Peneliti :

I PUTU SUPARTHANA, S.P., M.Agr., Ph.D. (Ketua) DR. IR. I NENGAH KENCANA PUTRA, M.S. (Anggota 1)

NI WAYAN WISANIYASA, S.TP., MP. (Anggota 2)

(33)

tapioka (1kg): 10,000 10 4/9/2015 Analisis statistik data organoleptik: 500,000 22.2 11 2/9/2015 Analisis kadar abu ulangan 1: 15 4/9/2015 pemesanan bahan kimia analisis lemak:

N-Heksan (4lt): 180,000 kertas saring: 7,000

(34)
(35)

ketua: 275,000 anggota 1: 34,000 anggota 2: 134,000 28 26/11/2015 Pembayaran Pajak Honor ketua: 125,000 anggota 1: 150,000 anggota 2: 50,000

Total

(36)

Gambar

Tabel 1.  Syarat Mutu Obyektif dari Bakso Daging Menurut SNI No. 01-3818 (1995)
Gambar 1.  Umbi talas kimpul sebagai bahan penelitian
Gambar 3.  Pati talas kimpul
Gambar 5.  Pati talas kimpul termodifikasi. Panel A: pati termodifikasi setelah dikeluarkan dari oven; panel B: PTKT yang masih berbentuk granul diblender dan diayak hingga berbentuk tepung; panel C: PTKT
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai fungsi pusat pemberdayaan masyarakat, Puskesmas Gondokusuman II berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga, dan masyarakat memiliki kesadaran,

Ada beberapa pilihan bahan yang akan digunakan, namun tembaga merupakan logam yang paling konduktif dilihat dari segi ekonomis, sehingga dipilih sebagai penghantar

Penelitian yang dilakukan terhadap 109 orang responden menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki posisi kerja yang salah sebanyak 65 responden (59,6%) mengalami

Secara simultan apakah terdapat pengaruh experiential marketing dan lokasi terhadap customer satisfaction pada Old Home 67 Cafe Sungailiat. 1.3

Pos Indonesia (Persero) Banda Aceh yang akan dirancang untuk mempermudah dalam proses pengolahan data para karyawan terutama data karyawan, data bagian, data jabatan

Hasil kajian Adijaya dan Yasa (2014) mendapatkan pemupukan 7.500 liter bio urin sapi yang dilarutkan menjadi konsentrasi 20% pada tanaman jagung manis dapat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui teori double movement fazlurrahman bahwa teori tersebut hanya mengembangkan dari salah satu bagian ulum al-qur’an, sehingga tidak

Para guru adalah “pengambil keputusan. Mereka harus terus menerus memilih strategi, metode, dan teknik yang tepat untuk membantu para siswa belajar, berkembang dan