• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang mengganggu manusia dan umumnya menyerang kelompok masyarakat dengan sosio ekonomi rendah, menular dengan cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh lemah. Diperkirakan, seorang penderita TB aktif dapat menularkan basil tuberkulosis kepada 10 - 15 orang di sekitarnya. Peningkatan kasus dan kematian disebabkan karena: tidak diobati; tidak mengerti telah terinfeksi basil tuberkulosis; angka cakupan yang rendah; cakupan tinggi, tetapi hasil pengobatan rendah; serta adanya kasus baru akibat transisi demografi (Girsang, 2002).

Indonesia termasuk tertinggi kelima kasus TB di dunia. Ekspansi DOTS (directly observed treatment short-course) telah memberikan peningkatan signifikan pada keberhasilan pengobatan. World Health Organization (WHO) telah membuat rincian daftar 10 besar negara untuk perkiraan kejadian TB tahun 2013, Indonesia menduduki urutan ke 5 setelah India, China, Nigeria dan Pakistan. Pada tahun 2013, 6,1 juta kasus tuberkulosis yang dilaporkan, dari jumlah tersebut, 5,7 juta adalah orang-orang yang baru didiagnosis, dan 0,4 juta yang sudah mendapat pengobatan. Tingkat keberhasilan pengobatan pada baru BTA (+) adalah 86% untuk kelompok pasien yang terdaftar pada tahun 2012 (WHO, 2015). Di Australia, ada 188 TB BTA (+) positif di antara 802.087 anggota kelompok DM dan 130 kasus TB di antara 273.023 orang yang menggunakan insulin (Dobler et al., 2012). Prevalensi DM di antara pasien TB, dari 737 pasien TB paru di Jakarta terdapat 17,1% dan di Bandung 11,6%, 57 pasien (61,3%) termasuk DM tipe 2 (Alisjahbana, et al., 2007).

Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan kronis metabolisme glukosa dengan konsekuensi klinis yang serius. Klasifikasi etiologi dibagi 2 jenis utama, yaitu: tipe 1 dan tipe 2 (Forouhi, 2010). Beban CNCDs (chronic non communicable diseases) diproyeksikan naik akibat DM dan menyebabkan

(2)

penurunan produktivitas ekonomi (Daar et al., 2007). Perkiraan prevalensi tahun 2010 hingga 2030, pada orang dewasa meningkat 69% di negara berkembang dan meningkat 20% di negara maju (Shaw et al., 2010). Hal ini menjadi beban di wilayah dengan kemiripan geografi, etnis, dan ekonomi (Whitinga et al., 2011). Tren global cenderung terjadi pada usia yang lebih muda (Bruno, 2011). Strategi nasional untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, standar perawatan dan program pencegahan primer sangat dibutuhkan (Ramachandran et al., 2010). Indonesia menduduki peringkat ke 4 dunia dalam daftar 10 negara dengan jumlah perkiraan kasus DM tertinggi di tahun 2000 hingga 2030 (Wild et al., 2004). Strategi pencegahan melalui pendekatan kebijakan publik melibatkan peran dari aspek sosial ekonomi berpengaruh terhadap prevalensi DM (Panaitescu, 2011). DM Map menggunakan terobosan teknologi informasi untuk menyajikan data kependudukan dengan prevalensi kasus di Australia. Hasilnya menunjukkan jumlah yang terdiagnosis di seluruh wilayah dengan penyajian informasi usia, jenis kelamin dan jenisnya. Pemetaan ini merupakan alat yang bisa dijadikan referensi dinamis bagi seluruh masyarakat, profesional kesehatan, pembuat kebijakan dan peneliti untuk membantu pemahaman tentang DM (NDSS Australia, 2013).

TB dan DM, keduanya menjadi masalah kesehatan. Hubungan 2 arah keduanya telah banyak dibuktikan, dan lebih menonjol di negara endemik TB dengan beban DM terus meningkat. Hubungan tersebut dapat menjadi tantangan untuk penanggulangan TB secara global. Perencanaan yang tepat dan kolaborasi diperlukan untuk mengurangi beban ganda tuberkulosis dan diabetes (Baghaei et al., 2013). Hubungan antara keduanya telah terbukti. DM merupakan faktor risiko TB dan dapat mempengaruhi keberadaan penyakit serta respon terhadap pengobatan. Selain itu, tuberkulosis dapat menyebabkan intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol glikemik pada penderita DM (Dooley & Chaisson, 2009). Insiden DM di dunia meningkat, terutama di negara-negara berkembang di tempat TB paling umum terjadi (Nijland, et al., 2006), konvergensi 2 epidemi ini paling mungkin terjadi di tempat dengan jumlah sumber daya kesehatan yang sedikit. DM adalah faktor risiko independen untuk semua infeksi saluran pernapasan

(3)

bawah (Winterbauer et al., 1969). DM diperkirakan meningkatkan risiko TB 1,5-7,8 kali lipat. Meskipun TB lebih sangat terkait dengan penyakit defisiensi imun lainnya seperti HIV, tetapi jumlah orang dengan diabetes jauh lebih besar. Hal tersebut membuat DM merupakan faktor risiko yang lebih signifikan untuk TB pada tingkat populasi (Restrepo, 2007).

Analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis (SIG) banyak dimanfaatkan di bidang kesehatan, yang dapat membantu mengidentifikasi disribusi dan clustering kasus penyakit, daerah yang berisiko tinggi, serta mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhinya, sehingga dapat membantu upaya pengendalian penyakit (Tiwari et al., 2006). SIG dapat membantu dalam mendukung pengambilan keputusan dengan waktu singkat dan biaya yang relatif sedikit dalam hal pengelolaan sumber daya kesehatan, pemantauan epidemiologi dan pengendalian penyakit (Mesgari & Masoomi, 2008). Analisis spasial merupakan analisis epidemiologi yang bermanfaat dalam memahami transmisi tuberkulosis (Munch et al., 2003). Analisis spasial dengan SIG merupakan perangkat yang mampu mendeteksi area dengan risiko tinggi, sehingga dapat mengindikasikan tindakan terbaik untuk pencegahan dan pengendaliannya (Alvarez-Hernandez et al., 2010).

Wilayah Kabupaten Kulon Progo memiliki dataran tinggi, perbukitan dan dataran rendah. Topografi tersebut berpengaruh terhadap kualitas kesehatan, baik kualitas manusia maupun lingkungannya (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, 2014a). Rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Kulon Progo 734 jiwa/km², rata-rata jumlah anggota per keluarga 4 jiwa. Kecamatan terpadat adalah Wates, dengan rata-rata kepadatan per kilometer persegi 1.476 jiwa, sedangkan terendah di Samigaluh, dengan rata-rata kepadatan 414 jiwa/km² (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, 2014a). Jumlah UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) pelaksana DOTS sebanyak 25 unit. Jumlah semua UPK dalam kabupaten/kota sebanyak 25 unit. Jumlah penduduk kabupaten/kota yang terdaftar dalam tahun ini sebanyak 430,488 orang. Kejadian TB paru bakteri tahan asam (BTA) (+) berhubungan dengan jarak sarana pelayanan kesehatan, rata-rata berjarak 2,26 km (Kusugiharjo, 2007). Pelayanan kesehatan dasar tidak mencapai

(4)

mayoritas penduduk karena kurang aksesibilitas secara geografis (Rahmana & Smith, 2000). Tingkat sentralisasi layanan, lokasi pasien dengan jarak sarana pelayanan kesehatan dan kebutuhan untuk penyediaan pelayanan kesehatan menunjukkan relevansi untuk pengambilan keputusan ketika memilih lokasi untuk layanan pasien (Syam & Cote, 2010). Prevalensi DM lebih tinggi di perkotaan dan terendah di wilayah pedesaan (Mohan, et al., 2008). Dalam perbandingan pada peta, terlihat jelas "hot spot" pada wilayah berpenghasilan rendah di perkotaan dan pedesaan (Stevens et al., 2014).

Penyakit TB di Kabupaten Kulon Progo masih menjadi masalah kesehatan, karena menyerang semua kelompok, persentase tertinggi pada kelompok umur produktif. Penemuan dengan BTA masih rendah. Tahun 2013, dari data puskesmas menunjukkan 118 kasus baru dan 142 kasus dengan CNR (case notification rate) BTA (+) baru, sebesar 27,41 per 100.000 penduduk. Kesembuhan 80,82% dan success rate 82,19% (berdasarkan 73 penderita yang diobati tahun 2013 sebanyak 59 orang sembuh). Data tahun 2014 menunjukkan kasus TB sebanyak 211 orang, dengan rincian: TB ekstra paru sebanyak 15 orang, penderita TB paru dengan alamat di luar wilayah Kulon Progo sebanyak 22 orang (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, 2014a).

TB paru di wilayah Kulon Progo sebanyak 174 kasus, dengan rincian: TB paru BTA (+) sebanyak 135 orang, kasus TB paru BTA (-) sebanyak 39 orang. TB paru dengan riwayat DM sebanyak 16 orang, pasien TB paru pengobatan ulang terdapat 8 kasus kambuh, 4 kasus lalai, 5 kasus gagal, dan 0 kasus kronik (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, 2014a). Data TB paru dengan riwayat DM diperoleh dengan melakukan pengecekan di TB 01 dan rekam medis pasien untuk keberadaan data DM, yakni hasil ukur pada tes dan yang pemeriksaan yang menunjukkan hasil kadar gula dalam darah, gula darah puasa (GDP) atau gula darah sewaktu (GDS) yang dinyatakan tidak normal. Setiap kali dilakukan pemeriksaan oleh tenaga medis, dilakukan tes secara berkelanjutan agar terpantau perkembangannya. Kemudian data tersebut telah dikonfirmasi kepada dinas kesehatan, dan untuk data TB paru, sudah dilakukan validasi ke tingkat Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

(5)

Penemuan pasien TB (case finding) masih memiliki keterbatasan dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien (case holding). TB paru BTA (-) dan pengelompokan berdasarkan tipe pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya perlu dikelola. Penelitian kohort retrospektif dari 996 pasien TB dan diobati pada klinik TB pedesaan dianalisis berkaitan dengan case holding dan akhir pengobatan, mengungkapkan bahwa di pedesaan, spesialis TB klinik masih menjadi kendala (Geetakrishnan, 1990).

Akses terhadap pelayanan adalah ketersediaan pelayanan kesehatan setiap saat dan di setiap tempat masyarakat membutuhkan (Aday & Andersen, 1974). Pasien memilih sendiri pelayanan kesehatan dengan karakteristik yang sesuai dengan keinginannya, mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tidak memilih sendiri pelayanan kesehatannya (Schmittdiel et al., 1997). Jenis kendaraan yang digunakan untuk beraktivitas di antaranya jalan kaki, sepeda, becak, sepeda motor, ojek, sedan/sejenisnya, bis, angkot, taksi, kendaraan antar jemput (Dinas Perhubungan DIY, 2004).

Laporan Surveilans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di DIY tahun 2012, ada 7.434 kasus DM masuk urutan ke 5 distribusi 10 besar penyakit berbasis STP puskesmas. Seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup dan efek samping modernisasi, problem penyakit tidak menular cenderung meningkat. Pengelolaan data penyakit di Kabupaten Kulon Progo terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan (SIK), yaitu menggunakan aplikasi Integrated Health Information System (IHIS) di semua puskesmas. Salah satu keluaran dari SIK adalah 10 besar penyakit. Pada tahun 2013, posisi ke 6 ditempati oleh non insulin dependent DM dengan 13.438 kasus, insulin dependent DM sebanyak 520 kasus dan unspecified DM sebanyak 520 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, 2014b).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) DIY tahun 2011, tercatat angka garis kemiskinan DIY senilai Rp.249.629,- per kapita per bulan. Pada peta kemiskinan masih ditemui kantong-kantong kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul dan Kulon Progo (Dinas Kesehatan DIY, 2013). Kabupaten Kulon Progo memiliki wilayah administratif dengan beban ekonomi masyarakat yang tinggi. Hasil

(6)

pendataan keluarga miskin tahun 2011 yang dilaksanakan dengan mengacu Perbup No. 39 tahun 2011 menghasilkan data demografi, sosial dan budaya. Terdapat 111.756 jiwa miskin, dengan 23.61% angka kemiskinan (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo, 2012). Ada hubungan signifikan antara faktor sosial ekonomi (tingkat pendapatan) dengan kasus TB BTA (+) (Jaenudin, 2010). Pendapatan rendah memiliki tingkat prevalensi DM yang tinggi (Rabi, et al., 2006). Terdapat dampak sosial ekonomi TB di pedesaan dan perkotaan (Rajeswari et al., 1999). Perbedaan sosial ekonomi (pendapatan rendah) secara statistik berhubungan dengan angka prevalensi TB (Zhang et al., 2007).

Laten TB berarti seseorang terpapar kuman TB, tetapi tidak menunjukkan gejala penyakit tersebut. Jika mereka menderita DM, kuman dorman (bakteri yang dapat berkamuflase seakan dia mati atau tidur) di tubuh penderita bisa aktif dan memunculkan TB. Penderita DM lebih rentan terkena TB karena penurunan daya tahan tubuh. Kemampuan sel-sel pertahanan tubuh membunuh kuman turun. Faktor risiko kejadian DM dapat menjadi beban ekonomi dalam perawatannya, sehingga dapat menghambat produktivitas masyarakat. TB paru baru dengan BTA (+) sebagian besar menyerang kelompok produktif (15-50 tahun), kelompok ekonomi lemah. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya, dengan sumber penularan pasien TB BTA (+).

Jumlah penderita TB paru dan TB paru dengan riwayat DM yang sebenarnya tentu masih banyak yang belum teridentifikasi. Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) masih belum berjalan, pengolahan register TB masih terbatas dalam bentuk analisis tabuler pada register (TB 03), faktor DM tercatat di kolom tambahan (keterangan) (TB 03), register (TB 01) dan rekam medis, dalam laporan TB elektonik, faktor DM belum ada. Perbedaan prevalensi kedua kasus tersebut belum dianalisis berdasarkan wilayah pedesaan dan perkotaan, sehingga wilayah dengan jumlah kasus terbanyak (wilayah dengan prevalensi tinggi) dibandingkan dengan area lainnya dari kasus tersebut belum diketahui secara spasial. Analisis sebaran kasus TB masih berupa agregasi di tingkat kelurahan dan kecamatan, tetapi bukan dalam bentuk pemetaan. Identifikasi rantai penularan dapat dilakukan dengan melihat sebaran kasus hingga

(7)

tingkat individual, tidak hanya agregat. Identifikasi lokasi kasus sampai tingkat lokasi individu sangat dimungkinkan, karena dalam aplikasi IHIS dan register TB terdapat alamat hingga tingkat individu yang dapat dipetakan menggunakan pendekatan SIG. Penggunaan aplikatif SIG juga untuk menentukan distribusi secara geografis kasus TB, memetakan populasi berisiko, menstratifikasi TB paru untuk kasus kambuh, kasus lalai, dan kasus gagal, serta menilai alokasi sumber daya kesehatan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, untuk membantu memperluas pemahaman perbedaan dalam pencapaian indikator kesehatan melalui peta distribusi penyebaran penyakit dan model interaksi spasial berupa pola clustering yang belum secara khusus ditandai, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pola spasial distribusi penderita TB paru triwulan I-IV tahun 2014?

2. Apakah pada wilayah dengan tingkat pendapatan rendah dan jauh dari sarana pelayanan kesehatan, secara spasial terdapat terdapat model interaksi spasial berupa pola clustering kejadian TB paru?

3. Bagaimana pola spasial distribusi penderita DM triwulan I-IV tahun 2014? 4. Apakah pada wilayah prevalensi tinggi DM terdapat model interaksi spasial

berupa pola clustering kejadian TB paru dengan riwayat DM?

5. Bagaimana pola spasial pemilihan sarana pelayanan kesehatan untuk pasien TB paru yang melakukan pengobatan ulang?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Menganalisis secara spasial distribusi penderita TB paru dengan dan tanpa DM tahun 2014 pada skala 1:200.000 dengan pemodelan spasial faktor lingkungan di Kabupaten Kulon Progo.

(8)

2. Tujuan khusus

a. Membandingkan pola spasial distribusi penderita TB paru per triwulan. b. Mengkaji model interaksi spasial pola clustering kejadian TB paru pada

tingkat pendapatan rendah dan jauh dari sarana pelayanan kesehatan. c. Membandingkan pola spasial distribusi penderita DM per triwulan. d. Mengkaji model interaksi spasial pola clustering kejadian TB paru

dengan riwayat DM di wilayah prevalensi tinggi DM.

e. Mengidentifikasi pola spasial penggunaan sarana pelayanan kesehatan pada pasien TB paru yang melakukan pengobatan ulang.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis

Manfaat dari penelitian ini adalah keluaran analisis yang berupa peta pola spasial distribusi penderita TB paru triwulan I-IV tahun 2014, peta model interaksi spasial pola kejadian TB paru, peta pola spasial distribusi penderita DM triwulan I-IV tahun 2014, peta model interaksi spasial kejadian TB paru dengan riwayat DM di wilayah prevalensi tinggi DM, peta pola spasial penggunaan sarana pelayanan kesehatan pada pasien TB paru yang melakukan pengobatan ulang. Dengan demikian, dapat memberikan petunjuk di tempat intervensi harus dilakukan, variabel yang perlu untuk diintervensi dan mengelola kasus TB secara spasial. Pengendalian TB paru yang lebih spesifik diharapkan mampu memutus rantai penularan dan menurunkan insiden kasus khususnya di Kabupaten Kulon Progo. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan referensi dalam membuat kebijakan program dan upaya pengendalian, mengestimasi, memantau perkembangan sebaran wilayah geografis secara periodik, serta alokasi sumber daya kesehatan melalui analisis data SIG.

2. Manfaat teoritis

Manfaat secara teoritis adalah bagi pengembangan ilmu pengetahuan pengendalian TB paru yang dapat menjadi beban ganda dengan adanya DM, pengelolaan TB paru tidak hanya pada penularan kasus, tetapi mengelola

(9)

secara keseluruhan kasus TB paru. Pentingnya sumber data base berupa register TB paru dengan melibatkan faktor risiko TB paru, tidak hanya HIV, tetapi DM. Metode analisis spasial dengan pemodelan mengenai clustering kejadian TB paru menurut beberapa faktor risikonya, serta analisis terhadap alokasi sumber daya kesehatan.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian sistem informasi geografis mengenai TB paru dan DM, yang pernah dilakukan di antaranya adalah:

1. Risk of Tuberculosis among People with Diabetes Mellitus: An Australian Nationwide Cohort Study (Dobler et al., 2012). Persamaan: Variabel untuk TB di antara populasi DM. Perbedaan: Tidak menganalisis secara spasial. Metode yang digunakan kohort, dengan hasil RR (relative risk) TB dengan riwayat DM sebesar 1.78.

2. Spatial Clustering of Tuberculosis Incidence in the North of Iran (Yazdani-Charati et al., 2014). Persamaan: Identifikasi daerah berisiko tinggi TB dalam membantu intervensi program kesehatan, identifikasi clustering dengan metode statistik deskriptif. Dilakukan studi ekologi TB dengan variabel usia, jenis kelamin, jenis penyakit dan lokasi rumah. Perbedaan: Penelitian menggunakan analisis spasial untuk mengidentifikasi clustering kejadian penyakit dengan Spherical Semivariogram Model dengan grid 500 meter. Menggunakan metode deskriptif epidemiologi, skala 1:25.000. Studi ekologi yang hasilnya berupa distribusi geografi berdasarkan usia dan jenis kelamin dengan wilayah yang lebih berisiko.

3. Using GIS Technology To Analyse Tuberculosis Incidence In Izmir (Kanturk, 2007). Persamaan: Penggunaan tren dan penentuan distribusi TB. Variabel sosial ekonomi. Perbedaan: Penelitian ini melihat tingkat kematian akibat TB, dengan variabel kepadatan penduduk per kabupaten dieksplorasi. Analisis GIS dengan menggunakan Netcad 5.0, skala 1:25.000. Hasil distribusi TB terhadap kepadatan penduduk yang signifikan.

(10)

4. Using GIS and Secondary Data to Target Diabetes-Related Public Health Efforts (Curtis & Kothari, 2013). Persamaan: Data sekunder penderita DM, pendapatan, pedesaan, perkotaan dipetakan pada tingkat kabupaten, dianalisis visual dan regresi multivariat, pengolahan data menggunakan ArcGIS versi 10.2. Perbedaan: Persentase pasien DM yang menerima pengujian A1c hemoglobin dalam satu tahun terakhir, skala 1:25.000. Metode linear, logistik, dan regresi poison, dengan hasil bahwa wilayah prevalensi tinggi DM dan sumber daya medis yang sedikit teridentifikasi pemetaan dengan menggunakan GIS.

5. Geographic Prediction of Tuberculosis Clusters in Fukuoka, Japan, Using The Space Time Scan Statistic (Onozuka & Hagihara, 2007). Persamaan: Menggunakan metode clustering. Perbedaan: Tidak menggunakan variabel faktor risiko kejadian TB. Metode yang digunakan adalah spatial space-time scan statistic dengan hasil terdapat most likely clusters di wilayah perkotaan yang signifikan tinggi TB.

6. Persistent Problems of Access to Appropriate, Affordable TB Services in Rural China: Experiences of Different Socio-Economic Groups (Zhang et al., 2007). Persamaan: Penggunaan variabel faktor sosial ekonomi. Perbedaan: Tidak dianalisis secara spasial. Metode survei dengan hasil 37% suspek TB berpendapatan rendah tidak mencari ke tempat pengobatan yang profesional. 7. Investigation of Geo Spatial Hot Spots for The Occurrence of Tuberculosis in

Almora District, India, Using GIS and Spatial Scan Statistic (Tiwari et al., 2006). Persamaan: Metode yang digunakan spasial clustering, ruang dan waktu. Perbedaan: Tidak menggunakan variabel faktor risiko kejadian TB. Metode yang digunakan purely spatial dan space-time dengan hasil terdapat clustering TB yang signifikan.

8. Kajian determinan sosial kejadian tuberkulosis paru berbasis geospasial dan model prediksinya di Bandar Lampung (Wardani, 2014). Persamaan: Variabel sosial ekonomi dan akses ke sarana pelayanan kesehatan. Perbedaan: Penggunaan variabel kondisi rumah, keamanan pangan, kepadatan penduduk. Metode Structural Equation Modeling dengan partial least square, dengan

(11)

hasil bahwa tidak terdapat hubungan spasial antara kepadatan penduduk dengan kejadian TB paru, namun terdapat clustering TB paru.

9. Analisis spasial kejadian TB paru BTA (+) menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Kota Yogyakarta (Widada, 2008). Persamaan: Variabel pendapatan, dan sarana pelayanan kesehatan. Perbedaan: Variabel kepadatan penduduk, data tingkat kemiskinan dari persentase jumlah keluarga miskin yang memiliki Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN) dengan jumlah kepala keluarga di kelurahan. Survei dengan metode cross sectional menggunakan SIG dengan hasil bahwa pendapatan dan jarak ke sarana pelayanan kesehatan mempunyai hubungan dengan penderita TB paru.

Kebaruan penelitian ini adalah pada penyusunan model sistem informasi geografis untuk pemetaan penderita TB paru dengan dan tanpa DM yang belum pernah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) nilai rata-rata postes keterampilan komu- nikasi siswa pada kelas yang diterap- kan model pembelajaran berbasis

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Jenis pengendap juga berpengaruh terhadap rendemen karaginan yang dihasilkan,rendemen yang dihasilkan dengan pengendap jenis etanol lebih besar dibanding pengendap jenis

Variabel reliability (X 2 ), yang meliputi indikator petugas memberikan pelayanan yang tepat, petugas memberikan pelayanan yang cepat, petugas memberikan pelayanan

Perbedaan pengaturan hak kesehatan buruh yang diselenggarakan oleh Jamsostek dan BPJS Kesehatan adalah dari segi asas dan prinsip penyelenggaraan; sifat kepesertaan; subjek

terapi musik instrumental 82% depresi ringan, 18% depresi berat, 2) setelah melakukan terapi musik instrumental 88% tidak depresi dan 12% depresi ringan, 3) hasil