• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER

A. Kajian Teori

1. Konsep Pendidikan Nilai a. Pendidikan

1) Pengertian Pendidikan

Dalam buku Hasbullah (2012:1) arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai didalam masyarakat dan kebudayaan . dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau pedagogic berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi orang dewasa .

Menurut Langeveld Pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa (Wens Tanlain, 1992 : 65).

sebagai sebuah sistem dalam bukunya Made Pidarta (2009:31) adalah sebagai berikut:

a. Filsafat Negara.

b. Agama.

c. Sosial, yang mencakup psikologi, peranan kelompok profesi, dan keamanan.

(2)

d. Kebudayaan yang diartikan sebagai ilmu, teknologi, kesenian, dan norma.

e. Ekonomi, yang mencakup keterampilan berfikir, keterampian tangan, dan perkembangan ekonomi.

f. Politik yang mencakup ideologi, cita-cita, dan semangat kebangsaan.

g. Demografi, terdiri dari perkembangan penduduk, penyebaran penduduk dan kepadatan penduduk

Dari setiap faktor yang melahirkan sebuah pendidikan, hal ini terlihat jelas bahwa seluruh faktor di atas itu sangat kuat dengan setiap pengkajian materi ke- IPS an pada jurusan IPS.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan pula oleh penulis, bahwa sebuah sistem akan lahir disaat adanya sub-sub sistem yang saling bergabung dalam sebuah wadah dan akhirnya membentuk sebuah satu sistem yang dijadikan sebagai sistem yang terikat.

2) Hakikat pendidikan

Hakikat dan tujuan pendidikan erat hubungannya dengan tanggapan hidup, demikian juga cara-cara melakukan pendidikan dalam praktek, pendidikan dapat diwujudkan dalam berbagai cara baik yang positif atau negatif.

Cara-cara positif :memberi teladan baik, latihan untuk membentuk kebiasaan memberi perintah, memberi pujian dan hadiah. Sementara cara-cara negatif : mengadakan berbagai larangan. Celaan dan teguran, hukuman.

3) Fungsi dan tujuan pendidikan

Dalam suatu kegiatan apapun, disetiap isinya pasti memiliki sebuah makna, fungsi ataupun tujuan. Sama halnya dalam organisasi pendidikan, adanya sebuah pendidikan memiliki sebuah fungsi dan tujuan yang jelas. Dalam hal ini isi dari sebuah fungsi dan tujuan yang diantaranya adalah :

(3)

a) Fungsi pendidikan

Dalam buku Mulyasana (2011:5) bahwa Fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Ketiga unsur itulah yang menjadi fokus dari pengembangan fungsi pendidikan di Indonesia. Konsep itu sangat sederhana tapi mengandung makna yang sangat luas apabila dihubungkan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b) Tujuan pendidikan

Pendidikan nasional yang dijadikan sebuah wadah yang memiliki visi dan misi secara eksplisit, bahwa tujuan yang tertera dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan nasional ini bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( Mulyasa, 2014 :20).

Mulyasa pun menyatakan secara makro pendidikan nasional bertujuan membentuk organisasi pendidikan yang bersifat otonom, sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemampuan komunikasi sosial yang positif dan memiliki sumber daya manusia yang sehat dan tangguh.

Secara mikro pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika, memiliki nalar, kemampuan berkomunikasi sosial (tertib akan menyadari hukum, kooperatif dan kompetetif, dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri.

Masih dalam buku Deddy (2013) bahwa secara terperinci, tujuan pendidikan nasional dapat dikembangkan sebagai berikut:

(4)

Tujuan yang pertama adalah berkembangnya potensi keimanan dan ketakwaan. Keimanan dalam pandangan islam bukan sekedar percaya dan yakin kepada Allah SWT. Tapi juga bertawakal dan patuh untuk meninggalkan larangan-Nya dan melaksanakan perintah-Nya dengan penuh keikhlasan.

Tujuan yang kedua adalah terbentuknya akhlak mulia dikalangan para peserta didik. Membentuk akhlak mulia dilakukan melalui pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak bukanlah pengajaran ilmu pengetahuan tentang akhlak. Pendidikan akhlak adalah proses aplikasi nilai-nilai keagamaan kedalam sikap, pemikiran, dan peilaku. Fondasinya adalah nilai keimanan, bangunannya adalah ilmu dan amal shaleh, sedangkan atapnya adalah keikhlasan.

Tujuan ketiga adalah membentuk peserta didik yang sehat. Tentu sehat jasmani dan rohani. Tujuan ketiga ini tidak dapat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan secara mandiri, karena sistem pendidikan di Indonesia belum ditata secara komperhensif untuk membangun manusia-manusia yang sehat.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama dengan lembaga/instansi lain, khususnya lembaga kesehatan dan lembaga ekonomi yang menangani urusan kesejahteraan.

Tujuan keempat adalah mencetak peserta didik yang berilmu, pemerintah dan para penyelenggara pendidikan telah bekerja keras untuk mencetak peserta didik yang berilmu. Pemerintah dan para penyelenggara pendidikan bersungguh-sungguh dalam menyusun dan menetapkan kurikulum serta menetapkan standar isi dan proses. Sehingga upaya mengaplikasikan tujuan yang keempat ini dalam proses pembelajaran . namun demikian, masih ada hal yang perlu mendapatkan perhatian yaitu penetapan metode dan sistem evaluasi pembelajaran cenderung terfokus pada hafalan-hafalan.

(5)

Tujuan kelima adalah mencetak peserta didik yang cakap, cakap disini berdasarkan penulis merupakan cakap dalam ketangkasan belajar. Bukan hanya dalam kepintaran yang dimiliki, tetapi mereka bisa mengaplikasikan apa isi dari setiap pembelajaran tersebut.

Berdasarkan penyataan dan argumen ahli terkait tujuan pendidikan nasional, penulis pun menyadari bahwa tujuan pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia sangat berhaga, karena tujuan yang bermakna ini berguna tidak diperuntukkan masa kini ataupun masa lalu, tetapi sampai seterusnya dan kedepannya pendidikan akan selalu terisi oleh manusia-manusia yang akan berubah kearah lebih baik, berdedikasi tinggi dan yang terpenting mereka akan melahirkan sebuah nilai yang sangat berharga untuk dijadikan sebagai pedoman masyarakat luas.

b. Nilai

1) Pengertian nilai

Dalam buku Darji dkk (2006:233) Menilai berarti menimbang, yakni suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang kemudian dilanjutkan dengan memberi keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif (berguna, indah, baik dan seterusnya) atau sebaliknya, bernilai negatif. Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jasmani, cipta, rasa, karsa dan kepercayaanya. Dengan demikian nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.

Atas pernyataan diatas, penulis meyakini bahwa, menilai itu sebuah tangggapan atas sebuah tindakan. Karena nilai akan ada disaat sikap atau tingkah laku di lakukan dan akhirnya keluarlah nilai tersebut sebagai sebuah landasan dari tanggapan tingkah laku atau sikap itu baik atau tidak. Tapi

(6)

harapan dari nilai itu memiliki isi bahwa nilai itu berharga yang menjauhkan dari sikap ketidakbenaran. Sehingga disaat seseorang tidak memiliki tingkah laku yang kurang baik akan dikatakan tidak bernilai melainkan tidak berharga.

Hal ini ditanggapi pula dalam buku Antonius dkk(2002:144) K. bertens dalam bukunya, etika mencoba menerangkannya kurang lebih seperti uraian berikut ini. Dalam hati, kita pahami nilai itu sebagai yang punya konotasi positif, sesuatu yang baik, yang berharga, yang memiliki suatu arti. Nilai adalah sesuatu yang kita ingin wujudkan atau perjuangkan, sesuatu yang kita setujui dan kita sukai, yang menarik dan yang punya arti. Seorang filsuf Jerman- Amerika, Hans Jonas, melukiskan nilai itu sebagai the addressee of a yes,”sesuatu yang ditujukan dengan ‘ya’kita”. Jadi nilai merupakan sesuatu yang kita iyakan, yang kita jauhi, dan ingin kita hindari adalah lawan dari nilai, dan oleh sebab itu bisa dikenal dengan “non-nilai” atau disvalue. Namun, kalau tetap harus diusahakan pengungkapan pengertiannya secara eksplisit, maka nilai itu dapat dimengerti sebagai konsepsi yang dihayati seseorang (bisa juga kelompok) mengenai mengenai apa yang penting atau kurang penting, apa yang lebih baik.

Hal lain dalam pembahasan nilai, Lickona (2013:76) mengatakan bahwa mengembangkan sejumlah Nilai yang menjadi target pengajaran sekolah sebaiknya memulai pengajaran nilai mengenai rasa hormat dan tanggung jawab yang saya rasa dapat menjadi langkah awal yang membantu dan menutupnya dengan pemahaman akan sebagian atau bahkan seluruh nilai- nilai tersebut. Selain itu, pengaplikasian proses, melalui penyusunan tahapan pengajaran nilai masih menjadi hal yang penting juga.

Dalam mendapatkan sebuah nilai di masyarakat luas, sangat perlu bagi seseorang untuk memperjuangkan nilai agar diperoleh. Dalam buku Latief (2009:73-74) bahwa cara memperoleh nilai itu ada tiga, diantaranya adalah :

(7)

Pertama, pencarian kebenaran dan keutamaan melalui Filsafat, yakni melalui cara berfikir kontemplatif (paradigma logis-abstrak), melalui filsafat, seseorang bisa menemukan makna dari sesuatu yang abstrak atau makna yang ada “dibelakang” objek yang konkret. Ini karena filsafat mengoptimalkan fungsi nalar untuk menemukan makna yang tidak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan, makna itu dapat menjadi rujukan (nilai) seseorang jika benar- benar diyakini atau dirumuskan kedalam klausal-klausal normatif.

Kedua, nilai diperoleh melalui paradigma berfikir logis-empiris, paradigma ini merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang selalu memerlukan bukti-bukti nyata dalam menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu. Nilai yang diperoleh melalui jalan ini banyak mengungkapkan kebenaran teoritik karena ditempuh melalui jalan berfikir ilmiah. Nilai- nilai keutamaan ini banyak kita temukan dalam cabang disiplin ilmu agama, ilmu sosial, dan humaniora.

Ketiga, perolehan nilai melalui hati dan fungsi rasa, cara ini tidak lagi menyertakan pertimbangan logis (filsafat) atau logis-empiris (ilmu penggetahuan ). Karena nilai atau pengetahuan dengan cara ini masuk melalui

“pintu” intuisi dan bersarang dalam keyakinan hati. Nilai-nilai yang berkaitan dengan hal-hal ghaib yang tidak dapat terjangkau melalui cara berfikir kontemplatif (filsafat) dan cara berfikir ilmiah ini dapat diketahui ketajaman mata hati.

2) Ciri – ciri nilai

Disetiap suatu benda atau makna, pasti terdapat suatu ciri yang menjadi identitas makna atau tersebut, sama halnya dengan nilai, bahwa nilai memiliki ciri-ciri Dalam Mamat, DKK (2006:65), diantaranya sebagai berikut :

a) Nilai yang terencanakan biasanya dijadikan kepribadian lain akan mendorong timbulnya tindakan tanpa berfikir lagi. Pelanggaran atas nilai- nilai tersebut akan mengakibatkan timbulnya perasaan malu atau bersalah

(8)

yang sulit dilupakan. Misalnya, seseorang merasa malu ketika ia secara tidak sengaja bersendawa dengan suara keras saat menikmati jamuan makan malam bersama tamu.

b) Nilai yang dominan merupakan nilai yang dianggap lebih penting daripada nilai- nilai lainnya. Ukuran yang digunakan untuk menentukan dominan atau tidaknya suatu nilai, didasarkan pada :

1. Banyaknya orang yang menganut nilai tersebut.

2. lamanya nilai itu dapat dirasakan manfaatnya oleh anggota kelompok.

3. Tinggi rendahnya usaha yang dilakukan untuk mempertahankan nilai tersebut.

4. Tinggi rendahnya status seseorang yang membawakan nilai tersebut.

Selain ciri-ciri yang ada diatas, ternyata dalam buku Bagja (2007:28) sesuai dengan keberadaanya, nilai-nilai sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Hasil dari proses interaksi antar manusia secara intensif dan bukan bawaan sejak lahir. Contohnya, seorang anak yang bisa menerima “nilai”

menghargai waktu karena didikan orangtuanya yang mengajarkan disiplin sejak kecil.

2. Ditransformasikan melalui proses belajar meliputi sosialisasi , akulturasi, dan difusi. Contohnya, nilai menghargai kerjasma” dipelajari anak dari sosialisasi dengan teman-teman sekolahnya.

3. Berupa ukuran atau peraturan sosial yang turut memenuhi kebutuhan- kebutuhan sosial. Contohnya, nilai memelihara ketertiban lingkungan menjadi aturan yang wajib diikuti.

4. Berbeda-beda pada tiap kelompok manusia atau bervariasi antar kebudayaan yang satu dan yang lainnya. Contohnya dinegara-negara maju manusianya sangat menghargai waktu, keterlambatan sulit ditoleransi. Sebaliknya di Indonesia, keterlambatan sulit ditoleransi . Sebaliknya di Indonesia keterlambatan dalam jangka waktu tertentu masih dapat dimaklumi.

(9)

5. Setiap nilai memiliki pengaruh yang berbeda-beda bagi tindakan manusia.

Contohnya, nilai mengutamakan uang diatas segalanya membuat orang berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, jika nilai kebahagiaan dipandang lebih penting daripada uang, orang akan lebih mengutamakan hubungan baik dengan sesama.

6. Mempengaruhi perkembangan kepribadian individu sebagai anggota masyarakat, baik positif atau negatife. Contohnya, nilai yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi akan melahirkan individu yang egois.

Adapun nilai yang lebih mengutamakan kepentingan bersama akan membuat individu tersebut lebih peka secara sosial.

3) Macam-macam nilai

Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi sebagai sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Seseorang dianggap sebagai orang yang patuh atau yang menyimpang dari tatanan sosial, nilai tersebut sebagai tolak ukurnya. Nilai-nilai tersebut sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada hampir semua masyarakat. Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:

a) Etika

Nilai sosial yang memiliki harga tinggi adalah etika. Etika merupakan sebuah rujukan yang sama dengan akhlak. Dimana etika atau akhlak menjadi sebuah standar kualitas manusia , bahwa manusia itu memiliki etika yang baik atau etika yang buruk.

Misalnya, bagi seseorang yang beretika disaat dia bertemu dengan orang lain secara tidak langsung ia akan tersenyum dan mengajak bersalaman, karena jati diri bangsa Indonesia salah satunya adalah bersikap ramah. Sehingga jika seseorang bersikap judes atau acuh tak acuh maka ia akan menjadi seseorang yang tidak beretika.

Disaat etika membahasnya sebagai kesadaran seseorang untuk membuat pertimbangan moral yang rasional mengenai kewajiban

(10)

memutuskan pilihan yang terbaik dalam menghadapi masalah yang nyata.

Keputusan yang diambil seseorang wajib dapat dipertanggungjawabkan secara moral terhadap diri dan lingkungannya.

Secara singkat, paparan diatas dapat disederhanakan dalam bagan etika secara teori dan praktik sebagai berikut :

Bagan 2.1 etika dalam teori dan praktik (syaiful, 2013 ) b) Moral

Nilai sosial yang terkait dengan moral adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan jiwa, hati, dan perasaan seseorang dalam melakukan tindakan. Nilai moral menjadi tolak ukur untuk menganggap perilaku seseorang. Bertentangan dengan hati nurani atau tidak. Misalnya mencuri, tidak jujur dan ingkar janji merupakan tindakan-tindakan kebohongan lainnya.

Dalam buku Sjarwaki (2008:27) bahwa istilah moral sering diartikan sama dengan etika, sebenarnya diantara keduanya memang sama hanya perbedaan alam kata bahasa. Istilah moral yang berasal dari bahasa Latin dan etika berasal dari bahasa Yunani. Dimana keduanya merujuk pada tujuan yang sama yaitu dijadikan sebagai referensi untuk pedoman hidup manusia untuk mengamalkan nilai dan norma ,

Moral yang merupakan ruh dari tindak tanduk manusia menjadi sebuah kemampuan afektif manusia itu sendiri, mereka yang memiliki moral akan menggunakan kemampuan sikapnya menjadi lebih baik karena mereka akan studi tentang kebaikan dan keburukan perilaku manusia dari segi akal

Teori (ilmu)

praksis (ajaran) Etika

Pola perilaku yang baik

perorang kelompok

(11)

menganggap bahwa moral merupakan modal untuk berinteraksi sosial dengan sesama. Sehingga mereka akan berperilaku sebagaimana mestinya yang harus dilakukan.

c) Agama

Nilai sosial yang terkait dengan nilai agama adalah tindakan-tindakan sosial yang menuntun pada ajaran agama, apakah mereka melakukan kebajikan dengan cara mematuhi perintahnya dan menjauhi larangannya. Didalam kehidupan beragama, ada kewajiban berdoa, berpuasa, larangan untuk menyakiti sesama makhluk yang diciptakan oleh tuhannya.

Agama adalah roda kehidupan manusia, dimana agama salah satu petunjuk, doktrin, pedoman bagi umat manusia. Jika manusia tidak bisa menjalankan agama dengan baik maka roda kehidupan pun akan terjatuh pada jurang yang gelap, sehingga agama ini memiliki peran yang sangat besar bagi umat manusia

Dalam buku Ilyas Dkk (T.T :11) dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dikenal pula kata “Din” yang berasal dari bahasa arab dan kata religi dari bahasa eropa, sedang kata agama berasal dari bahasa Sanskrit.

Dalam kamus An English Reader’s Dictionary, A.S Homby dan Parnwell (1989) mengartikan religi sebagai berikut:

1. Belief in god as creator and control, of the universe (percaya kepada Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta)

2. System of faith and worship based on such belief (sistem iman dan penyembahan didasarkan atas kepercayaan tertentu).

4) Fungsi nilai

Dalam buku Tim Zero (2014:178) bahwa Suparto mengemukakan bahwa nilai- nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat antara lain :

1. Dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berfikir dan tingkah laku.

(12)

2. Sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosial.

3. Dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya.

4. Sebagai alat solidaritas dikalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan.

5. Sebagai alat pengawas ( kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat tertentu agar orang berperilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.

c. Pendidikan Nilai Dalam Konsep Sosiologi

Salah satu mata pelajaran yang memiliki kandungan nilai-nilai secara menyeluruh adalah pembelajaran Sosiologi, karena pembelajaran Sosiologi merupakan pembelajaran dimana dalam isinya membahas tentang kehidupan sosial masyarakat yang berkaitan dengan kontak sosial, hubungan dengan manusia lainnya yang salah satunya terikat dengan nilai dan norma.

Dalam buku Bagja (2007 : 4) Fitriam A. Sorokin menyatakan bahwa Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala agama, gejala keluarga dan gejala moral) hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan gejala nonsosial (gejala geografis dan biologis) menjadi ciri- ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

Atas pendapat yang dikemukakan oleh Fitriam A. Sorikin, peneliti menyimpulkan bahwa pengaruh timbal balik yang diberikan oleh gejala- gejala sosial yang menjadikan sebuah perubahan dalam masyarakat sehingga dari perubahan tersebut akan muncul sebuah sikap untuk melakukan batasan- batasan, Disinilah akan mulai munculnya nilai.

Bahkan mata pelajaran ke-IPS an menurut PERMENDIKNAS No 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, bahwa materi ke Sosiologi bertujuan agar siswa mampu untuk :

(13)

a. Memahami konsep-konsep sosiologi seperti sosialisasi , kelompok sosial, struktur sosial, lembaga sosial, perubahan sosial, konflik sosial sampai terciptanya intetgrasi sosial.

b. Memahami berbagai peran sosial dalam masyarakat

c. Menumbuhkan sikap, kesadaran dan kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Pernyataan PERMENDIKNAS dapat diintegrasikan dengan peneliti bahwa Ilmu Sosiol memiliki cakupan bahan ajar yang sangat luas, sehingga memiliki potensi yang besar untuk menggali pesan moral dari setiap bahan ajar yang disajikan pun begitu banyak, hakikatnya untuk memahami pola interaksi manusia secara benar.

Manusia yang merupakan akhlak individual dan makhluk sosial, ia tidak bisa secara terus menerus hidup dalam kesendirian dan tidak pula manusia hidup secara terus menerus bergantung terhadap orang lain tetapi manusia kadang-kadang butuh untuk dalam keadaan sendiri dan kadang-kadang butuh bantuan orang lain.

Dalam buku Tim pengembang ilmu pendidikan FIP-UPI (T.T:53) di Indonesia (khususnya pada decade penataran p4) hirarki nilai dibagi tiga (kaelan, 2002) sebagai berikut :

a. Nilai dasar (dasar ontologis) yaitu merupakan hakekat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini bersifat universal karena menyangkut hakekat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakekat Tuhan, manusia atau segala sesuatu lainnya.

b. Nilai instrumental, merupakan suatu pedoman yang dapat diukur atau diarahkan. Bilamana nili instrumentl itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal itu akan merupakan suatu norma moral. Namun jikalau nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun Negara maka nilai instrumental itu merupakan arahan,

(14)

kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga dapat dikatakan nilai instrumental merupakan eksplitasi dari nilai dasar.

c. Nilai praksis, pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan nyata. Sehingga nilai praksis ini merupakan nilai perwujudan dari nilai instrumental.

2. Konsep pendidikan karakter a. Karakter

1) Pengertian karakter

Setiap nilai yang dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan setiap perilaku yang tejadi pada masyarakat agar masyarakat bisa berfikir perilaku apa yang harus dilakukan dan perilaku apa yang harus dijauhkan pula. Hal ini akan terjadi integritas perilaku yang baik dan membentuk sebuah karakter yang baik apabila manusia sudah memahami makna nilai. Karena sebuah nilai bukan hanya untuk dipahami, tetapi dimaknai dan di hayati.

Saat manusia sudah menganggap nilai itu berharga, pasti nilai yang berharga itu akan menanamkan sebuah karakter pula pada seseorang, karena nilai juga bisa dikatakan sebagai “judice” untuk setiap karakter yang dimiliki seseorang.

Berangkat dari pernyataan penulis diatas, bahwa karakter yang telah disinggung memiliki arti yang merujuk pada sebuah kebaikan bahwa karakter itu bernilai atau tidak bernilai, sehingga itu menjadi sebuah pilihan bagi seseorang apakah karakter yang ia miliki bernilai atau tidak bernilai. Karena karakter itu bukan sebuah materi atau teori bukan pula , tetapi karakter merupakan ilmu kehidupan yang secara alamiah berada dalam diri seseorang.

Menurut penulis, pernyataan diatas pun sangat sesuai dengan pernyataan Helen G. Dougles dalam bukunya Muchlas Samani

&Hariyanto (2013:41) menyatakan bahwa

(15)

“Character isn’t inherited. One bulds its daily by the way one thinks and acts, thought by thought , action by action”.

Terjemah :

Karakter itu tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui fikiran dan pebuatan, fikiran demi fikiran, tindakan demi tindakan.

Dalam pembahasan karakter, sekolah khususnya memberikan pendidikan karakter terhadap siswanya dengan cara mengintegrasikan setiap mata pelajaran itu dengan hal-hal positif dan menjelaskan bahwa setiap mata pelajaran itu mengandung nilai-nilai yang tinggi.

Dalam buku Majid &Dian (2013:11) sejak tahun 1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat memukau, The Return Of Character Education sebuah buku yang menyadarkan Dunia Barat secara khusus dimana tempat Lickona hidup, dan seluruh dunia pendidikan secara umum, bahwa pendidikan karakter adalah sebuah keharusan. Inilah awal kebangkitan pendidikan karakter.

Majid & Dian menyatakan juga bila ditelusuri, karakter berasal dari bahasa Latin “kharakter”. “kharasein”, “Kharax”, dalam bahasa inggris : character dan Indonesia “karakter”, yunani “character”, dari charrasein yang berarti membuat tajam, membuat dalam. Dalam kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Nama lain dari jumlah seluruh ciri pribadi yang meliputi hal-hal seperti perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai dan pola-pola pemikiran.

Istilah karakter dan kepribadian atau watak sering digunakan secara bertukar- tukar, tetapi Allport menunjukkan kata watak berarti normative, serta mengatakan

(16)

bahwa watak adalah pengertian etis dan menyatakan bahwa Character is personality evaluated and personality is character devaluated (watak adalah kepribadian yang dinilai sedangkan kepribadian adalah watak yang tidak dinilai.

Berdasarakan setiap kalimat yang dirangkai menjadi sebuah paragraf, penulis pun dapat mengartikan isi dari pernyataan diatas dan membetulkan pula pernyataan dari pengusung adanya pendidikan karakter yaitu Lickona bahwa pendidikan karakter memang sebuah keharusan yang harus dimiliki oleh setiap insan, karena majunya suatu bangsa itu berada dibahu para pemuda pemudi, para pemuda pemudi yang seperti apa? Para pemuda pemudi yang memiliki kualitas sebagai jati diri manusia yang memiliki karakter berdedikasi dan karakter bernilai luhur.

Dengan beberapa terminology yang telah diusung oleh beberapa ahli, Suptono (2011:18) pun yang terjun dalam pembahasan teori tentang pendidikan karakter menyatakan bahwa secara konseptual, istilah “karakter” dipahami dalam dua kubu pengertian.

Pengertian pertama, bersifat deterministik. Disini karakter dipahami sebagai sekumpulan kondisi rohaniah pada diri kita yang sudah teranugrahi atau ada dari sononya (given). Dengan demikian, ia merupakan kondisi yang kita terima begitu saja, tak bisa kita ubah. Ia merupakan tabiat seseorang yang bersifat tetap, menjadi tanda khusus yang membedakan orang yang satu dengan yang lainnya.

Pengertian kedua, bersifat non deterministik atau dinamis. Disini karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan atau ketangguhan seseorang dalam upaya mengatasi kondisi rohaniah yang sudah given. Ia merupakan proses yang dikehendaki oleh seseorang (willed) untuk menyempurnakan kemanusiaannya.

Pernyataan-pernyataan diatas dari beberapa kumpulan pengertian karakter yang telah dicetuskan oleh para ahli, penulis pun dapat menarik benang merahnya.

Bahwa memang karakter itu 65% berada sejak lahir, tapi kita tidak perlu khawatir untuk kita tidak bisa merubah diri kita kearah yang lebih baik. Teori bisa dijadikan

(17)

sebuah pegangan tetapi implementasinya lah yang harus sepenuhnya menjadi keperluan bukan sekedar pegangan. Karakter seseorang tidak sepenuhnya dinilai dari keturunan seseorang itu berakhlak baik atau buruk, Tapi sejauh mana dia ingin berubah, sejauh mana dia ingin menjadi lebih baik, dan sejauh mana dirinya ingin bernilai dimata masyarakat luas.

2) Pilar-pilar karakter

Pilar merupakan sebuah tonggak yang berfungi untuk menguatkan sebuah yang dituju agar objek yang dimaksud itu tetap kokoh dan berdiri. Segala sesuatu yang dibangun dan dibuat bisa saja itu adalah hal yang mudah, tetapi bagaimana untuk bisa mempertahankannya

Sama halnya, dalam membentuk sebuah karakter, mendidik anak agar memiliki perilaku yang baik bisa kita menanamkan dan memberi contoh dari mereka masih kecil. Tapi bagaimana cara mereka untuk bisa mempetahankannya, sedangkan kita hidup berada disebuah lingkungan yang seluruh masyarakat memiliki karakteristik berbeda-beda dan bagaimana mereka akan mempertahankannya jika kehidupan luar bagaikan duri berselimut gulali?

Atas penjelasan diatas tersebut, penulis pun mengira bahwa sangat begitu penting untuk mempertahankan ditimbang membangunnya. Maka dari itu dalam buku Majid & Dian (2013:31-36) terdapat pilar-pilar pendidikan karakter untuk membentuk sebuah karakter dan mempertahankannya pula, diantaranya adalah :

a) Moral Knowing

William Kilpatrick menyebut salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang berlaku baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral doing)

Moral Knowing sebagai aspek pertama memiliki 6 unsur, yaitu : (1) Kesadaran moral (Moral Aweres);

(2) Pengetahuan tentang nilai-nilai moral (Knowing moral values);

(18)

(3) Penentuan sudut pandang (perspective taking);

(4) Logika moral (Moal Reasoning);

(5) Keberanian mengambil menentukan sikap (Decision Macing);

(6) Dan pengenalan diri ( self knowledge).

Ke-enam unsur inilah yang harus seorang guru ajarkan kepada siswanya terkait dengan semua pengetahuan moral.

Akal yang merupakan pemberian Allah SWT kepada satu-satunya makhluk hidup yang diciptakan secara sempurna yaitu manusia merupakan sebuah kebaikan bagi umat manusia agar mereka bisa berfikir karena salah satu Allah SWT memberikan akal kepada manusia agar manusia dapat berfikir dan memperbanyak ilmu pengetahuan.

Sebuah pembinaan pola fikir / kognitif, yakni sebuah pembinaan kecerdasan dari ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai penjabaran dari sifat fathonah Rosulullah, seseorang yang fathonah itu tidak hanya cerdas, melainkan memiliki sebuah kearifan dan kebijaksanaan dalam dirinya disaat dia berfikir dan bertindak sehingga mereka yang memiliki sifat fathonah akan mampu menangkap gejala dan hakikat dibalik semua peristiwa.

Dalam buku Majid & Dian (2013:32) bahwa Toto Tasmara dalam bukuna

“Kecerdasn Ruhaniah”. Mengemukakan bahwa karakteristik yang terkandung dalam jiwa fathonah adalah :

a. Mereka tidak hanya menguasai dan terampil dalam melaksanakan profesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali hikmah kebijakan b. Mereka sangat bersungguh-sunggguh dalam segala hal, khususnya dalam

meningkatkan kualitas keilmuan dirinya

c. Mereka terus memiliki motivasi yang sangat kuat untuk belajar dan selalu mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang dialami.

d. Mereka bersikap proaktif dengan memberikan kontribusinya terhadap lingkungan sekitar.

(19)

e. Mereka sangat mencintai Tuhannya. dan karenanya selalu mendapatkan petunjuk darinya.

f. Mereka selalu menempatkan dirinya menjadi insan yang dapat dipercaya sehingga mereka tidak mau ingkar janji.

g. Selalu ingin menjadikan mereka sebagai teladan.

h. Mereka selalu menaruh cinta terhadap orang lain sama halnya dia mencintai dirinya sendiri.

i. Mereka memiliki kedewasaan emosi, tabah dan tidak mengenal kata menyerah.

j. Mereka memiliki jiwa yang tenang.

k. Mereka memiliki tujuan atau arah yang jelas l. Mereka memiliki sifat untuk bersaing secara sehat.

Atas seluruh pemaparan diatas penulis pun membenarkan bahwa setiap pengetahuan moral atau pengetahuan kebaikan berada dalam diri seseorang yang memiliki sifat seperti rasulullah yakni sifat fathonah. Sifat yang menonjolkan kearifan dan kebajikan itulah yang akan mempertahankan setiap keilmuan dalam dirinya.

b) Moral Loving atau Moral Feeling

Seorang yang memiliki kemampuan moral kognitif yang baik, tidak saja menguasai bidangnya, tetapi mmiliki dimensi rohani yang kuat. Keputusan- keputusannya menunjukkan kemahiran seorang professional yang didasarkan pada sikap moral atau akhlak yang luhur.

Afektif, dimana selain pilar pengetahuan yang dimiliki seseorang harus bisa juga didukung dengan sikap. Sikap yang tertanam dari pengetahuan yang ia miliki. Hal ini merupakan sikap mental sebagai penjabaran dari sikap rasulullah .

(20)

Moral Loving mrupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri, yaitu:

1. Percaya diri (self esteem)

2. Kepekaan terhadap orang lain (Emphaty) 3. Cinta kebenaran (loving the god)

4. Pengendalian diri (self control) 5. Kerendahan hati (humality).

Dalam buku Hernowo (2003:19) bersikap adalah wujud keberanian untuk memilih secara sadar. Setelah itu ada kemungkinan untuk ditindaklanjuti dengan mempertahankan pilihan lewat argumentasi yang bertanggung jawab, kukuh, dan bernalar.

Dalam hal ini, disaat sseorang sudah bisa menyikapi sebuah perihal, secara tidak lagsung bahwa dalam dirinya ini ternyata sudah memiliki kekuatan rohaniyah yang dimana semua sikap yang dilakukannya adalah sebuah perintah dari Tuhannya dan perintah itu merupakan salah satu Amanah yang harus dijaga, dan pada saat itu pula dia memiliki sebuah getaran dalam sanubarinya.

c) Moral Doing atau Acting

Fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang lain. Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive kecuali ada kehadiran orang lain. Bila seorang filsuf barat mengatakan “cogitu ergo sum”

aku ada karena aku berfikir, kita pun dapat mengatakan “aku ada karena aku bermakna untuk orang lain” sebagaimana rasulullah SAW bersabda :

“engkau belum disbut sebagai orang yang beriman kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirimu sendiri.”.

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW kaitannya dengan makna “aku ada karena aku bermakna untuk orang lain” menurut penulis sangat erat sekali kaitannya. Salah satu kita mencintai diri kita sendiri dengan cara kita memaknai bahwa diri kita penting, diri ini harus dijaga, disayang, sama halnya

(21)

kita akan disebut orang beriman disaat kita memberikan hal yang bermakna terhadap orang lain, memberikan sebuah hal yang manfaat yang dapat diterima oleh orang lain seperti halnya disaat kita mengasihi diri kita dengan memberikan makanan yang enak, maka berbagilah terhadap mereka yang merasakan kelaparan.

Dari setiap pemaparan diatas terkait pilar-pilar karakter yang diringkas dari berbagai buku, penulis pun menyimpulkan bahwa karakter itu tidak dibeli, karakter itu bukan sebuah materi, tapi karakter merupakan sebuah ilmu hidup yang memang harus dimiliki setiap insan untuk menuju jalan kebenaran.

Ketiga pilar itu sangat mempererat satu sama lainnya. Dan penulis pun menyimpulkan bahwa pilar karakter itu bisa dilihat dari bagan yang dibuat oleh penulis yaitu :

Bagan 2.2 . segitiga pilar karakter 3) Pendidikan karakter dalam pandangan Islam

Pendidikan karakter merupakan pendidikan seumur hidup yang dibutuhkan oleh sEmua orang. Pendidikan ini tidak hanya diberikan oleh teori-teori semata yang diberikan oleh para ahli pendidikan untuk membentuk karakter, tetap dalam segi agama pun ternyata pendidikan karakter ini memiliki sebuah peran yang sangat luas sekali. Dalam buku Majid & Dian (2013:58) bahwa dalam jurnal internasional , The Jurnal Of Moral Education. Nilai-nilai dalam ajaran Islam pernah diangkat sebagai hot issue yang dikupas secara khusus dalam volume 36 tahun 2007. Dalam diskursus pendidikan karakter ini memberikan pesan bahwa spiritualitas dan nilai-nilai agama tidak bisa dipisahkan dari pendidikan karakter.

lakukan

(22)

Dalam Islam tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam.

Implementasi akhlak Islam tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah SAW.

Dalam pribadi Rasulullah, bersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung.

Alqur’an dalam Al-ahzab/33 ayat 21 menyatakan :”sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik”.

Tauladan yang merupakan sebuah panutan karena sesuatu yang ada pada diri seseorang adalah akhlahnya baik, akhlak yang tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Pembinaan akhlak dimulai dari individu . hakikat akhlak itu memang individual. Meskipun ia dapat berlaku dalam konteks sebuah gerakan yang tidak individual. Karenanya, pembinaan akhlak dimulai dari sebuah gerakan individual, yang kemudian diproyeksikan menyebar ke individual- individual lainnya, lalu setelah jumlah individu yang tercerahkan secara akhlak menjadi banyak, dengan sendirinya akan mewarnai kehidupan rakyat.

4) Faktor pendorong dan penghambat pembentukan karakter

Dalam melakukan sebuah tujuan atas pengharapan yang diinginkan, disaat proses itu berjalan pasti akan ada sebuah peran yang menjadi faktor dan pendukung keberhasilan dan penghambat. Sama halnya dalam program pendidikan karakter, program tersebut akan banyak peran yang mendukung ada pula yang menjadi menghambat dalam proses pengenalan pendidikan karakter. Dari itu, penulis mencoba menguraikan dua faktor yang saling bertolak belakang, yakni :

a. Faktor pendukung keberhasilan pendidikan karakter.

Suatu bentuk akan terlihat atau tidak terlihat, akan berdiri atau tidak akan berdiri, berhasil atau tidak berhasil karena terdapat sebuah alasan yang jelas untuk mengetahuinya. Dalam pembentukan karakter terhadap seorang anak, itu tergantung bagaimana dan dimana ia dapatkan. Sehingga ia akan tahu bahwa sangat begitu berperan lingkungan tersebut bagi pembentukan karakter dirinya.

Ahmadi (1999:106) mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks pengharapan manusia terhadap caranya individu harus bersikap dan berbuat

(23)

dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Berkaitan dengan peran, sebuah faktor yang mendukung keberhasilan pendidikan karakter itu dapat dilihat dari berbagai peran sekitar lingkungannya. Dalam buku Zubaedi (2013:142-173)) menyatakan bahwa peran yang berpengaruh untuk keberhasilan dalam membentuk karakter terhadap seorang anak adalah

1. Peran keluarga

Pengembangan karakter meupakan proses seumur hidup, pengembangan karakter anak merupakan upaya yang perlu melibatkan semua pihak. Baik keluarga inti, keluarga (kakek-nenek), sekolah, masyarakat maupun pemerintah . oleh karena itu, keempat koridor tersebut (keluarga sekolah, masyarakat, pemerintah) harus berjalan secara terintegrasi.

Keluarga sebagai basis pendidikan karakter , maka tidak salah ketika krisis karakter yang terjadi di Indonesia sekarang ini dapat dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya pendidikan dikeluarga. Keluarga adalah komunitas pertama dimana manusia sejak usia dini belajar konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah.

Pada keluarga inti, peranan utama pendidikan terletak pada ayah ibu. Philips menyarankan bahwa keluarga hendaknya menjadi sekolah untuk kasih sayang (school of love), atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Menurut Gunadi, ada tiga peran utama yang dapat dilakukan ayah-ibu dalam mengembangkan karakter anak. Pertama, berkewajiban menciptakan suasana yang hangat dan tenteram. Tanpa ketentraman, akan sukar bagi anak untuk belajar apapun dan anak akan mengalami hambatan atau pertumbuhan jiwanya, ketegangan atau ketakutan adalah wadah yang buruk bagi perkembangan karakter anak.

Kedua, menjadi panutan yang positif bagi anak. Sebab anak belajar terbanyak dari apa yang dilihatnya, bukan dari apa yang didengarnya.

Karakter orangtua yang diperlihatkan melalui perilaku nyata merupakan bahan pelajaran akan diserap oleh anak. Ketiga, mendidik anak,

(24)

sebaiknya mengajarkan karakter yang baik baik dan mendisiplinkan anak agar berperilaku sesuai dengan apa yang telah diajarkannya.

Untuk dapat menjadi panutan bagi seorang anak, seorang ayah perlu memiliki integritas, ketegasan, dan konsistensi dalam menerapkan batasan atau aturan, sehingga anak tidak bingung dalam mengenali hal- hal yang baik dan buruk. Ayah yang biasanya berperan sebagai sosok yang mengalami otoritas dalam menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak dalam keluarga, beserta ganjaran maupun hukumannya. Hal ini akan mengembangkan anak untuk memiliki kontrol diri dalam berperilaku

peran keluarga yang memiliki sebuah kewajiban dari seluruh peran dimasyarakat merupakan paling utama dalam mendidik anak, penulis pun mengkonotasikan bahwa seorang keluarga yang menginginkan anggota keluarganya dapat menjaga keharmonisannya, sangat penting untuk menanamkan sikap dan pola perilaku yang baik dan berdedikasi untuk menciptakan kualitas manusia seutuhnya, karena kita tidak bisa memungkiri bahwa kita adalah makhluk sosial yang akan berinteraksi sesama makhluknya.

Tujuan paling utama membentuk sebuah kepribadian yang berkualitas pun oleh sebuah keluarga agar melahirkan sebuah pencitraan yang baik bagi sekitar. Sehingga disinilah peran oranngtua, keluarga terdekat untuk saling menguatkan sikap kepribadian yang utuh .

2. Peran semua komponen sekolah dalam pendidikan karakter

Peran terbaik dalam membentuk seorang anak setelah keluarga adalah sekolah, sekolah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam membentuk manusia yang berkarakter. Agar pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik memerlukan pemahaman yang cukup dan konsisten oleh seluruh personality pendidikan. Di sekolah, kepala sekolah, pengawas, guru, dan

(25)

karyawan harus memiliki persamaan persepsi tentang pendidikan karakter bagi peserta didik. Setiap personalia pendidikan mempunyai peranannya masing-masing. Kepala sekolah sebagai manager , harus mempunyai komitmen yang kuat tentang pendidikan karakter. Kepala sekolah harus mampu membudayakan karakter-karakter unggul di sekolahnya.

Pengawas, meskipun tidak berhubungan langsung dengan proses pembelajaran kepada peserta didik / siswa, tetapi ia dapat mendukung keberhasilan atau kekurang berhasilan penyelenggaraan pendidikan melali peran dan fungsi yang diemban. Seorang pengawas tidak hanya berperan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pihak-pihak di sekolah, baik bersifat administrative maupun akademis, tetapi dituntut menjalankan peran pebimbing dan membantu mencari pemecahan permasalahan yang dihadapi sekolah.

Peran pendidik atau guru dalam konteks pendidikan karakter dapat menjalankan lima peran. Pertama, konsevator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan. Kedua, innovator (pengembang) sistem nilai pengetahuan. Ketiga, transmit (penerus) sistem-sistem nilai ini kepada peserta didik. Keempat, transformator (penerjemah) sistem-sistem nilai ini melalui penjelmaan dalam pribahasa disaat memberi arahan.

Dalam penempatan peran, penulis pun sependapat bahwa peran sekolah sangat tepat dijadikan nomor urut kedua setelah peran keluarga dalam mendidik seorang anak. Mengapa penulis bersependapat dengan pernyataan diatas? Bahwa seorang anak membutuhkan sebuah pendidikan khusus seumur hidup yakni pendidikan karakter yang berada disekolah. Karena dalam lembaga sekolah, seorang anak akan banyak mendapatkan sebuah

(26)

transforasi ilmu dari setiap materi pada mata pelajaran yang disampaikan oleh guru. Walaupun pendidikan yang didapat dari sekolah hanya 40% dan diluar sekolah 60%. Tapi 40% itu sangat berarti bagi seorang anak yang memerlukan pendidikan karakter.

3. Peran pemimpin dalam pendidikan karakter

Dalam konteks bersamaan, Negara juga memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan pendidikan karakter, budaya, dan moral bangsa Indonesia. Kekuatan untuk menjalankan sebuah amanah UU No 20 Tahun 2003, sangat ditentukan oleh kekuatan hukum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pembangunan karakter bangsa ini sangat ditentukan oleh perilak penegak hukum sebagai penjaga ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk tujuan kesejahteraan.

Elemen yang berada pada elit kepemimpinan Negara baik pada jalur eksekutif, legislative, dan yudikatif harus mengaktualisasikan nilai-nilai kepemimpinan yang berkarakter.

Atas pertimbangan ini, pemimpin bangsa yang dibutuhkan adalah figur kepemimpinan bangsa yang berkarakter. Dalam perspektif agama, disebutkan adanya empat karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin sebagaimana yang dimiliki Rasulullah yakni, shidiq (benar, jujur), amanah (terpercaya), fathonah (cerdas), tabligh (komunikator).

Menurut penulis, Sifat - sifat diatas yang dicontohkan oleh Rasulullah merupakan referensi bagi para pemimpin di zaman sekarang, dimana seorang pemimpin pun harus bisa memberikan contoh yang baik terhadap bawahannya, karena seorang bawahan atau masyarakat pasti akan melihat dan mengikuti terhadap seseorang yang memiliki status dan peran yang tinggi.

(27)

Seorang pemimpin yang telah diberi amanah oleh seluruh masyarakat, beliau harus melakukan tugas sebagai berikut :

(a) Harus menunjukkan nilai-nilai moralitas serta sumber keteladan bagi anak- anak .

(b) Harus memiliki kedekatan emosional kepada anak dengan menunjukkan rasa kasih sayang

(c) Harus memberikan lingkungan atau sesuatu yang kondusif bagi pengembangan karakter anak.

(d) Perlu mengajak anak-anaknya senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.

4. Peran media massa dalam pendidikan karakter

Upaya lembaga pendidikan dalam mendidik karakter peserta didik juga memerlukan dukungan institusi media massa sepeti televisi, internet, tabloid, Koran, dan majalah. Media televisi dapat menyajikan acara-acara tentang potret kehidupan dan perilaku sehari-hari baik dalam bentuk kisah nyata maupun dramatisasi sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Media televisi juga sebagai media massa yang paling popular dan digemari oleh lapisan masyarakat, termasuk anak-anak dan remaja. Melalui televisi juga dapat menyajikan siaran langsung atau liputan berita dari sumbernya pada saat bersamaan. Dengan bantuan media lain, televisi juga menyajikan acara interaktif. Dalam pemanfaatan, televisi dapat ditonton sambil santai di rumah, menyaksikan siaran langsung, dramatisasi, hiburan, sinetron, musik, pendidikan dan informasi lainnya.

Penelitian membuktikan bahwa media televisi merupakan kekuatan yang besar bagi kepentingan yang dominan dalam masyarakat. McQuel dan Windahl mejelaskan model psikologi comstoc tentang efek televisi terhadap orang perorangan. Ditegaskannya bahwa media televisi tidak hanya mengajarkan tingkah laku, tetapi juga tindakan sebagai stimulus untuk membangkitkan tingkah laku yang dipelajari dari sumber-sumber lain, ini menunjukkan bahwa media televisi memiliki kekuatan yang ampuh (powerful) bagi pemirsanya.

(28)

b. Faktor penghambat keberhasilan pendidikan karakter

dalam buku Al’adawy dan Musthofa, (2006:157-159) diterjemahkan oleh Umar bahwa yang mempengaruhi perkembangan anak menjadi lebih baik adalah

a. Keluarga

Keluarga selain menjadi pendukung anak dalam keberhasilan membentuk karakternya, dapat pula yang memperhambat perkembangan mereka adalah dari keluarga, dalam bukunya Agoes (2004:110) bahwa terjadinya sebuah kenakalan remaja adalah disebabkan karena adanya kondisi keluarga yang berantakan (broken home), kurangnya perhatian dan kasih sayang keluarga serta penerapan disiplin yang kurang tepat. Semua ini karena adanya ketidakharmonisan dalam keluarga.

b. Media sosial

Di sebagian Negara, media massa, baik cetak maupun elektronik, memiliki pengaruh negative yang besar. Karena media massa, berapa banyak akhalk yang menjadi rusak, berapa banyak perbuatan tidak senonoh terjadi, berapa banyak anak yang durhaka terhadap orangtuanya, berapa banyak orang mengkhianati teman-temannya, berapa banyak istri mengkhianati suaminya, berapa banyak laki- laki yang terjerumus dalam kenistaan, berapa banyak waktu shalat terbuang, berapa banyak orang yang menuruti syahwatnya, berapa banyak kekejian dilakukan , berapa banyak kebathilan yang disulap, berapa banyak cemoohan terhadap agama ini dan pemeluknya, dan lain sebagainya.

Media massa tidak ubahnya sebagai teman, ia bisa menjadi teman yang baik atau menjadi teman yang tidak baik. Jika memang dapat mendorong pada kebaikan maka jangan disingkirkan. Menurut pernyataan diatas, peneliti berkomentar bahwa media massa dapat menjadi pisau untuk membunuh kita , ternyata bukan hanya untuk menjadi perisai. Karena itu semua adalah pilihan, pilihan yang menjadi bermakna atau tidak menjadi bermakna.

(29)

c. Lingkungan

Kondisi lingkungan dan perilaku penduduk tempat tinggal keluarga juga berpengaruh pada pendidikan anak. Lingkungan orang-orang yang tidak baik berbeda dengan lingkungan tempat tinggal orang-orang sholeh dan mulia. Perilaku buruk orang-orang yang tidak baik akan berdampak pada keluarg dan anak-anak anda. Begitu juga perilaku baik orang-orang saleh akan berdampak baik pada keluarga baik;

Atas dasar itulah, menurut peneliti bahwa dalam lingkungan buruk akan menghambat proses membentuk karakter anak. Maka perhatikanlah dengan siapa dia bermain, dengan siapa dia berinteraksi. Dalam lingkungan masyarakat yang tidak baik, anak anda, ketika keluar rumah, akna bersentuhan dengan video, televise, film, parabola dan pemandangan- pemandangan haram lainnya. Secara otomatis, anak anda akan tergoda untuk menyaksikan pemandangan haram tersebut, yang pada akhirnya akan membawa dampak yang tidak baik.

Dalam lingkungan masyarakat yang tidak baik, anak anda, ketika keluar rumah, akan melihat anak-anak sebayanya yang berhias dan bersolek tanpa hijab. Tidak menutup kemungkinan, anak anda akan mencontohnya.

b. Karakteristik Siswa

Setelah banyak uraian tentang karakter, bahwa karakter sangat penting dimiliki oleh seorang siswa yakni menjadi seseorang yang terpelajar, berdedikasi tinggi dan berkualitas. Dalam arikel Asrar Blog (2014) beliau mengutip buku Seels dan Ricey (1994) bahwa pengerian karakteristik siswa adalah bagian-bagian pengalaman siswa yang berpengaruh pada keefektifan proses belajar, pemahaman ini bertujuan untuk bertujuan untuk mendeskriptifkan bagian-bagian kepribadian siswa yang perlu diperhatikan untuk kepentingan pembelajaran. Sedangkan karakteristik menurut Degeng (1991) adalah aspek-aspek atau kualitas perseorangan siswa yang telah dimilikinya. Karakteristik siswa sebagai salah satu variabel dominan desain pembelajaran akan memberikan dampak terhadap

(30)

keefektifan belajar. Variabel yang berhubungan dengan karakteristik siswa dan budayanya penting dijadikan pijakan pengembanan moral.

Dalam artikel Alfin (2010) beliau mengutip mahmud (1990) dalam bukunya sudianto bahwa tipe kepribadian seorang siswa ini terdapat 12 kepribadian siswa, diantaranya :

1) Mudah menyesuaikan diri, baik hati, ramah, hangat VS dingin.

2) Bebas, cerdas, dapat dipercaya VS bodoh, tidak sungguh-sungguh, tidak kreatif.

3) Emosi, stabil, realistis, gigih VS emosi , mudah berubah, suka menghindar (evasive), neuritik.

4) Dominan, menonjolkan diri VS suka mengalah dan menyerah

5) Riang, tenang, mudah bergaul, banyak bicara VS berkorbar, tertekan, menyendiri, sedih.

6) Sensitive, simpatik, lembut hati VS Keras hati, kaku, tidak emosional 7) Berbudaya, estetik VS kasar, tidak berbudaya

8) Berhati-hai, tahan menderita, bertanggung jawab VS emosional, tergantung, impulsive, tidak bertanggung jawab.

9) Petualang, bebas, baik hati VS hati-hati, pendiam, menarik diri.

10) Penuh energy, tekun, cepat, bersemangat VS pelamun, lamban, malas, mudah lelah.

11) Tenang, toleran VS tidak tenang, mudah tersinggung.

12) Ramah, dapat dipercaya VS curiga, bermusuhan

3. Teori Pendorong Pendidikan Nilai Terhadap keberhasilan pembentukan Karakter.

a. Esensi pendidikan nilai terhadap pembentukan karakter.

Karakter yang diharapkan setiap orang tua untuk anak-anaknya adalah mereka memiliki perilaku sejatinya kualitas manusia sendiri, peran keluarga yang paling utama untuk membentuk karakter anak masih pula membutuhkan pendampingan khusus terhadap lembaga sekolah, karena lembaga sekolah

(31)

merupakan peran kedua dari keluarga yang membantu siswa hidup berada dalam lingkungan yang baik.

Pernyataan diatas yang telah ditulis oleh peneliti, dapat dilihat pula Dalam buku Lickona (2013:31-35) bahwa permulaan abad 21 yang sedang kita hadapi bahkan sedang kita jalani saat ini, terdapat sedikitnya sepuluh alasan mengapa skolah seharusnnya memberikan arahan yang jelas dan menyeluruh tentang komitmen pendidikan moral dan pengembangan karakter, dimana alasan ini dibuat karena :

1) Adanya kebetulan yang begitu jelas dan mendesak.

2) Proses penghubungan nilai dan sosialitas.

3) Peranan sekolah sebagai tempat pendidikan moral menjadi semakin penting ketika jutaan anak-anak hanya mendapatkan sedikit pendidikan moral dari orangtua mereka dan ketika makna nilai yang sangat berpengaruh yang didapatkan melalui tempat ibadah lainnya perlahan tidak berarti dan akan menghilang dari kehidupan mereka.

4) Munculnya konflik dimasyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dasar menyangkut etika.

5) Demokrasi memiliki posisi khusus dalam pendidikan moral karena demokrasi tersebut merupakan bentuk dari pemerintahan dalam suatu masyarakat.

6) Tidak ada satu hal pun yang dapat dianggap sebagai pendidikan tanpa nilai.

7) Pertanyaan moral berada dalam pertanyaan-pertanyaan utama yang dihadapi baik secara individu rasial.

8) Pendidikan nilai di sekolah kini memiliki sebuah pandangan dasar bermakna luas yang mendukung pekembangan pendidikan.

9) Sebuah pernyataaan gamblang tentang pedidikan moral juga menjadi sesuatu yang penting jika ditujukan untuk menarik perhatian dan membentuk perilaku yang dimulai dari diri para guru. seorang pendidik,

(32)

10) Pendidikan nilai merupakan sebuah pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilaksanakan.

Dari setiap point yang dipaparkan oleh Lickona, menurut penulis bahwa pernyataannya disaat awal abad 21 ternyata sangat sesuai dengan keadaan sekarang, ternyata pendidikan moral yang di bahas secara detail, dan kupas tuntas oleh lickona sejak beberapa tahun silam kini sangat dibutuhkan diseluruh dunia khususnya Indonesia, kehidupan yang semakin modern malah bukan membawa kita kepada rasa syukur, tetapi mereka memiliki sikap westernisasi yang dianggap itu sebuah hal yang modern.

Pemikiran Lickona yang dijadikan sebagai kiblatnya mahaguru di luar sana dalam pendidikan untuk membentuk sebuah karakter sangat memiliki esensi yang sangat luar biasa. Sebagai perbandingan, bahwa dalam artikel yang telah dibuat oleh Ganesha tentang penerapan konsep-konsep pendidikan nilai menurut Sofyan Sauri (2007) pernah diterapkan pada sebuah lembaga pendidikan di Thailand dengan menggunakan suku kata yang terdapat dalam kata EDUCATION , dimana menurut penulis hal ini bisa dijadikan sebagai esensi pendidikan nilai terhadap pembentukan karakter siswa, dimana EDUCATION ini memiliki arti sebagai sebagai berikut:

(E) Singkatan untuk Enlightenment (pencerahan). Ini adalah proses pencapaian pemahaman dari dalam diri atau bathin melalui peningkatan kesadaran menuju pikiran super sadar yang akan memunculkan intuisi, kebijaksanaan, dan pemahaman.

(D) Singkatan untuk Duty and Devotion (tugas dan pengabdian). Pendidikan harus membuat siswa menyadari tugasnya dalam hidup. Selain memiliki tugas atau kewajiban yang terhadap orang tua dan keluarga, siswa juga memiliki kewajiban yang berlandaskan cinta kasih dan belas kasih untuk melayani dan menolong semua orang di masyarakat dan di dunia.

(33)

(U) Singkatan untuk Understanding (pemahaman). Ini bukan hanya mengenai pemahaman terhadap mata pelajaran yang diberikan dalam kurikulum nasional tetapi juga penting untuk memahami diri sendiri.

(C) Singkatan untuk Character (karakter). Guru mesti membentuk karekter yang baik pada diri siswa. Seorang yang berkarakter adalah seorang yang memiliki kekuatan moral dan lima nilai kemanusiaan yaitu Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Kasih sayang dan tanpa Kekerasan. Nilai kemanusiaan tersebut harus terpadu dalam pembelajaran di kelas.

(A) Singkatan untuk Action (tindakan). Model pembelajaran yang baik mesti membuat hubungan antara yang dipelajari dan situasi nyata dalam hidup.

Hal ini akan memungkinkan siswa mengaplikasikan pengetahuan ke dalam hidup mereka sendiri.

(T) Singkatan untuk Thanking (berterima kasih). Siswa mesti belajar berterima kasih kepada orang-orang yang telah membantu mereka.

(I) Singkatan untuk Integrity (Integritas). Integritas adalah sifat jujur dan karakter menjunjung kejujuran. Siswa mesti tumbuh menjadi seseorang yang memiliki integritas, yang bisa dipercaya untuk menjadi pemimpin di bidangnya masing-masing.

(O) Singkatan untuk Oneness (kesatuan). Pendidikan mesti membantu siswa melihat kesatuan dalam kemajemukan. Apakah kita memiliki agama atau kepercayaan yang berbeda, warna kulit dan ras yang berbeda. Kita mesti belajar hidup damai dan harmonis dengan alam.

(N) Singkatan untuk Nobility (kemuliaan). Kemuliaan adalah sifat yang muncul karena memiliki karakter yang tinggi atau mulia. Kemuliaan tidak timbul dari lahir tetapi muncul dari pendidikan.Jadi, kemuliaan terdiri dari semua nilai-nilai yang dijelaskan di atas.

(34)

b. Teori yang dijadikan sebagai pendorong pendidikan nilai terhadap pembentukan karakter.

Untuk membenarkan sebuah pendapat yang kita kemukakan, akan lebih afdol bila pendapat ini disesuaikan dengan sebuah teori. Esensi diatas yang telah dicatat, bahwa peneliti mengambil satu teori yang dijadikan sebagai peoman dalam pendukung kajian di atas, teori tersebut dikemukakan oleh maha guru yang menguasai tentang karakter manusia yakni Lickona bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai- nilai etika yang inti.

dari pendapat lic kona diatas dan disambung dengan pernyataan dalam karyanya “Educating for Caracter” ( 1992 :43) mengatakan bahwa , bahwa memang benar jika pendidikan nilai dan pendidikan karakter itu tidak bisa dipisahkan. Pengajaran sebuah nilai yang ada dalam setiap mata pelajaran harus disampaikan kepada siswa. Karena disaat sudah memahami dan menjadikan sebuah nilai menjadi sebuah rujukan, maka ia akan tahu pula kearah mana ia akan berjalan. Kepada jalan kebenaran kah atau jalan keburukan dimana hal ini akan secara tidak langsung membentuk karakter siswa dan salah satu usaha dalam membuat perubahan, winkelman tempat salah satu tempat peneletian yang dikunjungi oleh Lickona meluncurkn sebuah project yang dinamakan Let’s Be Courteous, Let’s Be Caring. Dimana sebuah nilai kesopanan dan perhatian dijadikan isu utama untuk ditekankan kepada siswa.

B. Penelitian Terdahulu

Untuk dapat menyesuaikan dari penelitian yang akan dilakukan dan yang pernah dilakukan, penulis pun akan mencantumkan penelitian yang sudah dilakukan yang bertujuan untuk menyesuaikan dan memberikan keyakinan

(35)

bahwa isi dari penelitian ini memang memiliki sebuah hasil. Penelitian dalam hal ini diantaranya:

1. Skripsi yang ditulis oleh Yayah Zakiyah, mahasiswa program Jurusan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan di IAIN SYEKH NURJATI Cirebon yang berjudul :upaya pembentukan karakter siswa melalui penerapan pembelajaran Ips terpadu pada mata pelajaran IPS di SMP Negeri 3 Jatibarang Kabupaten Indramayu. Menunjukkan bahwa dalam pembelajaan terpadu pada mata pelajaran IPS kelas VIII Negeri 3 Jatibarang Kabupaten Indramayu termasuk kategori sangat baik karena memperoleh nilai rata-rata 40,55%, selain itu pula karakter siswa (jujur, disiplin, tanggungjawab, toleransi kerja keras, religious, dan santun) di SMP Negeri 3 Jatibarang Kabupaten Indramayu termasuk kategori sangat baik karena memperoleh nilai rata-rata 36,58%, dan faktor-faktor pendorong upaya pembentukan karakter siswa melalui penerapan pembelajaran terpadu pada mata pelajaran IPS SMP Negeri 3 Jatibarang Kabupaten Indramayu termasuk kategori sangat baik karena memperolah nilai rata-rata 42, 22%.

2. Skripsi yang ditulis oleh Maidah Musthotiyah. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim dengan judul :Penerapan Nilai-nilai karakter pada pembelajaran IPS Terpadu di MTs Negeri Model Babat”.

Menunjukan bahwa proses penerapan nilai-nilai karakter pada pembelajaran IPS Terpadu di MTs Negeri Model Babat adalah melalui perencanaan atau persiapan pembelajran meliputi perangkat pembelajaran RPP, Silabus. Sedangkan pada pelaksanaan pembelajaran IPS Terpadu dengan cara memotivasi , melakukan pembelajaran sesuai RPP, serta menggunakan metode pembelajaran yang variatif, sehingga dalam penerapan nilai-nilai karakter pada pembelajaran IPS tidak menjenuhkan.

Hasil evaluasi siswa dalam pembelajaran dengan menerapkan nilai-nilai karakter t ersebut terlihat mulai berkembang pada siswa. yakni nilai disiplin, rasa ingin tahu, gemar membaca, tanggung jawab, peduli

(36)

lingkugan dan lain sebagainya. Hal ini terbukti pada daftar nilai evaluasi pendidikan karakter yang telah dibuat dan amati oleh guru IPS Terpadu, melalui pengamatan ketika siswa berdiskusi, Tanya jawab dan sikap sehari- hari siswa. Dari situlah guru dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai karakter tersebut membawa respon positif bagi siswa. Implikasi penerapan nilai- nilai karakter pada pembelajaran IPS Terpadu di MTs Negeri Model Babat menunjukkan bahwa nilai-nilai karakter bena-benar diterapkan dan berdampak terhadap perkembangan siswa.

C. Kerangka Berfikir

Dalam sebuah proses penelitian, pasti seorang peneliti akan membuat sebuah kerangka berfikir, agar permasalahan yang di bahas tidak meluas kemana-mana, sehingga isi dari pembahasan sesuai dengan yang kita teliti dan tidak berbelok. Dalam hal ini peneliti membuat bagan sebbagai berikut :

Bagan 2.3 kerangka berfikir

Sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang diharapkan oleh manusia sebagai wadah pembenahan diri dan peningkatan wawasan. Dalam

Mata Pelajaran Sosiologi

Pendidikan Karakter Pendidikan Nilai

Implementasi keluarg

a

s Sesama

teman Sekolah Media Massa

Lingku ngan

(37)

pendidikan sebuah nilai perlulah dicapai untuk menunjukkan kualitas manusia yang berIPTEK. Menurut Mulyana (2014: 11) nilai merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Dimana seseoran sudah bisa menilai suatu hal apakah ini sebuah tindakan keliru atau tindakan yang di benarkan.

Pendidikan nilai merupakan salah satu jalan untuk bisa menanamkan nilai- nilai kemanusiaan disaat seseorang merasa tersesat. Dalam mendapatkan pendidikan nilai tidak haruslah kita mencari materi tentang nilai. Karena pada hakkatnya dalam semua mata pelajaran disekolah memiliki sebuah nilai-nilai yang bermakna untuk kehidupan sehari-hari, tergantung bagaimana kita memahami setiap nilai yang ada.

Dalam hal ini, pendidikan nilai dalam teori spranger dalam buku Mulyana (2004:32-35) memiliki nilai yang dijadikan rujukan sebagai pedoman manusia yang diantaranya adalah nilai teoritik, ekonomis, estetik, sosial, dan politik.

Salah satu mata pelajaran yang memiliki kandungan nilai-nilai secara menyeluruh adalah pembelajaran IPS, karena pembelajaran IPS merupakan ilmu yang tergabung dari berbagai ilmu interdisipliner yang diantaranya adalah sosiologi, sejarah, politik, ekonomi, geografi yang dijadika menjadi satu padu menjadi IPS Terpadu.

Menurut Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah bahwa mata pelajaran IPS bertujuan agar siswa memiliki kemampuan untuk:

1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial . 3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan

kemanusiaan.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

(38)

Keempat tujuan mata pelajaran IPS di atas menunjukkan bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang memiliki tujuan membentuk siswa menjadi warga negara yang baik. Dengan demikian IPS sebenarnya merupakan pelajaran yang sangat penting.

Karena dalam kajian Ke-IPSan sangat luas sekali, Dalam hal ini peneliti akan lebih menspesifikasikan terhadap mata pelajaran sosiologi, karena dalam mata pelajaran sosiologi yang dirasakan oleh peneliti sebuah kajian yang berkaitan denan kehidupan manusia sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat serta dapat dijadikan sebagai referensi untuk menambah ilmu mengenai kualitas jasa,

Lebih dari 20% cell dengan nilai harapan > 5, kita tidak bisa menggunakan Chi Square test.

Penerapan Strategi Indoor-Outdoor Study melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Investigasi Kelompok dalam Mata Kuliah Hidrologi pada Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu

Hasil uji statistik pola asuh otoriter didapatkan nila P-value 0,014 < α = 0,05, pola asuh demokratis didapatkan nila P-value 0,005 < α = 0,05 dan pola asuh permisif

Ekstraksi fitur adalah proses penggalian informasi atau ciri penting dari suatu gambar yang dapat dibedakan dari suatu objek atau kelompok objek sehingga dasar informasi ini

Alternatif teknologi pengelolaan limbah padat B3 yang dapat direkomendasikan anatara lain dengan pengadaaan bahan yang sesuai kebutuhan; melaksanakan house keeping yang lebih

Tgl SHUBUH SYURUQ DLUCHA DHUHUR ASHAR MAGHRIB ISYA’ Nisf... Tgl SHUBUH SYURUQ DLUCHA DHUHUR ASHAR MAGHRIB

1) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam Machine-to- Machine. 2) Hasil dari penelitian ini