• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Analisis Peran CPOPC dalam mengahadapi Renewable energy Directive (RED II) Selanjutnya dalam bab ini penulis akan meganalisis peran CPOPC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V Analisis Peran CPOPC dalam mengahadapi Renewable energy Directive (RED II) Selanjutnya dalam bab ini penulis akan meganalisis peran CPOPC"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

35 BAB V

Analisis Peran CPOPC dalam mengahadapi Renewable energy Directive (RED II) Selanjutnya dalam bab ini penulis akan meganalisis peran CPOPC sebagai lembaga yang diayomi oleh negara-negara produsen minyak sawit menggunakan teori liberalisme institusional untuk melihat bagaimana CPOPC bekerja dalam menghadapi RED dari Uni Eropa yang dimana sebagai aspek dari terbentuknya CPOPC untuk mempertahankan minyak sawit di pasar global secara khusus untuk saat ini mempertahankan minyak sawit di pasar Uni Eropa. Dimana pada aspek ke 4 mengantisipasi adanya hambatan yang akan terjadi dalam proses perdagangan minyak sawit. Dengan adanya RED tentu menghambat perdagangan minyak sawit secara khusus bagi Indonesia yang dalam tahap pengurangan hingga penghapusan ekspor minyak sawit ke pasar Uni Eropa. Maka akan dilihat bagaimana CPOPC sebagai lembaga yang mengayomi negara produksi minyak sawit untuk mengatasi hambatan perdagangan dari Uni Eropa.

5.1 Strategi CPOPC dalam menghadapi RED II

Adapun strategi CPOPC yang terpenting ialah meningkatkan produktivitas minyak sawit yang ada dengan memperkenalkan varietas baru dan mempromosikan dan mengoordinasikan penelitian dan pengembangannya. Fokus pada petani kecil juga menjadi kunci untuk memenuhi permintaan minyak kelapa sawit di masa yang akan datang dengan budidaya lahan karena ada potensi yang cukup besar untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit di antara petani kecil. Dalam hal meningkatkan aliran pendapatan untuk negara-negara penghasil kelapa sawit (CPOPC Online Reporting, 2019). CPOPC dianjurkan menua pemrosesan minyak sawit yang lebih besar dalam industri hilir hal ini juga dapat mendorong pemerintah dalam meningkatkan produksi dan negara-negara konsumen dapat meningkatkan penggunaan minyak sawit dalam biofuel.

Pengembangan dan adopsi peraturan teknis mengenai minyak sawit sangat penting dalam produksi dan pemasaran minyak sawit. Dalam hal ini terdapat kebutuhan untuk mempromosikan dan menyelaraskan berbagai peraturan teknis yang ada di negara-negara penghasil kelapa sawit dan di tingkat global menciptakan kerangka kerja untuk saling mengakui regulasi dan standar dalam sektor minyak nabati secara umum. Dalam kebijakan perdagangan, CPOPC semakin berperan sebagai koordinator dengan memastikan kesatuan tujuan di antar negara penghasil kelapa sawit dalam mengatasi hambatan perdagangan terutama hambatan non-tarif di Uni Eropa.

(2)

36 5.5.1 Langkah yang dilakukan CPOPC

1. CPOPC dalam menanggapi RED dari Uni Eropa mengadakan penguatan sinergi antar negara penghasil minyak sawit, dimana CPOPC bertindak sebagai fasilitator untuk mendorong kerjasama global dan regional. Untuk pertama kali negara penghasil minyak sawit termasuk anggota non CPOPC bersatu dalam keprihatinan minyak sawit mengenai kebijakan diskriminatif Uni Eropa (RED II) dengan ikut dalam membuat surat bersama ke Uni Eropa yang disponsori oleh negara anggota CPOPC, Indonesia dan Malaysia dan ditandatangani oleh Nigeria, Ekuador, Guatemala, Thailand dan Kolombia sebagai protes terhadap rencana Uni Eropa untuk mengeluarkan minyak sawit sebagai bahan biofuel di pasar UE. Melalui surat tersebut tujuh Duta besar dari negara-negara tersebut mengunjungi kepala komisi, parlemen dan dewan Uni Eropa. Hal ini juga menjadi misi Indonesia, Malaysia dan Kolombia untuk menentang peraturan Uni Eropa dalam directive 2008/2001 terhadap minyak sawit (CPOPC Online Reporting, 2019).

2. Kemudian pada tingkat regional, untuk pertama kalinya ASEAN ikut terlibat dalam mempertahankan minyak sawit, hal ini dapat dilihat saat Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengangkat diskriminasi yang dilakukan Uni Eropa dalam KTT ASEAN-Uni Eropa yang di adakan di Manila pada 14 November 2017. Untuk mempertahankan momentum ini, CPOPC mengumpulkan berbagai negara ASEAN, dan beberapa negara lain seperti China, Jepang dan Korea Selatan dalam pertemuan Luncheon oleh Duta besar di Jakarta untuk mendiskusikan pentingnya minyak kelapa sawit bagi perekonomian kawasan. Pada kesempatan berikutnya, CPOPC berhasil mendorong pertemuan ASEAN untuk meningkatkan keberlanjutan minyak sawit sebagai salah satu pernyataan ketua ASEAN dalam KTT ASEAN ke-32, dengan demikian CPOPC telah berhasil secara aktif menerapkan inisiatif selama proses pembuatan keputusan UE yang akan dirilis pada Maret 2019 (CPOPC Online Reporting, 2019). 3. CPOPC telah membantu mengkoordinasikan tindakan untuk mengatasi sifat diskriminasi

Uni Eropa dalam RED II. Untuk menindak lanjuti keberatan yang diajukan kepala pemerintah Indonesia dan Malaysia terhadap RED II yang di angkat selama KTT ASEAN-Uni Eropa di Manila, CPOPC mengunjungi Uni Eropa dan bertemu dengan Direktorat Jenderal lingkungan dan Direktorat Jenderal perdagangan di Brussels, Belgia dalam rangka mencari klarifikasi. CPOPC kemudian memfasilitasi pertemuan dengan

(3)

37

Duta besar Uni Eropa dan Kementerian Luar Negeri Indonesia yang menjelaskan konteks “diskriminasi” sebagaimana yang telah dinyatakan oleh UE, rapat ini di hadiri oleh pejabat senior dari Kementerian luar negeri, departemen perdagangan, dan Duta besar Malaysia. Sebagai bagian dari kesadaran bahwa hal ini sangat penting maka ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh CPOPC (CPOPC Online Reporting, 2019) yaitu:

1) CPOPC ikut mensponsori seminar nasional di Jakarta mengenai “Perlu untuk merespon

palm oil Export Barrier di pasar global” untuk membahas secara khusus dampak dari RED II, dimana stakeholder minyak kelapa sawit Indonesia termasuk Duta besar UE ikut di undang dalam seminar tersebut.

2) Di lain sisi CPOPC juga ikut dalam Talk Show televisi nasional untuk mendiskusikan masalah tersebut.

3) CPOPC ikut membantu dalam memfasilitasi Asosiasi petani kelapa sawit Indonesia (AKPASINDO) yang bertujuan untuk menyuarakan keprihatinan mereka mengenai dampak dari pembatasan minyak sawit terhadap kesejahteraan petani kecil dan mengirim petisi untuk menolak kebijakan tersebut

4) CPOPC memprakarsai makalah penelitian untuk menilai dampak dari larangan minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa dengan judul penelitian “Haruskan Indonesia berhenti mengekspor minyak sawit ke UE dan dampaknya bagi Inodnesia dan Uni Eropa”, penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan larangan ekspor sebagai salah satu pilihan untuk membalas kebijakan minyak sawit UE

5) CPOPC berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk meninjau kontrak pengadaan dengan Uni Eropa. Sebuah pertemuan koordinasi yang diketuai oleh Wakil Presiden Republik Indonesia dan Menteri terkait memutuskan untuk membekukan seluruh kontrak pembelian Airbus dan menunda penandatanganan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-UE (CEPA)

Selain dari beberapa tindakan di atas yang dilakuakan CPOPC dalam menanggapi RED II dari Uni Eropa, pada pertengahan Januri 2019, CPOPC juga mengirimkan surat kepada Presiden Republik Indonesia dan Perdana Menteri Malaysia sebagai tanggapannya mengenai usulan pentahapan pengurangan minyak sawit di bawah RED II yang di kalsifikasikan sebagai ILUC atau beresiko tinggi. Dalam surat tersebut menyatakan pentingnya perkembangan minyak sawit

(4)

38

bagi negara produsen dan menunjukan langkah awal yang dapat diimplementasikan oleh kedua pemerintah pada tingkat politik ekonomi dan perdagangan dalam menanggapi sikap diskriminatif dari UE. CPOPC kemudian mendapatkan tanggapan dari Indonesia dan Malaysia, dan kemudian memfasilitasi para pemimpin negara anggota untuk menulis surat bersama dalam rangka menolak usulan tersebut. CPOPC kemudian berhasil mengadakan misi bersama ke Uni Eropa pada awal April 2019 diikuti oleh Indonesia, Malaysia dan Kolombia dengan tujuan untuk mengadakan dialog dengan UE sebagai bentuk keprihatinan serius dan melakukan konferensi pers. Meskipun hal tersebut telah di upayakan, Uni Eropa tetap pada posisi tegas untuk mengeluarkan minyak sawit sebagai bahan biofuel di pasar mereka. Menanggapi akan hal ini negara anggota kemudian memberikan rekomendasi kepada CPOPC untuk menyelesaikan masalah ini ke WTO, meskipun proses peradilan harus dilakukan secara terpisah.

CPOPC bertugas untuk membentuk dan memimpin sebuah kelompok kerja untuk mempersiapkan proses legasi yang detail dan terencana. Kesolidaritasan Indonesia, Malaysia, Kolombia dan negara ASEAN lainnya berhasil menunda peningkatan status kemitraan strategis ASEAN-UE hingga saat ini UE menghentikan kebijakan diskriminatif terhadap minyak sawit. Selain dari pada itu pertemuan tingkat menteri ASEAN-UE ke 22 menyambut baik pendirian kelompok kerja gabungan antara UE dan negara anggota ASEAN yang berkaitan dengan minyak kelapa sawit. Dalam perjanjian ini, CPOPC mengusulkan kerangka acuan kerja (TOR) dan SDGs sebagai konseptual dari kelompok kerja mereka. Term Of Reference (TOR) menguraikan bahwa langkah untuk saling menghormati antara ASEAN-UE serta memastikan bahwa hubungan tersebut didasarkan pada kepentingan bersama untuk memperhatikan lingkungan dan harus diatasi berdasarkan standar yang diterima secara global (di anut oleh anggota PBB terrmasuk Uni Eropa yaitu SDGs 2030 (CPOPC Online Reporting, 2019).

Berdasarkan langkah yang di ambil oleh CPOPC, teori liberalisme institusional menurut Robert Jackson dan Georg Sorense merupakan suatu organisasi internasional yang mengatur tindakan negara dalam bidang tertentu dalam hal ini CPOPC sebagai institusi yang di bentuk oleh negara produsen minyak sawit (Indonesia, Malaysia, Kolombia) sebagai lembaga yang di gunakan oleh anggotanya dalam mengatasi hambatan perdagangan minyak sawit. Dalam teori liberalisme institusional, kehadiran institusi-institusi lebih dari ciptaan sebuah negara yang kuat, sehingga adanya CPOPC sebagai institusi di anggap lebih mampu memajukan kerjasama antara negara-negara dan dapat mengatasi serta menghadapi adanya hambatan dalam proses

(5)

39

perdagangan minyak sawit. Di sisi lain terdapat 3 peran liberalisme institusional menurut Koehane, berikut akan di bahas dan di analisis berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan oleh CPOPC dalam menghadapi Renewable Energy Directive II yang telah di cantumkan di atas :

1. Menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi

CPOPC sebagai institusi yang di bentuk oleh negara produsen minyak sawit menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi dalam menghadapi RED dari Uni Eropa. Dapat di lihat respon CPOPC dalam menghadapi Renewable Energy Directive II mengadakan penguatan sinergi antar negara penghasil minyak sawit dengan bertindak sebagai fasilitator untuk mendorong kerjasama global dan regional sehingga membuahkan hasil untuk pertama kalinya negara penghasil minyak sawit termasuk anggota non CPOPC bersatu membuat surat bersama ke Uni Eropa mengenai kebijakan RED II. CPOPC juga berhasil mendorong ASEAN untuk mempertahankan minyak sawit hal ini dapat di lihat dalam KTT ASEAN-Uni Eropa pada 14 Nopember 2017 Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak mengangkat diskriminasi yang dilakukan oleh Uni Eropa. CPOPC juga ikut dalam membantu mengkoordinasikan tindakan untuk mengatasi sifat diskriminasi Uni Eropa dengan mensponsori seminar nasional di Jakarta mengenai “perlu untuk merespon Palm Oil Export Barrier di pasar global”, ikut dalam talk show televisi nasional untuk mendiskusikan mengenai kebijakan Uni Eropa, membantu memfasilitasi Asosiasi petani kelapa sawit Indonesia (AKPASINDO) serta CPOPC memprakarsai makalah penelitian untuk menilai dampak dari larangan minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa.

2. Meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memonitor kekuatan lain dan mengimplementasikan komitmennya sendiri sehingga kemampuannya dalam membuat komitmen yang dapat di percaya menjadi hal utama

CPOPC sebagai institusi dengan salah satu komitmen mengantisipasi hambatan yang akan terjadi dalam proses perdagangan minyak sawit, berhasil mendorong pemerintah Indonesia untuk meninjau kontrak pengadaan dengan Uni Eropa. Hasilnya pertemuan koordinasi yang di ketuai oleh wakil presiden Republik Indonesia dan Menteri terkait untuk membekukan seluruh kontrak pembelian

(6)

40

AirBus dan menunda penandatangan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-EU (CEPA)

3. Memperkuat harapan yang muncul mengenai kesolidan dari kesepakatan internasional

Dengan adanya CPOPC negara anggota akan memiliki hubungan yang baik satu sama lain dan tentunya para anggota akan mengambil satu keputusan yang telah di sepakati bersama. Dalam hal ini CPOPC berhasil mendorong pertemuan ASEAN dalam KTT ASEAN ke 32 untuk membahas diskriminasi minyak sawit yang dilakukan oleh Uni Eropa. Demikian CPOPC telah berhasil secara aktif menerapkan inisiatif selama proses pembuatan keputusan UE yang akan di rilis pada Maret 2019

Berdasarkan teori dapat dilihat CPOPC melakukan tugasnya dalam aspek 4 yaitu mengantisipasi adanya hambatan yang terjadi dalam proses perdagangan minyak sawit. CPOPC melakukan beberapa langkah yang telah tercantum di atas dalam melakukan tugasnya yaitu dalam menghadapi RED II sebagai hambatan dalam ekspor minyak sawit di pasar Uni Eropa. Maka dari itu berdasarkan teori liberalisme institusional CPOPC telah menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi bagi negara anggotanya, meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memonitor kekuatan lain dan mengimplementasikan komitmen sendiri sehingga kemampuannya membuat komitmen yang dapat di percaya menjadi hal utama, memperkuat harapan yang muncul mengenai kesolidan dari kesepakatan internasional dalam menghadapi hambatan ekspor minyak sawit di pasar Eropa. CPOPC sebagai institusi dalam mengayomi negara produsen minyak sawit bekerja melakukan berbagai cara untuk mempertahankan minyak sawit di pasar Uni Eropa, meskipun hingga saat ini UE masih tetap kokoh mempertahankan kebijakannya tersebut, CPOPC tetap bekerja dan berusaha agar Uni Eropa memikirkan kembali mengenai pemberhentian impor minyak sawit dari Indonesia di tahun 2030.

5.5.2 Implementasi SDGs 2030 (Prioritas Program I) dan Peraturan Standar Teknis (Prioritas Program II)

Selain beberapa langkah di atas yang dilakukan oleh CPOPC dalam menghadapi hambatan ekspor minyak sawit ke pasar Uni Eropa, CPOPC juga melakukan beberapa program untuk

(7)

41

mempromosikan dan mempertahankan minyak sawit di pasar global (online reporting CPOPC. 2019). Adapun program yang dilakukan oleh CPOPC, yaitu Sebagai berikut :

1. Mempromosikan pembangunan berkelanjutan minyak sawit berbasis SDGs menggunakan pendekatan multilateral 2030 (Program prioritas I).

1) Mengembangkan rencana SDGs minyak nabati

SDGs merupakan suatu kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan pada pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan kesetaraan dalam mendorong terbentuknya pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. CPOPC telah menyelesaikan studi tentang pengembangan master strategis rencana untuk mencapai tujuan SDGs 2030 di sektor minyak kelapa sawit dengan fokus pada lima negara kelapa sawit terbesar (yang memiliki pangsa pasar 91.89%) yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Kolombia, dan Nigeria. Penelitian ini dimulai pada Desember 2018 dan dilakukan bersama dengan Indonesia dan Malaysia yang dikoordinasikan oleh Universitas Indonesia. Sebagai penilaian awal, studi ini berguna dalam hal memberikan bukti kontribusi minyak sawit terhadap pencapaian SDGs dalam minyak sawit negara penghasil. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan bahwa semua negara produsen telah di tinjau akan mencapai target SDGs mereka kecuali Nigeria. Studi ini di tinjau berdasarkan sumber data dari Bank Dunia, FAO, UNICEF, WHO, WFP, Statistik Nasional Negara, dll. Data tersebut diklasifikasikan oleh CPOPC kedalam 17 tujuan SDGs dan sebagaian di antaranya relevan dan juga tidak relevan serta sebagiannya tidak dapat di identifikasi Karena kurangnya data yang di dapatkan oleh CPOPC . Output dari proyek ini akan memberikan pedoman dan inisiatif untuk dicapai oleh pemerintah penghasil minyak sawit pada tahun 2030. Sekretariat CPOPC mengakui perlunya masing-masing negara angota melakukan studi komprehensif lebih lanjut berdasarkan hasil penelitian ini dengan berfokus pada setiap konteks nasional (CPOPC Online Reporting, 2019).

2. Peraturan dan standar teknis (Program Prioritas II) 2) Lembar Evaluasi

Draft lembar evaluasi mengenai minyak kelapa sawit selesai, ini mencakup tiga hal utama yaitu kesehatan dan keselamatan, kualitas dan jejak lingkungan

(8)

42

komparatif. Lembar evaluasi ini akan di gunakan sebagai dasar untuk menyusun peraturan dan standar teknis untuk mempromosikan minyak sawit di negara-negara penghasil. Penyusunan semua teknik dan standar yang mempengaruhi produksi kelapa sawit di negara penghasil dan negara konsumsi minyak sawit masih sedang berlangsung. Tujuan dari hal ini ialah untuk mengidentifikasikan regulasi dan standar teknis yang mungkin mendiskriminasikan minyak kelapa sawit dalam sektor minyak nabati. Penyusunan peraturan dan standar teknis ini akan mulai diberlakukan satu kali setelah lembar evaluasi di setujui. Saran dari program prioritas II ini ialah pada saat penyusunan peraturan dan standar teknis dalam minyak kelapa sawit maka akan itu dibutuhkan banyak keahlian dan penelitian yang berada diluar kapasitas CPOPC dan sebagai gantinya maka akan lebih fokus pada kebijakan strategis khususnya dalam mengatasi kampanye anti minyak kelapa sawi (CPOPC Online Reporting, 2019).

Hal di atas penting dilakukan oleh CPOPC dalam mengatasi klaim Uni Eropa bahwa CPO Indonesia tidak layak di gunakan sebagai bahan biofuel karena merusak lingkungan atau menyebabkan deforestasi. Kelapa sawit memiliki peran penting dalam mempromosikan keseluruhan keberlanjutan minyak nabati dalam hal melindungi minyak sawit dari pengecualian produktivitasnya dibandingkan dengan yang lain seperti, minyak rapeseed dan minyak kedelai. CPOPC telah memainkan perannya sebagai institusi yang mengatur tindakan negara anggotanya dalam menghadapi adanya kampanye negatif terutama dengan adanya RED II dari Uni Eropa. 5.2 Respon Indonesia dan Malaysia Sebagai Negara Produsen CPO Terbesar di Dunia dalam Menghadapai RED II

Selain dari kerjasama antar negara produsen minyak sawit dalam melakukan upaya diplomasi melalui CPOPC, Indonesia dan Malaysia sebagai negara terbesar produsen minyak sawit di dunia, kedu negara tersebut juga masing-masing menunjukan tindakan negaranya dalam memerangi kebijakan RED II yang di keluarkan oleh Uni Eropa. Untuk itu di bawah ini akan di paparkan langkah yang di ambil oleh Indonesia dan Malaysia dalam menghadapai RED II di luar dari diplomasi melalui CPOPC.

Dikeluarkannya Renewable Energy Directive II yang mengatur mengenai pengurangan CPO di pasar Eropa sebagai bahan biofuel yang akan di mulai pada tahun 2024 hingga 0% di tahun 2030, tentu menjadi hambatan perdagangan minyak sawit Indonesia sebagai negara

(9)

43

produsen CPO terbesar di dunia terutama Uni Eropa merupakan negara kedua terbesar tujuan ekspor CPO Indonesia. Untuk penggunaan CPO di Uni Eropa sebagai bahan biofuel yang digunakan untuk transportasi sebanyak 64%, dan sisanya di gunakan untuk industri makanan (CNBC Indonesia, 2019). Selain dari pengurangan hingga penghapusan CPO sebagai bahan biofuel, dalam RED II komisi Eropa juga ikut menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan terjadinya deforestasi besar-besaran. Hal ini mereka ungkapkan atas dasar hasil penelitian yang mereka lakukan yang menyatakan 45% dari ekspansi produksi CPO sejak tahun 2008 telah mengakibatkan kerusakan hutan, lahan gambut (peatlands) dan lahan basah (wetlands) dan menghasilkan emisi gas rumah kaca secara terus-menerus. Dalam penelitian tersebut, Uni Eropa juga menyebutkan bahwa hanya 8% dari ekspansi produksi minyak kedelai (soybean oil) dan 1 % dari minyak rapeseed dan bunga matahari (sunflower) yang ikut menyebabkan kerusakan (CNBC Indonesia, 2019).

Dikategorikannya minyak sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap kerusakan hutan (deforestasi) /indirect land-use change (ILUC) dan pelarangan minyak sawit sebagai bahan biofuel di Uni Eropa, pemerintah Indonesia menganggap keputusan Uni Eropa tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan akan mengancam industri minyak sawit Indonesia. Seperti pidato Presiden Indonesia Joko Widodo di Rakernas PDIP 10 Januari 2020 Jakarta, dimana dalam pidato tersebut mengatakan : “Uni Eropa munculkan isu tak ramah lingkungan, kenapa munculkan isu terus, karena lebih murah dibandingan dengan minyak bunga matahari”. Dalam pidatonya Joko Widodo mengkritik Uni Eropa yang terus menerus memunculkan isu bahwa minyak sawit tak ramah lingkungan, oleh karena itu Joko Widodo meminta untuk CPO tidak hanya terus menerus di ekspor tapi dijadikan komoditas seperti B20 dan B30, dengan adanya B20 yang berasal dari minyak sawit maka akan menghemat Rp110 trilliun per tahunnya (CNN Indonesia, 2020). Sehingga Indonesia telah mempersiapkan langkahnya dalam mengantisipasi terjadinya hambatan ekspor di pasar Uni Eropa. Indonesia menyiapkan beberapa langkah, yang pertama pemerintah Indonesia akan siap menggugat Uni Eropa mengenai kebijakan energi terbarukan (RED II) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Alasan dari rencana gugatan ini ialah karena aturan yang di keluarkan oleh Uni Eropa di anggap akan sangat berdampak langsung pada industri kelapa sawit Indonesia (Siaran pers, Kemendag 2019). Adapaun persiapan yang di lakukan oleh Indonesia dalam mengajukan gugatannya ke WTO ialah melakukan riset mendalam mengenai ILUC, menganalisis secara mendalam mengenai

(10)

44

kesesuaian peraturan RED II dengan ketentuan WTO, menyusun penilaian mengenai dampak ekonomi apabila akan terjadi phase-out biofuel sawit di pasar UE pada tahun 2021, memetakan mengenai pemain kunci yang pro dan kontra terhadap minyak sawit, serta menyusun dan melakukan kampanye positif mengenai minyak sawit (Siaran pers, Kemendag 2019).

Langkah yang kedua, Indonesia menyiapkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelapa Sawit Berkelanjutan (KSB). Indonesia melakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan untuk membentuk FoKSBI (Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia) dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia melalui peningkatan kerjasama antar pemangku kepentingan (multi-stakeholder) ; pemerintah, pelaku usaha (pengusaha dan pekebun), asosiasi, dan organisasi sosial kemasyaraktan. Pembentukan FoKSBI juga memiliki fungsi dalam merumuskan RAN dan KSB dan meninjau implementasinya. Dalam penyusunan RAN KSB ini memiliki beberapa komponen utama, yaitu penguatan data, koordinasi, dan infrastruktur ; peningkatan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan ingkungan, tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, serta pelaksanaan sertifikasi ISPO dan akses pasar (Siaran pers, Kemendag 2019). Selain langkah di atas Indonesia juga mengancam akan memboikot produk Uni Eropa dengan menaikkan bea masuk atau memberikan kebijakan non tarif terhadap sejumlah produk UE, seperti otomotif, wine, minyak, keju dan lain-lain (BBC Indonesia, 2019).

Malaysia sebagai negara kedua terbesar produsen minyak sawit setelah Indonesia, selain dari langkah diplomasi melalui CPOPC, Malaysia juga ikut mengancam akan membawa Uni Eropa ke WTO mengenai kebijakan RED II yang di keluarkan pada Maret 2019. Pemerintah Malaysia tidak menerima adanya keputusan Uni Eropa yang mengatakan minyak sawit berisiko tinggi terhadap kerusakan hutan (deforestasi) indirect land-use change (ILUC), pasalnya menurut pemerintah Malaysia tidak ada penjelasan atau data yang meyakinkan yang di berikan untuk membenarkan diskriminasi terhadap minyak sawit Malaysia (Anadule Agency, 2019). Dengan danya kebijakan Uni Eropa tersebut maka akan menjadi hambatan perdagangan bagi Malaysia yang di tujukan pada kepentingan nasional dan 650.000 petani kecil. Kementerian luar negeri juga mengatakan bahwa secara konsisten mereka telah memberikan bukti keberlanjutan minyak sawit dan penerapan MSPO. Bagi Indonesia dan Malaysia, di keluarkannya RED II oleh Uni Eropa menjadi ancaman serius bagi perekonomian ke dua negara tersebut. Melihat produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 46,4 juta ton dan Malaysia sebanyak 19,5 juta

(11)

45

ton (Anadule Agency, 2019). Dapat dilihat kedua negara ini berkontribusi terhadap minyak sawit sebanyak 85% dari pasokan minyak sawit dunia. Dengan demikian, kebijakan RED II yang di keluarkan oleh Uni Eropa memiliki pengaruh terhadap pasokan minyak sawit Indonesia dan Malaysia.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui potensi kayu Ketapang untuk dijadikan bio-oil sebagai bahan bakar alternatif serta mengetahui pengaruh

Penelitian ini bertujuan untuk membuat margarin dengan menggunakan minyak sawit (refined bleached deodorized palm oil, RBDPO) dan minyak sawit merah (red palm oil,

Pada pembuatan senyawa pengontras MRI Gd-DTPA maupun Sm-EDTMP diperlukan bahan baku Gadolinium dan Samarium, yang merupakan unsur tanah jarang dari kelompok unsur

Setiap mahasiswa diminta untuk membuat sebuah paper dengan panjang maksimal 500 kata yang berisi rangkuman dan refleksi kritis atas tulisan Abraham van de Beek. yang berjudul

Supama, Yohanes, Kewenangan Kraton Yogyakarta dalam Pengaturan Penggunaan Tanah Kraton di Era Otonomi Daerah, Universitas Gadjah Mada ,Yogyakarta.. Tanah Sultan Grond) 12

meningkatkan keaktifan peserta didik pada pokok bahasan “Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW”. Di dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terjadi interaksi antara peserta

Palvelutarpeen arviointia on tehty Lapin maakunnan ja kuntien väestötasolla. Palvelutar- peen arvioinnissa on myös kartoitettu nykyisen palvelujärjestelmän tilanne, minkä yhteydes-