IMPLEMENTASI DAN IMPLIKASI HUKUM CLINICAL PRIVILEGE
SEBAGAI UPAYA PATIENT SAFETY DI RUMAH SAKIT
Nurul Hasna
[email protected] Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Semarang ABSTRAKKesadaran akan jaminan keselamatan pasien mulai meningkat di masyarakat dengan bertambahnya kasus gugatan terhadap dugaan malpraktek. Salah satu fakta terjadinya kejadian yang tidak diharapkan adalah tindakan dokter yang tidak aman. Tenaga medis yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang optimal, dalam hal ini dokter yang memiliki tanggung jawab terhadap tindakan medik yang merupakan kewenangan dokter.
Salah satu tonggak keselamatan pasien adalah akuntabilitas dokter yang terlibat dalam layanan kesehatan. Akuntabilitas ini dijamin melalui proses kredensial yaitu suatu proses untuk memberikan kewenangan klinis atas suatu tindakan medik.
Upaya rumah sakit dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga keselamatan pasien adalah dengan menjaga standar profesi dan kompetensi dokter dalam melakukan tindakan medik terhadap pasien di rumah sakit. Upaya ini dilakukan terhadap pasien oleh tenaga medis yang benar‐benar kompeten.
Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif dan penelitian berdasarkan studi kepustakaan. Cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Pada penelitian ini secara spesifik ingin menggambarkan permasalahan yang ada untuk menjadi fokus berdasarkan konsep dan kerangka teori kemudian menganalisanya secara konsisten, sistematis dan logis.
Indonesia membentuk sistem kredensial yang dapat menjamin keselamatan pasien. Sistem kredensial yang dilakukan berdasarkan konsep profesionalisme. Adanya proses kredensial dengan pemberian kewenangan klinis dapat mengendalikan profesional dokter Kata Kunci: Dokter, Proses Kredensial, Kewenangan Klinis, Keselamatan Pasien.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi kedokteran yang demikian pesat akhir‐akhir ini telah menjadikan proses pelayanan kesehatan semakin kompleks. Sayangnya, sebagian besar kemajuan teknologi ini tidak dibarengi dengan perubahan budaya pelayanan kesehatan yang memadai. Dalam berbagai situasi, pasien justru sering menjadi korban, meskipun dalam kenyataannya tidak pernah ada unsur kesengajaan di dalamnya.
Masalah medical error yang dalam 10 tahun terakhir ini banyak menghiasi berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik menjadi salah satu bukti bahwa pelayanan kesehatan memiliki potensi tersembunyi untuk terjadinya adverse event, meskipun data konkritnya belum pernah secara komprehensif dikemukakan, masalah medical error dan adverse event di negara sedang berkembang juga sangat besar.
Jika disimak lebih jauh lagi maka UU RI no 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga telah mengisyaratkan bahwa dokter dan dokter gigi dalam menjalankan prakteknya wajib mengikuti standar pelayanan yang ada. Ini mengandung arti bahwa di setiap rumah sakit harus memiliki standar pelayanan medik yang baku yang harus dapat dijadikan pedoman bagi para dokter dan dokter gigi dalam mengambil keputusan klinik serta menentukan tindakan medik secara adekuat.
Undang Undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, menuntut rumah sakit melindungi patient safety antara lain dengan melaksanakan Good Clinical Governance bagi para klinisinya. Setiap dokter di rumah sakit harus bekerja dalam koridor clinical privilege yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit.
Salah satu faktor krusial dalam patient safety adalah kewenangan dokter untuk melaksanakan tindakan medik, belum ada mekanisme yang mencegah dokter untuk melakukan tindakan medik tersebut di rumah sakit. Pada gilirannya kondisi ini dapat menimbulkan kecelakaan pada pasien.
Demi menjaga patient safety dari tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang kurang kompeten, maka rumah sakit perlu mengambil langkah‐langkah pengamanan dengan cara pemberian clinical privilege melalui mekanisme kredensial yang dilaksanakan oleh komite medis.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi dokter dan pasien, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberikan dasar dalam melakukan tindakan medik, maka dalam menjalankan profesinya harus mempunyai acuan yang berpedoman pada clinical privilege masing‐masing bidang spesialisasi.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, dan penelitian ini didasarkan pada studi kepustakaan. Pada penelitian ini secara spesifik ingin menggambarkan permasalahan yang ada untuk menjadi fokus berdasarkan konsep dan kerangka teori kemudian menganalisanya secara konsisten, sistematis dan logis. PEMBAHASAN A. Implementasi Clinical Privilege di Rumah Sakit
Dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju mundurnya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan pihak‐pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini, dokter, perawat dan orang‐orang yang berada di lingkungan rumah sakit tersebut.
Salah satu upaya rumah sakit dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk menjaga keselamatan pasien adalah dengan menjaga standart profesi dan kompetensi para dokter yang melakukan tindakan medis terhadap pasien di rumah sakit. Upaya ini dilakukan dengan cara mengatur agar setiap tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien oleh tenaga medis yang benar‐benar kompeten.
Pelayanan kesehatan di rumah sakit diberikan melalui bentuk perawatan dan tindakan medik. Tenaga medis dalam hal ini bertanggung jawab terhadap pengobatan dan perawatan yang dilakukan. Tindakan medik tersebut merupakan wewenang dokter.
Untuk menjaga patient safety, salah satunya dengan menjaga kompetensi dokter yang melakukan tindakan medik tertentu, oleh karena alasan tersebut pelayanan kesehatan pada rumah sakit merupakan hal yang penting yang harus dijaga maupun ditingkatkan kualitasnya Dokter atau tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan tugas profesinya harus sesuai degan Standar Profesi/Standart Operational Procedures/Standar Pelayanan Medis dan harus dijaga maupun ditingkatkan kualitasnya sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku agar masyarakat sehingga pasien dapat merasakan pelayanan yang diberikan.
Menurut Hermien Hadiati Koeswadji 1 memberikan pengertian Standar Profesi sebagai berikut : Standar Profesi adalah niat atau itikad baik dokter yang didasari etika profesinya, bertolak dari suatu tolok ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk menentukan hal‐hal yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan dalam suatu kegiatan profesi merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.
1 Syachrul Mahmud, 2008, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Bandung, CV. Mandar Maju, hal. 148
Dalam Penjelasan Pasal 50 Undang‐Undang RI no 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tersebut menyatakan bahwa apabila dokter/dokter gigi yang melaksanakan praktik kedokteran/kedokteran gigi telah sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur, maka dokter/dokter gigi tersebut berhak mendapat perlindungan hukum.
Undang‐undang RI No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medik dan memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi, sehingga menuntut rumah sakit untuk dapat melaksanakan Good Clinical Governance bagi para klinisnya. Setiap dokter di rumah sakit harus bekerja dalam kondisi clinical priviledge yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit.
Adapun merupakan suatu kewajiban rumah sakit untuk menetapkan clinical privilege sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat 1 huruf (r) UU RI no 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws). Hospital bylaws atau peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws) adalah suatu peraturan organisasi rumah sakit (corporate bylaws) sedangkan peraturan yang mengatur tentang staf medis rumah sakit adalah medical staff by laws, yang disusun dalam rangka menyelenggarakan good clinical governance, mengatur tentang clinical
privilege.
Menurut Sherry, Pearce, Trigle, 20072: Good Clinical Governance sebagai suatu tata kelola klinis yang baik dapat diwujudkan melalui Clinical Staff Bylaws yang baik dan benar atau suatu sistem yang menunjukkan bahwa sistem tersebut mampu menjamin adanya peningkatan mutu klinik di semua level pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sistem yang menjamin adanya peningkatan mutu klinik diuraikan dalam peran dan fungsi komite medis di rumah sakit yang bertujuan menegakkan etik dan mutu profesi medis.
Kesadaran akan jaminan keselamatan pasien mulai meningkat di masyarakat dengan bertambahnya kasus‐kasus gugatan terhadap dugaan malpraktik. Salah satu faktor penyebab terjadinya kejadian yang tidak diharapkan adalah tindakan dokter yang tidak aman. Hal ini dapat dicegah bila komite medis mampu memahami dan melaksanakan tugasnya dalam mengendalikan profesionalisme dokter.
Kinerja komite medis diantaranya meliputi struktur credentialing dan clinical privilege.
Credentialing3 (Proses Kredensial) adalah proses evaluasi oleh suatu rumah sakit terhadap
seorang tenaga medis untuk menentukan apakah yang bersangkutan layak diberi clinical
2 Sofwan Dahlan, 2010, Bahan Kuliah Quality, Risk Management and Patient Safety.
3 Eddy Rahardjo, Implementasi Clinical Privilege & Contuining Professional Development,
privilege, untuk menjalankan tindakan medik tertentu dalam lingkungan rumah sakit tersebut
dalam periode tertentu.
Clinical Privilege4 merupakan hasil dari suatu proses di sarana pelayanan kesehatan,
memberikan otoritas (kewenangan) kepada seorang profesional kesehatan dalam hal ini tenaga medis untuk melakukan pelayanan kesehatan dalam batas yang di tetapkan dalam sarana kesehatan tersebut.
Menurut Hermien Hadiati Koeswadji5, komite medis merupakan badan yang dibentuk oleh rumah sakit yang berfungsi mencegah kemungkinan terjadinya kesalahan/kelalaian dalam tindakan medik tertentu serta mengupayakan penyelesaiannya bila kesalahan/ kelalaian itu terjadi.
Peran dan fungsi komite medis di rumah sakit adalah menegakkan etik dan mutu profesi medik. Etik profesi medik disini adalah mencakup Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).
Demi menjaga keselamatan pasien dari tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang tidak kompeten, rumah sakit perlu mengambil langkah dan pengamanan dengan cara pemberian
clinical privilege. Komite medis akan menentukan jenis‐jenis clinical privilege bagi setiap dokter
yang bekerja di rumah sakit berdasarkan kompetensinya melalui mekanisme kredensial. Dengan terkendalinya tindakan medik di setiap rumah sakit maka pasien lebih terlindungi dari tindakan medik yang dilakukan oleh dokter yang tidak berkompeten.
Sebenarnya dalam penerapan clinical privilege pada suatu rumah sakit sudah diatur dalam
Hospital By Laws suatu rumah sakit, dimana telah diatur :
a. Setiap dokter mendapakan clinical privilege sesuai dengan ijazahnya. b. Sesuai dengan sertifikat atau rekomendasi organisasi profesi.
c. Rekomenmdasi clinical privilege di suatu rumah sakit di usulkan oleh komite medik ke direktur baik terhadap dokter‐in maupun dokter‐out. d. Direktur dapat menerima, menolak atau mencabut clinical privilege seorang dokter e. Kesemuanya itu hatus dituangkan dalam suatu Surat Keputusan Direktur. A. Implikasi Hukum Clinical Privilege di Rumah Sakit Dokter yang baik adalah dokter yang memiliki kesadaran etika yang dalam, disertai etos beretika yang kuat. Manifestasi perilakunya dengan sendirinya nyaman dirasakan oleh pasien yang kemudian akan menimbulkan kepuasan dan kepercayaan dari masyarakat. Gugatan
4 Medias Almatsier, Arti Penting Clinical Privilege dalam Penyelesaian Kasus MKDKI, disampaikan
dalam “Seminar Nasional & Workshop Clinical Privilege”, Jakarta. Agustus 2010
terhadap dugaan malpraktik adalah konsekuensi yang dapat terjadi akibat ketidakpuasan penderita atau keluarganya terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya sehingga berakibat memburuknya penyakit, kecacatan atau meninggal.
Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain dalam menjalankan profesinya harus benar‐benar dipahami oleh dokter sebagai pengemban hak dan kewajiban. Kewajiban hukum pada intinya menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dokter, atau apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan dalam menjalankan profesi dokter.
Tugas profesi di kalangan dokter dan tenaga kesehatan lainnya dahulu bersifat altruistik yang mementingkan sikap untuk mensejahterakan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri sehingga tidak melakukan praktek untuk tujuan komersialisme. Pada sekarang hal itu akan sulit dilaksanakan. Hubungan antara dokter atau tenaga kesehatan dan pasien yang demikian itu pada mulanya dianggap sebatas pelanggaran etika. Pelanggaran etika profesi kesehatan tidak dengan sendirinya menimbulkan pelanggaran hukum.
Keterikatan dokter terhadap ketentuan‐ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya meliputi tiga bentuk pertanggung jawaban, yaitu6:
a. Bidang Hukum Administrasi dimuat dalam Undang‐Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, b. Ketentuan Hukum Pidana yang terdapat di dalam : 1. Undang‐Undang Hukum Pidana (UU No. 1 Tahun 1946); 2. Ketentuan Pidana dalam Undang‐Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 3. Ketentuan Pidana dalam Undang‐Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. c. Ketentuan Hukum Perdata yaitu Buku III BW tentang Hukum Perikatan. B. Implementasi Clinical Privilege Sebagai Upaya Patient Safety, Tantangan dan Hambatannya
Suatu konsekuensi logis, bahwa keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan mutlak bagi rumah sakit khususnya dokter atau tenaga medis lainnya dalam menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya, meski demikian dari tindakan medik tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan atau kelalaian. Kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal terhadap badan atau jiwa dari pasiennya.
6 Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku 1, Jakarta,
Untuk menjamin patient safety di rumah sakit juga diperlukan mekanisme pendisiplinan. Hal ini tidak dapat ditawar‐tawar, mengingat patient safety adalah prioritas utama pelayanan kesehatan saat ini. Peningkatan upaya pada program keselamatan pasien sudah pasti dapat menghindarkan rumah sakit dari tuntutan hukum akibat kecelakaan yang diderita oleh pasien.
Safety, yang merupakan domain pertama dari quality, hal ini menjelaskan betapa
pentingnya kita peduli kepada keselamatan pasien karena pelayanan kesehatan saat ini harus berfokus pada pasien. Domain kedua menunjukan bahwa pelayanan kesehatan harus menjamin terlaksananya upaya medik yang didasarkan pada bukti‐bukti ilmiah yang terbaru dan valid. Domain ketiga menegaskan perlunya memahami nilai‐nilai tertentu yang ada pada diri pasien termasuk harapan‐harapan pasien pada pelayanan kesehatan.
Dalam era globalisasi dan persaingan pasar bebas nantinya, setiap rumah sakit di Indonesia idealnya sudah memikirkan kedepan secara jangka panjang agak tetap dapat eksis menghadapi persaingan itu, yaitu dengan memikirkan skenario kemungkinan yang akan terjadi, seperti :7 a. Rumah sakit dan dokter asing akan merambah wilayah Indonesia pada daerah tertentu. b. Sistem fee untuk pelayanan akan berubah menjadi sistem asuransi.
c. Persaingan berdasarkan kualitas, nilai pelayanan dan value.
d. Tuntutan mutu pelayanan rumah sakit dan dokter akan semakin kuat.
Dalam menjaga persaingan dan pengendalian mutu pelayanan suatu rumah sakit, hendaknya setiap rumah sakit mempunyai suatu nilai‐nilai yang menjadi landasan bersama bagi semua anggota pengelola dan manajemen rumah sakit agar dapat menjalankan visi‐misinya.
KESIMPULAN
Profesi dokter merupakan profesi yang sangat mulia dan terhormat dalam pandangan masyarakat. Keberadaan profesi medis di rumah sakit sangat penting dalam menentukan arah pengembangan dan kemajuan suatu rumah sakit. Tenaga medis bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang optimal. Dalam hal ini dokter memiliki tanggung jawab terhadap tindakan medik yang merupakan kewenangan dokter.
Suatu kewajiban rumah sakit untuk menetapkan clinical privilege sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat 1 huruf (r) UU RI no 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws).
7 Hana Permana Subanegara, Tantangan dan Hambatan Dalam Penerapan Clinical Privilege di RSUD,
Safety dilihat dari perspektif pasien, hal ini menjelaskan betapa pentingnya kita peduli
kepada keselamatan pasien karena pelayanan kesehatan saat ini harus berfokus pada pasien. Fungsi rumah sakit terutama rumah sakit daerah tidak menghilangkan nilai‐nilai sosial dan budaya bagi masyarakat pada umumnya, sehingga walaupun mutu bersaing, tapi tidak semata‐mata hanya mencari keuntungan, sehingga manajemen rumah sakit antara fungsi pelayanan kepada pasien tetap merupakan tujuan utama, dimana kepuasan dan kenyamanan pasien yang diutamakan, juga fungsi pengabdian kepada masyarakat juga tidak boleh dilupakan, tetapi untuk kesemuanya itu, pengaturan masalah keuangan juga tidak boleh dilupakan DAFTAR PUSTAKA Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku 1, Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.
Syahrul Machmud, 2008, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga
Melakukan Medikal Malpraktek, CV Mandar Maju, Bandung.
Eddy Rahardjo, Implementasi Clinical Privilege & Continuing Professional Development, dalam
“Seminar Nasional dan Workshop Clinical Privilege, Jakarta. Agustus 2010
Hana Permana Subanegara, Tantangan dan Hambatan di Dalam Penerapan Clinical Privilege di
RSUD, Seminar Nasional dan Workshop Clinical Privilege, Jakarta. Agustus 2010
Medias Almatsier, Arti Penting Clinical Privilege Dalam Penyelesaian Kasus di MKDKI, dalam “Seminar Nasional dan Workshop Clinical Privilege”, Jakarta. Agustus 2010 Sofwan Dahlan, 2010, Quality, Risk Management and Patient Safety, Bahan Kuliah Hospital Bylaws, Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata, Semarang.