• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Jantung Koroner (Arief Darmawan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penyakit Jantung Koroner (Arief Darmawan)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

PENYAKIT JANTUNG KORONER

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Kepaniteraan Klinik di Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Jogja

Diajukan Kepada:

dr. V. Noegroho Isti Donodjati., Sp.PD

Disusun oleh : Arief Darmawan

2006 031 0098

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

(2)

DAFTAR ISI Hal. DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Jantung Koroner

B. Patogenesis Pembentukan Aterosklerosis C. Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Koroner D. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner E. Diagnosis Penyakit Jantung Koroner

F. Gambaran EKG Pada Penyakit Jantung Koroner G. Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner H. Komplikasi Penyakit Jantung Koroner

I. Prognosis Penyakit Jantung Koroner

BAB III KESIMPULAN

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

i ii 1 1 1 2 2 2 6 7 14 18 21 25 25 26 27

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Referat ini telah disahkan

Pada: Kamis, 23 Desember 2010 di Rumah Sakit Jogja

Preceptor;

Dokter penguji; yang mengesahkan;

dr. V. Noegroho Isti Donodjati., Sp.PD

(4)

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada. Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung koroner intensif yang semakin tersebar merata. Di negara yang sedang berkembang, penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dan menjadi masalah kesehatan utama di dunia (Setyani, 2009).

American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi penyakit jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39 juta (Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002 memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal karena PJK (World Health Organization, 2006).

Berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI pada tahun 1986, PJK menduduki peringkat ketiga sebagai penyebab kematian pada usia di atas 45 tahun, pada tahun 1992 naik menjadi peringkat kedua dan sejak tahun 1993 menjadi peringkat pertama. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan PJK menempati peringkat ke-3 penyebab kematian setelah stroke dan hipertensi (Tanuwidjojo, 2003).

B. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan latar belakang diatas, penyakit jantung koroner menjadi suatu penyakit yang penting, sehingga tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, faktor resiko, diagnosis, dan penanganan dari kasus PJK serta sebagai salah saru syarat pendidikan Kepaniteraan Klinik di bagian Penyakit Dalam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di home base Rumah Sakit Jogja.

(5)

TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI PENYAKIT JANTUNG KORONER

Penyakit jantung koroner (PJK) atau penyakit jantung iskemik adalah penyakit jantung yang timbul akibat penyempitan pada arteri koronaria. Penyempitan tersebut dapat disebabkan antara lain aterosklerosis, berbagai jenis arteritis, emboli koronaria, dan spasme. Oleh karena aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) maka pembahasan tentang PJK pada umumnya terbatas penyebab tersebut (Majid, 2007).

Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika media. Proses ini dapat terjadi pada seluruh arteri, tetapi yang paling sering adalah pada left anterior descendent arteri coronaria, proximal arteri renalis dan bifurcatio carotis.

B. PATOGENESIS PEMBENTUKAN ATEROSKLEROSIS (Coughlin, 2006) 1. Pembentukan Aterosklerosis

Ada beberapa hopotesis yang menerangkan tentang proses terbentuknya aterosklerosis, seperti monoclonal hypothesis, lipogenic hypothesis dan response to injure hypothesis. Namun yang banyak diperbincangkan adalah mengenai empat stage respon to injure hypothesis sebagai berikut:

a. Stage A: Endothelial injure

Endotelial yang intake dan licin berfungsi sebagai barrier yang menjamin aliran darah koroner lancar. Faktor resiko yang dimiliki pasien akan memudahkan masuknya lipoprotein densitas rendah yang teroksidasi maupun makrofag ke dalam dinding arteri. Interaksi antara endotelial injure dengan platelet, monosit dan jaringan ikat (collagen), menyebabkan terjadinya penempelan platelet (platelet adherence) dan agregasi trombosit (trombosit agregation).

(6)

Gambar 1. Pembentukan formasi lapisan lemak dalam ruang subendotel

c. Stage C: Fibrosis Plaque Formation

Formasi plak fibrosis terdiri atas inti atau central cholesterol dan tutup jaringan ikat (cap fibrous). Formasi ini memberikan dua gambaran tipe yaitu:

Stable fibrous plaque dan Unstable fibrous plaque

Gambar 2. Formasi plak fibrous yang terdiri atas tutup dan inti

d.Stage D: Unstable Plaque Formation

Formasi ini akan membentuk plak yang mudah ruptur (vulnarable plaque), sehingga menyebabkan terbentuknya trombus dan oklusi pada arteri.

(7)

Gambar 3.Timeline dari Aterosklerosis

(8)

Gambar 4. Aterosklerosis Pada Arteri Koronaria dan Anatomi Vasa Koronaria

(9)

Diatas telah dijelaskan bahwa aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil (ACC/AHA, 2007).

1.Plak Vulnarable (Plak yang memiliki dinding tipis dengan lemak yang besar, mudah ruptur jika ada faktor pencetus akibat aktivasi enzim protease yang dihasilkan makrofag)  Akut koroner sindrom

a. ST elevasi miokard infark (STEACS); oklusi total oleh trombus 1) STEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

2) Angina variant (prinzmetal), jarang terjadi; akibat spasme koroner b. Non-ST elevasi acute coronary syndrom (NSTEACS); oklusi parsial

1) NSTEMI; infark, dengan peningkatan enzim jantung

2) Unstable angina; kresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung 2.Plak Stabil (Plak yang memiliki dinding tebal dengan lemak yang sedikit) 

angina pektoris stabil; dekresendo angina, tanpa peningkatan enzim jantung

Gambar 5. Klasifikasi Sindrom Koroner Akut

(10)

D. FAKTOR RESIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER (Setyani, 2009; Bahri, 2005)

1. Lipid

Dislipidemia diyakini sebagai faktor risiko mayor yang dapat dimodifikasi untuk perkembangan dan perubahan secara progresif atas terjadinya PJK. Kolesterol ditranspor dalam darah dalambentuk lipoprotein, 75 % merupakan lipoprotein densitas rendah (low density liproprotein/LDL) dan 20 % merupakan lipoprotein densitas tinggi (high density liproprotein/HDL). Kadar kolesterol HDL-lah yang rendah memiliki peran yang baik pada PJK dan terdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dan insiden PJK.

Pada laki-laki usia pertengahan (45 s.d 65 tahun) dengan tingkat serum kolesterol yang tinggi (kolesterol : > 240 mg/dL dan LDL kolesterol : > 160 mg/dL) risiko terjadinya PJK akan meningkat. Pemberian terapi dengan pravastatin dapat menurunkan rata-rata kadar LDL kolesterol sebesar 32 %, pasien yang mendapatkan pengobatan dengan pravastatin terhindar dari kejadian PJK sebesar 24 % dibandingkan dengan kelompok placebo.

Selain itu juga studi yang dilakukan para ahli menyebutkan bahwa asam lemak omega-3 dapat menurunkan kolesterol LDL, mengurangi kadar trigliserid dan meningkatkan kolesterol HDL. Beberapa vitamin diduga mempunyai efek protektif terhadap aterosklerosis, salah satunya adalah vitamin C dan E sebagai anti oksidan guna mencegah oksidasi lipid pada plak.

(11)

2. Merokok

Merokok merupakan faktor risiko mayor untuk terjadinya penyakit jantung, termasuk serangan jantung dan stroke, dan juga memiliki hubungan kuat untuk terjadinya PJK sehingga dengan berhenti merokok akan mengurangi risiko terjadinya serangan jantung. Merokok sigaret menaikkan risiko serangan jantung sebanyak 2 sampai 3 kali. Sekitar 24 % kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11 % pada perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Meskipun terdapat penurunan yang progresif proporsi pada populasi yang merokok sejak tahun 1970-an, pada tahun 1996 sebesar 29 % laki-laki dan 28 % perempuan masih merokok. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah prevalensi kebiasaan merokok yang meningkat pada remaja, terutama pada remaja perempuan. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan risiko sebesar 20 – 30 % dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan bukan perokok. Risiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20 batang rokok atau lebihdalam sehari memiliki resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi daripada populasi umum untuk mengalami kejadian PJK.

Peran rokok dalam patogenesis PJK merupakan hal yang kompleks, diantaranya :

a. Timbulnya aterosklerosis.

b. Peningkatan trombogenesis dan vasokonstriksi (termasuk spasme arteri koroner)

c. Peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. d. Provokasi aritmia jantung.

e. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard. f. Penurunan kapasitas pengangkutan oksigen.

g. Risiko terjadinya PJK akibat merokok turun menjadi 50 % setelah satu tahun berhenti merokok dan menjadi normal setelah 4 tahun berhenti. Rokok juga merupakan faktor risiko utama dalam terjadinya : penyakit saluran nafas, saluran pencernaan, cirrhosis hepatis, kanker kandung kencing dan penurunan kesegaran jasmani.

(12)

Manfaat penghentian kebiasaan merokok lebih sedikit kontroversinya dibandingkan dengan diit dan olah raga. Tiga penelitian secara acak tentang kebiasaan merokok telah dilakukan pada program prevensi primer dan membuktikan adanya penurunan kejadian vaskuler sebanyak 7-47% pada golongan yang mampu menghentikan kebiasaan merokoknya dibandingkan dengan yang tidak. Oleh karena itu saran penghentian kebiasaan merokok merupakan komponen utama pada program rehabilitasi jantung koroner.

3. Obesitas

Terdapat saling keterkaitan antara obesitas dengan risiko peningkatan PJK, hipertensi, angina, stroke, diabetes dan merupakan beban penting pada kesehatan jantung dan pembuluh darah. Data dari Framingham menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, akan terjadi penurunan insiden PJK sebanyak 25 % dan stroke/cerebro vascular accident (CVA) sebanyak 3,5 %.

Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia.

Hal tersebut ditempuh dengan cara mengurangi asupan kalori dan menambah aktifitas fisik. Disamping pemberian daftar komposisi makanan , pasien juga diharapkan untuk berkonsultasi dengan pakar gizi secara teratur.

(13)

4. Diabetes Mellitus

Penderita diabetes menderita PJK yang lebih berat, lebih progresif, lebih kompleks, dan lebih difus dibandingkan kelompok control dengan usia yang sesuai.

Diabetes mellitus berhubungan dengan perubahan fisik-pathologi pada system kardiovaskuler. Diantaranya dapat berupa disfungsi endothelial dan gangguan pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan risiko terjadinya coronary artery diseases (CAD). Kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya mikroangiopati, fibrosis otot jantung, dan ketidaknormalan metabolisme otot jantung.

Risiko terjadinya PJK pada psien dengan NIDDM adalah dua hingga empat kali lebih tinggi daripada populasi umum dan tampaknya tidak terkait dengan derajat keparahan atau durasi diabetes, mungkin karena adanya resistensi insulin dapat mendahului onset gejala klinis 15 – 25 tahun sebelumnya. Sumber lain mengatakan bahwa, pasien dengan diabetes mellitus berisiko lebih besar (200%) untuk terjadinya cardiovasculair diseases dari pada individu yang tidak diabet.

Gambar 6. Potential mechanisms linking diabetes mellitus to heart failure Sumber : Cardiovascular Diabetology – by : Christophe Bauters, Januari 2003.

Other non ischemic

(14)

Diabetes, meskipun merupakan faktor risiko independent untuk PJK, juga berkaitan dengan adanya abnormalitas metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen). Hasil coronary artery bypass grafting (CABG) jangka panjang tidak terlalu baik pada penderita diabetes, dan pasien diabetic memiliki peningkatan mortalitas dini serta risiko stenosis berulang pasca angioplasty koroner.

5. Riwayat Keluarga

Faktor familial dan genetika mempunyai peranan bermakna dalam patogenesis PJK, hal tersebut dipakai juga sebagai pertimbangan penting dalam diagnosis, penatalaksanaan dan juga pencegahan PJK. Penyakit jantung koroner kadang-kadang bisa merupakan manifestasi kelainan gen tunggal spesifik yang berhubungan dengan mekanisme terjadinya aterosklerotik.

Riwayat keluarga PJK pada keluarga yang langsung berhubungan darah yang berusia kurang dari 70 tahun merupakan faktor risiko independent untuk terjadinya PJK, dengan rasio odd dua hingga empat kali lebih besar dari pada populasi control. Agregasi PJK keluarga menandakan adanya predisposisi genetik pada keadaan ini. Terdapat beberapa bukti bahwa riwayat keluarga yang positif dapat mempengaruhi usia onset PJK pada keluarga dekat.

The Reykjavik Cohort Study menemukan bahwa pria dengan riwayat keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,75 kali lebih besar untuk menderita PJK (RR=1,75; 95% CI 1,59-1,92) dan wanita dengan riwayat keluarga menderita PJK mempunyai risiko 1,83 kali lebih besar untuk menderita PJK (RR=1,83; 95% CI 1,60-2,11) dibandingkan dengan yang tidakmempunyai riwayat PJK.

6. Hipertensi Sistemik

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kalalembang dan Alfrienti dengan judul “Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner di RSU Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan” menyimpulkan

(15)

bahwa 4 (empat) faktor risiko yang mempunyai pengaruh bermakna (p < 0,05) adalah tekanan darah (hipertensi), umur, riwayat PJK pada orang tua dan olah raga.

Risiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk setiap penurunan tekanan darah disatolik sebesar 5 mmHg risiko PJK berkurang sekitar 16 %. Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi. Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark miokardium.

Disamping itu juga secara sederhana dikatakan peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan arteriosclerosis, sehingga rupture dan oklusi vaskuler terjadi 20 tahun lebih cepat daripada orang normotensi. Penelitian Framingham menunjukkan LVH akan meninggikan PJK 4 – 5 kali pada penderita usia lanjut.

Gambar 7. Pengaruh Hipertensi Pada Jantung

(16)

Peningkatan kadar homosistein dalam darah akhir-akhir ini telah ditegakkan sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya trombosis dan penyakit vaskuler. Hiperhomosisteinemia ini akan lebih meningkatkan lagi kejadian aterotrombosis vaskuler pada individu dengan faktor risiko yang lain seperti kebiasaan merokok dan hipertensi.

Lebih dari 31 penelitian kasus kontrol dan potong lintang yang melibatkan sekitar 7000 penderita didapatkan hiperhomosisteinemia pada 30 % sampai 90 % penderita aterosklerosis dan berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Irawan dkk, tentang “Hiperhomosisteinemia sebagai faktor risiko PJK” yang dilakukan di RS Sardjito –Yogyakarta dengan desain penelitian kasus kontrol, pada n case 50 orang dan n control 50 orang, didapatkan 74% penderita PJK dari kelompok kasus dan 36% penderita PJK dari kelompok kontrol. Hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya PJK (OR 5,06; 95% CI: 2,15-11,91; p<0,01)

Tabel 3. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1.

(17)

Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti. Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan dapat mengalami infark atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita. Pada orang-orang muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya mungkin akan dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat pekerjaan mungkin akan berkurang. Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua, maka mereka mungkin harus mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang kali di rawat di rumah sakit atau harus makan obat-obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu lama (Gray, dkk., 2005).

Tabel 4 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting, baik yang saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan mempunyai peranan besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang maksimal dengan resiko dan biaya yang seminimal mungkin.

Tabel 4. Cara-cara Diagnostik Penyakit Jantung Koroner

No Diagnostik Penyakit Jantung Koroner

1 Anamnesis: Nyeri dada iskemik, identifikasi faktor pencetus dan atau faktor resiko. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut:

a. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial.

b. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.

c. Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.

d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat.

e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan

f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin. g. Hati-hati pada pasien diabetes mellitus, kerap pasien tidak mengeluh

nyeri dada akibat neuropati diabetik.

(18)

Pada UAP  Crescendo angina, Angina Pektoris Stabil  Decrescendo Angina pada wanita dan pria:

a. Wanita: Paling sering angina (terkadang pasien hanya bilang sesak padahal maksudnya nyeri dada)

b.Pria: Paling sering langsung miocard infark  banyak yang sudden death

2 Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari PJK. Hipertensi tak terkontrol, takikardi, anemis, tirotoksikosis, stenosis aorta berat (bising sistolik), dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Dapat juga ditemukan retinopati hipertensi/diabetik.

Keadaan disfungsi ventrikel kiri/tanda-tanda gagal jantung (hipotensi, murmur dan gallop S3) menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan juga penderita penyakit jantung koroner (PJK). 3 Laboratorium: leukositosis/normal, anemia, gula darah tinggi/normal,

dislipidemia, SGOT meningkat, jika cek enzim jantung maka meningkat Enzim Jantung Penanda Infark Miokardium (Gambar 8)

Enzim Meningkat Puncak Normal

CK-MB 6 jam 24 jam 36-48 jam

GOT 6-8 jam 36-48 jam 48-96 jam

LDH 24 jam 48-72 jam 7-10 hari

Troponin T Troponin I 3 jam 3 jam 12-24 jam 12-24 jam 7-10 hari 7-14 hari 4 Foto Dada: Kardiomegali, aortosklerosis, edema paru

5 Pemeriksaan Jantung Non-invasif a. EKG

Akut Koroner Sindrom:

- STEMI  ST elevasi > 2mm minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau > 1mm pada 2 sandapan ekstremitas,

(19)

LBBB baru atau diduga baru; ada evolusi EKG

- NSTEMI  Normal, ST depresi > 0,05mV, T inverted simetris; ada evolusi EKG

- UAP  Normal atau transient

Angina Pektoris Stabil  iskemia, dapat kembali normal waktu nyeri hilang.

ST depresi ST elevasi Q patologis T inverted simetris AMI

OMI b.Uji Latihan Jasmani (Treadmill)

c. Uji Latihan Jasmani Kombinasi Pencitraan: - Uji Latih Jasmani Ekokardiografi (Stress Eko) - Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard

- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging d. Ekokardiografi Istirahat

e. Monitoring EKG Ambulatoar

f. Teknik Non-invasif Penentuan Klasifikasi Koroner dan Anatomi Koroner:

- Computed Tomografi

- Magnetic Resonance Arteriography

6 Pemeriksaan Invasif Menentukan Anatomi Koroner - Arteriografi Koroner

- Ultrasound Intra Vaskular (IVUS) Sumber: Madjid, Abdul (2007) yang telah dimodifikasi

(20)

Gambar 8. Peningkatan Enzim Jantung (Cardiac Marker) pada Infark Miokard

Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan faktor resiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pektoris ringan cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah merupakan indikasi.

Pada keadaan yang meragukan apat dilakukan treadmill test. Treadmill test lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan test pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan angina pektoris dan pemeriksaannya yang mudah dan biayanya terjangkau. Pada pasien PJK, iskemia miokard direfleksikan dengan depresi segmen ST, yang sering terlihat pada lead dengan gelombang R tertinggi (biasanya V5).

Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed Tomography, Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi. Di samping itu tes ini juga cocok untuk pasien yang tidak dapat melakukan exercise, di mana dapat dilakukan uji latih dengan menggunakan obat dipyridamole atau dobutamine (Gray, dkk., 2005).

F. GAMBARAN EKG PADA PENYAKIT JANTUNG KORONER

Satu dari tiga komponen penting dalam diagnosis penyakit jantung koroner utamanya sindrom koroner akut adalah EKG. Kombinasi riwayat penyakit yang khas dan peningkatan kadar enzim jantung lebih dapat diandalkan daripada EKG dalam diagnosis infark miokard. EKG memiliki tingkat akurasi prediktif positif sekitar 80%.

(21)

1. Segmen ST dan Gelombang T pada Iskemia Miokard

Iskemia miokard akan memperlambat proses repolarisasi, sehingga pada EKG dijumpai perubahan segmen ST (depresi) dan gelombang T (inversi) tergantung beratnya iskemia serta waktu pengambilan EKG. Spesifitas perubahan segmen ST pada iskemia tergantung morfologinya. Diduga iskemia jika depresi segmen ST lebih dari 0,5mm (setengah kotak kecil) dibawah garis besline (garis isoelektris) dan 0,04 detik dari j point. Pada treadmill test, positif iskemia jika terdapat depresi segmen ST sebesar 1mm.

Gambar 9. Variasi segmen ST (depresi) paa iskemia

2.Perubahan/Evolusi EKG pada Injure Miokard

Sel miokard yang mengalami injuri tidak akan berdepolarisasi sempurna, secara elektrik lebih bermuatan positif dibanding daerah yang tidak mengalami injuri dan pada EKG terdapat gambaran elevasi segmen ST pada sandapan yang berhadapan dengan lokasi injuri. Elevasi segmen ST bermakna jika elevasi > 1mm pada sandapan ekstremitas dan > 2mm pada sandapan prekordial di dua atau lebih sandapan yang menghadap daerah anatomi jantung yang sama. Perubahan segmen ST, gelombang T dan kompleks QRS pada injuri dan infark mempunyai karakteristik tertentu sesuai waktu dan kejadian selama infark. Aneurisma ventrikel harus dipikirkan jika elevasi segmen ST menetap beberapa bulan setelah infark miokard.

(22)

Gambar 10. Pola perubahan EKG pada IMA dengan ST elevasi (Emerg Med Clin N Am 2006; 24:53-89)

3. Perubahan EKG pada Infark Miokard Lama (OMI)

Infark miokard terjadi jika aliran arah ke otot jantung terhenti atau tiba-tiba menurun sehingga sel otot jantung mati. Sel infark yang tidak berfungsi tersebut tidak mempunyai respon stimulus listrik sehingga arah arus yang menuju daerah infark akan meninggalkan daerah yang nekrosis tersebut dan pada EKG memberikan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis dengan syarat durasi gelombang Q lebih dari 0,04 detik dan dalamnya harus minimal sepertiga tinggi gelombang R pada kompleks QRS yang sama.

(23)

Gambar 11. (A) EKG sandapan II normal dengan progresi normal vektor listrik (tanda panah) dan kompleks QRS dimulai dengan gelombang Q septal yang kecil. (B) Perubahan EKG sandapan II pada infark lama: arah arus meninggalkan daerah infark (tanda panah) dan memperlihatkan gambaran defleksi negatif berupa gelombang Q patologis pada EKG

4. Konsep Resiprokal

Pada sandapan dengan arah berlawanan dari daerah injuri menunjukkan gambaran depresi segmen ST dan disebut perubahan resiprokal (mirror image). Perubahan ini dijumpai pada dinding jantung berlawanan dengan lokasi infark (75% dijumpai pada infark inferior dan 30% pada infark anterior). Perubahan ini terjadi hanya sebentar diawal infark dan jika ada berarti dugaan kuat suatu infark akut.

Gambar 12. Konsep Resiprokal

5.Lokalisasi Infark Berdasarkan Lokasi Letak Perubahan EKG

Lokasi Lead / Sandapan Perubahan EKG

Anterior V1-V4 ST elevasi, Gelombang Q

Anteroseptal V1-V3 ST elevasi, Gelombang Q

Anterior Ekstensif V1-V6 ST elevasi, Gelombang Q

Posterior V1-V2 ST depresi, Gelombang R tinggi

Lateral I, avL, V5-V6 ST elevasi, Gelombang Q Inferior II, III, avF ST elevasi, Gelombang Q Ventrikel kanan V4R-V5R ST elevasi, Gelombang Q

(24)

G. PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG KORONER 1. Akut Koroner Sindrom

Diagnosis; 2 dari 3 dibawah ini

a. Angina (Sensitifitas 70%, Spesifitas 20%)

b. Perubahan EKG (Sensitifitas 50%, Spesifitas 100%)

c. Peningkatan Enzim Jantung (Sensitifitas dan Spesifitas mendekati 100%)

Gambar 13. Algoritma, Triase dan Tatalaksana Sindrom Koroner Akut

Berdasarkan triase dari pasien dengan kemungkinan SKA, langkah yang diambil pada prinsipnya sebagai berikut :

a. Jika riwayat dan anamnesa curiga adanya SKA

1)Berikan asetil salisilat (ASA) 300 mg dikunyah, berikan nitrat sublingual 2) Rekam EKG 12 sadapan atau kirim ke fasilitas yang memungkinkan 3) Jika mungkin periksa petanda biokimia

(25)

b. Jika EKG dan petanda biokimia curiga adanya SKA: Kirim pasien ke fasilitas kesehatan terdekat dimana terapi defenitif dapat diberikan

c. Jika EKG dan petanda biokimia tidak pasti akan SKA 1) Pasien risiko rendah ; dapat dirujuk ke fasilitas rawat jalan 2) Pasien risiko tinggi : pasien harus dirawat

Penanganan di Instalasi Gawat Darurat

Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena kita berpacu dengan waktu dan bila makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah: 1) Pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan, 2) Periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT,

3) Berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, 4) Pasang monitoring EKG secara kontiniu,

5)Pemberian obat:

- Nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg, bradikardia (< 50 kpm) - Aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan

dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel, dan

- Mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena.

Prinsip Management:

STEMI : MONACO + Reperfusi NSTEMI : MONACO + Heparin b. Hasil penilaian EKG, bila:

1) Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan :

(26)

 Terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.

o Streptokinase: BP > 90 mmHg o tPA: BP < 70mmHg

o Kontraindikasi: Riwayat stroke hemoragik, active internal bleeding, diseksi aorta.

o Jika bukan kandidate reperfusi maka perlakukan sama dengan NSTEMI/UAP.

 Angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik 2) Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T),

diberi terapi anti-iskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan

3) EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD. Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama 12 jam, bila:

 EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan  EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien

di rawat di ICCU.

STEMI

ASA, beta blockers, antithrombin therapy

<12 hrs

>12 hrs

Eligible for

Lytic therapy

Lytic C/I

Not a candidate

For reperfusion

Persistent

symptoms

Thrombolysis

Primary PCI

no

yes

Other medical therapy

Consider reperfusion

(27)

Gambar 14. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom dengan ST elevasi

Gambar 15. Tatalaksana Akut Koroner Sindrom Non-ST elevasi/UAP 2. Angina Pektoris Stabil (Kronis Koroner Sindrom)

Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kematian dan terjadinya serangan jantung (infark). Sedangkan yang lainnya adalah mengontrol serangan angina sehingga memperbaiki kualitas hidup.

Unstable angina/NSTEMI

Aspirin, antithrombin, nitrates, GP IIb -IIIa

antagonist

Betablockers(calcium channel blockers)

Assess clinical status

High risk/unstable

Stable

(Recurrent ischemia, LV dysfunction

Widespread EKG changes, positive

enzyme markers)

Cardiac catheterization

Severe ischemia

Revascularization (PCI/ CABG)

Medical therapy

Stress test

yes

(28)

Pengobatan terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain adalah terapi reperfusi miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG (bypass).

Berikut 10 elemen penting untuk penatalaksanaan angina stabil: A Aspirin dan anti angina

B Beta bloker dan pengontrol tekanan darah C Cholesterol kontrol dan berhenti merokok D Diet dan atasi diabetes

E Edukasi dan olah raga

H. KOMPLIKASI PENYAKIT JANTUNG KORONER

Komplikasi tertinggi akut infark adalah aritmia, aritmia yang sering memberikan komplikasi adalah ventrikel vibrilasi. Ventrikel vibrilasi 95% meninggal sebelum sampai rumah sakit. Komplikasi lain meliputi disfungsi ventrikel kiri/gagal jantung dan hipotensi/syok kardiogenik.

I. PROGNOSIS PENYAKIT JANTUNG KORONER

Prognosis pada penyakit jantung koroner tergantung dari beberapa hal yaitu: 1. Wilayah yang terkena oklusi

2. Sirkulasi kolateral

3. Durasi atau waktu oklusi 4. Oklusi total atau parsial 5. Kebutuhan oksigen miokard

Berikut prognosis pada penyakit jantung koroner: 1. 25% meninggal sebelum sampai ke rumah sakit 2. Total mortalitas 15-30%

3. Mortalitas pada usia < 50 tahun 10-20% 4. Mortalitas usia > 50 tahun sekitar 20%

BAB III KESIMPULAN

(29)

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang terutama disebabkan karena penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Faktor resiko meliputi dislipidemia, diabetes, merokok, hipertensi, keturunan, hemosistein.

Aterosklerosis merupakan penyebab terbanyak (99%) PJK. Arterosklerosis pada dasarnya merupakan suatu kelainan yang terdiri atas pembentukan fibrolipid dalam bentuk plak-plak yang menonjol atau penebalan yang disebut ateroma yang terdapat didalam tunika intima dan pada bagian dalam tunika media.

Aterosklerosis yang terbentuk dalam lumen arteri dapat bersifat sebagai plak yang vulnarable maupun plak stabil. Oleh karena itu penyakit jantung koroner memberikan dua manifestasi klinis penting yaitu akut koroner sindrom dan angina pektoris stabil. Akut Koroner Sindrom dapat sebagai STEMI maupun NSTEMI/UAP.

Penyakit jantung koroner memberikan gejala berupa angina. Angina merupakan nyeri dada iskemik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan penyediannya (UAP; crecendo angina, angina stabil; decrecendo angina). Akut Koroner Sindrom dapat didiagnosis, 2 dari 3 hal berikut yaitu nyeri dada angina, perubahan EKG dan peningkatan enzim jantung.

Tatalaksana STEMI meliputi MONACO + Reperfusi, pada NSTEMI/UAP dapat diberikan MONACO + Heparin sedangkan terapi pada angina pektoris stabil pengobatan terdiri dari farmakologis dan non-farmakologis untuk mengontrol angina dan memperbaiki kualitas hidup. Tindakan lain pada angina pektoris stabil adalah terapi reperfusi miokardium dengan cara intervensi koroner dengan balon dan pemakaian stent sampai operasi CABG (bypass).

BAB IV DAFTAR PUSTAKA

(30)

ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/ Non–ST-Elevation Myocardial Infarction-Executive Summary. J Am Coll Cardiol, 2007; 50:652-726

Acute Coronary Sindromes. (2010). Journal of the American Medical Association, Vol. 303, No.1

Alim, Ahmad. (2008). Pocket ECG How to Learn ECG from Zero. Pengantar DR. H. Budi Yuli Setianto., Sp.PD (K), Sp.JP (K), FIHA. Penerbit Intan Cendikia Alwi, Idrus. (2006). Tatalaksana Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Bahri, Anwar. (2005). Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. e-USU Repository.

Buckley., Freeman., Rogers., et. Al. (2009). Using non traditional Risk Factors to Estimate Risk for Coronary Heart Disease. American College of Physician Coughlin, DeBeasi. (2006). Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Patofisiologi Konsep

Klinis Proses-proses Penyakit (6th ed.). Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Guyton, AC dan Hall, JE. (2006). Texbook of Medical Physiology (11th ed.).

Philadelphia: Elsevier Saunders Inc.

Gray, Huon., Dawkins., Morgan, John dan Simpson. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Lecture Notes Kardiologi (4th ed.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Harun, S. (2006). Infark Miokard Akut Tanpa ST Elevasi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Homosistein Sebagai Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner. (2001). Majalah Kedokteran Andalas Vol.25. No. 1.

Informatorium Obat Nasional Indonesia. (2008). Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. KOPERKOM: Sagung Seto.

Kalim, Harmani. (2009). Penanganan Mutakhir Penyakit Jantung Koroner: Sindroma Koroner Akut. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Majid, Abdul. (2007). Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan dan Pengobatan Terkini. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara [Versi elektronik]. Diakses 13

Desember 2010 dari

(31)

Nawawi, dkk., (2006). Nilai Troponin T Penderita Sindrom Koroner Akut. Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126

Rahman, Muin. (2006). Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Santoso, M dan Setiawan, T. (2005). Penyakit Jantung Koroner. Departemen Ilmu Penyakit Dalam UKRIDA Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 147 Setianto, Budi Yuli dkk., (2003). Hubungan Angka Leukosit Pada Infark Miokard Akut

dengan Kejadian Cardiac Event Selama Dirawat di Rumah Sakit. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Berkala Ilmu Kedokteran. Vol. 35., No. 1

Setyani, Rani. (2009). Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Jantung Koroner Pada Usia Produktif (< 55 tahun) [Versi elektronik]. Airlangga University Digital Library.

Susmadi. (2008). Tes Toleransi Latihan Pada Gangguan Kardiovaskuler. Tesis Magister Keperawatan Bedah. Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.

Tanuwidjojo S, Rifqi S. (2003). Atherosklerosis from theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Tarigan, Elias. (2003). Hubungan Kadar Troponin T dengan Gambaran Klinis Sindrom Koroner Akut [Versi Elektronik]. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Digitized by USU Digital Library

Tristohadi, Hanafi. (2006). Angina Pektoris Tak Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

World Health Organization. (2006). Deaths from coronary heart disease. Diakses 13

Desember 2010 dari

Gambar

Gambar 1. Pembentukan formasi lapisan lemak dalam ruang subendotel
Gambar 3.Timeline dari Aterosklerosis
Tabel 1. Total Kolesterol dan LDL Kolesterol
Tabel 2. Klasifikasi Berat Badan Menurut Index Masa Tubuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Pelaporan merupakan bagian penting dari pemantauan dan evaluasi sebuah program yang memuat hasil kemajuan pelaksanaan program secara berjenjang mulai dari

Infrastructure built is at least 20% cheaper than that built by non-community based approaches in 80% of participating kelurahans Text Value 0 4900 6240 Date Comments

Begitu juga dengan ketuntasan klasikal pada siklus I diperoleh ketuntasan klasikal 76,66% meningkat menjadi 96,66%.Dari hasil pembahasan dan hasil refleksi pada siklus I dan

Penelitian Ulivia Isnawati Kusuma membahas tentang Regresi Nonparametrik Spline Kuadratik dan Theil dalam Memodelkan Hubungan IHSG Terhadap Inflasi di Indonesia, dalam penelitian

Dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetepkan

Kurva indifferen dengan anggaran tetap yang terabatas (fixed budget.. costrains) merupakan analisa yang digunakan lindahl dalam mengemukaan teori tersebut. Adapun

Data (data mentah) hasil pembacaan MPU6050 akan diproses oleh mikrokontroler untuk dijadikan sudut, pada mikrokontroler juga bertugas untuk memberikan variabel kontrol