• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Rujukan Pasien BPJS di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hadrianus Sinaga Kabupaten Samosir Tahun 2017 Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Rujukan Pasien BPJS di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Hadrianus Sinaga Kabupaten Samosir Tahun 2017 Chapter III VI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian campuran (mix) atau mix methods. Jenis penelitian yang pertama merupakan penelitian survei deskriptif, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan pasien BPJS yang dirujuk. Jenis penelitian yang kedua menggunakan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam terhadap informan agar diketahui secara jelas dan lebih mendalam tentang perilaku petugas kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (Sugiyono, 2009).

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Hadrianus Sinaga Pangururan kemudian dilakukan peninjauan atau pemeriksaan kembali di Puskesmas Tuktuk Siadong. Adapun alasan pemilihan lokasi ini adalah berdasarkan survei yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat masalah peningkatan rujukan pasien BPJS di Rumah Sakit Hadrianus Sinaga yang seyogianya masih bisa diselesaikan di FKTP.

3.2.2. Waktu Penelitian

(2)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti. Populasi dalam penelitian pertama adalah seluruh pasien BPJS yang menggunakan pelayanan rawat jalan di Rumah Sakit Hadrianus Sinaga.

3.3.2. Sampel

Menurut Sutrisno (2010), sampel adalah sebagian dari populasi atau jumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi. Sampel dalam penelitian ini yaitu pasien BPJS yang menggunakan pelayanan rawat jalan dan sudah menggunakan pelayanan rawat jalan di Rumah Sakit Hadrianus Sinaga. Jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan sampel dengan rumus Slovin:

=

1 + ( )

= 511

1 + 511(0.1) = 84

Keterangan :

n = Jumlah Sampel N = Jumlah Populasi

α = 0,1

Berdasarkan rumus di atas maka sampel yang dibutuhkan dalam penelitian kuantitatif adalah 84 responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling.

(3)

1. Responden termasuk pasien BPJS yang dirujuk dan sedang memanfaatkan atau yang telah selesai memanfaatkan rumah sakit 1 X 24 Jam.

2. Bersedia berpartisipasi menjadi responden tanpa ada unsur paksaan.

Penentuan informan untuk penelitian kualitatif dipilih dengan teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2009), metode purposive adalah metode pemilihan informan dengan menentukan terlebih dahulu kriteria yang akan dimasukkan ke dalam penelitian, dimana informan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Informan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Kepala puskesmas Tuktuk Siadong, 2. Pegawai BPJS Kesehatan,

3. Dua (2) orang petugas kesehatan puskesmas Tuktuk Siadong (Dokter dan perawat),

4. Pasien rujukan BPJS Kesehatan.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

(4)

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari tenaga administrasi Rumah Sakit Hadrianus Sinaga berupa jumlah pasien rawat jalan di bagian rekam medik (medical record) serta profil RSUD Hadrianus Sinaga Pangururan.

3.5. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional 3.5.1. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah rujukan pasien BPJS di RSUD Hadrianus Sinaga Tahun 2017. Rujukan pasien BPJS di Rumah Sakit Hadrianus Sinaga adalah jumlah penyerahan tanggung jawab pemeliharaan kesehatan untuk pasien bukan rawat inap supaya dirujuk dari FKTP ke RSUD Hadrianus Sinaga Kabupaten Samosir.

3.5.2. Variabel Independen

Sedangkan variabel terikatnya adalah antara lain (1) karakteristik predisposisi yang terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, (2) karakteristik pendukung yang terdiri dari kebutuhan pasien, dan evaluasi klinis pasien. Setelah diketahui gambaran pasien BPJS yang dirujuk ke RSUD Hadrianus Sinaga, maka dilakukan peninjauan ke salah satu Puskesmas untuk mengetahui bagaimana perilaku petugas kesehatan di FKTP yang terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan petugas kesehatan di FKTP terkait dengan kebijakan sistem rujukan dengan defenisi sebagai berikut :

1. Karakteristik Predisposisi

(5)

bawah 17 tahun dan batas umur atas 65 tahun . Umur dibagi menjadi 3 kategori : <25 tahun, 26-45 tahun, 46-65 tahun (Depkes RI, 2008). b. Jenis kelamin : Perbedaan fungsi biologi pasien. Terdiri atas : Laki-laki

dan Perempuan.

c. Pendidikan : Jenjang pendidikan formal yang dicapai responden berdasarkan ijazah terakhir yaitu tidak/belum sekolah, SD, SLTP/SMP, SLTA/SMA, DIII/ Sarjana.

d. Pekerjaan : Pekerjaan pengguna pelayanan rawat jalan RSUD Hadrianus Sinaga dibagi menjadi 8 kategori yaitu PNS, pegawai swasta, wiraswasta, pelajar dan mahasiswa, petani, nelayan, sopir, dan tidak/belum bekerja.

2. Karakteristik Pendukung

a. Kebutuhan pasien : Keadaan kesehatan yang dirasakan pasien sehingga perlu menggunakan pelayananan kesehatan rujukan rawat jalan. Kebutuhan pasien diukur dengan 1 pertanyaan.

b. Evaluasi klinis pasien : Diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan oleh penilaian petugas. Kondisi klinis untuk penyakit yang bisa diselesaikan di FKTP disebut pelayanan kesehatan dasar yang sesuai dengan kompetensi dokter umum di FKTP. Kondisi klinis yang dilihat dari rekam medik rumah sakit.

3. Perilaku Petugas Kesehatan di FKTP

(6)

e. Sikap petugas kesehatan di FKTP : Tanggapan informan mengenai kebijakan sistem rujukan berjenjang.

f. Tindakan petugas kesehatan di FKTP : aktivitas informan mengenai kebijakan sistem rujukan berjenjang.

3.6. Teknik Analisis Data

(7)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Gambaran Lokasi Penelitian

RSUD Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan terletak di Kota Pangururan Kabupaten Samosir, tepatnya di Jl. Dr. Hadrianus Sinaga No. 86 Kelurahan Pintusona Pangururan. Pemanfaatan lahan RSUD Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan seluas 27.775 m2dengan luas bangunan 10.259.5 m2. Adapun batas-batas lahan sebagai berikut:

- Sebelah Utara : Berbatasan dengan rumah penduduk

- Sebelah Selatan : Berbatasan dengan SMA Negeri I Pangururan - Sebelah Timur : Berbatasan dengan Jalan Dr. Hadrianus Sinaga - Sebelah Barat : Berbatasan dengan Danau Toba.

4.1.2. Falsafah dan Tujuan Rumah Sakit Hadrianus Sinaga 1. Visi RSUD Hadrianus Sinaga

RSUD Hadrianus memliki visi sebagai berikut : “Menjadi Rumah Sakit Rujukan Yang Terakreditasi

2. Misi RSUD Hadrianus Sinaga

RSUD Hadrianus memliki misi sebagai berikut : a. Meningkatkan manajemen pelayanan kesehatan.

(8)

3. Nilai-Nilai RSUD Hadrianus Sinaga a. Jujur

Dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit harus selalu menjungjung tinggi kebenaran, karena dengan pelayanan yang ikhlas masyarakat yang berobat merasa nyaman dan puas akan pelayanan di rumah sakit.

b. Bertanggung jawab

Dalam pelaksanaan tugas, aparatur di Satuan Kerja Perangkat Daerah Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan harus dilandasi dengan rasa tanggung jawab terhadap segala tindakan yang telah dilakukan.

c. Disiplin

Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan disiplin kerja merupakan salah satu tonggak keberhasilan. Kemauan diri akan budaya tepat waktu menjadi salah satu faktor kepercayaan masyarakat untuk berobat di rumah sakit.

d. Ramah

Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan adalah pelayanan yang penuh dengan keramahtamahan, masyarakat yang memerlukan pengobatan adalah raja yang selalu dilayani dengan bahasa yang sopan dan santun.

e. Efektif

(9)

f. Bersih

Penyelenggaraan pembangunan pada SKPD RSUD Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan harus bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).

4. BUDAYA ORGANISASI

1. Berpikir Positif, Kreatif dan Inovatif 2. Bersikap Cepat dan Tanggap

3. Bertindak Tepat dan Produktif 5. MOTTO :

RSUD Hadrianus Sinaga memiliki motto sebagai berikut : 4 S yaitu ”Senyum, Sapa, Santun dan Sentuh.”

4.1.3. Informasi Pelayanan Rumah Sakit A. Pelayanan Gawat Darurat

Dilayani oleh Dokter dan Perawat yang siaga selama 24 jam yang melayani pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) supaya mendapat pertolongan dengan cepat.

B. Pelayanan Rawat Jalan

Dilayani oleh Dokter Umum/Gigi dan Dokter Spesialis beserta Perawat yang memberi pelayanan setiap hari Senin s/d Jumat pada pukul 08.00-13.00 WIB dan Sabtu pada pukul 08.00-12.00 WIB kecuali hari libur. Adapun layanan rawat jalan yang disediakan antara lain :

(10)

- Poliklinik Penyakit Anak

- Poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan - Poliklinik Penyakit Dalam

- Poliklinik Bedah - Poliklinik VCT dan - Poliklinik DOTS

C. Pelayanan Rawat Inap 1. Ruangan Rawat Inap VVIP

Ruangan VVIP ada 2 tempat tidur (TT) dilengkapi dengan fasilitas: a. Dokter jaga (dokter umum) dan perawat jaga 24 jam

b. Dokter Spesialis konsul on call24 jam c. 1 tempat tidur elektrik

d. 1 kamar mandi, TV dan Kulkas e. Kursi tamu untuk keluarga pasien 2. Ruangan Rawat Inap VIP

Ruangan VIP ada 8 tempat tidur (TT), dilengkapi dengan fasilitas : a. Dokter jaga (dokter umum) dan perawat jaga 24 jam

b. Dokter Spesialis konsul on call24 jam c. 1 tempat tidur elektrik

(11)

3. Ruangan Rawat Inap Kelas I

Ruangan Rawat Inap kelas I terdiri dari ruangan Mawar yaitu sebanyak 12 tempat tidur, dengan fasilitas sebagai berikut :

a. Dokter jaga (dokter umum) dan perawat jaga 24 jam b. Dokter Spesialis on call24 jam

c. 1 kamar dengan 2 tempat tidur dan 1 kamar mandi 4. Ruangan Rawat Inap Kelas II

Ruangan Rawat Inap kelas II terdiri dari ruangan Melati yaitu sebanyak 18 tempat tidur, dengan fasilitas sebagai berikut :

a. Dokter jaga (dokter umum) dan perawat jaga 24 jam b. Dokter Spesialis on call24 jam

c. 1 kamar dengan 3 tempat tidur dan 1 kamar mandi 5. Ruangan Rawat Inap Kelas III

Ruangan kelas III terdapat 36 tempat tidur, yang dilengkapi dengan fasilitas sebagai berikut :

a. Dokter jaga (dokter umum) dan perawat jaga 24 jam b. Dokter Spesialis on call 24 jam

c. 1 kamar dengan 6 tempat tidur dan 1 kamar mandi 6. Ruangan Rawat PONEK

Ruangan rawat PONEK sebanyak 10 tempat tidur, 4 perawatan incubator. Pelayanan rawat PONEK dilengkapi dengan fasilitas :

a. Dokter jaga (dokter umum) dan perawat jaga 24 jam b. Dokter Spesialis konsul on call24 jam

(12)

d. Ruangan AC dan 2 kamar mandi 7. Recovery Room

Ruangan ini terdiri dari 2 tempat tidur yang digunakan untuk pasien sebelum operasi, sebelum dipindahkan ke ruang rawat inap.

8. Ruangan Rawat Inap ICU

Ruangan ICU RSUD Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan memiliki fasilitas: a. 3 (tiga) tempat tidur ICU

b. 4 (empat) Patient Monitor

D. Pelayanan Penunjang Medis 1. Instalasi Radiologi

Pelayanan Radiologi selama 24 jam yang melakukan pelayanan sesuai kebutuhan dan permintaan dari instalasi pelayanan lain di RSUD dan juga melayani permintaan dari luar rumah sakit.

2. Instalasi Farmasi

(13)

3. Instalasi Laboratorium

Pelayanan Laboratorium selama 24 jam yang saat ini melayani bidang keahlian yaitu patologi klinik (hematologi, analisa urine dan tinja, kimia klinik, mikrobiologi).

4. Instalasi Kamar Bedah (OK)

Pelayanan Kamar Bedah selama 24 jam yang melakukan pelayanan sesuai kebutuhan dan permintaan dari instalasi pelayanan lain di rumah sakit dan juga melayani permintaan dari luar rumah sakit.

5. Instalasi Gizi

Instalasi Gizi melakukan pelayanan sesuai waktu kebutuhan pasien, yaitu : a. Pagi : 07.00– 08.00WIB

b. Siang : 12.00– 13.00WIB c. Malam : 18.00– 19.00WIB

E. Pelayanan Penunjang Non Medis 1. Instalasi Laundry

2. Rekam Medik

3. Instalasi Kamar Jenazah F. Pelayanan Pelengkap:

(14)

4.2. Analisis Univariat Karakteristik Predisposisi

Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan karakteristik predisposisi. Karakteristik predisposisi yang dinilai pada penelitian ini antara lain : umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan.

Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Predisposisi Pasien Rujukan BPJS

No Karakteristik Responden n %

1. Umur

(15)

laki-laki (46,6%) dan sebanyak 45 kunjungan responden berjenis kelamin perempuan (53,6%).

Berdasarkan tingkat pendidikan terakhir menunjukkan responden yang paling banyak berkunjung adalah DIII/S1 sebanyak 44 kunjungan responden (52,4%), sedangkan tingkat pendidikan yang lainnya yaitu SMA sebanyak 28 kunjungan responden (33,3%), pendidikan SMP sebanyak 6 kunjungan responden (7,1%), SD sebanyak 4 kunjungan responden (4,8%), dan yang paling sedikit adalah tidak sekolah yaitu 2 kunjungan (2,4%). Sedangkan karakteristik pekerjaan terdapat 27 responden yang berkunjung bekerja formal yaitu PNS (32,1%), sedangkan petani yaitu 20 kunjungan responden (23,8%), sedangkan pekerjaan yang lainnya yaitu pekerja swasta dan wiraswasta masing-masing sebanyak 12 kunjungan responden (14,3%), Nelayan 7 kunjungan responden (8,3%), tidak bekerja sebanyak 5 kunjungan responden (6,0%), dan kunjungan responden pelajar tidak ada.

4.3. Analisis Univariat Karakteristik Kebutuhan

Karakteristik kebutuhan yang dinilai pada penelitian ini antara lain : kebutuhan pasien, dan evaluasi klinis pasien.

(16)

No Karakteristik Kebutuhan n %

1. Kebutuhan Pasien

1. Usulan saudara 9 10,8

2.

Keinginan pasien tes darah di laboratorium Obat-obatan di RS lebih ampuh Kondisi kesehatan tidak membaik

(17)

rawat jalan tingkat pertama dapat dilihat bahwa 27 kunjungan responden (32,0%) karena merasakan kebutuhan akan peralatan medis rumah sakit yang lengkap, 16 kunjungan responden (19,1%) menyatakan karena tenaga kesehatan di rumah sakit lebih kompeten, 11 responden yang berkunjung (13,1%) karena keyakinan terhadap rumah sakit, 9 responden yang berkunjung (10,8%) atas usulan saudara, 8 kunjungan responden (9,5%) menyatakan karena pelayanan puskesmas kurang memuaskan, keinginan pasien untuk tes darah di laboratorium dan obat-obatan rumah sakit yang ampuh mempunyai jumlah yang sama masing-masing sebanyak 6 kunjungan responden (7,%), dan kondisi kesehatan yang tidak membaik sebanyak 1 kunjungan (1,2%).

Berdasarkan karakteristik kondisi klinis pasien, penyakit terbanyak adalah Diabetes Melitus yaitu 9 kunjungan responden (10,7%), Dermatitis, Disentri basiler, dan Dyspepsia masing-masing 7 kunjungan responden (8,3%), Demam Typhoid sebanyak 6 responden yang berkunjung (7,15%), Asma 4 kunjungan (4,8%), Asam lambung, Hipertensi, Reumatik, dan Tinea Pedis masing-masing berjumlah 3 kunjungan (3,6%), Alergi, Asam urat, Febris, Hepatitis A masing-masing berjumlah 2 kunjungan (2,4%), Anemia, Apencisitis Akut, Batuk Pertusis, Batuk, Bronkhitis, Common Cold, Conjungtivitas, Gastritis, Gastroenteritis, Gout Artritis, Hemoroid, Herpes Zooster, Hiperuricemia, ISK, Migrain Akut, Pembengkakan Vagina, Pneumonia, Radang Usus, Reumatik, Stres (Depresi), Tinea Cruris, Tinea Inguinum, TTH, dan Wasir masing-masing berjumlah 1 kunjungan responden (1,2%).

(18)

tindakan petugas kesehatan dalam memberi rujukan dan melaksanakan rujukan berjenjang tersebut.

4.4. Karakteristik Informan

Informan dalam penelitian ini berjumlah 5 orang yang terdiri dari Kepala Puskesmas, Dokter Umum, Pegawai Puskesmas Bagian Rujukan, Pegawai BPJS Kesehatan, dan Pasien Rujukan BPJS Kesehatan. Karakteristik Informan dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut :

Tabel 4.3. Distribusi Informan berdasarkan Karakteristik Informan

Informan Jabatan Pendidikan Umur

(Tahun)

Jenis Kelamin

I Kepala Puskesmas S1 46 Laki-laki

II Dokter Umum S1 45 Laki-laki

III Pegawai Puskesmas Bagian Rujukan

S1 36 Perempuan

IV Pegawai BPJS Kesehatan

S1 32 Perempuan

V Pasien Rujukan BPJS Kesehatan

S1 43 Laki-Laki

4.5. Wawancara Perilaku Informan Mengenai Kebijakan Sistem Rujukan di Puskesmas Tuktuk Siadong

4.5.1. Pernyataan Informan tentang Pengetahuan terkait kebijakan sistem rujukan

(19)

lainnya apabila tidak menerapkan sistem rujukan ini. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut ini :

Tabel 4.4 Matriks Pernyataan Informan tentang Pengetahuan terkait kebijakan sistem rujukan

Informan Pernyataan Kepala

Puskesmas Tuktuk Siadong

Kebijakan sistem rujukan adalah kebijakan yang mengatur bagaimana sistem pelimpahan tanggung jawab pada pelayanan kesehatan secara timbal balik maupun vertikal yang diatur oleh BPJS Kesehatan sesuai dengan Permenkes No. 001 tahun 2012. Rujukan pelayanan kesehatan ini dimulai dari pelayanan kesehatan primer dan diteruskan ke jenjang pelayanan sekunder dan tersier yang hanya dapat diberikan jika ada rujukan dari pelayanan primer atau sekunder. Rujukan ini memberi kontribusi yang besar terhadap para penentu kebijakan, pada pelayanan kesehatan, dan termasuk pasien itu sendiri. Pasien diberi rujukan ketika sesuai dengan kebutuhan medis, kecuali jika gawat darurat. Sebenarnya, sistem ini sangat bagus jika diterapkan dengan tepat. Nah, kalau tidak diterapkan dengan tepat itu yang menjadi kendala. Kita jadi kewalahan di manajemennya. Rujukan akan semakin meningkat, sementara kita sebagai pelayanan kesehatan primer seharusnya bisa menangani 155 jenis penyakit. Tapi tenaga kesehatan juga kurang, sementara pasien ingin pengobatan yang cepat dan langsung sembuh, berhubung puskesmas ini juga puskesmas di daerah pariwisata. Itulah yang membuat terkendala untuk menerapkan sistem ini, tapi mau tidak mau, ya harus diterapkan, karena sudah peraturan dari pemerintah.

Dokter Umum Keterlibatan dalam pelaksanaan rujukan berjenjang ini adalah dokter, jadi ya dokter harus paham peraturannya. Sistem rujukan ini diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Rujukan diberikan kepada pasien yang memang memiliki indikasi medis tidak bisa ditangani di puskesmas. Yang jadi kendalanya banyak orang kita yang berobat itu meminta untuk dirujuk, dengan berbagai alasan.

Pegawai Puskesmas Bagian Rujukan

(20)

atau tidaknya, saya tidak tahu dan tidak punya hak lagi. Kalau sistem ini tidak diterapkan dengan tepat, yah masyarakat jadi mudah saja meminta dirujuk, mungkin karena pasiennya dari dahulu sudah terbiasa langsung meminta dirujuk langsung ke rumah sakit. Nah, kalau sudah seperti itu kita juga yang ditegur pihak BPJS.

Pegawai BPJS Kesehatan

Sistem ini dinamakan sistem rujukan berjenjang, dimana ada pelimpahan tanggung jawab secara horizontal atau antar puskesmas, maupun vertical atau ke rumah sakit. Selain menguntungkan dari segi manajemen, sistem ini juga bagus untuk pasien dan puskesmas maupun klinik. Pokoknya menguntungkanlah. Tapi karena masih banyak yang belum memahami sistemnya secara rinci jadi sulit dipahami masyarakat. Contohnya, pasien mengira kalau mereka ditahan-tahan di puskesmas, padahal karena sebenarnya penyakit itu masih termasuk jenis penyakit yang harusnya dapat ditangani di puskesmas, ditambah lagi jika penyakit itu tidak sembuh selama dua hari saja, langsunglah mereka berobat ke rumah sakit, biasanya rumah sakit meminta harus ada surat rujukannya, mungkin karena begitu peraturannya, kadang terlalu rumit bagi pasien seperti kami ini jika datang sendirian. Kalau manfaatnya mungkin lebih banyak sama merekalah, perawat-perawat dan dokternya. Kadang bapak kesini pun hanya minta surat rujukan ajanya, kita tau lah gimana puskesmas di kampung- kampung ini. Peralatan tidak ada, dokter umum hanya satu, padalah kita lebih paten rasanya jika langsung ke rumah sakit, dokternya dokter spesialis dan peralatannya lebih lengkap.

4.5.2. Pernyataan Informan tentang Sikap terkait kebijakan sistem rujukan

(21)

menyikapi pasien yang meminta untuk dirujuk. Hal ini terlihat pada Tabel 4.5 di bawah ini :

Tabel 4.5 Matriks Pernyataan Informan tentang Sikap terkait kebijakan sistem rujukan Kalau berbicara tentang kesiapan pegawai, ya jelas tidak siap, kurang lengkap, semua pegawai disini berjumlah 18 orang ajanya, jika dilihat berdasarkan banyaknya pasien kita jelas tidak sanggup melayani semuanya. Pokoknya kalau tenaga kesehatan dan pegawai yang lainnya jelas kuranglah. Kalau untuk dokternya dan perawat, biasanya sih mereka saling bekerja sama dalam menangani pasien, juga sering saya inga ingatkan juga untuk tetap melakukan pelayanan sesuai dengan aturan BPJS, terutama untuk kasus rujukan ini. Secara teori memang belum semua dokter atau para medis mengetahui dan menghapal standart terbaru misalnya panduan praktir klinik bagi dokter di fasilitas kesehatan tentang jenis penyakit dan cara pemberian rujukan kepada pasien, hanya saya selalu mneghimbau utuk para medis supaya meningkatkan pengetahuan dalam dalam pemberian pelayanan.

Kalau kesiapan sarana dan prasarana belum sesuai sih sama keputusan Menkes yang terbaru, hanya sebagian saja, tapi kalau ada yang kurang biasanya akan diminta dan dilengkapi oleh Dinas Kesehatan Samosir namun kalau mengacu atau tidak saya kurang tahu pasti.

Setahu saya sih untuk obat kami mengajukan permintaan obat sesuai dengan DOEN dan memang disepakati oleh Dinkes, tapi kita kan tidak bisa memprediksi jumlah penyakit maupun jenis yang akan berobat. Tapi yang jelas dari semuanya tingkat kesiapannya bolehlah dibilang 70 % Dokter Umum Tentang sistem rujukan ini? Ini sebenarnya sangat bagus. Ini

(22)

Puskesmas Bagian Rujukan

seluruhnya, kalau dipraktekin bisa kacau. Kacau karena kita harus mencapai target tapi kita juga harus memperhatikan pasien. Harusnya itukan sejalan bukan jadi saling mendahului. Kalau kesiapannya sih sudah hampir siap sekitar 80 %.

Pegawai BPJS Kesehatan

Wah, inikan sebenarnya menguntungkan, karena ini menegaskan bahwa kita sebagai pelayanan kesehatan primer adalah sebenarnya penapis rujukan, kitalah pintu utama untuk sampai ke rumah sakit. Bila sesuai dengan standart BPJS menurut saya dari sistem SDM tidak jauh beda dengan standar puskesmas dalam menangani pasien dahulu, hanya jumlahnya disesuaikan dengan jumlah pasien per harinya jadi ya mencukupi, meskipun terkadang pasien menumpuk jadi keteteran.

Pasien Rujukan Pasien BPJS Kesehatan

Itusih saya kurang tahu sistemnya, kadang memang diberi tahu sama dokternya tapi tidak terlalu paham, jadi saya tidak bisa memberi pandangan, yang jelas kadang terlalu rumitlah. Kalau pelayanan di puskesmas ini menurut saya cukup baik, tapi tidak usahlah dipungkiri, kita tahunya kualitas dari pelayanan di kampung-kampung ini.

4.5.3. Pernyataan Informan tentang Tindakan terkait kebijakan sistem rujukan

(23)

Tabel 4.7 Matriks Pernyataan Informan tentang Tindakan Terkait

Pelaksanaan rujukan di Puskesmas ini belum berjalan maksimal, hal ini terlihat dari rasio rujukan kita yang masih diatas 10 %. Kalau udah seperti ini ya belum berjalan sesuai prosedurlah. Karena kita punya dokter itu hanya 1 orang, perawat 6 orang, jadi memang susah untuk menerapkan kebijakan ini. Tapi saya dan seluruh staf berusaha untuk menata pelaksanaan sistem rujukan pelayanan kesehatan. Kalau permintaan pasien itu sendiri untuk dirujuk sih itu dokter yang tahu. Tapi kalau saya sendiri gak bisa memungkiri kalau udah saudara, apalagi semarga, kurang enak juga kalau menolak mereka, jadi biasanya saya kondisikan dengan dokternya untuk memberi surat rujukan saja, tapi tetap diperiksa dan diberi diagnosa dulu sama dokternya.

Kalau untuk mengurangi rujukan ini agar tidak meningkat, jelas kita usahakan, tapi bagaimanapun perlu sosialisasi kebijakan ini kepada masyarakat, juga sudah kita minta juga supaya dokter dan tenaga medis lainnya ditambahi sehingga kita bisa mengcover semua pasien yang datang dan memberi rujukan pada yang benar-benar membutuhkan indikasi medis dan gawat darurat saja. Selain itu kualitas pelayanan juga kita tingkatkan salah satunya tutur bahasa dan cara penyampain(berkomunikasi dengan masyarakat yang memiliki tingkat intelegensi berbeda-beda)

(24)

Masih sering dilakukan sosialisasi kok, pada saat pemeriksaan kesehatan dan penegakan diagnosis sering juga kita katakan kepada mereka, tapi entah mereka menanggapi atau tidak saya juga kadang ragu.

Pegawai Puskesmas Bagian Rujukan

Kalau pelaksanaan secara keseluruhan saya sih tidak terlalu tahu, tapi kalau dokternya bilang dirujuk ya saya memberikan surat rujukan, sebatas itu saja. kalau untuk mengurangi rujukan ke rumah sakit apa ya? Paling sosialisasi. Itu sih lagi dilakukan sekarang, apalagi sebentar lagi sudah mau akreditasi, mau gak mau ya harus semua ditingkatkan.

Pegawai BPJS Kesehatan

Pelaksanaan sistem rujukan berjenjang, dimana ada pelimpahan tanggung jawab secara horizontal atau antar puskesmas, maupun vertical atau ke rumah sakit belum dilakukan sesuai prosedur, 40 % sih sudah dilakukan, cuma selebihnya ya tidak bisa dipungkiri masih tersendat-sendat. Tapi disitulah tantangan kita, mungkin juga pasien sudah terpengaruh secara sosial, atau karena keyakinannya, kadang kita kurang paham juga, padahal sakitnya biasa-biasa aja, dalam arti masih sanggup diatasi sama dokter umur.

Kalau untuk mengurangi banyak sih yang dilakukan tapi masih terkendala juga pada fasilitas yang belum sesuai dengan yang tercantum pada kompedium alat kesehatan, terbatasnya jenis dan jumlah obat yang sesuai dengan standar Formulasi Nasional. Yang paling sering diadakan adalah sosialiasasi.

Pasien Rujukan BPJS Kesehatan

(25)

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Predisposisi

5.1.1. Karakteristik Predisposisi Berdasarkan Umur

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, responden yang berkunjung dengan umur 46-65 tahun lebih banyak yaitu 44 orang (52,4%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar usia maka semakin membutuhkan pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan teori Henderson (2005) dimana faktor-faktor utama yang mempengaruhi permintaan kesehatan dapat dikategorikan sebagai faktor yang berasal dari pasien dan faktor yang berasal dari dokter. Faktor yang berasal dari pasien antara lain status kesehatan, karakteristik demografi dan kemampuan ekonomi. Salah satu hal yang berhubungan dengan status kesehatan seseorang adalah umur, semakin bertambah umur maka semakin menurun kemampuan fisik dan kesehatannya. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori Andersen dalam Ilyas (2006) yang menyatakan bahwa usia merupakan salah satu faktor predisposisi yang menjadi determinan individu terhadap utilisasi pelayanan kesehatan.

(26)

permintaan yang lebih tinggi terhadap jasa pelayanan kesehatan. Faktor umur sangat mempengaruhi permintaan konsumen terhadap pelayanan kesehatan preventif dan kuratif.

Wibisana (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa usia menentukan utilisasi pelayanan kesehatan terkait dengan gangguan spesifik berbasis usia serta kemampuan (kapasitas) individu dalam mengatasi masalah kesehatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Azwar (1996) menyatakan semakin tinggi usia seseorang, maka semakin tinggi pula risiko timbulnya penyakit, dan semakin tinggi pula tingkat utilisasi pelayanan kesehatan.

5.1.2. Karakteristik Predisposisi Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian, kunjungan responden berjenis kelamin perempuan ada sebanyak 45 responden (53,6%) dan kunjungan responden laki-laki sebanyak 39 kunjungan (46,4%). Hal ini menunjukkan bahwa reponden dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak menggunakan layanan kesehatan rujukan rawat jalan dibandingkan laki-laki. Pola pencarian pengobatan pada responden laki-laki sering kali ketika sudah tidak mampu menahan rasa sakit sehingga mereka dapat lebih memilih untuk dibawa ke rumah sakit daripada ke puskesmas.

(27)

5.1.3. Karakteristik Predisposisi Berdasarkan Pendidikan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, responden yang berkunjung dengan pendidikan tinggi lebih peduli tentang kesehatannya. Hal ini terlihat dari banyaknya pendidikan terakhir responden yang menggunakan pelayanan rawat jalan adalah DIII/S1 yaitu 44 kunjungan (52,4%), diikuti dengan tingkat SMA yaitu 28 kunjungan (33,33%). Apabila keluhan responden tidak juga hilang maka responden akan langsung mengkonsultasikan dirinya ke dokter karena mereka menganggap pelayanan yang diberikan puskesmas sangat terbatas. Pendidikan formal akan sangat mempengaruhi pengetahuan seseorang sehingga apabila seseorang mempunyai pendidikan formal tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan yang lebih rendah. Pendidikan formal seseorang yang lebih tinggi diharapkan cepat dan lebih mudah memahami pentingnya penyakit dan pelayanan kesehatan yang mumpuni.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Santosa (2009), yang menyatakan bahwa faktor pendidikan merupakan unsur yang sangat penting karena dengan pendidikan seseorang dapat menerima lebih banyak informasi terutama dalam menjaga kesehatan diri dan keluarga dan memperluas cakrawala berpikir sehingga lebih mudah mengembangkan diri dalam mencegah terjangkitnyaa suatu penyakit dan memperoleh perawatan medis yang kompeten.

(28)

akan tinggi. Hal sebaliknya, dimana tuntutan terhadap kesehatan akan menurun apabila tingkat pendidikan, keadaan sosial budaya dan sosial ekonomi belum memuaskan atau tidak memungkinkan untuk menjangkau pelayanan kesehatan. Pendidikan sangat mempengaruhi masyarakat dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan, semakin tinggi pendidikan, maka semakin tinggi pengetahuan dan keinginan masyarakat unttuk menggunakan fasilitas kesehatan yang lebih baik.

Azwar (1996) menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka secara relatif utilisasi terhadap pelayanan kesehatan semakin tinggi. Teori ini sejalan dengan Ilyaz (2006) yang menyatakan bahwa seseorang yang berpendidikan formal lebih tinggi akan memiliki pengetahuan kesehatan dan informasi layanan kesehatan yang lebih baik dan pada akhirnya akan mempengaruhi seseorang terhadap pemilihan pelayanan kesehatan yang lebih baik sesuai dengan keinginannya.

5.1.4. Karakteristik Predisposisi Berdasarkan Pekerjaan

(29)

Dengan demikian hasil penelitian ini sesuai bahwa pekerjaan mempengaruhi demand masyarakat terhadap pelayanan kesehatan sebab masyarakat yang memiliki pekerjaan formal akan memiliki kemampuan tersendiri dalam mencari tempat pelayanan kesehatan.

5.2. Karakteristik Kebutuhan

5.2.1. Karakteristik Kebutuhan Berdasarkan Kebutuhan Pasien

Kondisi kesehatan seseorang mempengaruhi kebutuhan seseorang yang menderita suatu penyakit akan mencari pelayanan kesehatan atau pemeriksaan medis. Kondisi kesehatan adalah keadaan kesehatan seseorang yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Berdasarkan wawancara dengan responden, responden yang membutuhkan pelayanan puskesmas tidak memanfaatkan puskesmas untuk mendapatkan pengobatan karena responden lebih memilih berobat ke rumah sakit sehingga ke puskesmas hanya untuk meminta rujukan. Responden yang memutuskan untuk meminta dirujuk ke rumah sakit melakukan pengobatan di puskesmas paling banyak dua kali (60,7%). Pengobatan yang pertama kali kerap tidak berhasil sehingga pada pengobatan yang kedua responden hanya meminta rujukan ke rumah sakit.

(30)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambarita (2015), yang menyatakan bahwa variabel kondisi atau kebutuhan kesehatan berpengaruh terhadap pemanfaatan puskesmas. Menurut Littik (2008) kebutuhan diukur sebagai gangguan kesehatan atau kesakitan yang dikeluhkan sendiri oleh individu yang bersangkutan. Status kesehatan merupakan ukuran yang memadai untuk mengukur kebutuhan kesehatan atau pemanfaatan ke pelayanan kesehatan. Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan dapat diukur menggunakan penilaian kesehatan individu.

Penelitian Handayani (2003) menyatakan bahwa kebutuhan terhadap pengobatan umumnya dikaitkan dengan kondisi sakit yang menganggu aktifitas dengan upaya pencarian pertolongan pengobatan maka dapat dilihat bahwa ada kecenderungan yang sama untuk melakukan pengobatan sendiri baik pada penduduk sakit dengan atau tanpa gangguan aktivitas. Lamanya seseorang menderita sakit yang menyebabkan tidak dapat beraktivitas menjadi faktor penentu dalam pencarian pengobatan.

Pengaruh kebutuhan terhadap pencarian pengobatan dapat dijelaskan bahwa idealnya setiap orang memiliki kesempatan yang adil untuk memperoleh kesehatan yang sebaik-baiknya dan tidak dirugikan dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Masyarakat dengan status sosial ekonomi yang berbeda seharusnya memperoleh pelayanan kesehatan yang sama sesuai dengan kebutuhannya, termasuk akses yang sama dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan.

5.2.2. Karakteristik Kebutuhan Berdasarkan Evaluasi Klinis Pasien

(31)

memutuskan untuk meminta dirujuk masih tergolong penyakit-penyakit yang seharusnya masih bisa ditangani oleh FKTP. FKTP bisa menangani 144 diagnosa penyakit sesuai dengan Kompetensi Dokter Umum yang dapat ditangani di FKTP, sehingga para peserta JKN tidak perlu lagi berobat langsung ke rumah sakit, karena di FKTP pun sudah bisa ditangani.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 37 jenis penyakit dari 84 kunjungan yang sesuai dengan pelayanan kompetensi dasar di FKTP. Urutan lima penyakit terbesar dari 84 kunjungan dan 37 jenis penyakit tersebut adalah penyakit Diabetes Melitus sebanyak 9 kunjungan, Dermatitis, Disentri Basiler, dan Dyspepsia masing-masing 7 kunjungan, dan yang terakhir adalah Demam Typhoid sebanyak 6 kunjungan.

INFOBPJS (2014) menyatakan bahwa setiap peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tempat Peserta terdaftar. Fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yaitu Puskesmas, praktik dokter perorangan, praktik dokter gigi, klinik umum dan rumah sakit kelas D Pratama. Jika di suatu daerah tidak ada dokter, maka BPJS Kesehatan dapat bekerja sama dengan bidan dan praktik perawat untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar.

(32)

Pelayanan kesehatan tingkat pertama meliputi pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Jika pola rujukan berjenjang bisa dilaksanakan, RS bisa fokus untuk meningkatkan mutu pelayanannya tidak menutup kemungkinan pada kasus-kasus tersebut dapat langsung berobat ke rumah sakit dengan mempertimbangkan Time (lama perjalanan penyakitnya), Age (usia pasien), Complication (komplikasi penyakit/tingkat kesulitan), Comorbidity (penyakit penyerta), and Condition (kondisi fasilitas kesehatan). Kasus medis yang dapat diselesaikan secara tuntas di FKTP yaitu, kasus pelayanan primer yang mengacu pada kompetensi dokter umum, kasus medis yang membutuhkan penanganan awal sebelum dilakukan rujukan; dan kasus medis yang termasuk dalam Program Rujuk Balik BPJS Kesehatan seperti kasus Hipertensi, Diabetes Mellitus (kencing manis), asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), stroke, epilepsy, schizofren,Sindroma Lupus Eritematosus (SLE) dan Jantung).

(33)

Tabel 5.1 Tabel Penyakit Yang Ditangani di FKTP Nama Penyakit

1. Kejang Demam 2. Tetanus

3. HIV AIDS tanpa komplikasi 4. Tension headache

5. Migren 6. Bell’s Palsy

7. Vertigo (Benign paroxysmal positional Vertigo)

8. Gangguan somatoform 9. Insomnia

10. Benda asing di konjungtiva 11. Konjungtivitis 41. Tuberkulosis paru tanpa komplikasi 42. Hipertensi esensial

43. Kandidiasis mulut

44. Ulcus mulut (aptosa, herpes) 45. Parotitis

46. Infeksi pada umbilikus 47. Gastritis

48. Gastroenteritis (termasuk kolera, giardiasis)

60. Disentri basiler, disentri amuba 61. Hemoroid grade ½

67. Sindroma duh (discharge) genital (Gonore dan non gonore)

68. Infeksi saluran kemih bagian bawah 69. Vulvitis

75. Anemia defisiensi besi pada kehamilan 76. Ruptur perineum tingkat ½

77. Abses folikel rambut/kelj sebasea 78. Mastitis 100. Herpes zoster tanpa komplikasi 101. Morbili tanpa komplikasi 102. Varicella tanpa komplikasi 103. Herpes simpleks tanpa komplikasi 104. Impetigo

(34)

107. Furunkel, karbunkel 108. Eritrasma

109. Erisipelas 110. Skrofuloderma 111. Lepra

112. Sifilis stadium 1 dan 2 113. Tinea kapitis

130. Dermatitis atopik (kecuali recalcitrant) 131. Dermatitis numularis

140. Eksantemapous drug eruption, fixed drug eruption

141. Vulnus laseraum, puctum 142. Luka bakar derajat 1 dan 2 143. Kekerasan tumpul 144. Kekerasan tajam

Dari hasil penelitian diatas menjelaskan bahwa terdapat kecurangan dalam pelaksanaan program jaminan kesehatan nasional yang dilakukan oleh responden peserta JKN yang menggunakan pelayanan rawat jalan di RSUD Hadrianus Sinaga dan di tempat pemberi layanan pelayanan kesehatan tingkat pertama responden yang memperbolehkan pasien meminta dirujuk ke rumah sakit.

5.3. Perilaku Informan

(35)

Keterlibatan dalam pelaksanaan rujukan lanjut berjenjang yaitu yang utama adalah Dokter, karena Dokter adalah yang bertanggung jawab dalam memberikan rujukan kepada pasien, pasien tidak bisa dirujuk apabila belum di diagnosa oleh Dokter sebagai penanggung jawab, dokter tidak bisa merujuk pasien tanpa diagnosa. Kemudian perawat dan pegawai yang membantu dokter untuk pelaksanaan rujukan serta pasien yang meminta rujukan kepada dokter apabila diagnosa penyakitnya dan tidak bisa ditangani oleh dokter maka akan dirujuk ke fasilitas tingkat lanjutan (Debi, 2015).

Menurut ketentuan umum sistem rujukan berjenjang oleh BPJS Kesehatan salah satunya adalah dalam menjalankan pelayanan kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem dengan mengacu pada perundang-undangan yang berlaku seperti terbatasnya jenis dan jumlah obat yang sesuai dengan standar dalam standar Formulasi Nasional (Fornas), Standar alat kesehatan yang tercantum dalam Kompedium Alat Kesehatan dan standar pelayanan lainnya yang tercantum dalam JKN dan peserta yang ingin mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan sistem rujukan dapat dimasukkan dalam kategori pelayanan yang tidak sesuai dengan prosedur sehingga tidak dapat dibayarkan oleh BPJS Kesehatan (Kemenkes, 2013).

(36)

sebenarnya dapat ditangani di fasilitas kesehatan primer. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan petugas kesehatan terkait sistem rujukan berjenjang sudah tergolong tinggi.

5.3.2. Sikap Informan mengenai Kebijakan Sistem Rujukan

Berdasarkan sikap atau pandangan semua informan terhadap sistem rujukan ini sangat bervariasi, dan sangat menguntungkan bila diterapkan secara tepat. Informan Kepala Puskemas mengatakan akan meningkatkan kesiapan untuk menanggulangi rujukan pasien BPJS terutama pada hal pasien yang meminta untuk dirujuk. Ke empat (4) informan menyatakan hal sama terkait tanggapan atau pendapat mengenai kesiapan dalam bidang tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan maupun obat-obatan dan bahan habis pakai.

Diketahui bahwa jumlah pegawai puskesmas Tuktuk Siadong yaitu berjumlah 18 orang, berikut Tabel 5.2 tentang Jenis Tenaga Kesehaan di Puskesmas Tuktuk Siadong :

Tabel 5.2 Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Tuktuk Siadong No. Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah (orang)

1 Dokter Umum 1

2 Apoteker 1

3 Perawat 6

4 Perawat Gigi 2

5 Bidan 3

6 Ass. Apoteker 1

7 Sanitarian 1

8 Tenaga Kesehatan Masyarakat 3

Jumlah 18

(37)

sesuai dengan standar tetapi belum terealisasi, hal ini mengingat kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan BPJS yang terkait rujukan yang meningkat.

Ke-empat (4) Informan menyatakan bahwa untuk menyikapi keadaan tersebut, sudah dilakukan program-plrogram pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia kesehatan dilaksanakan sesuai dengan peraturan pelayanan dan standar kompetensi sehingga menghasilkan sumber daya manusia kesehatan yang menguasai Ilmu, Pengetahuan dan Teknologi atau IPTEK, profesional, beriman, bertaqwa, mandiri, bertanggung jawab, dan berdaya saing tinggi.

Sumber daya manusia merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu pelayan yang bermutu. Sumber daya yang secara kuantittas dan kualitas sesuai dengan standar diperlukan sebagai dukungan dalam menciptakan layanan yang menjadi saringan dalam mengurangi pelayanan rujukan yang tidak sesuai dengan syaratnya.

Dengan keberadaan sumber daya manusia dalam kuantitas yang belum terpenuhi dan secara kualitas dapat diperbaharui dan dilatih namun pelayanan akan tidak maksimal, ditambha lagi sarana prasarana terutama alat kesehatan tidak lengkap sehingga para petugas kesehatan tidak dapat memberi pelayanan sesuai dengan standar di pelayanan tingkat pertama memberikan tanggung jawab ke pelayanan kesehatan tingkat lanjutan.

(38)

dengan standar yang berlaku. Hal ini sejalan dengan bila ada alat-alat yang canggih dan hanya tenaga kesehatan khusus yang dapat mengoperasikan alat tersebut sehingga alat tersebut juga akan menjadi alat pajangan yang tidak dapat digunakan bila tidak ada tenaga kesehatan khusus yang dapat menggunakannya.

Kuantitas sarana dan prasarana merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu pelayanan yang bermutu. Sarana prasarana yang secara kuantitas dan kualitas sesuai dengan standar yang diperlukan sebagai dukungan dalam menciptakan layanan yang menjadi saringan dalam mengurangi pelayanan rujukan yang tidak sesuai dengan syaratnya.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa ketersediaan obat di Puskesmas Tuktuk Siadong masih belum siap bila dibandingkan dengan standar Formularium Nasional. Semua Informan menyatakan bahwa ketersediaan obat-obatan belum lengkap. Keempat (4) informan menyatakan mengaku menyusun kebutuhan obat sesuai dengan DOEN yang biasa dipakai di Dinas Kesehatan walaupun mereka hanya di acc dengan jumlah obat yang sedikit dan terkadang kurang. Sehingga mereka juga mengharapkan agar pemerintah memberikan perhatian khusus bagi ketersediaan obat di setiap pelayanan tingkat pertama khususnya Puskesmas Tuktuk Siadong.

(39)

Disimpulkan bahwa petugas kesehatan belum memberi respon secara positif terkait sistem rujukan berjenjang, hal ini terlihat dari belum adanya kesiapan baik dari SDM, fasilitas kesehatan dan obat-obatan yang akan menunjang pelayanan di Puskesmas Tuktuk Siadong.

5.3.3. Tindakan Informan mengenai Kebijakan Sistem Rujukan Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan sistem rujukan masih belum maksimal dan banyak kendala di Puskesmas Tuktuk Siadong. Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat pertama. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama, kecuali pada keadaan gawat darurat, kekhususan permasalahan pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan fasilitas.

Belum optimalnya sistem rujukan dapat terlihat pada banyaknya rujukan yang tidak sesuai dengan indikasi rujukan yang seharusnya. Semuanya itu berakibat pada penumpukan pasien dengan indikasi medis yang seharusnya masih bisa diselesaikan puskesmas. Hal ini terlihat dari pernyataan pasien rujukan BPJS yang sering melakukan rujukan atas permintaan sendiri, yang telah menjadi sebuah kebiasaan. Hal ini terjadi karena sulitnya mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat.

(40)

Puskesmas sebagai penyedia jasa pelayanan kesehatan dan berperan sebagai gatekeeper akan terganggu jika selalu saja melakukan rujukan ke rumah sakit. Selain itu, perilaku petugas pelayanan kesehatan yang tidak mendukung upaya pengendalian biaya dan pelayanan kesehatan dalam konsep kapitasi, seperti melakukan rujukan yang tidak berdasarkan kebutuhan indikasi medis pasien, memberikan rujukan atas dasar permintaan pasien, dimana seharusnya rujukan tersebut belum diperlukan, memberikan rujukan karena pasien adalah kolega dokter spesialis, atau puskesmas atau terpaksa memberikan surat rujukan karena pasien terlanjur telah melakukan pemeriksaan lanjutan dokter spesialis di rumah sakit, padahal kasus tersebut dapat ditangani di puskesmas (Fatmawati, 2003)

Kondisi yang di dapati di Puskesmas Tuktuk Siadong menurut pernyataan para Informan adalah terkadang setiap mekanisme alur pelayanan termasuk alur rujukan tidak selalu dilakukan dengan sesuai standarnya sehingga jumlah rujukan ke pelayanan tingkat lanjutan tidak dapat dibendung dan cenderung meningkat tiap tahunnya, beranjak dari itu maka pengetahuan dan keterampilan setiap pegawai seharusnya lebih berkompeten dalam setiap mekanisme yang sesuai dengan standar dan dapat dilaksanakan dengan terampil setiap tugas dan tanggung jawabnya pada pelayanan tingkat pertama.

(41)

dari puskesmas maka rumah sakit menerima dan menangani pasien dengan klaim yang akan dibebankan ke BPJS Kesehatan pada setiap tindakan dan terapi yang diberikan kepada pasien peserta BPJS Kesehatan tersebut.

Secara internal, Puskesmas Tuktuk Siadong juga memiliki kegiatan-kegiatan yang diharapkan akan mampu membantu mengurangi rujukan pasien tersebut dengan sosialisasi maupun komunikasi antarmuka dengan pasien sekaligus peningkatan kualitas pelayanan kesehatan.

(42)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Faktor karakteristik predisposisi yang mempengaruhi permintaan masyarakat dalam menggunakan pelayanan kesehatan rawat jalan dapat digambarkan variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan. 2. Karakteristik kebutuhan menjelaskan bahwa masih banyak kasus penyakit

yang di temukan di Rumah Sakit Hadrianus Sinaga merupakan kasus penyakit yang seharusnya masih bisa di selesaikan di Puskesmas.

3. Dari beberapa informan yang diwawancarai antara lain : Kepala Puskesmas, Dokter di Puskesmas, Petugas kesehatan pada bagian rujukan dan pegawai BPJS Kesehatan sudah mengetahui dan memahami bagaimana kebijakan sistem rujukan di era JKN.

4. Sikap petugas kesehatan belum memberi respon secara positif terkait sistem rujukan berjenjang, hal ini terlihat dari belum adanya kesiapan baik dari segi sumber daya manusia, kelengkapan fasilitas kesehatan dan obat-obatan yang akan menunjang pelayanan di Puskesmas Tuktuk Siadong.

(43)

6.2. Saran

1. Kepada rumah sakit hadrianus sinaga supaya mengupayakan pelayanan yang sesuai dengan standar dan mekanisme sistem rujukan berjenjang yang telah ditetapkan dengan menetapkan kebijakan menenai evaluasi rujukan, rujuk balik, pengelolaan manajemen untuk menghadapi peningkatan jumlah kunjungan pasien rawat jalan atas permintaan sendiri. 2. Kepada dinas kesehatan kabupaten samosir agar memperbaiki manajemen

pengadaan fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta kompetensi yang sesuai dengan standar e-catalog yang berlaku.

3. Kepada puskesmas Tuktuk Siadong supaya mengupayakan sikap dan tindakan petugas kesehatan dalam memberi pelayanan supaya sesuai dengan standar dan mekanisme sistem rujukan berjenjang yang telah ditetapkan untuk meresponi aturan yang berlaku yang telah dibuat BPJS. 4. Kepada BPJS Kesehatan agar memberikan sosialisasi kepada masyarakat

Gambar

Tabel 4.1Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Predisposisi
Tabel 4.3. Distribusi Informan berdasarkan Karakteristik Informan
Tabel 5.1Tabel Penyakit Yang Ditangani di FKTP
Tabel 5.2 Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Tuktuk Siadong

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan bebapa masalah pokok dalam ketentuan UU tersebut yang masih menititik-tekankan peranan kelembagaan yang bersifat formal dalam upaya pengetasan

(2) Proteksi beban lebih bagi motor yang bekerja pada sistem tegangan di ats 1000 V harus berupa suatu pemutus daya yang dilengkapi dengan pengindera beban lebih,

LIMBAH KAYU SEBAGAI BAHAN CINDERAMATA SITU LENGKONG PANJALU CIAMIS Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu Proses Penciptaan Karya

Pengunjung memasuki gate entrance site dengan membayar karcis parkir, kemudian dapat melihat kolam dan air mancur, merasakan suasana alam dengan kehadiran

Data Hasil Perhitungan Persentase Tutupan Karang, Dead Coral, Algae, Other Biota dan Abiotic.. Perhitungan persentase tutupan suatu kategori bentuk

respondendan karakteristik responden penelitian menggunakan tabulasi baris dan kolom.Terdapat 22 butir pernyataan tes objektif (benar, salah) untuk mengukur tingkat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran strategi petugas kesehatan di dalam layanan kesehatan anak yang terkait dengan kearifan lokal masyarakat di