• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PENYEBARAN DAN REGENERASI JENIS SANINTEN (Castanopsis argentea Blume) DI RESORT SELABINTANA, TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Distribution Pattern and Regeneration of Saninten (Castanopsis argantea Blume) in Selabintana Resort, Gunung Gede

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA PENYEBARAN DAN REGENERASI JENIS SANINTEN (Castanopsis argentea Blume) DI RESORT SELABINTANA, TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Distribution Pattern and Regeneration of Saninten (Castanopsis argantea Blume) in Selabintana Resort, Gunung Gede"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2086-8227

POLA PENYEBARAN DAN REGENERASI JENIS

SANINTEN (Castanopsis argentea Blume) DI RESORT

SELABINTANA, TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE

PANGRANGO

Distribution Pattern and Regeneration of Saninten

(Castanopsis argantea

Blume

)

in

Selabintana Resort, Gunung Gede Pangrango National Park

Iwan Hilwan dan Ewi Irfani

Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

ABSTRACT

Saninten (Castanopsis argantea Blume) known as one of Indonesian indigenous tree species that has high value. Saninten found at Gunung Gede Pangrango National Park especially Resort Selabintana. Saninten produce fruits that can be consumed and wood that can be used as building materials. Regarding these facts, this tree species needs to be cultivated. The distribution pattern of saninten is needed for the right development, but the study about ecology and natural population of this species is rare and less known. The aim of this research was to asses potential, regeneration and the distribution pattern of saninten. The research used a combination of lanes and line method with counturs cutting. The result showed that distribution of saninten in both location is clumped. Morishita index in lower attitude was 1.68 and in upper attitude was 1.29.

Key words: C. argentea, distribution, Resort Selabintana, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

PENDAHULUAN

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Jawa Barat, memiliki keanekaragaman tumbuhan, satwa, dan ekosistem yang tinggi. Kawasan ini mempunyai arti yang sangat strategis untuk menunjang pembangunan wilayah sekitarnya. Peranannya sebagai penyangga kehidupan, khususnya fungsi perlindungan hidro-orologis dan iklim bagi wilayah sekitarnya seperti Kabupaten Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan DKI Jakarta (Heriyanto 2007).

Keanekaragaman hayati di TNGGP salah satunya jenis tumbuhan berkayu yaitu dari famili Fagaceae.

Salah satu anggota famili Fagaceae yang merupakan penghasil kayu dan non kayu adalah Castanopsis argentea (Blume) atau saninten. Kayu saninten sering dimanfaatkan sebagai bangunan rumah di Jawa Barat dan kulit batang saninten dapat digunakan sebagai pewarna alami pada rotan. Selain itu biji saninten juga bisa dijadikan bahan makanan untuk dikonsumsi manusia, biasanya dimanfaatkan sebagai bahan makanan dengan cara direbus atau dibakar, dan juga saninten merupakan makanan bagi satwa liar seperti babi hutan dan jenis primata (Wiranto 2005).

Saat ini secara alami pohon saninten lebih banyak tumbuh di hutan lindung. Pengembangan jenis ini sebagai hutan tanaman atau agroforestry di luar penyebaran alaminya (konservasi plasma nutfah ex situ) tampaknya dapat mengurangi tekanan terhadap hutan lindung tersebut. Artinya perlu dilakukan konservasi terhadap jenis ini baik secara in situ maupun ex situ.

dibudidayakan, sedangkan penelitian mengenai ekologi dan populasi saninten di alam belum banyak dilakukan. Untuk keperluan ini perlu informasi mengenai penyebaran alami saninten demi keperluan pengembangannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pola penyebaran jenis saninten (Castanopsis argentea

Blume), regenerasi serta kondisi tempat tumbuh jenis saninten yang berada di Resort Selabintana, Taman Nasioanal Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat.

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2015 sampai dengan bulan Januari 2016 di kawasan Resort Selabintana, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Secara geografis lokasi penelitian terletak diantara 106°57’41” BT dan 06°50’50” LS. Lokasi pengamatan berada pada Lokasi 1 (1100 m dpl) dan Lokasi 2 (1300 m dpl).

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, peta kerja atau peta lokasi penelitian, pita ukur 30 meter, phiband meter, GPS, haga hypsometer, kompas, tali rafia dan tambang, kantong plastik besar, cangkul, golok, spidol, kamera digital, laptop yang dilengkapi

(2)

digunakan dalam penelitian berupa tegakan hutan di Resort Selabintana yang dibagi dalam dua lokasi yaitu pada Lokasi 1 dan Lokasi 2.

Prosedur Penelitian Tahap Persiapan

Studi literatur, pengurusan izin administrasi penelitian di Tata Usaha Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB kemudian ke kantor Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, pengumpulan data sekunder serta persiapan peralatan dan bahan dalam rangka pengambilan data lapangan.

Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data vegetasi, data parameter pengukuran di lapangan dan data tanah. Data vegetasi meliputi data pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah. Data semai, pancang, dan tumbuhan bawah diambil nama jenis dan jumlah individunya, sedangkan untuk data tiang dan pohon diambil nama jenis, jumlah individu, serta diukur diameter setinggi dada (dbh) dan tinggi totalnya. Contoh tanah yang diambil adalah contoh tanah terusik atau contoh tanah komposit yang diambil pada kedalaman 0-20 cm. Adapun data sekunder yang dikumpulkan yaitu berupa berbagai dokumen yang terkait dengan posisi letak areal penelitian, kondisi umum Resort Selabintana.

Analisis Vegetasi

Pengamatan data lapangan dilakukan dengan menggunakan teknik analisis vegetasi berupa kombinasi antara jalur dan garis berpetak dengan memotong kontur. Jalur tersebut kemudian dibagi menjadi petak besar yang mengandung petak-petak yang lebih kecil (Soerianegara dan Indrawan 1998). Metode pengambilan data yang dilakukan untuk analisis vegatasi disajikan pada Gambar 1.

Analisis data dilakukan dengan 20 m

20 m

Ket: Ilustrasi metode pengambilan data untuk analisis vegetasi (A) petak 20 m x 20 m untuk pengamatan tingkat pohon, (B) petak 10 m x 10 m untuk pengamatan tingkat tiang, (C) petak 5 m x 5 m untuk pengamatan tingkat pancang dan (D) petak 2 m x 2 m untuk pengamatan tingkat semai dan tumbuhan bawah.

Gambar 1 Sub petak untuk analisis vegetasi

Analisis data Indeks Nilai Penting (INP)

Indeks nilai penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan komposisi jenis dan dominansi suatu jenis di suau tegakan. Nilai INP dihitung dengan menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi relatif (DR) (Soerianegara dan Indrawan 2002). 1. Kerapatan (K) =

(

) 2. Kerapatan Relatif (KR) = x 100% 3. Frekuensi (F) = 4. Dominansi (D) =

(

) 5. Dominansi Relatif (DR) = x 100%

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR

(untuk tingkat semai, pancang, dan tumbuhan non pohon)

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan pohon)

Indeks Dominansi (C)

Indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis di dalam komunitas untuk menentukan dimana dominansi dipusatkan (Soerianegara dan Indrawan 2002). Indeks dominansi ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

C = ∑(ni/N)2

Ket : C = Indeks Dominansi Ni = INP Tiap jenis N = Total INP seluruh jenis

Indeks Kekayaan Jenis Margalef (R1)

Untuk mengetahui besarnya kekayaan jenis digunakan indeks Margalef (Ludwig dan Reynold 1988):

R1 =

( )

Ket : R1 = Indeks kekayaan jenis Margalef

S = Jumlah jenis N = Jumlah total individu

Keanekaragaman Jenis (H’)

Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener sebagai berikut :

H’ = -

(

ln ) a

b

c

d

(3)

Ket: H’ =Indeks Keanekaragaman Shanon Wiener ni = INP jenis ke-i

N = Total INP

Kemerataan Jenis (E)

E =

( )

Ket : E = Indeks kemerataan jenis H’ = Indeks keanekaragaman jenis S = Jumlah jenis

Indeks Penyebaran Jenis

Hulrbert (1990) menyatakan bahwa indeks Morisita merupakan salah satu indeks penyebaran terbaik. Pola penyebaran suatu jenis tumbuhan dapat diketahui dengan menggunakan Indeks Morishita (I ) sebagai berikut (Hidayati 2010) :

I = q x ( )

( )

Ket : I = Indeks Morishita

Xi = Jumlah individu tiap petak q = Jumlah petak pengamatan T = Total individu seluruh petak

Jika: I = 1, maka pola penyebaran suatu individu suatu jenis acak (ramdom)

I < 1, maka pola penyebaran individu suatu jenis merata (uniform)

I > 1, maka pola penyebaran individu suatu jenis mengelompok (clump).

Analisis Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Analisis sifat fisik yang diamati di lapang meliputi tekstur, plastisitas dan warna tanah. Penentuan tekstur tanah dilakukan dengan metode finger assessment. Sifat kimia tanah yang diamati meliputi pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Nitrogen Total.

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jenis dan Struktur Tegakan

Komposisi dan struktur pada lokasi penelitian ditunjukkan dengan ditemukannya jumlah jenis yang beranekaragam. Jumlah jenis tingkat tiang pada lokasi 2 memiliki jumlah terkecil, yaitu sebanyak 13 jenis, sedangkan jumlah jenis terbesar yaitu pada habitus tumbuhan bawah, pada lokasi 1 sebanyak 39 jenis. Semai termasuk tingkat pertumbuhan yang banyak

ditemukan yaitu sebesar 31 jenis pada lokasi 1 dan 20 jenis pada lokasi 2.

Hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan di dua ketinggian pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah seluruh jenis masing-masing tingkat pertumbuhan vegetasi yang ditemukan pada variasi posisi topografi

No Tingkat Pertumbuhan Jumlah Jenis Lok 1 Lok 2 1 Tumbuhan Bawah 39 12 2 Semai 31 20 3 Pancang 35 23 4 Tiang 24 13 5 Pohon 33 20

Ket: Lok 1= lokasi 1, Lok 2= lokasi 2

Jumlah jenis tumbuhan sejalan dengan nilai kerapatan jenis. Hasil perhitungan kerapatan antara jenis saninten dengan jenis non saninten disajikan pada Tabel 2.

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa tingkat pertumbuhan semai memiliki nilai kerapatan tertinggi baik pada jenis saninten maupun jenis non saninten pada kedua ketinggian. Lokasi yang memiliki nilai kerapatan tertinggi terdapat pada lokasi 1, baik pada jenis saninten maupun jenis non saninten. Lokasi 1 memiliki kerapatan semai saninten sebesar 1200 ind/ha dan non saninten 15500 ind/ha. Kerapatan terendah terdapat pada tingkat pohon baik jenis saninten maupun non saninten, hal ini karena jumlah pohon juga sedikit ditemukan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa kerapatan jenis saninten kecil pada lokasi 2 dibanding lokasi 1. Wibowo (2008) menyebutkan bahwa dominansi relatif saninten menurun sejalan dengan meningkatnya elevasi. Hal ini sesuai dengan kategorisasi bahwa Saninten termasuk vegatasi sub montana (1000 – 1500 m dpl) sehingga pada elevasi diatas titik tengah kisaran tersebut yaitu kira-kira 1250 m dpl, keberadaan saninten menurun, hal ini berarti saninten menjauhi habitat optimum. Menurut Heyne (1978) keberadaan saninten ada antara elevasi 200-1600 m dpl, yang artinya elevasi optimum dari saninten berada lebih rendah lagi dari 1250 m dpl sehingga dapat dijelaskan lagi kenapa dengan meningkatnya elevasi keberadaan saninten makin menurun.

Dominansi jenis dapat digambarkan oleh nilai luas bidang dasar, volume atau menghitung indeks nilai penting. Penelitian ini menghitung indeks nilai penting untuk mengetahui jenis-jenis yang mendominasi di areal penelitian. Hasil pengolahan data INP tertinggi di lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 2 Kerapatan jenis non sanintendan saninten pada masing-masing tingkat pertumbuhan.

Lokasi 1 Lokasi 2

Tingkat Pertumbuhan Saninten (ind/ha) Non Saninten (ind/ha) % Saninten Saninten (ind/ha) Non Saninten (ind/ha) % Saninten 1 Semai 1 200 15 500 7.19 1 000 15 100 6.21 2 Pancang 208 2 880 6.74 128 2 880 4.26 3 Tiang 48 324 12.90 24 260 8.22 4 Pohon 33 179 15.57 17 253 6.30

(4)

Tabel 3 Tiga jenis INP tertinggi pada variasi posisi topografi

Tingkat

Pertumbuhan Lokasi 1 INP (%) Lokasi 2 INP (%)

Semai Brugmansia suaveolens 29.09 Schima wallichii 38.00

Castanopsis argentea 17.85 Decaspermum fruticosum 24.28

Timonius sp. 12.38 Saurauia bracteosa 19.94

Pancang Brugmansia suaveolens 31.94 Schima wallichii 41.23

Timonius sp. 18.57 Decaspermum fruticosum 20.64 Castanopsis argentea 13.28 Phoebe grandis 18.51

Tiang Schima wallichii 49.58 Schima wallichii 78.55

Castanopsis argentea 37.61 Phoebe grandis 48.36 Lithocarpus elegans 25.72 Neolitsea cassiaefola 40.19

Pohon Castanopsis argentea 46.78 Schima wallichii 81.52

Schima wallichii 44.12 Neolitsea cassiaefola 42.45 Altingia excelsa 24.29 Altingia excelsa 39.89

Tabel 4 Nilai indeks E, H’ dan R

No Tingkat Pertumbuhan Jumlah Jenis E H' R

Lok 1 Lok 2 Lok 1 Lok 2 Lok 1 Lok 2 Lok 1 Lok 2

1 Tumbuhan bawah 39 12 0.847 0.861 2.880 2.140 4.499 1.563

2 Semai 31 20 0.897 0.875 3.079 2.622 5.862 3.357

3 Pancang 35 23 0.880 0.864 3.127 2.711 6.461 3.786

4 Tiang 24 13 0.893 0.843 2.837 2.163 5.074 2.797

5 Pohon 33 20 0.856 0.779 2.994 2.334 2.994 3.394

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa lokasi 1 tingkat semai dan pancang dengan INP tertinggi adalah jenis kecubung (B. suaveolens) dengan nilai INP berturut-turut sebesar 29.09% dan 31.94%. Pada tingkat tiang yang mendominasi adalah S. wallichii dengan INP 48.58% dan tingkat pohon didominasi sanintendengan INP 46.78%. Jenis kecubung (B. suaveolens) dan sulibra (Timonius sp.) merupakan jenis yang termasuk pada tiga INP terbesar tingkat semai dan pancang pada lokasi 1. Berdasarkan pengamatan di lapang, kedua jenis ini memiliki penyebaran yang luas dan dapat dengan mudah dijumpai sepanjang perjalanan menuju lokasi pengamatan. Pada lokasi 2 nilai INP terbesar berturut-turut yaitu 38.00%, 41.23%, 78.55% dan 81.52%. Menurut Wibowo (2008) jenis puspa cenderung meningkat dengan meningkatnya elevasi. Nilai dominansi yang didapat pada kedua lokasi penelitian jauh dari angka 1 atau mendekati nol, maka pada kedua lokasi penelitian tegakan yang diamati tidak terjadi pemusatan jenis atau dengan artian terdapat jenis yang mendominasi secara bersama-sama.

Tabel 4 menyajikan nilai indeks kemerataan jenis (E), nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) dan nilai indeks kekayaan jenis (R) pada berbagai tingkat pertumbuhan di dua lokasi penelitian. Nilai kemerataan (E) jenis setiap tingkat pertumbuhan memiliki nilai yang tinggi yaitu dengan rata-rata 0.8 pada kedua lokasi penelitian. Nilai indeks kemerataan ini menunjukkan bahwa spesies-spesies yang ada di lokasi penelitian hanya terdiri dari jenis yang sama yang mendominasi seluruh areal. Dengan artian bahwa kondisi lokasi penelitian semua sama dan mendukung untuk beberapa jenis saja sehingga jenis tersebut dapat tumbuh atau ditemukan di seluruh areal yang diamati. Nilai kemerataan kategori tinggi karena berada pada selang 0.6 – 1. Nilai biodiversitas disajikan dalam Tabel 4.

Pada Tabel 4 dapat terlihat nilai R bervariasi dan masuk dalam kategori R yang bervariasi pula. Kekayaan

jenis menunjukkan banyaknya jumlah jenis dalam suatu komunitas. Nilai R tertinggi di lokasi 1 terdapat pada tingkat pancang sebesar 6.641 dan terendah tingkat pohon sebesar 2.994. Sedangkan di lokasi 2 nilai R tertinggi yaitu tingkat pancang juga yaitu 3.78 namun masuk kategori sedang dan nilai R terendah ditingkat tiang 2.797 dan termasuk kategori rendah. Hasil indeks keanekaragaman jenis menunjukkan bahwa rata-rata nilai H’ pada kedua lokasi penelitian memiliki nilai sedang. Kisaran nilai H’ yaitu 2.0-3.0.

Regenerasi Alami Struktur Vertikal

Kelas strata yang ditemukan pada lokasi 1 jenis sanintenhanya memiliki 2 strata, yakni strata B sebesar 13 ind/ha dan strata C sebesar 23 ind/ha. Jenis non saninten pada lokasi 1 memenuhi semua strata tajuk A, B dan C. Kerapatan pohon secara berturut-turut yaitu sebesar 3, 29 dan 143 ind/ha. Artinya lokasi penelitian pada lokasi 1 sudah mewakili kriteria hutan alam karena sudah memenuhi strata standar yang ada di hutan alam. Sedangkan lokasi 2 baik untuk jenis saninten maupun jenis non saninten hanya memiliki 2 strata saja yaitu strata B dan C.

Distribusi vertikal tingkat pohon di kedua lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Apabila dibandingkan dengan lokasi 2 maka sebaran tinggi jenis saninten lebih sedikit dibandingkan lokasi 1. Misalnya pada strata C kerapatan pada lokasi 1 sebesar 23 ind/ha namun pada lokasi 2 hanya 13 ind/ha. Artinya jenis saninten cenderung baik pertumbuhannya di elevasi yang lebih rendah.

Nilai kerapatan dapat menggambarkan kaidah umum dalam hutan alam tentang strukur tegakan hutan. Perhitungan kerapatan pada kedua lokasi penelitian disajikan pada Gambar 4.

(5)

Gambar 2 Distribusi vertikal tingkat pohon lokasi 1

Gambar 3 Distribusi vertikal tingkat pohon lokasi 1

Gambar 4 Kerapatan tegakan per hektar di lokasi pengamatan di lokasi 1 dan lokasi 2

Kerapatan tegakan pada semua tingkat pertumbuhan menggambarkan bentuk grafik cenderung seperti huruf “J” terbalik yang artinya jumlah batang persatuan luas berturut-turut menurun dengan semakin bertambahnya ukuran diamater batang. Hal ini sudah menunjukkan kaidah umum dalam hutan tentang strukur tegakan hutan. Jenis saninten pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon pada lokasi 1 berturut-turut sebesar 1200 ind/ha, 208 ind/ha, 48 ind/ha dan 33 ind/ha, sedangkan lokasi 2 berturut-turut sebesar 1000 ind/ha, 128 ind/ha, 24 ind/ha dan 17 ind/ha.

Struktur Horizontal Tegakan

Gambar 5 dan 6 hubungan kerapatan dengan diameter menunjukkan sudah cenderung normal bertendensi “J” terbalik, baik dari jenis saninten maupun non saninten. Namun pada kelas diameter 50-79 cm jenis saninten tidak ditemukan hal ini diduga karena

adanya persaingan. Secara alamiah, persaingan mengakibatkan terjadi pengurangan jumlah individu yang bertahan pada setiap kelas diameternya.

Gambar 5 Sebaran diameter batang jenis saninten dan non saninten untuk tingkat pohon lokasi 1

Gambar 6 Sebaran diameter batang jenis saninten dan non sanintenuntuk tingkat pohon di lokasi 2

Potensi Tegakan

Pada Tabel 5 tampak bahwa jenis saninten pada setiap kelas diameter memiliki volume yang berbeda-beda. Perbedaan volume pohon dipengaruhi juga oleh tinggi pohon maka dari itu terdapat variasi volume pada kelas diameter. Dilihat pada Tabel 5 dapat dikatakan jenis saninten memiliki volume yang lebih besar pada lokasi 1 dibanding lokasi 2. Jenis saninten di lokasi 1 pada kelas diameter 20-39 cm memiliki volume 32.2 m3/ha sedangkan pada lokasi 2 hanya 9.03 m3/ha.

Volume terkecil di lokasi 1 berada pada kelas diamater 20-39 cm. Ketinggian tempat merupakan faktor yang menentukan ketepatan tempat bagi habitat untuk suatu jenis vegetasi. Data potensi disajikan pada Tabel 5.

Sebaran dan Kondisi Tempat Tumbuh Saninten Penyebaran jenis saninten

Tabel 6 menunjukkan pola distribusi individu jenis saninten pada kedua lokasi penelitian baik pada lokasi 1 maupun lokasi 2. Penyebaran mengelompok sesuai pernyatan Natalia et al (2014), teori yang berkembang bahwa sebaran organisme di alam jarang ditemukan dalam pola seragam atau teratur, tetapi umumnya mempunyai pola penyebaran yang mengelompok, kecendrungan individu mengelompok atau berkumpul 143 29 3 23 13 0 0 100 200 8 ≤ T < 20 20 ≤ T < 30 > 30 Kerapatan (ind/ha) Stra ta Saninten Non-saninten 13 4 0 163 90 0 0 50 100 150 200 8≤T<20 20≤T<30 > 30 Kerapatan (ind/ha) Stra ta 16700 3088 372 212 16100 3008 284 270 1200 208 48 33 1000 128 24 17 0 5000 10000 15000 20000

Semai Pancang Tiang Pohon

Ker ap atan ( in d /h a) Tingkat Pertumbuhan Lokasi 1 Lokasi 2

Lokasi 1 (saninten) Lokasi 2 (saninten)

18 14 0 0 1 134 40 4 1 1 0 20 40 60 80 100 120 140 160 20≤D≤39 39<D≤59 59<D≤79 79<D≤99 D>99 K er ap ata n ( ind /ha) Kelas Diameter (cm) 15 1 0 0 0 188 56 9 0 0 0 50 100 150 200 20≤D≤39 39<D≤59 59<D≤79 79<D≤99 D>99 Ker ap atan ( in d /h a) Kelas Diameter Ket: Ket: Saninten Non Saninten Ket: C. argentea Non C. argentea Ket: C. argentea Non C. argentea

(6)

karena mencari kondisi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan hidup dan adanya interaksi yang saling menguntungkan. Pola penyebaran saninten dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Nilai Indeks Morishita saninten pada setiap lokasi penelitian

Lokasi Penelitian Indeks Morishita Kategori

Lokasi 1 1.68 Mengelompok

Lokasi 2 1.29 Mengelompok

Selanjutnya untuk mengetahui apakah penyebaran jenis saninten benar-benar berkelompok atau tidak, maka dilakukan uji lanjut dengan membandingkan nilai F hit dengan F tabel. Berdasarkan hasil uji F hit, nilai F hit > F tabel. Nilai F hit yaitu 2.68 dan 2.29 dengan nilai F tabel 1.98 pada selang kepercayaan 95%. F hit > F tabel maka dapat dikatakan bahwa pola penyebaran jenis sanintennyata mengelompok.

Berdasarkan perhitungan Indeks Morishita pada berbagai tingkat pertumbuhan, menunjukkan kategori yang berbeda. Penyebaran jenis saninten di lokasi 2 cenderung rata (uniform). Sedangkan pola penyebaran jenis saninten di lokasi 1 cenderung mengelompok (clump). Jenis saninten pada semua tingkat pertumbuhan di lokasi 2 sulit ditemukan sehingga dikatakan penyebarannya rata.

Kondisi Tempat Tumbuh

Pola penyebaran jenis saninten juga dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh dan adanya interaksi jenis. Terdapat perbedaan suhu udara di kedua ketinggian tersebut disebabkan oleh keberadaan vegetasi dan pengaruh ketinggian. Pada lokasi 1 (1100 m dpl) suhu udara rata-rata yaitu sebesar 20.44°C. Adapun rata-rata suhu udara di lokasi 2 (1300 m dpl) lebih rendah dari rata-rata suhu di lokasi 1 yaitu 19.94°C. Kadarsih (2004) menjelaskan bahwa semakin tinggi letak suatu daerah dari atas permukaan laut, maka semakin rendah suhu udara rata-rata hariannya.

Menurut Wibowo (2006) berkaitan dengan keberadaan saninten, jenis ini ditemukan di hutan primer atau sekunder tua, biasanya pada tanah kering dan subur. Berdasarkan pengamatan di lapang, jenis saninten banyak ditemukan pada lokasi 1. Petak pengamatan pada lokasi 1, saat pengambilan sampel tanah banyak mengandung batuan. Hal ini sejalan dengan penelitian Wibowo (2006) yang menunjukkan

bahwa saninten cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan batu, dan menurun sejalan dengan meningkatnya elevasi.

Sanintencenderung lebih banyak tumbuh di tempat kandungan batunya relatif tinggi, sehingga bisa disimpulkan bahwa saninten adalah spesies yang toleran terhadap kandungan batu yang tinggi dalam tanah. Berdasarkan hasil analisis regresi berganda hubungan antara peubah jumlah pohon saninten dan sifat fisik lingkungan (ketinggian, suhu, KTK dan N total). Setelah dilakukan perhitungan, didapatkan model persamaan regresi linear berganda di kedua lokasi ketinggian sebagai berikut:

Y = - 11.2 – 0.0065 X1 + 1.40 X2 + 0.081 X3 – 5.44 X4 R2 = 61.5%

Dimana :

Y = Jumlah pohon saninten per petak X3 = KTK (Cmol.Kg-1)

X1 = Ketinggian (m dpl) X4 = N total (%) X2 = Suhu (C)

Nilai R2 yang didapat yaitu 61.5% dianggap persamaan yang cukup baik digunakan. Nilai koefisien determinasi menunjukkan bahwa sebesar 61.5% keberadaan saninten dipengaruhi oleh parameter faktor lingkungan yang diujikan berupa ketinggian, suhu, KTK dan N tot, sisanya sebesar 38.5% ditentukan oleh faktor-faktor lain diluar parameter tersebut. Faktor-faktor-faktor lain diluar parameter tersebut yang tidak diuji misalnya kelerengan, intensitas cahaya, kadar P tersedia sebagaimana yang diungkapkan Wibowo (2006) saninten cenderung menurun dengan meningkatnya kadar P tersedia.

Pada formula hubungan antara jumlah pohon saninten dengan sifat-sifat lingkungan tempat tumbuh saninten, menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah pohon saninten dengan ketinggian adalah negatif, artinya semakin tinggi ketinggian tempat jumlah saninten semakin turun. Hubungan antara jumlah saninten dengan suhu dan KTK adalah positif artinya semakin naik suhu maka jumlah saninten semakin banyak pula. Hasil ini memperkuat bahwa jenis saninten banyak tumbuh pada elevasi rendah.

Tabel 5 Potensi tegakan di kedua lokasi penelitian

Kelas Diameter

Lokasi 1 Lokasi 2

Saninten Non Saninten Saninten Non Saninten

N/ha V/ha N/ha V/ha N/ha V/ha N/ha V/ha

20≤D≤39 18 32.2 134 241.7 15 9.03 188 149.85 39<D≤59 14 137.9 40 323.2 1 1.88 56 123.78 59<D≤79 0 0 4 59.7 0 0 9 32.16 79<D≤99 0 0 1 45.5 0 0 0 0 D>99 1 112.4 1 100.5 0 0 0 0 Total 33 282.5 180 770.6 16 10.91 253 305.79

(7)

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Nilai keanekaragaman (H’) pada lokasi 1 tergolong tinggi untuk tingkat semai dan pancang yaitu sebesar 3.079 dan 3.127 sementara pada lokasi 2 tergolong sedang. Nilai dominansi (C) jauh dari 1 atau mendekati nol. Nilai kekayaan (R) pada lokasi tergolong rendah hingga tinggi. Kekayaan tinggi pada tingkat pertumbuhan semai dan pancang yaitu berturut-turut sebesar 5.862 dan 6.461 di ketinggian bawah. Nilai kemerataan (E) pada lokasi kategori tinggi karena berada pada selang 0.6 – 1. Pola penyebaran saninten pada kedua lokasi penelitian adalah mengelompok (clump). Hasil Indeks Morishita pada lokasi 1 dan lokasi 2 berturut-turut sebesar 1.68 dan 1.29. Saninten banyak ditemukan pada petak yang berbatu, sehingga dapat dikatakan saninten merupakan jenis yang toleran terhadap kandungan batu. Keberadaan saninten cenderung menurun dengan meningkatnya elevasi dan saninten cenderung dapat tumbuh baik pada tanah yang subur dan kering.

Saran

Penelitian ini diharapkan menjadi informasi dasar bagi pengelolaan kawasan Resort Selabintana dan bagi pihak yang ingin mengembangkan jenis saninten mengingat manfaat saninten cukup banyak. Saninten merupakan jenis tumbuhan asli setempat yang perlu dibudidayakan baik secara in situ maupun ex situ agar keberadaan saninten dijamin tetap ada dan sebaiknya pada ketinggian 1 100 m dpl karena penyebarannya dan pertumbuhannya paling baik.

DAFTAR PUSTAKA

[GBIF] Global Biodiversity Information Facility. 2015.

Castanopsis argentea (Blume) A.DC. [diunduh 2016 Juni 16]. Tersedia pada: http//: www.gbif.org. Heriyanto NM, Sawitri S, Subandinata D. 2007. Kajian

ekologi permudaan saninten (Castanopsis argentea

(BL.) A.DC.) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah. 13(1): 34-42.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia II. Jakarta (ID): Badan Litbang Departemen Kehutanan. Hidayati, T. 2010. Studi potensi dan penyebaran

Tengkawang (Shorea spp.) di IUPHHK-HA PT. Intracawood Manufacturing Propinsi Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hulrbert SH. 1990. Spatial distribution of the montane unicorn. Oikos. 58: 257-271.

Kalfuadi Y. 2009. Analisis Temperatur Heat Index (THI) dalam hubungannya dengan ruang terbuka hijau (studi kasus: Kabupaten Bungo – Propinsi Jambi) [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB.

Soerianegara I, Indrawan A. 1998. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Soerianegara I, Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Wibowo C. 2006. Hubungan Antara Keberadaan Saninten (Castanopsis argentea Blume) dengan Beberapa Sifat Tanah: Kasus di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Wiranto T. 2005. Preferensi ekologis (kesukaan akan tempat tumbuh) dari jenis Saninten (Castanopsis argentea Blume) dan spesies-spesies asosiasinya di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Gambar

Gambar 1  Sub petak untuk analisis vegetasi
Tabel  2  menunjukkan  bahwa  kerapatan  jenis  saninten kecil pada lokasi 2 dibanding lokasi 1
Tabel 3 Tiga jenis INP tertinggi pada variasi posisi  topografi  Tingkat
Tabel 5 Potensi tegakan di kedua lokasi penelitian  Kelas Diameter

Referensi

Dokumen terkait

Valbury Asia Securities or their respective employees and agents makes any representation or warranty or accepts any responsibility or liability as to, or in relation to, the

Kebanyakan tipe ADC menggunakan proses multi tingkat dalam konversinya sehingga sinyal analog yang diubah tidak muncul menjadi digital dengan spon- tan.. Biasanya, butuh waktu

Berdasarkan hasil pengujian dari ketiga algoritma tersebut, Huffman Modifikasi jauh lebih baik untuk waktu yang diperlukan dalam sekali melakukan kompresi. Selain itu

Results: There was a significance difference between the mean distance of the inferior orbital margin to the infra orbital foramen and the inferior orbital margin to the

Setelah suhu preheat telah tercapai sesuai dengan yang ditentukan pada Tabel 1 maka dilanjutkan dengan proses pengelasan seperti pada Gambar 4 yang sesuai dengan

Riap diameter rata-rata untuk masing-masing kelompok jenis adalah sebesar 0.556 cm/tahun untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae dan 0.539 cm/tahun untuk kelompok jenis Non

Untuk mengetahui pengaruh Debt to Equity Ratio dan Return On Assets secara simultan terhadap nilai perusahaan pada sub sektor plastik dan pengemasan yang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 164 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan untuk mendukung