• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNYATAAN TERTULIS ICTJ: KEABSAHAN DARI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI (ICTJ WRITTEN SUBMISSION: LEGALITY OF TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERNYATAAN TERTULIS ICTJ: KEABSAHAN DARI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI (ICTJ WRITTEN SUBMISSION: LEGALITY OF TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PERNYATAAN TERTULIS ICTJ:

KEABSAHAN DARI KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI

(ICTJ WRITTEN SUBMISSION:

LEGALITY OF TRUTH AND RECONCILIATION COMMISSION)

Pusat Internasional Keadilan Transisional (International Center for Transitional

Justice atau “ICTJ”) dengan ini menyatakan bahwa perundang-undangan yang menjadi

dasar bagi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia (“Undang-Undang [No. 27/2004] KKR”) adalah bertentangan (contravenes) dengan hukum internasional. Secara khusus, ICJT menyoal keabsahan dari ketentuan-ketentuan di dalam UU KKR yang memperkenankan pemberian amnesti serta persyaratan-persyaratan lainnya di dalam Undang-Undang ini yang menempatkan hak korban untuk memperoleh reparasi (victim’s

right to reparation) di bawah syarat pemberian amnesti [bagi pelaku]. UU KKR juga

bertentangan dengan sejumlah konvensi internasional lainnya, termasuk Kovenan Internasional bagi Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and

Political Rights [“ICCPR”]) serta Konvensi Anti Penyiksaan (Convention against Torture [“CAT”]). Di samping itu UU KKR juga bertentangan dengan sumber-sumber

tidak tertulis (non-treaty sources) hukum internasional lainnya seperti “Reports and

Statements of Principle” (prinsip-prinsip hukum internasional yang termuat dalam

berbagai Laporan dan Deklarasi). Lebih lanjut, patut juga dicatat bahwa sejumlah pengadilan domestik di negara-negara lain telah menjatuhkan putusan-putusan yang menyimpangi (dan menyatakan tidak absah) undang-undang amnesti yang dibuat negara.

Di dalam berbagai kasus sebelumnya Mahkamah Konstitusi Indonesia telah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang dalam membuat pertimbangan untuk merujuk

(2)

dan melandaskan diri pada hukum internasional, termasuk pada perjanjian-perjanjian internasional yang belum diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, termasuk juga pada deklarasi-deklarasi yang tidak mengikat. Di dalam kasus mengenai Pemilu yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, Mahkamah ini merujuk sekaligus kepada Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia serta Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) (yang sesungguhnya belum diratifikasi, namun kemudian Indonesia kemudian melakukan aksesi [acceded] terhadapnya) sebagai sumber-sumber rujukan hukum cukup penting (persuasive sources).1 Mahkamah Konstitusi secara spesifik merujuk pada larangan yang terkandung di dalam Deklarasi Universal HAM atas berbagai bentuk diskriminasi, dalam rangka mendukung pertimbangannya perihal penafsiran atas ketentuan Pasal 28D(1) dan 28I(2) Undang-Undang Dasar Indonesia. Mahkamah Konstitusi juga mengajukan pertimbangan-pertimbangan lain berdasarkan ICCPR dan mengutip sejumlah ketentuan dari ICCPR ini, berkenaan dengan kesetaraan di hadapan hukum dan larangan atas diskriminasi. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa Mahkamah Konstitusi Indoneisa dalam sejumlah kasus yang diperiksanya telah merujuk kepada aspek-aspek hukum internasional, yang pada prinsipnya belum diinkorporasikan ke dalam hukum nasional, dan menggunakannya sebagai sumber hukum dalam rangka mencapai keputusan tentang keabsahan aspek-aspek hukum nasional (domestic law).

Sebagai tambahan, Dewan Perwakilan Rakyat [Indonesia] telah mengesahkan bahwa perundang-undangan yang secara tegas menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dari perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi harus dianggap sebagai hukum yang mengikat di tataran nasional (binding in domestic law). Undang-Undang

1 Keputusan Mahkamah Konstitusional, Kasus No. 011-017/PUU-I/2003, 24 Februari 2004. Keputusan

(3)

Nomor 39/1999 mengenai Hak-hak Asasi Manusia merupakan sebuah Undang-Undang yang mengadopsi statutory bill of rights yang komprehensif. Undang-Undang ini melengkapi perlindungan dan penghormatan atas hak asasi yang termaktub di dalam Undang-Undang Dasar.

Di dalam pasal 7 tertulis:

(1) Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.

(2) Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.

Pasal 7 ini saling melengkapi dengan pasal 71—masih di dalam UU yang sama—yang menyatakan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Maka secara bersama-sama, pasal 7 dan 71 dari Undang-Undang Nomor 39/1999, mewajibkan pemerintah untuk melindungi, mempertahankan dan mempromosikan hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalam Undang-Undang ini maupun di dalam hukum internasional. Perlindungan serta promosi tersebut mencakup tindakan-tindakan positif (positive measures) berupa penyelidikan, penuntutan serta penyediaan reparasi atas pelanggaran terhadap hak-hak yang dilindungi oleh Undang-Undang tersebut. Lebih jauh lagi, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 39/1999 ini secara tegas menyatakan bahwa perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia harus dianggap sebagai hukum positif yang mengikat dalam tataran nasional/domestik (treaties ratified by Indonesia are binding in domestic law).

Penting pula diingat bahwa Indonesia bukan sekadar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa—selaku Negara Pihak serta bekerjasama dengan PBB di dalam promosi

(4)

atas HAM tersebut,2—namun Indonesia juga adalah anggota Dewan HAM PBB. Oleh karena itu, Indonesia memiliki kewajiban tambahan untuk memenuhi “standar tertinggi” perlindungan hak-hak asasi manusia.3 Adalah berlandaskan pertimbangan ini di dalam benak kita, maka kami melanjutkan uraian mengenai status Undang-Undang KKR di hadapan hukum internasional.

2 Piagam PBB tanggal 26 Juni 1945 berlaku secara resmi pada tanggal 24 Oktober 1945. Pasal 55 (c)

menyatakan bahwa PBB “akan mempromosikan penghargaan universal bagi—dan mengawasi HAM serta hak-hak fundamental lainya tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa atau pun agama”. Sementara pasal 56 Piagam PBB “Segenap Negara pihak berjanji untuk untuk mengemban tindakan secara bersama-sama maupun mandiri” dengan PBB untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada Pasal 55.

3 Para anggota Dewan HAM PBB “seharusnya menjunjung tinggi standar tertinggi dalam promosi dan

perlindungan atas HAM…dan [hal ini] akan ditinjau…selama masa keanggotaannya” “menjunjung standar tertinggi dalam mempromosikan dan melindungi HAM…dan untuk ditinjau…selama rentang masa keanggotaan mereka…”. Resolusi Majelis Umum Res. 60/251, 15 Maret 2006, UN Doc. A/RES/60/251, 3 April 2006, alinea 9.

(5)

I UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI BERTENTANGAN DENGAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

A Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (“ICCPR”)4

ICTJ menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan UU KKR yang membuka kemungkinan pemberian amnesti dan yang mengharuskan pemberian reparasi di bawah syarat pemberian amnesti [bagi pelaku] adalah bertentangan dengan Pasal 2(3), 6(1), 7, 9(5) dan 14(6) ICCPR. Pada tanggal 23 Februari 2006 Indonesia telah mengaksesi (acceded) ICCPR. Dalam pernyataan ini kami memfokuskan diri pada pertentangan atau pelanggaran-pelanggaran pasal 2(3), 6(1) dan 7 ICCPR yang merupakan pasal-pasal yang paling relevan dalam permasalahan ini. Betapapun, perlu dicatat bahwa terdapat pula argumen-argumen kuat untuk mendukung dalil (proposition) bahwa UU KKR bertentangan dengan Pasal 9(5) dan 14(6) ICCPR. Misalnya saja, menyadari bahwa di dalam Komentar Umum (General Comment) Nomor 21, Komite HAM PBB (HRC) menyatakan bahwa “orang-orang yang ditangkap dan ditahan [seharusnya] memiliki akses…untuk mendapatkan kompensasi yang pantas, jika ternyata mengalami pelanggaran [atas hak-haknya],”5 adalah logis jika kita menyimpulkan bahwa Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan Pasal 9(5) ICCPR yang memberikan hak atas kompensasi bagi para korban penangkapan atau pun penahanan sewenang-wenang. Serupa pula halnya dengan Pasal 14(6) ICCPR yang menetapkan bahwa siapa pun memiliki hak atas kompensasi ketika vonis pidananya dibatalkan dikarenakan telah terjadi kekeliruan

4 16 Desember 1966, 999 U.N.T.S. 171.

5 Komentar Umum ICCPR No. 21 (Sesi 44, 1992): Pasal 10: menggantikan Komentar Umum 9 berkenaan

dengan Perlakuan Manusiawi atas Orang-orang yang Dicabut Kebebasannya (Humane Treatment of Persons Deprived of Liberty), A/47/40 (1992) 195 pada alinea 7.

(6)

hukum (where there has been a miscarriage of justice). Sekali lagi, adalah logis jika disimpulkan bahwa Pasal 27 UU KKR bertentangan dengan Pasal 14(6).

1. Pasal 2(3) ICCPR

Pasal 2(3) ICCPR menyatakan bahwa:

Setiap Negara Pihak dari Kovenan ini berkewajiban:

(a) menjamin bahwa setiap orang yang hak atau kebebasannya sebagaimana diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang

efektif (effective remedy), walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh

seseorang yang bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat negara;

(b) menjamin agar setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan haknya oleh lembaga peradilan, administratif atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga yang berwenang lainnya, yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan yang bersifat hukum;

(c) menjamin bahwa lembaga yang berwenang akan melaksanakan upaya pemulihan tersebut apabila dikabulkan.

Jelaslah bahwa Pasal 27 UU KKR melanggar Pasal 2(3) ICCPR. Pasal 27 UU KKR sendiri menyatakan: “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”. Penjelasan resmi dari UU KKR ini sendiri menyatakan bahwa: “Apabila permohonan amnesti ditolak maka kompensasi dan/atau rehabilitasi tidak diberikan oleh Negara, serta perkaranya ditindaklanjuti untuk diselesaikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia”. Patut dicatat pula bahwa dalam hal ini tidak ada jaminan bahwa Pengadilan HAM akan memproses kasus yang permohonan amnestinya telah ditolak. Oleh karena itu, tidak terdapat jaminan pula bahwa seorang korban pelanggaran HAM akan memperoleh kompensasi yang merupakan haknya.

Dengan menempatkan pemberian kompesasi secara bersyarat (tergantung) pada pemberian amnesti, maka Pasal 27 menyalahi hak atas pemulihan efektif (effective

(7)

remedy), yang telah ditetapkan oleh Komite HAM PBB (“Human Rights Committee”

selanjutnya disebut sebagai “HRC” saja) sebagai hak yang harus diberikan tanpa syarat (unconditional right).

(a) Komentar-Komentar Umum

Di dalam Komentar Umum (General Comment) No. 31 HRC menegaskan arti penting hak atas pemulihan efektif serta mendefinisikan bahwa hak ini mencakup hak untuk memperoleh kompensasi yang patut. HRC menetapkan bahwa Pasal 2(3) mensyaratkan bahwa Negara-Negara Pihak memberikan reparasi pada orang-orang yang hak sipil dan politiknya telah dilanggar. Tanpa pemberian reparasi bagi orang-orang tersebut, maka kewajiban untuk menyediakan pemulihan efektif tidak dapat diwujudkan... Komite HAM memandang bahwa pada umumnya [ketentuan-ketentuan] Kovenan berimplikasi pada pemberian kompensasi yang patut”.6 Adalah jelas bahwa individu-individu yang akan memberikan keterangan di hadapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah mereka yang hak-hak sipil dan politiknya telah dilanggar. Sebagai konsekuensinya orang-orang ini juga memiliki hak atas reparasi, terlepas apakah amnesti akan diberikan [kepada pelaku] atau tidak.

(b) Catatan Penutup

Di dalam Catatan Penutup atas El Salvador, HRC menyatakan peraturan mengenai Amnesti: “telah menyalahi hak atas pemberian pemulihan efektif sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 2 Kovenan. Karena pengaturan ini mencegah investigasi serta penghukuman atas semua yang bertanggungjawab atas ke HAM serta memberikan

6 Komentar Umum ICCPR No. 31 [80] mengenai Hakikat Kewajiban Hukum Umum yang ditetapkan atas

(8)

kompensasi bagi para korban mereka”.7 Tidak jauh berbeda, di dalam Catatan Penutupnya atas Peru, HRC menemukan bahwa “…pemberian amnesti mencegah penyelidikan serta hukuman yang patut atas para pelaku pelanggaran HAM masa lalu… dan oleh karenanya melanggar pula pasal 2 Kovenan. …Pemerintah didesak untuk menegakkan suatu sistem kompensasi yang efektif bagi para korban pelanggaran HAM”.8 Di tahun 2000, HRC menyertakan rekomendasi berikut ini di dalam Catatan Penutup atas Argentina: “Pelanggaran hak-hak sipil dan politik selama kekuasaan militer seharusnya tetap dapat dituntut (should be prosecutable) selama mungkin, dengan keberlakuan (applicability) sejauh mungkin sampai pada waktu yang diperlukan untuk menghadapkan para pelakunya ke hadapan hukum. Komite merekomendasikan agar upaya-upaya tegas tetap dilanjutkan atas persoalan ini”.9

(c) Yurisprudensi

HRC telah menyampaikan berbagai keputusan untuk menegaskan Pasal 2(3) ICCPR bahwa para korban pelanggaran ICCPR mendapatkan kompensasi yang patut.

Dalam kasus Cagas vs. Filipina HRC menemukan bahwa pemerintah Filipina telah melanggar Pasal 9 dan 14 of ICCPR, berdasarkan kenyataan bahwa para penulis telah ditahan lebih dari empat tahun tanpa pengadilan. HRC memutuskan bahwa sesuai dengan Pasal 2(3)(a) maka “Negara pihak berada di bawah kewajiban untuk memberikan

7 HRC, Concluding Observations (Catatan Penutup) on El Salvador, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2003) 61,

alinea 84(6).

8 HRC, Concluding Observations on Peru, UN. Doc. A/51/40 Vol. I (1996) 48, alinea 347, 358. 9 HRC, Concluding Observations on Argentina, UN. Doc. CCPR/CO/70/ARG (2000), alinea 9.

(9)

para penulis dengan reparasi yang efekfif, yang akan mencakup kompensasi efektif atas waktu yang telah mereka habiskan secara tidak sah di dalam tahanan”.10

Di dalam kasus Brok vs. Republik Ceko, Robert Brok, seorang Yahudi yang hak milik keluarganya telah disita selama Perang Dunia II, mengajukan permasalahan ini ke hadapan HRC. Brok mengklaim bahwa Negara telah melanggar haknya untuk memperoleh kesetaraan hukum dan mendapatkan perlindungan yang sama di hadapan hukum karena Negara menolak mengembalikan hak miliknya yang pernah disita. Dalam kenyataannya HRC memang menemukan bahwa telah terjadi pelanggaran ICCPR dan bahwa hak atas pemulihan yang efektif dalam hal ini meliputi “restitusi atas hak milik atau kompensasi dan kompensasi yang patut atas periode selama Brok dan jandanya mengalami penyitaan hak milik”.11

Di dalam kasus Ashby vs. Trinidad and Tobago, Negara berketetapan untuk mengeksekusi Ashby sungguh pun HRC (Komite HAM) telah mengajukan permohonan penundaan eksekusi sampai HRC sendiri rampung dalam membuat putusan final atas kasus ini. HRC menyampaikan pandangannya bahwa pengabaian atas permohonan HRC seperti itu sama saja artinya dengan menentang ICCPR. Oleh karena itu HRC berketetapan bahwa menurut Pasal 2(3) “Pertama-tama dan yang terutama Mr. Ashby seharusnya mendapatkan pemulihan efektif termasuk kesinambungan kehidupannya. Kompensasi yang patut juga harus diberikan kepada keluarganya yang masih hidup”.12

10 Cagas vs. Filipina, CCPR/C/73/D/788/1997. alinea 9. 11 Brok vs. Republik Ceko, CCPR/C/73/D/774/1997, alinea 9.

(10)

Di dalam kasus Lantsova vs. Federasi Rusia HRC mendapati bahwa Negara telah melanggar Pasal 6(1) ICCPR berkenaan dengan fakta mengenai bahwa kondisi yang amat buruk dari penjara Rusia telah mengakibatkan tewasnya sang narapidana. Oleh karena itu HRC memutuskan bahwa istri almarhum berhak atas kompensasi yang patut.13 Agak mirip pula, di dalam kasus Francis dkk. vs. Trinidad and Tobago HRC mendapati bahwa kondisi penjara yang amat tercela telah sekaligus melanggar hak-hak Francis dkk. (the

authors), hak untuk “diperlakukan secara manusiawi dan dengan penghargaan atas

martabat yang melekat pada individu manusia”. Oleh Karena itu HRC mendapati bahwa Francis dkk. berhak atas pemulihan efektif (effective remedy), termasuk kompensasi yang sewajarnya.14

Di dalam kasus Bondarenko vs. Belarus, pihak pengaju kasus mengklaim bahwa Negara telah melanggar ICCPR karena tidak menjalankan kewajibannya untuk memberitahukan sang orangtua (Bondarenko) atas putusan eksekusi mati terhadap putranya. HRC mendapati bahwa:

kerahasiaan penuh yang melingkupi hari/tanggal eksekusi, maupun lokasi penguburan serta penolakan untuk menyerahterimakan jenazah untuk penguburan, memiliki efek pengintimidasian atau penghukuman pihak keluarga dengan membiarkan mereka secara sengaja berada di dalam kondisi tanpa kepastian dan tekanan mental. Komite (HRC) menganggap bahwa pelanggaran awal pihak otoritas dengan tidak memberitahukan pihak terkait perihal jadwal eksekusi mati putranya, serta tindakan lanjutan dengan tidak memberitahukan lokasi kuburan putranya tersebut, terakumulasi menjadi praktik tidak manusiawi terhadap pihak penggugat, yang merupakan pelanggaran atas Pasal 7 Kovenan…Sesuai dengan Pasal 2, alinea 3 (a) Kovenan, pihak Negara Pihak berada di bawah kewajiban untuk memberikan pemulihan efektif (effective remedy) bagi pihak pengadu, termasuk keharusan untuk memberitahukan lokasi kuburan putranya serta

13 Lantsova vs. Federasi Rusia, CCPR/C/74/763/1997, alinea 11.

(11)

kompensasi atas penderitaan yang telah dialaminya. Negara Pihak juga berada di bawah kewajiban untuk mencegah pelanggaran serupa di masa mendatang.15

Keputusan-keputusan HRC di muka hanyalah sedikit contoh dari sekian banyak keputusan yang telah ditetapkan HRC untuk memastikan bahwa hak atas kompensasi adalah inheren (melekat) di dalam hak atas pemulihan efektif yang dijamin di dalam Pasal 2(3) ICCPR. Adalah jelas bahwa dengan menempatkan hak atas kompensasi sebagai sesuatu yang bersyarat dengan keharusan memberikan amnesti dan bukannya diberikan otomatis ketika pelanggaran tersebut terjadi, Indonesia melakukan pelanggaran atas kewajibannya sendiri di bawah Pasal 2(3) ICCPR.

2. Pasal 6(1) ICCPR

Pasal 6(1) ICCPR menyatakan bahwa: “Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Telah dinyatakan secara resmi sebelumnya bahwa baik Pasal 1(9) maupun Pasal 27 Undang-Undang KKR bertentangan dengan Pasal 6(1) ICCPR.

(a) Pasal 1(9) Undang-Undang KKR

Pasal 1(9) Undang-Undang KKR menyatakan bahwa “amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [sic]”. Telah dinyatakan sebelumnya bahwa Pasal 1(9) Undang-Undang KKR bertentangan dengan 6(1) ICCPR, berdasarkan ketentuan Pasal 6(1) ICCPR yang mewajibkan para pelaku pelanggaran HAM untuk dihadapkan ke pengadilan.

(12)

(i) Komentar Umum

Di dalam Komentar Umum 6 mengenai implementasi dari Pasal 6 ICCPR, HRC menyatakan bahwa “Negara pihak seharusnya mengambil langkah-langkah tidak hanya untuk mencegah dan menghukum pencabutan nyawa melalui tindakan-tindakan kriminal, namun juga mencegah pembunuhan oleh aparat keamanannya sendiri”.16 Pemberian amnesti sesuai dengan Pasal 1(9) Undang-Undang KKR mencegah penghukuman terhadap mereka yang telah terlibat di dalam pencabutan nyawa melalui tindakan-tindakan kriminal dan oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 6(1) ICCPR.

(ii) Catatan Penutup

Di dalam Catatan Penutup tahun 1993 atas Senegal HRC menyatakan bahwa “[k]eprihatinana khusus disampaikan atas kekuatiran bahwa Undang-Undang Amnesti akan dapat dipakai untuk memberikan impunitas bagi para pejabat Negara yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, yang seharusnya telah dihadapkan ke pengadilan”.17

Di dalam Catatan Penutup tahun 1993 atas Nigeria, HRC telah bersikukuh bahwa para agen Negara yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran HAM haruslah dihukum dan seharusnya “dengan alasan apa pun tidak boleh menikmati kekebalan lewat Undang-Undang Amnesti”.18 Serupa dengan hal ini, pada Catatan Penutup tahun 2002 atas Togo, HRC mencatat dengan penuh ketidaksetujuan bahwa “penerimaan atas perundangan seperti Undang-Undang Amnesti (Amnesty Act) hanya akan menegakkan

16 ICCPR Komentar Umum 6 (Sesi Ke-16, 1982): Pasal 6: Hak atas Kehidupan [The Right to Life], A/37/40

(1982) 93, alinea 3.

17 HRC, Concluding Observations on Senegal, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 23, alinea 103. 18 HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 425.

(13)

budaya impunitas di Togo”.19 Nyatanya, terdapat begitu banyak contoh kasus ketika HRC—di dalam Catatan Penutupnya—telah menyampaikan pandangan bahwa pemberian amnesti dapat dilihat sebagai pelanggaran atas hak atas kehidupan yang dijamin di dalam Pasal 6(1) ICCPR.

(iii) Yurisprudensi

Yurisprudensi HRC adalah jelas di dalam pandangannya bahwa mereka yang melanggar Pasal 6(1) ICCPR haruslah dihadapkan ke pengadilan. Kesimpulan logis dari pandangan ini adalah karena amnesti melanggar 6(1) ICCPR. Sebagai contoh, misalnya pada kasus Barbato vs. Uruguay,20 HRC berpandangan bahwa Uruguay berada di bawah kewajiban untuk mengambil langkah-langkah efektif untuk menyeret siapa pun yang didapati bertanggungjawab atas kematian Hugo Dermit. HRC mencapai kesimpulan sama pada kasus Barboeram dkk. vs. Suriname21 dan kasus Miango vs. Zaire.22 Di dalam kasus José Vicente dkk. vs. Columbia HRC menyatakan bahwa “Negera Pihak memiliki

kewajiban untuk menyelidiki secara menyeluruh tuduhan pelanggaran-pelanggaran HAM, khususnya atas penghilangan paksa serta pelanggaran-pelanggaran terhadap hak atas kehidupan; dan agar melancarkan tuntutan pidana, mengadili serta menghukum mereka yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran tersebut.”23

19 HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2002) 36, alinea 77(9). 20 Barbato vs. Uruguay, CCPR/C/17/D/84/1981.

21 Baboeram dkk. vs. Suriname, CCPR/C/24/D/148/1983. 22 Miango vs. Zaire, CCPR/C/31/D/194/1985.

(14)

(b) Pasal 27 Undang-Undang KKR

Sebagimana dinyatakan di atas, Pasal 27 Undang-Undang KKR menyebutkan bahwa: “Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.

Telah diyatakan bahwa Pasal 27 Undang-Undang KKR bertentangan dengan Pasal 6(1) ICCPR karena berbasiskan pada interprestasi Pasal 6(1) ICCPR yang mengharuskan para korban pelanggaran HAM mendapatkan kompensasi (yang tidak boleh diberikan secara bersyarat demi pemberian amnesti).

(i) Catatan Penutup

Di dalam sekian banyak Catatan Penutupnya HRC telah mendapati bahwa keharusan korban maupun keluarga mereka untuk memperoleh kompensasi atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang diderita mereka berada di dalam cakupan Pasal 6(1) ICCPR. Di dalam Catatan Penutup tahun 2002 atas Mesir, HRC menyimpulkan bahwa “Negara seharusnya memastikan bahwa semua pelanggaran atas Pasal 6 dan 7 Kovenan diselidiki, serta—bergantung pada hasil investigasi tersebut—harus mengambil tindakan terhadap pihak yang bertanggungjawab dan memberikan reparasi kepada para

korbannya. 24 HRC telah menegaskan bahwa para korban penyiksaan harus menerima

kompensasi.25 HRC juga telah memutuskan bahwa para keluarga korban pembunuhan ekstra-yudisial harus menerima kompensasi.26 Lebih jauh lagi, HRC telah menyatakan

24 HRC, Concluding Observations on Egypt, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2002) 31, alinea 77(13).

25 Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 425;

HRC, Concluding Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea 203; HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.

26 Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 425;

(15)

bahwa kompensasi seharusnya diberikan bagi kasus-kasus penghilangan paksa.27 Kesimpulan yang sama telah diterapkan bagi para korban penahanan paksa;28 pemerkosaan;29 penggunaan kekerasan yang tidak patut oleh pihak kepolisian30 dan pelanggaran HAM lainnya.

(ii) Yurisprudensi

Di dalam kasus Barbato vs. Uruguay31 HRC berpandangan bahwa Negara pihak berada di bawah kewajiban untuk membayar sejumlah kompensasi yang patut kepada keluarga Barbato atas kematian ketika ia berada di dalam penahanan. Di dalam kasus

Barboeram dkk. vs. Suriname32 HRC menyimpulkan bahwa Suriname diwajibkan untuk

membayar kompensasi kepada para keluarga dari orang-orang yang dibunuh oleh pihak polisi militer. HRC mencapai kesimpulan serupa di dalam kasus Miango vs. Zaire33 yang pada pokoknya merupkan kasus penyiksaan seseorang sampai mati oleh anggota-anggota angkatan bersenjata.

Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea 203; HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.

27 Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Mexico, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 33, alinea 172;

HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.

28 Lihat misalnya: HRC, Concluding Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea

203; HRC, Concluding Observations on Togo, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 44, alinea 250.

29 HRC, Concluding Observations on the Russian Federation, UN. Doc. A/59/40 Vol. I (2003) 20, alinea

64(13).

30 HRC, Concluding Observations on Portugal, UN. Doc. A/58/40 Vol. I (2003) 56, alinea 83(8). 31 Barbato vs. Uruguay, CCPR/C/17/D/84/1981.

32 Baboeram dkk.. vs. Suriname, CCPR/C/24/D/148/1983. 33 Miango vs. Zaire, CCPR/C/31/D/194/1985.

(16)

3. Pasal 7 ICCPR

Pasal 7 ICCPR menyatakan bahwa “(t)idak seorang pun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat”.

Telah dinyatakan sebelumnya bahwa baik Pasal 1(9) dan Pasal 27 Undang-Undang KKR bertentangan dengan Pasal 7 ICCPR.

(a) Pasal 1(9) Undang-Undang KKR

Telah dinyatakan bahwa Pasal 1(9) Undang-Undang KKR melanggar Pasal 7 ICCPR dikarenakan pasal UU KKR tersebut bertentangan dengan kewajiban untuk menginvestigasi praktik-praktik penyiksaan dan kewajiban untuk menyeret pihak yang bertanggungjawab.

(i) Komentar Umum

Di dalam Komentar Umum 2034 mengenai pengimplementasian Pasal 7 ICCPR, HRC berkomentar bahwa “[m]ereka yang melanggar Pasal 7—entah dengan memberikan dukungan, memberikan perintah, memberikan toleransi atau melakukan praktik-praktik yang dilarang—haruslah dimintakan pertanggunjawabannya”.35 Sebagai tambahan HRC mengamati bahwa “[p]emberian amnesti pada umumnya adalah tidak berkesesuaian dengan kewajiban Negara-Negara untuk mengivestigasi praktik-praktik semacam itu, untuk memberikan jaminan tidak terjadinya praktik-praktik semacam ini di dalam

34 ICCPR General Comment (Komentar Umum) 20 (Sesi ke-44, 1992): Pasal 7: Menggantikan Komentar

Umum 7 berkenaan dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992) 193.

35 ICCPR General Comment 20 (Sesi ke-44, 1992): Pasal 7: Menggantikan Komentar Umum 7 berkenaan

dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992) 193 pada alinea 13.

(17)

yurisdiksinya, serta memastikan bahwa hal-hal ini tidak akan terjadi di masa mendatang”.36 Sebagai konsekuensinya, adalah jelas bahwa di dalam pandangan HRC, pemberian amnesti adalah tidak sesuai dengan Pasal 7 ICCPR.

(ii) Catatan Penutup

Di dalam Catatan Penutupnya tahun 1993 atas Senegal, HRC mengutuk pemberian amnesti kepada para pelaku kejahatan HAM, khususnya penyiksaan.37 Serupa dengan Catatan Penutupnya tahun 1995 atas Haiti HRC berkomentar bahwa “adalah menjadi keprihatinan kami bahwa…Undang-Undang Amnesti akan dapat menghalang-halangi investigasi atas dugaan-dugaan kejahatan HAM seperti… penyiksaan”.38 Terlihatlah bahwa pemerian amnesti seperti yang tercantum pada Pasal 1(9) Undang-Undang KKR bertentangan dengan Pasal 7 ICCPR.

(iii) Yurisprudensi

Kasus Rodríguez vs. Uruguay menggambarkan pandangan HRC bahwa pemberian amnesti tidaklah boleh diperuntukkan bagi kejahatan-kejahatan yang diatur oleh Pasal 7 ICCPR.39 Di dalam hal ini, Rodríguez telah mengalami penyiksaan oleh pihak aparat Negara. Kemudian Negara memberlakukan sebuah Undang-Undang Amnesti yang memaafkan para pelaku, yang tidak memungkinkan penuntutan atas

36 ICCPR General Comment 20 (Komentar Umum) (Sesi ke-44, 1992): Pasal 7: Menggantikan Komentar

Umum 7 berkenaan dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992) 193 pada alinea 15.

37 HRC, Concluding Observations on Senegal, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 23, alinea 112. 38 HRC, Concluding Observations on Haiti, UN. Doc. A/50/40 Vol. I (1995) 46, alinea 230. 39 Rodríguez vs. Uruguay, CCPR/C/31/D/194/1985.

(18)

sehingga kejahatan-kejahatan mereka. HRC mendapati bahwa Undang-Undang Amnesti ini adalah “tidak sesuai dengan kewajiban dari Negara pihak di bawah Kovenan”.

(b) Pasal 27 Undang-Undang KKR

Telah dinyatakan bahwa Pasal 27 Undang-Undang KKR melanggar Pasal 7 ICCPR dikarenakan larangan atas praktik penyiksaan juga mencakup kewajiban untuk memberikan kompensasi kepada para korbannya. Kewajiban ini tidaklah bisa dilaksanakan secara tuntas jika pemberian kompensasi digantungkan pada pemberian amnesti.

(i) Komentar Umum

Di dalam Komentar Umum 2040 HRC menyampaikan pandangan bahwa “Negara tidaklah diperkenankan untuk menghalangi individu-individu dari hak untuk memperoleh pemulihan efektif, termasuk kompensasi serta rehabilitasi sepenuh-penuhnya.”41 Sebagai konsekuensi, terlihatlah bahwa pemberian syarat atas kompensasi di bawah keharusan untuk memberikan amnesti dapat dipandang sebagai pelanggaran Pasal 7 ICCPR.

(ii) Catatan Penutup

Telah berulang-kali HRC mengobservasi bahwa terdapatlah sebuah kewajiban untuk memberikan kompensasi para korban penyiksaan. Misalnya saja di dalam Catatan Penutupnya tahun 1995 atas Paraguay, HRC menyatakan bahwa “Negara pihak seharusnya…menyediakan kompensasi patut bagi para korban, khususnya berkenaan

40 ICCPR General Comment 20 (Sesi ke-44, 1992): Article 7: Menggantikan Komentar Umum 7 berkenaan

dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992) 193.

41 ICCPR General Comment 20 (Sesi ke-44, 1992): Article 7: Menggantikan Komentar Umum 7 berkenaan

dengan Pelarangan atas penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dan Penghukuman, A/47/40 (1992) 193 pada alinea 15.

(19)

dengan berlanjutnya praktik-praktik penyiksaan dan perlakuan-perlakuan sewenang-wenang oleh pihak kepolisian dan angkatan bersenjata.42 Di dalam Catatan Penutupnya tahun 1999 atas Meksiko, HRC khususnya amat prihatin sehubungan dengan larangan atas penyiksaan serta keharusan untuk memberikan pemulihan, termasuk kompensasi. HRC menyatakan:

Adalah merupakan sebuah keprihatinan mendalam…bahwa tidak semua bentuk penyiksaan dicakup secara penuh di dalam Undang-Undang negara Meksiko; dan tidak terdapat badan independen untuk menginvestigasi berbagai laporan/pengaduan atas praktik-praktik penyiksaan serta perlakuan-perlakuan tidak manusiawi atau tidak bermartabat lainnya. Adalah merupakan sebuah

keprihatinan pula bahwa praktik-praktik penyiksaan, penghilangan paksa dan

pembunuhan ekstra-yudisial yang telah terjadi tidaklah diinvestigasi; bahwa orang-orang yang bertanggungjawab atas tindakan-tindakan tersebut tidak kunjung diseret ke pengadilan; dan bahwa para korban atau para keluarganya

tidak juga mendapatkan kompensasi. Negara pihak seharusnya mengambil

tindakan-tindakan perlu untuk menjalankan secara penuh ketentuan Pasal 6 dan 7 Kovenan, termasuk tindakan pemberian pemulihan atas seluruh penyiksaan di Negara Meksiko.43

(iii) Yurisprudensi

HRC telah mengadopsi posisi yang sama di dalam yurisprudensinya sebagaimana yang termuat di dalam Komentar Umum dan Catatan Penutup, bahwasanya para korban penyiksaan harus mendapatkan kompensasi. Sebagai contoh di dalam kasus Muteba vs.

Zaire44 HRC mendapati bahwa Negara diwajibkan untuk membayarkan kompensasi

kepada Mr. Muteba sebagai bagian dari pemulihan atas penyiksaan yang telah

42 HRC, Concluding Observations (Catatan Penutup) on Paraguay, UN. Doc. A/50/40 Vol. I (1995) 42,

alinea 216.

43 Concluding Observations on Mexico, UN. Doc. A/54/40 Vol. I (1999) 61, alinea 318. Lihat juga

contoh-contoh berikut ini: HRC, Concluding Observations on Niger, UN. Doc. A/48/40 Vol. I (1993) 88, alinea 423; HRC, Concluding Observations on Cameroon, UN. Doc. A/49/40 Vol. I (1994) 36, alinea 203; HRC, Concluding Observations on Argentina, UN. Doc. A/50/40 Vol. I (1995) 35, alinea 161; HRC, Concluding Observations on Bolivia, UN. Doc. A/52/40 Vol. I (1997) 35, alinea 218.

(20)

dideritanya. Serupa dengan hal ini di dalam kasus Rodríguez vs. Uruguay45 HRC berpandangan bahwa Mr. Rodríguez memiliki hak mendapatkan kompensasi atas penyiksaan yang telah dipaksakan untuk ditanggungnya.

(21)

B Konvensi Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia

(“CAT”)46

ICTJ menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang KKR yang memperbolehkan amnesti dan membebani syarat pemberian reparasi dengan keharusan memberikan amnesti adalah bertentangan dengan CAT. Indonesia menandatangani CAT pada tanggal 23 Oktober 1985. Berkesesuaian dengan Pasal 18 dari Konvensi Wina mengenai Hukum Perjanjian (Law of Treaties), maka ketika sebuah Negara telah menandatangani sebuah traktat, maka “Negara tersebut terikat untuk tidak melakukan praktik-praktik yang akan dapat menggugurkan maksud dan tujuan” dari traktat tersebut. Oleh karena itu semenjak tahun 1985 sampai seterusnya, Indonesia dikenakan kewajiban untuk menghindarkan diri dari praktik-praktik yang akan dapat menggugurkan maksud dan tujuan dari CAT (Konvensi Anti Penyiksaan) tersebut. Indonesia meratifikasi CAT pada tanggal 28 Oktober 1998. ICTJ menyatakan bahwa Undang-Undang KKR melanggar CAT.

1. Pasal 1(9) dan 44 UU KKR melanggar Pasal 4, 7, 12 dan 13 CAT

Sebagaimana dinyatakan di atas, Pasal 1(9) Undang-Undang KKR menyebutkan bahwa amnesti “adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat [sic]”.

(22)

Pasal 44 Undang-Undang KKR menyatakan bahwa “[p]elanggaran hak asasi manusia yang berat telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad-hoc [sic].”

Menurut dengan Pasal 4 CAT, tiap Negara harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya” dan harus “mengatur agar pelanggaran-pelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan mempertimbangkan sifat kejahatannya”. Sesuai Pasal 7 CAT, tiap Negara harus “mengajukan kasus itu kepada pihak yang berwenang untuk tujuan penuntutan”. Lebih jauh lagi Pasal 12 CAT menegaskan bahwa tiap Negara harus “menjamin agar instansi-instansi yang berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya”. Akhirnya Pasal 13 CAT menegaskan bahwa tiap Negara harus “menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya mempunyai hak untuk mengadu dan agar kasusnya diperiksa dengan segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak yang berwenang”. Maka CAT mewajibkan Negara untuk melakukan investigasi, penuntutan dan memberikan pemulihan efektif berkenaan dengan praktik-praktik penyiksaan. ICTJ menyatakan bahwa Pasal 1(9) dan 44 Undang-Undang KKR melanggar kewajiban-kewajiban pokok ini.

Di dalam Catatan Penutup tahun 2002 atas Indonesia, Komite Anti Penyiksaan (“Torture Committee”) menyampaikan keprihatinannya atas “kegagalan Negara pihak untuk mengantisipasi secara tepat, tidak berpihak serta melakukan investigasi penuh atas sekian banyak dugaan penyiksaan…demikian pula halnya dengan kegagalan untuk

(23)

melakukan penuntutan atas berbagai dugaan pelanggaran sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 12 dan 13 Konvensi”. 47

Di dalam pembahasan mengenai Undang-Undang Amnesti Peru, Komite Anti Penyiksaan mengutip—dengan ketidaksetujuan—mengenai “Undang-Undang Amnesti yang mengenyampingkan penuntutan atas para tersangka penyiksa, padahal menurut Pasal 4, 5 dan 12 Konvensi, perbuatan tersebut haruslah diinvestigasi dan dituntut”. Menurut Komite Anti Penyiksaan, “Undang-Undang Amnesti seharusnya justru mengecualikan penyiksaan dari cakupan mereka”.48

Serupa dengan hal ini, pada Catatan Penutup tahun 2000 atas Azerbaijan Komite Anti Penyiksaan mengamati bahwa “[d]alam rangka memastikan agar para pelaku penyiksaan tidak dapat menikmati impunitas, Negara pihak harus memastikan bahwa investigasi—dan sejauh dimungkinkan—penuntutan atas mereka yang diduga melakukan kejahatan penyiksaan, serta memastikan bahwa Undang-Undang Amnesti tidak memasukkan penyiksaan dari jangkauannya”.49

Lebih lanjut lagi di dalam kasus Hajrizi Dzemajl dkk. vs. Serbia dan

Montenegro50 Komite Anti Penyiksaan mengkonfirmasikan bahwa Negara memiliki

kewajiban untuk menginvestigasi, menuntut serta menghukum mereka yang bertanggungjawab atas praktik-praktik penyiksaan. Di dalam kasus M’Barek vs. Tunisia51

47 CAT, Concluding Observations on Indonesia, UN. Doc A/57/44 (2002) 22, alinea 43. 48 CAT, Concluding Observations on Peru, UN. Doc A/55/44 (2000) 13, alinea 59, 61. 49 CAT, Concluding Observations on Azerbaijan, UN. Doc A/55/44(2000) 16, alinea 69. 50 Hajrizi Dzemajl dkk. vs. Serbia and Montenegro UN Doc CAT/C/29/D/161/2000. 51 M’Barek vs. Tunisia (60/1996), U.N. Doc. CAT/C/23/D/60/1996 (2000) alinea 12.

(24)

dan Blanco Abad vs. Spanyol52 Komite Anti Penyiksaan menyatakan bahwa sebuah Negara melanggar Pasal 13 Konvensi [“CAT”] ketika Negara ini gagal melangsungkan investigasi independen atas dugaan-dugaan praktik penyiksaan di dalam wilayah kewenangannya.

Sebagai konsekuensinya adalah jelas dari Catatan Penutup serta yurisprudensi yang ada jika Komite Anti Penyiksaan mengukuhkan bahwa ketentuan Undang-Undang sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1(9) dan 44 Undang-Undang KKR—yang mempersulit investigasi efektif, penuntutan serta penghukuman atas pelanggaran-pelanggaran CAT—itu sendiri merupakan pelanggaran-pelanggaran dari Konvensi ini.

2. Pasal 27 UU KKR melanggar Pasal 14(1) CAT

Sebagaimana telah dinyatakan di muka, Pasal 27 Undang-Undang KKR menyebutkan bahwa “[k]ompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan”.

Pasal 14(1) CAT menyatakan bahwa

Setiap Negara Pihak (Anggota) harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam peristiwa korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan ganti-rugi.

Telah dinyatakan bahwa Pasal 27 Undang-Undang KKR melanggar Pasal 14(1) CAT karena—dengan menempatkan kompensasi di bawah syarat pemberian amnesti— maka pasal ini bertentangan dengan hakikat hak atas kompensasi yang [seharusnya diberikan] tanpa bersyarat.

(25)

Di dalam berbagai Catatan Penutup Komite Anti Penyiksaan telah menyorot kewajiban absolut bagi Negara untuk menyediakan kompensasi bagi para korban penyiksaan. Misalnya di dalam Catatan Penutup tahun 1995 atas Italia, Komite Anti Penyiksaan mengamati bahwa “Negara pihak seharusnya: Memberikan jaminan lebih baik bagi korban penyiksaan untuk dikompensasikan oleh Negara serta menyediakan sejumlah program rehabilitasi baginya”.53 Serupa dengan hal ini, pada Catatan Penutup atas Peru di tahun 1998, Komite Anti Penyiksaan menegaskan bahwa “[N]egara pihak seharusnya memandang—sesuai dengan Pasal 6, 11, 12, 13 dan 14 Konvensi—agar mengambil tindakan-tindakan demi memastikan bahwa para korban penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia serta para ahli warisnya, menerima pemulihan, kompensasi dan rehabiitasi di bawah kondisi apa pun”.54

Yurisprudensi Komite Anti Penyiksaan juga prihatin atas kewajiban pemberian kompensasi. Misalnya di dalam kasus Hajrizi Dzemajl dkk. vs. Serbia dan Montenegro Komite Anti Penyiksaan mendesak Serbia dan Montenegro “untuk melancarkan investigasi patut atas praktik-praktik yang telah terjadi pada tanggal 15 April 1995; agar menuntut dan menghukum orang-orang yang bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan tersebut serta menyediakan pemulihan bagi mereka yang dirugikan, termasuk kompensasi

yang patut dan setara”.55

53 CAT, Concluding Observations on Italy, UN. Doc A/50/44 (1995) 21, alinea 157. 54 CAT, Concluding Observations on Peru, UN. Doc A/53/44 (1998) 22 alinea 205.

(26)

C Konvensi Internasional tentang Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa

Pada tanggal 25 September 2005 Konvensi Internasional tentang Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa (“Konvensi Penghilangan”) diberlakukan. Kelompok Kerja Penghilangan Paksa atau Tidak dengan Sukarela mengajukan permohonan kepada Majelis Umum pada sesi ke-61-nya agar mengadopsi rancangan Konvensi. Pasal 6 dari Konvensi Penghilangan Paksa ini mewajibkan Negara agar memperlakukan para pelaku penghilangan paksa secara pidana bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan mereka. Pasal 24 dari Konvensi Penghilangan ini juga menyatakan bahwa “[t]iap Negara Pihak harus memastikan di dalam sistem hukumnya bahwa para korban penghilangan paksa berhak atas reparasi serta kompensasi yang tepat, setara dan adil”. Sebagai konsekuensinya, adalah jelas jika Pasal 9(1), 27 dan 44 Undang-Undang KKR melanggar segenap rancangan Konvensi ini.

(27)

II UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI BERTENTANGAN DENGAN SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL TIDAK TERTULIS

A Deklarasi PBB dan Resolusi-Resolusinya

1. Deklarasi Penyiksaan56

Pasal 10 Deklarasi Penyiksaan diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1975 menyatakan bahwa “[j]ika sebuah investigasi menunjukkan bahwa… sebuah tindak penyiksaan…telah terjadi, maka proses [penuntutan] pidana haruslah digelar”. Sesuai dengan Pasal 11 Deklarasi Penyiksaan “[k]etika dibuktikan bahwa sebuah tindak penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang Kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia telah dilakukan oleh atau pun di bawah naungan aparat publik, korban haruslah mendapatkan pemulihan dan kompensasi sesuai dengan hukum nasional”.

Sebagai konsekuensinya, sesuai dengan Deklarasi Penyiksaan adalah jelas bahwa amnesti yang disediakan oleh Undang-Undang KKR berkontradiksi dengan aspek-aspek fundamental dari hukum internasional. Lebih jauh lagi, sementara Deklarasi PBB menyediakan sejumlah kelenturan bagi Negara-Negara untuk bertindak sesuai dengan hukum nasionalnya masing-masing, adalah jelas bahwa sejumlah bentuk kompensasi atau pemulihan diwajibkan atas segala tindak penyiksaan. Persyaratan kompensasi dengan memberikan amnesti di dalam Pasal 27 Undang-Undang KKR terlihat berkonflik dengan kewajiban ini.

56 Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment (Diadopsi Majelis Umum lewat Resolusi 3452 (XXX) 9 Desember 1975).

(28)

2. Deklarasi Penghilangan57

Deklarasi Perlindungan Semua Orang atas Penghilangan Paksa (“Deklarasi Penghilangan”) diadopsi pada tanggal 18 Desember 1992. Deklarasi Penghilangan mewajibkan Negara-Negara [pihak] untuk melembagakan mekanisme hukum bagi pencegahan serta penghukuman praktik penghilangan paksa. Pasal 14 Deklarasi Penghilangan menyatakan bahwa “[t]iap orang yang diduga telah melakukan tindak penghilangan paksa di Negara tertentu, akandihadapkan pada otoritas sipil berkompeten dari Negara yang bersangkutan untuk tujuan penututan dan persidangan (ketika investigasi resmi telah berhasil mengungkap fakta-fakta terkait)”.

Lebih lanjut, Pasal 18 secara spesifik menyatakan bahwa “[o]rang-orang yang telah atau pun diduga melakukan kejahatan-kejahatan yang diacu pada pasal 4, alinea 1, di atas, tidaklah boleh menikmati Undang-Undang Amnesti khusus mana pun, atau upaya-upaya sejenisnya yang dapat berefek pada pengenyampingan mereka dari proses penuntutan pidana atau sanksi”. Sebagai konsekuensinya, menjadi jelas bahwa amnesti bagi [para pelaku] penghilangan paksa adalah dilarang oleh Deklarasi Penghilangan dan bahwasanya tuntutan atas perbuatan ini merupakan kewajiban (mandatory). Sebagai tambahan, Pasal 19 Deklarasi Penghilangan menyatakan bahwa

Para korban dari praktik-praktik penghilangan paksa serta keluarganya haruslah memperoleh pemulihan dan memiliki hak bagi kompensasi yang setara, termasuk sarana-sarana untuk mendapatkan rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal sebagai akibat dari prakti penghilangan paksa, keturunannya haruslah pula memperoleh hak atas kompensasi.

Pengakuan jelas (eksplisit) terhadap hak atas kompensasi ini sebagai sebuah hak yang absolut berkontradiksi dengan Undang-Undang KKR.

57 Declaration on the Protection of all Persons from Enforced Disappearance (Diadopsi Majelis Umum lewat

(29)

3. Resolusi Dewan Keamanan 1325 (2000)58

Di dalam Resolusi 1325 Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengakui arti penting penuntutan bagi terwujudnya keadilan dan perdamaian. Dewan Keamanan menekankan

kewajiban seluruh Negara untuk mengakhiri impunitas dan menuntut mereka yang bertanggungjawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan serta kejahatan perang, termasuk yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan berbagai kekerasan lainnya atas kaum perempuan dewasa maupun anak-anak; dan persis di sinilah [kami] menekankan kebutuhan untuk mengenyampingkan kejahatan-kejahatan ini—sejauh mungkin—dari ketentuan-ketentuan amnesti.

Berdasarkan hal ini, sesuai dengan Pasal 25 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, “[p]ara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa sepakat untuk menerima dan mengemban keputusan-keputusan Dewan Keamanan”, Indonesia seharusnya tidak boleh mengambil langkah-langkah yang melanggar resolusi ini.

(30)

B Laporan-Laporan

1. Laporan Sekretaris Jenderal PBB Berkenaan dengan Pembentukan Tribunal

Khusus untuk Sierra Leone

Di dalam Laporannya sebagai Sekretaris Jenderal PBB berkenaan dengan Pembentukan Tribunal Khusus untuk Sierra Leone, Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa “Perserikatan Bangsa-Bangsa secara konsisten tetap berpegangan pada posisi bahwa amnesti tidaklah dapat diberikan atas kejahatan-kejahatan internasional, seperti genosida, kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran-pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional”.59 Sebagai konsekuensinya, terlihatlah bahwa Undang-Undang KKR Indonesia gagal mengemban kewajiban ini di hadapan sebuah pernyataan hukum yang sedemikian jelas dan tidak mendua yang telah disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2. Laporan Sekretaris Jenderal mengenai Supremasi Hukum (Rule of Law) dan

Keadilan Transisional (Transitional Justice) bagi Masyarakat Berkonflik maupun Pasca Konflik

Pada laporannya yang berpengaruh mengenai persoalan keadilan transisional, Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa “perjanjian-perjanjian perdamaian yang dipromosikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak akan pernah menjanjikan amnesti bagi genosida, kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, atau kejahatan HAM berat”.60

59 Dewan Keamanan (Security Council), Report of the Secretary-General on the establishment of a Special

Court for Sierra Leone, S/2000/915, 4 October 2000, alinea 22.

http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N00/661/77/PDF/N0066177.pdf?OpenElement.

60 Dewan Keamanan (Security Council), Report On The Rule Of Law And Transitional Justice In Conflict

And Post-Conflict Societies, The Secretary-General, UN. Doc. S/2004/616, (3 Agustus 2004) alinea 10. http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/395/29/PDF/N0439529.pdf?OpenElement.

(31)

Dengan merekomendasikan perjanjian-perjanjian perdamaian serta resolusi Dewan Keamanan dan mandatnya, Sekjen PBB menyimpulkan bahwa

“[m]enolak dukungan pemberian amnesti bagi genosida (genocide), kejahatan perang (war crimes) dan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), termasuk yang kejahatan yang berkaitan dengan etnis, gender serta kejahatan berbasiskan seksual di level internasional (sexually based international crimes); memastikan bahwa tidak ada amnesti yang diberikan sebelumnya, adalah patokan bagi penuntutan di hadapan pengadilan bentukan PBB maupun yang ditopang oleh PBB”.61 Maka menjadi jelaslah bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai institusi berada pada posisi menentang pemberian amnesti atas kejahatan HAM berat. Lebih jauh lagi, Sekjen PBB menyatakan bahwa “terhadap berlangsungnya kejahatan-kejahatan HAM yang meluas, Negara-Negara [pihak] memiliki kewajiban untuk bertindak tidak hanya terhadap para pelaku, namun juga bertindak atas nama para korban—termasuk melalui berbagai ketentuan reparasi”.62 Maka jelasha terlihat bahwa PBB selain memiliki sikap yang amat jelas dalam menentang amnesti, juga mendukung penuh ketentuan reparasi bagi para korban kejahatan HAM berat.

61 Security Council (Dewan Keamanan), Report On The Rule Of Law And Transitional Justice In Conflict

And Post-Conflict Societies, The Secretary-General, UN. Doc. S/2004/616, (3 Agustus 2004) alinea 64. http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/395/29/PDF/N0439529.pdf?OpenElement.

62 Security Council, Report On The Rule Of Law And Transitional Justice In Conflict And Post-Conflict

Societies, The Secretary-General, UN. Doc. S/2004/616, (3 Agustus 2004) alinea 54. http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/395/29/PDF/N0439529.pdf?OpenElement.

(32)

3. Laporan Pakar Independen berkenaan dengan Prinsip-Prinsip Impunitas

Pada tanggal 18 Februari 2005 seorang pakar independen bernama Diane Orentlicher ditunjuk untuk memperbarui Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM melalui Aksi Memerangi Impunitas (Set of Principles for the Protection

and Promotion of Human Rights through Action to Combat Impunity) dan agar

menyampaikan hasil/laporannya kepada Komisi HAM PBB (United Nations Commission

on Human Rights).63 Di dalam resolusi yang ditetapkan pada tanggal 21 April 2005,

Komisi HAM PBB “mencatat dengan penuh penghargaan, laporan pakar independen serta Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM melalui Aksi Memerangi Impunitas yang telah diperbarui (E/CN.4/2005/102 and Add.1) sebagai panduan untuk mendampingi Negara-Negara dalam mengembangkan upaya-upaya efektif memerangi impunitas”.64 Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) kini telah digantikan oleh Dewan HAM PBB (Human Rights Council), yang berwenang memikul keseluruhan mandat dan tanggungjawab Komisi, serta mengemban peran dan tanggungjawab Komisi HAM PBB berkenaan dengan kerja Kantor Komisioner Tinggi HAM (Office of the High

Commissioner). Menyadari bahwa Indonesia kini adalah anggota Dewan HAM PBB,

maka jelaslah terdapat keharusan (compulsion) bagi Indonesia untuk menjalankan resolusi-resolusi yang telah ditetapkan oleh Komite HAM PBB sebelumnya.

Berkenaan dengan topik amnesti Laporan ini menyatakan bahwa “keputusan-keputusan terbaru telah mengukuhkan tidak sesuainya (incompatibility) amnesti—yang

63 Commission on Human Rights, Promotion and Protection of Human Rights: Impunity, Report of the

Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Diane Orentlicher, E/CN.4/2005/102, (18 February 2005), tersedia di situs:

http://www.ohchr.org/english/bodies/chr/docs/61chr/E.CN.4.2005.102.pdf.

(33)

menghantarkan kepada impunitas—dengan kewajiban Negara-Negara untuk menghukum kejahatan-kejahatan serius di bawah hukum internasional”.65

Berkenaan dengan topik reparasi, laporan ini menyatakan bahwa:

Sebagaimana yang berulang-kali telah dikukuhkan di dalam yurisprudensi badan-badan berbasiskan traktat (Konvensi/Kovenan HAM PBB) (human rights treaty

bodies), “jika kejahatan tersebut …sungguh-sungguh serius”, para korban

haruslah mendapatkan pemulihan yang sepenuhnya sah secara hukum (judicial

remedies). Tanpa berprasangka terhadap hak ini, pengalaman akhir-akhir ini telah

mengukuhkan peran penting program-program nasional bagi pemulihan pasca tragedi kemanusian berskala besar (mass atrocity). Dalam hal ini, sementara jumlah korban lazimnya amatlah besar, program-program pemerintahan dapat memfasilitasikan distribusi reparasi yang wajar, efektif dan tepat.

Maka laporan ini juga secara jelas mengukuhkan keharusan menuntut para pelaku kejahatan HAM serta arti pentingnya menegakkan skema-skema reparasi yang komprehensif.

65 Commission on Human Rights, Promotion and Protection of Human Rights: Impunity, Report of the

Independent Expert to Update the Set of Principles to Combat Impunity, Diane Orentlicher, E/CN.4/2005/102, (18 Februari 2005), alinea 50, tersedia di situs:

(34)

C Beberapa Prinsip dan Panduan

1. Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM melalui Aksi

Memerangi Impunitas yang Diperbarui (Updated)

Di dalam resolution tertanggal 21 April 2005 Komisi HAM PBB merujuk dengan penuh persetujuan kepada Rangkaian Prinsip bagi Perlindungan dan Promosi HAM melalui Aksi Memerangi Impunitas yang Diperbarui66 (“Prinsip Impunitas”). Resolusi ini mendorong “Berbagai negara, organisasi antar-pemerintah, organisasi non-pemerintah, untuk menimbang berbagai rekomendasi serta praktik-praktik terbaik yang terkandung di dalam...Prinsip-prinsip yang telah diperbarui tersebut sebagai hal yang amat sesuai dalam mengembangkan dan menerapkan upaya-upaya efektif memerangi impunitas”.67 Di dalam resolusi yang sama Komisi HAM PBB mengakui “bahwa amnesti tidaklah boleh diberikan kepada mereka yang telah melakukan kejahatan-kejahatan HAM maupun kejahatan perang internasional”.68 Sebagaimana dinyatakan di atas, mengetahui bahwa Indonesia adalah anggota Dewan HAM PBB—penerus sah dari Komisi HAM PBB— Indonesia telah terikat untuk berkomitmen agar bertindak sesuai dengan isi resolusi yang telah ditetapkan oleh Komisi HAM PBB sebelumnya.

Sesuai dengan Pasal 19 mengenai Prinsip-Prinsip Impunitas, Negara-Negara haruslah melaksanakan investigasi yang layak atas kejahatan-kejahatan HAM serta harus memastikan bahwa pihak yang bertanggungjawab atas kejahatan serius di bawah hukum

66 Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human

Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005) http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.

67 Commission on Human Rights, 60th meeting, UN Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.17 (April 21, 2005) alinea

21.

68 Commission on Human Rights, 60th meeting, UN Doc. E/CN.4/2005/L.10/Add.17 (April 21, 2005) alinea

(35)

internasional dituntut, diadili dan dihukum secara pantas”.69 Lebih lanjut lagi Pasal 24 dari Prinsip Impunitas menyatakan bahwa “Amnesti serta upaya-upaya lainnya janganlah sampai berefek (mendatangkan pengaruh) atas hak para korban atas reparasi”.70 Prinsip ini secara khusus amat relevan dengan Undang-Undang KKR Indonesia, yakni Pasal 27 yang membebankan persyaratan bagi pemberian reparasi di bawah keharusan memberikan amnesti terlebih dulu. Prinsip Impunitas mengonfirmasikan hakikat absolut dari hak atas reparasi di dalam Pasal 31 yang menegaskan bawah “[k]ejahatan HAM yang bermuara pada hak atas reparasi bagi para korban atau pewarisnya, berimplikasi pada tugas Negara untuk memberikan reparasi dan prospek korban untuk memperoleh pemulihan atas tindakan-tindakan pelakunya”. 71

2. Prinsip Dasar dan Panduan bagi Hak atas Pemulihan

Pada tanggal 21 Maret 2006 Majelis Umum PBB mengeluarkan sebuah resolusi mengadopsi Prinsip-Prinsip Umum dan Panduan atas Pemulihan dan Reparasi bagi Para Korban Kejahatan HAM Berat serta Pelanggaran Serius atas Hukum Humaniter72 (“Prinsip-Prinsip Hak atas Pemulihan”). Prinsip-prinsip Hak atas Pemulihan

69 Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human

Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005) http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.

70 Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human

Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005) http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.

71 Commission on Human Rights, Updated Set of Principles for the Protection and Promotion of Human

Rights through Action to Combat Impunity, UN. Doc. E/CN.4/2005/102/Add.1 (8 Februari 2005) http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G05/109/00/PDF/G0510900.pdf?OpenElement.

72 Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations

of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, G.A. Res. 60/147, U.N. Doc. A/Res/60/147 (16 Desember 2005).

(36)

mengonfirmasikan bahwa Negara-negara memiliki kewajiban untuk menuntut para pelaku kejahatan HAM serta menyediakan reparasi bagi para korban. Kedua prinsip ini dipandang sebagai aspek fundamental bagi hak korban atas pemulihan. Contohnya Pasal 11 menegaskan bahwa seorang korban memiliki “akses terhadap keadilan yang setara dan efektif” maupun “reparasi yang patut, efektif dan tepat” atas penderitaan yang telah ditanggungnya”.

Dengan memperhatikan tugas untuk menuntut mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan HAM…Pasal 4 Prinsip-prinsip Hak atas Pemulihan menyatakan bahwa

“[d]i dalam kasus-kasus kejahatan HAM berat dan pelanggaran serius atas hukum humaniter internasional…negara memiliki tugas untuk menginvestigasi dan—jika terdapat bukti-bukti cukup—bertugas untuk menuntut orang yang bertanggungjawab atas kejahatan-kejahatan tersebut serta—jika terbukti bersalah—menghukumnya”.

Berkenaan dengan hak-hak korban untuk menerima reparasi, Pasal 3 dari Prinsip-prinsip Hak atas Pemulihan menyatakan bahwa kewajiban menerapkan hukum internasional mencakup kewajiban menyediakan reparasi. Pasal 15 membahas kewajiban ini dalam rincian yang lebih tajam dan menyatakan bahwa …

Reparasi yang patut, efektif dan tepat dimaksudkan untuk mempromosikan keadilan dengan memberikan pemulihan atas kejahatan berat hukum HAM internasional atau pelanggaran serius hukum humaniter. Reparasi seyogianya dilakukan secara proporsional, setara dengan besarnya kejahatan dan penderitaan yang didatangkannya. Sehubungan dengan hukum nasional (domestic laws) dan hukum humaniter internasional, sebuah Negara haruslah menyediakan reparasi bagi korban dari tindakan aktif (acts) atau pun pembiaran (omissions) yang dapat dibebankan kepada Negara sejauh merupakan kejahatan berat HAM atau pun pelanggaran serius hukum humaniter internasional.

(37)

D Pernyataan-Pernyataan Representatif Indonesia di Hadapan Dewan HAM dan Dewan Keamanan PBB

1. Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan

Paksa

Pada tanggal 23 Juni 2006 Dewan HAM PBB mengeluarkan resolusi yang berisi rekomendasi kepada Majelis Umum PBB bahwa Dewan HAM telah mengadopsi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.

Dalam keterangan pers Perserikatan Bangsa-Bangsa, representatif Indonesia— Wiwiek Setyawati—telah menyatakan bahwa adalah amat penting bagi Dewan [HAM] untuk menempatkan prioritas pada hak-hak yang tidak dapat dikesampingkan

(non-derogable rights). Pembunuhan sewenang-wenang serta praktik-praktik penghilangan

paksa haruslah diakhiri. Tidak ada seorang pun yang boleh mengalami penghilangan paksa, dan bahwasanya kita tidak boleh memberikan toleransi (zero tolerance) bagi praktik semacam ini. Konvensi [Penghilangan Paksa] ini akan menjadi dokumen rujukan-standar penting (an important rujukan-standard-setting document) untuk memberikan perlindungan dari penghilangan paksa.73

Konvensi ini berisi sejumlah Pasal yang dengan jelas mendukung dalil bahwa para pelaku penghilangan paksa haruslah dituntut (lihat bagian I:C di atas). Berkenaan dengan dukungan yang telah diberikan oleh Indonesia atas Konvensi ini, maka agaknya Indonesia juga telah memiliki komitmen di dalam arena hukum internasional—setidak-tidaknya atas kejahatan penghilangan paksa—dengan menuntut para pelaku kejahatan ini.

73 Keterangan Pers Dewan HAM, Dewan Menyimpulkan Diskusi mengenai Laporan Pokja berkenaan

dengan Draft Konvensi Anti Penghilangan Paksa [Council Concludes Discussion On Report Of Working Group On Draft Convention Against Enforced Disappearance] (27 Juni 2006).

(38)

2. Laporan Sekretaris Jenderal mengenai Supremasi Hukum (Rule of Law) dan Keadilan Transisional (Transitional Justice) dalam Masyarakat in Konflik maupun Pasca-Konflik

Di dalam komentarnya atas laporan Sekretaris Jenderal PBB yang telah disinggung di muka (bagian II:B:2), Rezlan Ishar Jenie, dutabesar Indonesia untuk PBB menyatakan bahwa:

Komunitas internasional dan PBB perlu meningkatkan upaya-upaya mereka untuk membantu negara-negara pihaknya dalam memenuhi tujuan keadilan dan

supremasi hukum…Misalnya, PBB dapat memainkan peran yang lebih aktif

dalam memajukan kesadaran umum dan pemahaman prinsip-prinsip yang telah disepakati secara internasional yang sedemikian esensial bagi perwujudan keadilan dan supremasi hukum…Proposal apa pun untuk memperkuat dukungan PBB bagi keadilan transisional dan supremasi hukum di masyarakat mana pun, haruslah dimaksudkan untuk mempromosikan serta mewujudkan prinsip-prinsip

yang tertuang di dalam Piagam PBB dan hukum internasional…Proses penting

lainnya—sebagaimana tercantum di dalam laporan tersebut—adalah pendayagunaan Komisi Kebenaran dan Keadilan, sebagai instrumen yang telah begitu bermanfaat dalam proses pemulihan sejumlah masyarakat pasca-konflik. Sungguh pun Komisi tersebut bukanlah pengganti (substitusi) proses yudisial, kita tidak boleh menganggap enteng kontribusi-kontribusinya.74

74 Rezlan Ishar Jenie, Dutabesar Indonesia untuk PBB, Pernyataan di hadapan Dewan Keamanan PBB di

(39)

III UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI BERTENTANGAN DENGAN PUTUSAN-PUTUSAN PENGADILAN NASIONAL LAINNYA

Pengadilan tertinggi di Chile, Argentina, Peru dan Kolombia telah mengeluarkan putusan-putusan yang membatalkan ketentuan-ketentuan yang memberikan ruang bagi impunitas. Dasarnya adalah karena ketentuan semacam ini bertentangan dengan kewajiban internasional sebagaimana ditetapkan oleh traktat-traktat internasional sebagaimana yang telah diinterpretasikan pengadilan-pengadilan internasional yang otoritatif maupun badan-badan PBB yang dibentuk berdasarkan Kovenan/Konvensi (treaty bodies) lainnya. Sebagai konsekuensinya, pengadilan tertinggi di kesemua negeri tersebut telah memberikan efek nasional atas hukum internasional (have given domestic

effect to international law).

Patut dicatat pula bahwa dengan pengecualian Kolombia, semua negeri tersebut membentuk komisi-komisi kebenaran sebagai salah satu mekanisme untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran HAM. Betapapun, pengadilan memperlakukan amnesti secara terpisah dari kewajiban untuk menyingkap dan menemukan kebenaran. Pendekatan ini berkesesuaian dengan pernyataan di muka yang telah disampaikan oleh Rezlan Ishar Jenie, Dutabesar Indonesia untuk PBB, bahwa “[p]roses penting lainnya—sebagaimana tercantum di dalam laporan tersebut—adalah pendayagunaan Komisi Kebenaran dan Keadilan, sebagai instrumen yang telah begitu bermanfaat dalam proses pemulihan sejumlah masyarakat pasca-konflik. Sungguh pun Komisi tersebut bukanlah pengganti (substitusi) proses yudisial, kita tidak boleh menganggap enteng

(40)

kontribusi-kontribusinya.”75 Telah dinyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi Indonesia seharusnya mengikuti praktik pengadilan-pengadilan nasional lainnya maupun pendekatan yang ditegaskan oleh Dutabesar Indonesia untuk PBB dan seharusnya menegaskan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah penting namun bukanlah merupakan pengganti dari proses penuntutan (prosecution).

A Mahkamah Agung Chile

Di dalam putusannya baru-baru ini Mahkamah Agung Chile menetapkan bahwa dikarenakan penghilangan paksa merupakan kejahatan berkelanjutan (an ongoing crime) sampai bukti nyata atas kematian korban telah dikukuhkan, sebuah Dekrit Amnesti tahun 1978—mencakup kejahatan-kejahatan HAM yang dilakukan antara tahun 1973-1978— tidak dapat diterapkan untuk kasus Miguel Angel Sandoval Rodríguez.76 Di dalam kasus ini Mahkamah Agung telah berketetapan dan memutuskan vonis atas sejumlah orang atas kasus penghilangan paksa yang pernah terjadi di tahun 1975. Keputusan ini adalah putusan pertama dari Mahkamah Agung Chile yang menyatakan bahwa Undang-Undang Amnesti Chile tidak lagi berlaku. Sementara di waktu-waktu yang lalu Mahkamah Agung telah dengan jelas menyatakan bahwa amnesti tidaklah akan menghalang-halangi investigasi; kini Mahkamah Agung Chile telah lebih jauh lagi melangkah dengan menegaskan bahwa (UU Amnesti) bukanlah halangan bagi penerapan sanksi pidana.

75 Rezlan Ishar Jenie, Dutabesar Indonesia untuk PBB, Pernyataan di hadapan Dewan Keamanan PBB di

dalam item agenda “Justice and the Rule of Law: The United Nations’ Role (6 Oktober 2004).

76 Juan Contreras Sepúlveda y otros (crimen) casacion fondo y forma. Corte Suprema, 517/2004.

(41)

Selanjutnya, baru-baru ini pada tanggal 17 Juli 2006 Mahkamah Agung Chile menetapkan sebuah putusan yang melucuti kekebalan Jenderal Augusto Pinochet, sehingga terbukalah jalan bagi penuntutan dirinya atas pembunuhan dua pengawal pribadi Salvador Allende. Putusan Mahkamah Agung ini mengukuhkan putusan pengadilan lebih rendah yang terdahulu, yang juga menyatakan bahwa kekebalan Pinochet selaku bekas Presiden tidak lagi berlaku dan memperkenankan jaksa yang tengah menangani kasusnya untuk melanjutkan pemrosesan dirinya atas tuntutan pembunuhan.77

B Mahkamah Agung Argentina

Pada tanggal 14 Juni 2005 Mahkamah Agung Argentina yang memeriksa kasus

Simón,78 mendeklarasikan dua Undang-Undang—yang memberikan perlindungan bagi

para pelaku kejahatan ‘Perang Kotor’ (kejahatan yang terjadi antara tahun 1976-1983) dari tuntutan hukum—sebagai inkonstitusional (unconstitutional) dan batal demi hukum (void). Mahkamah Agung mengonfirmasikan peran prinsip-prinsip HAM internasional dalam menangani kejahatan-kejahatan HAM berat yang berlangsung di tingkat nasional. Pada pokoknya Mahkamah Agung mengonfirmasikan preseden (precedence) kewajiban [hukum internasional] bagi Argentina di atas statuta-statuta biasa (ordinary statutes), yang bermuara pada pembatalan atas larangan penerapan ketentuan hukum nasional yang sebelumnya telah melindungi para pelaku kejahatan HAM berat dari ancaman penuntutan. Dalam prakteknya, putusan Mahkamah Agung Argentina ini telah membuka

77 Eduardo Gallardo, Chilean Court Pinochet’s Loss of Immunity, Associated Press, 17 Juli 2006.

78 Simón, Julio Héctor y otros s/privación ilegítima de la libertad. Supreme Court, causa No. 17.768 (14 Juni

Referensi

Dokumen terkait

kayak dulu suka sama cowok. Makanya

Pada penyakit ini terjadi suatu inflamasi yang mengenai satu atau beberapa segmen myelum dengan akibat paralisis mulai dari lokasi tersebut.. Inflamasi yang terjadi merusak myelin

Mengingat keberadaan dana BOS itu berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, maka SDN 028 Balikpapan wajib berpedoman pada Buku Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS

Injil mengajak kita untuk belajar dari pengalaman orang kaya yang tidak peduli semasa hidupnya.. Kita diajak untuk berbagi, untuk memberikan hati dan sebagian harta

Faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat kinerja perawat pelaksana di lantai 6 (unit luka bakar) dirasakan para responden karena masih barunya usia unit tersebut, yang saat ini

Alat-alat anasir cuaca yang digunakan pada stasiun klimatologi antara lain alat pengukur curah hujan, kelembaban nisbi udara, pengukur suhu udara, pengukur suhu dan kelembaban nisbi

Focusing on basic, single-phase, and three-phase induction motor theory and operation, MOTOR CONTROL FUNDAMENTALS details common motor control circuit schemes, and demonstrates how

Instalasi CSSD melayani semua unit di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, mulai dari proses perencanaan, penerimaan barang, pencucian, pengemasan &