[1]
Meninjau Ulang Eksistensi Teori Evolusi Kebudayaan
dalam Panggung Penelitian Antropologi Budaya
1Oleh: F erdy Yudha Pratama2
Teori Evolusi merupakan teori yang berkembang sekitar awal abad ke-19.
Teori evolusi tersebut pada awalnya merupakan teori yang bersifat fisik
(biologis), yaitu meneliti mengenai evolusi tubuh manusia. Diawali oleh hasil
pemikiran Charles Darwin tentang asal-mula manusia. Di samping itu kerangka
cara berpikir evolusionisme universal tidak hanya diterapkan dalam ilmu biologi
saja, tetapi juga telah menyebabkan timbulnya konsepsi tentang proses evolusi
sosial secara universal, (Koentjaraningrat, 2010: 31). Maka berkembanglah
teori-teori evolusi kebudayaan, seperti teori-teori evolusi keluarga J.J. Bachofen, delapan
tingkatan evolusi universal L.H. Morgan, dan teori evolusi religi E.B. Tylor.
Namun menjelang penghujung abad ke-19, mulai muncul kecaman-kecaman dari
banyak pihak mengenai cara berpikir dan cara bekerja para sarjana yang menganut
evolusi kebudayaan. Karena ternyata ditemukan fakta-fakta baru yang
memperkuat serangan-serangan terhadap teori evolusi. Dengan demikian mulai
tampak bahwa tingkat-tingkat evolusi dari para penganut evolusi kebudayaan itu
hanya merupakan konstruksi-konstruksi pikiran saja, yang tidak sesuai dengan
kenyataan dan yang lama-kelamaan tak dapat dipertahankan lagi
(Koentjaraningrat, 2010: 55).
Kritikan-kritikan yang diberikan terhadap teori evolusi banyak datang dari
para ahli antropologi generasi selanjutnya, salah satunya yaitu seorang antropolog
Inggris C. Levi-Strauss yang menganut pendekatan holistik dalam penelitian
antropologi. Ia dan para antropolog lain yang menolak teori evolusi memfokuskan
1 Artikel ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori-Teori Sosial Budaya yang
diampu oleh Drs. Didin Saripudin, M.Si di Departemen Pendidikan Sejarah – Universitas Pendidikan Indonesia tahun 2013.
2 Ferdy Yudha Pratama adalah mahasiswa S1 Pendidikan Sejarah – Universitas
[2]
penolakannya kepada cara penelitian komparatif yang dilakukan oleh para
penganut teori evolusi, yaitu dengan cara membanding-bandingkan
berpuluh-puluh kebudayaan di berbagai tempat di dunia. Menurut mereka kekurangan teori
evolusi adalah dari cara penelitian tersebut. Dalam penelitian komparatif,
“seorang peneliti mencabut unsur-unsur kebudayaan dari konteks masyarakat yang hidup untuk dijadikan satuan-satuan bandingnya” (Koentjaraningrat, 2010:
1-2).
Kritikan terhadap cara penelitian komparatif teori evolusi terletak pada
konsepsi mengenai perkembangan kebudayaan manusia. Penelitian komparatif
yang menghasilkan generalisasi, namun sebenarnya keadaan perubahan setiap
masyarakat itu berbeda-beda dan terkadang berubah tidak berangsur-angsur sesuai
yang dicantumkan oleh para penganut teori evolusi dalam bagan perkembangan
kebudayaan yang dibuatnya. Menurut Dr. C.H.M. Palm (1983: 26),
“Konsepsi bahwa perkembangan segala peradaban manusia berlangsung
menurut sebuah garis lurus, sama dan berangsur-angsur, dapat dikatakan tidak tepat. Paham evolusi itu menjadi suatu cara bekerja, yang dipergunakan untuk menyusun berbagai bagan perkembangan. Bukan perkembangan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan, melainkan perkembangan unsur-unsur kebudayaan yang tertentu...Lagipula perkembangan itu tidak selamanya berlangsung dengan berangsur-angsur,
setingkat demi setingkat. Mungkin ada suatu tingkat yang dilangkahi.”
Sehingga dalam kenyataannya, tidak pernah ada bukti bahwa proses
perkembangan unsur-unsur kebudayaan antara satu masyarakat dengan
masyarakat lain yang sama. Contohnya teori evolusi religi Herbert Spencer, yaitu
perubahan dari penyembahan roh nenek moyang ke penyembahan dewa-dewa
terjadi melalui masa transisi yaitu penyembahan kepada roh binatang dahulu,
“sedangkan pada bangsa-bangsa lain evolusi itu juga akan berlangsung, tetapi
tidak melalui tingkatan antara, yaitu penyembahan kepada roh binatang tadi”
(Koentjaraningrat, 2010: 36).
Lalu yang tak kalah menariknya adalah kritikan mengenai cara kerja para
penganut teori evolusi yang begitu subjektif, maklum saja karena kebanyakan
para ahli tersebut merupakan orang-orang Eropa. Hal tersebut terdapat pada bagan
perkembangan kebudayaan hasil pemikiran para penganut teori evolusi. Menurut
[3]
ditempatkan di sebelah atas, yang bukan dari Eropa, di sebelah bawah. Orang
bertekun membaca berbagai etnografi untuk mencari contoh yang harus
membuktikan kebenaran teori-teori ini.”
Meskipun banyak kecaman terhadap teori evolusi kebudayaan, namun
keberadaan teori tersebut masih tetap eksis hingga kini masih muncul di berbagai
buku referensi bagi para mahasiswa. Karena sebuah teori akan tetap dipelajari
sebagai sejarah pemikiran-pemikiran ahli antropologi, namun dalam
penggunaannya tentu akan menimbang aspek relevansinya. Menurut A.J.F.
Kobben, membedakan antara dua ahli antropologi, yaitu para comparativist dan
para non-comparativist. Kobben mengatakan bahwa adanya kedua golongan ahli
antropologi itu penting demi kemajuan ilmu antropologi, karena mereka saling
menunjang (Koentjaraningrat, 2010: 2). Maka perlu ditinjau kembali peran dari
masing-masing cara penelitian tersebut. Penelitian komparatif maupun penelitian
yang bersifat mendalam dan menyeluruh sama-sama dapat menunjang penelitian
antropologi sebagai ilmu yang berusaha mempelajari keanekaragaman manusia.
Penelitian komparatif para penganut teori evolusi telah berhasil menciptakan
generalisasi-generalisasi mengenai manusia, namun keberadaan generalisasi
tersebut akan lebih kuat jika tercipta juga penelitian yang mendalam dan
menyeluruh mencakup keseluruhan unsur kebudayaan dalam masyarakat seperti
[4]
Referensi
Koentjaraningrat. (2010). Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Koentjaraningrat. (2010). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI-Press.
Palm, C.H.M. (1983). Sedjarah Anthropologi Budaja. Bandung: Kesedjahteraan