• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi upaya diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak : studi kasus di Kejaksaan Negeri Kota Semarang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Implementasi upaya diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak : studi kasus di Kejaksaan Negeri Kota Semarang"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI UPAYA DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK (STUDI KASUS DI KEJAKSAAN

NEGERI KOTA SEMARANG) SKRIPSI

Disusun guna Memenuhi Tugas Akhir Mahasiswa sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum

Dosen Pembimbing :1. Ibu Hj. Briliyan Erna Wati, SH.,M.Hum., 2. Bapak M. Harun, S.Ag., MH.,

Oleh

M. Alvin Cyzentio Chairilian 1502056009

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

(2)

iii MOTTO















“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu

lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Qs. Al-Ma’idah ayat 8

(3)
(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah dan karunia-Nya, dengan kegigihan dan perjuangan selama ini, degan banyaknya rintangan yang penulis alami, maka dengan bangga penulis persembahkan skripsi ini untuk:

1. Ibu penulis, Sri Pujiastuti, selaku orang tua penulis. Terima kasih atas semua perjuangan dan do’a yang telah diberikan kepada penulis dalam setiap kisah dan kasih perjuangan hidup yang dilalui penulis;

2. Sahabat-sahabat penulis yang telah ikut serta bersama dan memberikan dukungan dalam perjuangan menempuh pendidikan dalam hidup penulis; 3. Almamater tercinta, terkhusus keluarga besar Program Studi Ilmu Hukum

(7)

vi

ABSTRAK

Anak merupakan generasi cita-cita dari keberlangsungan sebuah bangsa. Anak memerlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan fisik maupun mental. Disamping itu anak juga membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya. Negara melalui Undang-Undang Perlindungan Anak, menjamin seluruh hak-hak anak tanpa terkecuali, mulai dari anak biasa, anak luar biasa, penyandang disabilitas, hingga anak yang berkonflik dengan hukum. Kurun waktu 2017 hingga 2019 banyak kasus anak yang masuk kedalam ranah Pengadilan Negeri Kota Semarang. Padahal jika kita melihat kembali mengenai konsep perlindungan anak, bahwa hukuman pidana dapat menimbulkan trauma pada psikis sehingga mengancam masa depan anak. Oleh karenannya guna melindungi anak yang berkonflik dengan hukum pemerintah melalui UU SPPA Nomor 11 Tahun 2012. Mencanangkan perlindungan melalui konsep Diversi dengan mengalihkan perkara pada jalur Litigasi ke jalur Non Litigasi. Melihat fakta dilapangan adalah banyaknya perkara yang masuk ke ranah Pengadilan Negeri Kota Semarang sehingga terdapat sesuatu hal yang menyebabkan diversi tidak dapat berjalan dengan baik ditingkat Penuntutan.

Adapun permasalahan ini ialah bagaimanakah Implementasi Upaya Diversi di Kejaksaan Negeri Kota Semarang? faktor-faktor apakah yang penghambat Implmentasi Diversi di Kejari Kota Semarang?

Jenis penelitian ini termasuk kedalam penelitian Non-doktrinal, yang digunakan ialah penelitian yuridis normatif-empiris (socio legal), melalui pendekatan kualitatif. Penelitian dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Kota Semarang. Sumber data yang digunakan yaitu data primer berupa hasil wawancara dengan Jaksa Anak Kejaksaan Negeri Kota Semarang dan data sekunder meliputi bahan-bahan hukum (primer dan sekunder). Dengan metode pengumpulan data berupa wawancara dan studi dokumentasi. Teknis analisis data yang digunakan yaitu yaitu analisis kualitatif yang digunakan untuk aspek-aspek normatif (yuridis) empiris melalui metode yang bersifat deskriptif analisis.

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwasanya Implementasi upaya Diversi di Kejaksaan Negeri Kota Semarang secara prosedural telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Akan tetapi terjadi ketidak optimalan dari segi substansial. 71 perkara yang masuk kurun waktu 2017-2019 terdapat 15 perkara yang seharusnya bisa dilakukan ternyata hanya 3 perkara yang berhasil diupayakan oleh JPU. Faktor penghambatnya antara lain, terdapat kelemahan pada Undang-Undang No 11 Tahun 2012 SPPA, terjadi ketidak-optimalan JPU dalam mengupayakan Diversi, serta pola pikir masyarakat yang menganggap penyelesaian melalui Diversi merupakan hal yang tabu.

Kata Kunci : Tindak Pidana Anak, Diversi dalam ranah penuntutan, Kegagalan Diversi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, tak lupa pula shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan para suri tauladannya, sehingga penulis senantiasa diberikan kemudahan dan kesabaran dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul: “Implementasi Upaya Diversi dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Kota Semarang)”. Skripsi ini diajukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian studi sarjana dalam bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Ucapan terima kasih yang paling dalam penulis haturkan kepada ibu Penulis, Ibu Sri Pujiastuti yang telah mencurahkan kasih sayang, perhatian, pengorbanan dan do’a yang kuat, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Penulisan sadar bahwasannya dengan selesainya skripsi ini, juga tidak terlepas dari dukungan, bantuan dan motivasi dari berbagai pihak yang senantiasa sabar dan ikhlas membantu penulis, sehingga kesulitan-kesulitan yang dihadapi penulis dapat dilalui dengan baik. Oleh karena itu penulis dalam kesempatan ini mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Imam Taufiq, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo dan segenap jajaran Pembantu Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo. 2. Dr. H. Akhmad Arif Junaedi, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan

(9)

viii

Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo, Drs. H. Sahidin, M.Si selaku Wakil Dekan I, Dr. H. Agus Nurhadi, MA., selaku Wakil Dekan II, dan H. Moh. Arifin, S.Ag., M.Hum., S.H.,M.H selaku Wakil Dekan III.

3. Hj. Briliyan Erna Wati, SH., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah & Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah mendampingi dan membimbing penulis dalam proses pembuatan skripsi ini yang dengan senantiasa menjadi tempat keluh kesah penulis sat masa perkuliahan maupun dalam menyelesaikan tugas akhir.

4. Hj. Nur Hidayati Setyani, SH., MH., selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah & Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo yang juga selalu tak henti-hentinya memberikan semangat serta ifromasi-informasi yang memacu agar penulis cepat menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Muhammad Harun, S.Ag., MH., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, yang

telah mendampingi dan membimbing penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.

6. Kepala Kejaksaan Negeri Kota Semarang, beserta jajaran yang telah memberikan Izin penelitian. Terkhusus untuk Ka. Bidang Kepegawaian Ibu Siti Triana, S.H. yang dengan murah hati membimbing penulis di lapangan (kejaksaan), kepada ibu Retno, S.H. yang dengan sabar memberikan data-data terkait judul permasalahan ini, tak lupa kepada Jaksa-Jaksa yang rela meluangkan waktunya untuk sekedar menemui penulis dan melakukan proses wawancara, beliau adalah Ibu Meta Permatasari, S.H. dan Ibu Adiana

(10)

ix

Windawati, S.H. dan seluruh pegawai Kejaksaan Negeri Kota Semarang yang dengan sangat ramah menerima penulis untuk melakukan Riset disana. 7. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Walisongo, terkhusus dosen Program Studi Ilmu Hukum, Novita Dewi Masyitoh, SH., MH., Hj. Maria Anna Muryani, SH., MH., DR. H. Ja’far Baehaqi, MH., DR. H. Ali Imron, M.Ag., Saifudin MH., Ali Maskur, MH., Yayan M Royani, MH., yang dengan ikhlas membagikan ilmunya kepada penulis selama menjalani proses perkuliahan di Universitas Islam Negeri Walisongo.

8. Seluruh staf dan pegawai akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo yang telah banyak membantu melayani urusan administrasi dan bantuan lainnya selama menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Walisongo.

9. Untuk teman-teman seperjuangan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syari’ah & Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo, terkhusus Ilmu Hukum A 2015 yang mungkin penulis memiliki setiap cerita dengan setiap orangnya, perjalanan panjang yang menyenangkan. Tak lupa kawan-kawanku Ilmu Hukum B yang juga penulis miliki cerita dengan mereka. Sungguh menyenangkan mengingat masa-masa itu.

10. Kepada orang-orang terdekat Penulis yang senantiasa memberikan motivasi tambahan dikala penulis mengalami kesulitan-kesulitan dalam proses perkuliahan maupun menyelesaikan tugas akhir ini, mereka adalah M. Iqbal Haqiqi Maramis, Widya Ria Apriyani, dan Puji Astuti Retnoningsih.

(11)

x

11. Keluarga besar PASCOL (Pasukan Cowok Law), Dedy Haryadi, Ahmad Diha’ul Khoiri, Maulana Hasanudin, Ryan Rahardian, Aisyi Faskhi, Dwi Agung Riyadi, Irfan Maulana, Luthfi Trikusuma Aji, Muhammad Masfu’ul Fikri, Ammar Muzaki, Ilham Prawira Yudha, Ujang Faisal, yang telah memberikan suasana kekeluargaan yang hangat dalam membantu proses perjalanan panjang kisah-kasih di Bumi Walisongo.

12. Keluarga besar Pemerintah Desa Lempuyang dan teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler Angkatan ke 71 tahun 2018, Posko 17 Desa Lempuyang, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak. Untuk kawan-kawanku Irfani Abdurozaq, Mujiono, Naufal Ammar, Endang Puji Lestari, Rossi Masyitoh, Novita Aristianti, Arina Yuni Asmah, Arifatul Magfiroh, Evita Khumaeroh, Sinta Kumala Dewi, Arifah Fitriyani, dan Devi Amalia Faiza, yang senantiasa memberikan canda tawa yang menyenangkan saat proses Kuliah Kerja Nyata. Terimakasih.

13. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak sempat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan menjadi amal kebaikan, sehingga mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dalam rangka perbaikan skripsi ini. Harapan penulis kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya serta bagi perkembangan ilmu peradilan pidana anak. Aamiin Ya Robbal Alamin.

(12)

xi

Semarang, 21 Mei 2019

(13)

xii DAFTAR ISI PERSETUJUAN SKRIPSI ... i HALAMAN PENGESAHAN ... ii MOTTO ... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv DEKLARASI ... v ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

(14)

xiii

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II KONSEP DIVERSI DENGAN PENDEKATAN RESTORATIF JUSTICE SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK ... 30

A. Pengertian Anak dan Anak yang Berkonflik dengan Hukum ... 30

B. Batasan Usia Pertanggungjawaban Anak ... 37

C. Hak-Hak yang Melekat pada Anak ... 42

D. Konsep Diversi ... 48

E. Konsep Keadilan Restoratif/Restorative Justice ... 53

BAB III KEJAKSAAN NEGERI KOTA SEMARANG, UPAYA DIVERSI, PERKARA ANAK, DAN FAKTOR PENGHAMBAT DIVERSI ... 58

A. Gambaran Umum Kejaksaan Negeri Kota Semarang ... 58

B. Implementasi Upaya Diversi di Kejaksaan Negeri Kota Semarang ... 66

C. Daftar Perkara Anak Tahun 2017-2019 ... 78

D. Pendapat Jaksa Mengenai Faktor Penghampat Implementasi Upaya Diversi di Kejaksaan Negeri Kota Semarang ... 88

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI DIVERSI PADA PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK ... 92

A. Analisis Implementasi Upaya Diversi dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak di Kejaksaan Negeri Kota Semarang ... 92

(15)

xiv

B. Analisis Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Upaya Diversi

di Kejaksaan Negeri Kota Semarang ... 121

BAB V PENUTUP ... 134

A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 135

DAFTAR PUSTAKA ... 136 LAMPIRAN-LAMPIRAN... ...

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa harus kita jaga, karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, serta hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi serta dilindungi. Anak juga merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.1 Dengan demikian anak dapat dikatakan sebagai aset paling istimewa yang dimiliki oleh suatu negara guna keberlangsungan negara tersebut dimasa mendatang, setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut mengantikan manusia - manusia dewasa yang sekarang ini menjadi tonggak eksistensi sebuah negara. Dengan adanya hal tersebut maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas -luasnya untuk tumbuh serta berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan dalam mengawal hal tersebut. Perlindungan Anak sendiri sejatinya merupakan segala kegiatan yang sifatnya menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut dirasa menjadi sebuah kepentingan bersama, dikarenakan bagaimanapun juga ditangan anak-lah kemajuan suatu bangsa akan ditentukan. sehingga kembali lagi bahwa setiap anak berhak atas

(17)

2

kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan, seluruh perlindungan tersebut merupakan satu kesatuan dalam konsep hak asasi anak.

Sebelum menginjak pada perlindungan anak, seseorang dapat dikatakan anak dapat dilihat dari proses perkembangan anak yang terdiri atas beberapa fase petumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak, penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu;

1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi – fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak – anak, masa kritis (Trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak. 2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai

masa kanak – kanak, dimana dapat digolongkan kedalam 2 periode, yaitu ; a. Masa anak Sekolah Dasar mulai dari usia 7 – 12 tahun adalah periode

intelektual. Periode ini merupakan masa belajar awal dimuali dengan memasuki masyarakat diluar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dan hidupnya perasaan, kemauan srta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi, namun masih bersifat tersimpan atau masa latensi (masa tersembunyi).

b. Masa remaja / pra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan sebutan periode pueral. Periode ini terdapat kematangan fungsi

(18)

3

jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tenaga fisik yang melimpah limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar, dan lain sebagainya. Sejalan dengan berkembangnya fungsi jasmaniah, perkembangan intelektual pun berlangsung sangat intensif sehingga minat pada pengetahuan dan pengalaman baru pada dunia luar sanga besar terutama yang bersifat kongkret, karenannya anak puber disebut sebagai fragmatis atau utilitas kecil, dimna minatnya terarah pada kegunaan – kegunaan teknis.

3. Fase ketiga adalah dimulainya pada usia 14 sampai 21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa remaja dibagi dalam 4 fase, yaitu; a. Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral / pra-pubertas b. Masa menentang kedua, fase negatif, Trozalter kedua, periode

verneinung.

c. Masa pubertas sebenarnya mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada anak laki – laki

d. Fase adolescent,mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19 hingga 21 tahun.2

Indonesia mengatur mengenai batas umur anak terdapat didalam beberapa peraturan dalam KUHPer (BW) dalam pasal 330 dinyatakan bahwa anak adalah

2 Wagiati Soetedjo & Melaini, Hukum Pidana Anak (edisi revisi). (Bandung : Refika : 2017).hlm.7 - 8

(19)

4

seorang yag berusia 21 tahun dan belum pernah kawin, dalam Undang – Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 6 ayat (2) tentang syarat perkawinan seseorang yang berumur di bawah 21 tahun harus mendapatkan ijin dari orang tua. (perempuan 19 tahun dan laki laki 16 tahun). Pada pasal 47 ayat 1 menyatakan anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah menikah di bawah kekuasaan orang tuanya, Undang – Undang No. 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, dalam pasal 1 ayat (2) dinyatakan anak adalah seseorang yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin. Dari keseluruhan peraturan perundang – undangan diatas batasan usia seorang anak adalah dibawah 21 tahun, sementara pada peraturan perundang – undangan lain dinyatakan bahwa batasan usia anak adalah di bawah 18 tahun. Konvensi Hak Anak yang sudah ditetapkan berlaku di Indonesia oleh Keppres No. 36 Tahun 1996 terkandung pengertian anak adalah seseorang yang belum berumur dibawah 18 tahun.3 Begitupun pada Undang – Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yakni anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berdasarkan hal tersebut maka Hak serta perlindungan anak dapat diberikan kepada setiap anak di Indonesia.

Adapun hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa tentang hak anak yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak, mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.4 Sudah semestimnya perlindungan bagi anak dimulai dari orang tua, keluarga, dan masyarakat, seluruh lapisan itu

3 Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak. (Semarang : Selaras : 2010).hlm.2

4 Sigit angger pramukti & Primarharsya Fuadi, Sistem Peradilan Pidana

(20)

5

bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Begitu pula disebutkan dalam Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan atas hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi”. Hal ini dijabarkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang Undang Nomor UU 35 Tahun 2014 perubahan Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan itu sendiri tidak memandang anak secara khusus, maksudnya ialah selama seseorang manusia belum berumur 18 tahun dan belum menikah maka wajib untuk mendapatkan segala perlindungan baik dari orang tua maupun dari pemerintah, seperti yang kita ketahui bersama bahwasannya dalam Pasal 1 Undang - Undang Perlindungan Anak disebutkan perlindungan ini untuk kategori anak (sebelum usia 18 tahun dan atau belum menikah), dapat ditafsirkan bahwasannya seluruh anak berhak dan wajib untuk mendapatkan perlindungan, tak terkecuali anak yang berhadapan dengan hukum, dalam Pasal 1 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2014 Poin 15 menerangkan bahwasannya “Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.” dengan melihat ketentuan tersebut bahwa anak yang berkonflik dengan hukum masuk dalam klasifikasi diatas, yakni “situasi dan kondisi yang tertentu”, unsur tertentu ialah kondisi kejiwaan dan keberlangsungan hidup dari sang anak itu terancam, terlepas sang anak tersebut telah melakukan sebuah tindakan pelanggaran ataupun kejahatan sekalipun, kembali disebutkan pada Pasal 64 poin e yakni pembebasan

(21)

6

dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya serta pada poin g yakni penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Hal tersebut sejalan dengan pertimbangan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip pelindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan pelindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang Berhadapan dengan Hukum itu sendiri ialah meliputi anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum akan dikerucutkan menjadi anak yang berkonflik dengan hukum. Anak yang berkonflik dengan hukum harus di proses sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam sistem peradilan pidana anak keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pemidanaan diatur di dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalamnya terdapat mengenai jenis hukuman – hukuman tindak pidana anak seperti pengembalian kepada orang tua, pelayanan masyarakat, kurungan, maupun penahahan, akan tetapi hukuman pada anak tidak diperkenankan untuk dijatuhi hukuman seumur hidup atapun pidana mati, karena hal tersebut akan merusak masa depan sang anak itu sendiri mengingat setelah selesainya masa

(22)

7

hukuman tersebut anak tetap menjadi generasi penerus bangsa. Penyelesaian kasus tindak pidana pidana pada anak tidak dapat disamakan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa, meskipun jenis tindak pidana yang dilakukan itu sama, hal tersebut didasari karena anak dianggap masih belum dapat mempertanggung jawabkan perilakunya secara penuh, dikarenakan anak masih dibawah pengawasan orang tua, dan belum mengetahui akibat yang ia lakukan dibandingkan tindakan yang jelas – jelas dilakukan oleh orang dewasa, oleh karenannya dalam undang – undang juga telah dirumuskan sebuah upaya dalam menghindarkan terhadap hukuman yang dapat memberatkan anak dan mengancam masa depan anak, upaya tersebut ialah diversi. Diversi merupakan sebuah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keadilan restoratif yakni keadilan yang dapat diterima antara kedua belah pihak, tanpa adanya hukuman penjara yang dinggap memberatkan bagi pelaku tindak pidana anak, akan tetapi juga tidak mengkesampingkan keadilan bagi korban anak tindak pidana anak. Restoratif Justice menerangkan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan,5 upaya diversi itu sendiri dalam Pasal 5 ayat 2 poin a dan b jo. Pasal 7 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012, menerangkan dengan tegas bahwa pada proses penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan, serta baik

(23)

8

penyidikan di Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan, serta persidangan anak yang dilakukan oleh Pengadilan di lingkungan peradilan umum berkewajiban untuk dilakukannya upaya diversi. Proses musyawarah diversi wajib memperhatikan beberapa hal seperti kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat, serta kepatutan, kesusilaan, bahkan ketertiban umum, sehingga hasil dari musyawarah diversi itu sendiri dapat dilaksanakan oleh pihak - pihak yang terkait dan tidak menimbulkan ketidakrelaan disatu pihak. Akan tetapi yang perlu ditegaskan disini bahwasannya proses diversi pada anak tidak semerta - merta dapat dilaksanakan secara terus menerus karena dalam proses penetapan pengupayaannya harus memperhatikan dua ketentuan yakni diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun serta bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Diluar dari kedua ketentuan tersebut baik itu penyidik, penuntut umum, dan hakim Pengadilan diwajibkan untuk mengupayakan diversi.

Berdasarkan database sistem pemasyarakatan, pada tahun 2017 tercatat ada sekitar 2.569 anak yang berlabel anak pidana, data tersebut diperoleh dari 19 kantor wilayah lembaga pemasyarakatan, sedangkan di Indonesia terdapat 33 Kantor Wilayah, berarti ada 14 kantor wilayah yang belum melakukan pencatatan pendataan, kemungkinan apabila dilakukan pendataan secara seluruhnya maka akan menemukan hasil yang lebih fantastis, dibanding angka yang sekarang. Posisi pertama diduduki oleh kantor wilayah Jawa Timur yang tercatat 278 anak berlabel Anak Pidana (AP), Jawa Tengah sendiri berada pada urutan ke 4 terbanyak se Indonesia, yang memiliki Anak berlabel AP. Dilihat dari pengamatan media melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) milik PN Semarang

(24)

9

tercatat kurun waktu 2017 dan 2018 ada sekitar 67 kasus pidana anak, dari putusan yang telah keluar kesemuannya menghasilkan hukuman kurungan penjara bagi anak, kasus – kasus yang ditemui diantaranya, narkotika, pencabulan, pencurian, perkelahian, adapun kasus pencurian masih mendominasi. Apabila dilihat dari fakta diatas, maka dapat dikatakan telah terjadi ketidak sinkronan antara peraturan Undang – Undang dengan realitas yang terjadi pada Implementasi penyelesaian tindak pidana anak, untuk diversi pada khususnya, kita tahu bahwa setiap upaya diversi putusannya tidak menghasilkan hukuman berupa penahanan, maupun kurungan, karena penangkapan, penahanan, kurungan serta penjara merupakan langkah akhir dalam penyelesaiannya, diawal kita tahu bahwa anak merupakan sebuah aset yang harus dilindungi tak terlepas bagi anak bekonflik sekalipun, karena anak yang berkonflik dengan hukum-pun masih bisa memperbaiki perilakunya dan sangat dimungkinkan akan dapat diperbaiki mengingat dari usia yang masih muda. Jika dilihat runtut dari awal pastilah diversi seharusnya dilaksanakan sejak proses penyidikan di Kepolisian, jika gagal maka kembali dilakukan didalam proses penututan di Kejaksaan oleh Jaksa sebelum berkas dinyatakan lengkap (P21) serta siap untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi dalam kenyatannya banyak kasus yang seharusnya dapat diselesaikan menggunakan upaya diversi justru dinyatakan P21 serta dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Semarang, tercatat ada 67 kasus yang masuk ke Pengadilan Negeri Semarang sejak kurun waktu 2017, 2018, 2019. Dari 67 kasus tersebut setidaknya ada 30 Perkara yang dapat diselesaikan melalui upaya Diversi. Ketika peneliti melakukan pra-riset ke pengadilan Negeri Semarang, menurut kepala panitera muda pidana ternyata proses diversi belum pernah dilaksanakan di

(25)

10

pengadilan, dengan demikian mempertegas bahwasannya tidak diterapkan proses Diversi di Pengadilan Negeri Kota Semarang. Selanjutnya setelah peneliti melakukan crosscek dengan salah satu Jaksa Anak (Adiana Windawati) ternyata memang benar terjadi kegagalan Upaya Diversi yang telah terjadi di Kejaksaan Negeri Kota Semarang sehingga hal ini sangatlah bertolak belakang dengan semangat diversi yang telah dirumuskan oleh undang – undang, yang mengalihkan proses penyelesaian perkara menggunakan jalur litigasi menjadi jalur non litigasi, melalui upaya diversi dengan mengedepankan Restoratif Justice. Berdasarkan masalah tersebut peneliti ingin melakukan penelitian terhadap pelaksanaan diversi di Kejaksaan Negeri Kota Semarang untuk mengetahui sebenarnya faktor apakah yang menjadi penghambat berhasilnya suatu upaya diversi tersebut dengan itu penulis mengambil judul penelitian “Implementasi Upaya Diversi Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Kota Semarang)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah implementasi diversi dalam penyelesaian tindak pidana anak di Kejaksaan Negeri Kota Semarang?

2. Faktor – Faktor apakah yang menjadi penghambat Jaksa Anak pada Kejaksaan Negeri Kota Semarang untuk melakukan upaya diversi terhadap penyelesaian perkara anak?

C. Tujuan Penelitian

1. Penelitian ini bertujuan sejauh manakan upaya implementasi diversi oleh Kejaksaan Kota Semarang dalam Menyelesaikan Kasus Tindak Pidana

(26)

11

Anak, karena berdasarkan kesimpulan sementara bahwa belum maksimalnya upaya Kejaksaan Negeri Kota Semarang atau kurang maksimal dalam mengimplementasikan upaya diversi sebagai penyelesaian tindak pidana anak sehingga banyak perkara yang sebenarnya dapat selesai melalui diversi di Kejaksaan.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor - faktor yang menghambat implementasi upaya diversi di Kejaksaan Negeri Kota Semarang, sehingga masih terdapat kasus yang naik tingkat menjadi P21 padahal sejatinya kasus tersebut dilihat secara karakteristik layak untuk selesai menggunakan upaya diversi di Kejaksaan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki dua manfaat, yakni

1. Manfaat secara akademik sebagai sarana perkembangan ilmu pengetahuan dibidang Ilmu Hukum, khususnya dalam hukum pidana, tindak pidana anak.

2. Secara praktis, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui mengenai Implementasi upaya Diversi dalam penyelesaian tindak pidana anak yang merupakan upaya perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

(27)

12

E. Telaah Pustaka

Dalam tinjauan pustaka peneliti membagi kedalam dua telaah, dimulai dari penelitian terdahulu, kerangka teori, serta kerangka berfikir, adapun penjabarannya adalah sebagai berikut :

1. Penelitian Terdahulu

Penulis telah melakukan pecarian sumber data terhadap Jurnal Al - Ahkam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, akan tetapi tidak ditemukan jurnal serupa atau yang berkaitan dengan tema penelitian “Implementasi Upaya Diversi dalam Penyelesaian tindak pidana anak” oleh karenanya penulis mengalihkan kepada telaah pustaka lain berupa jurnal, skripsi, maupun buku buku yang berkaitan dengan tema tersebut, dalam penelitian ini penulis menemukan penelitian yang hampir sama dengan kajian yang akan diteliti diantaranya ialah ;

a. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, dengan Judul “DIVERSI DAN KEADILAN RESTORATIF DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK DI INDONESIA” ISSN: 1978 – 2292 Volume 10, Nomor 2, Juli 2016. Dalam penelitian tersebut menggunakan metode yuridis – Normatif, penelitian tersebut lebih memfokuskan pada, arti penting pendekatan Keadilan Restoratif dan eksistensi Diversi dan Keadilan Restoratif dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak. Oleh karenanya meski ada substansi yang bersinggungan dengan pembahasan pada materi peneliti, secara garis besar maksud dan hasil penelitiannya berbeda, tentu jurnal tersebut dapat

(28)

13

menjadi rujukan bagi peneliti untuk memperkuat data primer yang diperoleh.

b. Jurnal milik saudara/i Haga Sentosa Lase, Sri Endah Wahyuningsih, berjudul “PENERAPAN RESTORATIF JUSTICE DALAM

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK DI

PENGADILAN NEGERI WONOSOBO” Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. 12. No. 2 Juni 2017, dalam penelitian itu berfokus pada Keadilan restoratif sedangkan keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana anak bisa didapat melalui jalur ligitasi maupun jalur non ligitasi, perbedaan locus juga akan sangat berpengaruh pada data primer yang diperoleh dari hasil observasi lapangan.

c. Skripsi dari saudari Murdian Ekawati dengan judul kajian “PRAKTIK PENERAPAN DIVERSI DALAM UNDANG-UNDANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI MUNGKID)” dalam judul kajiannya hampir sama dengan penelitian yang akan dikaji oleh penulis, akan tetapi berbeda pada locus, setiap perbedaan locus maka akan berbeda pula data serta fakta yang didapat dari proses observasi. Selain dari pada itu pokok pembahsan juga berbeda dengan penelitian yang telah penulis laksanakan. d. Penelitian Skripsi Milik saudari Mayasari yang berjudul kajian "IMPLEMENTASI DIVERSI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ANAK. (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI SLEMAN)” pada pembahasan milik saudari Mayasari penelitiannya menggunakan Metode Normatif – Analistis, penelitian skripsi saudara mayasari, lebih

(29)

14

condong meneliti terhadap hak – hak yang diperoleh anak atau hak – hak yang didapatkan baik pada korban maupun pelaku tindak pidana anak. Sedangkan penelitian ini melakukan penelitian terhadap analisis perkara serta faktor penghambat penyelesaiannya menggunakan upaya Diversi. e. Penelitian Skripsi Milik Saudari Virginia Christina ”IMPLEMENTASI

DIVERSI DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PERKARA NOMOR 20/PID.SUS-ANAK/2014/PN.MKS.)” pada penelitian ini, peneliti hanya berfokus pada satu kasus yang telah terjadi, sedangkan pada penelitian penulis mencakup keseluruhan proses diversi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Kota Semarang.

Dari beberapa kepustakaan yang telah penulis paparkan di atas dapat diketahui bahwasannya pembahasan yang penulis angkat berbeda dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Baik penelitian serta karya – karya yang ada secara umum membahas mengenai diversi anak akan tetati tidak mencakup pada faktor penghambat, kegagalan serta keberhasilan proses diversi itu dilakukan di ruang lingkup Kejaksaan Negeri pada umumnya serta Kejaksaan Negeri Kota Semarang pada khususnya.

2. Kerangka Teori

Musyawarah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk penyelesaian sengketa. Musyawarah dan mufakat ini telah tercatat dalam falsafah

(30)

15

Negara Republik Indonesia pada sila ke-4 dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang undangan lainnya.6

Anak yang merupakan aset dari sebuah bangsa juga dipandang sebagai insan yang wajib dlindungi tak terkecuali anak yang berkonflik dengan hukum, perlindungan tersebut berupa penanganan prosedur hukum yang lebih humanis dibandingkan penanganan hukum bagi orang dewasa lainnya, sehingga dengan demikian diharap anak tidak merasa tertekan terhadap penyelesaian perkara anak. Dalam satu kriteria suatu tindak pidana anak yang tidak dilakukan dalam kategori pengulangan serta hukuman dibawah 7 (tujuh) tahun pidana penjara dapat dilakukan Musyawarah dalam penyelesaiannya. Musyawarah tersebut disebut dengan Diversi yang mana dalam ranah Kejaksaan Wajib diupayakan diversi oleh Jaksa Penuntut Umum.

1. Teori Bekerjanya Hukum

bekerjanya hukum di dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).

a. Struktur Hukum (Legal Structure)

Struktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang telah ditentukan secara keseluruhan. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh Friedman; “The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent shape, the institutional body of

6 Sri Rahayu, Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang

Dilakukan Anak Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Anak, {Jurnal Hukum : 2015). Hlm. 128

(31)

16

system, the thought, rigid bones that keep the process flawing within bound“. Jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung di dalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung dalam system peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana.

b. Substansi hukum (legal substance)

Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi hukum juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa keputusan yang mereka keluarkan, maupun juga aturan-aturan baru yang mereka susun. Penting di ingat bahwa substansi hukum ini tidak hanya terpusat pada hukum yang tertulis saja (law in the book), tetapi juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat (the living law).

c. Budaya Hukum (legal culture)

Budaya hukum (legal culture) adalah sebagai sikap manusia (dalam hal ini masyarakat) terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri. Sikap masyarakat ini menyangkut kepercayaan, nilai-nilai dan ide-ide, serta harapan mereka tentang hukum dan sistem hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum masyarakat. Budaya hukum juga merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan disalahgunakan.

(32)

17

Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan kekuatannya.

Ketiga unsur sistem hukum ini mempunyai hubungan dan peranan yang tak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang menggerakan sistem hukum tersebut sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum adalah sesuatu yang dihasilkan oleh mesin tersebut. Sedangkan budaya hukum adalah siapa yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin dan membatasi penggunaan mesin tersebut. Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem hukum ini sakit, maka akan menyebabkan sub sistem lainnya terganggu.7

2. Tindak Pidana Anak

Pengertian anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang – undangan maupun peraturan hokum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal serupa dikatakan Clemens Bartollas, tindakan yang dikenakan hokum terhadap anak yaitu suatu tindakan melanggar aturan pemerintahan di suatu tempat.8 Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 kita mengetahui bahwa anak nakal yang melakukan Tindak Pidana dapat mempertanggungjawabkan tindakannya apabila usianya sudah 12 tahun dan belum berusia 18 tahun.

7 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011

8

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung : Refika aditama : 2009). Hlm. 39 – 42

(33)

18

3. Diversi sebagai Upaya Penyelesaian perkara anak

Dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia kita mengenal adanya suatu konsep bermusyawarah dalam menentukan suatu keputusan atau bahkan penyelesaian tindak pidana sekalipun. Dalam pembahasan kali ini penulis mengangkat Diversi sebagai salah satu upaya dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak seperti yang tertera didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak Nomor 11 Tahun 2012. Dari sana kita mengetahui bahwasannya Diversi merupakan sebuah tindakan yang mengalihkan suatu perkara ke dalam ranah non Litigasi atau diluar peradilan, dengan pendekatan Restoratif Justice.

4. Keadilan Restoratif

Restorative Justice atau keadilan restoratif menawarkan solusi terbaik dalam menyelesaikan kasus kejahatan yaitu dengan memberikan keutamaan pada inti permasalahan dari suatu kejahatan. Penyelesaian yang penting untuk diperhatikan adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan terjadinya kejahatan tersebut. Perbaikan tatanan social masyarakat yang terganggu karena peristiwa kejahatan merupakan bagian penting dari konsep keadilan restorative. Konsep tersebut bukanlah konsep yang sudah mantap dan sempurna, untuk menerapkannya dengan baik dalam sebuah tatanan msyarakat suatu Negara harus dibangun konsep yang sesuai dengan akar budaya masyarakat Negara tersebut. Ketika konsep ini akan diterapkan maka banyak pertimbangan yang harus disesuaikan dengan

(34)

19

budaya dari masyarakat, karena salah satu pihak yang menjadi pelaksanannya adalah masyarakat sendiri.9

5. Bersamaan dengan itu penulis memandang bahwasannya konsep diversi merupakan suatu konsep istimewa yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap anak yang berkonflik dengan Hukum. Karena pada tujuan tercapainya agar sang anak terbebas dari ancaman pidana penjara. Hal tersebut sesuai dengan teori-teori tersebut

a. Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau “Alternative Dispute Resolution” ada pula yang menyebutnya “Apropriate Dispute Resolution”. ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus – kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hokum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam prakteksering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hokum atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat desa. Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hokum formalnya,

(35)

20

sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informasi telah ada penyelesaiannya damai, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangann wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai Negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternative penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Prof. Detlev Freshe, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungi.

b. Teori perlindungan sosial (social defence) merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.10

Kedua teori tersebut mengambarkan bahwasannya pidana penjara bukan merupakan tujuan akhir, justru kesejahteraan

10 Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung (Alumni,Bandung,1992).hlm.12

(36)

21

masyarakatlah yang menjadi tujuan utama, dalam hal ini ialah perlindungan hak anak yang menjadi priorias sehingga harapannya masa depan anak tidak terampas.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penetitian

Apabila dilihat dari jenis sifatnya penelitian ini merupakan tinjauan deskriptif-analistis terhadap implementasi upaya diversi perkara tindak pidana anak di Kejaksaan Negeri Kota Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang data datanya diungkapkan melalui kata - kata, norma atau aturan - aturan, dengan kata lain, penelitian ini memanfaatkan data kualitatif.11

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan empiris. Menurut Abdulkadir Muhammad penelitian normatif-empiris. Pokok kajian-nya adalah pelaksanaan atau implementasi ketentuan hukum positif yang diberlakukan pada peristiwa hukum in-concreto dalam masyarakat. Sehingga dalam penelitian nya menggabungkan dua tahap kajian yang meliputi kajian mengenai hukum normatif yang berlaku dan penerapan atau implementasi dalam kehidupan nyata atau in-concreto guna mencapai tujuan yang telah ditentukan.12 Metode analisis data deskriptif kualitatif dengan pendekatan bahasa. Maksudnya adalah proses analisis yang akan didasarkan pada kaidah deskriptif dan kaidah kualitatif. Kaidah deskriptif adalah bahwasanya proses analisis dilakukan terhadap seluruh data yang telah

11

Lexi J. Moelang, Penelitian Kualitatif, Cet ke - 5. (Bandung: Remaja Kosda Karya, 2005).Hlm.6.

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004).hlm. 52.

(37)

22

didapatkan dan diolah dan kemudian hasil analisa tersebut disajikan secara keseluruhan. Sedangkan kaidah kualitatif adalah bahwasanya proses analisis tersebut ditujukan untuk mengembangkan teori dengan jalan membandingkan teori dengan tujuan untuk menemukan teori baru yang dapat berupa penguatan terhadap teori lama, maupun melemahkan teori yang telah ada tanpa menggunakan rumus statistik13

Tahap pertama kajian mengenai hukum normatif yang berlaku,dan tahap keduannya adalah penetapan pada peristiwa konkrit guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Penerapan tersebut dapat diwujudkan melalui perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil penerapan akan menciptakan pemahaman realisasi pelaksanaan ketentuan - ketentuan hukum normatif yang dikaji telah dijalankan secara patut dan tidak.14

2. Lokasi Penelitian

Pada Proses penggalian data / penelitian, peneliti menggunakan tempat studi lapangan sebagai lokasi utama penelitian, lokasi tersebut ialah Kejaksaan Negeri Semarang. Penelitian ini menggunakan metode sampling. Mengingat sampel dari sumber data pada penelitian ini merupakan orang – orang yang berada didalam ruang lingkup Kejaksaan Negeri Semarang atau Jaksa Anak pada khususnya yang biasa dilibatkan dalam penyelesaian tindak pidana anak.

Pertimbangan dari sumber data informan / narasumber tersebut ialah guna mengetahui, bahwa sejauhmana upaya diversi ini dilakukan, atau

13 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002) hlm.41

(38)

23

sejauhmana kewajiban untuk melakukan upaya diversi dalam perkara anak yang telah ditentukan didalam pengadilan diterapkan secara pasti dan dimengerti oleh setiap komponen penegaknya.

3. Sumber Data

Sumber data dari penelitian “Implementasi Upaya Diversi Perkara Tindak Pidana Anak di Kejaksaan Negeri Semarang” terdiri atas dua sumber data, yakni :

a. Data Primer.

Data primer merupakan data utama dari peneliatan ini, yang terdiri atas informasi ataupun data yang didapat oleh peneliti dari beberapa narasumber atau informan baik melalui Quisioner maupun melalui Wawancara, akan tetapi dalam sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam sumber primer ini menggunakan metode wawancara kepada beberapa informan / narasumber yang terkait dengan kajian penelitian didalam ruang lingkup Kejaksaan Negeri Semarang.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang diperoleh oleh peneliti merupakan hasil dari kajian kepustakaan dan beberapa artikel, maupun e – jurnal, data sekunder ini berupa bahan bahan hukum untuk melengkapi data primer, terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier; 1) Bahan hukum primer merupakan seluruh aturan hukum yang dirancang

serta di buat secara resmi oleh lembaga negara, dan / atau lembaga/badan pemerintahan yang dalam segi penegakannya diupayakan berdasarkan daya paksaan yang dilakukan secara resmi

(39)

24

oleh aparat negara. Bahan hukum primer bersifat autoraritarif, artinya mempunyai otoritas. Bahan - bahan hukum primer terdiri dari perundang - undangan, catatatn - catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang - undangan dan putusan - putusan hakim.15 Adapun beberapa bahan hukum primer yang berkaitan atau menjadi sumber dari kajian implmentasi upaya diversi pada tindak pidana anak adalah sebagai berikut :

a. Pasal 59 ayat (1) dan (2) point b Undang – Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014.

b. Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

c. Pasal 6 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

d. pasal 7 ayat (2) Undang – undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

e. Pasal 7 ayat (2) Undang – undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

f. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor Per- 006/A/J.A/04/2015 Tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Pada Tingkat Penuntutan

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer berupa buku-buku yang ada

(40)

25

hubungannya dengan masalah yang diteliti.16 Bahan hukum juga merupakan hasil kegiatan teoritis akademis yang mengimbangi kegiatan – kegiatan praktik legislatif atau praktik yudisial juga17. Adapun bahan hukum sekuder yang dimaksud dalam Penelitian adalah sebagai berikut : Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung Justisi Devli Wagiu, "tinjauan yuridis terhadap asas keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana penggelapan ", Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015., Sigit Angger Pramukti & Primarharsya Fuadi, Sistem Peradilan Pidana Anak., Keyzha Natakharisma, dkk. "Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Resmi". FH. Udayana. Dll. Data yang ada akan dipilah sesuai dengan kajian penelitian, setelahnya akan disandingkan dengan bahan hukum primer maupun data primer sebagai pisau analisa data yang diperoleh, sebagai pembandig atas data yang pernah dimuat dalam bahan hukum sekunder tersebut.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan penelitian tidak terlibat, yang dimaksud disini ialah peneliti melakukan pengamatan terhadap hasil dari proses penyelesaian perkara tindak pidana tersebut baik dalam proses diversi maupun proses penuntutan di Kejaksaan, pada proses ini akan menggambarkan bahwasannya proses diversi gagal dilaksanakan atau bahkan tidak dilaksanakan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan

16

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Ghlm.ia Indonesia, Jakarta, t:t). Hlm.116

17 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002), h. 155.

(41)

26

peneliti juga akan menggunakan observasi atau pengamatan terlibat yakni ikut serta dalam penyelesaian atau ikut dalam musyawarah diversi yang diselenggarakan oleh Kejaksaan Negeri Semarang, didalamnya peneliti bersifat pasif (diam) dan hanya mengamati kejadian / peristiwa yang terjadi pada saat proses diversi dilakukan.

a. Wawancara (interview)

Wawancara adalah kegiatan pengumpulan data primer yang bersumber langsung dari responden penelitian dilapangan, yang akan memberikan peneliti antara lain; pengetahuan, pengalaman, perasaan, perlakuan, tindakan, dan pendapat responden engenai gejala yang ada atau peristiwa hukum yang terjadi, subjek da objek perbuatan peristiwa hukum, proses terjadi dan berakhirnya peristiwa hukum, solusi yang dilakukan oleh pihak - pihak, akibat yang timbul dari peristiwa hukum yang terjadi.

Hingga saat ini metode wawancara dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer karena pewawancara bertatap muka langsung dengan responden untuk menanyakan perihal pribadi responden, pendapat, atau presepsi serta saran responden dan fakta yang terjadi dilokasi penelitian.18 Lokasi penelitian yang dimaksud ialah Kejaksaan Negeri Semarang.

b. Dokumentasi

Peneliti mengumpulkan data – data berupa video, recorder, atau foto pada lokasi sebagai sarana pemerkuat informasi yang didapat dari sumber / informan, hal tersebut juga mengantisipasi apabila pada saat

(42)

27

pencarian data peneliti mengalami Human of Error atau kesalahan manusia yang tidak terduga.

5. Teknik Analisis Data

Tahap Analisis data, setelah seluruh data - data baik primer maupun sekunder telah diperoleh, maka saatnya untuk meng elaborasikan keduanya menjadi sebuah data yang bersifat analitik, dalam melakukan analisa penulis menggunakan jenis analisis kualitatif, sedangkan analisa kualitatif berbentuk deskriptif, berupa kata kata lisan atau tulisan tentang tingkah laku manusia yang dapat diamati.dalam penyajiannya berupa kalimat kalimat pertanyaan, datayang terkumpul umumnya berupa informasi, hubungan antarvariabel tidak dapat diukur dengan angka, sampel lebih bersifat non-probabilitas atau ditentukan secara purposive, pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan observasi dan penelitian tidak selalu menggunakan teori yang relevan. Dari analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan dengan menggunakan kerangka berfikir induktif cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.19

Proses berfikir induktif ialah proses berfikir untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat khusus. pengetahuan yang dihasilkan dari proses berfikir induktif merupakan esensi dari fakta - fakta yang dikumpulkan. proses berfikir induktif

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986),hlm. 112.

(43)

28

digunakan dalam penelitian kasus studi hukum. penelitian hukum umumnya menggunakan strategi penelitian studi kasus.20

Adapun setelah semua data diperoleh serta metode ditentukan maka saatnya tahap pengelolaan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

a. Identifikasi data, yakni sebuah tindakan analisa guna mencari data yang diperoleh untuk disesuaikan dengan pembahasan yang akan dilakukan dengan menelaah peraturan, buku atau artikel yang berkaitan dengan judul atau masalah.

b. Klasifikasi data, yakni hasil dari identifikasi data yang selanjutnya diklasifikasi atau dikelompokkan sehingga diperoleh data yang benar-benar objektif.

c. Penyusunan data, yaitu menyusun data menurut sistematika yang telah ditetapkan dalam penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam menginterprestasikan data dalam bentuk hasil penelitian deskriptif.

G. Sistematika Penulisan

Penyusunan hasil penelitian yang penulis laksanakan terbagi menjadi tiga bagian dengan penjelasan sebagai berikut:

Bagian awal yang isinya meliputi halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman pernyataan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar, abstrak, daftar isi.

20 Bambang sunggono, Metodologi Penelitian hukum, cet 1 (jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007).hlm. 9.

(44)

29

Bagian isi yang merupakan bagian utama dari penulisan ini. Bagian ini terdiri dari lima bab dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Bab I, yakni pendahuluan yang isinya meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab II, tinjauan umum tentang anak, diversi anak dalam Penuntutan. Bab ini menjelaskan pula teori tentang perlindungan anak, teori hak – hak anak dan keadilan restoratif dalam diversi.

3. Bab III, data penelitian lapangan yang terkait dengan judul penelitian meliputi pendapat jaksa anak di Kejaksaan Negeri Semarang tentang upaya diversi sebagai kewajiban penyelesaian tindak pidana anak didalam penuntutan.

4. Bab IV yakni Analisis implementasi upaya diversi yang dilakukan Kejaksaan Negeri Semarang dalam menyelesaikan perkara tindak pidana anak.

5. Bab V yakni penutup yang isinya meliputi simpulan, saran-saran, dan penutup.

Sedangkan bagian yang terakhir adalah bagian akhir yang isinya meliputi daftar pustaka, lampiran-lampiran, dan biografi penulis.

(45)

30

BAB II

Konsep Diversi dengan Pendekatan Restoratif Justice sebagai Upaya Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak

A. Pengertian Anak dan Anak Berkonfik dengan Hukum 1. Pengertian Anak

Anak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai banyak arti. Anak mengandung arti keturunan. Pengertian anak tersebut masih bersifat umum (netral) dan pengertiannya akan berbeda jika ditinjau dari aspek sosiologis, psikologis maupun yuridis. Secara yuridis misalnya, pada banyak peraturan perundang-undangan, istilah anak berkonotasi pada usia manusia. Anak diartikan sebagai kelompok umur tertentu dari manusia.1

Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dalam rangka mewujutkan sumber daya manusia yang berkualitas. Anak memerlukan pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan fisik maupun mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan masa depan mereka. Sehingga anak merupakan insan yang sangat membutuhkan perlindungan.2 Yang mana anak juga salah satu asset pembangunan nasional, patut dipertimbangkan dan diperhitungkan dari segi kualitas dan masa depannya. Tanpa kualitas

1

Tedy Sudrajat, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Sebagai Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Sistem Hukum Keluarga Di Indonesia (Kanun Jurnal Ilmu Hukum : No. 54, Th. XIII (Agustus, 2011)).Hlm. 111 - 112

2 Sri Rahayu, Diversi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Yang

(46)

31

yang handal dan masa depan yang jelas bagi anak, pembangunan nasional akan sulit dilaksanakan dan nasib bangsa akan sulit dibanyangkan.

Bertalian dengan konteks ini, Majelis Permusyawaratan Rakyar Republik Indonesia (MPR – RI) melalui ketetapannya No. II/1993, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Bab IV PELITA VI, bagian Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan angka 7 huruf (a), Khusus Masalah Anak dan Remaja ditegaskan :

“Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan melalui peningkatan mutu gizi, pembinaan perilaku kehidupan beragama dan budi pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta kreatifitas, penumbuhan kesadaran dan patriotism dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan masyarakat.”

Hal ini berarti bahwa anak atau remaja Indonesia sebagai pemegang amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diharapkan mampu mengisi kemerdekaan Negara ini dengan semangat perjuangan yang tinggi yang mengabdi kepada kepentingan bangsanya, gemar menggali ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi diimbangi dengan sikap dan moralitas yang baik, percaya kepada kemampuan diri sendiri, kreatif, jujur dan bertindak sesuai dengan norma-normakemasyarakatan, norma agama dan hukum, serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa yang selalu berkembang dan dinamis ini.3

3 Bunandi Hidayat, Pemidanaan Anak Dibawah Umur (Bandung : P.T. Alumni : 2010). Hlm. 1 - 2

(47)

32

Sehingga dapat kita simpulkan bahwasannya anak merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Perlindungan terhadap anak telah diatur secara tegas dalam konstitusi Negara Indonesia, sehingga kepentingan yang terbaik bagi anak sudah merupakan tanggung jawab bersama sebagai umat manusia yang hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawat dalam proses pertumbuhannya, karena di masa-masa inilah anak seringkali memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu hal yang baru. Dalam masa pertumbuhan, anak seringkali terpengaruh oleh lingkungan dimana ia bergaul dan bersosialisasi. Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.4

2. Anak berkonflik dengan hukum

Kenakalan anak sudah tidak bisa dipandang lagi sebagai kenakalan biasa, anak-anak banyak melakukan perbuatan yang tergolong tindak pidana, seperti : mencuri, membawa senjata tajam terlibat perkelahian, terlibat penggunaan narkoba, dan lain-lain. Namun demikian, anak yang melakukan tindak pidana dan perbuatan

4 Adi Hardiyanto Wicaksono, Pujiyono, Kebijakan Pelaksanaan Diversisebagai

Perlindungan Bagi Anak Yang Berkonflikdengan Hukum Pada Tingkat Penuntutan Di Kejaksaan Negeri Kudus, (Jurnal Law Reform : Kudus : Volume 11, Nomor 1, Tahun 2015). hlm. 13

(48)

33

yang dilarang oleh hukum, harus ditafsirkan sebagai ketidakmampuan akal (pikiran), fisik (badan) atau moral dan mentalitas yang ada pada diri anak yang ditentukan oleh nilai kodrat. Lingkungan yang jahat membuat anak menjadi jahat. Hal ini membuat kita seringkali menemukan ada banyak anak yang tersangkut dalam masalah hukum, baik itu sebagai korban tindak pidana maupun anak sebagai pelaku tindak pidana.5

Kenakalan anak yang menyebabkan suatu tindakan yang merugikan bagi masyarakat dalam bentuk pidana sama halnya disebut dengan delikuensi anak. Menurut Anthony M. Platt. Definisi delikuensi adalah perbuatan anak yang meliputi (1) perbuatan tindak pidana bila dilakukan oleh orang dewasa, (2) perbuatan yang melanggar aturan Negara atau masyarakat, (3) perilaku tak bermoral yang ganas, pembolosan, perkataan kasar dan tidak senonoh, tumbuh di jalanan dan pergaulan dengan orang yang tidak baik yang memungkinkan pengaruh buruk bagi anak di masa depan. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pengertian anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang – undangan maupun peraturan hokum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal serupa dikatakan Clemens Bartollas, tindakan yang

5

(49)

34

dikenakan hukum terhadap anak yaitu suatu tindakan melanggar aturan pemerintahan di suatu tempat.

Perbedaan definisi delikuensi mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam penentuan macam-macam jenis tingkah laku yang termasuk perbuatan delinkuen. Berdasarkan definisi delinkuensi di atas disimpulkan, bahwasannya delinkuensi adalah perbuatan perbuatan yang bertentangan dengan adat istiadat atau norma-norma hukum atau aturan tertentu yang berlaku di dalam kelompok masyarakat atau Negara di mana anak tersebut bertempat tinggal yang bersifat anti social dan atau melawan hukum.

Keadaan struktur social dan budaya yang ada di sekitarnya menjadi penyebab delinkuensi. Perkembangan struktur masyarakat sekitar dan keluarga seperti konflik orang tua menyebabkan delinkuensi. Bahkan delinkuensi terjadi karena adanya aturan sosialyang tidak dapat dipenuhi oleh anak sehingga dia dianggap melanggar norma yang ditetapkan oleh suatu kelompok dalam masyarakat social yang ada disekitarnya.6

Pemahaman kenakalan remaja dalam artian luas meliputi perbuatan – perbuatan anak remaja yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum tertulis baik yang terdapat di dalam KUHP maupun perundang-undangan pidana di luar KUHP. Dapat pula terjadi perbuatan anak remaja tersebut bersifat anti social, perbuatan yang menimbulkan keresahan masyarakat pada umumnya, akan tetapi tidak

6

Gambar

Foto bukti wawancara dengan Jaksa Anak Ibu Meta Permatasari, S.H. di Ruang  Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Kota Semarang
Foto Bukti Pengambilan Data Penelitian dengan Ibu Retno, S.H. Sekretaris Seksi  Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Kota Semarang

Referensi

Dokumen terkait

pelanggaran ringan seperti pelanggaran lalu lintas yang melibatkan anak. Peradilan pidana dalam penanganan anak berkonflik dengan hukum hanya.. akan menyebabkan stigma

Dari hasil penelitian tata cara pelaksanaan Diversi oleh Jaksa Penuntut Umum berpedoman pada dua Undang- Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Solusi yang dilakukan yaitu dengan cara memanggil ulang para pihak supaya dapat dipertemukan atau bahkan sampai adanya penjemputan yang dilakukan oleh para penegak hukum

Dalam UU SPPA diversi dimaksudkan untuk menghindari efek negatif dari pemeriksaan konvensional peradilan pidana terhadap anak yang dilakukan oleh aparat penegak

Diversi juga dapat diartikan sebagai pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan - tindakan kebijaksanaan dalam menangani atau

Pengaturan diversi secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai landasan hukum untuk bisa diterapkannya penyelesaian perkara

Sebagai komponen atau subsistem dari sistem peradilan pidana anak, setiap aparatur penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan dalam melaksanakan tugas diversi

1. Jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh anak adalah pencurian, narkoba, pengeroyokan, dan kecelakaan lalu lintas. Kejahatan yang dilakukan anak