BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Agency theory merupakan bidang yang populer akhir-akhir ini.
“Teori ini menyebutkan bahwa perusahaan adalah tempat atau intersection
point bagi hubungan kontrak yang terjadi antara manajemen, pemilik,
kreditor, dan pemerintah (Harahap, 2013:532)”. Teori ini bercerita tentang
monitoring berbagai macam biaya dan memaksakan hubungan diantara
kelompok ini. Audit misalnya dianggap sebagai alat meyakinkan diri
bahwa laporan keuangan harus tergantung pada pemeriksaan dari aspek
pengawasan intern. Seandainya laporan hasil pemeriksaan akuntan adalah
wajar, ini berarti bahwa penyajiannya telah sesuai dengan prinsip
akuntansi. Dalam hal ini audit memberikan keyakinan pada pihak luar,
pemilik, dan kreditor tentang pengelolaan perusahaan oleh manajemen
sebagai agen.
Salah satu hipotesis dalam teori agency ini adalah bahwa manajemen akan
mencoba memaksimalkan kesejahteraannya sendiri dengan cara
meminimalisasi berbagai biaya agency. Hipotesis ini tidak sama artinya
dengan hipotesis yang menyebutkan bahwa manajemen mencoba
manajemen diasumsikan akan memilih prinsip akuntansi yang sesuai
dengan tujuannya memaksimalkan kepentingannya.
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang
saham (stakeholder) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen.
Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk
bekerja demi kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka
pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya
kepada pemegang saham.
Menurut Anthony dan Govindarajan (1995) dalam Suranggane (2007:80)
“teori keagenan adalah economic rational man dan kontrak antar prinsipal
dan agen dibuat berdasarkan angka akuntansi sehingga menimbulkan
konflik kepentingan antara prinsipal dan agen”.
Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau
lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan
suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen
membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak
tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai
perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai
dengan kepentingan prinsipal. Masalah keagenan potensial terjadi apabila
kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari seratus persen.
Dengan proporsi kepemilikan yang hanya sebagian dari perusahaan
bukan untuk memaksimumkan perusahaan. Inilah yang nantinya
menyebabkan biaya keagenan (agency cost).
Dalam suatu perusahaan, konflik kepentingan antara prinsipal
dengan agen salah satunya dapat timbul karena adanya kelebihan aliran
kas (excess cash flow). Kelebihan arus kas cenderung diinvestasikan dalam
hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan utama perusahaan. Ini
menyebabkan perbedaan kepentingan karena pemegang saham lebih
menyukai investasi yang berisiko tinggi yang juga
menghasilkan return tinggi, sementara manajemen lebih memilih investasi
dengan risiko yang lebih rendah.
Teori agensi mengasumsikan bahwa semua individu bertindak
untuk kepentingan mereka sendiri. Agen diasumsikan akan menerima
kepuasaan tidak hanya dari kompensasi keuangan tetapi juga dari
tambahan yang terlibat dari hubungan suatu agensi, seperti waktu luang
yang banyak, kondisi kerja yang menarik, keanggotaan klub dan jam kerja
yang fleksibel. Prinsipal (pemegang saham), dipihak lain diasumsikan
hanya tertarik pada pengembalian keuangan yang diperoleh dari investasi
mereka disuatu perusahaan.
Agen biasanya memiliki sebagian besar dari kekayaan mereka
terikat dengan kekayaan perusahaan. Kekayaan ini terdiri baik dari
kekayaan keuangan maupun modal manusia mereka. Modal manusia
merupakan nilai manajer sebagaimana dipandang oleh pasar dan
atas kekayaan dan besarnya jumlah modal agen yang bergantung pada
perusahaan, agen diasumsikan akan bersikap enggan menghadapi risiko
(risk averse). Sedangkan, prinsipal termotivasi untuk menyejahterakan
dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat sedangkan agen
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomis dan
psikologisnya.
Teori keagenan menyatakan bahwa praktik manajemen laba
dipengaruhi oleh adanya konflik kepentingan oleh agen dengan prinsipal
yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau
mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki. Prinsipal tidak
memiliki informasi yang mencukupi mengenai kinerja agen, maka
prinsipal tidak pernah merasa pasti bagaimana usaha agen memberikan
kontribusi pada hasil aktual perusahaan. Dengan demikian prinsipal berada
sebagai asimetri informasi karena agen lebih mengetahui kinerja dan
aktivitas perusahaan dibandingkan prinsipal.
Adanya perbedaan kepentingan dan informasi antara prinsipal dan
agen memacu agen untuk memikirkan bagaimana angka akuntansi yang
dihasilkan dapat lebih memaksimalkan kepentingannya. Cara yang dapat
dilakukan agen untuk mempengaruhi angka-angka akuntansi dapat berupa
2.1.2 Manajemen Laba (Earning Management)
“Earning Management dalam kamus akuntansi dikenal dalam
berbagai istilah: ada yang menyebut “window dressing” atau “lipstick
accounting” untuk menciptakan laporan keuangan lebih cantik (Harahap,
2013:552)”. Ada istilah cooked book atau income smoothing untuk
mengatur laba dengan menu yang diinginkan sponsor. Semua istilah itu
berkonotasi negatif karena ingin menciptakan angka laba yang distortif
inflatif tidak sesuai dengan kenyataan. Akhirnya akuntansi dituduh tidak
memberikan informasi yang akurat dan reliable lagi bahkan dinilai
membingungkan.
Upaya mengatur laba ini kadang bisa didukung oleh standar
akuntansi yang dipakai. Artinya dengan menerapkan standar akuntansi
yang diterima umum saat ini kita bisa mengatur laba supaya sesuai dengan
keinginan sponsor. Sifat akuntansi yang banyak mengandung taksiran
(estimasi), pertimbangan (judgment) dan sifat accrual membuka peluang
untuk bisa mengatur laba. Taksiran penyusutan, bad debts, nilai
persediaan, pemilihan standar penilaian persediaan misalnya FIFO, LIFO,
standar penyusutan misalnya straight line, double declining bisa
mengubah angka laba. Sistem akrual bisa mempengaruhi alokasi waktu
dari hasil dan biaya yang menimbulkan perubahan laba periodik.
Praktik-praktik Earning Management di BEI menurut beberapa penelitian
dan regulasi yang mencoba untuk mengikat para pelaku untuk tidak
melakukan earning management yang merugikan publik ini.
Dikalangan akademisi sendiri sebenarnya ada upaya untuk keluar
dari konvensi standar akuntansi yang ada sekarang. Menurut Tom Lee,
menganjurkan “cash flow accounting” atau akuntansi berbasis kas yang
tidak menggunakan basis akrual untuk menghindari manajemen laba
melalui sistem akrual.
Manajemen laba (earning management) merupakan bagian dari
Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory). Positive Accounting
Theory merupakan teori yang membahas mengenai pemilihan prinsip
akuntansi oleh manajer dan bagaimana manajer bereaksi atas standar
akuntansi yang dianjurkan (Scott, 2003 dalam Kusuma, 2014). Dalam
perkembangannya, positive accounting theory mencoba menjelaskan dan
memprediksikan praktik akuntansi yang dilakukan didalam perusahaan
salah satunya adalah praktik earning management.
Beberapa peneliti terdahulu mengartikan manajemen laba dengan
bahasa berbeda-beda. Namun demikian pada intinya adalah sama yaitu
menentukan laba sedemikian rupa dengan mempermainkan pos-pos
pendapatan dan biaya dalam laporan laba rugi baik melalui pemanfaatan
pemilihan alternatif metode maupun melalui operasi.
Terdapat tiga hipotesis terkait dengan positive accounting theory,
akuntansi yang paling menguntungkan mereka sendiri. Ketiga hipotetis
tersebut adalah:
1. Bonus Plan Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa manajer perusahaan dengan bonus
plan yang didasarkan pada besarnya laba yang dicapai akan cenderung
memilih standar akuntansi yang akan meningkatkan laba tahun
berjalan atau melakukan perataan laba (income smoothing).
2. Debt Covenant Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan bahwa perusahaan dengan debt covenant
yang didasarkan pada angka-angka laporan keuangan, akan
menghindari kondisi gagal bayar (default) dengan cara menggeser
laba dimasa mendatang untuk dilaporkan sebagai laba tahun berjalan.
3. Political Cost Hypothesis
Hipotesis ini menyatakan semakin besar political cost yang dihadapi
perusahaan apabila melaporkan laba, manajer akan cenderung
menunda pengakuan laba. Perusahaan-perusahaan besar atau
perusahaan-perusahaan yang berada dalam industri tertentu memiliki
kecenderungan untuk menarik perhatian publik dan pemerintah.
Apabila perusahaan-perusahaan ini melaporkan profitabilitas yang
tinggi, dapat menimbulkan kebijakan pemerintah baru yang akan
mengurangi profitabilitasnya (misalnya kebijakan dibidang pajak).
kebijakan manajemen laba yang mengurangi laba (income decreasing
earnings management).
2.1.3 Deferred Tax Liabilities (Kewajiban Pajak Tangguhan)
Dalam Akuntansi Pajak Pengahsilan (PPh), laba dibedakan antara
laba akuntansi (accounting profit), laba komersial dengan laba fiskal
(taxable profit), atau penghasilan kena pajak. Laba akuntansi adalah laba
atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak yang
dihitung berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan lebih
ditujukan untuk menilai kinerja ekonomi, sedangkan laba fiskal adalah
laba/rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan Peraturan
Perpajakan dan lebih ditujukan untuk menjadi dasar penghitungan PPh.
Tahun 1998, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menerbitkan Penyataan
Standar Akuntansi Keuangan Nomor 46 (PSAK 46) mengenai akuntansi
PPh. Penerapan PSAK 46 ini diharapkan dapat menjembatani antara
Peraturan Perpajakan dengan ketentuan akuntansi (Sukrisno Agoes,
2007:197).
Aktiva pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan adalah
efek atau konsekuensi pajak periode mendatang dari perbedaan temporer.
Kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terutang
untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena
pajak. Kewajiban pajak tangguhan berasal dari beda temporer kena pajak.
waktu menyebabkan terjadinya koreksi negatif sehingga beban pajak
menurut akuntansi lebih besar daripada beban pajak menurut peraturan
perpajakan. Kewajiban pajak tangguhan ditimbulkan oleh beban pajak
tangguhan (deferred tax expense).
Menurut Yulianti (2005), “beban pajak tangguhan timbul akibat
perbedaan temporer antara laba akuntansi (yaitu laba dalam laporan
keuangan untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba
yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak)”. Perbedaan antara
laporan keuangan akuntansi dan fiskal disebabkan dalam penyusunan
laporan keuangan dimana standar akuntansi lebih memberikan keleluasaan
bagi manajemen dalam menentukan prinsip dan asumsi akuntansi
dibandingkan dengan yang diperbolehkan oleh peraturan perpajakan.
“Pengakuan pajak penghasilan dalam PSAK No.46, telah menetapkan
metode akuntansi pajak penghasilan secara komprehensif dengan
pendekatan aktiva kewajiban atau balance-sheet approach (Wijayanti,
2006 dalam Kusuma, 2014)”. Metode akuntansi pajak penghasilan yang
berorientasi pada neraca mengakui kewajiban dan aktiva pajak tangguhan
terhadap konsekuensi fiskal masa depan yang disebabkan oleh adanya
perbedaan temporer dan sisa kerugian yang belum dikompensasikan.
Untuk itu, perbedaan temporer yang dapat menambah jumlah pajak dimasa
depan akan diakui sebagai utang pajak tangguhan dan perusahaan harus
mengakui adanya biaya pajak tangguhan (deferred tax expense), yang
perusahaan yang mengakui pendapatan lebih awal atau menunda biaya
untuk pelaporan keuangan dibanding pelaporan pajak. Sebaliknya,
perbedaan temporer yang dapat mengurangi jumlah pajak dimasa depan
akan diakui sebagai aset pajak tangguhan dan perusahaan harus mengakui
adanya keuntungan atau manfaat pajak tangguhan (deferred tax benefit),
yang berarti bahwa kenaikan aset pajak tangguhan konsisten dengan
perusahaan yang mengakui biaya lebih awal atau menangguhkan
pendapatannya untuk tujuan pelaporan keuangan dibandingkan pelaporan
pajak.
Yulianti (2005) menyatakan “bahwa semakin besar perbedaan
antara laba yang dilaporkan perusahaan (laba komersial) dengan laba
fiskal menunjukkan “red flag/bendera merah” bagi pengguna laporan
keuangan”. Hal ini berarti pengguna laporan keuangan harus berhati-hati
dalam menggunakan laporan keuangan tersebut dalam pengambilan
keputusannya. Semakin besar persentase beban pajak tangguhan terhadap
total beban pajak perusahaan menunjukkan pemakaian standar akuntansi
yang semakin liberal (Yulianti, 2005).
Menurut Philips, Pincus and Rego (2003) mengatakan bahwa
Beban pajak tangguhan adalah beban yang timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (yaitu laba dalam laporan keuangan untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak).
Menurut Zain (2007) dalam Jayanto dan Kiswanto (2009):
Pajak tangguhan terjadi akibat perbedaan antara PPh terutang (pajak penghasilan yang dihitung berbasis pada penghasilan kena pajak yang sesungguhkan dibayar kepada pemerintah) dengan beban pajak penghasilan (pajak penghasilan yang dihitung berbasis penghasilan sebelum pajak) sepanjang menyangkut perbedaan temporer.
2.1.4 Deferred Tax Asset (Aset Pajak Tangguhan)
Aset pajak tangguhan disebabkan jumlah pajak penghasilan
terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer
yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian (Purba, 2009:32).
Besarnya aset pajak tangguhan dicatat apabila dimungkinkan adanya
realisasi manfaat pajak dimasa yang akan datang. Oleh karena itu
dibutuhkan judgement untuk menaksir seberapa mungkin aset pajak
tangguhan tersebut dapat direalisasikan. Aset pajak tangguhan adalah aset
yang terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang
berakibat beban pajak menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding
beban pajak menurut Undang-Undang Pajak.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia, nilai tercatat Aset Pajak
Tangguhan harus ditinjau kembali pada tanggal neraca. Perusahaan harus
menurunkan nilai tercatat apabila laba fiskal tidak mungkin memadai
untuk mengkompensasi sebagian atau semua aset pajak tangguhan.
Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali apabila besar kemungkinan
laba fiskal memadai. Dengan adanya kewajiban untuk melakukan
peninjauan kembali pada tanggal neraca, maka setiap tahun manajemen
tangguhan dan pencadangan aset pajak tangguhan, sedangkan penilaian
manajemen untuk melakukan saldo cadangan aset pajak tangguhan
tersebut bersifat subjektif (Suranggane, 2007:81).
Dengan diberlakukannya PSAK No.46 yang mensyaratkan para
manajer untuk mengakui dan menilai kembali aset pajak tangguhan yang
dapat disebut pencadangan nilai aset pajak tangguhan. Peraturan ini dapat
memberikan kebebasan manajemen untuk menentukan kebijakan
akuntansi yang digunakan dalam penilaian aset pajak tangguhan pada
laporan keuangannya, sehingga dapat digunakan untuk mengiindikasikan
ada tidaknya rekayasa laba atau manajemen laba yang dilakukan oleh
perusahaan dalam laporan keuangan yang dilaporkan dalam rangka
menghindari penurunan atau kerugian laba.
2.1.5 Akrual
Dalam buku Pengantar Akuntansi (Warren Reeve Fees
Accounting), pada waktu akuntan menyiapkan laporan keuangan, mereka
berasumsi bahwa umur ekonomi suatu bisnis dapat dibagi dalam beberapa
periode waktu. Dengan menggunakan konsep periode akuntansi
(accounting period concept) ini, akuntan harus menentukan dalam periode
mana pendapatan dan beban bisnis akan dilaporkan. Untuk menentukan
periode yang tepat, akuntan akan menggunakan akuntansi dasar kas atau
Pada dasar kas (cash basis), pendapatan dan beban dilaporkan
dalam laporan laba rugi pada periode dimana kas diterima atau dibayar.
Misalnya, penghasilan dicatat ketika kas diterima dari klien, dan upah
dicatat ketika kas dibayarkan kepada karyawan. Laba (rugi) bersih
merupakan selisih antara penerimaan kas (pendapatan) dan pengeluaran
kas (beban).
Pada dasar akrual (accrual basis), pendapatan dilaporkan dalam
laporan laba rugi pada periode saat pendapatan tersebut dihasilkan
(earned). Misalnya pendapatan dilaporkan pada saat jasa diberikan kepada
pelanggan tanpa melihat apakah kas telah diterima atau belum dari
pelanggan selama periode ini. Konsep yang mendukung pelaporan
pendapatan ini disebut konsep pengakuan pendapatan (revenue recognition
concept). Pada dasar akrual, beban dan pendapatan yang saling terkait
dilaporkan pada periode yang sama. Sebagai contoh, upah karyawan
dilaporkan sebagai beban pada periode dimana karyawan memberikan jasa
bukan pada saat upah dibayarkan. Pada buku Akuntansi Intermediate
(Kieso Weygandt Warfield, 2008) dijelaskan bahwa sebagian besar
perusahaan menggunakan akuntansi dasar akrual dimana perusahaan itu
mengakui pendapatan ketika dihasilkan dan mengakui beban pada periode
terjadinya, tanpa memperhatikan waktu penerimaan atau pembayaran kas.
Namun, sejumlah perusahaan kecil dan pembayar pajak individu rata-rata
menggunakan pendekatan dasar kas murni atau yang telah dimodifikasi.
diakui pada saat kas diterima dan beban hanya diakui pada saat kas
dibayarkan. Penentuan laba menurut dasar kas tergantung pada penagihan
pendapatan serta pembayaran beban. Dasar kas mengabaikan prinsip
pengakuan pendapatan serta prinsip penandingan. Akibatnya, laporan
keuangan dasar kas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang
diterima umum. Sehingga, tidak jarang laporan keuangan dengan dasar kas
dikonversi menjadi laporan keuangan dasar akrual untuk tujuan penyajian
kepada para investor dan kreditor. Akuntansi dasar akrual secara teoritis
lebih disukai karena menyediakan informasi tentang arus kas masuk dan
arus kas keluar yang berhubungan dengan aktivitas operasi sepanjang arus
kas ini dapat diestimasi dengan tingkat kepastian yang memadai.
Menurut PSAK, Laporan keuangan disusun berdasarkan akrual.
Dengan dasar ini pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat
kejadian (dan bukan pada saat kas dan setara kas diterima atau dibayar)
dan dicatat dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan
keuangan pada periode yang bersangkutan. Konsep Akrual dibedakan
menjadi 2 yaitu:
1. Discretionary Accrual
Adalah pengakuan akrual laba atau beban yang bebas tidak diatur dan
merupakan pilihan kebijakan manajemen.
2. Non Discretionary Accrual
Adalah sebaliknya, pengakuan akrual laba yang wajar yang tunduk
Model yang digunakan untuk menghitung total akrual yaitu Modified
Jones Model dengan formula:
TAit = NIit– CFOit
Dimana: TA = Total Akrual
NIit = Laba bersih perusahaan i dalam periode t
CFOit = Arus kas operasi perusahaan i dalam periode t
2.2 PSAK No.46 Tentang Akuntansi Pajak Penghasilan 2.2.1 Tujuan Dari PSAK No.46
Tujuan dari dikeluarkannya PSAK No.46 tentang akuntansi pajak
penghasilan antara lain:
1. Mengatur perlakuan akuntansi pajak penghasilan
2. Dalam akuntansi pajak penghasilan, agar dilakukan pengakuan
(recognition) terhadap future tax effect yang timbul sebagai akibat
adanya transaksi dan peristiwa yang telah diakui dalam laporan
keuangan dan SPT. Disamping itu agar dilakukan pengakuan terhadap
future tax effect dari kompensasi kerugian fiskal yang belum
digunakan apabila persyaratan tertentu terpenuhi.
3. Pengakuan future tax effect dilakukan dengan mengakui adanya aset
pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan dalam PSAK No.46
dilakukan dengan menggunakan Balance Sheet Liability Method.
4. Mengatur tentang penyajian pajak penghasilan pada laporan keuangan
2.2.2 Terminologi Yang Digunakan Dalam PSAK No.46
Dalam PSAK No.46 terdapat istilah baru yang digunakan, antara
lain:
1. Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan
perpajakan dan pajak ini dikenakan atas penghasilan kena pajak
perusahaan.
2. Pajak penghasilan final adalah pajak penghasilan yang bersifat final,
yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan
penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak
digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak
penghasilan yang bersifat tidak final. Pajak jenis ini dapat dikenakan
terhadap jenis penghasilan, transaksi atau usaha tertentu.
3. Laba akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode
sebelum dikurangi beban pajak.
4. Penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak
(tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung
berdasarkan peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar perhitungan
pajak penghasilan.
5. Beban pajak (tax expense) atau penghasilan pajak (tax income) adalah
jumlah agregat pajak kini (current tax) dan pajak tangguhan (deferred
tax) yang dihitung dalam laba atau rugi satu periode. .
6. Pajak kini (current tax) adalah jumlah pajak penghasilan terutang atas
7. Kewajiban pajak tangguhan (deferred tax liabilities) adalah jumlah
pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang akibat
adanya perbedaan temporer kena pajak.
8. Aset pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan
(recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya:
a. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan
b. Sisa kompensasi kerugian
9. Perbedaan temporer adalah perbedaan antara jumlah tercatat aset atau
kewajiban dengan DPP-nya. Perbedaan temporer dapat berupa:
a. Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences)
adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena
pajak dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat
nilai tercatat aset dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban tersebut
dilunasi.
b. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary
differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu
jumlah yang boleh dikurangkan (deductible amounts) dalam
perhitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat
aset dipulihkan atau nilai tercatat kewajiban dilunasi.
10. Dasar Pengenaan Pajak (DPP) aset atau kewajiban adalah nilai aset
atau kewajiban yang diakui oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
11. Surat Ketetapan Pajak adalah surat yang diterbitkan oleh DJP yang
dapat berupa:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat keputusan yang
menentukan besar jumlahnya pajak terutang, jumlah kredit pajak,
jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat
keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak
seharusnya terutang.
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat keputusan yang
menentukan jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
12. Surat Tagihan Pajak adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk
melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga
atau denda.
2.2.3 Akuntansi Pajak Penghasilan
Masalah timbul ketika adanya perbedaan-perbedaan antara laba
dengan laba sebelum kena pajak yang ditentukan berdasarkan SAK,
apakah perlu diadakan alokasi pajak penghasilan terhadap pengaruh pajak
(tax effects) atas perbedaan-perbedaan tersebut. Disini muncul dua
pendapat berbeda diantara para akuntan. Beberapa menyatakan bahwa
pajak yang dilaporkan dalam laporan keuangan adalah pajak yang
benar-benar terjadi atau dikenakan pada tahun yang bersangkutan. Sehingga
tidak perlu adanya pengakuan secara akuntansi atau pengakuan terhadap
tax effects atas perbedaan-perbedaan tersebut. Pendapat ini merupakan
dukungan terhadap nonallocation method (flow-through).
Di pihak lain kelompok kedua menyatakan perlu adanya alokasi
pajak penghasilan atas perbedaan-perbedaan tersebut, dengan
argumen-argumen sebagai berikut:
1. Pajak penghasilan berasal dari transaksi atau kejadian yang terjadi
akibatnya, beban pajak penghasilan harus berdasarkan hasil dari
transaksi atau kejadian yang dimasukkan dalam laba akuntansi
keuangan.
2. Pajak penghasilan adalah beban dalam melakukan usaha, dan
seharusnya dimasukkan konsep akrual, penangguhan dan estimasi yang
sama yang diterapkan dalam beban-beban lainnya.
3. Perbedaan waktu pengakuan beban dan pendapatan yang berakibat pada
perbedaan temporer akan berbalik dimasa depan. Peluasan usaha, bisnis
Aset lama diterima, kewajiban lama dilunasi dan yang baru digantikan.
Pajak tangguhan pun bertambah dengan cara yang sama.
4. Alokasi pajak interperiode membuat net income perusahaan lebih
berguna sebagai dasar pengukuran long-term earning power dan
mencegah adanya periodik yang berasal dari peraturan pajak
penghasilan.
5. Non-alokasi atas beban pajak penghasilan menyulitkan prediksi arus
kas masa depan. Contohnya, arus kas masuk masa depan perusahaan
dari pelunasan penjualan kredit biasanya akan dihapuskan oleh arus kas
keluar untuk pajak.
6. Business entity diharapkan untuk berkelanjutan dalam going concern
basic dan pajak penghasilan yang kini ditangguhkan akhirnya akan
dilunasi.
7. Pengakuan atas pajak tangguhan diperlukan untuk melaporkan pajak
yang dimasa depan diharapkan dilunasi atau dipulihkan karena
perlakuan tax return untuk berbagai item berbeda dengan perlakuan
dalam laporan keuangan.
Pada akhirnya, argumen mengenai alokasi pajak interperiodelah yang
paling tepat. Lalu muncul dua konsep berkenaan dengan masalah pengalokasian
itu sendiri. Konsep tersebut adalah comprehensive basic dan partial basic. Dalam
comprehensive allocation, beban pajak penghasilan yang dilaporkan dalam satu
periode akuntansi dipengaruhi oleh semua transaksi dan kejadian yang termasuk
Comprehensive allocation berakibat pada penyertaan konsekuensi pajak dari
semua perbedaan temporer yang terdapat dalam aset dan kewajiban pajak
tangguhan.
Sebaliknya, dalam partial allocation, beban pajak penghasilan yang
dilaporkan dalam periode akuntansi tidak dipengaruhi oleh perbedaan temporer
yang diharapkan tidak berbalik dimasa depan. Akibatnya, pengakuan pajak
penghasilan tangguhan dianggap tidak tepat untuk perbedaan temporer yang pasti
akan selalu ada dan akan menimbulkan perbedaan dimasa depan yang nantinya
akan saling hapus perbedaan yang berbalik, mengakibatkan penundaan yang tidak
terbatas dari konsekuensi pajak tangguhan. Jadi perbedaan temporer tidak jauh
berbeda dengan perbedaan tetap. Selain itu konsep ini juga berpendapat bahwa
beban pajak yang dilaporkan pada suatu periode harus sama dengan pajak yang
2.3 Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
Yulianti (2005) Kemampuan Beban
Alat uji: Regresi Logistik
Suranggane (2007) Analisis Aktiva Pajak
Tangguhan Akrual yang terdaftar di BEI.
memprediksi Earnings Managements
(Penelitian Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI).
Beban pajak tangguhan (X1)
Akrual (X2)
Objek Penelitian: Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI.
Alat Uji : Regresi
Kusuma (2014) Analisis Beban Pajak
2.4 Kerangka Konseptual
2.5 Penjelasan Kerangka Konseptual dan Hipotesis
2.5.1 Pengaruh Deferred Tax Liabilities Terhadap Manajemen Laba Semakin besar perbedaan antara laba yang dilaporkan perusahaan
(laba komersial) dengan laba fiskal menunjukkan bendera merah bagi
pengguna laporan keuangan. Manajer menggunakan keleluasaannya untuk
mengalihkan pendapatan dari periode mendatang untuk periode saat ini
dalam rangka melaporkan pertumbuhan penghasilan yang konsisten.
“Beban pajak adalah salah satu akun terakhir sebelum laba bersih yang
disajikan dalam laporan laba rugi komprehensif. Beban pajak ini
digunakan sebagai upaya terakhir untuk melakukan manajemen laba
(Dhaliwal et al., 2004 dalam Indriani)”. Peningkatan deferred tax
liabilities terjadi karena beban pajak lebih besar daripada pajak kini.
Kenaikan deferred tax liabilities akan meningkatkan beban pajak
tangguhan dan secara total akan meningkatkan beban pajak penghasilan.
Peningkatan beban pajak tangguhan ini terjadi karena aktivitas manajemen
laba yang meningkatkan laba perusahaan. Semakin besar persentase beban
pajak tangguhan terhadap total beban pajak perusahaan menunjukkan
standar akuntansi yang semakin liberal. Dan perbedaan antara laba
akuntansi dengan laba fiskal memiliki hubungan yang positif dengan
insentif pelaporan keuangan seperti financial distress dan pemberian
bonus, dengan adanya hal tersebut maka dimungkinkan manajer dapat
melakukan rekayasa laba atau manajemen laba dengan memperbesar atau
memperkecil jumlah deferred tax expense yang diakui dengan laporan laba
rugi. Beban yang besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh
suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan
menaikkan tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Dari penjelasan diatas
dapat terjadi rekayasa laba atau manajemen laba dengan menaikkan atau
menurunkan jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dalam laporan
H1 : Deferred Tax Liabilities berpengaruh terhadap Manajemen laba
2.5.2 Pengaruh Deferred Tax Asset terhadap Manajemen Laba
Selisih positif antara laba akuntansi dengan laba fiskal
mengakibatkan terjadinya koreksi positif yang menimbulkan terjadinya
aset pajak tangguhan (Suranggane, 2007:78). Aset pajak tangguhan terjadi
bila laba akuntansi lebih kecil daripada laba fiskal akibat temporer. Lebih
kecilnya laba akuntansi dari laba fiskal mengakibatkan perusahaan
menunda pajak terutang periode mendatang. Berdasarkan penelitian
Suranggane (2007) bahwa aset pajak tangguhan dijadikan proksi sebagai
indikator dari praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Aset
pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh manajemen dimotivasi
adanya pemberian bonus, beban politis atas besarnya perusahaan dan
minimalisasi pembayaran pajak agar tidak merugikan perusahaan.
Mengacu pada pernyataan tersebut, maka diekspektasikan adanya
peranan antara aset pajak tangguhan yang dimungkinkan dapat digunakan
sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak
tangguhan semakin besar maka semakin tinggi manajemen melakukan
manajemen laba, untuk itu dibuat hipotetis sebagai berikut:
2.5.3 Pengaruh Akrual terhadap Manajemen Laba
Penyusunan laporan keuangan dengan metode akrual ini digunakan
oleh para manajer dengan memanipulasi laba sedemikian rupa untuk
mempengaruhi keputusan stakeholder. Oleh karena itu, ada kecenderungan
para manajer untuk mengatur laba sedemikian rupa dengan menerapkan
income-increasing discretionary accruals (usaha untuk merekayasa laba
dengan menurunkan tingkat laba pada tingkat tertentu untuk membalikkan
kebijakan akrual yang dilakukan sebelumnya).
H3 : Akrual berpengaruh terhadap Manajemen Laba