• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI ATAS WANPRESTASI PENJUAL DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI ATAS WANPRESTASI PENJUAL DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Dyah Ayu Almuhqni E-mail: [email protected]

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Munawar Kholil

E-mail: [email protected] Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Abstract

This article aims to find out the legal protection for a customer in e-commerce transaction. This study based on the study prescriptive normative law. The type of data in the form of primary and secondary data obtained through library research with the deducation method asanalysis technique. The protection provided to the costumer forthe seller’s default is still subject to the provisions of Consumer Protection L aw and ITE Law in providing repressive and preventive protection. However, both the Consumer Protection Law and the ITE Law are still considered to be unable to provide security and comfort to consumers in e-commerce transactions.

Keywords: Legal Protection; Default; E-commerce.

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum pembeli dalam transaksi e-commerce. Kajian ini didasarkan dengan kajian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Jenis data berupa data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka dengan teknik analisis metode deduksi. Perlindungan yang diberikan kepada pembeli atas wanprestasi penjual tersebut tetap tunduk pada ketentuan UUPK dan UU ITE dalam memberikan perlindungan represif dan preventif. Namun baik UUPK maupun UU ITE masih dirasa kurang dapat memberikan kemanan dan kenyamanan terhadap konsumen dalam transaksi e-commerce Kata kunci: Perlindungan Hukum; Wanprestasi; E-commerce.

A. Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat telah mengubah perilaku masyarakat secara global. Hal ini ditandai oleh pemasaran produk yang tidak hanya dilakukan melalui media massa tetapi juga didunia maya (virtual world). Dengan adanya perkembangan teknologi dalam bidang perdangangan, transaksi jual beli yang pada awalnya hanya bersifat konvensional beralih menjadi transaksi jual beli secara elektronik yang dikenal dengan electronic commerce atau e-commerce. Melalui internet, produk dapat dipasarkan dalam dunia maya dengan jangkauan yang lebih luas dibandingkan melalui media massa, hal ini dikarenakan para pihak dalam kegiatan e-commerce tidak lagi bertatap muka, melainkan melakukan transaksi secara elektronik melalui media internet yaitu world wide web, jaringan umum dengan sistem terbuka. E-Commerce tidak dapat dilepaskan dari keberadaan situs atau website toko online yang memberikan fasilitas belanja online kepada masyarakat. Toko online menawarkan kemudahan dalam melakukan kegiatan belanja sehingga lebih cepat dan praktis, serta dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun tanpa terbatas oleh waktu maupun tempat (http://bisnisukm.

com/keuntungan-bisnis-online.html,diakses 31 Mei 2018 pukul 22.31).

Dengan perkembangan teknologi yang cepat, banyak sekali perusahaan yang memanfaatkan internet untuk memajukan bisnisnya sebagai media informasi dan promosi. Internet telah dianggap sebagai pusat perbelanjaan dengan penjualan yang selalu meningkat di setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan selalu adanya peningkatan persaingan perdagangan online dengan menggunakan situs web yang interaktif, bersamaan dengan itu konsumen juga lebih tertarik menggunakan teknologi yang ditawarkan secara online (Hyum-Hwa Lee dkk, 2010: 141).

(2)

Dalam perkembangannya, pertumbuhan e-commerce dari tahun ke tahun semakin pesat. Hal ini dikarenakan banyaknya minat masyarakat dalam melakukan jual beli online. Banyaknya minat ini timbul karena pemasaran dalam transaksi online dapat menjangkau target market yang lebih luas dengan biaya yang lebih murah, selain itu dalam implementasinya e-commerce memberikan dampak yang cukup menguntungkan bagi para pengusaha dalam penghematan biaya operasionalnya. Dalam melakukan pemasaran biasanya penjual memanfaatkan fasilitas darisitus-situs forum dan jejaring sosial sebagai media pemasaran untuk mempromosikan barang maupun jasa yang ditawarkan secara online. Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informasi, pada tahun 2016 nilai transaksi online di Indonesia dapat mencapai 25 milliar dollar AS termasuk transaksi internasional, sehingga hal ini juga mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Contoh situs yang menjadi perantara e-commerce dalam skala internasional yaitu eBay dan Amazon. Dalam sekala nasionalpun banyak sekali perantara e-commerce yang bermunculan dan biasanya perantara tersebut dibagi berdasarkan konsep yang berbeda, seperti memberikan pengalaman berbelanja online seperti di mall atau online shopping mall seperti Tokopedia, BukaLapak, Lazada, JD.ID, Shopee dan masih banyak lagi. Kemudian terdapat situs online yang menawarkan konsep clothing line yang mirip dengan departement store yang menggabungkan beberapa brand dengan menjual segala jenis kebutuhan sandang seperti Berrybenka, Zalora dan Matahari Mall.

Dalam persaingannya, perusahaan e- commerce pun memiliki daya tarik tersendiri untuk menarik minat pelanggan seperti memberikan garansi uang kembali, pengiriman gratis serta COD (Cash On Delivery) atau bayar ditempat di daerah atau kota tertentu di Indonesia.

Berbeda dengan jual beli yang bersifat konvensional, dalam e-commerce perjanjian jual beli dapat dilaukan meskipun tanpa tatap muka antara para pihak. Perjanjian jual beli dalam e-commerce dilakukan dengan cara mengakses halaman website yang disediakan, dalam hal tersebut nantinya akan berisi perjanjian-perjanjian mengenai informasi produk, cara pengembalian, cara pembayaran yang dibuat oleh pihak penjual, sementara pihak pembeli menyetujui perjanjian tersebut dengan mengklik tombol yang telah disediakan sebagai tanda kesepakatan atas perjanjian tersebut. Dalam hal ini, para pemasar online dapat mempengaruhi keputusan konsumen dengan memberikan testimonial kepada konsumen online mengenai pengalaman penjual produk dalam menjalankan online shopping-nya.

Disisi lain, semakin banyaknya situs-situs belanja online sebagai sarana kegiatan e-commerce belakangan ini menimbulkan beberapa pertanyaan, mengenai pertanggungjawaban para pihak sesuai hukum, bagaimana perlindungan hukumnya atau bagaimana keamanan transaksi terhadap konsumen, yang terkadang dalam dunia maya tingkat validitasnya masih harus dipertanyakan karena membuka peluang besar terhadap terjadinya suatu tindakan penipuan. Hal ini menimbulkan permasalahan yang lebih luas pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik ini, telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional (Rina Arum, 2013 :29).

Seiring dengan perkembangan tersebut muncul beberapa hal yang menjadi perhatian, karena meskipun bersifat virtual, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Di Indonesia sudah ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai hal ini, undang-undang tersebut yaitu Undang-Undang 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, atau kemudian dalam penulisan ini disebut juga dengan UU ITE. Dalam penjelasan atas UU ITE tersebut dijelaskan dalam pasal 10 ayat (1), bahwa untuk mengurangi penipuan dalam e-commerce diperlukan adanya sertifikasi keandalan atau CA (Certification Authority) sebagai bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan transaksi e-commerce layak berusaha setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang. Bukti tersebut digunakan sebagai logo sertifikasi berupa trust mark pada laman pelaku usaha tersebut. Meskipun begitu, sampai saat tidak dapat dipungkiri masih banyak kasus penipuan online yang sering terjadi karena kelalaian atau wanprestasi dari salah satu pihak khususnya daripihak penjual, akibatnya banyak pembeli yang dirugikan atas kelalaian dari penjual tersebut.

Berangkat dari latar belakang permasalahan diatas, perlu dikaji mengenai perlindungan hukum pembeli dalam transaksi e-commerce.

(3)

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, menggunakan pendekatan perundang- undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Penelitian ini bersifat preskriptif.

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka tehadap bahan-bahan hukum. Kemudian nantinya bahan hukum tersebut dianalisis dengan cara penarikan kesimpulan dari fakta hukum dengan pelaksanaan aturan hukum.

C. Hasil Penelitian dan Pemabahasan

Dalam perjanjian elektronik terdapat dokumen elektronik yang berisi aturan dan kondisi yang harus dipatuhi. Aturan tersebut juga dipakai sebagai perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.

Perlindungan hukum untuk pembeli biasanya terletak pada garansi berupa pengembalian (refund)atau penukaran barang (retur) hal tersebut dapat dilakukan jika barang yang diterima tidak sesuai dengan apa yang dipesan (Edmon Makarim,2004:315). Dokumen elektronik sebagaimana dijelaskan dalalm Pasal 1 angka 4 dan dipertegas pada Pasal 5 ayat 1 UU ITE merupakan alat bukti hukum yang sah dimana hal tersebut merupakan bukti dari adanya suatu perjanjian dalam transaksi elektronik. Dalam transaksi elektronik penggunaan perjanjian baku sebagai dasar perjanjian merupakan suatu hal yang mutlak sebagai contoh yaitu perjanjian (term and condition) yang merupakan kalusula baku dalam transaksi elektronik.

Akan tetapi penggunaan perjanjian baku tersebut memberi potensi yang merugikan pembeli, karena isi dari suatu perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak, yang biasanya dibuat oleh merchant dan pembeli hanya memiliki opsi untuk tidak menerima perjanjian tersebut dengan tidak membelinya atau apabila pembeli setuju maka hanya dengan meng-klik tombol beli. Meskipun begitu, pada hakikatnya merchant dapat dimintai pertanggungjawaban apabila menimbulkan kerugian bagi konsumen apabila tidak terlaksananya kewajiban hukumnya.

Proses transaksi secara online pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli pada umumnya di dunia nyata. Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, jual beli melalui elektronik atau transaksi online menimbulkan perikatan antara pihak untuk memberikan suatu prestasi.

Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang terlibat, pihak-pihak dalam transaksi online tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. (Rifan Adi Nugraha 2015:96- 97). Hal ini dikarenakan customer adalah pembeli suatu produk yang merupakan konsumen dan perlu dilindungi haknya sebagai konsumen dalam transaksi, tidak terkecuali transaksi elektronik ( Nindy Ockta Mutiara Hapsari,2013:61).

Mengenai wanprestasi merchant/penjual merupakan bentuk pelanggaran terhadap konsumen, karena pada hakikatnya pembeli/konsumen memiliki hak yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebagaimana dijelaskan pada Pasal 4 UUPK mengenai hak konsumen.

Pada dasarnya pembeli dalam transaksi elektronik tidak dapat menjamin mengenai keamanan dan keselamatan barang yang akan diperoleh, sebab pembeli tidak dapat mengidentifikasi barangnya secara langsung. Maka dari itu informasi yang jelas, jujur dan benar yang dilampirkan oleh penjual sangat berpengaruh pada transaksi ini, yang menyebabkan pembeli pada akhirnya sepakat untuk melakukan perjanjian. Namun masih banyaknya penjual yang melampirkan informasi atau foto produk yang ditawarkan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam Pasal 4 huruf d dan h UUPK sendiri sudah mengatur hak pembeli untuk didengar keluhannya mengenai barang yang digunakan, namun tidak jarang penjual/merchant tetap mengabaikan keluhan dari pembeli, padahal pembeli/konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi atau ganti rugi jika barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian diawal. Hal ini juga diatur dalam Pasal 7 UUPK mengenai kewajiban penjual.

Dimana pada huruf (f) pelaku usaha atau merchant wajib memberikan ganti rugi atau penggantian apabila pembeli maupun konsumen mendapatkan kerugian akibat kelalaian pelaku usaha, karena pada dasarnya pelaku usaha dituntut untuk jujur dan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dijelaskan dalam huruf (a), (b) dan (c). Maka sebagai pembeli maupun konsumen berhak

(4)

mendapat ganti rugi atau penggantian barang apabila penjual melakukan wanprestasi. Tanpa adanya upaya hukum, sebenarnya ganti rugi atas kelalaian penjual dapat diperoleh asalkan para pihak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan. Namun antara para pihak sering kali bersifat pasif, konsumen yang mengalami kerugian sering kali tidak paham mengenai haknya sehingga lebih memilih untuk pasrah, sementara apabila konsumen paham mengenai haknya, seringkali pihak penjual tidak memiliki itikad baik untuk menyelesaikan persoalan atas kesalahannya.

Sebagai pembeli maupun konsumen kita dapat mencegah terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh merchant atau penjual karena dalam transaksi elektronik terdapat perlindungan preventif yang diberikan kepada pembeli dengan tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa.

Validitas dalam e-commerce merupakan bukti yang digunakan sebagai logo sertifikasi berupa trust mark pada laman pelaku usaha yang dianggap penting karena dapat mencegah hal hal yang dapat merugikan pembeli serta dapat menambah kepercayaan pembeli dalam melakukan transaksi online.

Validitas juga dapat berupa ulasan yang diberikan pembeli terhadap barang yang dijual oleh merchant atau biasa disebut sebagai feedback. Feedback diberikan dari pembeli kepada penjual setelah penjual melaksanakan kewajibannya. Feedback ini dapat dilihat dari aspek pelayanannya, kecepatan pengiriman maupun kualitas barang yang didapatkan. Penjual yang memiliki feedback yang positif inilah yang membuat calon pembeli lebih yakin untuk berbelanja dalam situs online.

Selain itu validitas erat kaitanya dengan Certification Authority atau sertifikasi keandalan.

Dalam UU ITE sertifikasi keandalan dijelaskan dalam Pasal 10 Ayat (1) “Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Keandalan.” dan juga Pasal 13 UU ITE mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik.

Dalam UU ITE meskipun sudah diatur mengenai sertifikasi keandalan namun tidak mewajibkan penyelenggara sistem elektronik untuk menggunakan sertifikasi keandalan ini dan juga hanya berfokuskan pada pembuatan tanda tangan elektronik saja. Sementara dalam PP PSTE Lembaga sertifikasi keandalan itu sendiri dijelaskan pada Pasal 1 Ayat 24 yang merupakan lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat Keandalan dalam Transaksi Elektronik.

Sertifikasi keandalan tersebut bertujuan untuk melindungi konumen dalam transaksi elektronik. UU ITE memang tidak mewajibkan untuk menggunakan jasa sertifikasi keandalan namun dalam Pasal 41 UU PSTE mewajibkan penggunaan sertifikat keandalan “Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dalam lingkup publik atau privat yang menggunakan Sistem Elektronik untuk kepentingan pelayanan publik wajib menggunakan Sertifikat Keandalan dan/atau Sertifikat Elektronik”. Sertifikat keandalan dianggap penting dalam transaksi elektonik karena dapat memberikan rasa keamanan, baik berupa kerahasiaan, otentitas, non-repudiation (tidak dapat mengelak apa dengan apa yang telah dilakukan) dan juga sebagai bukti bahwa pelaku usaha melakukan perdagangan secara layak. Akantetapi pada kenyataanya di Indonesia masih sedikit pebisnis online yang menjalankan anturan tersebut, sehingga belum bisa terdeksi penjual/merchant yang memiliki bisnis online tersebut sudah resmi terdaftar sebagai pebisnis yang legal atau bukan.

Sebagai konsumen/pembeli juga dituntut untuk berhati-hati dalam membeli barang saat melakukan transasi e-commerce, hal tersebut dapat berupa pengecekan feedack atau hasil kepuasan dari konsumen lain yang sudah pernah melakukan transaksi sebelumnya. Feedback ini berguna sebagai gambaran bahwa transaksi yang akan dilakukan aman. Selain itu pentingnya membeli disuatu situs yang sudah terpercaya sangatlah penting, karena dapat mencegah terjadinya sengketa.

Selain itu, perlindungan preventif juga diberikan pada awal tahun 2017 oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi meluncurkan sebuah situ bernama cekrekening.id sebagai perlindungan untuk pembeli dan konsumen yang bertransaksi melewati situs online. Sistem kerja situs ini ialah mengumpulkan data rekening bank dengan pengecekan nomor rekening sebagai salah satu bentuk memerangi merchant yang tidak beritikad baik dalam hal ini penipua nonline. Situs ini melampirkan apakah rekening yang terkait pernah melakukan tindakan penipuan atau tidak, pelaporan yaitu sendiri

(5)

dilakukan dengan cara melampirkan bukti penipuan dan mengunggahnya secara scan berupa bukti transfer atau bukti pembayaran, tangkapan layar percakapan dan tangkapan layar buktitransfer.

(https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/11440811/situs-cek-rekening-viral-di-medsos-ini- penjelasan-soal-cekrekeningid, diakses pada tanggal 16 Desember 2018, pukul 16.20)

Sementara perlindungan hukum represif yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa atau perlindungan setelah terjadinya sengketa. Dalam UUPK penyelesaian sengketa konsumen dapat melalui dua jalur, baik melalui jalur peradilan maupun diluar jalur pengadilan. Pada Pasal 45 ayat (2) UUPK memberikan opsi penyelesaian diluar jalur pengadilan, yaitu penyelesaian secara damai yang dilakukan antar pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk mencapai kesepakatan bersama dalam menentukan bentuk atau besarnya ganti rugi.

UUPK juga memberikan opsi untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) baik secara konsiliasi, mediasi maupun arbitrase. Dalam hal ini BPSK berperan sebagai pihak ke tiga atau perantara dalam penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa menurut UUPK juga dapat melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. UU ITE juga mengatur mengenai bagaimana penyelesaian sengketa apabila terjadi suatu perselisihan akibat transaksi elektronik, UU ITE memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menyelesaikannya hal ini diatur dalam Bab VIII Pasal 38 dan Pasal 39 mengenai penyelesaian sengketa.

Namun bagi transaksi elektronik internasional, para pihak memiliki kewenangan hukum yang berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18 Ayat (2) sampai dengan (5)

Apabila pemilihan hukum melalui penyelesaian sengketa alternatif tidak nampak pilihan hukum dalam suatu perjanjian maka dalam Hukum Perdata Internasional dapat diselesaikan berdasarkan teori yaitu (Sudargo Gautama, 1997:12-32):

1. Lex Loci Contractus yang menetapkan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian yang berlaku berdasarkan dari tempat pembuatan perjanjian.

2. Lex Loci Solutionis yang menetapkan bahwa perjanjian yang berlaku berdasarkan dari tempat dimana perjanjian itu dilaksanakan.

3. The Proper Law of the Contract yang mengedepankan “Intention of the parties” bahwa perjanjian yang berlaku berdasarkan dari kehendak para pihak

4. The Most Characteristic Connection yang menetapkan bahwa perjanjian yang berlaku berdasarkan hukum dari negara mana perjanjian tersebut memperlihatkan “the most characteristic connection”

yang memperlihatkan kecondongan perjanjian tersebut.

Namun pada kenyataannya banyak kasus jual beli online tidak membawa sengketanya melalui pengadilan melainkan penyelesaian secara damai dengan cara musyawarah antar pihak untuk mencapai kesepakatan bersama.

D. Simpulan

Perlindungan hukum yang diperoleh oleh pembeli dalam transaksi online tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hal ini dikarenakan customer adalah pembeli suatu produk yang merupakan konsumen dan perlu dilindungi haknya sebagai konsumen dalam suatu transaksi, tidak terkecuali transaksi elektronik. Penyelesaian sengketa yang terjadi atas wanprestasi penjual dalam transaki elektronik dapat berupa pembayaran ganti rugi oleh penjual kepada pembeli. Hal ini dapat dilakukan secara damai tanpa melalui jalur hukum, selain itu dalam UU ITE pun memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menyelesaikannya. Namun apabila tidak dapat dilakukan secara damai UUPK juga memberikan opsi untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dapat melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Namun

(6)

UU ITE dan UU PK masih dirasa kurang efektif dalam memberikan rasa keamanan dan kenyamanan bagi para konsumen dalam transaksi e-commerce.

E. Saran

Dengan kondisi transaksi elektronik yang semakin pesat tiap tahunya, perlu adanya pengoptimalan perlindungan bagi para pihak transaksi elektronik karena dengan kondisi semakin meningkatnya teknologi digital akan berpengaruh terhadap pertumbuhan perumbuhan platform e-commerce di Indonesia, karena banyaknya perusahaan yang mengembangkan digital bisnis. Hal ini juga dapat memicu akan adanya kasus baru. Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai pengawas transaksi elektronik sebaiknya melakukan pengawasan yang lebih ketat lagi agar setiap penyelenggara sistem elektronik dapat memenuhi standar perdagangan dalam sistem elektronik. Undang undang yang diharapkan sebagai perangkat hukum yang menjadi salah satu bentuk antisipasi dari suatu permasalahan masih hanya sebagai formalitas, karena pada kenyataanya banyak kerugian yang dialami pembeli saat melakukan transaksi e-commerce. Maka dari itu perlu adanya beberapa aturan baru yang diatur secara khusus dalam UU PK dan UU ITE mengenai transaksi elektronik yang memberikan keamanan dan kenyamanan bagi konsumen dalam transaksi e-commerce. Selain itu, masyarakat juga harus memahami hak dan kewajibannya dalam bertansaksi, karena masih kurangnya pengetahuan masyarakat dalam menindak lanjuti hal tersebut.

F. Daftar Pustaka

Buku

Edmon Makarim. 2004. Kompilasi Hukum Telematika. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Sudargo Gautama. 1998. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bandung: PT Alumni.

Jurnal dan Publikasi Ilmiah

Hyum-Hwa Lee, Jihyum Kim dan Ann Marie Fiore. 2010. “Affective and Congnitive Online Shopping Experience “Effect of Image Interactivity Technology and Experimenting with Appearance”. Clothing

& Textiles Research Journal, 28.144. Ctrj.Sagepub.com

Nindy Ockta Mutiara Hapsari. 2013. “Analisi Yuridis Mengenai Wanprestasi dalam Jual Beli Secara Elektronik (E-Commerce) Ditinjau dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan”. Skripsi.

Surakarta: Program Sarjana (S1) Universitas Sebelas Maret

Rifan Adi Nugraha, Jamaluddin Mukhtar, Hardika Fajar Ardianto. 2015. “Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Transaksi Online”. Jurnal Serambi Hukum Vol. 08 No. 02 Agustus 2014-Januari 2015

Rina Arum Prastyanti. 2013.”Evaluasi Efektifitas Undang Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pelaksanaan E commerce”. Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi dan Komunikasi. Vol. 5 Nomor 1 September 2013. Surakarta:STMIK.

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik

(7)

Internet

http://bisnisukm.com/keuntungan-bisnis-online.html,diakses 31 Mei 2018pukul 22.31 WIB.

https://nasional.kompas.com/read/2018/09/11/11440811/situs-cek-rekening-viral-di-medsos-ini-penjelasan- soal-cekrekeningid, diakses pada tanggal 16 Desember 2018, pukul16.20

Referensi

Dokumen terkait

Antara Minat Belajar Siswa dan Proses Belajar Mengajar dengan Partisipasi dalam Mengikuti Mata Pelajaran Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan di SMAN 1 Rancaekek”

Majmu’ merupakan khazanah terbesar (Fikih Induk) dalam bidang fikih Islam yang isinya menjelaskan konsep-konsep dasar, hukum-hukum Islam, dan etika dalam

Instrumen keuangan yang diterbitkan atau komponen dari instrumen keuangan tersebut, yang tidak diklasifikasikan sebagai liabilitas keuangan yang diukur pada nilai

Puji syukur saya panjatkan kepada ALLA SWT karena rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi ini yang berjudul MOTIF REMAJA SURABAYA DALAM MENGAKSES AKUN INSTAGRAM @Indozone.id

Berdasarkan hasil wawancara dengan in- forman adanya sistem rujuk balik tenaga medis merasa cukup terbantu, dokter yang merujuk dapat mengetahui perawatan yang diterima oleh pasien

Pembuatan etanol dari bahan baku limbah serat/empulur sagu akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka salah satu faktor

Fuzzy C--Means mempunyai kinerja yang lebih baik dibandingkan Mountain Clustering dan Fuzzy Subtractive Clustering dalam memproses data 13 dimensi, namun algoritma ini

Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau. serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia