Analisis tentang pembatalan hibah yang sudah diberikan menurut KUHPerdata (studi putusan Pengadilan Negeri Jember nomor:
112/Pdt.G/2014/pn/Jmr)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH : FADLAN ALFIAN
NIM : 150200236
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Fadlan Alfian
NIM : 150200236
Departemen : Hukum Keperdataan
Judul Skripsi : Analisis tentang pembatalan hibah yang sudah diberikan menurut KUHPerdata (studi putusan Pengadilan Negeri Jember nomor: 112/Pdt.G/2014/pn/Jmr)
Dengan ini menyatakan:
1. Skripsi yang saya tulis ini tersebut adalah benar tidak merupakan jiplakan skripsi atau karya ilmiah orang lain
2. Apabila terbukti di kemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Medan, 14 Januari 2020
Fadlan Alfian NIM. 150200236
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia- Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam disampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW .
Menjadi suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu menyusun suatu skripsi yang berjudul “Analisis tentang pembatalan hibah yang sudah diberikan menurut KUHPerdata (studi putusan Pengadilan Negeri Jember nomor: 112/Pdt.G/2014/PN/Jmr)”
Dalam proses penulisan skripsi ini, telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Saidin,S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Puspa Melati,S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH.M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Syamsul Rizal, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
7. Bapak Prof, Dr.Tan Kamelo S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing I yang telah sabar dan ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk menyusun skripsi ini.
8. Bapak Mohammad Siddik S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah berbesar hati meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
9. Kedua Orang Tua, Ayahanda tercinta Ilar Rusdi, Ibunda tersayang Ratnawati Siregar dan juga kedua abang saya , kakak saya dan adek saya yang telah memberikan doa dan dukungan dan bimbingan selama proses menyusun skripsi ini.
10. Sahabat terbaik penulis, Dimpu Hamonangan Harahap, Rizki Dwi Prakoso, Martua Raja Harahap, Hisamsyah Lubis, Alwi Ikhsan Nababan, Reza Wahyudi, Riyan Ramadhan, Andry Darmawan, Zaky, Bayu Angga Anasta, Radinal Mukhtar Rangkuti, Muhammad Andry Harahap, Amalia Harahap, Elda Harahap, Nurlina, Halimah yang selalu mensupport dan membantu dalam hal menyelesaikan skripsi ini.
11. Terimakasih kepada keluarga Besar Imakopasid USU-POLMED (Ikatan Mahasiswa Kota Padangdisimpuan Universitas Sumatera Utara dan Politehknik Negeri Medan) dan terutama kepada demisioner imakopasid USU-POLMRD angkatan 2015 periode 2017/2018 yang telah mendoakan dan mensupport penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal atas kasih, jerih payah, dan jasa-jasa mereka, penulis mohon maaf kepada Bapak Dosen
Pembimbing, dan Dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan ilmu hukum..
Medan, 14 Januari 2020 Penulis
Fadlan Alfian NIM. 150200236
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... i
KATA PENGANTAR ... ... ii
DAFTAR ISI ... v
ABSTARAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 5
C. Tujuan Penulis ... 6
D. Manfaat Penulis ... 6
E. Metode Penelitian... 7
F. Keaslian Penulisan ... 9
G. Sistematika Penulisan... .11
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN HIBAH MENURUT KUHPERDATA A. Tentang Perjanjian ... 13
1. Pengertian Perjanjian ... 13
2. Syarat-syarat Perjanjian ... 14
3. Asas-asas Perjanjian ... 17
4. Pembatalan dan Batal Demi Hukum ... 19
B. Tentang Perjanjian Hibah ... 23
1. Pengertian Hibah ... 23
2. Syarat-syarat Hibah ... 25
3. Pengaturan Hibah ... 27
BAB III PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PEMBATALAN HIBAH A. Struktur Putusan Pengadilan ... 30 B. Elemen Putusan Pengadilan ... 45 C. Penolakan Hibah oleh Pengadilan ... 52
BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN PEMBATALAN HIBAH
YANG SUDAH DIBERIKAN (PUTUSAN PN JEMBER NOMOR:
112/
Pdt.G/2014/PN/JMR)
A. Kasus Posisi ... 53 B. Analisis Hukum terhadap Pembatalan Hibah yang sudah diberikan
menurut KUHPerdata ... 63 BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ABSTRAK Fadlan Alfian1
Tan Kamelo2 Mohammad Siddik3
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial yang tidak terlepas dari nilai- nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga sebagai bagian dari masyarakat dapat memberikan sesuatu ajaran yang baik dalam hidup bermasyarakat. Salah satu yang sering timbul adalah mengenai peralihan harta yang biasanya dalam bentuk hibah. Hibah sebagai salah satu bentuk perbuatan kebaikan seperti pemberin untuk membantu yang kekurangan. Dalam prakteknya, banyak hibah yang diberikan kemudian dibatalkan oleh pemberi hibah dengan berbagai alasan, misalnya si penerima hibah berkelakuan buruk. Hal itu diketahui setelah hibah itu diberikan. Padahal orang itu sebelumnya menampakkan kelakuan baik namun kemudian berubah seiring perubahan waktu. Dalam hal pemberian hibah haruslah diperhatikan dengan baik dan teliti tata cara memberikannya, karena ditakutkan ketika si pemberi ingin membatalkan hibahnya tetapi tidak dapat diterima karena tidak telitinya si pemberi dalam memberian hibahnya pada saat itu. Seperti kasus putusan pengadilan nomor: 112/Pdt.G/2014/PN/Jmr yang gugatannya megenai pembatalan hibah.
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai suatu sistim norma dengan metode deskriptif analitis. Jenis sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan primer, sekunder dan tersier dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Kepustakaan (Library Researcht). Analisa data ialah kualitatif.
Hasil penelitian diketahui bahwa dalam pembatalan hibah putusan pengadilan nomor: 112/Pdt.G/2014/PN/Jmr, tidak diterima karena sipenerima tidak termasuk 1 dalam 3 hal yang dapat membatalkan hibah tersebut seperti pada pasal 1688 KUHPerdata. Gugatan tidak beralasan hukum dan tidak memenuhi syarat-syarat dalam pembatalan hibah. Jadi, apabila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya maka, akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Tidak telitinya PPAT dan sipemberi terhadap pembuatan akta hibah menyebabkan sipemberi tidak dapat menarik kembali hibah yang telah diberikannya kepada sipenerima hibah karena syarat-syarat penghibahan tersebut tidak dicantumkan di akta hibah nomor: 467/1996 tertanggl 13 mei 1996.
Kata Kunci: Perjanjian, Hibah, Pembatalan Hibah
1Mahasiswa Depertemen Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar Belakang
Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana pemberi tersebut masih dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada hubungannya dengan kewarisa.Hal ini ditegaskan dalam hukum positif di Indonesia seperti; Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata.Selain itu adanya posibilitas pembatalan hibah yang telah diberikan oleh seorang pemberi hibah kepada yang menerima hibah sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata.
Menurut Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1666 menyatakan bahwa, hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya dengan Cuma Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.4 Penghibahan termasuk perjanjian “dengan Cuma-Cuma‟ (om niet) dimana perkatan “dengan Cuma-Cuma” itu ditujukan pada hanya adanya
prestasi dari satu pihak saja,sedangkan pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai imbalan. Perjanjian yang demikian juga dinamakan
„sepihak‟ (“unilateral”) sebagai lawan dari perjanjian „bertimbal balik‟
(“bilateral”).
4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1666
Hibah merupakan sebuah pemberian seseorang kepada pihak lain yang biasanya dilakukan ketika pemberi maupun penerima masih hidup.5 Di dalam hibah tidak terdapat unsur kontraprestasi, pemberi hibah menyerahkan hak miliknya atas sebagian atau seluruh harta kekayaannya kepada pihak lain tanpa ada imbalan apa-apa dari penerima hibah.
Selama waktu hidup adalah untuk membedakan si penghibah itu dari pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testamentsurat wasiat, yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah si pemberi meninggal dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat diubah dan ditarik kembali olehnya. Pemberian dalam testamentitu dalam BW dinamakan “legaat” (hibah wasiat) yang diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan ini adalah suatu perjanjian. Karena penghibah menurut BW itu adalah suatu perjanjian, maka sudah dengn sendirinya ia tidak dapat ditarik kembali secra sepihak oleh sipemberi hibah.
Dalam hukum adat, yang dimaksud dengan hibah adalah harta kekayaan seorang yang dibagi-bagikan kepada anak-anak mereka mulai mampu berdiri sendiri atau ketika anak-anak mulai mampu menikah dan membentuk keluarga sendiri.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf g dikatakan hibah adalah pemberian sesuatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pasal 210 Kompilasi Hukum Islam ayat 1 menyatakan bahwa orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21, berakal sehat tanpa ada paksaan dapat menghibahkan 1/3 harta bendanya
5 Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung: Bandar Maju, 1995), hlm. 73
kepada orang lainatau lembaga dihadapkan dengan dua saksi. Ayat 2 menyatakan bahwa harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.
Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.Sehubungan fungsi hibah sebagai fungsi social yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa memandang ras, agama, dan golongan, maka hibah dapat dijadikan sebagai solusi untuk memecahkan masalah hukum waris dewasa.
Pasal 212 Kompilasi Hukum Islam menyatakan hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya
Menurut R. Subekti, hibah atau diartikan sebagai pemberian Schenking ialah perjanjian obligatoir, dimana pihak yang satu menyanggupi dengan Cuma- Cuma om niet dengan secara mutlak onnerroepelijk memberikan suatu benda dan pihak yang lainnya nyaitu pihak yang menrima pemberian itu. Sebagai suatu perjanjian, pemberian itu seketika mengikat dan tidak dapat ia tarik kembali begitu saja menurut kehendak suatu pihak.6
Kasus pembatalan hibah merupakan kasus yang terjadi di masyarakat disebabkan oleh pihak penerima hibah tidak memenuhi peryaratan dalam menjalankan hibah yang telah diberikan.
Dalam melaksanakan hibah harus berdasarkan hukum yang berlaku dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Adapun peraturan tentang hibah yaitu:
1. Undang-Undang Dasar 1945Pasal 33 Amandemen ke IV
6R.Subekti,”Aneka perjanjain”, (Citra Aditya Bakti: Bandung 1999), hlm. 95
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga Bab X Tentang Penghibahan
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria Pasal 26
4. Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 ayat (1)
5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991Tentang komponen Hukum Islam
Penarikan suatu hibah dimungkinkan apabila terdapat persetujuan antara kedua belah pihak karena hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alsan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk kemungkinan itu.
Pasal 1688 suatu pengibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. Jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah 2. Jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut
melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah
3. Jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya7
7 Pasal 1688 KUHPerdata
Peralihan hak atas tanah karena hibah tidak serta-merta terjadi pada saat tanah diserahkan oleh pemberi hibah kepada penerima hibah. Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dinyatakan bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)yang berwenang menurut peraturan Perundang-Undangan yang berlaku
Dari uraian diatas maka penulis bermaksud untuk membahas permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul “ANALISIS TENTANG PEMBATALAN HIBAH YANG SUDAH DIBERIKAN MENURUT KUHPERDATA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JEMBER NOMOR:112/Pdt.G/2014/PN/Jmr)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang perjanjian hibah menurut KUHPerdata?
2. Bagaimana putusan pengadilan terhadap pembatalan hibah ?
3. Bagaimana analisis yuridis dalam putusan Pengadilan Negeri Jember nomor: 112/Pdt.G/2014/PN/Jmr?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belang masalah diatas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang perjanjian hibah menurut KUHPerdata
2. Untuk mengetahui putusan pengadilan terhadappembatalan hibah
3. Untuk mengetahui analisis yuridis dalam putusan Pengadilan Negeri Jember nomor:112/Pdt.G/2014/PN/Jmr.
D. Manfaat penulisan 1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi perkembangan ilmu hukum, serta memberi pengetahuan bagi para pemberi hibah (penghibah) dalam menghibahkan harta bendanya.
2. manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada penghibah dalam melakukan prose hibahnya sesuai dengan tata cara aturan yang ada.
b. Menambah pengetahuan bagi para mahasiswa di Jurusan Hukum dan Jurusan lain pada umumnya.
c. Menambah pemahaman bagi masyarakat luas yang minim terhadap pengetahuan hukum
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah tata cara bagaimana melakukan penelitian. Suatu pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu atau suatu cara untuk memecahkan masalah ataupun cara
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah.8 Berikut merupakan metode penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi ini:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan studi kasus didalam putusan Nomor 112/Pdt.G/2014/PN/Jmr. Penelitian hukum normatif bias juga disebut sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian ini, sering kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan law in book atau hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku masyarakat terhadap apayang dianggap pantas. Law in book adalah hukum yang seharusnya berjalan sesuai harapan.9
2. Sumber Data
a. Bahan hukum primer
Menurut Cohen dan Olson ialah atau semua aturan tertulis yang ditegakkan oleh Negara, semua itubisa ditemukan dalam putusan pengadilan yang telah berkekuasan hukum tetap, undang-undang yang ditetapkan parlemen, keputusan dan peraturan eksekutif, dan putusan hukum agen-agen administrasi.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder dapat digolongkan atas bahan hukum sekunder dalam arti sempit dan bahan hukum dalam arti luas. Dalam arti sempit pada umumnya berupa buku buku hukum yang berisi ajaran atau
8 Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum (Depok: Kencana 2016), hlm. 2
9Ibid, hlm. 124
doktrin atau trealites;terbitan berkala berupa artikel-artikel tentang ulasan hukum atau law review,dan narasi tentang arti istilah, konsep, phrase, berupa kamus hukum atau ensiklopedia hukum. Dalam arti
luas adalah bahan hukum yang tidak tergolong bahan hukum primer atau “any written work that is not primary authority” termasuk segala karya ilmiah hukum yang tidak diplubikasikan atau yang dimuat di koran atau majalah popular.10
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier diartikan sebagai bahan hukum diluar primer dan sekunder yang dapat digunakan sebagai penunjang penelitian atau dapat dikatakan sebagai bahan nonhukum, “bahan-bahan non hukum dapat berupa buku-buku, jurnal, laporan hasil penelitan mengenai ilmu ekonomi, ilmu politik, dan disiplin ilmu lainnya sepanjang mempunyai relevansi dengan objek permasalahan yang akan diteliti.11
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka library research di perpustakaan untuk pengumpulan bahan-bahan hukum tertulis yang
relevan dengan permasalahan, khususnya bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan doktrin-doktrin hukum tentang perjanjian, hibah, KUHPerdata, undang- undang.
Cara memperoleh bahan hukum primer, sekunder, tersier, diperoleh melalui membaca refrensi, melihat, dan mendownload refrensi melalui internet.
10 I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:Kencana 2016), hlm.
142-145
11 Zainuddin ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: sinar grafika 2016), hlm. 27
Semua yang diperoleh akan dipilih-pilih guna memperoleh data yang relevan, akurat, dan aktual dengan permasalahan ini.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu didasarkan pada relevansi data, keakuratan data, dan kekuatan data terhadap permasalahan, bukan berdasarkan banyaknya data (kuantitatif).12 Permasalahan dianalisis dan sekaligus diungkapkan argumentasi-arguentasi hukum secara logika deduktif .
Argumentasi-argumentasi berdasarkan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan- ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti dan hasil dari akhir dari analisis ini berupaya menarik kesimpulan dengan logika deduktif.Diharapkan dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang bersifat umum terhadap permasalahan dan tujuan.
F.keaslian penulisan
sebelumnya telah dilakukan penelusuran terhadap karya-karya ilmiah milik orang lain di perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) maupun Universitas dan institusi pendidikan tinggi lainnya baik secara manual maupun dengan internet, bertujuan agar terhindar dari perbuatan menduplikasikan (plagiat) milik orang lain. Berdasarkan hasil dari penelusuran ditemukan judul dan permasalahan sebagai berikut:
1. Pembatalan hibah wasiat karena melanggar legitime portie (Studi putusan pengadilan negeri Jakarta Pusat No. 433/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst). Oleh Himpun Margaretta Silaban, fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.
12 Jhonny Ibrahim, Teori dan MeteologiPenelitian Hukum normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2008), hlm, 323.
Fokus penelitian dalam skripsi ini adalah pembatalan hibah wasiat karena melanggar legitime portie.
2. Tinjauan hukum penyelesaian perkara pembatalan akta hibah (studi kasus di Pengadilan Negeri Surakarta). Oleh musyarofah irmawati shofiah fakultas hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dalam penelitian ini yang menjadi kajian ialah pertimbangan hakim dalam pembatalan akta hibah.
3. Penyelesaian sengketa hibah di Pengadilan Agama Makasar (studi kasus putusan nomor.1497/Pdt.G/2012/PA.Mks). oleh Maulana Yusuf Seknun Fakultas Hukum Hasanuddin Makasar. Dalam penelitian ini yang menjadi kajian ialah penyelesaian sengketa hibah
Berdasarkan penelitian yang diteukan di atas tidak satupun memiliki kemiripan judul maupun permasalahan didalam penelitian ini.Judul penelitian ini adalah “Analisis tentang pembatalan hibah yang sudah diberikan menurut KUHPerdata.Oleh karena terdapat perbedaan judul maupun permasalahan dari penelitian prnrlitian terdahulu dan tidak mengandung kesamaan dengan judul dan permasalahan dengan fokus kajian ini, maka penelitian ini adalah asli bukan plagiat. Kemudian diperkuat dengan hasil uji bersih perpustakaan fakultas hukum Universitas Sumatera Utara dengan pernyataan tidak ada judul yang sama pada arsip perpustakaan Universitas cabang fakultas hukum usu/pusat dokumentsi dan informasi hukum fakultas hukum usu.
G. Sistematika Penelitian
Dalam skripsi Analisis tentang pembatalan hibah yang sudah diberikan menurut KUHPerdata. Penulis membagi skripsi ini kedalam beberapa bab agar
mempermudah pemahaman dan kerapian penulisannya. Setiap bab skripsi ini berkaitan satu dengan yang lain berikut merupakan sistematika penulisan dari skripsi ini.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan ini akan membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG
PERJANJIAN HIBAH MENURUT KUHPERDATA
Pada bagian Pengaturan Hukum tentang Perjanjian Hibah menurut KUHPerdata ini akan memaparkan tentang perjanjian, yang meliputi pengertian perjanjian, syarat-syarat perjanjian, asas-asas perjanjian, pembatalan dan batal demi hukum.
Kemudian tentang perjanjian hibah meliputi pengertian hibah, syarat-syarat hibah, pengaturan hibah
BAB III PUTUSAN PENGADILANTERHADAP
PEMBATALAN HIBAH
Pada bagian Putusan Pengadilanakan membahas tentang struktur putusan pengadilan, elemen putusan pengadilan dan penolakan hibah oleh pengadilan BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN
PEMBATALAN HIBAH YANG SUDAH DIBERIKAN (PUTUSAN PN JEMBER NOMOR:112/Pdt.G/2014/PN/JMR)
Pada bagian ini penulis akan memaparkan tentang kasus posisi serta analisis hukum terhadap hibah yang sudah diberikan menurut KUHPerdata
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok keseluruhan isi.Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih berdaya guna.
BAB II
PENGATURAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN HIBAH MENURUT KUHPERDATA
A. Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Menurut Pasal 1313 KUHPerdata perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari perstiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut perikatan yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban masing-masig pihak.
Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang di lakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki akibat hukum atas hak dan kewajiban bagi para pembuatnya. Dalam suatu perjanjian meliputi kegiatan (prestasi):
a. Menyerahkan sesuatu, misalnya melakukan pembayaran uang;
b. Melakukan sesuatu, misalnya melakukan suatu pekerjaan; dan
c. Tidak melakukan sesuatu, misalnya hari minggu adalah hari libur maka pekerja boleh tidak bekerja13
Konsep hukum perjanjian berada dalam bidang hukum perdata. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
13 Biro Sindikat Bersaudara, Syarat Sahnya Perjanjian, http://www.Sindikat.co.id/blog/syarat- sahnya-perjanjian, Jakarta 2017
Perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji- janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.Dengan kemudian perjanjian memiliki hubungan dengan perikatan karena perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya smber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak, lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.14
2. Syarat-syarat Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjnjian diperlukan empat syarat yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikat dirinya b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Dua syarat pertama, dinamakan syarat subyektif, karena mengenai orang- orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian.Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.Apa yang dikehendaki oleh pihak satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik.
14 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa 2002), hlm. 1-2
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat satu perjanjian:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang diterapkan oleh Undang-undang, dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung-jawab yang dipikulnya dengan perbuatanya itu. Sedangkan dan sudut ketertiban hukum, Karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.
Seorang anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh dibawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau kuratornya.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 KUHPerdata). Ketidak cakapan seorang perempua yang bersuami ini ada hubungannya dengan sistim yang dianut dalam Hukum Perdata Barat (Negeri belanda) yang menyerahkan kepemimpinan dalam
keluarga kepada sang suami. Kekuasan suami sebagai kepemimpinan dalam keluarga, dinamakan maritale macht.
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada ditangannya si berutang pda waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Akhirnya oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatas, diterapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal.Dengan sebab (bahasa Belanda oorzaak, bahasa Latin causa) ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian. Dengan segera harus
dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah suatu yang menyebabkan seorang membuat perjanjian yang dimaksud.Jadi, yang dimaksudkan dengan causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian adalah isi prjanjian itu sendiri.Dalam suatu perjanjian jual beli isinya adalah pihak yang satu menghendaki uang. Dalam perjanjian sewa-menyewa: satu pihak mengingini kenikmatan suatu barang, pihak yang lain mengehendaki uang.
Ketika syarat subyektif tidak terpenuhi maka perjanjian bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.Sedangkan jika syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu
batal demi hukum.Artinya tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan perikatan.15
3. Asas-Asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yaitu:
a. Asas kebebasan kontrak
Dalam pasasl 1338 ayat 1 BW menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan kontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan danpersyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.Asas kebebasan kontrak merupakan sifat atau ciri khas dari buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkan, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
b. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1 BW.Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak.Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligator
15Ibid, hlm. 17-20
yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.
c. Asas pacta sunt servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian.Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
d. Asas iktikad baik (geode trouw)
Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasasl 1338 ayat 3 BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur dan Debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedangkan iktikad baik mutlak adalah penilainnya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan ( penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada pasal 1315 dan pasal 1340 BW
Pasal 1315 menegaskan “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.”
Pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatya.
Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam pasal 1317 BW mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam pasal 1318 BW untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.16 4. Pembatalan dan Batal Demi Hukum
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyektif sebagaiman sudah kita lihat, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalan (canceling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tu atau walinya, ataupun ia sendiri apabia ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perizananya atau menyetujui perjanjian itu secar tidak bebas.
Sebab apa diadakan perbedaan antara perjanjian-perjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan?
16 Damang Averroes Al-khawarizmi , asas-asas perjanjian,
http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html, (25 december 2011)
Tentang perjanjan yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu, dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak.Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim.Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan.Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim.Dari sudut keamanan dan ketertiban, jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus dicegah.
Tentang perjanjian yang kekurangan syaray-syarat subyektifnya yang menyangkut kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini perlindungan hukum terhadap dirinya, misalnya, seorang yang oleh undang- undang dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikultanggup jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah memberi persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim, jadi harus dihanjurkan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabia diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas, yaitu: paksan, kekhilafan dan penipuan, yang dimaksudkan dengan paksaan, adalah paksaanrohani atau paksaan jiwa psychis, jadi bukan paksaan badan (fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut- takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjia. Jadi kalau orang dipegang tangannya
dan tangan itu dipaksa menuis tanda tangan dibawah sepecuk surat perjanjian, itu bukanlah paksaan dalam arti yang dibicarakan disini, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak memberikan persetujuannya, sedangkan yang dipersoalkan di sini adalah orang yang memberikan persetujuannya (perizinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya seorang yang memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman, misalnya akan dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan itu harus suatu perbuatan yang terlarang. Kalau yang diacamkan itu suatu tindakan yang memnag diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan digugat didepan hakim, maka tidak dapat dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga.Lain halnya dengan penipuan, yang hanya dapat dilakukan oleh pihak lawan.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu ataun tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya.Pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya.Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya.Menurut yurispudensi, tak cukuplah kalau orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat, seperti yang dilakukan oleh si penjual mobil diatas.
Dengan demikian, maka ketidakcakapan seorang dan ketidakbebasan dalam memberikan perizinan pada suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya.Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu.
Hak meminta pembatalan hanya ada pada suatu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu. Meminta pembatalan itu oleh Pasal 1454 Kitab Unsang-Undang Hukum Perdata dibatasi sampai suatu batas tertentu, yaitu 5 tahun.Waktu mulai berlaku (dalam hal ketidakcakapan suatu pihak) sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum.Dalam hal kekhilafan atau penipuan, sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu dapat dikemukakan.
Terhadap asas konsensualisme yang dikandung oleh Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana sudah kita lihat, ada kekecualianya, yaitu di sana sini oleh undang-undang ditetapkan suatu formalitas untuk bebrapa macam perjanjian. Misalnya untuk perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian pwerdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perdamaian harus dibuat secara tertulis dan sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas atau bentuk cara tertentu sebagaimana itu tidak kita lihat memenuhi formalitas yang ditetapkan oleh undang-undang, maka ia batal demi hukum.17
17Opcit, hlm. 22-25
B. Tentang Perjanjian Hibah 1. Pengertiaan Hibah
Menurut Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1666 menyatakan bahwa, hibah adalah suatu persetujuan dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya dengan Cuma Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.18
Hibah atau pemberian dalam hal ini sebenarnya termasuk dalam pengertian hukum, karena mempunyai ketentuan-ketentuan hukum sendiri. Pada umumnya proses beri memberi itu terjadi secara terpisah, yaitu tidak terjadi pada saat yang bersaman melainkan ada tanggung waktu tertentu sesuai dengan suasana saat itu, jadi sifat dari pemberian itu adalah umum, karena baik peberi maupun penerima tidak perlu memenuhi kewajiban tertentu kecuali ada kerelaan para pihak dan tidak melihat status individunya. Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi hibah masih hidup. Ini berbeda dengan wasiat, yang mana wasiatnya diberikan sesudah si pewasiat meninggal dunia.19
18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1666
19 Chairunman Pasaribu dan Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarata: Sinar Grafika Cetakan Kedua), hlm. 113
Berdasarkan di atas, dapat diketahui unsur-unsur hibah sebagai berikut:
a. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan dengan Cuma- Cuma. Artinya, tidak ada kontra prestasi dari pihak penerima hibah.
b. Dalam hibah selalu disyaratkan bahwa penghibah mempunyai maksud untuk menguntungkan pihak yang diberi hibah.
c. Objek perjanjian hibah adalah segala macam harta benda milik penghibah, baik berwujud maupun tidak berwujud, benda tetap maupun benda bergerak, termasuk juga segala macam piutang hibah.
d. Hibah tidak dapat ditarik kembali.
e. Penghibahan harus dilakukan pada waktu penghibah masih hidup.
f. Hibah harus dilakukan dengan akta notaris
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdara Pasal 1667 hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada kemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya dianggap batal.20
Tanah sebelum lahirnya Peratura Pemerintah (Peraturan Pemerintah No.
24 tahun 1997), bagi mereka yang tundu kepada Kitab Undang-undang Hukum Perdata harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris, hibah tanah yang tidak dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan hukum, mereka yang tunduk pada hukum adat dapat membuatnya dibawah tangan, tetapi proses di Kantor Pertahanan harus dibuat dengan akta PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah).21
Hibah tanah setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, harus dilakukan dengan akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), selain itu,
20 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1667
21Effendi Parangin, Mencegah Sengketa Tanah, (Jakarta: Rajawali Catatan Kedua 1990), hlm.46
dalam pembuatan akta hibah perlu diperhatikan objek yang akan dihibahkan, karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ditentukan bahwa untuk objek hibah tanah harus dibuat akta hibah oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah tetapi apabila objek tersebut selain dari tanah (objek hibah benda bergerak) maka ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata digunakan sebagai dasar pembuatan akta hibah, yaitu dibuat dan ditandatangani oleh Notaris. Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta otentik itu sendiri yakni sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1688 mengatakan suatu hibah tidak dapat tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya, melainkan dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Karena tidak terpenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan
b. Jika sipenerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah,
setelahnya orang ini jatuh dalam kemiskinan22 2. Syarat-Syarat Hibah
a. Dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 1687 BW) untuk barang yang bergerak, dan juga dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (Pasal 37 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997) untuk tanah dan juga bangunan.
b. Merupakan pemberian yang secara Cuma-Cuma atau gratis atau tanpa bayaran. Oleh karena itu, diberikan secara gratis penerimaan hibah
22 R Subekti, R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1688
tidak menerima tambahan keuntungan. Dalam UUP ditetapkan bahwa bebas dari PPh hanyalah untuk hibah dari orang tua ke anak dan dari anak ke orang tua. Jadi, kalau pemberian hibah dilakukan dengan cara antara saudara kandung, yang juga tetap dikenakan PPh misalnya jual beli biasa.
c. Diberikan saat pemberi hibah masih hidup. Pemberi hibah kemudian harus beritindak secara aktif dalam menyerahkan kepemilikannya terhadap suatu barang. Jika si pemberi hibah tersebut sudah meninggal dunia maka hibahnya menjadi hibah wasiat.
d. Pemberi hibah adalah orang yang pintar dalam bertindak berdasarkan hukum atau cakap , jadi tidak berada dibawah umur
e. Barang yang dapat dihibahkan adalah barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak.
f. Pemberian barang ialah pemberian barang yang telah ada, apabila barang yang dihibahkan barang yang belum ada maka hibah bisa batal dikemudian hari
Syarat dan tata cara hibah berdasarkan KUHPerdata sebagai berikut:
a. Pemberi hibah harus sudah dewasa, yakni cakap menurut hukum, kecuali dalam hak yang ditetapkan dalam bab ke tujuh dari buku ke satu KUHPerdata (Pasal 1667 KUHPerdata)
b. Suatu hibah harus dilakukan dengan suatu akta Notaris yang aslinya disimpan oleh Notaris (Pasal 1682 KUHPerdata)
a. Suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan suatu akibat mulai dari penghibah dengan kata-kata yang tegas yang diterima oleh sipenerima hibah (Pasal 1683 KUHPerdata)
b. Penghibahan kepada orang yang belum dewasa yang berada dibawah kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua (Pasal 1685 KUHPerdata)
Syarat-sayarat bagi penghibah ialah barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain. Penghibah bukan orang yang dibatasin haknya disebabkan oleh sesuatu alasan, penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal), penghibah tidak dipaksa untuk memberikan hibah.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak menyebutkan secara tegas mengenai syarat-syarat hibah. Tapi dapat disimpulkan dan dilihat bahwa syarat- syarat hibah itu diantaranya adanya perjanjian, penghibah , penerima, barang hibah dan akta dari PPAT. Dimana ketika ingin melakukan hibah maka syarat- syarat diatas harus dipenuhi untuk menjadikan hibah tersebut sah demi hukum dan dapat dipertanggung jawabkan nantinya.
3. Pengaturan Hibah
Hibah adalah salah satu peralihan milik yang telah di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pengertian hibah sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyeraahkan suatu barang secara Cuma-Cuma, tanpa dapat menariknya kembali, umtuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.
Kitab Undang-Undang Hukum perdata Bab X tentang penghibahan ini berisikan tentang pengertian dan ketentuan umum tentang hibah, kemampuan untuk memberikan dan menerima hibah, cara menghibahkan sesuatu, serta pencabutan dan pembatalan hibah. Untuk pelaksanaan hibah itu sendiri di dukung dengan adanya undang-undang no. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria Pasal 26 ayat 1dan 2 yang berbunyi:23
1. Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian hibah wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Perturan Pemerintah
2. Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dangan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonseianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal
Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 Tentang Pendaftarn tanah Pasal 37 ayat 1 berbunyi: “ peralihan ha katas tanah dan hak milik atas satuan rumah melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui leleng hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yng berwenang menurut ketentuan peraturan perundang undangan.”24
Hibah dalam KUHPerdata terdiri dari 4 bagian dari pasal 1666-1693.
Bagian-bagian tersebut yaitu:
23 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Pasal 26
24 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1960 Pasal 37
a. Pada bagian pertama memuat ketentuan-ketentuan umum yang terdiri dari pengertian hibah, hibah oleh orang hidup, barang yang dihibahkan, syahnya hibah dan syarat-syarat hibah
b. Pada bagian kedua memuat tentang kemampuan untuk memberikan dan menerima hibah yang berisi tentang orang-orang yang berhak memberikan dan menerima hibah dan hibah antarab suami istri
c. Pada bagian ketiga memuat cara menghibahkan sesuatu yang berisi tentang pembuatan akta hibah pada notaris, hibah kepada wanita, dan kepada anak-anak dibawah umur
d. Bagian keempat memuat tentang pencabutan dan pembatalan hibah yang berisi tentang syarat-syarat pencabutan dan batal demi hukum.
BAB III
PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PEMBATALAN HIBAH
A Struktur putusan pengadilan
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.25
Putusan hakim atau yang lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan adalah merupakan sesuatu yang sangat diinginkan oleh para pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa yang dihadapi, dengan putusan hakim akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.26 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, suatu putusan hakim merupakan suatu pernyataan yang dibuat secara tertulis oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu yang diucapkan imuka persidangan sesuai dengan perundangan yang ada yang menjadi hukum bagi para pihak yang mengandung perintah kepada suatu pihak supaya melakukan suatu perbuatan atau supaya jangan melakukan suatu perbuatan yang harus ditaati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majeles hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan
25 Sudikno mortokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (jogyakarta: Liberty, 1993), hal. 174
26 Taufik makarao, pokok pokok hukum acara perdata, (Jakarta: rineka cipta 2002), hal. 124
31
dianggap selesai apabila telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai dari Pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugar berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.
Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkn atau mengucapkan putusan. Mendahului pengucapan putusan itulah tahap musyawarah bagi Majelis untuk menentukan putusan apa yang hendak dijatuhkan kepada pihak yang berperkara. Perlu putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat pertama.Untuk dapat membuat putusan pengdilan yang benar-benar menciptakan kepastian dan mencerminkan keadilan bagi para pihak yang berperkara, hakim harus mengetahi duduk perkara yang sebenarnya.
Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”. Orang yang mengajukan tuntuntan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum, maka oleh karena itu ia mengajukan tuntutan hak ke pengadilan,kiranya sudah selayaknya apabila disyaratkan adanya kepentingan untuk mengajukan tuntutan hak. Seseorang yang tidak menderita kerugian mengajukan tuntutan hak, tidak mempunyai kepentingan. Sudh wajar kalau tuntutannya itu tidk diterima oleh pengadilan, akan tetapi tidak setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak.
Tuntutan hak yang didalam Pasal 118 ayat 1 HIR (Pasal 142 ayat 1 Rbg) disebut sebagai tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tidak lain adalah tuntutan
32
hak yang mengandung sengketa dan lazimnya disebut gugatan. Gugatan dapat diajukan baik secara tertulis (Pasal 118 Ayat 1 HIR, 142 Ayat 1 Rbg) maupun secara lisan (Pasal 120 HIR, Pasal 144 Ayat Rbg).
SEMA no. 3 Tahun 2000 itu pada dasarnya Mahkamah Agung melarang Ketua Pengadialan Negeri, Ketua Pengadialan Agama dan para Hakim Pengadilan Negeri dan Hakim Pengadilan Agama menjatuhkan putusan serta merta, kecuali dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Gugatan didasarkan pada bukti surat otentik atau surat tulisan tangan yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut undang-undang tidak mempunyai kekuatan bukti
b. Gugatan tentang hutang-piutang yang jumlahya sudah pasti dan tidak dibantah
c. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, dimana hubungan sewa-menyewa sudah habis/lampau, atau penyewa terbukti melalaikan kewajiban sebagai penyewa yang beritikad baik d. Pokok gugatan mengenai tuntutn pembagaian harga perkawinan (gono-
gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap
e. Dikabulkan gugatan provisional, dengan pertimbangan hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332Rv
f. Gugatan didasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan mempunyai hubungan tetap pokok gugatan yang di ajukan g. Pokok sengketa mengenai hak penguasaan
33
Petitum atau tuntutan ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Jadi petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amar putusan, maka oleh karena itu penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas (een duidelijke en bepaalde conclusive): Pasal 94 Rv menentukan bahwa apabila Pasal 8 Rv tidak diikuti,
maka gugatan batal, bukan tidak dapat diterima.
1. Pihak-pihak dalam Perkara
Di dalam suatu sengekta perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak penggugat (eiser, plaintif) yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugatan (gedaagde, defendant).Biasanya orang langsung berkaitan sendirilh yang aktif bertindak sebagai pihak dimuka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.Mereka ini merupakan pihak materil, karena mereka mempunyai kepentingan langsung di dalam perkara yang bersangkutan, tetapi sekaligus juga merupakan pihak formil, karena merekalah yang beracara di muka pengadilan.Mereka bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri.27
Akan tetapi seseorang dapat pula bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka pengadilan tanpa mempunya kepentinga secara langsung dalam perkara yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu bertindak sebagai sebagai pihak di muka pengadilan atas namanya sendiri, tetapi untuk kepentingan orang lain yang diwakilinya, karena yang terakhir inilah yang mempunyai kepentingan secara langsung (Pasal 383, 446, 452, 403- 405 BW). Nama mereka harus dimuat dalam gugatan dan disebut pula dalam putusan, di sampingnya
27 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonseia, (jogyakarta: liberty 2006), hal. 68
34
nama-nama yang mereka wakili.Mereka ini merupakan pihak formil, sedangkan yang diwakilinya adalah pihak materil.
Yang dianggap tidak mampu sebagai pihak atau tidak mempunya kemampuan ialah mereka yang belum cukup umur kedewasaan.Batas umur itu berkisaran antara 15 samapai 21 tahun.Menurut BW batas umur dewasa ialah 21 tahun (Pasal 330).
2. Pemeriksaan di Persidangan
Setelah penggugat memasukkan gugatannya dalam daftar pada kepanitraan Pengadilan Negeri dan melunasi biaya perkara, ia tinggal menunggu pemberitahuan hari siding. Gugatan itu tidak akan didaftar apabila biaya prkara belum dibayar (Pasal 121 Ayat 4 HIR, 145 Ayat 4 Rbg)
Kemudian setelah gugatan didaftar dan dibagikan dengan surat penetapan penunjukan oleh Ketua Pengadilan Negeri kepada hakim yang akan memeriksanya, maka hakim yang bersangkutan dengan surat penetapan menentukan hari siding perkara tersebut dan dan sekaligus menyeruh memanggil kedua belah pihak agar menghadap di Pengadilan Negeri pada hari siding yang telah ditetapkan dengan membawa saksi-saksi serta bukti-bukti yang diperlukan
Seseorang yang mengajukan gugatan bermaksud menuntut haknya.Kalau tergugat telah memenuhi tuntutan penggugat sebelum perkara diputuskan.Maka tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan tuntutannya bagi penggugat.Oleh karena itu penggugat sepenuhnya berhak untuk mencabut gugatan atau tuntutanya.
Kemungkinan lain sebagai alasan pencabutan gugatan ialah karena penggugat menyadari kekiliruannya dalam mengajukan gugatanya. Pencabutan gugatan
35
dapat dilakukan sebelum gugatan itu diperiksa di persidangan atau sebelum tergugat memberi jawabannya atau sesudah diberikan jawaban oleh tergugat.
Suatu perubahan gugatan akan mempengaruhi kepentingan tergugat, karena dengan perubahan itu tergugat akan mungkin dipersulit dalam pembelaannya atau jalannya peradilan akan dihambat, sehingga merugikan pihak tergugat. Oleh karena itu pihak tergugat akan lebih menguntungkan apabila tidak diadakan perubahan gugatan, sehingga ia berhak untuk menyatajan keberatannya terhadap perubahan gugatan oleh penggugat. Menurut Pasal 127 Rv perubahan daripada gugatan dibolehkan sepanjang pemeriksaan perkara, asal saja tidak mengubah atau menambah.
3. Jalannya persidangan
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang yang didampingi oleh panitera, membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.Ini berarti bahwa setiap orang boleh mendengarkan jalannya persidangan, yang secara formil dapat mengadakan control, dengan demikian hakim dapat mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak kepada masyarakat.Sifat terbukanya sidang untuk umum ini merupakan syarat mutlak (Pasal 19 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004).
Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, maka kedua belah pihak, penggugat dan tergugat, dipanggil masuk.Pemeriksaan perkara harus berlangsung dengan hadirnya kedua belah pihak. Kemudian mengusahakan mendamaikan kedua belah pihak .apabila mereka berhasil didamaikan, maka dijatuhkan putusan perdamaian.ketika tidak dapat didamaikan maka sidang akan
36
dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan dan kemudian pembacaan jawaban dari tergugat.
Setelah itu apabila proses terjadi secara tertulis, maka terhadap jawaban tergugat, penggugat diberi kesempatan untuk memberikan tanggapannya yang disebut (replik). Dan terhadap replik dari penggugat ini tergugat dapat disebut sebagai (duplik).28
4. Pembuktian
Dari jawab menjawab antara penggugat dan tergugat akhirnya akan dapat diketahui oleh hakim apa yang sesungguhnya disengketakan oleh mereka:
peristiwa apa yang menjadi pokok sengketa. Tugas hakim ialah mengkonstatir, mengkwalifisir dan kemudian mengkonstituir.Pasal 5 Ayat 1 UU No.4 Tahun 2004 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum.Maka oleh karena itu hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Sudah menjadi (communis opinion) seperti yang telah diketengahkan di muka, bahwa pembuktian berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu.Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkwalifisirnya dan kemudian mengkonstituir, maka tujuan pembuktin adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.
Walaupun putusan itu diharuskan obyektif, namun dalam hal pembuktian dibedakan antara pembuktian dalam perkara pidana yang mensyaratkan adanya keyakinan dan pembuktian dalam perkara perdata yang tidak secara tegas mensyaratkan adanya keyakinan.
28 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonseia, (jogyakarta: liberty 2006), hal. 128
37
Hukum pembuktianpun, yang termasuk hukum acara juga, terdiri dari unsur materil maupun formil.Hukum pembuktian materil mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekutan pembuktiannya, sedang hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.
Dari peristiwa yang yang harus dibuktikan adalah kebenarannya.sering dikatakan, bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari kebenaran materil. Ini tidak berarti bahwa dalam acara perdata hakim mencari kebenaran yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh malampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara: jadi tidak meliha kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada pemeriksaan oleh hakim.
Mencari kebenaran dan menetapkan atau mengkonstatir peristiwanya adalah hakim.Peristiwa itu ditetapkan atau dikonstatir oleh hakim setelah dianggapnya terbukti benar, dan yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya diterima atau ditolak. Karena yang berkepentingan tidak lain adalah para pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Jadi dalam hal ini dipisahkan antara yang harus membuktikan atau yang mengajukan alat-alat bukti, yaitu para pihak, dan yang harus menyatakan terbukti atau tidaknya suatu peristiwa, yaitu hakim.
5. Putusan
38
Hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atu perkaranya.Bagi hakim dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat mnentukan adalah peristiwanya.Setelah hakim mengetahui duduknya perkara yang sebenarnya, maka pemeriksaan terhadap perkara dinyatakan selesai.Kemudian dijatuhkan putusan.
a. Prosedur penemuan hukum
Peenggugat dalam gugatannya mengajukan peristiwa konkrit yang yang menjadi dasar gugatannya.Peristiwa konkrit itu pula yang menjadi titik tolak hakim dalam memeriksa dan mengadili. Dari jawab-menjawab hakim akan dapat menyimpulkan peristiwa konkrit apakah yang sekiranya disengketakan.
Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjdi.Baru setelah peristiwa konkrit dibuktikan maka dapatlah dikonstatir adanya atau terjadinya.Kemudia harus dicarikan hukumnya.Di sinilah dimulai dengan penemuan hukum (rechtsvinding).Penemuan hukum tidak merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dengan kegiatan pembuktian.Ada juga beberapa aliran dalam menemukan hukum oleh hakim yaitu, (legisme),(begriffsjurisprudenz).aliran yang berlaku sekarang.
b. Kekuatan putusan
HIR tidak mengatur tentang kekuatan putusan hukum. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan:
1. Kekuatan mengikat