Kata Mereka
Buku Anak Bukan Kertas Kosong membuktikan bahwa gagasan-gagasan yang digelorakan oleh kebanyakan pegiat pendidikan hari ini bukanlah hal yang progresif, bukan hal yang belum ada di tanah air ini sebelumnya. Gagasan pendidikan yang membebaskan dan menghargai kemanusiaan murid tidak asing, bahkan sudah ada di Republik ini sejak lama. Bahkan, Bapak Pendidikan Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara, telah membangun fondasi pendidikan yang membebaskan bagi anak Indonesia. Semoga dengan buku ini, masyarakat, orangtua, pegiat pendidikan, dan juga pendidik mau menghela napas sebentar, merenungkan pendidikan yang telah direkacipta KHD dan dapat mewujudkannya bagi setiap anak di RI.
~Profesor Iwan Pranoto| Atase Pendidikan RI untuk India
Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang keunikan setiap anak yang dielaborasi dalam buku ini berpotensi memberi inspirasi bagaimana pendidikan untuk anak-anak seharusnya diselenggarakan. Keren!
~Aar & Lala| Praktisi homeschooling, founder Rumah Inspirasi
vi
Buku ini bukanlah kumpulan teori yang rumit. Tulisan Bukik adalah sebuah cermin yang mengajak kita berefleksi sampai seberapa jauhkah kita melihat anak-anak sebagai “kertas yang penuh cerita, pengharapan dan masa depan”. Ah, memang, refleksinya kadang-kadang “menampar”. Mungkin selama ini, kitalah, para orang dewasa, yang keliru dalam mendampingi anak kita. Mari baca buku ini, mari bercermin.
~Weilin Han, M.Sc| Praktisi Pendidikan
Buku ini sangat menyentuh hati dan mengajak para orangtua dan pendidik berkaca melalui berbagai pengalaman sekaligus membekali teori pendidikan sebagai penguat langkah mereka. Sebuah buku penting untuk para pendidik yang ingin mendampingi anak-anak untuk menyongsong masa depan dengan penuh keberanian dan kegembiraan.
~Henny Supolo| Yayasan Cahaya Guru
Buku ini telah membuka pikiran kita semua khususnya para orangtua karena anak adalah titipan Tuhan Yang Maha Kuasa dan bukan milik orangtua. Orangtua atau siapa pun juga tidak berhak mengatur kehidupan anak ibarat kertas kosong yang kemudian diisi oleh cita-cita orangtua. Buku ini mengajak orangtua memberdayakan anak menjadi insan yang dewasa dan matang yang mampu memaksimalkan potensi yang dimilikinya.
Buku ini sangat perlu dan penting untuk dibaca oleh para pendidik dan orangtua yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak masa depan. Jangan jejali anak dengan pengetahuan yang cepat usang, tetapi kembangkanlah bakat dan kekuatan yang mereka miliki! Buku ini menjelaskan apa yang kemudian harus kita lakukan sebagai pendidik atau orangtua.
~Profesor Hendra Gunawan| Matematikawan
Buku Mas Bukik sangat menarik untuk dibaca, bukan hanya karena topiknya unik, tetapi juga karena kemampuannya menggabungkan pembahasan yang kuat secara teori tapi tetap praktis diaplikasikan. Pengalaman dan pemahaman yang dibagi Mas Bukik di buku ini, membuat saya, dan semoga juga banyak pendidik dan orangtua Indonesia, makin menyadari pentingnya peranan kita dan makin bersemangat dalam pengembangan bakat anak.
~Najeela Shihab| Praktisi Pendidikan
Buku Anak Bukanlah Kertas Kosong menyadarkan kita bahwa pendidikan tidak melulu sekolah, dan dalam proses pendidikan menempatkan partisipasi aktif orangtua sebagai penanggungjawab tumbuh kembang anak-anaknya. Buku ini juga menawarkan pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang memerdekakan peserta didik. Pendidikan memang sejatinya mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan. Proses pendidikan yang disodorkan buku ini akan
viii
menginspirasi para guru dan orangtua untuk mengubah pendidikan pola lama yang konservatif dan mengekang kebebasan peserta didik. Selamat membaca dan semoga terinspirasi...salam perubahan!
~Retno Listyarti| Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia
Buku karya Mas Bukik ini sangat menarik. Buku ini menunjukkan protesnya atas praksis pendidikan di Indonesia saat ini yang amat tidak ramah anak. Kurikulum dipaksakan outside-in. Praktik persekolahan di Indonesia tidak saja sebuah kekerasan terhadap anak secara sistematik, luas, dan masif, tapi sekaligus kerugian besar bagi bangsa ini. Buku ini sekaligus juga tantangan atas teori Tabula Rasa. Mas Bukik mencoba menyusun tesis baru tentang pendidikan. Selamat, Mas Bukik!
~Profesor Daniel Mohammad Rosyid
Anak-anak dilahirkan sudah membawa modal dalam dirinya. Semenjak ruh ditiupkan, berbagai organ dirinya berkembang. Anak memulai proses membuat hipotesa sejak dilahirkan dengan menghubungkan berbagai pesan yang ditangkapnya melalui organ pendengaran dan penglihatannya. Pesan yang ditangkapnya lalu diproses dan mereka memberi reaksi sesuia usianya. Ini menunjukkan kepada kita secara awam bahwa anak bukan lembaran kosong.
Adalah orang dewasa- orang dewasa di sekitarnya yang akan mengaktifkan berbagai pesan yang telah tersimpan dalam diri anak agar mereka mampu membuat hipotesa-hipotesa baru yang lebih terarah. Saya yakin buku ini akan membuat kita para pembaca lebih cerdas dalam mendukung tumbuh kembang anak-anak.
~Itje Chodidjah| Praktisi Pendidikan
Buku yang tidak hanya bertutur memberi tahu, tetapi lebih daripada itu, mengajak pembaca mengubah pandangan terhadap anak dan membangun paradigma pendidikan yang ‘menumbuhkan,’ bukan mencekoki. Buku ini penting dan perlu dibaca, terutama oleh calon orangtua, orangtua, dan guru.
~Mohammad Abduhzen| Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Jakarta dan Ketua Litbang PB PGRI
Pastikan Anak-Anak Tahu
Kalau Mereka Istimewa
Apakah Anda tahu ada satu aspek kehidupan yang akan memengaruhi semua aspek kehidupan lainnya tanpa kecuali? Jika benar dan baik aspek kehidupan ini, akan benar dan baik pula lainnya. Jika buruk dan terbelakang, akan buruk dan terbelakang juga lainnya. Satu aspek kehidupan itu adalah PENDIDIKAN. Tidak ada dokter, insinyur, guru, akuntan, bankir, entrepreneur tanpa pendidikan. Tidak ada juga presiden, anggota parlemen, direktur utama, manager, karyawan dan segala bentuk jabatan lain tanpa melewati proses bernama pendidikan. Dapat diibaratkan pendidikan adalah sumber mata air yang mengairi segenap proses tumbuh kembang bangsa.
Saya beruntung dikenal dan diminta Bukik untuk mengomentari buku Anak Bukan Kertas Kosong. Buku ini–kalau boleh saya ibaratkan–bagaikan hujan mengguyur ladang kering kerontang akibat kemarau berkepanjangan. Ladang itu adalah guru-guru di sekolah, para orangtua di rumah dan siapa pun, di mana pun yang peduli dengan proses transformasi anak menjadi manusia bermanfaat yang telah bertumbuh dan berkembang sesuai fitrahnya.
xii
Buku ini jauh dari kesan mengajari, tetapi sudah pasti kita akan tercolek untuk menghadirkan perspektif baru dalam memandang anak, pendidikan, dan dinamika proses tumbuh kembang.
Buku ini tidak menawarkan resep, melainkan kumpulan hasil observasi panjang dalam rangka memaknai esensi pendidikan. Dan, bukan sekadar observasi kehidupannya sendiri, tetapi juga meliputi observasi atas ajaran Ki Hadjar Dewantara–sebagai figur perintis pendidikan nasional yang dikenal namanya, tetapi dilupakan ajarannya. Saya jamin Anda akan kaget saat membaca bagian ini. Coba saja. Buku ini bukan buku manual, tetapi ajakan praktis untuk memahami prinsip-prinsip utama dalam mendidik. Idealnya, buku ini bisa dijadikan bahan kontemplasi diri bagi kita semua dalam menjalankan peran sebagai pendidik bagi siapa pun–anak, adik, keponakan, rekan kerja, anak buah, dan seterusnya.
Izinkan saya memaparkan beberapa prinsip yang perlu dipahami sebelum mulai membaca buku Anak Bukan Kertas Kosong.
Education is what you learn from school, from home and more importantly, between school and home – Nietzsche. Apakah pendidikan adalah validasi dari secarik kertas mahal yang tampak gagah setiap kali dipandang dalam
sebuah pigura di dinding kantor atau rumah? Apakah pendidikan adalah formulasi rumit yang tergambar dalam angka IPK (indeks prestasi kumulatif)? Apakah pendidikan adalah gelar atau strata sosial baru dalam masyarakat yang menggantikan gelar kebangsawanan?
Education is always about how to think, not what to think. Jika jawaban untuk semua pertanyaan di atas adalah benar, bisa jadi pendidikan hanya sekadar soal kuantitas–bukan kualitas, rutinitas–bukan terobosan, program–bukan esensi dan manifestasi ilmu, anggaran–bukan harapan dan tujuan formal–bukan kenikmatan berproses.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama–sekarang giliran kita memastikan minimal dua orang merasakan hal yang sama. Tidak perlu lagi berpikir bahwa alokasi > 20% APBN sudah memadai. Tidak usah berasumsi kalau sudah ada orang lain atau organisasi tertentu yang akan bekerja untuk ini. Jika Anda terdidik, Anda bertanggung jawab mendidik. Mulai dari orang-orang terdekat, mulai dari sekarang.
Bagaimana caranya? Dengan memahami bahwa anak–dan siapa pun, bukanlah kertas kosong. Mereka telah dihadirkan oleh Sang Pencipta untuk menjadi bagian dari alam semesta dengan misi tertentu. Mereka sudah istimewa. Mereka sudah sempurna. Mereka sudah cemerlang. Peran utama Anda, saya dan kita semua adalah memastikan mereka tahu itu.
xiv
Tulisan singkat ini saya tutup dengan mengutip ucapan Socrates (469–399 BC) yang pernah hidup ribuan tahun lalu sebagai pengingat, penegas, dan mantra: “Education is the kindling of a flame, not the filling of a vessel”.
13 Oktober 2014 Rene Suhardono
Penulis & Pemerhati Pendidikan Pendiri @LimitlessCampus
Menengok Apa yang Sudah
Ditinggalkan Ki Hadjar Dewantara
Buku ini merupakan suatu perpaduan teori dan pengalaman orangtua atau pendidik mengenai pendidikan modern. Inilah sebenarnya hakikat dari suatu ilmu pendidikan yang merupakan perpaduan integral antara teori dan praksis pendidikan. Ilmu pendidikan modern adalah suatu ilmu teoretiko praksis.
Ilmu pendidikan modern telah lahir dari pergumulan antara idealisme Plato dan empirisme Aristoteles. Khusus dari empirisme Aristoteles yang kemudian diperluas dan dikembangkan oleh filsuf besar Islam abad ker-13, Aviciena yang juga seorang bapak ilmu kesehatan modern. Aviciena bukan hanya ikut melahirkan Abad Pencerahan di Eropa dengan filsafat empirisme yang melahirkan filsuf-filsuf seperti David Hume yang memengaruhi John Locke dengan teori Tabularasa. Teori Tabularasa menyatakan bahwa esensi manusia yang diperolehnya dari pengalaman akan menetukan eksistensinya. Walaupun dewasa ini, ilmu pendidikan lebih menekankan kepada eksistensi manusia yang mendahului esensinya, tetapi esensi manusia yang diperoleh dari pengalaman tidak dapat disepelekan dalam penentuan eksistensinya.
xvi
Buku ini berisi pengalaman-pengalaman aktual dari orangtua/pendidik tentang pentingnya pengalaman di dalam pembentukan pribadi seseorang anak manusia untuk berkembang seutuhnya. Pengalaman-pengalaman tersebut akan memotivasi seorang anak untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya atau mengembangkan kreativitasnya untuk menjadi pribadi seutuhnya. Inilah teori yang dikembangkan oleh seorang pendidik William Stern mengenai teori konvergensi dalam ilmu pendidikan. Buku ini menyajikan suatu ilmu pendidikan dalam bentuknya yang utuh, suatu ilmu yang sifatnya teoretiko-praksis. Seorang anak dikaruniai oleh sang Pencipta dengan bakat atau talentanya masing-masing. Kemampuan berpikir kritis dari seorang anak manusia perlu mendapatkan rangsangan yang positif dari lingkungannya agar dapat berkembang. Apa yang terjadi di dalam pendidikan kita dewasa ini ialah kungkungan proses pembelajaran yang kaku dan Ujian Nasional yang menyamaratakan membuat anak-anak tak lagi bisa berpikir kritis.
Menariknya, dalam buku ini, penulis telah menguji dalam praktik pendidikannya dasar-dasar dan praksis dari bapak pendidikan nasional kita, Ki Hadjar Dewantara. Dari berbagai teori dari para pakar luar negeri yang telah penulis gunakan, akhirnya penulis mengemukakan dasar-dasar teori Ki Hadjar Dewantara yang menurutnya telah menuntun pendidikan anaknya ke arah yang benar. Salah
satu dasar Ki Hadjar Dewantara yang digunakan ialah prinsip kebebasan dari anak untuk berkembang dalam “taman”. “Taman” tempat si anak berkembang tanpa tekanan dan ikatan, berbeda dengan sekolah yang terikat pada pembentukan intelektual dan diarahkan kepada Ujian Nasional yang menyamaratakan. Peran orangtua di dalam pendidikan sebagai pendidik yang pertama dan utama sangat menentukan dalam pembentukan karakter anak. Peran ini akan lebih berhasil lagi apabila sejalan dengan pendidikan yang diperoleh di sekolah dan selanjutnya meneladani nilai-nilai secara berkesinambungan dalam masyarakat dengan mengambil contoh para pemimpin dalam pembentukan watak. Inilah prinsip tiga sentra pendidikan Dewantara, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang harusnya mempunyai kesinambungan berarti.
Buku ini juga menyajikan pengalaman seorang pendidik yang dapat digolongkan sebagai seorang pendidik yang menganut ilmu pendidikan kritis (critical pedagogy). Critical pedagogy memberikan perhatian yang cukup mendalam mengenai perdebatan abadi di dalam ilmu pendidikan sejak Plato dan Aristoteles mengenai eksistensi dan esensi manusia yang telah melahirkan aliran idealisme dan empirisme dalam dunia pendidikan. Seperti diketahui paham empirisme Aristoteles berkembang ke arah ekstrem dalam teori Tabularasa dari John Locke yang melihat anak sebagai kertas putih yang perlu diisi dengan
pengalaman-xviii
pengalaman. Paham idealisme versus empirisme disatukan oleh William Stern dalam teori konvergensinya. Manusia dikaruniai dengan talenta dari Maha Pencipta, tetapi talenta tersebut perlu dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman untuk mengolahnya karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan kemampuan kritis serta kreativitas yang dimiliki manusia, maka pengalaman-pengalaman yang empiris dapat mengembangkan bakat/ talenta dari anak.
Anda dapat menikmati di dalam buku ini berbagai teori modern tentang perkembangan anak, tetapi juga yang sangat penting ialah bagaimana teori-teori tersebut dilaksanakan di dalam praksis pendidikan. Oleh karena itulah, buku ini bukan hanya wajib dipelajari oleh para pendidik, juga oleh orangtua dan mahasiswa perguruan tinggi untuk menguji teori-teori masa kini dan kredibilitas teori, konsep, praksis pendidikan yang telah dilaksanakan oleh bapak pendidikan nasional di dalam Taman Pendidikan, Tamansiswa.
Selamat membaca.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed.
Sejak kuliah, saya tertarik dengan pendidikan, baik dengan membaca buku mengenai berbagai gagasan pendidikan hingga melakukan pelatihan, lokakarya hingga sekolah rakyat. Ketertarikan itu menjadi salah satu alasan saya untuk memilih dosen sebagai profesi pertama. Namun, setelah delapan tahun mendidik di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, saya mengundurkan diri.
Saya bersyukur mendapat banyak kesempatan untuk meng-eksplorasi berbagai metode dan teknik belajar di kelas-kelas kuliah. Saya mengajak mahasiswa Metode Riset Kualitatif belajar dengan mengamati dan menganalisis perilaku orang-orang yang ada di Stasiun Gubeng. Saya mengajak mahasiswa melakukan penilaian terhadap hasil belajar mereka sendiri sehingga terkejut menemui kenyataan bahwa mahasiswa lebih pelit dalam memberikan nilai dibandingkan dosennya. Saya mengajar mahasiswa Asas-Asas Manajemen, bukan hanya dari buku teks, melainkan dari novel Taiko. Mereka belajar bahwa manajemen telah
Mengembangkan Bakat
di Zaman Kreatif
xx
diterapkan secara lengkap dalam kehidupan nyata sejak ratusan tahun lalu.
Saya belajar dari kelas Filsafat Manusia, bahwa belajar apa
pun bersumber pada kesadaran diri. Kita belajar banyak
pengetahuan, tetapi langka kesempatan untuk mempelajari diri sendiri. Kesimpulan ini diperkuat ketika mengajar kuliah Seminar Psikologi Industri dan Organisasi; banyak mahasiswa yang menjelang lulus pun belum mengetahui orientasi karier mereka. Mereka tidak menyadari kekuatan diri, harapan, dan aspirasi mereka. Saya mengajak mereka belajar mengenal diri dengan menulis biografi sepanjang lima puluh halaman. Skripsi mungkin tugas terberat, tetapi menulis biografi adalah tugas paling emosional yang pernah saya berikan. Mengenali diri bukanlah hal yang mudah; ada mahasiswa yang menyelesaikan tugas itu pada akhir semester, karena menurutnya banyak kejadian traumatis yang harus diingatnya. Ia mengucapkan terima kasih karena tugas
itu membantu menyembuhkan dirinya. Mengenali diri
adalah menyehatkan diri sendiri.
Saya berjumpa dengan Heriati Gunawan di suatu seminar di Jakarta sebagai sesama pembicara. Beliau, seorang Master of Positive Organizational Development dan ahli Appreciative Inquiry, bercerita mengenai pendidikan master beliau yang membutuhkan waktu satu semester sendiri untuk proses pengenalan diri. Pengenalan diri menjadi proses intensif dengan bimbingan personal dari dosen. “Bagaimana bisa
seorang praktisi perubahan melakukan perubahan positif bila dirinya tidak sehat?” ujar beliau saat itu.
Saya bersama Heriati Gunawan dan tim dosen yang lain kemudian merancang kurikulum Magister Perubahan dan Pengembangan Organisasi. Dalam kurikulum tersebut, kami merancang proses belajar untuk mengenali diri secara mendalam selama satu semester. Dalam satu semester, mahasiswa belajar mengenali diri, kekuatan, harapan, fokus perubahan, minat, dan jati dirinya. Waktu itu, saya berseloroh, apabila dalam satu semester mahasiswa tidak berubah, kurikulum ini gagal.
Setelah dua tahun memimpin Magister Perubahan dan Pengembangan Organisasi, saya memutuskan mengun-durkan diri sebagai dosen. Saya ingin belajar tantangan yang berbeda. Saya menginisiasi gerakan Indonesia Bercerita, Bincang Edukasi, Suara Anak, hingga mengembangkan aplikasi digital pengembangan bakat anak, Takita. Per-temuan dengan banyak praktisi pendidikan membuat wawasan saya semakin terbuka.
Setelah mundur sebagai dosen, saya akhirnya mempunyai banyak waktu, menemani dan mengamati perkembangan anak saya, Damai. Dialektika terjadi antara kenyataan di rumah dengan wawasan yang lahir dari perjumpaan dengan banyak praktisi pendidikan. Dialektika tersebut berpuncak pada perjumpaan saya dengan gagasan Ki Hadjar Dewantara.
xxii
Mata saya terbelalak ketika membaca kutipan-kutipan tulisan Ki Hadjar Dewantara dari status media sosial Kreshna Aditya, penggagas utama Bincang Edukasi. Ternyata, gagasan beliau begitu tajam, jauh dari bayangan saya.
Buku pertama yang sampai ke rumah adalah buku 30 Tahun Taman Siswa versi asli. Saya mendapat buku yang sudah terlepas lembarannya hingga harus diletakkan di kantung dari bambu. Buku berikutnya adalah kumpulan tulisan Ki Hadjar Dewantara yang disusun menjadi dua buku sesuai temanya, yaitu Pendidikan dan Kebudayaan.
Saya belajar kembali mengenai pendidikan dari Ki Hadjar Dewantara. Pemikiran dan praktik yang beliau lakukan adalah lompatan raksasa di zamannya, bahkan juga di zaman sekarang. Membaca kritik beliau terhadap pendidikan kolonial, seolah membaca kritik terhadap sistem pendidikan nasional saat ini. Pendidikan yang menyeragamkan, yang menuntut kepatuhan mutlak dari anak; anak tidak diberi kesempatan untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuan yang bermakna baginya.
Bahkan, beliau juga mengkritik psikologi mekanis yang tetap dominan hingga hari ini. Saya membaca bagaimana Ki Hadjar Dewantara dengan penuh kebanggaan bercerita mengenai kunjungan penerima hadiah Nobel Sastra dari India, Rabindranath Tagore, yang dilanjutkan oleh
kunjungan Perdana Menteri India ke Taman Siswa. Bukan sekadar kunjungan, melainkan pembelajaran yang dilanjutkan dengan program pertukaran pelajar dan kerja sama lainnya. Beliau berdua adalah perintis pendidikan nasional di negaranya masing-masing sekaligus sesama pengkritik model pendidikan konservatif yang mencekoki anak dengan pengetahuan.
Saya membaca kisah pengalaman beliau seolah bukan
pengalaman di masa lalu, tetapi di masa depan. Saya
ingin tranformasi pendidikan Indonesia sebagai rujukan negara lain, tak hanya terjadi di masa lalu, tetapi juga kelak di masa depan. Apakah
mungkin?
ttt
Saya seorang ayah yang tertarik pada dunia pendidikan. Saya peduli pendidikan bukan hanya ilmu pengetahuan, juga karena sebuah pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh orangtua yang lain, “Bagaimana masa depan anak saya?”. Jujur, saya meragukan sistem pendidikan saat ini yang tidak bisa menghargai keunikan anak. Pendidikan yang memperlakukan anak seperti kertas kosong yang bisa dicorat-coret sesuka hatinya.
Saya menemukan jawaban kegelisahan saya dalam gagasan dan praktik pendidikan Ki Hadjar Dewantara.
xxiv
Ada tiga pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang saya catat dan semakin meyakinkan saya untuk menulis buku ini. Pertama, bahwa setiap anak itu istimewa. Beberapa kali beliau pernah menjelaskan bahwa anak bukanlah kertas
kosong. Anak mempunyai kodratnya sendiri yang
tidak bisa diubah oleh pendidik. Pendidik hanya bisa mengarahkan tumbuh kembangnya kodrat tersebut.
Hidup dan tumbuhnya anak-anak itu terletak di luar kecakapan dan kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. |Ki Hadjar Dewantara
(Pendidikan, hlm. 21)
Kedua, belajar bukanlah proses memasukkan pengetahuan ke diri anak. Belajar adalah proses membentuk pe-ngetahuan, mengonstruksikan pemahaman. Ki Hadjar sering menggunakan metafor tumbuhan untuk melukiskan
proses belajar yang dialami seorang anak. Belajar
bukan menanamkan pengetahuan, tetapi menumbuhkan potensi anak. Pendidik tidak bisa mengubah kodrat anak, pendidik hanya mengarahkan tumbuhnya kodrat tersebut.
...Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu dipelopori atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahaun dengan menggunakan pikirannya sendiri. |Ki Hadjar Dewantara (Peringatan
Taman-Siswa 30 Tahun, 1922—1952)
Ketiga, pentingnya peran keluarga dalam pendidikan anak.
Keluarga adalah pusat pendidikan. Orangtua mungkin bisa mendelegasikan pengajaran pada kaum ahli, tetapi pendidikan anak tetaplah menjadi tanggung jawab
orangtua. Peran orangtua tidak tergantikan oleh
sekolah, lembaga pendidikan, ataupun lembaga bakat.
Pokoknya pendidikan harus terletak di dalam pangkuan ibu bapa, karena hanya dua orang inilah yang dapat “berhamba pada sang anak” dengan semurni-murninya dan se-ikhlas-ikhlasnya, sebab cinta kasihnya kepada anak-anaknya boleh dibilang cinta kasih tak terbatas. [sick!] |Ki Hadjar Dewantara (Pendidikan, hlm. 382)
xxvi
Saat ini, pemikiran Ki Hadjar Dewantara dipinggirkan oleh arus besar paradigma dunia pendidikan. Anak-anak diseragamkan dan distandarkan melalui serangkaian
proses belajar dan ujian. Anak dipaksa belajar bukan
karena gemar, tetapi hanya agar lulus ujian. Peran keluarga diminimalisasi hanya untuk urusan mikro dan teknis. Kebijakan pendidikan yang berdampak kepada anak tidak melalui proses mendengarkan pandangan orangtua. Orangtua hanya menjadi objek penderita yang pontang-panting membantu anaknya ketika sebuah kebijakan pendidikan diluncurkan.
Tiga pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut akan
mewarnai buku ini. Anak bukan kertas kosong,
melain kan benih kehidupan yang utuh. Saya menafsirkan kodrat anak menurut Ki Hadjar Dewantara sebagai kecerdasan majemuk anak. Selain karena suka dengan kecerdasan majemuk, saya melihat benang merah antara kodrat dengan kecerdasan majemuk.
Ki Hadjar menyebutkan bahwa anak telah dianugerahi kemampuan belajar sejak lahir. Selaras dengan pengertian kecerdasan majemuk sebagai kemampuan yang dibawa sejak lahir dalam mengolah informasi, menyelesaikan persoalan serta menciptakan karya.
Saya menulis buku ini sebagai orangtua, untuk dibaca orangtua anak-anak Indonesia. Sebagai orangtua, saya
berbagi pengalaman dalam mengembangkan bakat anak saya, sekaligus belajar merumuskan panduan untuk mengembangkan anak saya di masa mendatang. Untuk para orangtua, saya mengundang Anda untuk lebih berdaya
dalam mendidik anak-anak kita. Masa depan anak
Indonesia terletak pada kepedulian orangtua.
Sebagai antitesis terhadap pandangan anak adalah kertas kosong, saya merumuskan sebuah visi, yakni pendidikan yang menumbuhkan. Pendidikan bukanlah mencekoki anak dengan berjuta pengetahuan dan kebenaran
menurut orang dewasa. Pendidikan adalah proses
menumbuhkan benih kehidupan yang utuh untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi diri dan masyarakatnya. Visi pendidikan yang menumbuhkan
akan memandu proses pengembangan bakat anak.
ttt
Saya menuliskan buku ini menjadi sepuluh bab. Bab pertama menceritakan zaman kreatif yang akan menjadi zaman bagi anak-anak kita kelak, sebuah konteks ketika anak kelak berkarier. Saya menceritakan pentingnya perubahan paradigma pendidikan dan relevansinya dengan pengembangan bakat anak. Mengapa pengembangan bakat anak penting dalam menyiapkan anak menghadapi zaman kreatif.
xxviii
Pada bab tiga, saya mengulas konsepsi mengenai anak sebagai benih kehidupan yang utuh, bukan kertas kosong. Pada dua bab selanjutnya, saya mengajak pembaca untuk menukik lebih jauh mengenai anak sebagai pembelajar. Anak mempunyai dorongan dalam diri yang mengarahkan tindakannya, dan pada dasarnya setiap anak itu cerdas. Dengan pemahaman baru mengenai anak, kita dapat mengoptimalkan tumbuh kembangnya.
Pada tiga bab berikutnya, saya memaparkan mengenai pengembangan bakat anak. Saya mengulas pengertian bakat dan prinsip pengembangan bakat anak. Saya lanjutkan dengan paparan mengenai siklus perkembangan bakat anak sejak kecil hingga fase berkarier. Berdasarkan siklus tersebut, orangtua dapat mengambil peran dan sikap yang tepat dalam mengembangkan bakat anak.
Dua bab terakhir, sifatnya lebih praktis. Bab sembilan berisi delapan latihan bagi orangtua yang menumbuhkan bakat anak. Orangtua dapat mempraktikkan latihan ini sendiri, bersama keluarga yang lain, atau dalam sebuah komunitas orangtua. Bab terakhir berisi panduan bagi orangtua untuk mengenali kecerdasan majemuk anak, serta panduan bagi orangtua untuk menstimulasi anak untuk gemar dan tekun belajar mengembangkan bakatnya.
Pada akhirnya, terima kasih buat Mamski Wiwin Hendriani dan Memski Ayunda Damai yang telah menjadi teman belajar mengenai bakat anak melalui aktivitas sehari-hari yang seru. Buku ini tidak akan ada tanpa inspirasi dari kalian.