• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DASAR PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA OUTSOURCING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS DASAR PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA OUTSOURCING"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DASAR PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA OUTSOURCING

Juwita Rahma Sari Lumbantoruan Titi Muswati Putranti

Administrasi Fiskal, Fakultas  Ilmu  Sosial  dan  Politik   ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa outsourcing di Indonesia. Kebijakan tersebut secara khusus tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Kriteria Dan/Atau Rincian Jasa Tenaga Kerja Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai khususnya pada pasal 4. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa Outsourcing yaitu atas penggantian dan nilai lain, memiliki alasan dan dasar pemikiran tersendiri yang didukung oleh teori dan konsep yang sesuai. Kebijakan yang diatur pada PMK Nomor 83/03/2012 ini dikeluarkan untuk memberikan kepastian akan kekuatan hukum pelaksanaan pemungutan PPN atas Jasa Outsourcing meskipun adanya dua dasar pengenaan pajak ini dinilai tidak sesuai dengan konsep aturan,dimana dalam satu aturan tidak diperbolehkan ada yang bersifat fakultatif. Dalam pelaksanaanya kebijakan ini memiliki hambatan terutama terkait sosialisasi kebijakan tersebut.

Kata Kunci:

Pajak Pertambahan Nilai , Dasar Pengenaan Pajak,Asas Certainty, Jasa Outsourcing ABSTRACT

This research is about Tax Base of Value Added Tax on Outsourcing services in Indonesia The policy is specifically stated in the Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Kriteria Dan/Atau Rincian Jasa Tenaga Kerja Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai in particular on Article 4. This research is to explain about the reason the government established the two tax bases, how this policy in terms of the principle of legal certainty and what are the obstacles in the implementation of this policy. This is a descriptive research with qualitative approach. Results of this study concluded that the basic policy of imposition of Value Added Tax on Outsourcing services is the subtitution and other value has its own reasons and rationale that is supported by appropriate theories and concepts. Policies that set the PMK 83/03/2012 Number is issued to provide legal certainty to force the implementation of the collection of VAT on Services Outsourcing although the two tax bases is not assessed in accordance with the concept of the rule, which is not allowed under the existing rules are voluntary. In the implementation of this policy has barriers mainly related to the policy of socialization.

keyword : Value Added Tax, Tax Base, Certainty, Outsourcing Services

1. Pendahuluan

Seiring dengan perkembangan zaman dan persaingan dunia usaha yang ketat saat ini, maka perusahaan dituntut untuk berusaha meningkatkan kinerja usahanya melalui pengelolaan organisasi yang efektif dan efisien. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi

(2)

maksimal sesuai sasaran perusahaan. Untuk itu perusahaan berupaya fokus menangani pekerjaan yang menjadi bisnis inti (core business), sedangkan pekerjaan penunjang diserahkan kepada pihak lain. Proses kegiatan ini dikenal dengan istilah outsourcing.

Pada saat ini sistem kontrak dan outsourcing telah diatur dalam UU tentang Ketenaga kerjaan No 13 tahun 2003. Keberadaan undang-undang tersebut tak lepas dari upaya pemerintah untuk menarik investasi ke Indonesia sehingga dengan itu, lapangan kerja bertambah dan mampu menyerap pengangguran, dengan demikian diharapkan bisa menekan angka kemiskinan dan memacu angka pertumbuhan ekonomi negara, dalam perpajakan kedua bidang ini mendapat perlakuan yang berbeda, dimana menurut Pasal 4A UU Nomor 42 Tahun 2009 Jasa Tenaga Kerja termasuk jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Mengenai ketentuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap jasa tenaga kerja lebih rinci diatur Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.03/2012 dan diberikan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 47/PJ/2012. Berdasarkan regulasi tersebut, apabila merujuk pada ketentuan yang disyaratkan oleh PMK No. 83/03 Tahun 2012 maka jasa outsourcing tidak termasuk Jasa Tidak Kena Pajak karena tidak memenuhi persyaratan kumulatif yang tertuang dalam regulasi tersebut. Maka penyerahan Jasa Outsourcing merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai.

Kebijakan bagi kegiatan Outsourcing sendiri, telah mengalami berbagai perkembangan dan perubahan dari Surat Edaran DJP SE - 22/PJ.32/1991 yang digantikan dengan Surat Edaran DJP SE - 05/PJ.53/2003 yang terakhir kali digantikan dengan dikeluarkanya Peraturan Menteri Keuangan No. 83/PMK.03/2012. Pasal 4 PMK No. 83 Tahun 2012 mengatur dasar pengenaan pajak atas kegiatan jasa outsourcing, namun dasar pengenaan pajak yang diatur dalam pasal ini ada dua yakni: penggantian dan nilai lain.

Nilai lain dalam ketentuan ini yakni seluruh tagihan yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha jasa atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja kepada pengguna jasa, tidak termasuk imbalan yang diterima tenaga kerja berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan sejenisnya. Nilai lain dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak apabila dalam hal tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja dirinci dalam Faktur Pajak dengan memisahkan antara tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja yang diterima oleh pengusaha jasa dan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja. Ketentuan mengenai dasar pengenaan pajak ini menimbulkan akibat yang berbeda seperti yang di ilustrasikan dalam tabel berikut ini:

(3)

Tabel 1.1

Ilustrasi Dasar Pengenaan Pajak Total Tagihan Menjadi DPP Nilai Lain sebagai DPP Benefit = Rp 620.000.000

PPN = 10% x Rp 620.000.000 = Rp 62.000.000

Gaji dan Tunjangan Rp 500.000.000 Management Fee Rp 120.000.000 PPN = 10% x Rp 120.000.000 = Rp 12.000.000

sumber: data diolah peneliti

Dari uraian dalam tabel tersebut terlihat bahwa jumlah PPN kedua dasar pengenaan pajak tersebut memiliki perbedaan yang signifikan, hal ini juga berpengaruh terhadap kegaiatan perpajakan kedua perusahaan, baik penyedia jasa maupun pengguna jasa. Pengguna jasa cenderung menginginkan membayar pajak dengan memakai nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak nya. Sementara di sisi penyedia jasa outsourcing, apabila perusahaan memilih nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak nya, maka ada beberapa ketentuan yang harus diikuti antara lain dengan memisahkan gaji dan tunjangan yang diterima oleh karyawan dengan total penerimaan dalam faktur pajaknya, perusahaan jasa tersebut juga harus membuat rincian mengenai pembayaran semua gaji, tunjangan, upah, honorarium yang dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan nya.

Hal ini akan memberatkan perusahaan jasa outsourcing tersebut, karena pada prinsipnya perusahaan akan melindungi setiap data pribadinya, dan ketika harus membuat rincian akurat mengenai jumlah gaji, tunjangan, upah dan honorarium akan memerlukan biaya tambahan seperti biaya untuk pembelian kertas, waktu operasi tenaga kerja yang bertambah karena memerlukan waktu dan tenaga kerja untuk mengerjakannya, sehingga tidak mustahil akan meningkatkan operational cost, selain itu kecendrungan perusahaan jasa outsourcing akan memilih nilai total tagihan sebagai dasar pengenaan pajak pertambahan nilai, karena hal ini memberikan keuntungan dimana Pajak keluaran-nya menjadi lebih besar, sehingga kemungkinan untuk Lebih Bayar dan menghadapi pemeriksaan semakin kecil. Hal ini lah yang menjadi pertentangan antara keinginan dari perusahaan jasa outsourcing dengan pengguna jasa outsourcing tersebut, client sebagai pemakai jasa lebih memilih Nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak nya karena ingin beban pajak nya kecil sementara perusahaan jasa outsourcing lebih menginginkan total seluruh tagihan menjadi Dasar Pengenaan Pajaknya, dalam hal ini akan menimbulkan konflik dan dilema kepentingan yang berpengaruh pada kegiatan bisnis masing-masing. Yang menjadi tujuan penelitian berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut adalah:

(4)

1) Menjelaskan alasan yang menjadi dasar pemikiran adanya dua Dasar Pengenaan Pajak atas Jasa Outsourcing

2) Menjelaskan penentua dasar pengenaan pajak pertambahan nilai atas jasa outsourcing dinilai dari asas Certainty

3) Menjelaskan hambatan yang dihadapi pada saat perapan yang dihadapi pada saat penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012

2. Kerangka Teori 2.1 Kebijakan Publik

Kebijakan publik dianggap memiliki peranan yang penting dalam kehidupan suatu bangsa dan negara, karena kebijakan publik merupakan bentuk respon dari negara terhadap masalah yang sedang dihadapi oleh suatu negara. Edi Suharto dalam bukunya mengutip konsep dasar pemahaman kebijakan defenisi publik oleh Young dan Quin, yang memandang kebijakan publik sebagai berikut:

1. Kebijakan publik sebagai tindakan pemerintah yang berwenang, kebijakan publik dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan untuk melakukanya.

2. Kebijakan publik sebagai sebuah reaksi terhadap kebutuhan masyarakat

3. Kebijakan publik adalah seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan dan disusun dengan strategi tertentu untuk mencapai tujuan tersebut

4. Kebijakan publik dipandang sebagai sebuah tindakan untuk memecahkan masalah sosial dengan kerangka kebijakan yang telah ada.

5. Kebijakan publik sebagai suatu justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirancang oleh badan pemerintah maupun lembaga pemerintah 2.2 Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah.

Tujuan kebijakan fiskal menurut John. F Due adalah:

1. Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi atau memperbaiki keadaaan ekonomi

2. Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran atau mengusahakan kesempatan kerja (menguarangi pengangguran) dan menjaga kestabilan harga-harga secara umum

3. Untuk menstabilkan harga-harga barang secara umum, khususnya mengatasi inflasi.

(5)

2.3 Kebijakan Pajak

Salah satu instrumen atau perangkat dari kebijakan fiskal ialah kebijakan pajak, kebijakan pajak adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan apa yang akan dijadikan sebagai objek pajak, siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa yang akan dijadikan objek pajak, apa-apa yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terutang dan bagaimana menentukan prosedur pajak (Mansury, 2002,3).

2.4 Asas Pemungutan Pajak

Dalam melakukan pemungutan pajak pemerintah harus memperhatikan asas-asas atau prinsip-prinsip dalam pemungutan tersebut. Adam Smith yang menjelaskan kriteria dari a Good Tax, sebagaimana dikutip oleh Charles Price salah satunya adalah : Certainty.

Certainty mengandung makna bahwa pajak tersebut harus memberikan kepastian hukum, bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat (Rosdiana dan Tarigan, 2005,133). Azas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa saja yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai obyek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar (Rosdiana dan Tarigan, 2005,5

2.5 Value Added Tax

David William dalam buku Haula Rosdiana (2003,93) VAT atau taxe sur la valeur ajoutee pertama kali dikenalkan di Perancis pada Tahun 1954. Menurut Tait, Value Added adalah:

"Value added is the value that a producer (whether a manufacturer, distributor, advertising agent, hairdresser.farmer. race horse trainer or circus owner) adds to his raw material or purchases (other tha labour) before selling the new or improved product or service. That is the inputs (the raw material, transport, rent advertising and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and, when the final goods and services is sold, some profit is left. So value added can be looked at from the additive side (wages plus profits) or from substactive side (output minus inputs) (Tait, 1988,4),

dengan kata lain nilai tambah adalah nilai yang ditambahkan seorang produsen pada bahan baku atau pembelian (selain upah buruh) sebelum penjualan barang baru atau sesudah diperbaiki atau jasa. Yaitu, input (bahan baku, transport sewa, iklan) yang dibeli, orang yang dibayar upahnnya untuk bekerja pada input-input tersebut dan akhirnya ketika barang jadi atau jasa tersebut dijual tersisa keuntungan Jadi Nilai tambah dapat dilihat dari Additive side (upah+keuntungan) atau Substractive side (output- input)

(6)

2.5.1 Legal Character VAT

Terra menyebutkan yang dimaksudkan dengan Legal Character adalah sifat intrinsik dalam suatu jenis pajak yang menjadi prinsip dalam menentukan konsekuensi.

Basically it means that the intrinsic nature of a tax should be the guiding principle in determining its consequences and not just the label, or the name of a tax.

(Terra,1998, 7)

Menurut Terra(1988,5-19), Legal Character dari Pajak Pertambahan Nilai adalah:

a. General on Consumption

Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum kegunaan dan sifat/karakter barang tidak menjadi pengecualian artinya, PPN dikenanakan terhadap semua jenis barang.

b. Indirect Tax

Menurut Rosdiana,Irianto dan Putranti, yang menjadi ciri ciri pajak tidak langsung adalah:

1). Tidak memperhatikan keadaan wajib pajak seperti jumlah penghasilan, namun hanya akan dipungut pajak apabila terjadienyerahan barang dan/atau jasa

2). Beban pajaknya dapat dilimpahkan baik secara keseluruhan mauapun sebagian kepada pihak lain. Beban pajak dapat berupa forward shifting maupun backward shifting.

3). Dalam administrasi pelaksanaanya, jenis pajak tidak langsung antara lain pajak penjualan, pajak peredaran, pajak pertambahan nilai, dan cukai, dapat terutang setiap saat, baik pada saat impor atau ekspor barang, saat membayar secara langsung atau pada saat terjadinya transaksi.

c. Non Cummulative

Pengenaan pajak berganda sering terjadi ketika masih diberlakukanya Pajak Penjualan (PPn), maka dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai hal ini dapat dihindari dengan mengenakan pajak hanya atas pertambahan nilainya saja.

c. Neutral

Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral baik dalam persaingan dalam negeri, dalam pola konsumsi maupun perdaganagn internasional sehingga membantu pengusaha dalam negeri dalam menghadapi persaingan bebas.

2.6 Konsep Taxable Supply

Penyerahan kena pajak menurut Victor Thuronyi adalah,

(7)

” A taxable supply, is a supply or transaction on which VAT is imposed, When a taxable supply is made, the person making the supply, if a taxable person, must impose and collect VAT and account for it to the tax authorities" (Thuronyi, 1996,32-33) .

William menunjukan syarat-syarat suatu penyerahan (kumulatif) dianggap terutang PPN yakni:

- Transaksinya berupa transaksi Penyerahan barang dan Jasa,

- Penyerahan tersebut tidak termasuk yang dikecualikan dari pengenaan PPN,

- Penyerahan yang terutang tersebut dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak menurut ketentuan PPN,

- Penyerahan tersebut dilakukan dalam ruang lingkup bisnis (dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya) dan bukan bagian dari hobi atau aktivitas non bisnis lainya (Rosdiana, Irianto & Putranti, 2011,136)

Maka konsep penyerahan kena pajak tidak bisa lepas dari penyerahan jasa dan penyerahan barang.

2.6.1 Supplies of Services

Objek yang dikenakan PPN tidak hanya terbatas pada penyerahan barang, tetapi juga mencakup atas penyerahan jasa. Menurut Thuronyi Supply of service adalah

" A supply of services is often defined as any supply within the scope of VAT that is not a supply of goods or supply of land, it cover the use of all forms of property and also transfers of the right to dispose of intangible property" (Victor Thuronyi,1996,188).

Dapat diartikan bahwa Penyerahan Jasa kena Pajak menurut Thuronyi adalah sebuah penyediaan jasa yang dalam ruang lingkup Pajak Pertambahan Nilai bukan merupakan jenis penyerahan barang,tanah dan juga transfer hak yang tidak berwujud.

2.7 Dasar Pengenaan Pajak

Hal yang perlu diketahui sebelum melakukan penghitungan PPN adalah Dasar Pengenaan Pajaknya (DPP). Musgrave berpendapat bahwa yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dapat dipilih dari pengenaan terhadap penghasilan diterima (income), dikonsumsikan (consumption) atau kekayaan (wealth) (Musgrave, 1983: 238-249). Dasar Pengenaan Pajak atau Tax Base, yakni dapat berupa penghasilan, milik atau kekayaan, atas hasil atau produk, perpindahan milik, lalu lintas pertukaran barang dan atas konsumsi (Marsyahrul,2005,25) 2.8 Konsep Outsourcing

Menurut definisi Maurice Greaver dalam jurnal Faiz Muhammad, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama, Outsourcing tidak hanya sekedar konsultasi atau kontrak

(8)

biasa tetapi juga berhubungan dengan keputusan yang berkaitan dengan peralatan,teknologi, fasilitas dan aset lainya.

3.Metode Penelitian 3.1 Pendekatan Kualitatif

Keith punch memberikan pemahaman praktis untuk membedakan anatar metode penelitian kuantitafif dan kualitatif:

" quantitative research is empirical research where the data are in the form of numbers, qualitative research is empirical research where the data are not in form of numbers" (punch,1998,4)

Menurut Puch secara sederhana perbedaan ada pada data, dimana penelitian kuantitatif lebih berhubungan dengan angka-angka. Selain itu yang menjadi pembeda praktis antara penelitian kuantitatif dan kualitatif adalah tujuan penelitian dan cara penarikan kesimpulan.Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena peneliti ingin mengemukakan penjelasan yang lebih mendalam mengenai suatu peristiwa yang terjadi.

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan dimensi waktu penelitian. Berdasarkan klasifikasi tersebut, jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian berjudul " Analisis Penetapan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Outsourcing" adalah sebagai berikut:

3.2.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian

Menurut Mardalis tujuan dari penelitian deskriptif adalah memperoleh informasi- informasi mengenai keadaan saat ini, dan meilihat kaitan antara variabel-variabel yang ada (Mardalis, 2003,26). Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah Kebijakan Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas jasa Outsourcing yang terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/03/2012.

3.2.2 Berdasarkan Manfaat Penelitian

Berdasarkan manfaat penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian murni. Penelitian murni banyak digunakan di lingkungan akademik dan biasanya dilakukan dalam kerangka pengembangan ilmu pengetahuan (Bambang dan Jannah, 2005,38), dalam penelitian ini peneliti menggali lebih dalam Kebijakan Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai atas jasa Outsourcing yang terdapat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/03/2012.

3.2.3 Berdasarkan Dimensi Waktu

Merujuk pada pendapat Earl Babbie penelitian Cross sectional adalah a study based on observations representing a single point time (Babbie, 2004, h.101).Berdasarkan uraian dari

(9)

Babbie, maka penelitian yang dilakukan peneliti adalah jenis penelitian cross sectional, karena penelitian ini dilakukan dalam satu waktu tertentu saja.

a. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu:

1). Studi Literatur (Library Research)

Diantaranya melalui buku-buku, artikel, majalah, jurnal dan penelusuran internet untuk mencari data sekunder yang diperlukan untuk menjawab permasalahan penelitian.

2). Studi Lapangan (Field Research)

Untuk mendapat data primer dalam penelitian ini, penelitian lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dengan narasumber yang menggunakan pedoman wawancara.

3.3 Batasan Penelitian

Dalam kegiatan penelitian ini, peneliti membatasi ruang lingkup penelitiannya. Peneliti hanya akan membahas kebijakan pertambahan nilai pada perusahaan jasa Outsourcing, apa yang menjadi latar belakang atas kebijakan Pajak Pertambahan Nilai pada perusahaan jasa Outsourcing, apa yang menjadi dasar pemikiran pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan yang mencakup Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain pada kegiatan jasa Outsourcing, bagaimana kebiajakn ini ditinjau dari asas certainty dan apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaanya.

4. Pembahasan

4.1 Dasar Pemikiran adanya Dua Dasar Pengenaan Pajak pada penyerahan jasa Outsourcing

Young dan Quinn memberikan 5 (lima) sudut pandang kebijakan publik yang dapat membuat pemahaman akan kebijakan publik itu semakin mudah, antara lain sebagai berikut:

1. Kebijakan publik adalah tindakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berwenang dan di implementasikan oleh badan pemerintah yang berwenang melakukannya.

2. Kebijakan publik merupakan reaksi yang timbul atas kebutuhan dan masalah yang tumbuh di tengah masyarakat.

3. Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan pemerintah yang memiliki tujuan dan disusun dengan prinsip-prinsip serta strategi tertentu dalam usaha mencapai tujuan tersebut.

4. Kebijakan publik adalah usaha pemerintah untuk menyelesaikan masalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat dengan kerangka kebijakan yang ada, jadi kebijakan

(10)

tidak serta merta dikeluarkan tanpa adanya pola atau rancangan kebijakan terlebih dahulu.

5. Kebijakan dipandang sebagai suatu justifikasi atau pembenaran akan suatu tindakan atau langkah-langkah yang di rancang oleh pemerintah, dalam hal ini misalnya untuk mendorong kegiatan bisnis dan guna mengurangi pengangguran pemerintah mengeluarkan kebijakan tertentu.

Kebijakan pajak merupakan instrumen dari kebijakan fiskal, didalam kebijakan pajak diatur mengenai apa yang akan dijadikan sebagai objek pajak, siapa-siapa yang dikenakan pajak, siapa-siapa yang dikecualikan, apa-apa yang akan dijadikan objek pajak, apa-apa yang dikecualikan, bagaimana menentukan besarnya pajak yang terutang dan bagaimana menentukan prosedur pajak (Mansury, 2002,3). Kebijakan pajak bertujuan untuk media mengumpulkan pendanaan (budgeter) bagi negara namun disamping itu juga dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (reguleren) seperti pertumbuhan ekonomi,pencptaan lapangan kerja, stabilisasi perekonomian, pendistribusian pendapatan dan kekayaan serta meningkatkan tabungan pemerintah ataupun swasta dengan melakukan pembatasan konsumsi barang-barang mewah.

Kebijakan pajak dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Kebijakan pajak mengatur jenis-jenis pajak tertentu, salah satu nya adalah kebijakan Pajak Pertambahan Nilai. Suatu kebiajan harus sesuai dengan teori dan konsep yang melekat dengan jenis pajak tersebut. Untuk kebijakan Pajak Pertambahan Nilai sendiri harus sesuai dengan pengertian Pertambahan nilai tersebut juga konsep-konsep PPN.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/03/2012 mengatur ada dua jenis Dasar Pengenaan Pajak Pertamabahan Nilai sebagai dasar penentuan pajak terutang yakni:

- Penggantian, meliputi jumlah yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh pemberi jasa atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja termasuk didalamnya imbalan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan sejenisnya.

- Nilai Lain, dalam hal didalam tagihan dalam hal tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja dirinci dalam Faktur Pajak dengan memisahkan antara tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja yang diterima oleh pengusaha jasa dan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja.

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas pertambahan nilai atau Value Added didefenisikan oleh Tait sebagai nilai yang ditambahkan seorang produsen pada bahan baku atau pembelian (selain upah buruh) sebelum penjualan barang baru atau sesudah diperbaiki atau jasa. Yaitu, input (bahan baku, transport sewa, iklan) yang dibeli, orang yang dibayar

(11)

upahnnya untuk bekerja pada input-input tersebut dan akhirnya ketika barang jadi atau jasa tersebut dijual tersisa keuntungan Jadi Nilai tambah dapat dilihat dari Additive side (upah+keuntungan) atau Substractive side (output- input).

Merujuk kepada pendapat Alan Tait tersebut, berikut juga merupakan alasan dan bahan pertimbangan yang melatarbelakangi dikeluarkanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2012. Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai DPP Nilai lain dalam PMK nomor 83/03/2012, apabila melihat kebijakan Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain yang memisahkan antara Management fee dengan Gaji dan upah sudah sesuai dengan pengertian nilai tambah. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas total tagihan dinilai Ali Kadir seorang akademisi dari Universitas Indonesia, kurang sesuai dengan ketentuan sebab didalam total tagihan terdapat komponen gaji karyawan atau tenaga kerja.

Kebijakan penentuan dasar pengenaan pajak dalam PMK nomor 83/03/2012 ini pengusaha memiliki kebebasan untuk memilih DPP yang akan dipakainya tergantung bagaimana perusahaan tersebut memilih sesuai dengan kondisi masing-masing, hal ini membuat DPP Nilai Lain ini dapat juga menjadi tolak ukur baik atau tidaknya administrasi pajak sebuah perusahaan karena dituntut adanya pemisahan antara komponen gaji dan biaya menejemen.

Pemerintah dalam membuat kebijakan harus selalu memperhatikan setiap hal atau kemungkinan yang bisa terjadi, misalnya seperti kondisi dimana perusahan jasa Outsourcing tersebut tidak dapat memisahkan rincian nya dan apabila perusahaan jasa Outsourcing memakai total tagihan sebagai DPP Apabila perusahaan menggunakan DPP penggantian maka jumlah PPN yang terutang akan lebih besar dibanding dengan menggunakan DPP nilai lain, namun hal tersebut bukanlah menjadi masalah karena perusahaan tersebut masih dapat mengkreditkan Pajak Masukannya.

Indonesia menganut metode substractive indirect method, dimana pajak dihitung dengan cara mengurangkan selisih pajak yang dipungut pada waktu penjualan dengan jumlah pajak yang telah dibayar pada pembelian sering disebut dengan metode kredit atau metode faktur pajak. Pengkreditan pajak di Indonesia menggunakan sarana faktur pajak. Sistem kredit ini sesuai dengan Legal Character Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa suatu perhitungan pajak yang telah dibayar sebelumnya pada akhirnya dapat diterima kembali oleh pengusahan melalui suatu metode yang disebut dengan metode pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran, hal inilah yang membedakan dengan pajak penjualan (PPn) yang tidak memberikan hak kepada pengusaha untuk memperoleh kembali pajak yang telah dibayarnya.

(12)

Dapat dilihat bahwa dalam membuat kebijakan mengenai Dasar Pengenaan Pajak ini pemerintah telah mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan membuat kebijakan yang sesuai dengan teori dan konsep yang ada, namun tetap mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang dapt terjadi sehingga Kebijakan ini menampung semua kemungkinan, dan seminimal mungkin terjadi penyimpangan dalam pelaksanaanya.

4.2 Kebijakan Penentuan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Outsourcing ditinjau dari Asas Certainty

Adam smith menjelaskan lima asas pemungutan pajak agar dapat dikategorikan sebagai a good tax yakni: equity, neutrality, certainty, economy, dan simplicity.

Kepastian hukum merupakan tindakan dari penguasa atau lembaga yang berwenang terhadap masyarakat dengan didasarkan pada suatu kekuatan hukum. Dalam perpajak kepastian hukum diperlukan sebaagi panduan dan kekuatan hukum dalam melaksanakan suatu pemungutan. Menurut Rosdiana (Rosdiana dan Tarigan, 2005,5) asas kepastian mencakup kepastian mengenai mengenai siapa-siapa saja yang harus dikenakan pajak, apa- apa saja yang dijadikan sebagai obyek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar. Dalam hal ini kepastian bukan hanya sekedar sebatas hal tersebut, namun juga membahas mengenai penyerahan Jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (taxable services) dan juga merumuskan mengenai Dasar pengenaan Pajaknya (tax base).

Menurut Thuronyi yang dimaksud dengan penyerahan jasa adalah penyerahan atau penyediaan jasa yang dalam ruang lingkup Pajak Pertambahan Nilai bukan merupakan jenis penyerahan barang,tanah dan juga transfer hak yang tidak berwujud. Terkait dengan pengertian tersebut, Tait menjelaskan yang dimaksud dengan jasa antara lain: penyerahan yang bukan barang, kegiatan meminjamkan, kegiatan memperkerjakan, kesepakatan atau perjanjian untuk tidak melakukan suatu pekerjaan dan kesepakatan untuk menyerahkan hak.

Hal ini terkait dengan kegiatan yang menyebabkan berpindahnya suatu barang, fasilitas, hak termasuk jasa sehingga konsumsi atas kegiatan ini dapat termasuk sebagai objek PPN. Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah jasa Outsourcing, maka yang termasuk dalam penyerahan jasa adalah penyerahan jasa Outsourcing.

Setiap kebijakan atau peraturan mengenai pajak untuk menetapkan penyerahan Barang Kena Pajak ataupun Jasa Kena Pajak, harus sesuai dengan kriteria tersebut. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/03/2012 mengatur mengenai kriteria dan rincian jasa tenaga kerja yang tidak kena pajak, yakni jasa tenaga kerja, jasa penyediaan tenaga kerja dan jasa pelatihan

(13)

tenaga kerja. Dimana jasa penyediaan tenaga kerja yang tidak kena pajak memiliki persyaratan sebagai berikut:

- Pengusaha penyedia jasa tenaga kerja tersebut semata-mata hanya menyerahkan jasa penyediaan tenaga kerja, yang tidak terkait dengan pemberian Jasa Kena Pajak lainnya, seperti jasa teknik, jasa manajemen,jasa konsultasi, jasa pengurusan perusahaan, jasa bongkar muat, dan/ atau jasa lainnya;

- Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak melakukan pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan/ atau sejenisnya kepada tenaga kerja yang disediakan;

- Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja tenaga kerja yang disediakan setelah diserahkan kepada pengguna jasa tenaga kerja; dan - Tenaga kerja yang disediakan masuk dalam struktur kepegawaian pengguna jasa

tenaga kerja.

Jasa alih daya(Outsourcing) termasuk dalam jenis jasa penyediaan tenaga kerja, namun yang membedakanya adalah jasa dalam pengadaan jasa Outsourcing, pihak penyedia jasa masih bertanggungjawab atas tenaga kerja tersebut kepada pengguna jasa tenaga kerja dan yang melakukan pembayaran upah pada tenaga kerja adalah pihak peneydia jasa, hal inilah yang menjadi pembeda dan sekaligus memasukan jasa Outsourcing kedalam kriteria jasa kena pajak.

Dalam defenisi Maurice Greaver dalam jurnal Faiz Muhammad, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama, Outsourcing tidak hanya sekedar konsultasi atau kontrak biasa tetapi juga berhubungan dengan keputusan yang berkaitan dengan peralatan,teknologi, fasilitas dan aset lainya. Kegiatan jasa Outsourcing tidak sekedar penyediaan jasa tenaga kerja saja, namun ada peralihan. Peralihan atau penyerahan inilah yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Namun seiring berkembangnya jasa tenaga kerja dan jasa penyediaan tenaga kerja maka dengan kriteria pembeda dari bentuk pertanggungjawaban akan sulit menentukan sebuah jasa penyediaan tenaga kerja tersebut termasuk kriteria Jasa Kena Pajak, maka harus adanya pembeda secara jelas antara jasa yang menyediakan jasa tenaga kerja kena pajak dan jasa penyedia tenaga kerja yang tidak kena pajak, karena apabila hanya menilai dari kriteria pertanggungjawaban akan sulit dibedakan.

Dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012 menggantikan SE - 05/PJ.53/2003 memiliki beberapa alasan seperti yang sudah dijelaskan pada sub bahasan sebelumnya. Salah satu yang menjadi latar belakang dikeluarkannya kebijakan ini adalah

(14)

untuk memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian mengenai kekuatan hukum nya, karena Peraturan Menteri Keuangan memiliki kekuatan Hukum yang pasti dibandingkan Surat Edaran, karena Surat Edaran hanya dipandang sebagai Surat saja, atau instruksi khusus. Maka dengan dikeluarkan nya PMK Nomor 83/03.2012 ini aturan mengenai kegiatan jasa tenaga kerja memiliki kekuatan hukum yang lebih pasti.

Berbeda dengan ketentuan sebelumnya dalam SE - 05/PJ.53/200, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Kriteria Dan/Atau Rincian Jasa Tenaga Kerja Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai juga terdapat dua Dasar Pengenaan Pajak yakni DPP Penggantian dan DPP Nilai lain. Kedua Dasar Pengenaan Pajak ini dapat dipilih oleh pengusaha Outsourcing dengan mengikuti kriteria atau persyaratan yakni:

- Penggantian, meliputi jumlah yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh pemberi jasa atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja termasuk didalamnya imbalan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan sejenisnya.

- Nilai Lain, dalam hal didalam tagihan dalam hal tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja dirinci dalam Faktur Pajak dengan memisahkan antara tagihan atas penyerahan jasa penyediaan tenaga kerja yang diterima oleh pengusaha jasa dan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja.

Terkait dengan adanya DPP nilai lain dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012, Ali Kadir selaku akademisi berpendapat demikian;

"Kalau DPP nilai lain itu kan untuk kesederhanaan. Kalau untuk kesederhanaan itu berarti pelaksanaan aturan itu complicated. Kalo nggak complicated ya nggak usahlah disederhanakan, kan begitu. Nah complicated ini tergantung kepada penelitian, kalo misalnya ditentukan satu persen itu alasan satu persennya kenapa? Berdasarkan penelitian tidak? Nanti kalau misalnya tidak berdasarkan penelitian nanti bisa dicurigai orang, kenapa satu persen kenapa enggak satu setengah? Kan begitu, kalau yang tidak menggunakan ketentuan khusus itu kan gampang berapa dihitungnya ber Ya untuk memudahkan saja, tapi ingat, dalam PMK itu tidak boleh ada aturan yang memberikan sifat bukan perintah. Sifatnya fakultatif. Jadi dalam satu aturan ada yang sifatnya perintah ada satu lagi sifatnya fakultatif, dan ini tidak akan memberikan kepastian. Kepastiannya gak ada, yang satu maunya khusus yang satu maunya brutto. Nanti yang satu maunya bruto yang ini enggak. Oleh karena itu netralitasnya juga nggak ada. Yang sana berdasarkan khusus, tarifnya lebih murah, yang sana berdasarkan bruto tarifnya lebih tinggi, ya tergantung juga persaingan bisnisnya apa. Jadi tidak ada

(15)

kaitannya sama netralitas dan kaitannya sama kepastian. Nah di PPN kan intinya itu, PPN itu intinya pungutan yang bersifat netral dan menimbulkan kepastian.

Nah itu sifat sifat PPN, kalo dua sifat sifat ini dilanggar berarti secara obyektif PPN itu sudah tidak dijalankan. Kan PPN itu tujuannya itu, jadi tujuan atasnya ini gak boleh diganggu sama yang bawah bawah. Tujuan atasnya adalah netralitas dan kepastian. apa di tengah tengahnya. (AK) Menurut saya sih enggak, karena dari satu peraturan itu ada dua kriteria, jadi nggak boleh..(wawancara dengan Ali Kadir, 02 Mei 2013)

Melalui pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa aturan mengenai adanya dua Dasar Pengenaan Pajak dinilai oleh Ali Kadir sebagai suatu pelanggaran karena dapat menimbulkan dua kriteria dalam satu aturan. Adanya DPP nilai lain dipandang tidak menimbulkan masalah selama dalam peraturan tersebut hanya ada satu Dasar Pengenaan Pajak.

4.3 Hambatan dalam Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2012

Terkait dengan kebijakan perpajakan pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.03/2012 pada 7 Juni 2012 tidaklah serta merta dapat berjalan dengan baik, adanya perubahan dan perbedaan dengan peraturan sebelumnya yakni Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 05/PJ.53/2003. Ketika sebuah kebijakan dikeluarkan maka sebaiknya ada sosialisasi mengenai kebijakan tersebut karena beberapa hal dalam kebijakan tersebut belum tentu dimengerti oleh pengusaha. Hal ini tentu berdampak pada pajak terutang nya dimana ketika perusahaan memakai Dasar Pengenaan Pajak Nilai Lain harusnya memakai Kode 04, ketika perusahaan tersebut ternya salah dalam penggunaaan kode nya maka akibat yang ditimbulkan dapat dinilai bahwa Pajak terutang nya Kurang Bayar.

Hambatan lain yang ditemukan terkait Dasar Pengenaan Pajaknya, sering terjadi salah persepsi antara Perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pemakai jasa Outsourcing, sebagaimana yang disebut Daniel Setiawan, Kepala Divisi Pajak Federal International Finance, selaku salah satu perusahaan pengguna jasa Outsourcing, ketika ditanyakan mengenai kendala yang dihadapi perusahaan sehubungan dengan adanya ketentuan yang baru ini, yaitu:

“Perlu adanya komunikasi dengan perusahaan Outsourcingnya untuk membahas sehubungan dengan DPP dalam PMK 83 ini sehingga jelas dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi”(komunikasi dengan e-mail Daniel Hernandi, 05 Juni 2013)

(16)

Selain hal tersebut sesuai penjelasan sebelumnya, kriteria jasa penyedia tenaga kerja yang dikenakan pajak dan tidak dikenakan pajak perlu penelitian lebih lanjut mengenai defenisi "pertanggungjawaban" dan batasan mengenai "pertanggungjawaban" tersebut.

Pembuat kebijakan harus memperhitungkan berbagai kemungkinan dan juga sembari melihat fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Adanya aturan yang jelas dalam sebuah kebijakan seperti pemenuhan kriteria Kena Pajak dan adanya pertimbangan mengenai konsep yang jelas mengenai aturan tersebut. Jadi kebijakan pajak yang dibuat oleh pemerintah harus dapat menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif dalam hal ini harus ada keseimbangan dan tidak mengakibatkan terganggunya kegiatan ekonomi salah satu pihak atau hilangnya hak untuk bersaing dalam kegiatan bisnis nya dan mendapatkan penghasilan.

5. Simpulan

Dari hasil analisa dan penjelasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

1) Keberadaan dua dasar pengenaan pajak atas jasa Outsourcing yang tercakup dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012 Tentang Kriteria Dan/Atau Rincian Jasa Tenaga Kerja Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, memiliki alasan masing-masing. Dasar pengenaan pajak dengan nilai lain dianggap sesuai dengan konsep value added, dimana yang seharusnya pajak pertambahan nilai dikenakan hanya atas penyerahan jasa nya saja dan mengecualikan biaya gaji. Selain dengan nilai lain Dasar Pengenaan Pajak dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012 menggunakan total penggantian, meskipun dipandang tidak sesuai dengan konsep pertambahan nilai, namun dasar pengenaan pajak dengan total penggantian masih digunakan guna memfasilitasi Wajib Pajak yang tidak dapat melakukan pemisahan dalam Faktur Pajaknya.

2) Kebijakan Dasar Pengenaan Pajak atas jasa Outsourcing memiliki kekuatan hukum yang lebih pasti setelah dikeluarkanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83 Tahun 2012 setelah sebelumnya peraturan terkait jasa Outsourcing hanya dalam bentuk Surat Edaran DJP, namun dalam peraturan ini aturan mengenai Dasar Pengenaan Pajak yang memberikan pilihan kepada pengusaha untuk memilih DPP PPN dengan memenuhi kriteria-kriteria yang terkait, dipandang sebagai sesuatu ketidakpastian. Karena adanya dua Dasar Pengenaan Pajak yang Sifatnya fakultatif. Dimana dalam satu aturan tidak diperbolehkan ada yang sifatnya perintah ada satu lagi sifatnya fakultatif aturan yang memberikan sifat bukan perintah (fakultatif).

(17)

3) Hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah perlunya sosialisasi lebih lanjut dengan pengusaha Outsourcing agar dapat membuat rincian dengan benar maupun pemakai jasa Outsourcing agar tidak melakukan kesalahan dalam pengisian SPT terkait kode Dasar Pengenaan Pajak yang dapat merugikan pengusaha tersebut. Selain itu dalam pembuatan regulasi pemerintah perlu mengajak pihak-pihak terkait dalam proses penyusunan kebijakan.

6. Saran

Saran yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

1) Sebaiknya Pemerintah hanya memakai satu Dasar Pengenaan Pajak yakni atas Management fee saja dan mengeluarkan biaya gaji karena memberatkan wajib pajak, pertambahan nilai hanya terdapat pada penyerahan jasa nya saja, jadi komponen gaji tidak seharusnya dikenakan pajak pertambahan nilai.

2) Pemerintah dalam membuat kriteria penyerahan jasa tenaga kerja harus lebih jelas dalam klasifikasi dan menetukan batasan kriteria jasa tenaga kerja dan sebaiknya didasarkan atas jenis jasa yang diberikan, misalnya hanya atas penyerahan jasa terkait jasa profesional.

3) Dalam membuat kebijakan pemerintah perlu melakukan kajian lebih lanjut mengenai objek dan subjek kebijakan tersebut dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut.

(18)

DAFTAR PUSTAKA Buku :

Babbie, Earl. (2004). The Practice of Social Research. USA: Thomson Learning Indrajit, Richardus Eko, Richardus Djokopranoto. Proses Bisnis Outsourcing: Ebook

Mansury, R. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4)

Mardalis. (2003). Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial.

Depok: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Marsuni, Laudin. (2006). Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press

Marsyahrul, Tony. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Grasindo.

Musgrave, A. Richard & Musgrave, Peggy B. (1983). Finance in Theory and Practice, USA: McGraw Hill, Inc.

Nugroho, Riant. (2010). Public Policy Dinamika Kebijakan-Analisis Kebijakan- Menejemen Kebijakan. Jakarta: Elex Media komputindo

P. Bambang dan Lina M. Jannah. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi.

Jakarta: Raja Grafindo Perkasa

Punch, Keith. (1998). Introduction to Social Research. London: Sage

Suharto, Edi. (2008).Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta

Tait, Alan. (1988). Value Added Tax: Practice and Problems: International Monetary Fund Terra, Ben. (1988). Sales Taxation: The Case of Value Added Tax in Eropean Community.

Denver: Kluwer Law and Taxation Publisher

Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting. Washington DC: International Monetary Fund

Rosdiana, Haula. (2003). Pengantar Perpajakan Konsep, Teori dan Aplikasi jilid I. Jakarta:

Yayasan Pendididkan dan Pengkajian Perpajakan

___________ dan Tarigan, (2005). Perpajakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Karya Ilmiah:

Faiz, Pan Muhammad.(2007).Outsourcing (Alih Daya) dan Pengelolaan Tenaga Kerja Pada Perusahaan: (Tinjauan Yuridisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), Jurnal Hukum

(19)

Price, Charles E, Thomas M. (1991). The Value Added Tax, Journal of Accountancy 174.4.

New York United States: American Institute of Certified Public Accountants Sumber Lain:

Mengamankan Penerimaan Pajak di tengah lesunya ekonomi dunia, (2012, 08 Desember).2013,Februari06.http://www.pajak.go.id/content/article/mengamankan-

penerimaan-pajak-di-tengah-lesunya-ekonomi-dunia

Peran Outsourcing dalam Perusahaan, (2012, 08 Desember), 2013, Februari 06.

http://mudafiqriyan.com/2012/05/peran-outsourcing-dalam-perusahaan/

Praktek Outsourcing di Indonesia, (2008, 31 Agustus). 2013, 25 mei.

http://shelmi.wordpress.com/2008/03/31/praktek-outsourcing-di indonesia/

Top Outsourcing Countries 2012 . 2013,25 Mei.http://www.sourcingline.com/top- outsourcing-countries

Referensi

Dokumen terkait

Dua mekanisme yang mungkin telah diajukan untuk menjelaskan penghambatan ereksi pada disfungsi psikogenik: inhibisi langsung yang berlebihan dari pusat ereksi spinal oleh otak dari

Khairi “Ketika tiang merariq saya berebeng pisuke, laguq araq masalah karena keluarge seninen tiang meleq pisuke saq penoq laloq dait melene kepeng pisuke bejulu ye ampqne ngawinan

Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa Niat dosen dalam menggunakan Research Information System(RIS) dipengaruhi : 1) Persepsi manfaat, yaitu keberadaan

di Fakultas Dakwah dan Komunikasi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, misalnya manfaat dari kegiatan laboratorium antara lain adalah: (1) Menimbulkan gairah dan mendorong

Gambaran Klinis dan Histopatologis Granuloma Pyogenicum Pada bibir --- 7..

Secara keseluruhan dari hasil sintesis abu layang menjadi material mirip zeolit telah berhasil dilakukan, hal ini terlihat dengan adanya peningkatan sifat fisikokimiawi mineral

Pada hari keempat belas pada perlakukan 1, 2 dan 3 sudah menunjukan perubahan morfologi yang normal kembali, ditandai dengan luka yang telah puih, kulit cerah, bentuk

Penerapan diskresi oleh penyidik menurut dasar hukumnya, harus memperhatikan beberapa hal, yakni tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum dan memperhatikan kode