• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bumi yang menjadi tempat tinggal kita penuh dengan mikroba.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bumi yang menjadi tempat tinggal kita penuh dengan mikroba."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bumi yang menjadi tempat tinggal kita penuh dengan mikroba. Keberadaan organisme, baik tumbuhan maupun hewan dan manusia selalu dihadapkan dengan bahaya yang mengancam dari dunia luar (Baratawidjaja & Rengganis, 2012). Berbagai bahan organik dan anorganik, baik yang hidup maupun yang mati, berasal dari hewan, tumbuhan, jamur, bakteri, virus, parasit, berbagai debu dalam polusi, uap, asap, dan iritan lainnya, ditemukan dalam lingkungan hidup dan kerja kita sehingga setiap saat bahan-bahan tersebut dapat masuk ke dalam tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit bahkan kerusakan jaringan (Baratawidjaja, 2000). Tubuh kita dengan temperatur yang cocok dan kaya akan nutrisi menjadi ‘rumah’ yang ideal bagi mikroorganisme untuk berkembang. Di sisi lain, manusia juga mempunyai benteng pertahanan untuk melindungi tubuh yang disebut sistem imun. Sel dan molekul yang berperan dalam sistem imun akan berkoordinasi kolektif dalam merespon substansi asing yang masuk (Abbas dkk., 2007).

Keseimbangan respon imun yang dihasilkan sistem imun sangat berperan dalam kesehatan manusia. Apabila respon imun kurang mencukupi maka pertahanan tubuh terhadap paparan mikroba akan terganggu, sebaliknya jika respon imun terlalu berlebihan maka dapat menyebabkan penyakit autoimun (Baratawidjaja, 2000). Imunomodulator adalah suatu bahan biologis maupun

(2)

sintetik yang dapat menstimulasi, menekan, atau memodulasi komponen sistem imun nonspesifik dan spesifik (Agarwal & Singh, 1999).

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, dan kaya akan spesies dan varietas tanaman dengan berbagai macam kegunaan. Penggunaan bahan alam terutama dari tumbuhan sebagai obat tradisional telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya produk ramuan tradisional, baik yang diolah dengan teknik sederhana maupun modern (Nugroho, 2011). Tanaman obat tradisional dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh atau sistem imunitas tubuh yang meliputi sistem imun spesifik dan non spesifik.

Tanaman obat tradisional yang memiliki potensi untuk diteliti adalah herba meniran (Phyllanthus niruri), umbi keladi tikus (Thyphonium flagelliforme) dan daun sirih merah (Piper crocatum).

Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan terhadap masing-masing ekstrak tanaman tunggal tersebut. Salah satu penelitian Apriyanto (2011) menyatakan bahwa ekstrak etanolik daun sirih merah mampu meningkatkan indeks fagositosis makrofag secara in vivo.

Ekstrak meniran menunjukkan adanya kemampuan memodulasi nitrat oksida yang dilepaskan oleh makrofag. Kemampuan menstimulasi sistem imun oleh ekstrak meniran ini yang bertanggung jawab atas penggunaannya secara etnomedisin dalam mengatasi penyakit infeksi (Nworu, dkk., 2010).

(3)

Menurut penelitian Sriyanti (2012), ekstrak keladi tikus dengan dosis 250mg/KgBB, 500mg/KgBB, dan 1000mg/KgBB mampu meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag pada tikus terinduksi cyclophosphamide.

Penelitian yang telah dilakukan tidak hanya pada ekstrak tunggal, tetapi juga kombinasi dari tiga ekstrak herba meniran, umbi keladi tikus, dan daun sirih merah. Menurut Sagala (2013), kombinasi ekstrak meniran, keladi tikus, dan sirih merah pada konsentrasi 1µg/mL, 10µg/mL, dan 100µg/mL mampu meningkatkan nilai indeks dan kapasitas fagositosis makrofag mencit jantan galur Balb/c dibandingkan dengan kontrol media dan kontrol DMSO (pelarut ekstrak).

Masing-masing ekstrak dan kombinasi tiga ekstrak dari herba meniran, keladi tikus, dan daun sirih merah telah terbukti memiliki aktivitas imunomodulator, tetapi belum ada penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi efek imunomodulator dari kombinasi dua ekstrak, yang berupa kombinasi ekstrak meniran dan keladi tikus, ekstrak meniran dan sirih merah, maupun ekstrak keladi tikus dan sirih merah terhadap fagositosis makrofag. Peneliti mengkombinasikan ekstrak meniran, keladi tikus, dan sirih merah dengan tujuan untuk mendapatkan suatu produk tanaman obat tradisional yang memiliki efek imunomodulator yang lebih optimal. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, meniran, keladi tikus, dan sirih merah memiliki kemampuan imunomodulator dengan karakteristik yang tidak sama. Meniran, selain mampu meningkatkan fagositosis makrofag juga dapat meningkatkan produksi nitrat oksida dan IFN-γ. Keladi tikus mampu meningkatkan fagositosis makrofag dan proliferasi sel T CD8+. Sirih merah dapat meningkatkan fagositosis makrofag, tetapi menekan proliferasi limfosit. Karakter

(4)

yang tidak sama tersebut kemungkinan akan saling melengkapi, sehingga efek imunomodulator yang dihasilkan akan lebih baik.

Peneliti juga tetap melakukan pengujian efek imunomodulator dari masing-masing ekstrak dan kombinasi tiga ekstrak dari meniran, keladi tikus, dan sirih merah, tetapi tidak sama dengan penelitian kombinasi tiga ekstrak yang dilakukan oleh Sagala (2013). Penelitian Sagala (2013) menggunakan hewan uji mencit galur Balb/c dan hanya menguji efek imunomodulator kombinasi tiga ekstrak. Penelitian tersebut menggunakan empat variasi perbandingan pada kombinasi tiga ekstrak yang masing-masing dibuat dalam konsentrasi 1 µg/mL, 10 µg/mL, dan 100 µg/mL, sedangkan peneliti menggunakan tiga variasi perbandingan untuk masing-masing kombinasi dua dan tiga ekstrak.

Penelitian yang akan dilakukan sangat penting dalam rangka memastikan efektivitas penggunaan ekstrak tanaman dan standarisasinya. Diharapkan dari penelitian ini dihasilkan obat herbal terstandar yang dapat diproduksi dan dapat digunakan dalam kepentingan medis.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan suatu permasalahan, yaitu apakah pemberian ekstrak etanolik tunggal, kombinasi dua ekstrak, dan kombinasi tiga ekstrak dari EMN, EKT, dan ESM mempunyai kemampuan imunomodulator dengan meningkatkan aktivitas fagositosis sel makrofag?

(5)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanolik tunggal, kombinasi dua ekstrak, dan kombinasi tiga ekstrak dari EMN, EKT, dan ESM sebagai imunomodulator. Adapun tujuan khusus yang akan dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek imunomodulator ekstrak etanolik tunggal, kombinasi dua ekstrak, dan kombinasi tiga ekstrak dari EMN, EKT, dan ESM, serta mengetahui kombinasi mana yang lebih optimal dalam meningkatkan aktivitas fagositosis sel makrofag.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, untuk memperkaya pengetahuan mengenai sumber daya alam Indonesia yang dapat memiliki efek imunomodulator.

2. Bagi masyarakat, memberikan alternatif solusi baru dalam upaya peningkatan sistem imum tubuh.

3. Bagi kepentingan medis, memberikan suatu bukti ilmiah yang dapat menjamin penggunaan suatu obat tradisional baru.

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengobatan herbal

Pengobatan herbal adalah pengobatan yang menggunakan bahan yang berasal dari tanaman, bisa berupa daun, akar, biji-bijian, dan lainnya, yang

(6)

mengandung bahan yang berkhasiat untuk tubuh (Anonim, 2008). Pengobatan herbal masih menjadi andalan sekitar 75-80% populasi di dunia, terutama di negara-negara berkembang, sebagai pengobatan primer karena secara budaya lebih diterima, kompatibel dengan tubuh manusia dan efek samping yang lebih kecil. Dalam beberapa tahun belakangan ini ada peningkatan yang signifikan terhadap penggunaan herbal sebagai pengobatan, tidak hanya di negara berkembang saja (Kamboj, 2000). Keamanan dan kualitas dari tanaman obat dan produk tanaman obat menjadi perhatian utama dalam bidang kesehatan, industri farmasi, dan masyarakat (WHO, 2007).

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, dan kaya akan spesies dan varietas tanaman dengan berbagai macam kegunaan. Penggunaan bahan alam terutama dari tumbuhan sebagai obat tradisional telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya produk ramuan tradisional, baik yang diolah dengan teknik sederhana maupun modern (Nugroho, 2011). Pengobatan herbal memiliki banyak fungsi terapetik terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan usia, misalnya penurunan ingatan, osteoporosis, penyakit imun, dan sebagainya (Kamboj, 2000).

2. Sistem imun

Imunitas diartikan sebagai perlindungan dari penyakit, khususnya penyakit infeksi. Kumpulan dari sel, jaringan, dan molekul yang bertanggung jawab dalam memediasi resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun, dan reaksi koordinasi dari sel-sel dan molekul ini yang merespon substansi asing penyebab infeksi

(7)

disebut respon imun. Fungsi fisiologi sistem imun adalah bertahan melawan mikroba penyebab infeksi dan mengeradikasi terjadinya infeksi. Mekanisme normal respon imun dalam melindungi individu terhadap infeksi dan mengeliminasi substansi asing dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit pada situasi tertentu. Oleh karena itu, respon imun dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap komponen mikroba dan makromolekul, seperti protein dan lipopolisakarida yang dikenali sebagai substansi asing (Abbas, dkk., 2012).

Respon imun dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu respon imunologik spesifik dan respon imunologik nonspesifik.

a. Nonspesifik / innate immunity / native immunity

Respon imun nonspesifik memediasi perlindungan pada lini pertama terhadap infeksi. Jenis pertahanan ini selalu terjadi pada individu yang sehat, mengeblok mikroba yang masuk dan dengan cepat mengeliminasi mikroba yang berhasil masuk ke jaringan inang. Sel dan molekul sistem imun nonspesifik telah bersiap dengan fungsi penuh pada posisi masing-masing bahkan sebelum mikroba menyerang, sehingga aksinya lebih cepat daripada respon imun spesifik (Abbas, dkk., 2012).

Tiga fungsi penting sistem imun nonspesifik adalah (i) mencegah, mengontrol, atau mengeliminasi mikroba penyebab infeksi. Mekanisme kerja sistem imun nonspesifik dapat berbeda satu dan lainnya, misalnya pelindung epithelial mencegah masuknya mikroba ke dalam tubuh host, sel fagosit di subepithelial dan jaringan lain mencegah mikroba yang berhasil menembus

(8)

epithelial untuk masuk ke jaringan tubuh host yang lebih jauh, dan protein plasma dan sel fagosit di sirkulasi darah memberikan perlawanan terhadap mikroba yang mencapai sirkulasi darah. (ii) sistem imun nonspesifik mengenali produk sel host yang rusak dan mati, sehingga dapat mengeliminasi sel tersebut dan menginisiasi proses perbaikan jaringan. (iii) sistem imun nonspesifik menstimulasi respon imun spesifik untuk secara optimal dan efektif melawan mikroba dengan tipe yang berbeda-beda (Abbas, dkk., 2012).

Komponen imun nonspesifik yaitu pelindung anatomi (physical and chemical barriers) dan respon seluler. Barrier fisik merupakan pertahanan pertama tubuh, yaitu lapisan epithelial pada kulit dan mucosal dan permukaan jaringan kelenjar yang berhubungan dengan bagian tubuh yang terbuka. Barrier kimia adalah senyawa terlarut yang khusus mempunyai akitivitas antimikroba, termasuk pH yang asam. Respon seluler misalnya beberapa tipe sel darah putih (makrofag dan neutrofil) teraktivasi sehingga secara cepat menelan dan menghancurkan bakteri ekstraseluler melalui proses fagositosis. Selain itu, juga muncul reaksi lain, di mana terjadi influx protein, senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba, cairan, sel, dan molekul-molekul ke tempat infeksi, sehingga menyebabkan bengkak, disebut inflamasi (Owen, dkk., 2013).

b. Spesifik / adaptive immunity / acquired immunity

Respon imun spesifik berkembang lebih lambat dalam pertahanan terhadap infeksi. Tipe pertahanan imun ini terstimulasi oleh mikroba yang menginvasi jaringan dan kemudian beradaptasi terhadap hadirnya mikroba penyerang. Respon imun spesifik secara spesifik dapat membedakan, mengingat,

(9)

dan merespon secara lebih kuat paparan berulang dari mikroba yang sama (Abbas, dkk., 2012). Walaupun respon imun nonspesifik dapat dengan efektif melawan beberapa infeksi, mikroba patogen (khususnya yang menyebabkan penyakit) dapat berevolusi sehingga resisten dengan respon imun nonspesifik. Pertahanan terhadap infeksi yang diperankan oleh respon imun spesifik, utamanya dilakukan oleh dua komponen utama yaitu limfosit dan produk-produknya seperti antibodi.

Ada 2 tipe imun spesifik, yaitu humoral immunity dan cell-mediated immunity, di mana perbedaannya terdapat pada sel dan molekul yang memediasi dan didesain untuk memberikan pertahanan mikroba ekstraseluler dan intraseluler. Humoral immunity dimediasi oleh molekul di darah dan sekresi mukus yang disebut antibodi, yang dihasilkan oleh sel limfosit B. Antibodi didesain untuk mengenali antigen mikroba ekstraseluler dan racun yang dihasilkan oleh mikroba tersebut, sedangkan sel limfosit T yang memediasi cell-mediated immunity mengenali antigen yang dihasilkan oleh mikroba intraseluler, misalnya virus, dan beberapa bakteri yang hidup dan berproliferasi di dalam sel fagosit dan sel host lain (Abbas, dkk., 2012).

(10)

Gambar 1. Mekanisme kerja imunitas nonspesifik (innate) dan spesifik (adaptive) (Abbas, dkk., 2007)

3. Fagositosis

Lapisan epithelial memang merupakan pertahanan yang kuat, tetapi beberapa patogen juga mempunyai strategi untuk menembusnya, apalagi lapisan epithelial dapat rusak karena luka, abrasi, dan gigitan serangga. Oleh karena itu, diperlukan sel fagositik sebagai garis pertahanan berikutnya untuk melawan patogen yang menembus lapisan epithelial. Makrofag, neutrofil, sel dendritik dalam jaringan dan monosit dalam sirkulasi darah merupakan sel utama yang dapat melakukan fagositosis. Fagositosis adalah proses memakan bahan partikel seperti bakteri untuk mengeliminasi patogen tersebut (Owen, dkk., 2013).

Proses fagositosis terjadi sebagai berikut, sel fagositik mengekspresikan reseptor di permukaan selnya yang bisa mengenali komponen molekul spesifik di permukaan mikroba, misalnya dinding sel bakteri atau fungi, yang disebut dengan pathogen-associated molecular patterns (PAMPs), sedangkan reseptor yang mengenali PAMPs disebut pattern recognition receptors (PRRs). Setelah PAMPs dikenali oleh PRRs, sel fagositik memperluas membran plasmanya untuk menelan mikroba tersebut, sehingga mikroba tercerna dalam fagosom di dalam sel fagositik. Lisosom kemudian menyatu dengan fagosom, sehingga membentuk fagolisosom yang mengandung agen antimikroba yang kemudian membunuh dan mendegradasi mikroba tersebut. Agen-agen tersebut adalah protein dan peptida antimikroba (defensin dan katelisidin), pH rendah, acid-acitivated hydrolytic enzyme (lisosim dan protease), dan molekul khusus yang memediasi oksidasi. Proses oksidasi melibatkan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen

(11)

species (RNS). Reactive oxygen species (ROS) terbentuk dari oksigen yang masuk melalui pernapasan, diubah oleh NADPH oksidase menjadi anion superoksida (*O2-). Aksi enzim lebih lanjut menghasilkan hidrogen peroksida (H2O2) dan

asam hipoklorin (HClO). Ion superoksida, hidrogen peroksida, dan asam hipoklorin adalah ROS. Reactive nitrogen species (RNS) terbentuk dari L-arginin yang dioksidasi oleh inducible nitric oxide synthase (iNOS) menjadi L-citrullin dan nitrat oksida (NO), agen antimikroba yang poten. Nitrat oksida yang bergabung dengan anion superoksidaakan membentuk peroksinitrit (ONOO-) dan S-nitrosothiol, serta nitrogen dioksida (NO2). Nitrat oksida, nitrogen dioksida, dan

peroksinitrit adalah RNS (Owen, dkk., 2013).

Aktivasi fagositosis juga terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui proses opsonisasi. Protein opsonin dapat berikatan di permukaan mikroba, yang kemudian meningkatkan fagositosis. Protein opsonin di antaranya adalah C-reactive protein (CRP), mannose-binding lectin (MBL), dan surfaktan protein A dan D (SP-A dan SP-D). Kemudian opsonin ini dapat dikenali oleh membrane opsosin receptor pada sel fagositik, sehingga mengaktivasi fagositosis (Owen, dkk., 2013).

4. Makrofag

Sel makrofag berasal dari sumsum tulang berupa promonosit, kemudian berdiferensiasi ke darah berupa monosit, akhirnya akan tinggal di jaringan sebagai makrofag dewasa. Makrofag yang hidup dalam jaringan disebut makrofag residen (fixed macrophage), berbentuk khusus yang tergantung dari jaringan yang

(12)

ditempati, misalnya di paru-paru (alveolar makrofag), hati (sel kupffer), glomerulus ginjal (sel mesangial), otak (mikroglia), dan tulang (osteoklas) (Roitt, dkk., 2006).

Makrofag dapat hidup lebih lama (dibandingkan neutrofil) dan dapat hidup berbulan-bulan, mempunyai beberapa granul, dan melepas beberapa bahan, antara lain lisosim, komplemen, interferon, dan sitokin (Baratawidjaja & Rengganis, 2012).

Makrofag diaktifkan oleh berbagai rangsangan, misalnya antigen eksogen, seluruh mikroorgansime, partikel tidak larut dan bahan endogen seperti sel inang yang cedera atau mati. Aktivasi makrofag selanjutnya dapat juga dipacu oleh sitokin yang dilepas sel T helper dan oleh mediator respon inflamasi. Makrofag mengekspresikan reseptor yang mengenali sejumlah struktur yang ditemukan dalam spesies mikroba untuk menemukan mikroba penyebab infeksi tertentu. Reseptor-reseptor tersebut di antaranya toll-like receptor (TLR), scavenger receptor, nucleotide-binding oligomerization domain. Berbagai reseptor makrofag yang teraktivasi (reseptor-ligan) menjadi awal aktivasi makrofag, di mana makrofag yang teraktifkan akan memproduksi berbagai protein dan sitokin/molekul yang berperan dalam respon imun. Molekul yang diproduksi antara lain oksidase fagosit (ROI), iNOS (oksida nitrit), sitokin (TNF, interleukin), dan peningkatan molekul MHC dan kostimulator. Adapun fungsi efektor makrofag yang diaktifkan seperti pemusnahan mikroba oleh ROI dan oksida nitrit, inflamasi dan peningkatan imunitas spesifik oleh sitokin, dan peningkatan presentasi antigen. Reseptor yang diekspresikan makrofag juga

(13)

difungsikan untuk menangkap dan menelan mikroba, kemudian dicerna oleh enzim asal lisosom, sehingga mikroba terdegradasi (Baratawidjaja & Rengganis, 2012).

Makrofag yang teraktifkan akan memacu proses fagositosis dan pelepasan beberapa molekul yang berperan dalam respon imun. Oleh karena itu, untuk mengetahui suatu penelitian berhasil meningkatkan aktivitas makrofag atau justru menurunkan aktivitasnya, dapat kita lakukan pengamatan dan pengukuran pada tingkat fagositosis maupun molekul yang diproduksi tersebut.

5. Imunomodulator

Keseimbangan respon imun yang dihasilkan sistem imun sangat berperan dalam kesehatan manusia. Apabila respon imun kurang mencukupi maka pertahanan tubuh terhadap paparan mikroba akan terganggu, sebaliknya jika respon imun terlalu berlebihan maka dapat menyebabkan penyakit autoimun. Imunomodulator adalah suatu bahan biologis maupun sintetik yang dapat menstimulasi, menekan, atau memodulasi komponen sistem imun nonspesifik dan spesifik (Agarwal & Singh, 1999).

Imunostimulasi atau imunopotensiasi adalah cara meningkatkan fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sitem imun baik yang biologis maupun sintetik. Beberapa contoh imunostimulan biologis di antaranya : hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, dan sebagainya, sedangkan imunostimulan sintetik misalnya levamisol, arginin, dan sebagainya. Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respon imun, biasanya

(14)

digunakan pada penderita yang akan menjalani transplantasi dan penyakit autoimun, karena kemampuan imunosupresan yang dapat menekan respon imun dan inflamasi yang menimbulkan kerusakan (Baratawidjaja & Rengganis, 2012).

6. Meniran

Gambar 2. Herba meniran (Anonima, 2014) a. Klasifikasi tumbuhan

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Phyllanthus

Spesies : Phyllanthus niruri Linn.

(Backer & van Den Brick, 1965) b. Morfologi

(15)

Tanaman tahunan ini tinggi 30-60 cm, batang sering bercabang di dasar. Daun: banyak, letaknya saling berhadapan, bulat panjang, oval, tumpul, ada stipul (seperti daun kecil yang tumbuh di dasar tangkai daun), sangat tajam. Bunga: kekuningan, sangat banyak, dekat ketiak (Paithankar, dkk., 2011).

c. Daerah distribusi dan habitat

Meniran ditemukan berkembang di daerah tropis dan subtropis di Asia, Amerika, dan China. Meniran merupakan tanaman tahunan yang tumbuh secara liar pada musim hujan pertama di Ijharkhand, Bihar, Chhattisgarh, dan negara bagian India lainnya. Namun, meniran juga dilaporkan tumbuh di daerah pesisir. Di Negara India, meniran biasanya tumbuh pada minggu kedua Juli atau Agustus. Pada kondisi yang aman, meniran dapat bertahan sampai pertengahan musim dingin (Paithankar dkk., 2011).

d. Kandungan kimia

Tanaman obat meniran, mempunyai bermacam-macam kandungan fitokimia dan kegunaan farmakologi. Flavonoid, alkaloid, terpenoid, lignin, polifenol, tannin, kumarin, dan saponin telah teridentifikasi dari beberapa bagian meniran (Paithankar dkk., 2011). Kandungan utama dalam meniran termasuk alkaloid, astragalin, bervifolin, asam karboksilat, corilagin, cymene, asam elagat, lignin, niruretin, nirurin, asam repandusinat, quersetin, quersetrol, quersitrin, rutin, dan saponin (Taylor, 2003).

e. Khasiat tanaman

Meniran telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan dalam sistem pengobatan tradisional/herbal. Dalam beberapa penelitian klinis tanaman ini

(16)

menunjukkan kegunaan dalam hepatoprotektan, penghilang nyeri, hipotensi, antispasmodik, antiviral, antibakteri, diuretik, antimutagenik, dan aktivitas hipoglikemik (Taylor, 2003).

Meniran bermanfaat untuk menghambat patogenesis infeksi Salmonella yang diinduksikan pada mencit. Ekstrak meniran juga mampu meningkatkan secara signifikan produksi interferon-gama (IFN-gamma) dan interleukin-4 (IL-4), serta menunjukkan adanya kemampuan memodulasi nitrat oksida yang dilepaskan oleh makrofag secara in vivo. Kemampuan menstimulasi sistem imun oleh ekstrak meniran ini yang bertanggungjawab atas penggunaannya secara etnomedisin dalam mengatasi penyakit infeksi (Sunarno, 2009 ; Nworu, dkk., 2010).

Flavonoid yang terkandung dalam meniran dapat menstimulasi respon imun, karena dapat meningkatkan aktivitas dan kapasitas fagositosis tikus secara in vivo. Dosis flavonoid yang lebih tinggi menyebabkan sel leukosit (fagosit) menjadi lebih aktif untuk memfagosit sel bakteri (Zalizar, 2013).

(17)

Gambar 3. Umbi keladi tikus (Sarmoko & Cahyani, 2014) a. Klasifikasi tumbuhan

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arales

Famili : Araceae Subfamili : Aroideae Genus : Typhonium

Spesies : Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume

(Backer & van Den Brink, 1968) b. Morfologi

Tanaman keladi tikus adalah tanaman sejenis talas setinggi 25 cm hingga 30 cm, termasuk tumbuhan semak, menyukai tempat lembab yang tak terkena sinar matahari langsung. Daun berbentuk bulat dengan ujung runcing, seperti jantung. Berwarna hijau segar. Umbi berbentuk bulat rata sebesar buah pala (Harfia & Lucie, 2006).

c. Daerah distribusi dan habitat

Keladi tikus tumbuh di tempat terbuka pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Terdapat di Malaysia, Korea bagian selatan, dan Indonesia. Di Indonesia penyebarannya terdapat di sepanjang Pulau Jawa, sebagian Kalimantan, Sumatra, dan Papua (Sarmoko & Cahyani, 2014).

(18)

d. Kandungan kimia

Hasil skrining fitokimia keladi tikus pada penelitian Syahid (2008) menemukan beberapa komponen kimia antara lain alkaloid, saponin, glikosida, flavonoid, dan triterpenoid.

Dalam penelitian Choo, dkk. (2001), diidentiifikasi kandungan kimia keladi tikus sebagai metil ester dari asam heksadekanoat dan asam oktadekanoat. Selain itu, beberapa senyawa alifatik umum teridentifikasi sebagai dodecane, tridecane, tetradecane, pentadecane, hexadecane, heptadecane, octadecane, nonadecane, dan eicosane. Tidak satupun dari komponen yang teridentifikasi tersebut yang menunjukkan efek sitotoksik.

Identifikasi terhadap kandungan kimia dalam keladi tikus dilakukan juga oleh Lai, dkk. (2010). Kandungan kimia yang teridentifikasi dalam studi ini di antaranya asam heksadekanoat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, campesterol, stigmasterol, dan beta-sitosterol.

e. Khasiat tanaman

Keladi tikus merupakan tanaman dengan multifungsi, di mana memiliki potensi sebagai antikanker, antibakteri, antioksidan, dan penekan batuk (Mankaran, dkk., 2013), baik daun maupun umbi keladi tikus menunjukkan aktivitas antibakteri. Ekstrak heksan dari umbi keladi tikus mempunyai aktivitas melawan bakteri gram negatif, Pseudomonas aeruginosa dan Salmonella choleraesuis.

(19)

Penelitian keladi tikus yang melibatkan fagositosis makrofag juga sudah pernah dilakukan. Menurut penelitian Sriyanti (2012), ekstrak keladi tikus dengan dosis 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB, dan 1000 mg/kgBB mampu meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag pada tikus terinduksi cyclophosphamide. Penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak etanolik keladi tikus dapat menurunkan efek penekanan proliferasi limfosit dan meningkatkan secara signifikan proliferasi sel T CD8+ pada tikus terinduksi cyclophosphamide. (Nurrochmad, dkk., 2015).

8. Sirih Merah

Gambar 4. Daun sirih merah (Anonimb, 2014) a. Klasifikasi tumbuhan

Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Magnoliidae Ordo : Piperales Famili : Piperaceae

(20)

Genus : Piper

Spesies : Piper crocatum Ruiz. & Pav. b. Morfologi

Sirih merah merupakan tanaman hias yang memiliki kegunaan dalam pengobatan. Tinggi tanaman ini dapat mencapai sekitar 15 kaki (4,5 meter). Daunnya berbentuk seperti hati dengan lebar 10 cm dan panjangnya juga 10 cm. permukaan atas daunnya memiliki pola bintik-bintik hijau, merah muda, dan perak, sedangkan permukaan bawahnya ungu kemerahan (USDA, 2008).

c. Kandungan kimia

Daun sirih merah mengandung metabolit sekunder seperti minyak esensial, flavonoid, alkaloid, dan senyawa fenol yang kemungkinan aktif terhadap Streptococcus mutans yang berperan dalam pembentukan karies (Erviana, dkk., 2011). Skrining fitokimia dari daun sirih merah menunjukkan kandungan kimia di antaranya polifenol, flavonoid, tannin, alkaloid, dan minyak esensial (Sudewo, 2007).

d. Khasiat tanaman

Sirih merah secara tradisional telah digunakan oleh penduduk Indonesia untuk mengatasi berbagai macam penyakit. Infus sirih merah secara tradisional digunakan sebagai antiseptik, antidiabetes, antikanker, dan menyembuhkan penyakit infeksi (USDA, 2008). Minyak esensial dari sirih merah mempunyai aktivitas paling kuat melawan Streptococcus mutans secara invitro dan aktivitasnya kemungkinan melalui penghambatan aktivitas penghambatan glukosiltranferase (GTF) (Erviana, dkk., 2011).

(21)

Senyawa neolignan (Pc-1 dan Pc-2) yang diisolasi dari daun sirih merah mampu meningkatkan fagositosis makrofag dan produksi nitrat oksida, tetapi tidak untuk proliferasi limfosit pada mencit (Hartini, dkk., 2014). Ekstrak etanolik daun sirih merah mempunyai efek imunomodulator terhadap respon imun nonspesifik secara invitro [50 µg/mL (116 latex), 25 µg/mL (115 latex), 5 µg/mL (99 latex) per 100 makrofag] (Kustiawan, 2012 ; Apriyanto, 2011).

F. Landasan Teori

Meniran telah banyak digunakan untuk berbagai tujuan dalam sistem pengobatan tradisional. Ekstrak meniran merupakan suplemen herbal dengan aktivitas imunomodulator. Ekstrak meniran mampu meningkatkan secara signifikan produksi interferon-gamaa (IFN-gamma) dan interleukin-4 (IL-4), serta mampu memodulasi nitrat oksida yang dilepaskan oleh makrofag secara in vivo (Nworu, dkk., 2010).

Keladi tikus merupakan tanaman dengan multifungsi. Ekstrak keladi tikus mampu meningkatkan fagositosis makrofag, menurunkan efek penekanan proliferasi limfosit dan meningkatkan secara signifikan proliferasi sel T CD8+ pada tikus terinduksi cyclophosphamide (Sriyanti, 2012 ; Nurrochmad, dkk., 2015).

Sirih merah secara tradisional telah digunakan oleh penduduk Indonesia untuk mengatasi berbagai macam penyakit. Senyawa neolignan (Pc-1 dan Pc-2) yang diisolasi dari daun sirih merah mampu meningkatkan fagositosis makrofag dan produksi nitrat oksida, tetapi tidak untuk proliferasi limfosit pada mencit

(22)

(Hartini, dkk., 2014). Ekstrak etanol daun sirih merah mempunyai efek imunomodulator terhadap respon imun nonspesifik secara invitro [50 µg/mL (116 latex), 25 µg/mL (115 latex), 5 µg/mL (99 latex) per 100 makrofag] (Kustiawan, 2012).

G. Hipotesis

Pemberian ekstrak etanolik tunggal, kombinasi dua ekstrak, dan kombinasi tiga ekstrak dari EMN, EKT, dan ESM mampu meningkatkan aktivitas fagositosis sel makrofag.

Gambar

Gambar 2. Herba meniran (Anonim a , 2014)  a.  Klasifikasi tumbuhan
Gambar 4. Daun sirih merah (Anonim b , 2014)  a.  Klasifikasi tumbuhan

Referensi

Dokumen terkait

“BERJENJANG” dari Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) yang ada di Satker sampai dengan Unit Akuntansi Penguna Anggaran (UAPA) di tingkat

faktor kualitas layanan yang meliputi tangibles , reliability , responsiveness , assurance dan emphaty , secara bersama- sama atau simultan mempunyai pengaruh yang

Variasi kode lengkap menggunakan konsep hierarki yang lengkap, sedangkan kode terbatas memiliki sifat yang sangat berbeda dengan kode lengkap, misalnya sering meng- gunakan kalimat

Selain itu, menurut Kitab Suci Kwan Im Tek Too yang disusun oleh Chiang Cuen, Dewi Kwan Im dilahirkan pada zaman Kerajaan Ciu / Cian Kok pada tahun 403-221 SM terkait dengan

a. Langkah-langkah ADPEL Tanjung Emas dalam rangka implementasi ISPS Code 7 yaitu: a. Pengetahuan tentang ancaman keamanan sekarang dan pola-polanya. Pengenalan dan

Verifikasi dilakukan dengan memasukan data eksperimen ke dalam model Renko sehingga diperoleh nilai parameter model baru untuk memprediksi pola pengendapan yang terbbentuk..

Hal ini disebabkan karena pada korelasi data eksperimen menggunakan persamaan NRTL maupun UNIQUAC, deviasi antara komposisi kesetimbangan hasil eksperimen