• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAG/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAG/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Pengalaman Belajar Lapangan

ASMA

Oleh:

Priska Yunita Bachtiar dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD

BAG/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan pengalaman belajar lapangan yang berjudul “Asma” tepat pada waktunya. Penulisan tugas ini merupakan salah satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah.

Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1) dr. Tjok Istri Anom Saturti, SpPD, selaku pembimbing laporan ini, atas bimbingan, saran dan masukan selama penyusunannya.

2) Ibu NKS dan keluarga, selaku pasien yang sudi menyumbangkan informasi untuk melengkapi laporan kasus ini.

3) Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan PBL ini. Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka dan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan demi perbaikan tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat memberi manfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Denpasar, Desember 2016

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Definisi ... 3

2.2 Faktor Resiko ... 3

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi ………... 4

2.4 Diagnosis dan Klasifikasi ... 6

2.5 Penatalaksanaan ... 11

BAB III. LAPORAN KASUS... 17

3.1 Identitas Pasien ... 17 3.2 Anamnesis... 17 3.3 Pemeriksaan Fisik ... 20 3.4 Pemeriksaan Penunjang………. 21 3.5 Diagnosis ... 23 3.6 Penatalaksanaan ... 24 3.7 Prognosis……….. 24

BAB IV. KUNJUNGAN LAPANGAN ... 25

4.1 Alur Kunjungan Lapangan……….. ... 25

4.2 Identifikasi Masalah………... 25

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien……… ... 26

4.4 Saran Dan Pemecahan Masalah……… 30

4.5 Denah Rumah Pasien……… 33

4.6 Foto Kunjungan……… ... 34

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumahtangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. (Akinbami, 2011). Di Indonesia belum ada survei asma secara nasional. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi asma di Indonesia sangat bervariasi. Perbedaan ini antara lain disebabkan perbedaan metodologi yang digunakan, perbedaan etnik, perbedaan faktor lingkungan dan tempat tinggal serta perbedaan status sosial ekonomi subjek penelitian. Meskipun belum ada survei asma secara nasional di Indonesia, dari penelitian yang ada disimpulkan bahwa prevalensi asma di daerah rural (4,3%) lebih rendah daripada didaerah urban (6,5%) dan yang tertinggi adalah dikota besar seperti di Jakarta (16,4%) (Ratnawati, 2011).

Dalam penanganan asma selama ini mayoritas pasien sebenarnya dapat ditangani dengan protokol imunologis dan farmakoterapi yang tepat dan terbaru. Namun, dengan pengobatan efektif angka morbiditas dan mortalitas asma masih tetap tinggi. Satu dari 250 orang yang meninggal adalah penderita asma. Di negara maju meskipun sarana pengobatan mudah didapat, asma masih sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati secara tepat. Prevalensi asma di dunia sangat bervariasi dan penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kekerapan asma semakin meningkat terutama di negara maju (PDPI, 2011). Faktor – faktor yang dapat mempersulit penanganan asma dapat berupa faktor psikologis seperti fobia terhadap golongan steroid, ketagihan rokok, penggunaan obat terlarang, ataupun ketidakpedulian pasien terhadap penyakitnya, sementara itu terdapat pula faktor sosioekonomis berupa kemiskinan, akses menuju pusat pelayanan kesehatan, serta kemungkinan paparan alergen yang tinggi terkait lingkungan di rumah ataupun tempat kerja. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi yang lebih komprehensif menyangkut aspek bio – psiko – sosio di dalam menangani kasus – kasus asma di masyarakat (Patterson, 1992).

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Asma merupakan suatu penyakit saluran pernapasan yang kronik dan heterogenous. Penyakit ini dikatakan mempunyai kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada tertekan, dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari (GINA, 2014). Kebanyakan bangsa dan etnik di seluruh dunia diserang dengan penyakit ini pada semua peringkat usia dengan prevalensi laki-laki lebih banyak berbanding perempuan (Fanta, 2009). Penyakit asma timbul akibat inflamasi dari mukosa saluran pernapasan. Akibat hiperesponsif jalan napas, jalan napas yang normal akan mengalami obstruksi dan hambatan sehingga muncullah asma (PDPI, 2011).

2.2 Faktor Resiko

Terdapat banyak perkara yang mengakibatkan seseorang untuk menderita asma. Faktor lingkungan memainkan peran penting terhadap kejadian asma. Paparan terhadap infeksi menjadi pencetus kepada asma terutamanya infeksi virus seperti rhinovirus. Sebenarnya allergen dan sensitisasi yang ada pada lingkungkan dipertimbangkan menjadi dasar utama yang mengarahkan kepada terjadinya asma (PDPI, 2011). Dikatakan faktor genetik turut berperan dalam terjadinya asma kerana pembentukkan immunoglobin E, akibat pelepasan zat aktif seperti histamin maka terjadi kontraksi otot polos pada bronkus serta edema pada saluran pernapasan. Sel mast turut memproduksi sisteinil leukotriene yaitu C4, D4 dan E4. Leukotriene ini justru apabila berikatan dengan reseptornya yang spesifik akan mengkaibatkan peningkatan permebialitas vaskular dan hiperplasia kelenjar serta hipersekresi mukus. Faktor lain seperti imunitas dasar turut berperan, mekanisme imunitas terhadap kejadian inflamasi pada asma terjadi akibat ekspresi sel Th2 yang berlebihan. Faktor host yang lain seperti obesitas dikatakan turut berkontribusi terhadap terjadinya asma. Hal ini justru telah dibuktikan dari banyak penelitian yang mendapatkan bahawa seseorang yang obesitas mempunyai pelbagai mediator tertentu di dalam sel lemak misalnya leptin yang

(6)

mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan kecenderungan timbulnya asma (NHLBI, 2007).

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi

Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernapasan yang dapat melibatkan peranan sel – sel inflamasi dan mediator lainnya yang akan menghasilkan karakteristik perubahan patofisiologi tertentu. Sampai saat ini mekanisme pastinya masih belum diketahui, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan. Oleh karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut, jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cells (APC) untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel – sel plasma membentuk IgE, serta sel – sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan mediator – mediator inflamasi seperti histamin prostaglandin, leukotrien, platelet activating factor, bradikinin, tromboksan dan lain – lain yang akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vascular, edema saluran napas, infiltrasi sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir juga berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas (Bateman, 2011). Selain adanya respon inflamasi, terdapat juga karakteristik perubahan seluler yang terjadi dan biasanya dijelaskan sebagai remodeling saluran napas. Beberapa perubahan tersebut akan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit dan mengakitbatkan penyempitan lumen saluran napas yang irreversible. Perubahan ini merupakan suatu respon perbaikan terhadap inflamasi kronis (Widodo, 2012).

Penyempitan lumen saluran napas merupakan jalur akhir yang utama dan menyebabkan timbulnya gejala serta perubahan fisiologis pada asma. Beberapa faktor berperan pada perkembangan terjadinya penyempitan saluran napas. Hiperresponsif saluran napas merupakan abnormalitas karakteristik fungsional pada asma yang akan menimbulkan penyempitan saluran napas akibat respon

(7)

terhadap stimulus yang tidak berbahaya pada orang normal. Penyempitan saluran napas ini akan menyebabkan terbatasnya laju udara dan gejala yang intermittent. Hiperresponsif saluran napas berhubungan dengan inflamasi dan perbaikan jalur napas yang reversible secara pasial dengan pemberian terapi. Adapun mekanisme terjadinya hiperresponsif saluran napas adalah adanya kontraksi berlebihan dari otot polos saluran napas yang menimbulkan peningkatan volume dan atau kontraktilitas dari sel otot polos saluran napas. Kontraksi saluran napas yang tidak berpasangan sebagai hasil dari perubahan inflamasi pada dinding saluran napas dan dapat menyebabkan penyempitan yang berlebihan dari saluran napas dan hilangnya maximum plateau dari kontraksi sebagaimana ditemukan pada saluran napas yang normal saat substansi bronkokonstriktor terhirup. Penebalan dinding saluran napas oleh adanya edema dan perubahan struktur melipatgandakan penyempitan lumen saluran napas akibat kontraksi otot polos saluran napas dengan alasan geometris. Saraf sensoris akan tersentisisasi oleh inflamasi dan menyebabkan bronkokonstriksi sebagai respon dari stimulus sensoris (PDPI, 2009).

2.4 Diagnosis dan Klasifikasi

Diagnosis dari asma dapat dipikirkan pada pasien melalui temuan klinis dari anamnesis maupun pemeriksaan fisik yang selanjutnya apabila mengarah ke asma maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menunjang diagnosis. Berikut ini adalah temuan klinis yang bisa ditemukan pada pasien dengan asma: Gejala Klinis Pasien

Suara mengi atau “ngik-ngik: yang dapat didengar saat pasien mengeluarkan napasnya, batuk yang memberat saat malam hari, mengi yang berulang, kesulitan bernapas yang berulang, rasa terkekang pada dada yang berulang. Gejala memburuk saat malam hari dan sering membangunkan pasien, gejala memburuk sesuai dengan pola musim. Pasien memiliki riwayat eczema atau ada riwayat asma atau penyakit atopi pada keluarga. Gejala terjadi dan memburuk apabila mendapat paparan bulu binatang, senyawa kimia yang terhirup, perubahan suhu tubuh, debu pada lingkungan sekitar, obat – obatan (aspirin dan beta blocker), olahraga, serbuk atau tepung sari, infeksi traktus respiratius (virus), merokok, kondisi emosional yang kuat, serta gejala berespon terhadap terapi asma.

(8)

Pemeriksaan Fisik

Karena gejala asma pada pasien bisa sangat bervariasi, temuan saat pemeriksaan fisik sistem pernapasan bisa saja ditemukan normal. Temuan yang paling sering pada pasien asma adalah adanya mengi (wheezing) saat auskultasi yang akan mengkonfirmasi adanya obstruksi jalan napas. Namun pada beberapa pasien dengan asma, wheezing bisa saja tidak ada atau hanya terdengar apabila pasien diinstruksikan untuk melakukan ekspirasi paksa. Biasanya pada eksaserbasi asma berat, wheezing tidak terdengar karena penurunan laju udara pada saluran napas dan ventilasinya, tetapi dengan tanda eksaserbasi berat lainnya berupa sianosis, penurunan kesadaran, kesulitan berbicara, takikardia, dada hiperinflasi, napas menggunakan otot aksesoris dan resesi intercostal (Bateman, 2011).

Pemeriksaan Penunjang Pengukuran Fungsi Paru

Diagnosis asma biasanya berdasarkan karakteristik gejala, dengan pengukuran fungsi paru dan demonstrasi reversibilitas dari abnormalitas fungsi paru mampu menunjang diagnosis. Pengukuran fungsi paru akan menampilkan derajat dari obstruksi jalan napas, reversibilitasnya dan variabilitas dan menyediakan data untuk konfirmasi diagnosis asma. Beberapa metode dapat dilakukan untuk obstruksi jalan napas namun hanya dua metode yang saat ini diterima secara menyeluruh pada pasien dengan usia diatas lima tahun. Spirometri biasanya digunakan untuk menilai forced expiratory volume dalam 1 detik (FEV1) dan forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow (PEF). Istilah reversibility dan variability berkaitan dengan perubahan gejala oleh perubahan penyempitan jalur napas yang terjadi secara spontan ataupun dalam respon terhadap terapi. Reversibilitas secara umum dijelaskan sebagai perbaikan cepat pada FEV1 atau PEF yang diukur dalam beberapa menit setelah inhalasi bronkodilator aksi cepat, sebagai contoh pemberian 200 – 400 ug salbutamol atau perbaikan dalam kurun waktu hari hingga minggu setelah pemberian terapi kontrol berupa inhalasi glukokortikosteroid. Sedangkan istilah variability berarti perbaikan pada gejala atau fungsi paru yang terjadi sepanjang waktu. Variability dapat terjadi sepanjang satu hari penuh (diurnal variability) atau bisa juga dari hari ke hari, bulan ke bulan ataupun per musim. Mengetahui riwayat variability merupakan komponen esensial dalam diagnosis asma. (GINA, 2014)

(9)

Spirometri

Spirometri merupakan metode yang direkomendasikan untuk mengukur gangguan jalur napas dan reversibilitasnya untuk menegakkan diagnosis asma. Pengukuran FEV1 dan FVC dilakukan saat pasien berekspirasi maksimal atau ekspirasi paksa menggunakan spirometri. Derajat reversibilitas FEV1 yang mengindikasikan diagnosis asma adalah sebesar 12% dan perbaikan 200 ml dari nilai FEV1 sebelum pemberian bronkodilator. Namun, tidak semua pasien menunjukkan reversibilitas pada setiap pemeriksaan, sehingga pemeriksaan berulang disarankan untuk dilakukan. Spirometri termasuk alat yang mampu mencerminkan kondisi saluran napas dengan baik namun dalam penggunaannya sangat bergantung pada usaha dan teknik pasien. Oleh karena itu diperlukan instruksi yang tepat dan menyeluruh bagaimana untuk melakukan manuver ekspirasi paksa pada pasien dan mencatat 3 nilai tertinggi yang mampu dilakukan oleh pasien. Rentang nilai FEV1 juga bisa sangat berbeda sesuai dengan umur pasien. Berkaitan dengan banyak penyakit paru lain yang menyebabkan penurunan FEV1, penilaian yang lebih tepat kondisi saluran napas adalah dengan melihat rasio antara FEV1 terhadap FVC. Rasio FEV1 terhadap FVC normalnya lebih besar daripada 0,75 – 0,80 dan mungkin akan lebih besar dari 0,90 pada anak – anak. Nilai yang didapatkan lebih kecil dibandingkan nilai diatas maka akan menandakan adanya penyempitan saluran napas (GINA, 2014).

Peak expiratory flow

Pengukran PEF dilakukan dengan menggunakan alat bernama peak flow meter yang menjadi alat penting didalam diagnosis dan monitoring asma. PEF meter termasuk alat yang tidak mahal, mudah dibawa, plastik dan ideal untuk digunakan oleh pasien di rumah untuk penilaian objektif penyempitan jalur napas. PEF mampu untuk menilai derajat penyempitan lumen saluran napas terutama apabila terjadi perburukan. Namun karena nilai PEF yang didapatkan akan bervariasi dan nilai prediksi orang normal sangatlah lebar maka penilaian PEF juga sebaiknya dibandingkan dengan nilai PEF terbaik pasien masing-masing. Pada kondisi ini nilai yang dianggap paling baik adalah saat pasien berada dalam fase asimptomatis atau pada kondisi dengan terapi penuh dan nantinya akan mampu memberikan data tentang efek perbaikan kondisi saluran napas oleh pemberian terapi saat terjadinya eksaserbasi atau setelah maintenance-nya.Instruksi yang lengkap diperlukan dalam pemanfaatan peak flow meter karena sama halnya dengan spirometri penggunaan alat ini termasuk tergantung usaha pasien. Biasanya PEF diukur saat paling awal di pagi hari

(10)

sebelum menjalani terapi yang menandakan nilai paling mendekati dari nilai terkecil PEF dan dilakukan kembali saat malam hari yang menandakan nilai paling mendekati nilai terbesar PEF. Metode untuk mendeskripsikan variabilitas PEF diurnal adalah amplitudo (perbedaan antara nilai maksimum dan nilai minimum) sebagai persentase dari rata nilai PEF harian, dan rata-rata selama 1-2 minggu. Metode lainnya untuk deskripsi PEF adalah nilai minimum pre-bronkodilator di pagi hari selama 1 minggu sebagai persentase dari nilai terbaik saat ini (GINA, 2014).

Penilaian Status Alergi

Terdapat hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi yang menyebabkan penilaian statusnya meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada pasien dengan adanya gejala saluran pernapasan. Selain itu keberadaan alergi pada pasien asma (identifikasi dengan melakukan test kulit atau pengukuran nilai IgE spesifik pada serum) dapat membantu menilai faktor resiko yang menimbulkan gejala asma pada pasien. Provokasi dengan sengaja saluran napas dengan alergen yang dicurigai atau agen sensitisasi dapat membantu dalam konteks alergi yang muncul saat bekerja, namun tindakan ini tidak rutin direkomendasikan untuk dilakukan karena jarang bermanfaat dalam menunjukkan diagnosis pastinya serta memerlukan penilaian oleh ahli dan dapat menimbulkan bronkospasme yang mengancam nyawa. Test kulit dengan alergen merupakan alat diagnostik primer dalam menentukan status alergi. Metode ini termasuk mudah dan cepat untuk dilaksanakan serta dengan biaya yang murah namun memiliki sensivitas yang tinggi. Namun, apabila prosedur yang dilakukan tidak benar-benar akurat maka hasil tes kulit dapat positif palsu atau negatif palsu. Pengukuran IgE spesifik pada serum belum tentu mengungguli hasil dari tes kulit dan metode ini tergolong lebih mahal. Keterbatasan utama dari metode untuk penilaian status alergi adalah hasil yang positif tidak selalu berarti penyakit ini berasal dari alergi atau alergi yang ditemukan bukan pasti sebagai penyebabnya asma karena pada beberapa individu yang memiliki IgE spesifik tanpa adanya gejala alergi ataupun asma. Paparan yang relevan dan hubungannya dengan gejala pada pasien sebaiknya dikonfirmasi melalui anamnesis riwayat alergi pasien. Pengukuran total serum IgE tidak memiliki nilai dalam tes diagnosis untuk atopi (GINA, 2014).

Klasifikasi

Asma dapat diklasifikan berdasarkan pola keterbatasan aliran udara dan berat penyakit. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting untunk

(11)

mendapatkan terapi pengobatan dan perencanaan penatalakasaan jangka panjang yang tepat. Demikian merupakan klasifikasi asma berdasarkan derajat asma :

Tabel 2.4 Klasifikasi Asma Sesuai Derajat (GINA, 2012) Derajat

Asma

Gejala Gejala

Malam

Fungsi Faal Paru Terapi Rawat Jalan Intermitent Gejala < 1x/minggu

Gejala selain eksaserbasi tidak ada

Eksaserbasi ringan

≤ 2x/ bulan VEP/APE > 80 % prediksi

Variabilitas VEP / APE < 20 %

Agonis β 2 kerja cepat

Persistent Ringan

Gejala 1x/bulan hingga 1x/minggu Eksaserbasi mengganggu aktivitas >2x/bulan bulan VEP/APE ≥ 80 % prediksi

Variabilitas VEP / APE 20 – 30 % Agonis β 2 kerja cepat KSI dosis rendah Persistent Sedang

Gejala setiap hari

Eksaserbasi mengganggu aktivitas

Butuh reliever setiap hari

>1x/minggu minggu

VEP/APE 60-80 % prediksi

Variabilitas VEP / APE > 30 % Agonis β 2 kerja cepat KSI dosis rendah ABKP Persistent Berat

Gejala setiap hari

Eksaserbasi sering dan mengganggu aktivitas Aktivitas fisik tidak terbatas

sering VEP/APE ≤ 60 % prediksi

Variabilitas VEP / APE > 30 % Agonis β 2 kerja cepat KSI dosis tinggi ABKP &/ KSO 2.5 Penatalaksanaan

Penatalaksaan asma penting supaya asma yang diderita tidak bertambah parah. Sebenarnya penatalaksaan asma mempunyai beberapa tujuan seperti mencegah eksersebasi akut serta meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin. Mencegah keterbatasan aliran udara serta kematian akibat asma

(12)

merupakan tujuan lain dari penatalaksaan asma (WHO, 2010). Selain itu, pemberian pengobatan jangka pendek serta panjang merupakan antara komponen lain dalam penatalaksaan asma. Medikasi asma yang ditujukan untuk mencegah gejala obstruksi jalan napas terdiri atas pengontrol dan pelega. Pengontrol (controllers) adalah medikasi asma jangka panjang yang harus diberikan setiap hari untuk mencapai keadaan asal yang terkontrol pada asma persisten. Berikut adalah contoh dari obat pengontrol yang lazim digunakan kortikosteroid inhalasi dan sistemik, sodium kromoglikat dan leukotrien modifiers.Pelega (reliever) yang sering dianjurkan adalah antikolinergik serta aminofilin. Tujuan daripada penggunaan pelega ini adalah sebenarnya untuk saluran pernapasan akan berdilatasi. Akibatnya, keluhan sesak napas penderita akan berkurangan (GINA, 2014).

Pengobatan untuk Mencapai Kontrol

Setiap pasien akan ditetapkan untuk mendapatkan salah satu dari 5 langkah terapi. Lima langkah terapi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 yang merupakan terapi untuk dewasa dan anak-anak diatas umur 5 tahun. Pada setiap langkah terapi, pemberian reliever sebaiknya diberikan untuk mengobati gejala dengan cepat. Namun, perlu diperhatikan seberapa banyak reliever yang digunakan pasien, regular atau terdapat peningkatan penggunaan yang mengindikasikan asma tidak terkontrol dengan baik. Pada langkah kedua sampai langkah kelima pasien juga memerlukan satu atau lebih medikasi controller regular yang akan mencegah timbulnya gejala dan serangan akut dimulai kembali. Glukokortikosteroid inhalasi merupakan medikasi controller yang paling efektif ada saat ini.Untuk beberapa pasien yang baru didiagnosis dengan asma dan belum mendapatkan pengobatan, maka pemberian terapi langsung dimulai sesuai langkah kedua (atau jika pasien menunjukkan gejala yang lebih berat langsung terapi sesuai langkah ketiga). Jika asma tidak terkontrol dengan regimen saat ini, maka terapi sebaiknya ditingkatkan. Pasien yang tidak mampu mencapai kondisi yang terkontrol dan sudah menggunakan terapi protokol keempat dapat digolongkan sebagai kasus difficult-to-treat asma. Pada pasien ini, kesepakatan diperlukan untuk focus dalam mencapai tingkatan kontrol terbaik yang mampu dirasakan dengan gangguan yang minimal terhadap aktivitas dan gejala harian yang sedikit mungkin serta minimalisir efek samping potensial dari terapi. Lakukan rujukan kepada spesialisasi asma dapat juga sangat membantu.

(13)

Medikasi inhalasi merupakan pilihan utama karena dengan cara ini obat langsung diantarkan menuju saluran napas tempat obat ini diperlukan yang akan menghasilkan efek terapi yang potensial dengan efek samping sistemik yang minimal. Medikasi inhalasi untuk asma tersedia dalam bentuk pressurized metered-dose inhalers (pMDIs), breath-actuated MDIs, dry powder inhalers (DPIs), dan nebulizers. Alat spacer memudahkan pasien menggunakan inhaler dan mengurangi absorpsi sitemik serta efek samping glukokortikosteroid.

Gambar 1. Penatalaksanaan Asma Berdasarkan Tingkatan Kontrol pada Dewasa dan Anak-Anak diatas Umur 5 Tahun

(14)

Monitor terus menurus status pasien penting dilakukan untuk mempertahankan kondisi asma terkontrol dan dapat memberikan terapi sesuai langkah dan dosis terendah sehingga akan memberikan biaya minimal serta keamanan maksimal. Pasien sebaiknya melakukan kontrol satu hingga 3 bulan setelah kunjungan pertama dan setiap 3 bulan setelah itu. Setelah suatu periode eksaserbasi, follow up sebaiknya dilakukan 2 minggu hingga 1 bulan.

Penyesuaian pengobatan:

 Apabila asma tidak terkontrol pada regimen terapi saat ini maka lakukan peningkatan (step up). Pada umumnya, perbaikan akan tampak selama 1 bulan kemudian. Namun tetap perlu untuk mereview teknik pengobatan pasien, kepatuhan konsumsi obat serta ketaatan untuk menghindari faktor resiko.

Apabila asma termasuk terkontrol sebagian, dapat dipikirkan untuk step up terapi, bergantung pada apakah terdapat pilihan yang lebih efektif, aman dan biaya dari setiap pilihan terapi serta kepuasan pasien dengan peralihan status kontrol yang didapat.

 Apabila status asma pasien sudah terkontrol setidaknya dalam 3 bulan terakhir, maka dapat dilakukan penurunan (step down) secara perlahan dan bertingkat dari terapi yang sudah didapat pasien. Tujuan utama melakukan penurunan terapi adalah mendapatkan pengobatan yang paling minimal untuk mempertahankan status kontrol.

Eksaserbasi Asma

Eksaserbasi dari asma (serangan asma) merupakan suatu episode peningkatan secara progresif keluhan sesak napas, batuk, suara napas mengi atau berat pada dada ataupun kombinasi dari keluhan tersebut. Adapun tujuan dari penanganan terhadap asma eksaserbasi ini adalah untuk membebaskan obstruksi jalan napas dan mencegah hipoksia dengan secepat mungkin dan merencana pencegahan kekambuhan. Terapi primer untuk eksaserbasi asma ini adalah pemberian obat inhalasi kerja cepat bronkodilator secara berulang dan pemberian glukokortikoid secara sistemik dalam waktu yang singkat serta membaiki suplemen oksigen setelah menilai derajat keparahan eksaserbasinya.

(15)

Serangan asma memerlukan penanganan segera sebagai berikut:

 Inhalasi 2-agonist kerja cepat yang adekuat (dimulai dari 2 – 4 puff setiap 20 menit untuk 1 jam pertama, eksaserbasi ringan memerlukan 2 – 4 puff setiap 3 – 4 jam, dan eksaserbasi sedang memerlukan 6 – 10 puff setiap 1 – 2 jam).

 Glukokortikosteroid oral (0,5 – 1 mg prednisolon/kg/hari) diberikan diawal terapi serangan sedang atau serangan berat untuk membantu mengembalikan reaksi inflamasi dan mempercepat pemulihan.

 Oksigen diberikan apabila pasien mengalami hipoksemia (saturasi O2<

95%).

 Kombinasi terapi 2-agonist/ anticholinergic berhubungan dengan penurunan resiko masuk rumah sakit dan peningkatan PEF dan FEV1.

Methylxantines tidak direkomendasikan jika digunakan sebagai tambahan kombinasi terhadap 2-agonist dosis tinggi. Namun theophylline dapat digunakan jika 2-agonist kerja cepat inhalasi tidak tersedia. Jika pasien sudah biasa mengkonsumsi theophylline setiap harinya maka konsentrasi serum harus diukur sebelum memberikan theophylline kerja cepat.

 Pasien dengan eksaserbasi asma berat yang tidak berespon dengan bronkodilator dan glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan Magnesium Sulphate IV 2 gram yang telah terbukti mampu mengurangi keperluan masuk rumah sakit.1,15

Monitor respon terapi

Monitoring akan selalu penting dilakukan walaupun status pasien sudah terkontrol karena asma merupakan penyakit yang sangat bervariasi. Pengobatan perlu dilakukan penyesuaian secara periodik terhadap respon jika ada kehilangan status kontrol akibat perburukan gejala atau munculnya serangan akut / eksaserbasi kembali. Evaluasi gejala sebanyak mungkin termasuk juga evaluasi peak flow. Di rumah sakit juga perlu dinilai saturasi oksigen, penilaian analisa gas darah pada pasien yang diperkirakan mengalami hipoventilasi,

(16)

kelelahan, distress berat atau peak flow prediksi 30 – 50%. Setelah eksaserbasi kembali pulih, faktor yang menjadi presipitasi eksaserbasi sebaiknya diidentifikasi dan strategi untuk implementasi menghindari alergen di waktu mendatang serta untuk melakukan review ulang rencana medikasi pasien (Tabri, 2012).

(17)

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : NKS

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan Tanggal Lahir :Denpasar, 13 Oktober 1985

Umur : 31 tahun

Alamat : Jalan Sidakrya No.120, Denpasar

Bangsa : Indonesia

Suku : Bali

Agama : Hindu

Pekerjaan : Sales Promotion Girl

Status : Menikah

Tanggal Pemeriksaan : 04 Maret 2016 Tanggal Kunjungan : 03 April 2016

3.2 ANAMNESIS

Keluhan utama : Sesak Napas Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah dirujuk oleh RS Surya Husada dan diantar oleh keluarganya dengan keluhan utama sesak nafas. Sesak nafas dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit ( 03 Maret 2016, siang hari). Sesak nafas dikatakan seperti diikat tali pada dadanya dan sangat susah dalam mengambil atau mengeluarkan nafas. Sesak dikatakan sangat mengganggu pasien dalam melakukan aktivitas. Pasien hanya dapat berbicara kalimat

(18)

sepotong-sepotong/frase saat sesak. Pasien merasa tidak membaik dengan perubahan ke posisi duduk dan juga tidak membaik dengan pemberian uap dan pengobatan. Awal timbulnya sesak saat itu, pasien sedang dalam kondisi membersihkan barang-barang dirumahnya, kemudian tiba-tiba pasien merasa batuk serta sesak. Kemudian pasien mengambil obat semprot ventolin, tetapi pasien merasa gejala semakin memberat. Sebelum membersihkan rumah pasien juga mengaku setelah mandi dengan air dingin.

Pasien juga mengatakan mengalami batuk berdahak. Batuk berdahak muncul pada hari 29 Februari 2016 pagi hari (3 hari SMRS). Dahak dikatakan dapat dikeluarkan, berwarna putih. Batuk darah disangkal oleh pasien. Batuk hilang timbul sepanjang hari dan tidak memburuk pada malam hari. Pasien mengaku tidak ada keluhan suara serak, tenggorokan gatal, dan panas pada badan.

Keluhan berkeringat di malam hari, penurunan berat badan badan yang drastik, nyeri tertusuk pada dada, bengkak pada kaki disangkal oleh pasien.Makan dan minum tidak ada masalah menurut pasien.BAK pasien dikatakan normal dan tidak ada keluhan. BAB normal dan tidak ditemukan adanya perubahan warna dan konsistensi BAB.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Pasien pertama kali mengalami keluhan seperti ini sudah sejak usia 18 tahun. (12 tahun yang lalu). Pasien mengaku baru dibawa ke RS atau klinik sekitar 4 tahun yang lalu dan didiagnosa dengan asma oleh dokter yang merawat ketika itu. Sebelumnya pasien hanya meminum obat ditoko atau mengikuti obat yang dikonsumsi oleh kakaknya. Ia mengatakan pada tahun 2015 hampir setiap bulan pasien di rawat atau datang ke klinik ataupun RS untuk dirawat ataupun di lakukan penguapan. Saat pasien kambuh serangan asmanya pasien langsung menyemprotkan obat semprot, kemudian gejala menjadi lebih baik. Jika gejala semakin memberat pasien datang ke klinik atau RS untuk meminta dilakukan penguapan.

Pasien terakhir kali mengalami sesak adalah sekitar 2 minggu sebelum timbulnya sesak tanggal 18 Februari 2016. Dikatakan frekuensi munculnya keluhan sesak kurang lebih 1-2 kali/minggu dan membaik dengan pemberian uap. Pasien mengatakan memiliki riwayat alergi asap, debu, dan dingin. Jika pasien terkena paparan debu, asap, dan dingin asma pasien sering sekali kambuh.

(19)

Riwayat penyakit hipertensi dan kencing manis serta penyakit jantung disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengakui dalam keluarganya ada yang memiliki keluhan yang sama seperti dia yaitu ibu dan kakaknya, serta 2 keponakannya juga menderita asma. Selain itu adik pasien juga dikatakan menderita alergi terhadap beberapa makanan dan obat-obatan. Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis, penyakit jantung dan ginjal dalam keluarga disangkaloleh pasien.

Riwayat Pribadi dan Sosial

Saat ini pasien bekerja sebagai Sales Promotion Girl di salah satu supermarket yang besar di Denpasar. Pekerjaan pasien cukup berat yaitu sekitar 8 jam dalam waktu sehari dan di bagi dalam 2 shift, pagi dan siang. Selama bekerja pasien terpapar oleh dingin karena AC serta debu saat pasien harus mengambil barang ataupun membersihkan barang di gudang. Saat bekerja pasien juga sering memiliki masalah karena penyakitnya, dikarenakan atasan pasien tidak menyukai pegawainya diam untuk sekedar beristirahat. Pasien menyagkal mengkonsumsi rokok ataupun alkohol. Tetapi pasien mengatakan jika hidup dengan teman-teman atau keluarga yang merokokok.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK Status Present

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis(GCS : E4V5M6 )

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 105x/menit, reguler

RR : 32x/menit, ekspirasi memanjang

Suhu badan : 36,9oC

(20)

Tinggi badan : 160 cm Berat badan : 55 kg

BMI : 21,48 kg/m2

Status General

Mata : anemia -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-

THT : sekret -/- , hiperemis pada faring (+), Tonsil T1/T1 Leher : JVP PR+0 cmH2O , Pembesaran limfe (-)

Thorak

Cor Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V MCL S Perkusi : batas kiri: ICS V MCL S

batas kanan: 1 cm PSL D batas atas : ICS II

Auskultasi : S1S2 tunggal reguler murmur (-)

Po Inspeksi : gerak pernapasan simetris statis dan dinamis, retraksi (-) suprasternal, barrel chest (-)

Palpasi : VF N/N, nyeri tekan (-) Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : Vesikular Rhonci Wheezing

Abdomen Inspeksi : distensi (-), denyut epigastrial (-)

+ + + + + + - - - - - - + + + + + +

(21)

Auskultasi : Bising Usus (+) normal Palpasi : Hepar : tidak teraba

Lien : tidak teraba Balottement : -/-

Perkusi : timpani (+)

Ekstremitas: hangat , edema , sianosis

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tabel 1 Darah Lengkap( 3 Maret 2016, 15.21 WITA )

Parameter Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan

WBC 14,04 103/μL 4,10-11,0 - Ne 8,31 76 103/μL % 1.63-6,96 47,0-80,0 - Ly 1,31 12 103/μL % 1– 4 13 – 40 - Mo 0,6 5,5 103/μL % 0,1- 1,2 2 – 11 - Eo 0,65 6,1 103/μL % Tinggi 0,3-0,44 0 - 5 - Ba 0, 01 0,1 103/μL % 0,0-0,1 0,0 – 2,0 RBC 4,58 106/μL 4,06-5,20 HGB 15,6 g/dL 12,0-16,0 HCT 39,94 % 36,0-46,0 MCV 87,11 fL 81,1-96 MCH 28,6 pg 26-34,0 + + + + - - - - - - - -

(22)

MCHC 32,93 g/dL 31,0-36,0

RDW 12,58 % 11,6-14,8

PLT 199,5 103/μL 140-440

MPV 6,4 fL 6,8-10,0

Tabel 2Analisis Gas Darah (3 Maret 2016, 10.21 WITA ) Parameter Result Unit Remarks Nilai Rujukan

pH 7,42 - 7,35 – 7,45 pCO2 31 mmHg Rendah 35,00 – 45,00 pO2 135 mmHg Tinggi 80,00 – 100,00 HCO3- 20,1 mmol/L 22,00 – 26,00 TCO2 21,1 mmol/L 24,00 – 30,00 BEecf -4,4 mmol/L -2 – 2 SO2c 98 % 95 – 100 Natrium 141,0 mmol/L 135,00 – 145,00

Kalium 3,4 mmol/L Rendah 3,50 – 4,80

Tabel 3 Kimia Klinik (3 Maret 2016, 10.21 WITA)

Parameter Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan

SGOT 17,4 U/L 11 - 27 SGPT 9,9 U/L 11,00 – 34,00 BUN 8 mg/dL 8,00 – 23,00 Creatinine 0,59 mg/dL 0,50 – 0,90 Random blood glucose 163 mg/dL Tinggi 70,0 – 140,0

(23)
(24)

Keterangan

-Cor : besar dan bentuk normal -Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul

-Sinus pleura kanan tajam, kiri tertutup perselubungan -Diafragma: kanan normal kiri tertutup perselubungan -Tulang-tulang dan jaringan lunak tidak tampak kelainan Kesimpulan :Hiperereted Lung

3.5 DIAGNOSIS

Serangan Asma derajat Sedang 3.6 PENATALAKSANAAN

 Rencana terapi :  Rawat inap

 O2 10 lpm (NRM)

 IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit  Diet lunak 1800 kkalori.

 Methylprednisolone 2 x 62,5 mg Bolus IV

 Aminophyllin 240 mg in IVFD D5% drip 20 tpm  Ambroxol 3 x 30 mg io

Planning Diagnostic:

 Spirometri (PEF atau FEV1) (jika pasien sudah stabil)

 Monitor:  Keluhan

 Perbaikan Gejala  Saturasi O2

(25)

3.7 PROGNOSIS

Ad vitam: Dubius ad bonam Ad functionam: Dubius ad bonam Ad sanationam: Dubius

(26)

BAB IV

KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 ALUR KUNJUNGAN LAPANGAN

Kunjungan yang dilakukan pada tanggal 4 April 2016. Kami mendapat sambutan yang baik dari pasien dan keluarga. Adapun tujuan diadakannya kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien. Selain itu kunjungan lapangan ini juga memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien serta memberikan dorongan semangat kepada pasien dalam mengatasi penyakitnya. Pasien dalam kasus ini telah mengalami serangan asma dan memang menderita asma sejak lama.

4.2 IDENTIFIKASI MASALAH

Adapun sejumlah permasalahan yang masih menjadi kendala pasien dalam hal menghadapi penyakitnya :

1. Penyakit pasien merupakan penyakit kronis yang dapat kambuh pada saat-saat tertentu sepanjang hidupnya. Dan jika kambuh atau terjadi serangan asma pada pasien, hal ini mengakibatkan pasien sulit melakukan aktivitasnya sehari-hari.

2. Secara umum pasien sudah mengerti tentang penyakit dan pengobatan penyakitnya, pasien juga memahami karakter penyakit dan bagaimana pada tahap awal menangani ketika terjadi serangan ringan. Namun untuk penanganan lebih lanjut pasien masih belum memiliki alat-alat yang cukup untuk mengatasi gejala yang diderita, terutama bila terjadi serangan yang lebih berat.

3. Pasien tinggal di kamar yang terpisah dari rumah utama, jika kamar pasien terlihat cukup bersih, pasien menggunakan sprei di atas tempat tidurnya, tetapi kamar pasien sempit serta lembab, serta banyak debu di kamar pasien. Ventilasi dan pencahayaan dikamar pasien juga sangat kurang. Kemudian setiap hari pasien menggunakan kipas angin yang hanya seminggu sekali

(27)

dibersihkan dari debu yang menempel pada kipas angin pasien. Pasien juga membakar sampah di halaman rumahnya, sehingga menjadi faktor pemicu terjadinya serangan asma. Secara keseluruhan jika rumah utama pasien terlihat kurang bersih dan banyak debu serta barang-barang yang berserakan. 4. Faktor psikologikal dan pemicu stres pada pasien. Pasien adalah seorang

janda yang telah bercerai dari suaminya, pasien memiliki seorang anak, dimana anak pasien diasuh oleh keluarga suami pasien. Pasien mengeluhkan sering stress memikirkan anaknya yang kadang pasien rindukan. Selain itu pasien juga bekerja menjadi SPG, di tempat kerjanya pasien merasa kurang bisa dimengerti oleh atasannya karena penyakitnya, pasien terkadang disindir ataupun diberikan peringatan jika pasien izin dari pekerjaannya karena sakit. Hal-hal tersebut terkadang membuat pasien berpikir sangat keras dan memicu kembali serangan asma pada pasien.

5. Pasien juga bekerja di tempat kerja yang hampir semua teman kerja laki-lakinya adalah perokok aktif, sementara pasien mengaku jika menghisap asap rokok pasien merasakan sesak nafas dan batuk-batuk.

6. Status gizi pasien termasuk dalam status gizi baik. Status gizi pasien harus dipertahankan, tetapi pasien mengaku makannya tidak teratur. Pasien makan sehari 2 kali, sekali makan di rumah dan sekali makan ditempat kerja. Pasien juga gemar mengkonsumsi ikan asin, snack dan kue-kue kering yang terkadang dapat membuat pasien radang tenggorokan serta batuk. Pasien kurang dapat menjaga kondisi tubuhnya dengan baik karena pasien tidak pernah berolahraga, serta pasien belum mempunyai tata cara hidup sehat.

4.3 ANALISIS KEBUTUHAN PASIEN a. Kebutuhan fisik-biomedis

1. Kecukupan Gizi

Makanan untuk pasien dan keluarga disiapkan oleh pasien dan ibu pasien, keluarga pasien sangat mendukung untuk menjaga komposisi makanan pasien. Makanan yang disiapkan oleh pasien adalah nasi dengan lauk-pauk seperti tempe, tahu, daging dan sayuran. Tetapi pasien mengaku hanya makan

(28)

satu kali saja di rumah. Selebihnya pasien makan di tempat kerja pasien. Biasanya pasien makan 2 kali sehari. Jadi nutrisi harian pasien bisa menjadi kurang tercukupi dengan baik. Tetapi untuk sekarang ini status gizi pasien masih baik. Pasien juga senang mengemil dan makan snack. Pasien juga sering sekali mengkonsumsi ikan asin yang diawetkan walaupun pasien merasakan gatal jika makan ikan tersebut, pasien tetap melakukannya.

Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :

Berat badan ideal = 90% x (155cm-100) x 1 kg = 49,5 kg

 Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100% = (55:49,5) x 100% = 111% (berat badan lebih)

 Jumlah kebutuhan kalori per hari =

 Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 25 kalori (perempuan) = 49,5 x 25 = 1237,5 kalori

 Kebutuhan aktivitas (sedang) = +30% = +371,25 kalori

Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1237,5 + 371,25 = 1608,75 kalori  dibulatkan menjadi 1608,75 kalori.

Distribusi makanan :

 Karbohidrat 60% = 60% x 1608,75 kalori = 965,25 kalori dari karbohidrat setara dengan 240,5 gram karbohidrat (965,25 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).

 Protein 20% = 20% x 1608,75 kalori = 321,75 kalori dari protein setara dengan 80,43 gram protein (321,75 kalori : 4 kalori/gram protein).

 Lemak 20% = 20% x 1608,75 kalori = 321,75 kalori dari lemak setara dengan 35,75 gram lemak (321,75 kalori : 9 kalori/gram lemak).

Contoh Makanan Sesuai Kebutuhan

Waktu Jumlah Jenis Jenis

Makan Pagi ± 20% dari total asupan harian

Karbohidrat: 192 kal - Nasi putih (1 gelas) - Susu sapi (1 gelas) - Telor ayam negri (1

(29)

(321,7 kalori) Lemak: 64,5 kal Protein: 64,5 kal

butir)

Selingan Pagi ± 10% dari total asupan harian (161 kalori)

- Pepaya 2 potong sedang

- Kopi+2 sendok gula

Makan Siang ± 30% dari total asupan harian (483 kalori) Karbohidrat: 289 kal Lemak: 97 kal Protein: 97 kal - Nasi putih (1,5 gelas) - Pepes ayam (1 potong)

- Telur ayam negri (1 butir) - Sup/ sayur (1 mangkuk) Selingan Siang ± 15% dari total asupan harian (241,2 kalori) - - Singkong 2 potong sedang

- Bubur kacang ijo 1 gelas Makan malam ± 25% dari total asupan harian (402 kalori) Karbohidrat: 241,2kal Lemak: 80.5 kal Protein: 80.5 kal

- Nasi putih (1 gelas) - Daging ayam (1 potong sedang) - Tahu (1/2 potong sedang) - Cah kangkung/ sayur (1 mangkuk) 2. Kegiatan fisik

Latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu upaya untuk mengurangi gejala asma. Olahraga dipakai untuk mengobati asma, karena olahraga yang bersifat aerobik dapat menyebabkan terbukanya saluran nafas. Olahraga yang dianjurkan seperti berenang, jogging, yoga. Karena sifat yang aerobik, maka jantung menjadi lebih kuat, sehingga pengambilan oksigen juga lebih banyak. Sehingga sangat membantu pasien bernafas dengan lebih baik.

Saat ini pasien merupakan sales promotion girl, sehari – hari pasien kegiatan pasien adalah bekerja selama 8 jam, mulai dari mengangkat barang-barang, menurunkan barang dari mobil box, berdiri dalam waktu yang cukup lama, membersihkan barang-barang dagangannya. Serta di rumah pasien memasak, membersihkan rumah, membanten, dan ikut mengurus kedua keponakannya. Pekerjaan pasien tergolong pekerjaan

(30)

ringan-sedang, tetapi pasien mengaku tidak pernah olahraga sama sekali, pasien merasa sudah terlalu capek dengan aktivitasnya dirumah dan di tempat kerja.

3. Akses ke tempat pelayanan kesehatan

Jarak dari rumah pasien ke RSUP Sanglah ± 8 km, pasien tidak mengalami kesulitan untuk mengunjungi RSUP Sanglah untuk kontrol dan mengobati penyakitnya. Akses dari rumah pasien menuju Puskesmas maupun Rumah Sakit Swasta relatif dekat yaitu sekitar 4 km. Sehingga jika terjadi serangan segera mengunjungi ke tempat pelayanan kesehatan terdekat terlebih dahulu.

4. Lingkungan

Pasien tinggal di sebuah rumah yang cukup bagus dengan 2 lantai di Jalan Sidakarya No.120 Denpasar. Di rumah tersebut dihuni oleh 8 orang, yaitu pasien, ibu pasien, kakak ke dua pasien dan istri serta anaknya, kakak ke 3 pasien dengan suaminya serta anaknya. Pasien tinggal di sebuah kamar sendiri yang terpisah dengan rumah utama. Secara keseluruhan kamar pasien terkesan rapi dan bersih. Sedangkan ventilasi dan sirkulasi didalam kamar kurang memadai, pasien juga terkesan sempit dan lembab. Sumber masuknya cahaya ke dalam kamar kurang sekali, jadi saat siang hari kamar pasien cenderung gelap. Tetapi secara keseluruhan lingkungan dalam rumah utama kurang rapi dan kebersihannya juga kurang. Ventilasi dan sirkulasi udara di dalam rumah utama ada dan cukup memadai, namun sumber masuknya cahaya matahari pagi dan sore ke dalam rumah tampak masih kurang. Pasien tidur di kamar sendirian. Tempat tidur pasien tampak bersih dan rapi. Pasien menggunakan sumber air PAM untuk mandi, mencuci baju, air minum, dan keperluan memasak. Tempat pembuangan sampah diletakkan dihalaman rumahnya, dimana kalau sudah banyak, pasien membakar sampah dihalaman rumahnya. Pasien tidak memelihara hewan, karena beberapa anggota keluarga memiliki alergi terhadap bulu-bulu hewan tertentu. Lingkungan halaman rumah tampak berdebu dan kotor. Lingkungan rumah pasien tidak berada di jalur utama kendaraan. b. Kebutuhan bio-psikosoial

1. Lingkungan biologis

Dalam lingkungan biologis atau keluarga pasien ada yang pernah mengeluh keluhan yang sama seperti pasien yaitu ibu pasien, kakak ke dua pasien, dan keponakan pasien dari kakak kedua pasien.

(31)

Faktor psikososial

Dalam keadaan sakit ini pasien sangat membutuhkan pengertian dan dukungan dari keluarga. Pasien membutuhkan dukungan dari keluarga yang tinggal dengan pasien termasuk ibu dan kakak-kakak pasien. Keluarga agar senantiasa mengawasi pola kegiatan dan makan pasien, serta ikut mengawasi segala faktor pemicu yang berhubungan dengan penyakit asma pasien. Penting juga dari pihak keluarga ikut membantu permasalahan yang dihadapi pasien sehari-hari sehingga turut meringankan beban pasien. Keluarga juga dibutuhkan sebagai teman untuk mencurahkan segala beban pikiran yang dirasakan pasien.

4.4 SARAN DAN PEMECAHAN MASALAH

Beberapa masalah yang dijelaskan sebelumnya, kami mengusulkan penyelesaian masalah yang yakni:

1. Edukasi pasien tentang penyakitnya

Pasien dijelaskan kembali lebih lengkap mengenai penyakit asma dan bagaimana faktor resiko, perkiraan perjalanan penyakitnya, pencegahan dan pengobatannya lebih lanjut. Pasien juga disarankan untuk rutin kontrol di RS atau di dokter spesialis sampai asma yang diderita terkontrol sepenuhnya. 2. Memberikan KIE agar kegiatan pasien diatur dengan baik dan pasien dapat

menghindari faktor-faktor pencetus kambuhnya penyakit yang diderita pasien seperti memakai jaket untuk menghindari udara dingin, memakai masker jika bepergian menggunakan sepeda motor. Pasien juga diberikan edukasi agar selalu menyediakan dan membawa obat-obatan yang diperlukan untuk mengatasi jika terjadi serangan.

3. Memberikan edukasi mengenai menjaga lingkungan rumah dan rumah, terutama mengenai debu, polutan dan alergen yang potensial timbul. Pasien agar rutin membersihkan rumahnya dengan tidak menggunakan sapu atau kemucing, tetapi dapat menggunakan lap basah, mengganti sprei secara berkala, meletakkan pakaian di lemari pakaian, serta mengatur sirkulasi udara serta cahaya yang cukup di dalam rumah. Pasien diedukasi untuk membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir terdekat, dan tidak membakar sampah di halaman rumah karena asap bakaran sampah dapat

(32)

memicu terjadinya asma. Pasien juga diberikan edukasi mengenai pemilihan makanan, sebaiknya memasak makanannya sendiri dan menghindari makanan berupa snack ataupun kue kering.

4. Memberikan edukasi kepada pasien untuk menjaga pola makannya, dan menyarankan untuk makan 3 kali sehari. Selain itu juga rutin berolahraga aerobik secara teratur yang dapat membuat jantung menjadi lebih kuat, sehingga pengambilan oksigen juga lebih banyak. Sehingga sangat membantu pasien bernafas dengan lebih baik.

5. Memberikan edukasi terhadapa manajemen stres dan emosional, pasien merupakan pribadi yang mudah sekali stres. Jadi diberikan edukasi untuk tidak memikirkan masalah-masalahnya terlalu berat. Memberikan edukasi jika stres juga dapat menjadi pemicu munculnya serangan asma.

Saran

1. Pasien sebaiknya membersihkan rumah setiap hari, saat membersihkan barang ditempat kerja ataupun dirumah disarankan menggunakan lap basah berisikan air agar debu tidak berterbangan, termasuk membersihakan kamar dan tempat tidur, pasien sebaiknya menjemur kasur secara berkala dan memberikan sprei/ kain yang bersih diatas tempat tidur dan mencucinya secara berkala. Pasien sebaiknya membuka jendela dan pintu saat siang hari sehingga sirkulasi kamar dan rumah menjadi baik. Paisen juga sebaiknya membersihkan kipas anginnya lebih sering dan menggunakan lap basah, selain itu jika kipas angin juga bisa di ganti dengan AC tetapi dengan suhu yang relatif rendah. Pasien juga sebaiknya membuang sampah ke Tempat Pembuangan Akhir terdekat, dan tidak membakar sampah di halaman rumah. Jika tidak ada TPA, sebaiknya pasien membakar sampah pada lokasi yang agak jauh dari rumah. 2. Keluarga sebaiknya mendukung pengobatan pasien secara psikis, fisik, dan

material sehingga meringankan beban pikiran dan tenaga pasien. Terutama mengingatkan untuk menghindari faktor-faktor pencetus penyakitnya.

(33)

3. Pasien memperbaiki pola makanannya agar pasien makan 3 kali sehari dan mengurangi kesukaan pasien terhadap ikan asin yang kadang menyebabkan gatal serta snack dan kue kering yang membuat pasien menjadi sakit tenggorokan.

4. Pasien disarankan untuk sesekali bertemu dengan anaknya jika pasien merindukan anaknya. Kemudian pasien disarankan untuk memiliki teman dekat selain keluarga yang dapat mendengarkan keluh kesah pasien. Sehingga pasien tidak terlalu stres dengan masalah pekerjaan dan pribadinya. Pasien juga butuh jalan-jalan atau berwisata agar pasien merasakan rilex dan nyaman jika pasien sudah mulai lelah bekerja. Pasien disarankan juga untuk tidak terlalu mendengarkan sindiran dan ucapaan atasan serta teman-temannya mengenai penyakit pasien.

5. Pasien sebaiknya mulai mengatur waktu untuk berolahraga serta ikut menjaga dirinya agar terhindar dari paparan faktor pencetus penyakitnya seperti debu, dingin, dan asap. Hal-hal tersebut terutama yang sudah diketahui pasien dan pernah menimbulkan kekambuhan serangan terhadap diri pasien.

(34)

DAFTAR PUSTAKA

Akinbami LJ, Moorman JE, Liu X. 2011. Asthma Prevalence, Health Care Use, and Mortality: United States, 2005–2009. National Health Statistics Reports. 32. 1-15.

Bateman ED, Boulet LP, Cruz AA, Gerald MF, Haahtela T, Levy ML, O’byrne P, Ohta K, Paggaiaro P, Pederson SE, Soto Quiroz M, Wong GW, Barnes N, Barnes PJ, Becker A, Drazen JM, Jongste JC, Lemanske RF, Pederson SE, Pizichini E, Reddel HK, Sulivan SD, Wenzel SE. Global Strategy For Asthma Management and Prevention: Updated 2011. Global Initiative For Asthma (GINA). 2011. 1-124.

Global Initiative for Asthma. 2014. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. GINA Appendix Chapter 4. Test for diagnosis and monitoring of asthma. Pp : 23-7.

National Heart Lung and Blood Institute. 2007. Guideline for Diagnosis and Management Asthma. USA : NHLBI Departement of Health and Human Services.

Patterson R, Graenberger PA.1992. Problem Cases in Asthma and Problems in Asthma Management. Chest. 101: 430-431.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : PDPI

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Asma Bronkiale. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Ratnawati. 2011. Editorial Asma di Indonesia. J Respir Indo. 31(4): 172-175.

Tabri NA, Supriyadi M, Yunus F, Wiyono WH. The Efficacy of Combination of Inhalation Salmeterol and Fluticasone Compare with Budesonide Inhalation to Control Test as Evaluation Tool. J Respir Indo. 20120. 30 (3):152-158.

Widodo R, Djajalaksana S. 2012. Patofisiologi dan marker Airway Remodeling pada Asma Bronkial. J Respir Indo. 32 (2): 110-119.

Gambar

Tabel 2.4 Klasifikasi Asma Sesuai Derajat  (GINA, 2012)  Derajat
Gambar  1.  Penatalaksanaan  Asma  Berdasarkan  Tingkatan  Kontrol  pada  Dewasa  dan  Anak- Anak-Anak diatas Umur 5 Tahun
Tabel 1 Darah Lengkap( 3 Maret 2016, 15.21 WITA )
Tabel 2Analisis Gas Darah (3 Maret 2016, 10.21 WITA )  Parameter  Result  Unit  Remarks  Nilai Rujukan

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata aroma tortilla ubi jalar ung pada gambar histogram memberikan hasir berkisar 4,27 - 4,63 (antara tidak suka dana suka ) dengan masing-masing

Hasil analisis Proksimat yang dilakukan dua kali uji yaitu pada minggu pertama awal penyimpanan dan pada minggu ketiga akhir penyimpanan terdapat varian Proksimat abon

NIP.. IPA 3.5 Menganalisis hubungan antar komponen ekosistem dan jaring-jaring makanan di lingkungan sekitar 4.5 Membuat karya tentang konsep jaring- jaring makanan dalam

Dari data yang diperoleh bahwa pendidikan ibu yang kategori pendidikan menengah dan tinggi, status gizi anaknya tergolong normal, sehingga semakin tinggi pendidikan

b) Compositional analysis of separator gas and liquid up to heptanes plus fraction, including determination of nitrogen and carbon dioxide fractions as well as calculation

Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Menggambarkan perencanaan program kemitraan yang dilaksankan oleh UPT SKB Gunungkidul, 2) Menggambarkan implementasi model kemitraaan

Bahwa benar pada saat Terdakwa akan bebicara dengan Saksi 2 (Sdri.Oliep) bersamaan itu pula Saksi 2 pergi bermaksud akan berganti pakaian, sehingga niat Terdakwa untuk

Di antar hikmah beranak banyak di masa sekarang ini adalah seorang wanita akan berpikir seribu kali kalau minta bercerai dari suaminya. Jauh berbeda antara istri yang sudah