• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga merupakan suatu bagian yang indah, bahkan anak dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas pernikahan (Hurlock, 1980). Setiap pasangan suami istri mengharapkan kehadiran seorang anak sebagai pelengkap rumah tangganya, karena merawat, mengasuh dan membesarkan anak serta memperhatikan tumbuh kembang anak menjadi dambaan setiap pasangan suami istri. Ketika anak masih berada dalam kandungan, orang tua sudah memiliki banyak harapan untuk anaknya kelak. Melahirkan anak yang sehat dan terus menerus menjamin kesehatan serta kebahagiaan anaknya tentu menjadi salah satu harapan bagi setiap orang tua. Akan tetapi perjalanan hidup seseorang tidaklah selamanya berjalan dengan baik. Tidak semua harapan dari setiap orang tua mengenai anaknya terwujud. Orang tua seringkali dihadapkan pada berbagai macam persoalan dan kesulitan dalam kehidupannya yang membuatnya merasa tertekan, sulit untuk menerima kenyataan dan merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri. Terdapat beberapa orang tua yang harus dihadapkan pada keadaan tersebut sehingga memunculkan pemikiran bahwa dirinya tidak seberuntung orang tua yang lain. Diantaranya adalah orang tua yang harus dihadapkan pada kesulitan ketika anaknya menderita suatu penyakit khususnya penyakit gagal ginjal.

(2)

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine. Gagal ginjal merupakan salah satu penyakit terminal dan apabila tidak mendapatkan terapi yang tepat dan sesuai maka akan menyebabkan suatu keadaan yang disebut uremical statel syndrome uremic yang berujung pada kematian. Populasi penyakit gagal ginjal di Indonesia dari tahun ke tahun kian meningkat. Berdasarkan data yang dirilis dari PT. Askes pada tahun 2010 jumlah pasien gagal ginjal ialah 17.507 orang. Kemudian pada tahun 2011-2012 terjadi peningkatan yakni 24.141 pasien. Menurut Situmorang (2003), penyakit gagal ginjal terutama gagal ginjal kronis (GGK) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas dibanyak negara termasuk di Indonesia. (http://lifestyle.okezone.com/read/2013/06/28/482/829210/populasi-penderita-gagal-ginjal-terus-meningkat-di-2013)

Berada pada kenyataan bahwa anaknya menderita penyakit tersebut seringkali menjadi keadaan yang dapat menimbulkan kondisi stress pada orang tua khususnya bagi ibu, karena sebagai orang tua ibu adalah care giver bagi anak-anaknya.. Berbagai macam reaksipun diperlihatkan oleh ibu. Ketika menghadapi stressor yang signifikan, setiap orang akan melalui proses tertentu yang memungkinkan mereka untuk bertahan atau beradaptasi. Dalam hal ini, ibu yang harus dihadapkan pada kenyataan bahwa anaknya menderita penyakit gagal ginjal, tentu mengalami banyak proses dalam perjalanannya untuk menyembuhkan anaknya. Selain harus terus memberikan dukungan pada sang anak, ibu juga harus memikirkan hal apa yang

(3)

harus ditempuh guna menyembuhkan anaknya, karena penyakit gagal ginjal merupakan penyakit yang bukan hanya memerlukan usaha yang keras untuk penyembuhannya tetapi juga memerlukan biaya yang tidak sedikit dalam proses penyembuhannya. Salah satu usaha yang perlu dilakukan adalah membawa anaknya untuk menjalani terapi Hemodialisis.

Hemodialisis atau cuci darah adalah sebuah prosedur medis yang menggunakan mesin khusus (mesin dialisis) untuk menyaring produk limbah dari darah dan mengembalikan kandungan normal darah. Frekuensi tindakan Hemodialisis bervariasi tergantung banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, rata-rata pasien gagal ginjal menjalani Hemodialisis 2-3 kali dalam seminggu sedangkan lama pelaksanaan Hemodialisis paling sedikit empat sampai lima jam. Pasien yang telah menjalani hemodialisis akan terus menerus melakukan Hemodialisis secara rutin untuk menyambung hidupnya. Menjalani Hemodialisis bukanlah perkara yang mudah. Selain membutuhkan waktu yang rutin dan biaya yang tidak murah, hemodialisis juga cukup memberikan rasa sakit pada saat dijalani pasien. Akan tetapi dengan menjalani hemodialisis ini berpengaruh besar terhadap kesehatan pasien, memang tidak bertujuan untuk menghilangkan sakit gagal ginjal secara langsung. Namun demi kelangsungan hidup pasien, karena tidak menjalani hemodialisis akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup pasien.

(http://kamuskesehatan.com/arti/hemodialisis/)

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al Ihsan merupakan satu-satunya Rumah Sakit yang terletak di Kabupaten Baleendah, Bandung. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak Rumah Sakit, di Rumah Sakit tersebut terdapat sekitar

(4)

30-40 pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Usia pasien yang mengikuti terapi bervariasi, termasuk didalamnya terdapat pasien remaja dan dewasa awal dengan rentang usia 17-23 tahun. Terapi Hemodialisis berlangsung setiap hari senin-sabtu yang dimulai pukul 07.00-15.00, setiap harinya terapi ini dibagi menjadi 2 sesi sehingga terdapat sejumlah pasien yang menjalani terapi pada pagi hari dan sejumlah pasien yang menjalani terapi pada siang hari. Setiap satu sesi diikuti sekitar 11 pasien, setiap pasien memperoleh jadwal rutin 2 kali dalam seminggu yakni Senin-Rabu, Selasa-Jumat atau Rabu-Sabtu.

Peneliti melakukan observasi suasana tempat berlangsungnya terapi Hemodialisis. Terapi tersebut dilaksanakan disebuah ruangan khusus dimana hanya keluarga yang boleh masuk dan menemani pasien. Didalam ruangan terdapat 11 tempat tidur yang masing-masing disebelahnya diletakkan peralatan yang digunakan untuk Hemodialisis. Diluar ruangan terdapat tempat menunggu para keluarga yang tidak ikut masuk kedalam menemani pasien menjalani terapi. Ibu dari pasien beberapa kali keluar ruangan untuk menunggu di tempat tersebut sambil mengobrol dengan orang tua atau keluarga dari pasien lain. Terkadang para ibu yang sedang menunggu anaknya juga saling berbagi mengenai kondisi anaknya masing-masing dan membicarakan mengenai penyakit yang diderita oleh anak mereka. Para ibu juga membicarakan hal-hal lain seputar dirinya dan keluarga sambil sesekali terlihat tertawa bersama orang tua lain.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 4 orang ibu pasien yang menemani anaknya terapi, ibu mengatakan bahwa saat menjalani hemodialisis anaknya cenderung merasa bosan dikarenakan waktu yang cukup lama. Terkadang ibu

(5)

mengajak anaknya mengobrol bersama karena ibu merasa kasihan pada anak, dengan mengajak anak mengobrol ibu berharap dapat mengalihkan perhatian anaknya dari kebosanan saat menjalani terapi. Ibu juga menceritakan jika anaknya merasakan sakit serta pegal ketika harus menjalani Hemodialisis. Sejumlah anak cenderung memiliki emosi yang labil, mudah tersinggung, mudah marah dan kurang kooperatif, Sehingga ibu menjadi sedih dan kadang merasa marah, jenuh, kesal serta kurang sabar dalam menghadapi anaknya. Ketika anaknya mengeluh, sebagian besar ibu akan menenangkan anaknya dengan memberikan nasihat agar anaknya bersabar. Akan tetapi terdapat juga anak yang sudah menerima kondisi sakitnya dan pasrah dengan program pengobatan yang dijalani. sehingga membuat ibu merasa kasihan pada anaknya dan terkadang kecewa pada diri sendiri karena menganggap penyakit tersebut adalah kegagalannya dalam mengurus anaknya. Tak jarang pula ibu merasa lelah dan ngantuk saat menunggu anaknya. Namun ketika merasa lelah, ibu akan memilih untuk keluar ruangan dan berbincang-bincang dengan orang tua lain. Ibu tidak ingin menunjukkan rasa lelahnya didepan anaknya karena takut hal tersebut akan membuat anak merasa bersalah, tidak nyaman ataupun merasa bosan. Ibu tetap ingin terlihat bersemangat agar dapat menularkan semangat tersebut pada anaknya.

Sebagian besar ibu beranggapan bahwa penyakit yang menimpa anaknya adalah salah satu bentuk ujian yang diberikan oleh Allah SWT sehingga ibu selalu mengingatkan anaknya untuk terus berdoa dan tetap berprasangka baik dengan Allah. Meskipun terkadang merasa sangat sedih, namun ibu menyadari bahwa memberikan dukungan serta menyemangati anak adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan. Ibu tetap berusaha bersikap ramah pada anak seperti dengan membujuk,

(6)

menenangkan anak, mengantarkan dan menemani anak dalam mengikuti terapi hemodialisis serta berusaha semaksimal mungkin untuk membiayai terapi meskipun setiap pelaksanaannya memerlukan dana yang cukup besar, sedangkan tidak semua ibu memiliki penghasilan yang tinggi ataupun berasal dari kalangan kelas ekonomi atas. sehingga sebagian besar ibu menggunakan jasa BPJS/Jamkesmas dan terdapat pula beberapa ibu yang mencari pinjaman dana dari saudara yang lain serta memilih mengesampingkan keperluan lain untuk menyisihkan penghasilannya sebagai biaya pengobatan.

Salah satu ibu pasien yang berprofesi sebagai pekerja di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) menceritakan jika ia adalah orang tua tunggal dari pasien. Suaminya meninggal saat anaknya masih kecil, ibu tersebut memiliki tiga orang anak dan dalam satu tahun terakhir anak keduanya yang berusia 20 tahun terkena penyakit gagal ginjal. Bermula dari anaknya yang mengeluh jika kakinya membengkak kemudian anaknya dibawa ke puskesmas dekat rumah di Kab Ciparay. Setelah diperiksa di puskesmas mereka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan ke RSUD Al Ihsan. Dari sanalah akhirnya ibu mengetahui jika anaknya terkena penyakit gagal ginjal dan harus segera melakukan terapi Hemodialisis. Saat mengetahui anaknya menderita penyakit tersebut, ibu merasa terkejut dan segera meminta penjelasan lebih lanjut kepada dokter mengenai penyakit tersebut, termasuk mengenai biaya pengobatannya. Awalnya ibu kebingungan bagaimana cara mengupayakan kesembuhan bagi anaknya, terlebih lagi ia adalah orang tua tunggal. Selain itu dokter menjelaskan jika anaknya harus rutin mengikuti terapi Hemodialisis dan menyarankan untuk menggunakan jasa BPJS atau Jamkesmas sehingga dapat

(7)

membantu meringankan biaya pengobatan. Ibu merasa cukup tenang ketika mengetahui jika ia dapat sedikit terbantu dalam permasalahan biaya, namun dikarenakan ibu terkadang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, sehingga ibu mengalami hambatan dalam menemani anaknya mengikuti Hemodialisis, tak jarang ibu meminta anak bungsunya yang berusia 18 tahun untuk mengantarkan dan menemani kakaknya mengikuti terapi Hemodialisis. Sang ibu mengaku saat mengetahui anaknya menderita penyakit tersebut, meskipun merasa terkejut namun ibu menyadari bahwa itu adalah ujian dan ia berserta anaknya akan mampu melewatinya. Ibu tetap bersabar dan ketika dirumah ibu selalu mengingatkan anaknya untuk tetap bersemangat, karena sebelum menderita penyakit tersebut anaknya sudah menikah sebanyak 3 kali dan saat ini telah berpisah dengan suaminya. Oleh karena itu ibu menjadi bertanggung jawab untuk memberikan pengasuhan dan perawatan kepada anaknya, sekaligus mengambil peran untuk menjaga kondisi psikologis anak agar tidak merasa semakin putus asa dalam menghadapi penyakitnya.

Dikarenakan penyakit gagal ginjal merupakan salah satu penyakit kronis, sebagai orang tua sudah menjadi kewajiban untuk memberikan perawatan kepada anak. Selain perawatan yang bersifat fisik seperti mengikuti terapi hemodialisis, ibu juga memikul tugas untuk membantu sang anak terhindar dari berbagai problem psikologis yang dapat menghambat pencapaian perkembangan yang optimal. Perawatan fisik seperti terapi Hemodialisis harus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan karena penyakit gagal ginjal yang diderita anak berlaku seumur hidup sehingga akan memiliki resiko kematian jika tidak dilakukan. Bagi ibu yang berasal dari kalangan ekonomi kelas bawah dengan penghasilan yang tidak besar,

(8)

tentu akan menjadi stressor yang berat ketika harus secara rutin mengikutkan anaknya menjalani terapi Hemodialisis. Meskipun di RSUD Al Ihsan disediakan jasa BPJS/Jamkesmas, namun sebagian biaya seperti biaya obat yang wajib dikonsumsi pasien masih harus ditanggung sendiri oleh pihak orang tua. Terlebih lagi menurut beberapa ibu mereka awalnya tidak tahu mengenai jasa BPJS/Jamkesmas di RS terssebut, sehingga di awal anaknya menjadi pasien HD seluruh biaya ditanggung sendiri olehnya. Ibu mulai mengetahui jasa BPJS/Jamkesmas ketika sudah saling kenal dan mengobrol bersama dengan orang tua pasien HD lainnya. Selain itu bagi ibu yang bertempat tinggal jauh seperti yang diungkapkan oleh salah satu ibu yang tinggal di kab. Soreang, mereka cukup kesulitan membawa anaknya terapi di Rumah Sakit karena kendaraan yang di miliki adalah kendaraan roda dua. Sedangkan setelah dilakukannya terapi hemodialisis tensi darah anak akan menurun diikuti dengan badan anak yang menjadi lemas, kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran dalam diri ibu sehingga beberapa ibu terpaksa membawa anaknya menggunakan angkutan umum. Selain permasalahan tersebut, ketika menjalankan perannya tak jarang ibu juga merasakan kesedihan dan suasana hati yang tidak baik. Namun hal tersebut harus dapat disembunyikan dari anak agar tidak berpengaruh pada kondisi psikologis anak. Ibu juga harus terlihat selalu tangguh, hebat dan bersemangat didepan anaknya agar semangat tersebut juga dapat dicontoh oleh anak.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, ketika memiliki anak yang menderita penyakit gagal ginjal dan harus rutin menjalani terapi hemodialisis, begitu banyak suka duka yang dialami oleh ibu dalam proses memperpanjang usia anaknya. Saat dihadapkan pada hambatan ataupun kesulitan seperti menyemangati

(9)

anak, memahami kondisi dan mengumpulkan dana untuk biaya pengobatan anak, kebanyakan ibu menyadari bahwa terdapat juga orang tua lain yang bernasib sama dengannya atau mungkin bernasib kurang beruntung dari dirinya. Sehingga ibu berusaha untuk menerima kondisi anaknya dan tidak menyalahkan diri sendiri ataupun anak melainkan lebih memfokuskan pada upaya penyembuhan anaknya. Hal-hal yang ditunjukkan oleh ibu tersebut mencerminkan Self Compassion. Menurut Kristen Neff (2003), Self Compassion adalah memberikan pemahaman dan kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami kegagalan ataupun membuat kesalahan, namun tidak menghakimi dengan keras dan tidak mengkritik diri sendiri dengan berlebihan atas ketidaksempurnaan, kelemahan dan kegagalan yang dialami diri sendiri. Sebagai ibu yang memiliki anak yang menderita penyakit kronis, menjalankan peran sebagai care giver tidaklah mudah. Diperlukan self compassion yang baik dalam diri ibu karena Self Compassion dibutuhkan agar mereka dapat memberikan kepedulian dan perhatian kepada anaknya. self compassion juga membantu menyeimbangkan emosi dan pikiran, sehingga melindungi ibu dari rasa lelah dan untuk meningkatkan perannya sebagai care giver.

Berkaitan mengenai Self Compassion, terdapat beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh Neff dkk, pada tahun 2005 di Austin. Penelitian tersebut dilakukan pada orang tua yang memiliki anak Alzhaimer serta ibu yang memiliki anak autis. Hasil penelitian menunjukkan Self Compassion membantu mengatasi segala pikiran negatif dan menyeimbangkan emosi ketika dihadapkan pada suatu kesulitan, sehingga Self Compassion dapat melindungi peran sebagai care giver dari rasa lelah dan untuk meningkatkan kepuasannya sebagai care giver. Self Compassion juga dapat

(10)

membantu orang tua untuk memaafkan dirinya sendiri dan menyadarkan para orang tua dalam menjalankan perannya sebagai care giver serta membuat diri merasa nyaman ditengah kesulitan dalam menjalankan perannya.

Penelitian tersebut dilakukan pada ibu dari anak yang sakit, meskipun penyakit yang diderita oleh anak alzhaimer dan autis berlaku seumur hidup, namun jika tidak dilakukan upaya penyembuhan maka tidak akan beresiko kematian pada anak. Berbeda dengan ibu dari anak yang menderita penyakit kronis seperti gagal ginjal. Penyakit tersebut jika tidak dilakukan upaya penyembuhannya, maka akan berakibat buruk pada kelangsungan hidup anak bahkan dapat beresiko kematian. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui gambaran Self Compassion pada ibu yang menjalankan perannya sebagai care giver bagi anaknya yang terkena penyakit gagal ginjal dan harus rutin menjalani Hemodialisis.

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi Self Compassion seseorang salah satunya adalah faktor kepribadian. Sebelumnya ditemukan penelitian mengenai The Big Five Personality, merupakan dimensi dari kepribadian (personality) yang dipakai untuk menggambarkan kepribadian individu. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI, ditemukan bahwa self-compassion memiliki hubungan dengan dimensi neuroticism, agreebleness, extroversion, dan conscientiousness dari the big five personality. Sebagai contoh seseorang yang memiliki skor agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, memaafkan dan penyayang. Korelasi dengan self compassion terjadi karena sifat baik, keterhubungan dan keseimbangan secara emosional milik self compassion terasosiasi dengan kecerdasan untuk menjadi akrab dengan orang lain. Sedangkan

(11)

seseorang dengan kepribadian conscientiousness, dideskripsikan sebagai orang yang memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir dan memprioritaskan tugas (McCrae & Allik, 2002).

Selain faktor kepribadian terdapat pula beberapa faktor lain yang mempengaruhi self compassion diantaranya kondisi keluarga dan usia. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diperoleh data penunjang atau data sekunder lain yakni data demografi dari ibu pasien. Data tersebut berguna untuk mempermudah peneliti dalam membahas lebih dalam mengenai self compassion pada ibu pasien. Sebagai contoh, persepsi ibu terhadap penyakit anaknya dipengaruhi oleh bagaimana latar belakang pendidikan ibu, serta perlakuan ibu tentu saja akan berdampak bagi kesehatan anak sehingga perlakuan yang ditunjukkan ibu saat menjalankan perannya sebagai care giver dipengaruhi pula oleh faktor kondisi ibu seperti usia dan pekerjaan ibu sehari-hari.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran Self Compassion pada ibu dari anak yang menjadi pasien gagal ginjal di RSUD Al Ihsan. Melalui teori Self Compassion dari Kristen Neff (2003), diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai Self Compassion pada ibu, dengan judul penelitian ”Studi Deskriptif Self Compassion Pada Ibu Pasien Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis”

1.2 Identifikasi Masalah

Pada dasarnya manusia menginginkan kebahagiaan dan tidak menginginkan penderitaan (suffering). Adanya suffering dapat menimbulkan perasaan sedih,

(12)

frustasi, stress berat, paranoid, hysteria, depresi, kesedihan berkepanjangan, terisolasi dari lingkungan dan akibat fatal lainnya (Morland, 1994:40). Mengetahui anaknya terkena suatu penyakit dan harus menjalani terapi berkepanjangan guna mempertahankan hidup adalah suffering bagi setiap orang tua khususnya bagi ibu. Salah satunya adalah ibu yang anaknya menjadi pasien gagal ginjal dan harus menjalani terapi hemodialisis. Setiap ibu menunjukkan reaksi yang bervariasi atas kenyataan yang dihadapinya. Terdapat ibu yang realistis, mengasihani diri sendiri dan merasa bersalah dengan keadaan anak mereka. Ketika berada di keadaan sulit tersebut, dalam menjalankan perannya ibu memerlukan keyakinan diri bahwa mereka mampu mengatasi kesulitan yang dihadapi. Ibu juga memerlukan daya tahan yang kuat untuk berhasil melewati suffering kemudian beradaptasi secara lebih baik dan menghadapi kehidupan selanjutnya.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh ibu adalah membawa anaknya untuk menjalani terapi pengganti ginjal yakni Hemodialisis. Dalam proses terapi,

berbagai macam kesulitan dihadapi oleh Ibu. Misalnya tak jarang anak yang enggan

untuk menjalani terapi secara rutin. Hal ini dikarenakan proses hemodialisis membutuhkan waktu yang lama dan anak cenderung cepat bosan dengan terapi tersebut. Setidaknya anak memerlukan waktu hingga 4 jam untuk sekali mengikuti

sesi terapi. Selain itu, anak sering mengeluh pada Ibu jika terapi tersebut membuat

tubuh anak terasa pegal dan sakit. Disanalah peran ibu sebagai orang tua sekaligus

sebagai Care Giver bagi anaknya menjadi sulit, karena ibu harus terus menunjukkan

kasih sayangnya dengan membujuk, menenangkan, menyemangati dan menemani

(13)

harus menimpa anaknya, tak jarang ibu menjadi beranggapan bahwa itu adalah kegagalan dirinya dalam merawat anaknya. Munculnya pikiran negatif tersebut

membuat ibu terkadang menyalahkan dirinya sendiri.

Menjalani peran sebagai seorang ibu tatkala anak terkena penyakit yang mengancam keberlangsungan hidup anaknya memang dirasakan berat. Selain

merasakan kesedihan yang berkepanjangan ketika melihat kondisi anak, ibu juga

harus terus berusaha mengoptimalkan upayanya untuk kesembuhan anak. Dalam proses menyembuhkan anaknya tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan, untuk sekali mengikuti terapi hemodialisis saja diperlukan biaya sekitar 150.000-300.000, sedangkan terapi hemodiliasis harus rutin dilakukan 2x seminggu. Tidak semua ibu memiliki suami dengan penghasilan yang tinggi, sehingga mereka harus terus memutar otak untuk bisa mengumpulkan biaya pengobatan anaknya. Berbagai usaha ditempuh demi mengumpulkan biaya pengobatan anaknya, tak jarang ibu merasa lelah dan menemukan hambatan-hambatan lainnya. Misalnya memikirkan bagaimana membagi penghasilan suaminya untuk keperluan rumah tangga dan untuk biaya pengobatan anak. Ibu juga harus mengurus suami dan anak-anaknya yang lain serta melakukan kegiatan rumah seperti memasak, mencuci dsb hingga tak jarang membuat ibu merasa lelah baik secara fisiki maupun kondisi psikisnya. Namun ibu kembali menyadari bahwa penyakit anaknya adalah salah satu ujian yang diberikan oleh Allah SWT dan sudah menjadi tanggung jawabnya untuk terus menerus menjamin

kesehatan anaknya. Sehingga ibu mampu melewati kondisi yang dihadapinya dan

meningkatkan kebaikan serta pemahaman kepada diri dalam menjalankan perannya sebagai orang tua tanpa terus merasa kecewa ataupun menghakimi diri sendiri.

(14)

Berbagai reaksi yang dimunculkan oleh ibu tersebut menunjukkan self compassion. self compassion menjadi masalah yang akan disorot lebih mendalam

dalam penelitian ini. Menurut Kristen Neff (2003), Self Compassion adalah

memberikan pemahaman dan kebaikan kepada diri sendiri ketika mengalami kegagalan ataupun membuat kesalahan, namun tidak menghakimi dengan keras dan tidak mengkritik diri sendiri dengan berlebihan atas ketidaksempurnaan, kelemahan dan kegagalan yang dialami diri sendiri. self compassion memiliki 3 komponen yaitu self kindness, common humanity, dan mindfulness (Neff, 2003). Untuk lebih memperjelas Penelitian yang akan dilakukan, maka perumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah “Bagaimana Gambaran self compassion pada Ibu Pasien Gagal Ginjal yang Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUD Al Ihsan Bandung?”

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran self compassion pada ibu pasien gagal ginjal yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Al Ihsan Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh data secara empiris

mengenai gambaran self compassion pada ibu pasien gagal ginjal yang menjalani

(15)

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Praktis

1) Bagi Ibu Pasien (Orang tua)

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi menyeluruh tentang pentingnya memberikan pemahaman yang baik terhadap diri sendiri dalam menjalankan peran sebagai orang tua khususnya dari anak yang sedang sakit.

2) Bagi Lembaga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang positif serta memperkaya pengetahuan terkait tentang pengasuhan yang juga dapat berpengaruh bagi kesehatan pasien

3) Bagi Peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai Self Compassion bagi peneliti lain yang berminat untuk membahas lebih lanjut mengenai self compassion pada ibu yang memiliki anak dengan penyakit gagal ginjal maupun penyakit kronis lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari Gambar 4 dan 5 yaitu untuk kondisi sebelum adanya short-cut dan setelah adanya short- cut dengan debit kala ulang 2 tahun diperoleh hasil bahwa pada cross section bagian

Merupakan protokol yang digunakan untuk membuat koneksi Packet-Switched dengan performa yang tinggi dan dapat digunakan di atas berbagai macam interface jaringan.. Untuk

Siti Rofiah Afriyanah dalam tulisannya “Kajian Model Pemilihan Moda Kereta Api atau Bus Menuju Stasiun Kereta Api Kroya dan Maos di Kabupaten Cilacap“, dimana tujuan

Konsekuensi yang diharapkan klien dapat memeriksa kembali tujuan yang diharapkan dengan melihat cara-cara penyelesaian masalah yang baru dan memulai cara baru untuk bergerak maju

Dengan menganalisis laporan keuangan pada Koperasi Bina Mandiri Boyolali yang berupa Laporan Neraca, Laporan Rugi/Laba, Laporan Kualitas Aktiva Produktif (KAP), dan

Lalu bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan self stigma

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh langsung variabel stress kerja, beban kerja dan lingkungan kerja non fisik terhadap turnover

Menjelaskan cara menyelesaikan soal cerita tentang penjumlahan atau pengurangan bilangan bulat Bersama siswa mendiskusikan cara penyelesaian soal cerita tentang penjumlahan