• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITERIA PEMILIHAN BAHAN AJAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KRITERIA PEMILIHAN BAHAN AJAR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Rahmat

Abstract: ...

Pendahuluan

Bahan ajar sebagai salah satu variabel pembelajaran merupakan alat belajar yang penting. Berdasarkan pentingya kehadiran bahan ajar itu, maka dalam proses pembuatannya harus hati-hati dan mempertimbangkan banyak faktor agar bahan ajar yang dihasilkan itu dapat dipakai dan bermanfaat. Hal itu bukanlah sekedar pembicaraan secara normatif saja, namun

berdasarkan kenyataan di lapangan

menunjukkan dalam dasawarsa ini terjadi

kegaduhan terkait bahan ajar terkait kandungan isi sampai grafis yang disajikan.

Permendiknas No. 11 tahun 2005 berisi tentang pentingnya buku teks pelajaran bagi peserta didik, melalui buku teks pelajaran peserta didik diharapkan mendapat informasi yang lebih terjamin keakuratannya karena informasi tersebut diperoleh dari sumber lain selain guru. Oleh karena itu, buku teks pelajaran sebagai sumber informasi seyogyanya memiliki kualitas yang baik, yang memenuhi kriteria standar tertentu (Pudji Mujono, 2010:1).

(2)

Masih kita ingat buku-buku ajar yang akhirnya ditarik dari pasaran mulai kandungan isi dengan muatan politik, materi yang dianggap konsumsi dewasa yang belum pantas dibaca anak-anak sekolah dasar, sampai sajian grafis berupa gambar yang tidak pantas. Masalah tersebut telah menimbulkan keprihatinan pada banyak pihak dan membuat pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan merasa perlu “menertibkan” dan membuat kriteria yang sesuai terkait bahan ajar. Oleh sebab itu, bertitik tolak dari masalah yang timbul terkait bahan ajar, yang terjadi dalam dunia pendidikan dan masyarakat, maka perlu sekali untuk menentukan kriteria pemilihan bahan ajar sebelum mengembangkan bahan ajar.

Adapun kriteria pemilihan bahan ajar yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini khusus ditujukan pada pembelajaran bahasa berbasis sastra yaitu dengan mencoba menemukan, memilih, dan memanfaatkan berbagai teks kesastraan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran bahasa. Meskipun secara umum akan membicarakan masalah kriteria pemilihan bahan ajar, namun ada baiknya apabila pembicaraan ini di mulai dengan pengertian dan pandangan tentang bahan ajar.

Bahan Ajar

Kata ‘bahan ajar’ bersinonim dengan bahan pelajaran atau kadang disebut juga dengan istilah materi pelajaran. Bahan ajar adalah salah satu sumber belajar bagi anak didik. Bahan yang disebut sebagai sumber belajar (pengajaran) ini

adalah sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan pengajaran (Sudirman, 1991:203). Lebih lanjut, diungkapkan oleh Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain (2006:43) bahwa bahan pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar. Tanpa bahan pelajaran proses belajar mengajar tidak akan berjalan. Karena itu, guru yang akan mengajar pasti memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan disampaikan pada anak didik. Namun dalam praktiknya di lapangan menunjukkan masih ada guru, pendidik, atau pengajar yang datang ke dalam kelas tanpa membawa buku, bahan ajar, atau sumber belajar yang sesuai dengan pelajaran. Mereka yang melakukan hal itu mungkin saja sudah merasa mampu mengajar cukup dengan hafalan.

Kehadiran dan pengadaan bahan ajar tidak serta merta begitu saja dipilih. Bahan ajar atau materi yang akan digunakan untuk belajar mengajar itu erat hubungannya dengan perangkat pembelajaran. Hal ini telah ditegaskan oleh Suryo Subroto (2002:42 dan 157) bahwa bahan atau materi pelajaran pada hakikatnya adalah isi dari materi pelajaran yang diberikan kepada siswa sesuai dengan kurikulum yang digunakan. Maksudnya pemilihan bahan ajar harus disesuaikan dengan kurikulum dan pengembangannya, yaitu silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Setelah tujuan instruksional dirumuskan, harus diikuti langkah pemilihan bahan ajar yang sesuai dengan kondisi tingkat murid yang akan menerima pelajaran. Jelasnya, bahan pelajaran merupakan isi dari proses interaksi tersebut.

(3)

Suryo Subroto (2002:32) mengungkapkan bahwa bahan pelajaran atau materi pelajaran adalah gabungan antara pengetahuan (fakta, informasi yang terperinci) dan keterampilan (langkah prosedural, keadaan dan syarat-syarat) dan faktor sikap. Jadi, dalam bahan ajar atau bahan pelajaran mempunyai tiga faktor penanaman penting untuk anak didik, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Iskandarwassid & Dadang Sunendar (2008:219—220) mempunyai haluan bahwa untuk mendapatkan bahan ajar atau materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, maka perlu diperhatikan beberapa hal penting sebagai berikut.

1. Materi pelajaran hendaknya sesuai dengan

kurikulum sehingga dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional.

2. Materi pelajaran hendaknya sesuai dengan

tingkat pendidikan dan perkembangan peserta didik pada umumnya.

3. Materi pelajaran hendaknya terorganisasi sistemik dan berkesinambungan.

4. Materi pelajaran hendaknya mencakup

hal-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. Materi bahan pengajaran ditetapkan dengan merujuk pada tujuan instruksional yang ingin dicapai.

5. Materi yang diberikan bermakna bagi para

peserta didik dan merupakan bahan yang betul-betul penting, baik dilihat dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk mempelajari bahan berikutnya.

Dari pengertian dan pertimbangan-pertimbangan penting tentang bahan ajar di atas menunjukkan bahwa bahan ajar yang pada akhirnya akan digunakan untuk belajar mengajar itu tidak sederhana. Ternyata ada banyak komponen yang harus diperhatikan. Seorang pembuat bahan ajar hendaknya juga merujuk kembali pada pandangan-pandangan tentang bahan ajar. Sehingga, bahan ajar yang dihasilkan dapat digunakan dengan baik.

Untuk menemukan, memilih, dan memanfaatkan berbagai teks kesastraan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran bahasa, mungkin sekali melakukan beberapa langkah dengan mempertimbangkan aspek-aspek kunci. Beberapa aspek kunci yang kiranya harus diperhatikan tersebut antara lain, psikologi perkembangan anak, bahasa dan makna, sementara itu B. Rahmanto (1988) berpandangan bahwa pengajaran yang menggunakan sastra dalam hal pemanfaatan karya-karya sastra, seorang guru atau pendidik juga harus memperhatikan aspek latar belakang budaya.

Psikologi Perkembangan Anak

Salah satu aspek kunci dalam upaya pemilihan bahan ajar ialah memahami dan menyadari psikologi dan perkembangan anak. Hal ini sangatlah vital karena untuk bisa mendapatkan dan mengaplikasikan bahan ajar yang tepat harus didasarkan pada kejiwaan dan kemampuan anak dalam menerima suatu pengetahuan.

(4)

1. Psikologi Perkembangan Anak

Burhan Nurgiyantoro (2010:48—66) berpandangan bahwa untuk mendapatkan bacaan yang sesuai dengan anak, maka orang dewasa harus peduli dengan hal itu. Bacaan (sastra) yang tepat akan menunjang pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek kemandirian anak. Oleh sebab itu, pemilihan bacaan harus dilakukan dengan hati-hati. Dalam bukunya yang berjudul Sastra Anak (Pengantar Pemahaman Dunia Anak) itu secara panjang lebar dijelaskan tahapan perkembangan anak dan pemilihan bacaan dari beberapa aspek yang didasarkan juga dari teori Piaget, Erickson dan Kohlberg, mulai dari perkembangan intelektual, perkembangan moral, perkembangan emosional dan personal, perkembangan bahasa, dan pertumbuhan konsep cerita.

Psikologi perkembangan anak berdasarkan pandangan Iskandarwassid dan Dadang Sunendar (2008:139—140) dapat dibagi menjadi:

a. Masa bayi, yaitu sejak lahir sampai tahun kedua.

b. Masa anak awal atau masa kanak-kanak, yaitu dari permulaan tahun ketiga sampai usia enam tahun, masa ini disebut masa prasekolah.

c. Masa anak lanjut atau masa anak

sekolah, yaitu dari masa 6 sampai 12-13 tahun, masa ini disebut pula masa usia sekolah dasar karena pada usia ini biasanya ia duduk di sekolah dasar. d. Masa remaja, yaitu usia 13-18 tahun.

Pandangan psikologi perkembangan anak menurut Iskandarwassid dan Dadang Sunendar di atas sangatlah penting untuk membedakan istilah anak dan remaja dari segi usia. Ketika terjadi perkembangan usia terjadi pula perkembangan-perkembangan yang lain yang menyertai, misalnya perkembangan pemikiran.

Slavin (2008:106) mengutip pemikiran Siegers menjelaskan bahwa antara usia 5 dan 7 tahun, proses pemikiran anak mengalami perubahan penting. Ini adalah periode peralihan dari tahap pemikiran pra operasional ke tahap operasi konkret. Perubahan ini memungkinkan anak-anak melakukan secara mental sesuatu yang sebelumnya dilakukan secara fisik dan membalik tindakan tersebut secara mental. Tidak semua anak menjalani peralihan ini pada usia yang sama, dan tidak satupun anak berubah dari tahap satu ke tahap berikutnya

dengan cepat. Anak-anak sering

menggunakan perilaku kognitif yang

merupakan ciri khas dua tahap

perkembangan pada saat yang sama ketika masing-masing meningkat dari satu tahap ke tahap berikut, karakteristik tahap sebelumnya dipertahankan ketika perilaku kognitif tahap yang lebih tinggi berkembang. Selain memasuki tahap operasional konkret, anak-anak usia sekolah dasar dengan pesat mengembangkan kemampuan daya ingat dan kognitif yaitu kemampuan memikirkan pemikiran mereka sendiri dan mempelajari bagaimana cara belajar.

(5)

Selain itu, Slavin dengan meminjam teori Piaget (2008:126—127) menjelaskan anak-anak di kelas atas sekolah dasar beralih dari egoisentris ke pemikiran yang lebih tidak terpusat. Pada usia 9 hingga 12 tahun anak-anak dapat menggunakan pikiran logis dan dapat dibalik, dapat bernalar secara abstrak, dan dapat mempunyai pemahaman tentang hubungan sebab akibat dan antar pribadi. Pada masa pra remaja, antara usia 9 dan 12 tahun, konformitas dan hubungan sebaya kelompok sebaya dengan gabungan jenis kelamin dan tantangan terhadap otoritas orang dewasa menjadi lebih penting. Pubertas adalah serangkaian perubahan psikologis utama yang mengakibatkan kemampuan berproduksi. Perbedaan-perbedaan penting terdapat dalam usia pemula pubertas, dan orang-orang yang dewasa secara dini maupun dewasa yang terlambat dapat mengalami kesulitan. Remaja mengembangkan reflektifitas dan kemampuan metakognitif yang lebih besar, seperti yang diuraikan oleh operasi formal Piaget: gabungan penyesuaian masalah dan penalaran hipotesis.

Dalam memilih teks kesastraan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran bahasa hendaknya memperhatikan perkembangan psikologis, hal ini berpengaruh terhadap minat dan keengganan anak didik. tahap perkembangan psikologis berpengaruh terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerjasama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan problem yang dihadapi. Berikut

ini tahapan yang ditawarkan oleh B. Rahmanto (1988:29—20):

a. Tahap pengkhayal (8 sampai 9 tahun). Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata, tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan.

b. Tahap romantik (10 sampai 12 tahun). Pada tahap ini anak mulai meinggalkan fantasi-fantasi dan mengarah pada realitas. Meski pandangannya tentang dunia ini masih sederhana. Tahap ini

mereka menyenangi cerita

kepahlawanan dan petualangan.

c. Tahap realistik (13 sampai 16 tahun). Pada tahap ini mereka berminat pada realitas atau apa-apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

d. Tahap generalisasi (umur 16 tahun dan selanjutnya). Pada tahap ini anak berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab utama fenomena itu kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafati untuk keputusan-keputusan moral.

(6)

Dari pembedaan usia dan perkembangan yang menyertainya, selanjutnya mari kita lihat pandangan Desmita dalam buku yang berjudul Psikologi Peserta Didik (2009:23) yang memaparkan fase perkembangan berdasarkan konsep didaktif. Dasar yang digunakan untuk menentukan pembagian fase-fase perkembangan adalah materi dan bagaimana mendidik anak pada masa-masa tertentu. Pembagian ini antara lain diberikan oleh Johann Amos Comenius, seorang ahli didik di Moravia, ia membagi fase-fase perkembangan berdasarkan tingkat sekolah yang diduduki anak sesuai dengan tingkat usia dan menurut bahasa yang dipelajarinya di sekolah. Pembagian fase perkembangan tersebut adalah:

a. 0-6 tahun: sekolah ibu, merupakan masa

mengembangkan alat-alat indra dan pemerolehan pengetahuan dasar di bawah asuhan ibunya (orangtua) di lingkungan rumah tangga.

b. 6-12 tahun: sekolah bahasa ibu, merupakan masa anak mengembangkan daya ingatnya di bawah pendidikan sekolah rendah. Pada masa ini mulai diajarkan bahasa ibu (vernacula).

c. 12-18 tahun: sekolah bahasa latin,

merupakan masa mengembangkan daya pikir di bawah pendidikan sekolah menengah (gymansium). Pada masa ini mulai diajarkan bahasa latin sebagai bahasa asing.

d. 18-24 tahun: sekolah tinggi dan pengembaraan merupakan masa mengembangkan kemauannya dan memilih suatu lapangan hidup yang berlangsung di bawah perguruan tinggi. Pandangan Comenius tentang pembagian fase di atas tidak saja menunjukkan klasifikasi tingkatan usia dengan sekolah tetapi juga menunjukkan bahwa usia 0-12 tahun seorang anak

hendaknya dididik lebih dahulu

menggunakan bahasa ibu. Sementara itu, bahasa asing hendaknya diperkenalkan sejak usia 12 tahun. Uraian lebih lanjut mengenai psikologi perkembangan anak dan bahasa ada di bawah ini.

2. Psikologi Perkembangan Anak dan Bahasa Anak bayi mulai belajar bahasa lewat bunyi dan ucapan-ucapan yang didengarnya dari sekelilingnya. Pada mulanya anak tidak dapat membedakan bunyi-suara manusia dengan bunyi-bunyi yang lain, tatapi lama kelamaan mampu membedakannya. Dalam proses akuisisi bahasa secara alami, anak memperoleh bahasa dengan menirukan, melihat dan menirukan orang berbicara, namun sebenarnya anak tidak semata-mata sebagai peniru belaka. Ada bukti-bukti yang kuat bahwa anak jauh lebih banyak memahami bahasa daripada yang dapat diproduksi, dan hal itu sungguh di luar dugaan. Di dalam diri anak terdapat hubungan yang erat antara perkembangan pemahaman secara kognitif dan kemampuan berbahasa sebagaimana anak menggunakan

(7)

bahasa sebagai sarana untuk

mengorganisasikan dunia (Burhan

Nurgiyantoro, 2010:59—61). Pandangan tersebut mengindikasikan bahwa setiap individu sudah mengenal bahasa sejak bayi dan pemerolehan bahasa di dapat dari tahap demi tahap dengan menyimak, melihat, meniru, dan mungkin sekali memahami.

Setiap anak yang normal pertumbuhan pikirannya akan belajar bahasa pertama (bahasa ibu, bahasa rumah tangga) dalam tahun-tahun pertama dalam hidupnya, dan proses ini terjadi hingga kira-kira umur 5 tahun. Setelah itu pada masa pubertas (kira-kira umur 12-14 tahun) hingga menginjak dewasa (kira-kira umur 18-20 tahun), anak itu akan tetap masih belajar bahasa pertama/ disingkat B1. Sesudah pubertas ia masih akan belajar B1 terus menerus selama hidupnya (Sri Utari Subyakto dan Nababan, 1992:72).

Kaitan antara perkembangan anak dan bahasa yaitu terjadinya perkembangan pemerolehan bahasa. Adapun tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa menurut Mackey dalam buku berjudul Strategi Pembelajaran Bahasa (2008:85—86) dapat diklasifikasikan dalam tabel berikut ini.

Usia Pemerolehan

3 bulan Mulai mengenal manusia,

ingatan yang sederhana

mungkin sudah ada, tetapi belum nampak.

6 bulan Anak sudah mulai bisa

membedakan antara nada yang halus dan yang kasar.

9 bulan Anak mulai bereaksi terhadap

isyarat. Dia mulai mengucapkan bermacam-macam suara dan tidak jarang kita bisa mendengar kombinasi suara yang menurut orang dewasa suara yang aneh.

12 bulan Anak mulai membuat reaksi

terhadap perintah.

18 bulan Anak mulai mengikuti petunjuk,

kosakata sudah mencapai 20 kata.

2-3 tahun Anak sudah bisa memahami

pertanyaan-pertanyaan dan perintah sederhana.

4-5 tahun Pemahaman anak makin mantap,

walaupun masih sering bingung dalam hal-hal yang menyangkut waktu.

6-8 tahun Tidak ada kesukaran untuk

memahami kalimat yang bisa dipakai orang dewasa.

(8)

Tabel di atas menunjukkan usia 3 bulan seorang anak sudah mengenal manusia secara sederhana. Biasanya mulai usia 6 bulan anak sudah mulai mengucapkan sesuatu ucapan yang bagi orang dewasa kadang ucapan tersebut tidak bermakna. Barulah pada usia satu sampai satu setengah tahun seorang anak akan mulai bicara sederhana, misalnya memanggil orangtuanya, atau ekspresi ketika makan. Mulai usia 2 tahun seorang anak sudah mulai berbicara dan mulai memahami sedikit demi sedikit suatu kata atau percakapan. Kondisi tentang berbahasa dan pemahaman akan tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu.

Bahasa dan Makna

Dalam Kamus Linguistik yang disusun oleh Harimurti Kridalaksana (2008: 24 dan 148) menyebutkan bahasa adalah sistem lambang bunyi yang dipergunakan para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Sementara itu, makna diartikan sebagai maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, sebagai sebuah hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkan, dan cara menggunakan lambang-lambang bahasa.

Bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, atau bunyi ujar. Sebagai lambang tentu ada yang dilambangkan. Maka

yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Oleh karena itu, lambang-lambang itu mengacu pada suatu konsep, ide, atau pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna (Abdul Chaer, 2007:44). B. Rahmanto berpandangan bahwa penguasaan suatu bahasa sebenarnya tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap yang nampak jelas pada setiap individu (1988:27).

Kedua pendapat tersebut

mengimplikasikan bahwa bahasa yang merupakan sistem lambang ujaran bermakna dimiliki setiap individu dan tumbuh berkembang melalui tahapan perkembangan usia individu. Dalam menyikapi hal ini dapat merujuk pandangan Osgood dan Sebeok via Aminuddin (1988:21) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang erat antara bahasa dan aspek kejiwaan manusia. Bahwa dalam proses belajar bahasa baik secara reseptif maupun produktif, proses menyusun dan memahami pesan lewat kode kebahasaan, unsur-unsur kejiwaan seperti kesadaran batin, pikiran, asosiasi, maupun pengalaman, jelas tidak dapat diabaikan.

Konsep lain tentang bahasa dan makna dapat dirujuk dari buku berjudul Strategi Belajar Mengajar (Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006:69—70) yang menyatakan bahasa dan makna sebagai berikut.

1. Bahasa merupakan alat untuk

mengungkapkan makna yang diwujudkan melalui struktur (tata bahasa dan kosakata) dengan demikian struktur berperan sebagai

(9)

alat pengungkap makna (gagasan, pikiran, pendapat dan perasaan).

2. Makna ditentukan oleh lingkup kebahasaan

maupun lingkup situasi yang merupakan

konsep dasar dalam pendekatan

kebermaknaan pengajaran bahasa yang natural, didukung oleh pemahaman lintas budaya.

3. Makna dapat diwujudkan melalui kalimat

yang berbeda, baik secara lisan maupun tulis. Suatu kalimat dapat mempunyai makna yang berbeda tergantung pada situasi saat kalimat digunakan. Jadi, keragaman ujaran diakui keberadaannya dalam bentuk bahasa lisan atau tulis.

Konsep yang ditawarkan oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain di atas menunjukkan bahwa bentuk bahasa ada dua, yaitu bahasa tulis dan bahasa lisan. Bahasa diwujudkan melalui struktur, yaitu kosakata dan tata bahasa untuk mendapatkan makna. Makna diperoleh melalui pemahaman dan situasi yang selanjutnya pemahaman dan situasi ini dapat disederhanakan pengertiannya menjadi konteks.

Latar Belakang Budaya

Untuk menemukan, memilih, dan memanfaatkan teks kesastraan sebagai bahan ajar dalam bahan pembelajaran bahasa, maka pertimbangan aspek psikologi perkembangan anak serta bahasa dan makna itu kiranya sangat penting. Selain kedua aspek tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba melihat satu lagi aspek yang kiranya penting dijadikan sebagai kriteria pemilihan bahan

ajar pembelajaran bahasa berbasis sastra. Aspek yang dimaksud adalah latar belakang budaya.

Latar belakang budaya yang dimaksud adalah guru atau pendidik hendaknya lebih dahulu memilih bahan pengajarannya dengan menggunakan prinsip mengutamakan karya-karya sastra dengan latar belakang budaya yang dikenal oleh anak didik. Artinya, anak didik terlebih dahulu memahami budayanya sendiri sebelum mencoba mengetahui budaya lain. Sebenarnya, apabila anak didik telah memiliki rasa percaya diri untuk memahami karya sastra dengan latar belakang budaya yang mereka kenal, niscaya mereka akan siap untuk memahami sastra dengan latar belakang budaya asing di bawah arahan dan bimbingan guru atau pendidik yang berpengetahuan dan berwawasan luas (B. Rahmanto, 1988:31—32).

Berdasarkan pandangan B. Rahmanto di atas ternyata aspek latar belakang budaya itu sangat penting dipahami dan dijadikan salah satu aspek pertimbangan dalam rangka penyusunan bahan ajar pembelajaran bahasa berbasis sastra, dimana anak didik hendaknya dikenalkan dan dikuatkan dengan budayanya sendiri. Pada saat anak didik sudah mantap dan kuat dengan budayanya sendiri, maka mereka akan siap menerima wawasan baru dari budaya yang lain. Dalam sebuah penelitian tentang buku bacaan, di Indonesia bagian Timur minat baca anak didik sangatlah rendah. Hal itu disebabkan oleh kekeliruan distribusi dimana suatu masyarakat dengan mayoritas budaya dan religiusitas tertentu mendapatkan buku bacaan yang tidak sesuai dengan budaya dan religiusitas mereka (Dedi Supriadi, 2000:150).

(10)

Teks Sastra sebagai Bahan Ajar

Teks sastra yang akan dipilih untuk dijadikan bahan ajar juga tidak luput dari penyeleksian. Perlu sekali memilih dan menentukan teks sastra apa yang cocok dimanfaatkan sebagai bahan ajar. Oleh sebab itu, seorang guru atau pendidik pembelajaran bahasa yang akan memanfaatkan teks sastra sebagai bahan ajar terlebih dahulu harus mengetahui prinsip dasar jenis sastra.

Berdasarkan sarana perwujudannya, sastra dibagi menjadi tiga bidang yaitu prosa, puisi, dan drama. Adapun klasifikasi sastra berdasarkan sarana perwujudannya tersebut sudah ditetapkan sejak masa lampau, yaitu oleh Aristoteles pada 400 SM (Puji Santosa Suroso dan Pardi Suratno, 2008:10). Dari pengertian ini, menunjukkan kalau prosa, puisi, dan drama dapat dijadikan materi bahan ajar untuk belajar bahasa.

Adapun secara terperinci pengertian berikut contoh jenis sastra yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar untuk sekolah dapat dirujuk pada buku Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak oleh Burhan Nurgiyantoro (2010). Dalam buku tersebut hanya disajikan dua jenis sastra anak secara khusus, yaitu puisi dan prosa, namun kita belum bisa mendapatkan rujukan tentang drama. Lebih lanjut, genre puisi secara panjang lebar diuraikan meliputi puisi lagu dolanan, puisi lagu atau nyanyian anak sampai cerita lisan. Sedangan pada genre prosa dijelaskan secara sistematis mulai dari sastra tradisional, cerita fiksi, cerita nonfiksi, sampai dengan komik sastra anak.

Berdasarkan pengertian sastra yang berbeda-beda dari tiap budaya, maka dapat disimpulkan bahwa teks sastra yang dijadikan materi atau bahan ajar tidak terbatas pada prosa, puisi, drama, namun berupa perluasan dari tiap bagian itu. Misalnya saja dalam sastra Jawa perluasan dari kelompok prosa termasuk paribasan, sanepa, panyandra, isbat, cangkriman, dan layang. Perluasan dari puisi meliputi kakawin, kidung, tìmbang gìdhe, suluk, tìmban tìngahan, tìmbang macapat, parikan, wangsalan, dan gìguritan (R.S Subalidinata, 1994).

Penutup

Untuk mendapatkan bahan ajar yang tepat dalam artian berkualitas, seorang guru atau pendidik bisa mencari bahan atau materi secara individu dengan memanfaatkan suatu ilmu. Dalam pembelajaran bahasa seorang guru atau pendidik dapat memanfaatkan (karya) sastra sebagai bahan ajar. Bahan ajar yang dikatakan berkualitas apabila memenuhi beberapa kriteria tertentu, antara lain berdasarkan kurikulum, mengandung pengetahuan, keterampilan, dan sikap, menarik minat baca, sesuai dengan tingkat keterbacaan, sampai dengan masalah teknis seputar grafis dan ilustrasi.

Sebagai bahan pertimbangan utama, seorang penyusun bahan ajar harus memperhatikan aspek psikologi perkembangan anak, bahasa dan makna, serta latar belakang budaya. Ketiga aspek tersebut antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Misalnya, antara aspek psikologis dan bahasa saling ada hubungan yang

(11)

erat, artinya pada saat seseorang berusaha menyusun dan memahami sebuah bahasa pastilah diikuti dengan peran kejiwaan, yaitu berfikir secara sadar, mendasarkan bahasa pada sebuah pengalaman, dan kolaborasi antara kesadaran batin dan pikiran. Antara aspek latar belakang budaya dan bahasa juga saling terkait, terutama dalam hal yang menuntut sebuah konteks budaya. Contohnya, kata ‘wakul’ dalam bahasa Jawa menunjuk pada suatu benda yang bila dijelaskan tidak hanya sebagai ‘tempat nasi’, namun merujuk pada suatu benda yang terbuat dari bahan dan ukuran tertentu.

Apabila penyusunan bahan ajar telah dibuat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan memperhatikan beberapa aspek, maka dapat dimungkinkan sekali muncul banyak buku yang berkualitas di tengah masyarakat.

Daftar Rujukan

Abdul Chaer. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Aminuddin. 1988. Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung: CV. Sinar Baru.

B. Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.

Burhan Nurgiyantoro. 2010. Sastra Anak; Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Supriadi, Dedi. 2000. Anatomi Buku Sekolah di

Indonesia. Yogyakarta: Adicita.

Desmita. 2009. Psikologi Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Harimurti Kridalaksana. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Iskandarwassid & Dadang Sunendar. 2008.

Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya bekerjasama dengan Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Slavin, Robert E. 2008. Educational Psycology Theory and Practive. Pearson Education Inc. Sri Utari Subyakto & Nababan. 1992.

Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Puji Mujono. (2010). Kegiatan Penilaian Buku Teks Pelajaran Pendidikan Dasar dan Menengah. Diambil pada tanggal 17 Oktober 2012, dari http://id.scribd.com/doc/67920151/ Instrument-Penilaian-Buku-Teks

Puji Santosa Suroso & Pardi Suratno. 2008. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Elmatera.

R.S Subalidinata. 1994. Kawruh Kasusastran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Sudirman. 1991. Ilmu Pendidikan. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Suryo Subroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis kualitas air Sungai Ciliwung di Kota Bogor juga harus mempertimbangkan nilai beban pencemaran yang dihitung berdasarkan besarnya konsentrasi parameter kualitas air dan

69 PT. Unilever Indonesia, Tbk - Pabrik Cikarang Consumer Goods Kab. Bekasi Jawa Barat 70 PT. Unilever Indonesia, Tbk - Pabrik Rungkut Consumer Goods Kota Surabaya Jawa Timur 71 PT.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif, meliputi analisis laporan sumber dan penggunaan modal

Serta menghitung kandungan C dan N yang dimiliki air perasan singkong yang sebagai media penumbuh dan melakukan penelitian lanjutan dengan menguji kandungan

2. Bagi maksud ini, Negara-Negara Pihak hendaklah memperuntukkan, sebagaimana yang dianggap wajar oleh mereka, kerjasama dalam apa-apa usaha oleh Pertubuhan Bangsa- Bangsa Bersatu

Apabila Saham Baru yang ditawarkan dalam PUT IV ini tidak seluruhnya diambil atau dibeli oleh pemegang saham atau pemegang bukti HMETD, maka sisanya akan dialokasikan kepada pemegang

Sari nenas yang memiliki kandungan lemak yang berkaitan dengan daya ikat air memiliki kapasitas dalam mengikat sejumlah air dalam mempengaruhi penangkapan udara

Mengapa terjadi pergeseran peran pemuda, pemuda tidak lagi menjadi pelopor dalam segala bentuk kegiatan masyarakat, hal ini terjadi di desa Bumi Kencana Kecamatan