• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

103

LAMPIRAN

(2)

104 Lampiran 1.

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

No Kebutuhan Data Metode Jenis Data Sumber Data 1 Kondisi umum lokasi Studi dokumen,

wawancara, pengamatan berperan serta Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif Pemerintah Desa, Tokoh Masyarakat, dan Literatur

2 Profil sejarah lokasi Studi dokumen, wawancara, Primer, sekunder, dan kualitatif Tokoh Masyarakat, Tetua Adat 3 Nilai-nilai kehutanan, kearifan lokal dan kelembagaannya Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Primer, sekunder, dan kualitatif Tokoh Masyarakat, Tetua Adat, masyarakat 4 Profil pengelolaan dan

kepemilikan sumberdaya hutan (sejarah pengelolaan)

Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif Tokoh Masyarakat, Tetua Adat, Masyarakat, Pemerintah Desa 5 Konflik-konflik yang terjadi

(sejarah konflik, sumber konflik, bentuk konflik, kedalaman konflik, dan ruang konflik) Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif Tokoh Masyarakat, Masyarakat, Pemerintah Desa, 6 Penyelesaian konflik yang

telah dilakukan Studi dokumen, wawancara, pengamatan berperan serta Primer, Sekunder, kualitatif, dan kuantitatif Tokoh Masyarakat, Masyarakat, Pemerintah Desa, Balai TNGHS,

(3)

105 Lampiran 2.

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM

KEPADA INFORMAN (KETUA ADAT DAN TOKOH MASYARAKAT)

Hari/tanggal wawancara : Lokasi wawancara : Nama dan umur informan :

Pekerjaan :

Pertanyaan Penelitian :

1. Bagaimana sejarah berdirinya Sirna Resmi?

2. Bagaimana kepemilikan hutan di desa Sirna Resmi menurut Bapak/Ibu? 3. Bagaimana Bapak/Ibu memaknai hutan?

4. Kearifan lokal apa saja yang berlaku dalam mengelola hutan? 5. Kelembagaan yang terbentuk dalam pengelolaan hutan? 6. Bagaimana pengelolaan hutan sebelum adanya TNGHS?

7. Bagaimana akses dan kontrol masyarakat terhadap hutan sebelum ada TNGHS?

8. Bagaimana reaksi masyarakat setelah adanya TNGHS?Mengapa reaksi tersebut terjadi?

9. Konflik apa yang terjadi?

10. Hal-hal apa saja yang menyebabkan konflik tersebut terjadi? 11. Sampai sejauh mana konflik terjadi (kedalaman konflik)? 12. Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut?

13. Dimana dan kapan konflik terjadi?

14. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam menangani konflik-konflik tersebut?

15. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan konflik tersebut? 16. Sampai sejauh mana upaya-upaya tersebut terlaksana?

(4)

106 PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM

KEPADA INFORMAN (PETANI)

Hari/tanggal wawancara : Lokasi wawancara : Nama dan umur informan :

Pekerjaan :

Pertanyaan Penelitian :

1. Sejak kapan Bapak/Ibu tinggal di Desa Sirna Resmi?

2. Apa saja pekerjaan Bapak/Ibu yang berkaitan dengan hutan? 3. Bagaimana interkasi Bapak/Ibu dengan hutan?

4. Bagaimana pengelolaan sumberdaya hutan di Desa Sirna Resmi? 5. Kelembagaan apa saja yang ada dalam pengelolaan hutan? 6. Bagaimana Bapak/Ibu memaknai hutan?

7. Bagaimana akses dan kontrol Bapak/Ibu terhadap hutan? 8. Bagaimana pula kepemilikan hutan di Desa Sirna Resmi? 9. Bagaimana pengelolaan hutan sebelum adanya TNGHS?

10. Bagaimana akses dan control masyarakat terhadap hutan sebelum ada TNGHS?

11. Bagaimana reaksi masyarakat setelah adanya TNGHS?Mengapa reaksi tersebut terjadi?

12. Konflik apa yang terjadi?

13. Hal-hal apa saja yang menyebabkan konflik tersebut terjadi? 14. Sampai sejauh mana konflik terjadi (kedalaman konflik)? 15. Siapa saja yang terlibat dalam konflik tersebut?

16. Dimana dan kapan konflik terjadi?

17. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam menangani konflik-konflik tersebut?

18. Siapa saja yang terlibat dalam penanganan konflik tersebut? 19. Sampai sejauh mana upaya-upaya tersebut terlaksana?

(5)

107 Lampiran 3. Catatan Lapangan

Hari/tanggal wawancara : Minggu, 4 Juli 2010 Lokasi wawancara : Rumah Wa UGS Nama dan umur informan : Wa UGS 64 Tahun Pekerjaan : Tokoh Adat Kasepuhan

Hasil Wawancara :

Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun sudah dimulai sejak tahun 1954. Saat itu, pemerintah diwakili oleh Jawatan Kehutanan sudah mulai turut campur dalam pengelolaan hutan Halimun.

“pemerintah mulai campur tangan dalam pengelolaan hutan”

Tahun 1969 pengelolaan Gunung Halimun dipegang oleh Perhutani. Namun, saat itu tidak terjadi konflik apapun, karena hubungan antara kasepuhan dengan Perhutani masih terjalin dengan baik. Sebenarnya permasalahan lahan sudah dimulai sejak jaman penjajahan. Saat itu, penjajah baik Belanda maupun Jepang telah membakar sawah-sawah warga dan menjarah hasil pertanian.

Pemerintah mengeluarkan SK. Menhut No.282 Tahun 1992 tentang penunjukkan kawasan Gunung Halimun menjadi Taman Nasional Gunung Halimun dengan luas 40.000 hektar, dan memperluas kawasan taman nasional dengan mengeluarkan lagi SK Menhut No.175 Tahun 2003, menjadi 113.357 hektar yang mencakup tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sukabumi dan Bogor di Provinsi Jawa Barat dan kabupaten Lebak di Provinsi Banten. Komunitas-komunitas yang berada di “kantong-kantong” (zona inti) atau taman nasional harus bersiap-siap untuk keluar dari pemukimannya, salah satunya adalah Kasepuhan Cipta Gelar. Selain itu, dengan menggunakan Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 Tahun 2006 mengenai zonasi taman nasional, kawasan adat kasepuhan akan dijadikan zona khusus budaya/adat. Sedangkan kawasan pertambangan dan kawasan yang di-HGU-kan berada pada zona perekonomian. Akan tetapi pemerintah tidak dapat bersikap tegas mengenai konservasi kepada para kapitalis karena telah membuat kontrak sebelum adanya perluasan taman nasional.

(6)

108 Masyarakat pernah menanam kayu-kayuan dengan sistem tumpang sari ketika kawasan Gunung Halimun masih dikelola oleh Perhutani. Namun, saat ini dengan berpindahnya pengelolaan Gunung Halimun kepada Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak maka kayu-kayu yang ditanam warga dan siap panen, tidak boleh ditebang karena telah berada di dalam kawasan rehabilitasi/zona rehabilitasi taman nasional. Sebenarnya hak-hak masyarakat adat telah diakui dalam Undang-undang No.32 Pasal 67. Namun, pemerintah masih mengabaikan dan tetap mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

“saat ini, kami sedang memperjuangkan hak-hak kami dengan mengajukan peraturan daerah kepada Pmerintah Kabupaten Sukabumi, dengan mengacu pada UU No.32 Pasal 67. Kami telah berafiliasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup untuk memetakan wilayah adat kami. Kasepuhan Citorek, Cisitu, Cibedug dan Cirompak telah memiliki SK dari Bupati mengenai pengakuan hak adat mereka. Kami pun akan memperjuangkan Perda agar dapat seperti ke-empat Kasepuhan tersebut.”

Pada mulanya masyarakat takut dengan keberadaan taman nasional. Karena polisi khusus dari taman nasional pernah menangkap warga yang sedang berada di kebun, dan dituduh sebagai perambah hutan. Namun, ketika warga diberi pelatihan mengenai peraturan-peraturan terkait hutan dan tentang hak-hak asasi masyarakat, akhirnya warga berani melawan kepada polisi khusus tersebut. Pada zaman penjajahan Belanda, kepemilikan tanah oleh masyarakat adat masih diakui, penjajah hanya menguasai lahan, tidak memiliki. Berbeda dengan pemerintah saat ini, yang tidak hanya menguasai tetapi juga merasa memiliki karena sesuai dengan yang tertera pada UU No.41/1999 tentang Kehutanan, hutan adat adalah hutan Negara di wilayah adat.

“jadi kami seperti tamu di tanah leluhur kami sendiri. Orang yang berhak mengelola lahan adalah yang lebih dulu tinggal, dan MOU harus berasal dari masyarakat, karena masyarakat yang tahu kebutuhannya.””

Pemerintah daerah pernah mengajukan berkas mengenai konsep pengelolaan hutan kepada masyarakat. Secara tidak langsung (de facto) pemerintah daerah sudah mengakui masyarakat adat dengan mendirikan puskesmas. Selain itu, pernah juga ada MOU (surat perjanjian) antara Kasepuhan dengan taman nasional, mengenai konsep zonasi yang sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat sejak lama.

(7)

109 Hari/tanggal wawancara : Senin, 4 Juli 2010

Lokasi wawancara : Rumah Pak OMD Nama dan umur informan : Pak OMD 34 Tahun Pekerjaan : Petani

Hasil Wawancara :

Masyarakat adat di Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar adalah masyarakat petani. Kegiatan berladang dan berternak hanyalah kegiatan sampingan. Sistem pertanian yang dilakukan oleh masyarakat sudah ada sejak dulu, diwariskan dari para leluhur. Incu putu harus mengutamakan pertanian sebagai sumber penghasilan utama, karena harus melakukan apa yang sudah diwariskan oleh adat. Kegiatan masyarakat terkait dengan hutan adalah mengambil kayu untuk kayu bakar dan kayu untuk membuat sarana dan prasarana. Kepemilikan lahan di kasepuhan bersifat komunal, bukan individu. Seluruh kawasan kasepuhan adalah milik adat. Segala pengelolaan dan pemanfaatan lahan diatur oleh Abah.

“warga tetap mengambil kayu, karena menganggap itu adalah miliknya sendiri, karena warga yang menanam, tetapi dituduh sebagai pencuri kayu oleh taman nasional, dan ditangkap. Pada tahun 2007, ada warga Cibalandongan ditangkap dan ditahan di kepolisian selama 10 bulan.”

Konflik dengan taman nasional terjadi karena masyarakat dilarang mengambil kayu yang ditanam sendiri ketika pengelolaan hutan masih dipegang oleh Perhutani.

(8)

110 Hari/tanggal wawancara : Selasa, 6 Juli 2010

Lokasi wawancara : Rumah Pak BHR Nama dan umur informan : Pak BHR 62 Tahun

Pekerjaan : Sekretaris Desa Sirna Resmi

Hasil Wawancara :

“tanah kami adalah milik adat. Semuany adalah warisan dari leluhur kami. Semua pengelolaan dan pemanfaatannya juga diatur oleh adat.”

Kasepuhan Sinar Resmi merupakan satu dari sebelas Kasepuhan yang berada di Wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) dan merupakan bagian dari komunitas adat Banten Kidul. Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi juga berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pusat Kasepuhan ini terletak di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan memiliki jarak 23 Km ke Kecamatan Cisolok dan 33 Km ke Kabupaten Sukabumi. Kampung Sinar Resmi berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut dan berada di lereng selatan Gunung Halimun. Adapun batas wilayah Kampung Sinar Resmi adalah sebagai berikut:

Barat : Desa Cicadas Timur : Kampung Cikaret Utara : Sungai Cibareno Selatan : Kampung Cibombong

Menurut Sekretaris Desa Sirna Resmi, Bapak BHR (62 tahun), terbentuknya Kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik yang kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut:

14. tahun 611 – 807 di wilayah Seni

15. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur 16. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga

17. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten 18. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug

(9)

111 19. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten

20. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten 21. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga

22. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten 23. tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten 24. tahun 1937 – 1960 di wilayah Cimapag, Cikaret 25. tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas 26. tahun 1982 – 2002 di wilayah Sirnaresmi, Ciptagelar

(10)

112 Hari/tanggal wawancara : Rabu, 7 Juli 2010

Lokasi wawancara : Imah Gede Kasepuhan Sinar Resmi Nama dan umur informan : Abah ASP 44 Tahun

Pekerjaan : Ketua Adat Kasepuhan Sinar Resmi

Hasil Wawancara :

Adanya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 175 Tahun 2003 dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang perluasan hutan Halimun muncul, telah merugikan masyarakat kasepuhan yang sudah dulu tinggal di sekitar hutan dan melakukan aktivitas di hutan. Sejak adanya kedua aturan tersebut, kawasan hutan Halimun di klaim sabagai kawasan taman nasional. Padahal Kasepuhan telah ada sebelum Negara Republik Indonesia terbentuk.

“Sebelum Negara Indonesia berdiri, adat telah ada. Negara terbentuk dari adat. Asal muasal negara berasal dari adat istiadat. Peraturan adat pun sudah ada sejak dulu, hutan tutupan, hutan titipan, lahan garapan, dan hutan awisan, sama dengan hutan taman nasional, seperti zona inti, zona pemanfaatan, zona rehabilitasi, dan zona lainnya. Hutan tutupan tidak boleh dirusak, hutan titipan hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan, lahan garapan untuk pertanian, dan hutan awisan untuk pemukiman masa mendatang. Jadi, tanah dan hutan ini adalah milik adat.”

Hutan merupakan kehidupan bagi masyarakat. Masyarakat mengetahui mana yang dapat dimanfaatkan dan yang tidak boleh dirusak. Hutan merupakan sumber kehidupan, dan pasti dijaga keberlangsungan hutannya dan digunakan sesuai kebutuhan.

“Sejak perluasan TN, pihak TN sudah tidak manusiawi, membuat papan pengumuman pelarangan masuk kawasan konservasi di depan rumah warga (di kampung Cimapag). Hal ini sangat meresahkan masyarakat Sinar Resmi. Hanya lahan garapan yang diklaim sebagai kawasan TN. Warga adat tidak berani merusak hutan sebelum adanya TN. Pengambilan kayu bakar telah dikurangi sejak TN ada. Padahal kayu bakar digunakan untuk memasak nasi di tungku, dan sudah diatur oleh adat bahwa memasak nasi harus menggunakan tungku.”

Saat ini (Juli 2010), tiga kasepuhan di Kabupaten Sukabumi, yaitu Kasepuhan Cipta Mulya, Sinar Resmi dan Cipta Gelar sedang membuat Peraturan Daerah tentang pengakuan hak ulayat adat, dibantu LSM, masyarakat, DPRD,

(11)

113 pemerintah daerah. Berkas sudah diajukan ke DPRD Kabupaten Sukabumi, namun belum ditindak lanjuti, karena pemetaan wilayah adat belum dibuat.

Sejarah kasepuhan, di mulai dari daerah Cipatat, Bogor, kemudian pindah ke Lebak Larang, ke Lebang Binong, kemudian ke Pasir Talaga. Pindah lagi ke Tegal Lumbu. Lanjut lagi ke Bojong Cisono, ke Cikaret dan terakhir ke Sirna Rasa. Kemudian pindah ke Cipta Rasa. Saat itu dipimpin oleh Abah Anom. Ketika di Cipta Rasa, Kasepuhan pecah menjadi dua, yaitu Kasepuhan Cipta Gelar yang dipimpin oleh Abah Anom dan Kasepuhan Sinar Resmi yang dipimpin oleh Abah Ujat.

Jumlah Kepala Keluarga yang tinggal di Kasepuhan Sinar Resmi, tepatnya yang berada di lingkungan Imah Gede, sebanyak 76 KK. Kepemilikan tanah ada yang individual dan komunal. Namun, yang lebih dominan adalah lahan milik adat atau lahan komunal. Mayoritas masyarakat kasepuhan bekerja sebagai petani padi. Padi yang dihasilkan hanya untuk konsumsi pribadi, tidak boleh diperjualbelikan. Hasil pertanian lain seperti pisang, jagung, kacang, boleh diperjualbelikan. Namun, untuk padi, tabu untuk diperjualbelikan. Kecuali jika dalam satu keluarga ada yang mempunyai leuit lebih dari satu,dan kebutuhan berasnya mencukupi untuk keperluan selama satu tahun, baru boleh diperjualkan. Ada ritual adat khusus dalam prosesnya, namun hanya dikhususkan untuk padi, da dalam keadaan yang mendesak.

Walaupun masyarakat dilarang untuk memperjualbelikan beras dan hasil olahannya, masyarakat masih diperbolehkan untuk menjual padi. Namun ada ritual khusus yang harus dijalankan, dan dengan syarat kebutuhan keluarga sudah terpenuhi sampai panen padi berikutnya. Seperti yang dipaparkan oleh Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun).

“Beras tabu untuk diperjualbelikan, dan ini sudah ada di dalam peraturan adat. Kecuali, ada keluarga yang memiliki lumbung padi lebih dari satu, dan kebutuhan keluarganya telah tercukupi hingga panen berikutnya, maka keluarga tersebut dapat menjual padi, bukan beras. Keluarga tersebut harus melakukan ritual khusus jika ingin menjual padi, dan tidak dapat dilakukan secara terus menerus.”

(12)

114 Terdapat 46 jenis padi yang dimiliki kampung Sinar Resmi. Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) mengharapkan warga dapat menanam ke-46 jenis padi tersebut di tiap petak sawah.

“Dahulu, di ladang dan sawah milik masyarakat ditanami kurang lebih 100 spesies padi. Namun, saat ini, hanya bersisa 46 spesies. Abah menginginkan warga dapat menanam 46 spesies padi tersebut, di setiap petak ladang. Jadi, warga dapat memiliki 46 petak ladangdan 46 lumbung padi. Namun, saat ini, hal tersebut belum dapat terlaksana.”

Setiap kali panen, warga memisahkan dua pocong padi untuk diserahkan pada sesepuh girang sebagai tatali untuk kemudian disimpan di lumbung komunal yang disebut Leuit Si Jimat. Padi ini disimpan sebagai cadangan makanan bila musim paceklik datang, dan bisa dipinjam kepada warga yang kekurangan beras, dan dikembalikan dengan jumlah yang sama. Leuit Si Jimat selain berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan padi warga, lumbung ini juga digunakan dalam upacara adat Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan indung pare (Ibu padi).

Kebudayaan seren tahun, ada proses yang disebut ngaseuk, mipit, nutu nganyaran, serah ponggokan (tilu roang poe, masa istirahat tanah). Setelah ritual Seren taun diadakan selametan selama tiga hari tiga malam, untuk memulai ritual turun nyambut (tanda mulai menanam). Ketika musim taman tiba, barulah masyarakat mulai membuka ladang. Peralatan pertanian yang digunakan dalam pertanian masih menggunakan peralatan tradisional. Seperti ketika membajak sawah masih menggunakan kerbau, garu, cangkul, arit.

“hukuman adat ditetapkan langsung oleh leluhur. Hukuman adat berlaku untuk seluruh warga Kasepuhan. Kemarin, Ambu terkena hukuman adat, karena ada sesuatu yang tidak dikerjakan Ambu karena lupa saat Abah pergi.”

Sebagian sawah masyarakat di klaim sebagai kawasan taman nasional. Total luasan tanah komunal atau kawasan adat adalah 47 hektar dan individu. Tanah komunal tidak boleh diperjualbelikan. Ketika kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi dari huma, maka harus turun ke sawah. Kabendon (kualat) berlaku untuk seluruh masyarakat adat sebagai peringatan jika melakukan kesalahan.

(13)

115 Hari/tanggal wawancara : Minggu, 4 Juli 2010

Lokasi wawancara : Rumah Wa UGS Nama dan umur informan : Wa UGS 64 Tahun

Pekerjaan : Petani

Hasil Wawancara:

Dilihat dari segi religi, seluruh masyarakat adat Kasepuhan mengaku beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib (Animisme). Menurut tokoh adat kampung, Wa UGS (64 tahun) mereka mengikuti tata cara ibadah yang dilakukan oleh Rasul, dengan istilah Slampangan dika Gusti Rasul.

“kami beragama Islam, dan kami juga mempercayai bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul kami, tata cara ibadah kami mengikuti ajaran Nabi, disebut sebagai Slampangan dika Gusti Rasul”

Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Adat menganalogikan padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan, maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang perempuan. Seperti pernyataan yang disebut oleh tokoh adat, Wa UGS (64 tahun).

“Secara filosofi, beras dianalogikan sebagai seorang wanita yang tidak memakai pakaian, maka tidak pantas ketika kami menjual wanita yang tidak berpakaian, sedangkan wanita sangat dihormati dikaitkan dengan isilah Ibu Bumi.”

Bintang Kerti muncul sekitar bulan September hingga Oktober pada pukul 00.00 WIB. Ketika bintang Kerti muncul atau disebut sebagai Tanggal Kerti Turun Besi, menandakan bahwa masyarakat sudah memulai untuk membuat perkakas-perkakas pertanian. Bintang Kidang muncul sekitar tiga hingga empat minggu kemudian yang menandakan sudah saatnya untuk menggunakan perkakas pertanian yang telah dibuat. Sebutannya adalah Turun Kujang. Artinya masyarakat sudah mulai untuk mengolah lahan untuk ditanami padi dengan menggunakan perkakas-perkakas pertanian tradisional, seperti bajak dan cangkul. Aktifitas selanjutnya adalah Macul (nyangkul), Ngalur Garu, Ngoyos,

(14)

116 Patangkeun, Sebar, Tandur, Ngabungkil, Ngoyos Kadua, Babad, Nunggu Dibuat, dan Dibuat. Enam bulan kemudian bintang Kidang tenggelam, yang disebut dengan Turun Kungkang. Artinya, sudah saatnya padi dipanen, karena saatnya hama-hama muncul. Ketika semua padi telah dipanen, muncul lagi tunas baru pada bekas tanaman padi tersebut. Tunas ini merupakan bagian untuk hama-hama tersebut, yang disebut dengan istilah Turiang.

Selain ritual-ritual dalam pengelolaan pertanian dan hutan, masyarakat adat kampung pun memiliki pepatah-pepatah lokal sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupannya. Pepatah-pepatah lokal tersebut adalah sebagai berikut:

3. Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, Nu hiji Eta-eta Keneh

Basis dari hukum adat kampung Cipta Gelar adalah filosofi hidup mereka yang berbasis pada tiga tiang (Tilu Sapamulu), yaitu Tekad, Ucap, dan Lampah, yang diartikan sebagai tekad, perkataan dan perilaku. Masyarakat kampung harus memberikan perhatian besar kepada ketiga prinsip tersebut dan menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan baik tingkat individu maupun komunitas.

Dalam tingkat individu, Tekad, Ucap, dan Lampah digunakan dalam perkataan dan perbuatan: satu kata dan perbuatan harus konsisten dengan niat yang baik. Dalam level komunitas, komunitas (Buhun), harus serasi dengan pemerintah (Nagara) sebagai penguasa komunitas, dan adat kampung (Syara). Pada level lainnya, komunitas dan sistem pemerintahan harus menghormati kehidupan masyarakat. Kasepuhan, urusan pemerintah dan komunitas harus memperhitungkan ruh (kehidupan komunitas), raga (sosial-politik) dan norma adat (Papakean). Jika hal ini diatur tanpa memperhitungkan komunitas (Buhun), akan seperti orang yang berpakaian lengkap namun tidak memiliki ruh seperti mayat. Jika hanya memperhitungkan raga dan komunitas (Buhun), akan menghasilkan komunitas tanpa aturan, seperti manusia yang tidak berpakaian. 4. Ibu bumi, bapak langit, tanah ratu

Bumi (tanah) dianalogikan sebagai ibu yang dapat melahirkan sebuah kehidupan (makanan untuk hidup manusia). Langit dianalogikan sebagai bapak

(15)

117 yang dapat menurunkan hujan, dimana jika hujan turun ke bumi, maka akan menumbuhkan kehidupan baru.

Seorang ibu yang memiliki rambut yang indah akan membuat bapak tertarik dan mencumbui ibu untuk menghasilkan keturunan. Hal ini memiliki makna bahwa sebagai bumi (tanah) yang dianalogikan sebagai ibu harus memiliki banyak pepohonan yang dianalogikan dengan rambut yang indah, agar menarik bapak yang menyimbolkan langit untuk menurunkan hujan agar dapat memberikan penghidupan kepada manusia.

Ritual selanjutnya dalam kegiatan pertanian adalah upacara pesta panen atau upacara Seren Taun. Upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen tahun itu dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai setelah panen dilakukan, dengan melakukan Serah Ponggokan. Para Kolot Lembur (kepala kampung/dusun) berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk biaya Seren Taun. Kemudian masyarakat menyerahkan besarnya biaya yang telah disepakati kepada Abah yang diwakilkan pada Kolot Lembur di setiap kampung/dusun. Abah sebagai pimpinan adat melakukan ziarah ke makam-makam leluhurnya, mulai dari makam-makam Abah sebelumnya hingga makam-makam leluhurnya di Cipatat Bogor. Ziarah ini dilakukan untuk memohon restu kepada para leluhur, agar pelaksanaan Seren Taun dapat berjalan dengan lancar.

(16)

118 Hari/tanggal wawancara : Selasa, 21 Desember 2010

Lokasi wawancara : Rumah Bapak RDI, di Kampung Cimapag Nama dan umur informan : Bapak RDI dan 55 tahun

Pekerjaan : Petani di Kampung Cimapag, Warga Kasepuhan Sinar Resmi

Hasil Wawancara :

“Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga”

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja di kembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak di dalam hutan Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di hutan Halimun.

(17)

119 Hari/tanggal wawancara : Rabu, 22 Desember 2010

Lokasi wawancara : Kantor Resort Gunung Bodas Nama dan umur informan : Bapak KHR 47 Tahun

Pekerjaan : Polisi Kehutanan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Hasil Wawancara :

Masyarakat lokal telah dilarang untuk melakukan sistem tumpang sari setelah pengelolaan Gunung Halimun dialihkan dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Namun, masyarakat tetap menggarap lahan tersebut, sehingga bisa dikatakan sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging. Lahan garapan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi adalah wilayah taman nasional. Lahan-lahan yang telah digarap tidak boleh diperluas lagi, dan masyarakat wajib menanam pohon kayu-kayu keras, seperti rasamala dan mahoni agar kemudian lahan yang dulunya lahan garapan bisa menjadi hutan alami lagi.

“masyarakat adat sudah dilarang untuk menggarap lahan hutan bekas Perhutani secara tumpang sari, tapi masih tetap menggarap lahan tersebut. Masyarakat juga melakukan illegal logging dan merambah hutan. Pelaku-pelaku illegal logging di taman nasional adalah masyarakat adat. Lahan garapan masyarakat adat Sinar Resmi itu masuk ke dalam taman nasional, paling banyak berada di zona rehabilitasi”.

Kami meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan karena gaya hidup masyarakat kasepuhan sudah terbilang modern. Mereka dapat menggunakan alat-alat elektronik, seperi laptop, telepon genggam, dan televisi. Selain itu, pakaian mereka sehari-hari pun sudah menyerupai masyarakat pada umumnya, tidak lagi menggunakan pakaian adat. Jadi, tidak dapat diragukan lagi, karena adat istiadat masyarakat Kasepuhan dianggap telah luntur, mereka dapat merambah hutan, walaupun dulunya menurut adat dilarang, karena kebutuhan ekonomi yang terus mendesak.

(18)

120 Lampiran 4. Sketsa Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Sumber: http//:Ekowisata.org

Lampiran 5. Sketsa Kampung Sinar Resmi

(19)

121 Lampiran 6. Dokumentasi

Ritual Asupkeun Pare ka Leuit Si Jimat Kesenian Gondang

Kesenian Debus Memasukkan Padi ke Leuit

(20)

122

Sawah Masyarakat Papan Pengumuman Pelarangan di Kebun Warga

Gambar

Tabel -10 Kebutuhan Data Metode, Jenis, dan Sumber Data

Referensi

Dokumen terkait

3 Profil rumahtangga petani (Sosio- Ekonomi dan Sosio-Budaya): Termasuk kondisi kemiskinan rumahtangga Kuesioner, indepth interview, observsi lapang, FGD Primer, Sekunder

Data produksi ini mencakup luasan dan volume kayu yang dipanen atau ditebang menurut jenis tebangan yang ada di Perum Perhutani yaitu: (a) Tebang Habis Biasa,

Yang dimaksud dengan konsep ini adalah adanya pengelolaan hutan atau meningkatkan akses antar generasi terhadap sumber daya dan berbagai manfaat ekonomi secara adil