NASKAH PUBLIKASI
TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1436.K/Pdt/2001)
OLEH
NAMA : SAMANTO TARIGAN
NIM : 087011113
PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN
MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM
TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI
(STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1436.K/Pdt/2001)
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
SAMANTO TARIGAN 087011113/MKn
PROGRAM PASCA SARJANA JURUSAN MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PENJAMIN
(AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001).
Nama Mahasiswa : SAMANTO TARIGAN
Nomor Induk : 087011113
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN Ketua
Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,M.Hum Chairani Bustami,SH,Sp.N,MKn Anggota Anggota
Ketua Program Dekan Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara
Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN Prof Dr.Runtung Sitepu,SH,M.Hum
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI
Telah diuji pada : Tanggal 14 Agustus 2010
____________________________________________________________________
Panitia penguji tesis
Ketua : PROF.DR.MUHAMMAD YAMIN SH, MS, CN Anggota : PROF.DR.BUDIMAN GINTING, SH, M.HUM
: CHAIRANI BUSTAMI, SH, SpN, MKn : SYAHRIL SOFYAN, SH, MKn
TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004)
Samanto Tarigan∗) Muhammad Yamin∗∗)
Budiman Ginting∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)
INTISARI
Bank sebagai lembaga keuangan, disamping memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, usaha pokok bisnisnya adalah memberikan pelayanan kredit kepada para nasabahnya. Bank dalam memberikan kredit selalu meminta nasabah debitur untuk menyediakan jaminan pokok dan jaminan tambahan. Dalam jaminan tambahan selain berupa jaminan kebendaan, juga dapat berupa jaminan perorangan. Dalam KUHPerdata, adapun jaminan perorangan ini berupa penjaminan utang atau borgtocht, jaminan perusahaan, perikatan tanggung menanggung dan garansi bank. Namun, jaminan perorangan (borgtocht) yang diatur dalam KUHPerdata, bagi bank (kreditur) merasa piutangnya belum cukup aman apabila debitur wanprestasi, sebab bank tidak dapat mengetahui secara pasti barang-barang apa milik penjamin yang dapat disita dan dijual lelang. Disini tidak jarang bank (kreditur) meminta dan mengikat barang tertentu untuk menjamin utang debitur. Jadi pihak ketiga selain sebagai penjamin utang debitur juga menyerahkan barang tertentu untuk menjamin pelunasan utang debitur apabila wanprestasi. Pemberian jaminan seperti diatas dapat ditemui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang seperti kasus hutang piutang antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara melawan PT.Twin Jaya Steel dan Faisal Oloan Nasution, SH sebagai penjamin (avalist) yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004. Sebagai penjamin utang dalam perjanjian jaminan seperti tersebut diatas tentu seorang penjamin mempunyai tanggung jawab, dasar hukum pengikatan penjamin dan barang yang diserahkan penjamin (avalist).
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan normatif kualitatif. Oleh karena itu penelitian ini melakukan penelitian kepustakaan.
Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjamin (avalist) tidak
∗ ) Mahasiswa Magister Kenotariatan FH USU.
bertanggung jawab atas utang debitur (PT.Twin Jaya Steel), disebabkan PT.Twin Jaya Steel belum menjadi subjek hukum karena belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai badan hukum. Dasar hukum pengikatan penjamin (avalist) adalah berdasarkan perjanjian yang hanya berupa pernyataan dalam surat
wesel yang ditanda tangani penjuamin (avalist). Kekuatan eksekusi/sita jaminan
terhadap benda yang diserahkan penjamin (avalist) tidak dapat dieksekusi melalui Grosse Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan karena jaminan tersebut bukan jaminan kebendaan jadi harus dilakukan dengan proses melakukan gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri.
THE RESPONSIBILITY OF THE AVALIST FOR THE DEBT OF THE DEFAULTING DEBTOR
(Case Study of the Verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, Number 1436.K/Pdt/2001, on January 29, 2004)
Samanto Tarigan ∗) Muhammad Yamin ∗∗)
Budiman Ginting ∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)
ABSTRACT
Banks as the financial institution, not only serves the payment and the circulation of money, but also as the main business which gives the loan to their clients. In giving the loan, banks always ask the clients to give principal guarantee and additional guarantee, which can be either collateral or surety. Collateral usually takes a long time and costs a lot of money. Therefore, a company which needs a loan from a bank for its capital, usually uses surety or personal guarantee. In this case, there will be an individual or corporate body that will take the responsibility for the paying off the debt if the debtor defaults. Some of the banks want the manager of a certain company who gets the loan to be bound by borgtocht. Not all companies can do this kind of binding, but only the companies which have legal entities. The company which has no legal entity, such as a business firm, and a limited company which has no legal entity can hardly do this borgtocht binding because its founder or manager is only responsible for his own assets. Therefore, a company which has not legal entity, will involve the third party as the guarantor. But it is very seldom for someone (third party) to guarantee other people’s debts. In the borgtocht which is regulated in the Civil Code, the bank (creditor) is not sure if its credit is secure because the debtor may default, because the bank does not know what collateral will be confiscated or auctioned. Therefore, the bank (creditor) usually asks for a mortgage to guarantee the debt. The regulation concerning the mortgage is found in the Code of Commercial Law, about giving aval guarantee in paying the bill of exchange (B/E).
The aim of the guarantor in giving the aval as the contract of giving surety, he, of course, will be responsible for the contract; in this case, he will be responsible for thedebt of the defaulting debtor of the limited company which has no legal entity. The example of this case is the debt and credit between BPDSU (Regional Development of North Sumatera Bank) and PT. Twin Jaya Steel, and Faisal Oloan
∗ ) Student of Masters of Notarial, Faculty of Law, University of north Sumatera.
Nasution SH., as the avalist which was in the verdict of the supreme Court of the Republic Indonesia Number 1436 K/Pdt/2001, on January 29, 2004.
This research was legal normative, using normative qualitative approach; therfore, it used library research. The Primary and secondary law’s data were obtained from library study,and the results of the research showed that, the avalist was not responsible for the debtor’s (PT.Twin Jaya Steel) debt because PT.Twin Jaya Steel hat not yet become the legal subject because there was no legalization from Menkumham (Minister of Justiceand Human Rights), the arrangement of the aval contract is found in the Code of Commercial Law, Article 130. In the Code of Commercial Law, it is in the provision about the form and the technique of the aval guarantee.The Binding of Both Parties in the aval contract is only based on signatures and the posisition of the execution/foreclosure on the collateral handed out by an avalist cannot be executed throught executory copy about IOU by giving the collateral because it must be done by process by making a claim a common civil case to the District Court.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhana Wata’ala, karena atas berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul : ”Tanggung
Jawab Penjamin (avalist) atas Utang Debitur Yang Wanprestasi (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari
2004)”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini telah banyak mendapat
bimbingan pengarahan dan bantuan dari semua pihak. Terima kasih diucapkan khusus
kepada Bapak pembimbing terhormat, Prof. Dr. Muhammmad Yamin, SH, MS, CN.,
Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, atas
kesediaan memberikan bimbingan dan petunjuk serta saran-saran sejak dari awal
penyusunan proposal sampai pada penulisan tesis ini.
Selanjutnya terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM),Sp.A (K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak-bapak dan ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar pada Program
Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis,
khususnya dalam bidang Ilmu Kenotariatan.
5. Para pihak yang yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah bersedia
memberikan informasi maupun bantuan yang diperlukan demi kelancaran
pelaksanaan penulisan tesis ini.
6. Rekan-rekan dari Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan
semangat dan dorongan serta bantuan pada penulis untuk kelancaran
menyelesaikan studi pada Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Akhirnya ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada ayahanda H.
Djenda Kami Ridwan Tarigan (Almarhum) dan Ibunda Hj. Kamariah Br S. Meliala,
serta ayah mertua Ahmad Sayuti Nasution dan Ibunda Sarah Tanjung, BA yang
selalu mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan studi ini. Secara khusus penulis
Nasution dan ananda tersayang Muhammmad Hasyim Ashari Tarigan serta
Chairunnisa Iman Br Tarigan yang selalu mendoakan dengan tulus dan penuh kasih
sayang memberikan dorongan dan semangat pada penulis.
Akhirnya terhadap semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan dalam
penulisan tesis ini, sekali lagi diucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT membalas
dan memberkahinya.
Medan, 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
INTISARI...i
ABSTRACT...iii
KATA PENGANTAR...vi
DAFTAR ISI...ix
BAB I. PENDAHULUAN...1
A.Latar Belakang...1
B.Permasalahan...12
C.Tujuan Penelitian...13
D.Manfaat Penelitian ...13
E.Keaslian Penelitian ...14
G.Kerangka Teori Dan Konsepsi... 16
1.Kerangka Teori...16
2.Kerangka Konsepsi...21
F.Metode Penelitian...25
1.Spesifikasi Penelitian...24
2.Sumber Data...25
3.Teknik Pengumpulan Data...25
BAB.II TANGGUNG JAWAB PENJAMIN ( AVALIST) ATAS UTANG
DEBITUR YANG WANPRESTASI ...27
A.Perjanjian Jaminan Aval Dalam Pembayaran Surat Wesel... 27
B.Kedudukan Hukum Dan Tanggung Jawab Penjamin (avalist) Terhadap Utang Debitur Yang Wanprestasi... 38
1.Subjek Hukum Dalam Perjanjian... 38
2.Perseroan Terbatas Sebagai Subjek Hukum...45
3.Tanggung Jawab Perseroan Terbatas...47
C.Tanggung Jawab Penjamin (avalist) Atas Utang Debitur Yang Wanprestasi...60
BAB .III DASAR HUKUM PENGIKATAN SEORANG PENJAMIN (AVALIST) DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN JAMINAN...69
A.Macam-Macam Ikatan...70
1.Ikatan Solider... 70
2.Ikatan Alternatif...70
3.Ikatan Bersyarat...71
4.Ikatan Induk Dan Ikatan Tambahan...72
5.Ikatan Dengan Sanksi Hukuman...72
B.Macam-Macam Perjanjian... 72
1.Perjanjian Jaminan Aval ... 74
BAB IV KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN JAMINAN TERHADAP EKSEKUSI/SITA JAMINAN TERHADAP BENDA YANG DISERAHKAN PENJAMIN (AVALIST) APABILA DEBITUR WANPRESTASI... 86
B.Bentuk-Bentuk Grosse Akta... 94
C.Penyitaan Benda Jaminan Milik Penjamin...101
D.Eksekusi Jaminan Kredit... 107
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 114
A.Kesimpulan... 114
B.Saran-Saran...116
DAFTAR PUSTAKA
TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) TERHADAP UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004)
Samanto Tarigan∗) Muhammad Yamin∗∗)
Budiman Ginting∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)
INTISARI
Bank sebagai lembaga keuangan, disamping memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, usaha pokok bisnisnya adalah memberikan pelayanan kredit kepada para nasabahnya. Bank dalam memberikan kredit selalu meminta nasabah debitur untuk menyediakan jaminan pokok dan jaminan tambahan. Dalam jaminan tambahan selain berupa jaminan kebendaan, juga dapat berupa jaminan perorangan. Dalam KUHPerdata, adapun jaminan perorangan ini berupa penjaminan utang atau borgtocht, jaminan perusahaan, perikatan tanggung menanggung dan garansi bank. Namun, jaminan perorangan (borgtocht) yang diatur dalam KUHPerdata, bagi bank (kreditur) merasa piutangnya belum cukup aman apabila debitur wanprestasi, sebab bank tidak dapat mengetahui secara pasti barang-barang apa milik penjamin yang dapat disita dan dijual lelang. Disini tidak jarang bank (kreditur) meminta dan mengikat barang tertentu untuk menjamin utang debitur. Jadi pihak ketiga selain sebagai penjamin utang debitur juga menyerahkan barang tertentu untuk menjamin pelunasan utang debitur apabila wanprestasi. Pemberian jaminan seperti diatas dapat ditemui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang seperti kasus hutang piutang antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara melawan PT.Twin Jaya Steel dan Faisal Oloan Nasution, SH sebagai penjamin (avalist) yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan Nomor : 1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004. Sebagai penjamin utang dalam perjanjian jaminan seperti tersebut diatas tentu seorang penjamin mempunyai tanggung jawab, dasar hukum pengikatan penjamin dan barang yang diserahkan penjamin (avalist).
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan normatif kualitatif. Oleh karena itu penelitian ini melakukan penelitian kepustakaan.
Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa penjamin (avalist) tidak
∗ ) Mahasiswa Magister Kenotariatan FH USU.
bertanggung jawab atas utang debitur (PT.Twin Jaya Steel), disebabkan PT.Twin Jaya Steel belum menjadi subjek hukum karena belum mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman sebagai badan hukum. Dasar hukum pengikatan penjamin (avalist) adalah berdasarkan perjanjian yang hanya berupa pernyataan dalam surat
wesel yang ditanda tangani penjuamin (avalist). Kekuatan eksekusi/sita jaminan
terhadap benda yang diserahkan penjamin (avalist) tidak dapat dieksekusi melalui Grosse Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan karena jaminan tersebut bukan jaminan kebendaan jadi harus dilakukan dengan proses melakukan gugatan perdata biasa ke Pengadilan Negeri.
THE RESPONSIBILITY OF THE AVALIST FOR THE DEBT OF THE DEFAULTING DEBTOR
(Case Study of the Verdict of the Supreme Court of the Republic of Indonesia, Number 1436.K/Pdt/2001, on January 29, 2004)
Samanto Tarigan ∗) Muhammad Yamin ∗∗)
Budiman Ginting ∗∗∗) Chairani Bustami ∗∗∗)
ABSTRACT
Banks as the financial institution, not only serves the payment and the circulation of money, but also as the main business which gives the loan to their clients. In giving the loan, banks always ask the clients to give principal guarantee and additional guarantee, which can be either collateral or surety. Collateral usually takes a long time and costs a lot of money. Therefore, a company which needs a loan from a bank for its capital, usually uses surety or personal guarantee. In this case, there will be an individual or corporate body that will take the responsibility for the paying off the debt if the debtor defaults. Some of the banks want the manager of a certain company who gets the loan to be bound by borgtocht. Not all companies can do this kind of binding, but only the companies which have legal entities. The company which has no legal entity, such as a business firm, and a limited company which has no legal entity can hardly do this borgtocht binding because its founder or manager is only responsible for his own assets. Therefore, a company which has not legal entity, will involve the third party as the guarantor. But it is very seldom for someone (third party) to guarantee other people’s debts. In the borgtocht which is regulated in the Civil Code, the bank (creditor) is not sure if its credit is secure because the debtor may default, because the bank does not know what collateral will be confiscated or auctioned. Therefore, the bank (creditor) usually asks for a mortgage to guarantee the debt. The regulation concerning the mortgage is found in the Code of Commercial Law, about giving aval guarantee in paying the bill of exchange (B/E).
The aim of the guarantor in giving the aval as the contract of giving surety, he, of course, will be responsible for the contract; in this case, he will be responsible for thedebt of the defaulting debtor of the limited company which has no legal entity. The example of this case is the debt and credit between BPDSU (Regional Development of North Sumatera Bank) and PT. Twin Jaya Steel, and Faisal Oloan
∗ ) Student of Masters of Notarial, Faculty of Law, University of north Sumatera.
Nasution SH., as the avalist which was in the verdict of the supreme Court of the Republic Indonesia Number 1436 K/Pdt/2001, on January 29, 2004.
This research was legal normative, using normative qualitative approach; therfore, it used library research. The Primary and secondary law’s data were obtained from library study,and the results of the research showed that, the avalist was not responsible for the debtor’s (PT.Twin Jaya Steel) debt because PT.Twin Jaya Steel hat not yet become the legal subject because there was no legalization from Menkumham (Minister of Justiceand Human Rights), the arrangement of the aval contract is found in the Code of Commercial Law, Article 130. In the Code of Commercial Law, it is in the provision about the form and the technique of the aval guarantee.The Binding of Both Parties in the aval contract is only based on signatures and the posisition of the execution/foreclosure on the collateral handed out by an avalist cannot be executed throught executory copy about IOU by giving the collateral because it must be done by process by making a claim a common civil case to the District Court.
PENDAHULUAN A.Latar Belakang
Bank sebagai salah satu lembaga keuangan, disamping memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, usaha pokok bisnisnya adalah
memberikan pelayanan kredit kepada para nasabahnya.
Pada umumnya Bank dalam memberikan kredit selalu meminta nasabah
debitur untuk menyediakan jaminan pokok dan jaminan tambahan. Dalam jaminan
tambahan selain berupa jaminan kebendaan, juga dapat berupa jaminan perorangan. *
Dalam pemberian kredit antara debitur dan bank tersebut dibuat sebuah
perjanjian tertulis, di dalam perjanjian di perjanjikan pula bahwa pemberian kredit itu
dibebani oleh jaminan yang selanjutnya diikuti dengan pengikatan jaminan
kebendaan atau perorangan.
Sebenarnya baik perjanjian jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan
keduanya timbul dari perjanjian, dalam jaminan kebendaan yaitu adanya suatu
kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang. Sedangkan jaminan yang bersifat
perseorangan yaitu adanya seseorang tertentu atau badan hukum yang bersedia
menjamin pelunasan utang tertentu bila debitur wanprestasi.
Adapun jaminan perseorangan adalah hak yang memberikan kepada kreditur
sesuatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari seorang debitur yang
dapat ditagih. Adanya lebih dari seorang debitur, bisa karena ada debitur serta
*
tanggung menanggung atau karena adanya orang pihak ketiga yang mengikatkan
dirinya sebagai borg.†
Adapun jaminan perorangan ini adalah berupa penjaminan utang atau
borghtoch, jaminan perusahaan, perikatan tanggung menanggung, dan garansi bank.‡
Dalam KUH Perdata mengenai jaminan perorangan ini diatur dalam Pasal
1820 sampai dengan Pasal 1850 tentang penanggungan hutang.
Selain diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata
diatur juga mengenai jaminan perorangan lainnya tentang perikatan tanggung
menanggung (perikatan tanggung renteng) yang diatur mulai Pasal 1278 sampai
dengan Pasal 1295 dan Pasal 1316 KUH Perdata mengenai perjanjian garansi.
Yang dimaksud penanggungan dalam Pasal 1820 KUHPerdata adalah suatu
persetujuan yang mana, seorang pihak ketiga guna kepentingan siberpiutang
(kreditur) mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya siberhutang (debitur)
manakala orang itu sendiri tidak memenuhinya.§
Dari defenisi tersebut, maka jelaslah ada tiga pihak yang terkait dalam
perjanjian penanggungan hutang yaitu pihak kreditur, debitur dan pihak ketiga.
Kreditur berkedudukan sebagai pemberi kredit (berpiutang), debitur sebagai penerima
kredit (berhutang) dan pihak ketiga sebagai penjamin (penanggung) utang debitur
kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi janjinya.
†
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.77
‡
Ibid.
§
Gunawan Wijaya dan Kartini Mulyadi mengemukakan ada tiga hal yang
meliputi unsur penanggungan hutang, yaitu :
1. Penanggungan hutang diberikan untuk kepentingan kreditur
2. Utang yang ditanggung tersebut haruslah suatu kewajiban prestasi, atau
perikatan yang sah demi hukum.
3. Kewajiban penanggung untuk memenuhi atau melaksanakan kewajiban
debitur baru ada setelah debitur wanprestasi.**
Unsur kepentingan kreditur adalah mutlak untuk membedakan dari
kepentingan debitur itu sendiri. Dalam suatu perikatan yang melibatkan lebih dari
satu debitur, maka untuk melindungi kepentingan di antara para debitur, yang terjadi
adalah perikatan tanggung menanggung pasif, yang diatur dalam Pasal 1280 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.††
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan suatu
pengertian atau defenisi perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung
renteng pasif. Namun berdasarkan pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1278 dan
Pasal 1280 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
Pasal 1278 :
“Suatu perikatan tanggung menanggung atau perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa kreditur, jika di dalam persetujuan secara tegas kepada masing-masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh utang, sedang pembayaran yang dilakukan kepada
**
Gunawan Widjaya, Kartini Mulyadi, Penanggungan Utang Dan Perikatan Tanggung
Menanggung, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 16
salah satu membebaskan debitur meskipun perikatan itu menurut sifatnya dapat dipecah dan dibagi diantara para kreditur tadi”.‡‡
Pasal 1280 :
“Adalah terjadi suatu perikatan tanggung menanggung di pihaknya debitur, manakala mereka kesemuanya di wajibkan melakukan suatu hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh satu membebaskannya para debitur yang lainnya terhadap kreditur.” §§
Dalam konteks demikian berarti dikenal adanya dua macam perikatan
tanggung renteng atau tanggung menanggung, yaitu :
1. Perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung aktif yaitu
suatu perikatan dengan lebih satu kreditur berhak untuk menuntut pemenuhan
perikatannya dari debitur, dan pemenuhan perikatan kepada salah satu
kreditur adalah pemenuhan perikatan kepada semua kreditur.
2. Perikatan tanggung renteng atau perikatan tanggung menanggung pasif yaitu
perikatan dengan lebih satu debitur, dimana masing-masing debitur dapat
dituntut untuk memenuhi seluruh isi perikatannya oleh kreditur, dan
pemenuhan perikatan oleh salah satu debitur adalah pemenuhan perikatan oleh
semua debitur.***
Menurut rumusan yang diberikan Pasal 1280 KUHPerdata bahwa para debitur
secara bersama-sama mengikatkan dirinya untuk memenuhi suatu kewajiban yang
sama, dengan demikian berarti siapapun yang memenuhi perikatan tersebut adalah
‡‡
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1278
§§
Ibid, Pasal 1280
***
berarti pemenuhan perikatan oleh para debitur dalam perikatan tanggung
menanggung pasif tersebut .†††
Konstruksi hukum perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng
pasif tersebut selain diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga dapat
ditemui dalam ketentuan BAB VI kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang
surat wesel dan surat order dan BAB VIII tentang Cek, Promes, dan Kwitansi kepada
pembawa.
Pasal 102 KUHDagang :
“Ada surat wesel yang dibuat kepada orang yang ditunjuk oleh penarik, ada yang ditarik atas diri penarik sendiri dan ada yang ditarik atas tanggungan orang ketiga.
Tiap-tiap penarik surat wesel dianggap telah menariknya atas tanggungan diri sendiri, apabila dari surat wesel itu atau dari surat pemberitahuannya tidak ternyata, atas tanggungan siapa surat itu ditariknya.”‡‡‡
Pasal 107 KUHDagang :
“Tiap-tiap orang yang menaruh tanda tangannya dalam sesuatu surat
wesel sebagai wakil orang lain, atas nama siapa ia berwenang, untuk
bertindak, ia pun dengan diri sendiri terikat dengan surat wesel itu, dan apabila telah membayarnya, memperoleh juga hak-hak yang sama yang sedianya ada pada orang yang katanya diwakili itu. Akibat-akibat yang sama berlaku juga bagi seorang wakil yang bertindak dengan melampaui batas kewenangannya.” §§§
Dari rumusan diatas dapat diketahui bahwa undang-undang menetapkan setiap
penarik surat wesel untuk bertanggung jawab atas setiap penerbitan wesel olehnya,
†††
Ibid, hal 17
‡‡‡
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 102
§§§
meskipun wesel tersebut ialah ditarik atas tanggungan atau dengan kewajiban pihak
ketiga untuk memenuhinya.
Penarik yang telah membubuhkan tanda tangannya pada surat wesel adalah
demi hukum juga bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban oleh tertarik yang
bukan dirinya sendiri.
Ini berarti dalam penarikan surat wesel dimana pihak penarik adalah berbeda
dari pihak tertarik. Terdapat suatu perikatan tanggung menanggung pasif antara
penarik dan tertarik yang keduanya bertanggung jawab secara renteng atas
pemenuhan kewajiban pembayaran surat wesel tersebut kepada kreditur yang
menguasai wesel tersebut secara sah. Dalam keadaan demikian berlakulah ketentuan
mengenai tanggung renteng yang bersifat pasif dalam Pasal 1280 KUH Perdata .****
Selanjutnya dalam Pasal 129 KUHDagang menyatakan bahwa pembayaran
sesuatu surat wesel bisa dijamin dengan jaminan aval untuk seluruh atau sebagian
dari jumlah uangnya.
Jaminan ini bisa diberikan oleh orang ketiga, bahkan oleh orang yang tanda
tangannya termuat dalam surat wesel itu.††††
Marjanne Termorshuizen mengartikan istilah aval (Pasal 129 – 131, 202 –
204 KUHDagang) adalah perjanjian jaminan ‡‡‡‡ dan si pemberi jaminan disebut
avalist.§§§§
****
Gunawan Widjaya, Kartini Mulyadi, Op.cit, hal 21
††††
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 129
‡‡‡‡
Penjamin (avalist) dengan meng-aval atau memberi aval kepada salah
seorang penghutang wesel yang sebelumnya telah ada, menjadi berkedudukan sebagai
penghutang wesel yaitu sebagai penghutang wesel yang khusus yang kewajibannya
timbul dari pemberian aval.*****
Emmy Pangaribuan Simanjuntak mengemukakan bahwa:
”Perikatan dari avalist itu adalah berdiri sendiri lepas dari perikatan pokoknya. Ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal 131 ayat (2) KUHDagang yang menyebutkan : Perikatannya sah bahkan bilamana perikatan yang dijaminnya itu batal karena sebab lain dari pada cacat bentuk. Disinilah letak perbedaan borgtocht dari aval. Borgtocht sebagai peraturan hukum itu tidak berdiri sendiri, akan tetapi asessoir dengan perikatan pokoknya.†††††
.
Sebagai peraturan hukum yang mempunyai kedudukan setaraf antara
perjanjian borgtocht dalam KUHPerdata dan perjanjian aval dalam KUHDagang
berdasarkan azas lex specialis derogaat lex generalis maka KUHDagang merupakan
suatu lex specialis terhadap KUHPerdata sebagai lex generalisnya. Sebagai lex
specialis, kalau dalam KUHDagang ada ketentuan yang mengatur sesuatu yang diatur
juga dalam KUHPerdata, maka ketentuan dalam KUHDagang yang berlaku.‡‡‡‡‡
Dalam praktek memang jarang ditemui ada orang secara sukarela yang
sengaja mengikatkan diri kepada kreditur menjadi penjamin utang.
§§§§
Lihat JCT, Simorangkir, Rudi T.Erwin, J.T.Prasetyo, Kamus Hukum, Bumi Aksara, Jakarta,1995, hal.11
*****
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, diterbitkan oleh Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1993, hal 77
†††††
Ibid, hal 81
‡‡‡‡‡
Namun alasan adanya perjanjian jaminan pembayaran surat wesel dalam
KUHDagang ini adalah adanya kesediaan menolong (accommodates) orang lain agar
mendapatkan dana pinjaman.
Abdurrahman A, mengemukakan ada suatu bill of exchange (wesel) yang
ditarik dan disetujui tanpa pertimbangan yang harus diadakan mengenai nilai yang
diberikan atau yang diterima. Jika disetujui, maka ini pada hakekatnya, adalah suatu
promissory note untuk kepentingan si penarik wesel itu dengan pembayaran yang
ditanggung oleh acceptor (bank) itu.§§§§§
Dalam arti, si peminjam yang menolong (accommodates) atau menyediakan
uang untuk orang yang pinjam uang,tanpa konsiderasi, dengan maksud untuk
memberi kesempatan kepada orang lain akan mendapatkan dana pinjaman.******
Dalam praktek pemberian kredit oleh bank dalam konteks perjanjian jaminan
seperti tersebut diatas dapat terjadi antara lain pemberian jaminan oleh pihak ketiga
sebagai penjamin (avalist) terhadap utang debitur yang berupa sebuah perseroan
terbatas yang belum mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri
Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik Indonesia).
Triwidiyono mengemukakan bahwa ;
”Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota-anggota direksi bersama-sama semua pendiri serta semua anggota-anggota
§§§§§
Abdurrahman, A, Ensiklopedia, Keuangan dan Perdagangan , Pra Pancha, Jakarta, 1963, hal 103
******
dewan komisaris perseroan dan semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.”††††††
Oleh karena itu penjamin (avalist) dalam menjamin utang perseroan terbatas
yang belum berstatus badan hukum tersebut, yang terjadi adalah perjanjian tanggung
renteng pasif dimana penjamin (avalist) bertanggung jawab secara tanggung renteng
bersama para pendiri perseroan tersebut terhadap perbuatan hukumnya.
Keterikatan penjamin (avalist) dalam perbuatan hukum tersebut dalam
KUHDagang dapat ditemui dalam Pasal 131 ayat (1) KUHDagang yang berbunyi
Pasal 131 KUHDagang ayat (1):
“Pemberi aval, ia pun sama terikatnya seperti mereka untuk siapa aval
(perjanjian jaminan) diberikannya.‡‡‡‡‡‡
Berdasarkan Pasal 131 ayat (1) KUHDagang tersebut maka penjamin (avalist)
yang memberi jaminan aval kepada orang yang diberi aval maka penjamin (avalist)
terikat seperti orang yang diberi aval tersebut dan dengan demikian maka penjamin
(avalist) itupun menjadi penghutang yang wajib dituntut pembayarannya hutangnya.
Pada pokoknya bahwa kedudukan hukum dari seorang penjamin (avalist) itu
adalah sama sebagai kedudukan hukum dari orang yang diberi aval.§§§§§§.
Berhubungan dengan perbuatan hukum mengambil kredit di bank oleh pendiri
perseroan terbatas yang mengatas namakan perseroan terbatas belum berstatus badan
hukum, sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan kerugian
††††††
Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan ,Tugas, Wewenang Dan
Tanggung Jawab, Ghalia, Indonesia, Jakarta, 2008, hal.30
‡‡‡‡‡‡
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 131 ayat (1)
§§§§§§
tidak hanya terhadap usaha perseroan terbatas tersebut atau pihak bank, tetapi juga
merugikan pihak ketiga sebagai penjamin (avalist).
Dalam praktek ternyata dana pinjaman sering tidak digunakan untuk
kepentingan perseroan terbatas melainkan untuk kepentingan pribadi pendiri
perseroan tersebut. Dalam keadaan para pendiri tidak mampu membayar
pinjamannya, pailit ataupun wanprestasi, akibatnya timbul perselisihan antara pendiri
perseroan terbatas, pihak penjamin (avalist) dan bank. Bahkan harus diselesaikan
lewat proses pengadilan.
Dalam keadaan seperti ini tak jarang pendiri perseroan terbatas tersebut
berpura-pura miskin dan tidak mempunyai harta kekayaan lagi untuk digunakan
sebagai pelunasan hutangnya pada bank.
Sebagai ganti pelunasan hutang para pendiri perseroan terbatas yang belum
berstatus badan hukum tersebut maka bank pun menyita benda jaminan yang
diberikan oleh penjamin (avalist) berdasarkan surat pengakuan utang yang ditanda
tangani oleh semua para pendiri perseroan terbatas dan pihak penjamin (avalist). Tak
jarang pula pihak penjamin menolak memberikan benda yang dijadikan jaminan itu
disita oleh bank, karena penjamin (avalist) merasa tidak wajib membayar pinjaman
itu disebabkan penyimpangan yang dilakukan oleh para pendiri perseroan terbatas
tersebut.
Kasus tentang permasalahan tanggung jawab penjamin (avalist) ini dapat
1436.K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 tentang : “Tanggung jawab penjamin
(avalist) terhadap utang debitur yang wanprestasi”.
Kasus ini telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tahun 2004 yaitu
sengketa antara Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) dengan
perseroan terbatas PT.TWIN JAYA STEEL (PT.TJS) yang diwakili Direktur Utama :
Hanafi, komisaris utama : Siti Aminah dan Faisal Oloan Nasution, SH dan istrinya
Kushadiningsih sebagai penjamin (avalist).
Dalam kasus ini Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT)
memberi pinjaman kredit sebesar Rp. 75.000.000 (tujuah puluh lima juta rupiah)
dengan bunga 2,5% perbulan dalam jangka waktu 12 bulan kepada debitur PT. Twin
Jaya Steel (PT TJS) yang berkedudukan di Medan yang diwakili oleh Direktur Utama
: Hanafi dan Komisaris Utama : Siti Aminah. Pinjaman kredit dari Bank
Pembangunan Daerah Sumatera Utara (BPD SUMUT) kepada PT. Twin Jaya Steel
dijamin oleh Faisal Oloan Nasution, SH dan istrinya Kushandiningsih sebagai
penjamin (avalist) dengan membuat Surat Pernyataan Penyerahan
Tanah/Melepaskan Hak atas Tanahnya yaitu Tanah atas nama Faisal Oloan
Nasution,SH.
Hal yang menarik dalam putusan Mahkamah Agung tersebut adalah dimana
penjamin (avalist) tidak turut bertanggung jawab dan benda jaminannya tidak dapat
disita untuk pelunasan hutang/kredit Perseroan Terbatas PT .Twin Jaya Steel
tertuang dalam Perjanjian Kredit dan Akta Notaris Pengakuan Hutang dan Pemberian
Jaminan yang ikut ditanda tangani oleh penjamin (avalist).
Dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut juga menyatakan bahwa akta
Notaris Pengakuan Hutang dan Pemberian Jaminan yang dibuat dihadapan Notaris
Alina Hanum SH tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap penjamin (avalist).
Hal tersebut pulalah yang menjadi latar belakang penulisan tesis ini guna
mengkaji dasar-dasar hukum tentang tanggung jawab penjamin (avalist) terhadap
utang debitur berupa perseroan terbatas yang belum berstatus badan hukum yang
wanprestasi, dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No :
1436/K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 tersebut, sehingga dengan demikian, akan
terjawab kesimpulan yang sesuai permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
Ada yang janggal dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No :
1436/K/Pdt/2001, tanggal 29 Januari 2004 tersebut, yaitu tidak memberikan rasa
keadilan dalam pihak tergugat antara debitur dan penjamin (avalist), yang terikat
dalam suatu perjanjian tanggung menanggung (tanggung renteng) dalam pembayaran
surat wesel seperti tersebut diatas dimana penjamin (avalist) dan debitur tidak
bertanggung jawab secara tanggung menanggung (tanggung renteng) atas hutang
mereka terhadap bank (kreditur). Sekilas memang hubungan antara penjamin dan
debitur adalah berbeda tapi dalam perjanjian tanggung menanggung (tanggung
renteng) pembayaran surat wesel adalah merupakan satu karena terikat sebagai
pihak–pihak yang berhutang.
Berdasarkan uraian latar belakang terdahulu diatas, maka permasalahan yang
dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penjamin (avalist) tanggung jawabnya terhadap utang debitur
yang merupakan perseroan terbatas yang belum mendapat pengesahan sebagai
badan hukum oleh Menteri Kehakiman bila debitur tersebut wanprestasi?
2. Apakah yang menjadi dasar hukum pengikatan terhadap seorang penjamin
(avalist) dalam perikatan pemberi jaminan aval?
3. Bagaimana kekuatan hukum perjanjian pemberian jaminan terhadap
eksekusi/sita jaminan terhadap benda jaminan yang diserahkan penjamin
(avalist) apabila debitur wanprestasi.
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab seorang penjamin (avalist)
terhadap utang debitur yang merupakan perseroan terbatas yang belum
mendapat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Kehakiman dalam
perjanjian pemberian jaminan aval apabila debitur tersebut wanprestasi.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pengikatan seorang penjamin (avalist)
dalam perikatan pemberian jaminan aval.
3. Untuk mengetahui sejauh mana kekuatan hukum perjanjian pemberian
jaminan aval dapat mengeksekusi/menyita benda jaminan dari penjamin
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis.
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan masukan
untuk menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum jaminan
yang dapat digunakan untuk pihak-pihak yang membutuhkan sebagai bahan
kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum bidang
perbankan pada khususnya yaitu mengenai perikatan pemberian jaminan aval
dalam perjanjian kredit di bank.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat,
pihak-pihak instansi perbankan, pejabat notaris, aparat hukum yang
berwenang secara hukum dan menangani urusan pembuatan perjanjian
pemberi jaminan, perjanjian kredit di bank yang secara umum sering terjadi di
bank-bank diseluruh Indonesia dan di Sumatera Utara maupun di Medan
khususnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian mengenai tanggung jawab penjamin (avalist) terhadap
1436.K/Pdt.2001, tanggal 29 Januari 2004, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain
sebelumnya.
Meskipun ada peneliti-peneliti terdahulu, yang pernah melakukan penelitian
namun bukan merupakan studi kasus dari putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia seperti yang ada dalam penelitian ini dan yang menjadi pokok pembahasan
berbeda dengan penelitian ini.
Adapun penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian ini yang pernah
dilakukan adalah tentang : Tanggung jawab penjamin terhadap debitur yang wan
prestasi kepada Bank Danamon, Tbk, oleh Teddy Taufik (NIM : 027011063).
Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :
1.Bagaimana persyaratan seorang penanggung hutang yang disetujui oleh Bank
Danamon Tbk?
2.Apakah hak istimewa dari penanggung hutang masih dapat diterapkan atau
berlaku dalam perjanjian penanggungan hutang pribadi?
3.Apakah setelah penanggung hutang membayar hutang debitur dengan dieksekusi
hartanya oleh Pengadilan Negeri/dilelang dapat meminta kembali pembayaran
hutang terhadap hartanya yang sudah dilelang kepada debitur?
Selain penelitian tersebut diatas yang berkaitan dengan judul penelitian ini
adalah tentang : Analisa Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Memasang Hak
Tanggungan (SKMHT) Yang Diingkari Debitur, oleh Egawaty Siregar, SH, MKn
(NIM: 087011169). Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut
1.Bagaimanana ketentuan hukum pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan?
2.Bagaimana tata cara pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan?
3.Bagaimana eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang
diingkari debitur?
Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan secara akademis dapat
dipertanggung jawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan teori harus diuji dengan menghadapkan fakta-fakta
yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.*******
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori
tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan
sebagai pegangan teoritis.
Seperti yang telah dikemukakan di latar belakang penulisan tesis ini tentang
perjanjian jaminan pembayaran suatu surat wesel yang diatur dalam KUHDagang
adalah merupakan suatu perjanjian maka sebagai suatu bentuk perjanjian yang
menjadi bahan perbandingannya adalah KUHPerdata.
*******
Rachmadi Usman, mengemukakan hukum perikatan yang termuat dalam buku
III KUHPerdata menganut sistem terbuka (open system) dalam arti siapa saja dapat
membuat perjanjian, baik sudah dikenal dengan buku III KUHPerdata maupun
perjanjian baru diluar buku III KUHPerdata. Sehubungan dengan itu dalam kaitan
dengan system terbuka, maka dianutlah azas, siapa saja atau setiap orang (masyarakat
luas) memberikan kebebasan untuk membuat atau mengadakan perjanjian dengan
siapa saja, bagaimana bentuknya dan isinya, sepanjang perjanjian dimaksud dibuat
tidak melawan hukum dan berlawanan dengan kepatuhan, kesusilaan dan ketertiban
umum.†††††††
Didalam perbandingan hukum perdata dikenal juga sistem pengaturan yang
tertutup dan terbuka. Sistem pengaturan hukum Romawi bersifat tertutup, artinya di
dalam hukum Romawi mengatur ketentuan hukum secara sistematis, bulat dan
lengkap di dalam sebuah kodifikasi hukum, sehingga para hakim memutuskan
perkara terikat pada ketentuan hukum yang tercantum dalam undang-undang tersebut.
Lain halnya dengan sistem hukum common law, sistem pengaturan hukumnya
terbuka. Artinya, norma hukum yang adil dan benar dapat ditemukan dalam sistem
perkara yang diadili. Berdasarkan fakta-fakta dalam perkara tersebut yang
berpedoman pada apa yang dirasakan adil dalam setiap perkara.‡‡‡‡‡‡‡
Dalam perkembangan hukum modern, perjanjian di buat bukan hanya oleh
orang dengan orang (manusia) sebagai subjek hukum tetapi ada juga perjanjian yang
†††††††
Rachmadi Usman, Op.cit, hal.26
‡‡‡‡‡‡‡
dibuat oleh orang (manusia) sebagai subjek hukum dengan subjek hukum lainnya
yaitu badan hukum atau perjanjian dibuat oleh badan hukum dengan badan hukum.
Perjanjian yang dibuat badan hukum dengan orang bisa terjadi antara lain
perjanjian pemberian kredit oleh bank sebagai badan hukum dan orang yang
membutuhkan kredit.
Perjanjian yang dibuat badan hukum dengan badan hukum bisa terjadi antara
lain perjanjian pemberian kredit antara bank sebagai bentuk badan hukum dengan
perseroan terbatas sebagai suatu bentuk badan hukum yang lain.
Secara formal, pendirian Perseroan Terbatas dimulai pada saat akta pendirian
dibuat oleh notaris. Dalam fase ini perseroan terbatas bukanlah merupakan badan
hukum. Perseroan Terbatas sebagai badan hukum adalah tergantung pengesahan yang
diperoleh dari Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Azasi
Manusia Republik Indonesia).
Terhadap pihak ketiga sebagai penjamin (avalist) hutang dari debitur yang
berupa perseroan yang belum berstatus badan hukum seperti tersebut diatas,
sementara perseroan terbatas nya sendiri belum berstatus badan hukum berarti belum
menjadi sebagai subjek hukum, sehingga pihak ketiga (penjamin) dengan
menyerahkan agunan untuk menjadi penjamin berarti yang dijamin juga belum ada.
Adapun teori yang dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam penelitian
ini adalah teori jaminan.
R. Subekti mengatakan bahwa sistem adalah suatu susunan atau catatan yang
lain tersusun menurut suatu rencana atau pola hasil dari satu pemikiran untuk
mencapai satu tujuan. Bellefroid, mengatakan pula bahwa sistem hukum yang
disusun secara terpadu berdasarkan azas-azas tertentu.§§§§§§§
Berdasarkan defenisi tersebut, maka perlu diketahui sistem hukum jaminan
melalui asas-asas yang mendukung hukum jaminan tersebut baik jaminan kebendaan
maupun perorangan. Artinya sistem jaminan kebendaan dan jaminan perorangan
tentulah memiliki dasar-dasar yang tersendiri.
Menurut Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT),Hak Tanggungan
merupakan satu-satunya lembaga jaminan atas tanah ,******** hal ini berarti setiap
pemberian jaminan berupa tanah haruslah berdasarkan Undang-Undang. Salah satu
azas yang mendukung jaminan kebendaan yang diatur oleh undang-undang adalah
azas sistem tertutup yaitu bahwa selain dari hak kebendaan yang diatur dalam
Undang-Undang yaitu Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), Undang-Undang
Perumahan dan Pemukiman Nomor 4 Tahun 1992 (UUPP) dan Undang-Undang
Jaminan Fidusia (UUJF) tidak dapat diadakan hak jaminan kebendaan lain
berdasarkan kesepakatan antara para pihak. Hak kebendaan ini bersifat absolut,
karena itu bersifat limitatif.††††††††
§§§§§§§
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasai Hukum Jaminan, PT.Mandar Maju, Bandung , 2004, hal 11
********
Ibid, hal 10
††††††††
Asas-asas lain yang mendukung dari sistem hukum jaminan adalah asas
assesoir yaitu perjanjian penjaminan adalah perjanjian ikutan yang lahir dari
perjanjian pokok.
Fasilitas kredit dengan agunan milik pihak ketiga secara hukum
diperbolehkan sepanjang dalam pemberiannya di berikan dan ditandatangani oleh
seluruh pemilik benda.‡‡‡‡‡‡‡‡
Namun jaminan perorangan berbeda dengan jaminan kebendaan. Dalam
jaminan perorangan tidak ada benda yang tertentu diikat sebagai jaminan sehingga
tidak jelas benda apa yang dapat dijadikan jaminan apabila debitur wanprestasi. Oleh
karena itu hal tersebut belum menjamin pelunasan pengembalian utang debitur. Disini
tak jarang ditemui kreditur (bank) mengikat barang-barang penjamin untuk menjamin
utang debitur.§§§§§§§§
Dalam jaminan kebendaan pada prinsipnya yang dapat dijaminkan adalah
barang-barang milik debitur. Barang-barang milik pihak ketiga dapat dijaminkan,
setelah pihak ketiga memberi kuasa kepada debitur untuk menjaminkan
barang-barangnya. Dengan demikian kalau seorang penjamin menjaminkan barangnya
langsung kepada kreditur (bank) untuk kepentingan debitur, maka tidak dapat
dilakukan karena menyimpang dari ketentuan hukum jaminan kebendaan, kalaupun
‡‡‡‡‡‡‡‡
Tri Widiyono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal.62
§§§§§§§§
dijaminkan melalui debitur, dan nilai jaminan diperkirakan dapat menutup utang
debitur, tentu jaminan perorangan tidak ada gunanya.*********
Sebaliknya dalam jaminan perseorangan, barang-barang yang diserahkan oleh
penjamin sebagai jaminan tentu benda jaminan tersebut tidak memberikan jaminan
yang diikat dengan yuridis sempurna karena bukan jaminan kebendaan yang diikat
secara yuridis sempurna karena ada undang-undang yang mengaturnya.
Memang tidak terdapat ketentuan kewajiban bahwa bank (kreditur) harus
mengikat agunan fasilitas kredit yang diberikan secara yuridis sempurna. Bagi
kreditur yang terpenting adalah bahwa kredit tersebut terdapat agunan yang cukup
memadai.
Namun demikian pihak ketiga sebagai penjamin (avalist), baik menyerahkan
agunan atau tidak dalam jaminan perorangan tetap diperlukan karena paling tidak
dapat dijadikan dasar menggugat kepailitan terhadap yang bersangkutan .
2. Kerangka Konsepsi
Konsepsi adalah merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau
membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud konsepsi adalah suatu pengertian
mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan (defenisi) tentang sesuatu yang
akan dikerjakan.
Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai,
sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu karya yang setelah
diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.†††††††††
*********
Kegunaan dari adanya konsepsi adalah agar ada pegangan dalam melakukan
penelitian atau penguraian sehingga memudahkan bagi orang lain untuk memahami
batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan.
Dalam praktek perbankan, perjanjian pemberian jaminan bersifat perorangan
ada tiga pihak yang terkait yaitu debitur, kreditur dan penjamin (avalist).
Istilah avalist dalam judul tesis ini adalah orang yang memberikan jaminan
yang mengakibatkan dirinya sebagai penjamin suatu utang, cek atau wesel.‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Yang dimaksud wesel adalah seperti yang didefenisikan oleh T he Uniform
Negotiable Instruments Law (di Amerika Serikat) ialah suatu perintah tertulis tanpa
syarat, yang ditujukan oleh seseorang kepada orang lain, yang minta atau mendesak
orang yang kepadanya wesel itu ditujukan untuk membayar, atas permintaan atau
pada suatu waktu tertentu atau yang dapat ditentukan dikemudian hari, sejumlah uang
atas perintah seseorang tertentu atau kepada si pembawa.§§§§§§§§§
Guna penjamin (avalist) adalah untuk menjamin pelunasan utang debitur
kepada kreditur manakala debitur tidak mampu membayar atau wanprestasi dengan
memberikan jaminan aval.
Aval (Pasal 129-131,202-204 KUHDagang) adalah perjanjian jaminan yang
bertujuan untuk menambah jaminan bahwa pembayaran atas wesel itu akan
†††††††††
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya, Bandung, 2003, hal 5
‡‡‡‡‡‡‡‡‡
AF. Elly Erawaty, Kamus Hukum Bahasa Belanda-Bahasa Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 1997-1998, hal 15
§§§§§§§§§
terlaksana, dengan menambah seorang penghutang wesel lagi kepada
penghutang-penghutang wesel yang telah ada.**********
Perjanjian Aval berdiri sendiri terlepas dari perikatan pokoknya, sedangkan
borgtocht adalah asessoir terhadap perikatan pokoknya.††††††††††
Yang dapat memberikan aval menurut Pasal 129 ayat (2) ialah :
1.oleh seorang ketiga
2.oleh seorang yang tanda tangannya telah terdapat pada surat wesel.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Yang dimaksud kreditur dalam pengertian tersebut diatas adalah pihak yang
memberikan kredit atau pihak yang berpiutang atau bank.
Yang dimaksud debitur adalah pihak penerima kredit atau pihak yang
berhutang.
Kreditur dan debitur dapat berupa perorangan dan badan usaha. Badan usaha
dibedakan menjadi dua yaitu badan usaha yang bukan badan hukum dan badan usaha
yang berstatus badan hukum.
Yang dimaksud dengan pengertian badan hukum tersebut diatas adalah suatu
subjek hukum yang diciptakan manusia dengan cara memfiksikan badan hukum
tersebut seolah-olah mempunyai fungsi dan kehendak seperti orang.§§§§§§§§§§
Yang dimaksud subjek hukum dalam pengertian diatas adalah manusia yang
berkepribadian hukum (legal personality) dan segala sesuatu yang berdasarkan
**********
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op.cit, hal 77
††††††††††
Ibid.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid.
§§§§§§§§§§
Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang Dan
tuntutan kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan
kewajiban.***********
Dalam ilmu hukum ada dua subjek hukum yaitu manusia (orang) dan badan
hukum. Salah satu badan hukum adalah berbentuk Perseroan Terbatas.
Perseroan terbatas menjadi badan hukum adalah tergantung pengesahan dari
Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum Dan Hak Azasi Manusia Republik
Indonesia).
Yang dimaksud kredit dalam penulisan tesis ini adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.†††††††††††
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam pemberian
kredit haruslah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Bentuk perjanjian tertulis dapat dilakukan dengan akta dibawah tangan dan
akta otentik. Akta dibawah tangan adalah suatu akta yang dibuat dan ditanda tangani
para pihak saja dengan tanpa bantuan seorang pejabat umum atau akta yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat umum yang tidak berwenang. Sementara itu akta autentik
adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang
***********
Ibid, hal 11
†††††††††††
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang -Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 12
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
berwenang untuk itu, seperti notaris, dimana bentuk aktanya juga telah ditentukan
oleh undang-undang. §§§§§§§§§§§ Perjanjian tertulis ini lebih mudah untuk
dipergunakan sebagai bukti apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi, karena
dalam hukum perdata, bukti tertulis merupakan bukti utama.
Yang dimaksud wanprestasi dalam pengertian diatas adalah cidera janji, tidak
menepati kewajiban dalam perjanjian (Pasal 1243 KUHPerdata).************
Istilah tanggung jawab adalah suatu kewajiban bagi seseorang untuk
melaksanakan sesuatu yang telah diwajibkan atau yang telah disanggupinya
.††††††††††††
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder saja.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan upaya menganalisis
permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan-pendekatan dan mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pokok bahasan.
2. Sumber Data §§§§§§§§§§§
Rachmadi Usman,Op.cit, hal 77
************
Budiarto, Kamus Hukum , Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Jakarta, 2004, hal 261
††††††††††††
Zainul Bahri, Kamus Umum, Angkasa, Jakarta, 1996, hal 323
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Metode Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Sumber data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer ini yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan putusan Mahkamah
Agung Nomor 1436.K/Pdt/2001.
b.Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang
bahan hukum primer, antara lain: buku-buku teks, hasil penelitian, artikel, majalah,
hasil karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian ini.
c.Bahan Hukum Tertier yaitu yang memberikan informasi lebih lanjut
mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,
kamus umum dan internet juga menjadi tambahan bagi penulisan tesis ini sepanjang
memuat informasi relevan dengan penelitian yang dilakukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research),
dikumpulkan melalui literatur, yakni dengan mempelajari ketentuan-ketentuan
perundang-undangan tentang pemberi jaminan dan peraturan perundang-undangan
tentang perjanjian pemberi jaminan dan peraturan perundang-undangan lain yang
4. Analisis Data.
Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul, dimana pada penelitian ini digunakan metode
normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada usaha penemuan
azas-azas dan informasi-informasi. Dengan demikian kegiatan analisis ini diharapkan
BAB II
TANGGUNG JAWAB PENJAMIN (AVALIST) ATAS UTANG DEBITUR YANG WANPRESTASI
A. Perjanjian Jaminan Aval Dalam Pembayaran Surat Wesel.
Dalam kegiatan perdagangan,terutama dalam lalu lintas pembayaran, bank
sebagai suatu lembaga keuangan mempunyai peranan yang sangat penting. Peranan
perbankan yang sangat menonjol dalam kegiatan perdagangan adalah digunakannya
berbagai fasilitas-fasilitas jasa perbankan dalam transaksi perdagangan guna
melancarkan lalu lintas pembayaran dengan menerbitkan berbagai jenis surat-surat
berharga seperti wesel, cek, bilyet giro, promes dan lain-lain.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan dinyatakan bahwa surat berharga adalah surat pengakuan utang, wesel,
saham obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau
suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar
modal dan pasar uang.
Munir Fuady merumuskan bahwa surat berharga (Negotiable Instrument)
adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai pemenuhan suatu
prestasi berupa pembayaran sejumlah uang sehingga berfungsi sebagai alat
pembayaran yang didalamnya berisikan suatu perintah untuk membayar kepada
berharga oleh penerbitnya atau pihak ketiga kepada siapa surat berharga tersebut telah
dialihkan.§§§§§§§§§§§§
Secara yuridis surat berharga mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.Sebagai alat pembayaran
2.Sebagai alat pemindahan hak tagih (karena bisa diperjual belikan).
3.Sebagai surat legitimasi (surat bukti hak tagih).*************
Fungsi surat berharga sebagai alat pembayaran yang penting dalam lalu lintas
pembayaran dalam kegiatan perbankan dan perdagangan yang berkaitan dengan
kegiatan perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang selanjutnya telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah meliputi pemberian kredit.†††††††††††††
Ada beberapa cara bank dalam menyalurkan kredit kepada nasabah debitur.
Salah satu pokok ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia dalam pemberian kredit
adalah dibuat dalam perjanjian tertulis.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Selain dibuat perjanjian dalam bentuk tertulis ditentukan pula cara
pembayaran kredit tersebut. Salah satu cara pembayaran kredit tersebut adalah
dengan menggunakan alat pembayaran diantaranya adalah surat wesel. Surat wesel
§§§§§§§§§§§§
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, di tinjau menurut
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hal 93
*************
Ibid, hal.93-94
†††††††††††††
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 selanjutnya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 6 huruf b
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
yang diterbitkan oleh bank dan diuangkan pada bank kreditur disebut wesel bank
(bank assignate, bank draft).§§§§§§§§§§§§§
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dikemukakan bahwa bertitik tolak pada
perjanjian kredit maka barulah diterbitkan surat wesel. Artinya surat wesel itu
hanyalah merupakan suatu pelaksanaan dari perjanjian kredit tersebut.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, suatu fasilitas kredit harus
terdapat adanya agunan, namun terhadap agunan tersebut tidak terdapat kewajiban
untuk diikat secara yuridis sempurna, Jadi agunan merupakan salah satu faktor yang
membentuk ”keyakinan ” bahwa fasilitas kredit yang diberikan dapat kembali seperti
yang diharapkan, aman dan menguntungkan.**************
Pola-pola pemberian agunan dalam dalam bisnis perbankan bervariasi dan
bermacam-macam diantaranya adalah melalui jaminan perorangan, jaminan
perusahaan,hak tanggungan dan lain-lain. Ini berarti pengaturan tentang pemberian
agunan tersebut tidak hanya terpaku pada suatu peraturan saja.
Seperti dalam perjanjian hutang piutang, soal agunan ikut mempengaruhi
jalannya perkreditan, maka dalam pembayaran surat wesel juga
kemungkinan-kemungkinan dimana pihak ketiga menyediakan diri untuk bertindak sebagai
penjamin pembayaran wesel itu. Apa bila dalam perjanjian keperdataan hal ini
§§§§§§§§§§§§§
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Dagang Tentang Surat-Surat Beharga, Citra Aditya , Bandung, 1993, hal 39
**************
disebut borgtocht maka dalam perweselan hal ini disebut aval, karena itu aval adalah
borgtocht dengan akibat-akibat yang ditentukan menurut hukum wesel.††††††††††††††
Kalau mengenai jaminan perorangan (borgtocht) diatur dalam KUHPerdata
maka jaminan perorangan tentang jaminan aval dalam pembayaran surat wesel diatur
dalam KUHDagang.
Dalam KUHDagang, aval diatur dalam dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal
131. Berdasarkan ketentuan Pasal 129 KUHDagang, aval adalah pembayaran surat
wesel dapat dijamin untuk seluruhnya atau sebagian dari jumlah wesel dengan suatu
penanggungan (aval). Penanggungan ini dapat diberikan oleh seorang pihak ketiga
atau bahkan oleh seorang yang tanda tangannya terdapat pada surat wesel (Pasal 129
ayat (2)).
Sebagai suatu penanggungan maka jaminan aval merupakan lex specialis dari
jaminan pribadi (borgtocht).‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
HMN Purwosutjipto mengemukakan ada persamaan antara kedua jenis
jaminan itu, tetapi ada juga perbedaannya yaitu :
”a.Perjanjian jaminan aval masih berlaku,meskipun perjanjian pokok yang dijamin aval itu menjadi batal (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang).
b.Perjanjian jaminan pribadi menjadi batal,bilamana perjanjian pokok yang dijamin dengan jaminan pribadi (borgtocht) itu menjadi batal (Pasal 1821 KUHPerdata).
c.Perjanjian jaminan aval itu turut batal, kalau perjanjian pokok
††††††††††††††
Achmad Ichsan, Hukum Dagang , Lembaga Perikatan Surat-Surat Berharga
Aturan-Aturan Angkutan, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal 340-341
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
yang dijamin itu menjadi batal, karena tidak dibentuk dengan cara sebagai yang ditentukan dalam undang-undang, misalnya :
jaminan aval diberikan untuk menjamin surat wesel tapi surat weselnya tanpa kata ”wesel” didalamnya, maka surat wesel itu
menjadi batal (Pasal 100 sub (1) KUHDagang), sehingga jaminan aval tersebut menjadi batal (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang).”§§§§§§§§§§§§§§
Kedudukan jaminan aval tidak sama dengan jaminan pribadi yang diatur
dalam Pasal 1821 KUHPerdata. Jika jaminan pribadi (borgtocht) ini merupakan
perikatan yang tidak berdiri sendiri, maka perikatan yang timbul dari aval adalah
berdiri sendiri.
Sedangkan kedudukan penjamin (avalist) dalam perjanjian aval dalam Pasal
131 ayat (1) KUHDagang, undang-undang menentukan penjamin (avalist) sama
terikatnya dengan yang diberi aval (debitur ). Artinya, kewajiban penjamin masih
terus hidup, meskipun perikatan yang dijamin itu menjadi batal, asal kebatalan itu
tidak disebabkan karena cacat pada bentuknya (Pasal 131 ayat (2) KUHDagang).
Ketentuan Pasal 131 ayat (1) KUHDagang tersebut menunjukkan pula bahwa
kalau penjamin (avalist) telah memberikan aval dan menandatanganinya pada surat
wesel, maka kedudukanny