• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II RIWAYAT HIDUP HAJI SUPRIYANTO HADIBROTO A. Latar Belakang Keluarga Haji Supriyanto Hadibroto - Kartika Rahmadhani BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II RIWAYAT HIDUP HAJI SUPRIYANTO HADIBROTO A. Latar Belakang Keluarga Haji Supriyanto Hadibroto - Kartika Rahmadhani BAB II"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

RIWAYAT HIDUP HAJI SUPRIYANTO HADIBROTO

A. Latar Belakang Keluarga Haji Supriyanto Hadibroto

Supriyanto Hadibroto lahir dari sebuah keluarga yang memiliki

perjuangan hidup yang berat. Ayahnya bernama Martosiswoyo, berasal dari

Desa Tlepok, Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen. Martosiswoyo

merupakan seorang lulusan dari sekolah CVO. CVO sendiri singkatan dari

Cursus Voor Onxerwijzes yaitu sekolah kejuruan pada masa pemerintahan

Belanda. Karena ia lulusan dari CVO, maka ia bekerja menjadi seorang guru

Sekolah Rakyat (SR). Sedangkan ibunya bernama Aminah. Aminah merupakan

seorang gadis yang berasal dari Desa Krakal, Kecamatan Karangsambung,

Kabupaten Kebumen. Dari pernikahannya tersebut, mereka dikaruniai 10 orang

anak yaitu Munjiyah, Supriyono, Katriyah, Supriyadi, Katiyah, Rahadi, Slamet

Suradi, Wasono, Supriyanto dan Suprihno. Tetapi Wasono yang merupakan

anak ke-8 telah meninggal dunia tidak lama setelah dilahirkan (Wawancara

Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Keluarga Martosiswoyo hidup serba kekurangan. Terlebih dengan

menanggung biaya hidup 9 orang anak. Tetapi hal tersebut tidak mengurungkan

niatnya untuk selalu giat bekerja dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Martosiswoyo menginginkan semua anaknya dapat menempuh pendidikan.

Karena pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Ia selalu mengingatkan

kepada semua anaknya bahwa ia hanya bisa mewariskan pendidikan atau ilmu.

(2)

masa depan yang lebih baik. Semua anaknya pun menyadari akan pentingnya hal

tersebut (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Selain memberikan fasilitas untuk melanjutkan sekolah, orang tua pun

memberikan nilai-nilai moral kepada semua anaknya seperti kesederhanaan,

kedisiplinan dan ketegasan. Melihat bahwa keluarganya hidup serba kekurangan

maka semua anaknya terbiasa hidup sederhana dengan membatasi pergaulan

karena mereka selalu mengingat apa yang ayahnya katakan. Sehingga mereka

lebih memprioritaskan pendidikan. Martosiswoyo yang bekerja hanya

mengandalkan gaji Rp 7,5 sebagai guru SR dengan gaji sebesar itu tidak mampu

untuk membiayai semua biaya pendidikan anak. Hal tersebut menjadikan

dorongan bagi semua anaknya agar dapat masuk ke sekolah ikatan dinas yang

dibiayai oleh pemerintah. Sehingga mampu meringankan biaya pendidikan dan

beban orang tua. Berkaca pada saudara yang dapat masuk ke sekolah ikatan

dinas menjadikan Supriyanto beserta saudara yang lainnya semangat dan

bersungguh-sungguh dalam belajar (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April

2016).

Mendidik 9 anak bukanlah hal yang mudah. Dengan sifat keibuan yang

dimiliki oleh Ibu Aminah menjadikannya mampu bersabar membesarkan dan

merawat semua anaknya. Martosiswoyo sebagai kepala keluarga selalu

memberikan garis-garis ketegasan dalam menghadapi dan menentukan segala

sesuatu. Terlebih bagi seorang anak laki-laki yang pasti akan menjadi seorang

pemimpin harus mempunyai ketegasan dan kedisiplinan. Anak diberi kebebasan

(3)

bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Latar belakang keluarga

Martosiswoyo termasuk dalam kategori berkekurangan. Namun, orang tuanya

mampu menghantarkan semua anaknya menempuh pendidikan minimal SLTA.

B. Masa Kanak-kanak Haji Supriyanto Hadibroto

Haji Supriyanto Hadibroto atau dikenal sebagai Supriyanto merupakan

pria Kebumen (Jawa Tengah) kelahiran 6 April 1942. Supriyanto merupakan

keturunan orang Jawa asli yaitu Desa Langse, Kecamatan Karangsambung,

Kabupaten Kebumen. Dimasa kecil, Supriyanto telah menunjukkan kecerdasan

dan semangat tinggi pada pendidikan (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16

April 2016). Rasa semangat tersebut tempaan atau didikan dari seorang ayah

kepada anaknya. Dengan didikan tersebut menjadikannya bersungguh-sungguh

dalam menempuh pendidikan. Karena ia pun selalu mengingat akan pentingnya

pendidikan bagi kehidupan di masa depan.

Seperti layaknya anak kecil seusianya Supriyanto pun gemar bermain

bersama teman-teman tetangga di sekitar rumahnya. Setelah pulang sekolah, ia

sempatkan waktu untuk bermain. Tetapi Supriyanto membatasi diri dalam

bergaul, karena ia merasa bahwa tidak pantas jika ia bermain bersama dengan

anak yang status sosialnya lebih tinggi. Dari situlah ia berpikir bahwa dirinya

harus memiliki kemampuan lebih yang dapat meningkatkan kualitas dirinya,

yaitu melalui pendidikan (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Pada tahun 1950-an permainan olahraga sangat digemari oleh anak-anak

(4)

Supriyanto, dengan memiliki postur tubuh yang kecil menjadikannya tidak

pernah diikutsertakan dalam permainan olahraga, sehingga dalam bidang

olahraga, Supriyanto tidak memiliki prestasi apapun. Supriyanto adalah anak

biasa yang memiliki hobi sangat sederhana, yaitu menonton wayang. Pernah

suatu ketika, saat ia disuruh belajar oleh orangtuanya dan pada saat yang

bersamaan terdapat tontonan wayang, Supriyanto tidak ingin ketinggalan

menonton wayang, dengan sigap dan cepat akhirnya ia pergi menonton wayang

dengan melewati jendela rumah. Sumber suara wayang pada zaman dahulu

tidaklah menggunakan pengeras suara sehingga untuk mendengar dalang

haruslah dengan jarak yang sangat dekat, oleh sebab itu ia datang lebih awal

(Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Semua anak memiliki cita-cita, sama halnya dengan Supriyanto. Dengan

latar belakang orang tua terutama ayah yang bekerja sebagai guru SR

menjadikan diri Supriyanto kecil bercita-cita jika besar nanti ingin menjadi

serorang guru. Cita-cita kecil Supriyanto tersebut diketahui oleh orangtua dan ia

diberi dorongan hingga suatu ketika Ayahnya mengatakan sembari memakaikan

topi gambus ke kepala Supriyanto yang saat itu ia masih duduk di kelas 2 SR

bahwa ia menginginkan Supriyanto menjadi seorang School Opsiner atau Penilik

Sekolah (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016). Untuk menjadi

seorang guru tidaklah mudah, harus melewati perjalanan yang sangat panjang

dan menempuh pendidikan sekolah guru.

Keinginan untuk menjadi seorang guru semakin besar. Sampai saat

(5)

intrakurikuler atau ekstrakurikuler (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April

2016). Ia hanya fokus pada pendidikan karena ia sangat prihatin terhadap

kondisi keluarga yang serba kekurangan sehingga ia jarang bermain dengan

anak-anak orang kaya. Hari-harinya dipenuhi dengan semangat belajar agar

ujian sekolah lulus dan tidak memalukan keluarga.

Jerih payahnya dalam semangat belajarpun membuahkan hasil. Setelah

lulus pendidikan SGA (1960) di Yogyakarta. Supriyanto dipercaya menjadi

seorang pengajar di SMP PGRI Kebumen dalam kurun waktu 1 tahun (1961).

Kemudian ia pindah ke Kantor Sosial dan bekerja sebagai penggerak sosial

untuk wilayah distrik Pejagoan yang meliputi 4 kecamatan yaitu Kecamatan

Pejagoan, Kecamatan Sruweng, Kecamatan Petanahan, dan Kecamatan Klirong

(1962). Tetapi nasib berkata lain, karena ingin tetap menjadi seorang pengajar

dan ingin tetap menggapai cita-cita awal. Akhirnya, Supriyanto pun mengirim

surat kepada Kantor Inspeksi Pendidikan di Semarang dan karena ia lulusan dari

SGA yang ingin mengajar di daerah Jawa Tengah, ia harus melampirkan surat

lulus butuh dari DIY (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Selanjutnya ia diharuskan memilih salah satu pilihan dari 4 daerah yaitu

Kabupaten Tegal, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten

Cilacap. Supriyanto pun memilih Kabupaten Cilacap dengan alasan Kabupaten

Cilacap merupakan daerah yang paling dekat dengan Kebumen. Maka ia

diangkat menjadi seorang guru di SD N Kutabima (1962). Dari sinilah awal

mula karir Supriyanto Hadibroto mulai naik. Ia dipindah tugas ke SD N Jenang 1

(6)

menjadi Kepala Sekolah di Cisema. Kepala Sekolah SD N Cileumeuh (1976)

dan akhirnya tahun 1990 cita-citanya tercapai dengan diangkatnya ia menjadi

Penilik Sekolah TK/SD di Kecamatan Cimanggu (Wawancara Supriyanto

Hadibroto, 16 April 2016).

Ketika ia menjadi Kepala Sekolah di Cisema tahun 1973, ia pun diangkat

menjadi Ketua KPN Tunas dan Ketua PGRI, tahun 1980 menjadi Ketua Kwaran

Pramuka Kecamatan Cimanggu, dan tahun 1977 menjadi Ketua Komcab Golkar

Kecamatan Cimanggu. Puncaknya pada tahun 1975, Supriyanto dan 4 orang

lainnya mendirikan sebuah Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera dengan dirinya

sendiri sebagai ketua (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016). Dari

sinilah telah terlihat kinerja Supriyanto dan sifat kepemiminannya. Tidak hanya

di dalam organisasi ia disegani oleh para bawahannya tetapi dilingkungan

masyarakat ia disegani dan menjadi panutan karena di masyarakat ia selalu

memberikan petuah yang mudah dipahami bagi yang mendengarkan dan selalu

menasehati dalam kebaikan disegala bidang (Wawancara Wahyudin Anam, 17

April 2016).

C. Riwayat Perkawinan Haji Supriyanto Hadibroto

Dibalik laki-laki sukses terdapat perempuan hebat yang selalu

memberikan dorongan. Begitu pun dengan kesuksesan yang diraih oleh Haji

Supriyanto Hadibroto tidak luput dari peran seorang istri yang selalu

menyemangati dan mendorongnya dalam meniti karir. Haji Supriyanto

(7)

berasal dari Desa Ciawitali. Khotimatun lahir pada tanggal 1 April 1944.

Perkenalannya dengan Khotimatun sangatlah singkat dan tanpa disengaja. Tidak

seperti pada zaman sekarang yang berkenalan lewat media sosial (Wawancara

Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Pada tahun 1962, Supriyanto seorang pemuda yang baru saja diangkat

menjadi seorang guru di SD N Kutabima, ia diajak oleh seorang kawannya

bernama Supirman untuk bermain ke Desa Ciawitali. Ketika ditengah

perjalanan, Supirman yang mengetahui bahwa Supriyanto belum memiliki

pendamping hidup dikenalkan kepada seorang gadis bernama Khotimatun.

Perkenalannya dengan gadis tersebut pun berlanjut. Khotimatun yang hanya

lulusan SR dapat meluluhkan hati Supriyanto. Adanya kecocokan dan rasa

sepersaudaraan yang berasal dari Kebumen yang membuat mereka memutuskan

untuk menikah pada tanggal 11 Desember 1963. Mereka memutuskan untuk

menikah tanpa memerlukan waktu yang lama hanya berselang waktu 6 bulan

dari perkenalan (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Banyak kendala yang mereka lalui pada awal pernikahan, terutama pada

sektor ekonomi dalam keluarga. Tahun 1963, gaji seorang guru SD tidak

mencukupi untuk memenuhi kebutuhan selama 1 bulan. Gaji tersebut hanya

cukup untuk 10 hari. Untuk memenuhi kebutuhan diluar 10 hari tersebut,

Supriyanto sangat terbantu dengan istrinya. Karena sebelum menikah dan

sampai setelah menikah istrinya membuka kursus menjahit khusus pakaian

wanita atau pada waktu itu lebih dikenal dengan rudiste. Kursus menjahit masih

(8)

perempuan diarahkan oleh orang tuanya untuk mengikuti kursus menjahit.

Banyaknya murid yang mengikuti kursus, mengharuskan ia membuka 2 kelas

yaitu kelas pagi dan sore. Dari situlah cara untuk memenuhi kebutuhan hidup

(Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Dari pernikahannya, mereka dikarunia 5 orang anak, yaitu 2 putri dan 3

putra. Anak pertama bernama Niken Listiyarini, lahir pada tanggal 29 Mei 1965.

Kuliah di UNS melalui jalur PMDK pada tahun 1984 dan lulus tahun 1988. Ia

bekerja sebagai guru di salah satu SMP N di Bekasi. Anak kedua bernama Niken

Listiyawati, lahir pada tanggal 22 Oktober 1967. Ia lulusan dari UNS tahun 1990

dan bekerja sebagai guru di SMP N 3 Banyumas. Anak ketiga bernama Sigit

Margono, lahir pada tanggal 25 Agustus 1969. Lulusan dari STIKER

Yogyakarta dan bekerja di PDAM. Ia meninggal dunia pada tanggal 1

November 2013 karena serangan jantung. Anak keempat lahir pada tanggal 12

Maret 1972 bernama Teguh Jatmiko. Lulusan dari STIKER Yogyakarta dan

meninggal dunia pada tanggal 13 Desember 2002 karena gagal operasi kanker di

RS Sarjito. Anak kelima bernama Priya Cahyadi, lahir pada tanggal 30 Mei

1981. Lulusan dari UNS dan bekerja sebagai Kepala WOM Finance di Jakarta

(Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Kebutuhan hidup dan biaya pendidikan yang terus meningkat

mengharuskan Supriyanto lebih giat bekerja. Meskipun ia sudah menjadi orang

tua, tetapi ia selalu mengingat pesan orang tuanya ketika ia sekolah dulu. Ia pun

menerapkan hal yang sama kepada anaknya bahwa mereka harus selalu

(9)

lulus dalam menempuh pendidikan. Mereka hidup sangat prihatin dengan

keadaan yang terbatas. Tetapi mereka tidak mengeluh dengan keterbatasan yang

ada. Mereka justru selalu semangat dalam belajar (Wawancara Supriyanto

Hadibroto, 16 April 2016).

Kesuksesan dapat diraih tidak hanya melalui pendidikan tetapi harus

diikuti pula dengan kedisiplinan terutama kedisiplinan waktu. Karena apabila

seseorang disiplin terhadap waktu, orang tersebut akan lebih mudah mengatur

dirinya sendiri dan akan lebih menghargai waktu. Supriyanto sebagai seorang

ayah selalu mendongengkan cerita rakyat seperti Timun Emas kepada anak-

anaknya sebelum mereka tidur malam. Rutinitas tersebut sangat disukai oleh

anak-anaknya. Dalam dongeng tersebut terdapat pesan-pesan moral yang dapat

Supriyanto ajarkan kepada anaknya seperti rasa saling menghormati. Sehingga

didalam keluarga sesama anggota keluarga saling menghormati (Wawancara

Niken Listiyawati, 22 Mei 2016).

Supriyanto selalu mengatakan kepada anaknya bahwa ia tidak pernah

mewarisi harta, tapi hanya bisa mewarisi ilmu kepada anaknya. Karena harta

bisa saja habis tetapi kalau ilmu bisa dipakai dan bermanfaat selama kita masih

hidup. Jadi ia selalu mengedepankan pentingnya pendidikan. Tidak hanya

kepada anaknya, ia pun menerapkan hal yang sama kepada cucunya (Wawancara

Yani, 17 April 2016).

Kesuksesan anak pun tidak luput dari peran seorang ibu yang mendidik

anak-anaknya. Dengan keadaan serba terbatas tidak mengurangi perhatian dan

(10)

semua anaknya. Menurut Supriyanto, seorang istri haruslah bisa seperti genuk

(dalam Bahasa Indonesia tempat beras) yaitu ia harus mampu berhemat dalam

membelanjakan gaji suami dan mencari tambahan pendapatan agar biaya hidup

tercukupi (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016). Dan dalam

kehidupan berumah tangga harus selalu menjaga kerukunan agar kehidupan

menjadi harmonis karena dari kerukunan tersebut dapat menumbuhkan

kedekatan sesama anggota keluarga(Wawancara Yani, 17 April 2016)

Dalam menjalani hidup, Supriyanto memiliki target atau keinginan

kepada semua anaknya, terutama anak perempuan. Bahwa mereka harus menjadi

seorang guru karena guru itu pekerjaan yang sangat mulia sehingga sebagai

perempuan menjadi seorang guru adalah pekerjaan terhormat dan bisa

membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari. Dengan mendidik anak yang

paling besar sampai ia meraih sukses akan memberikan contoh kepada adik-

adiknya bahwa mereka harus bisa sukses (Wawancara Yani, 17 April 2016).

Ketika semua anaknya masih kecil, Supriyanto selalu mengatakan kepada

mereka supaya jangan menjadi guru SD karena pada waktu itu terdapat jurang

pemisah antara guru SD dan SMP yaitu guru SD dibawah naungan pemerintah

daerah dan guru SMP dibawah pemerintah pusat serta dengan menjadi seorang

guru SMP/SMA dapat menaikkan status sosial orang tua di lingkungan

masyarakat (Wawancara Niken Listiyawati, 22 Mei 2016).

Supriyanto pun selalu menerapkan apa yang ayahnya katakan dulu.

Untuk merubah status sosial seseorang, maka orang tersebut paling tepat masuk

(11)

berbakti kepada lingkungan dan masyarakat disekitarnya. Ia pun selalu

mengajarkan kepada anaknya agar senantiasa menjaga sifat jujur dan berusaha,

kedisiplinan serta jangan sampai melalaikan shalat. Karena pangkal keberhasilan

adalah kejujuran. Jika seseorang memiliki sifat jujur maka orang tersebut akan

dipercaya oleh orang tetapi jika tidak memiliki sifat jujur, orang tersebut akan

hancur martabatnya. Dari ajaran yang sering ia ajarkan kepada anaknyalah

menghasilkan sebuah jati diri Koperasi Simpan Pinjam Sejahtera yang ia dirikan

yaitu sportivitas, kedisiplinan yang tinggi, kejujuran dan setia kawan dalam

kebersamaan. Jika seseorang sudah memiliki sifat-sifat tersebut maka akan

disenangi oleh teman. Dengan didikan Supriyanto menjadikan semua anaknya

mempunyai sifat kepemimpinan (Wawancara Niken Listiyawati, 22 Mei 2016).

Menurut Supriyanto dalam menjalani kehidupan kita sebagai manusia

memiliki kelemahan disalah satu bidang, dari kelemahan tersebut kita harus

memiliki kelebihan dibidang lain. Hal tersebut dilakukan agar hidup menjadi

lebih seimbang. Dan dalam kehidupan keluarga sangat berperan penting karena

keluarga adalah satu himpunan yang harus saling menghargai dan menghormati

satu sama lain. Misalnya terdapat prinsip yang muda yang dicintai dan yang tua

dihargai, di dalam sebuah keluarga haruslah seperti itu. dan sebagai orang tua

tidaklah boleh memaksakan kehendak kepada anak dari sini fungsi demokratis

digunakan agar hidup berkeluarga selalu harmonis. Melalui keluarga,

kesuksesan seseorang dapat diraih karena dalam meniti kesuksesan tersebut

terdapat anak dan istri yang selalu memberi dorongan. Akhirnya Supriyanto

(12)

menjadi ketua dari tahun 1975-2001 dan tahun 2006-2008. Serta pada tahun

2002-2005 ia menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Kabupaten Cilacap

tetapi hanya 1 periode. Pada tahun 2004, Supriyanto bersama istri pergi

menunaikan haji untuk pertama kalinya (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16

April 2016).

D. Riwayat Pendidikan Haji Supriyanto Hadibroto

Haji Supriyanto Hadibroto bercita-cita menjadi seorang guru. Untuk

menjadi seorang guru yang berkompeten tidaklah mudah, harus melalui tahapan

atau proses yang panjang. Tetapi Supriyanto tetap meyakini bahwa ia dapat

menjadi seorang guru kelak. Ia menempuh pendidikan SR selama 6 tahun dan

lulus pada tahun 1954. SR yaitu Sekolah Rakyat, setara dengan Sekolah Dasar

(SD) pada masa sekarang. Ia bersekolah di SR Banioro Kecamatan Sadang

Kabupaten Kebumen. Kehidupan sekolah pada masa SR, ia jalani seperti anak

lain seusianya. Tetapi tidak serta merta ia mengisinya dengan hal yang sia-sia. Ia

tetap menyadari pada tujuan awalnya ia masuk sekolah untuk menyongsong

masa depan yang cerah. Layaknya anak kecil pada umumnya, Supriyanto

sepulang sekolah tetap menjalin silaturahmi dengan teman sebayanya

(Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Ketika Supriyanto bersekolah di SR, ia tidak memakai seragam dan

sepatu tetapi ia memakai pakaian seadanya. Hal itulah yang menguatkan niat

awalnya untuk menjadi guru. Untuk menjadi seorang guru, tidaklah cukup hanya

(13)

sangat rajin dan bersemangat dalam belajar. Karena ia tidak ingin

mengecewakan kedua orang tuanya. Setelah lulus dari SR, ia melanjutkan ke

jenjang yang lebih tinggi. Pada awalnya ia bersama 3 teman lainnya yang berasal

dari SR Banioro mencoba mendaftar ke SGB (Sekolah Guru Bawah) Kebumen.

Tetapi dari 4 anak yang mendaftar tersebut, hanya 2 anak yang tidak diterima,

termasuk Supriyanto. Ia tidak diterima karena sistem penerimaan siswa baru

pada SGB tidaklah dilihat hanya dari nilai mata pelajaran tetapi dari tes

wawancara. Keinginannya untuk tetap melanjutkan pendidikan memutuskannya

mendaftar di SMP PGRI Kebumen yang jaraknya cukup jauh dari rumah.

Sehingga mengharuskan ia hidup kos di Kebumen (Wawancara Supriyanto

Hadibroto, 16 April 2016).

Tidak seperti teman SMP lainnya yang bebas bermain dan mengikuti

organisasi. Supriyanto dengan sosok polosnya pada saat SMP hanya

mementingkan belajar. Meskipun sesekali ia pergi bermain bersama temannya.

Tetapi waktu luang ia manfaatkan untuk belajar. Dengan sosoknya yang rendah

hati dan prihatin terhadap keadaan ekonomi keluarganya serta ia pun berpikiran

bahwa ia harus rajin belajar supaya ketika ulangan tidak terlalu disepelekan.

Karena ia memiliki kualitas yang lebih tinggi dalam belajar. Tahun 1957,

Supriyanto lulus dari SMP PGRI Kebumen (Wawancara Supriyanto Hadibroto,

16 April 2016).

Impiannya untuk menjadi guru tetap berkobar, sehingga ia memutuskan

untuk melanjutkan sekolah ke SGA (Sekolah Guru Atas). Karena di Kebumen

(14)

semulus jalan yang harus ditempuh. Supriyanto pun tidak diterima karena syarat

nilai yang tidak memenuhi. Akhirnya ia mendaftar di SGA Perguruan Islam

Republik Indonesia atau lebih dikenal dengan SGA PIRI Yogyakarta.

Supriyanto semenjak SMP sudah terbiasa hidup mandiri dan jauh dari orang tua,

sehingga ia sudah terbiasa dengan kehidupan kosan. Selama menempuh

pendidikan SGA di Yogyakarta ia telah mengalami 3 kali berpindah kosan. Satu

bulan pertama di Yogyakarta ia hidup menumpang dikosan teman. Meskipun

hidup menumpang tetapi ia tetap membayar biaya sewa layaknya kosan pada

umumnya. Beruntunglah ia mempunyai teman yang baik hati. Pada waktu itu

Yogyakarta merupakan kota yang baru ia kunjungi untuk menempuh

pendidikan. Sehingga ia belum tahu pasti seluk beluk kota Yogyakarta.

Selanjutnya, 2 tahun berikutnya ia pun mulai mengekos di Terban. Pada tahun

terakhir pendidikan ia berpindah kos lagi (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16

April 2016).

Pada tahun 1960-an, kendaraan umum belum marak di Indonesia, hanya

orang golongan tertentu saja yang dapat menikmati kendaraan tersebut. Untuk

memudahkan akomodasi, Supriyanto hanya bermodalkan sepeda onthel yang

dibawanya dari rumah Kebumen. Sepeda onthel lah yang menemaninya kemana

saja ia pergi. Jika hari libur sekolah tiba, ia tidak dapat pulang ke kampung

halaman. Karena biaya tiket kereta api Yogya-Kebumen pada waktu itu 12,5

rupiah merupakan biaya tiket yang cukup mahal. Akhirnya ia habiskan waktu

liburan sekolah dengan bermain bersama temannya dengan menggunakan

(15)

Sosok Supriyanto pada saat pendidikan SGA sangat berbeda pada saat

SMP. Ketika SMP ia tidak pernah mengikuti organisasi apa pun. Tetapi saat

SGA ia merupakan siswa yang aktif dalam organisasi. Awal mula ia

berorganisasi dengan mengikuti organisasi PII (Persatuan Islam Indonesia). Pada

saat kelas 1 SGA, ia mengikuti organisasi tersebut karena SGA PIRI merupakan

sekolah berbasis pendidikan Islam yang mewajibkan semua siswanya mengikuti

organisasi tersebut. Ketika kenaikan kelas 2 SGA ia ditunjuk menjadi ketua

PPSG (Persatuan Pelajar Sekolah Guru). Dari sinilah ia mulai aktif dalam

berorganisasi dan mulai terlihat sifat kepemimpinan. Dengan mengikuti kegiatan

organisasi tersebut ia pun mulai dikenal oleh siswa lainnya dan memiliki banyak

teman (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Ketika kelas 2 SGA ia ditunjuk menjadi Sekretaris Badan Pemutaran

Film PII Cabang Kota Besar Yogyakarta. Selain aktif mengikuti kegiatan

organisasi, pada awalnya ia mengikuti kursus dalam komunitas tari pergaulan

seperti tari serampang dua belas. Ia pun ikut aktif tampil di acara pementasan

seperti perpisahan sekolah. Ternyata Supriyanto pun memiliki bakat dalam

menggambar. Terkadang ia diminta bantuan oleh gurunya untuk membuat

gambar tulisan indah. Pada awalnya ia mengikuti kegiatan kesenian itu diajak

oleh temannya, tetapi dengan kesadarannya pun ia menyukai seni. Dari sinilah ia

dikenal dalam organisasi (Wawancara Supriyanto Hadibroto, 16 April 2016).

Dalam menjalankan organisasi dan berkedudukan sebagai ketua,

Supriyanto merupakan sosok yang sangat menjunjung tinggi sportivitas,

(16)

dalam organisasi dan sampai ia mendirikan koperasi. Supriyanto orang yang

sangat ramah dan mudah bergaul. Karena bagi dirinya bermain dengan siapapun

tanpa membatasi dapat mempererat tali silaturahmi dan menambah pengetahuan.

Ketika kenaikan kelas 3 SGA, ia memutuskan untuk tidak aktif dalam

berorganisasi karena bagi dirinya jika ia terlalu lama aktif dalam organisasi akan

menurunkan nilai akademiknya. Dan ia selalu mengingat pesan kedua orang

tuanya. Sehingga ia tidak mengabaikan tujuan awal belajar. Ia pun membatasi

diri ketika bergaul dengan lawan jenis karena ia menyadari terhadap dirinya

yang belum pantas. Selama menempuh pendidikan di SGA, Supriyanto tidak

memiliki prestasi apa pun tetapi pada saat kelulusan tahun 1960 ia merupakan

siswa terbaik kedua dengan nilai yang memuaskan. Setelah lulus dari SGA, ia

berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu

perguruan tinggi. Tetapi setelah lulus dari SGA, Ayah Supriyanto pensiun dari

guru SR. Sehingga tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan pada tingkat

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan cara (1) Mendeskripsikan dan memahami sistem informasi akuntansi penjualan tunai, (2) Menganalisis sistem informasi penjualan

Penelitian dilakukan dengan mengisolasi sedimen dan melakukan pengenceran bertingkat 10-1 sampai 10-4 dan ditumbuhkan dalam media NA air laut, digunakan NA air laut

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu berupa laporan keuangan Bank BUMN. Obyek penelitian yang dianalisis dalam penelitian ini adalah seluruh Bank BUMN

Dari uraian diatas tertarik untuk membangun suatu sistem yang nantinya bisa membantu masyarakat dalam mendapatkan informasi mengenai suatu wilayah dengan judul “ Sistem

Berdasarkan hasil uji simultan (uji F) dari ketiga tahun tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara simultan dan konsisten variable independent (ROA,

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik5. Jadwal Ujian KKL PeriodeNovember 2014

Kegiatan dipusatkan di Hotel BW Inn Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung pada 1 hingga 4 Oktober 2019, yang terbagi dalam dua sesi dalam pelaksanaan Rapat Koordinasi (Rakor)