• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Atas Penggunaan Dan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Atas Penggunaan Dan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Chapter III V"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

SUBSTANSI HUKUM PENGGUNAAN DAN PEMBUATAN AKTA NOTARIS SECARA ELEKTRONIK

A. Subtansi Hukum Penggunaan dan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia

1. Penggunaan akta notaris secara elektronik dalam persfektif hukum

Penggunaan akta notaris secara elektronik masih menjadi kontroversi antara para ahli mengenai kedudukannya, apakah akta notaris yang dibuat secara elektronik memiliki kekuatan hukum pembuktian akta autentik atau disamakan sebagai akta di bawah tangan. Pasal 1 angka 7 UUJN menyebutkan pengertian akta notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan di dalam undang-undang ini. Berdasarkan pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa tentang penggolongan akta autentik terbagi menjadi beberapa macam yaitu:

a. Akta autentik yang dibuat oleh pejabat umum disebut juga akta relaas (relaas acten), yaitu akta yang berisikan berupa uraian notaris yang dilihat, disaksikan, dan dibuat notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak dilakukan dan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Kebenaran akta ini tidak dapat di ganggu gugat kecuali dengan menuduh bahwa akta itu palsu.

(2)

Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa agar suatu akta mempunyai kekuatan otentisitas, maka harus memenuhi beberapa syarat-syarat yaitu sebagai berikut:

a. Aktanya itu harus di buat oleh atau di hadapan pejabat umum.

b. Aktanya harus dibuat di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan pejabat umum itu harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta tersebut.

Tujuan pembuatan akta notaris sesuai dengan fungsi dari akta notaris yakni untuk memperoleh kepastian hukum atas peristiwa hukum yang dilakukan oleh para pihak. Secara umum akta notaris memiliki fungsi sebagai berikut:

a. Akta sebagai fungsi formal yang mempunyai arti bahwa suatau perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila di buat suatu akta. Perbuatan hukum harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil yaitu perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata mengenai perjanjian utang piutang. Minimal terhadap perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 1767 KUHPerdata, disyaratkan adanya akta bawah tangan. b. Akta sebagai alat pembuktian, di mana dibuatnya akta tersebut oleh para

(3)

dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selamaa kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Sebaliknya akta di bawah tangan dapat menjadi alat pembuktian yang sempurna terhadap orang yang menandatangani serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak darinya hanya apabila tanda tangan dalam akta di bawah tangan tersebut di akui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak di pakai.

Dalam aktivitas bisnis dan pergaulan masyarakat sehari-hari, banyak kegiatan yang menimbulkan perikatan. Perikatan dapat lahir dari persetujuan yang menimbulkan hak dan kewajiban baik karena undang-undang atau karena perjanjian yang dibuat oleh antar pihak. Suatu perikatan dilakukan oleh subjek hukum, yaitu orang alamiah (natuurlijk person) maupun badan hukum (recht person) dengan syarat-syarat yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

Perikatan dengan dasar perjanjian dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum, karena perikatan dengan dasar perjanjian selain menimbulkan hak dan kewajiban dapat juga menimbulkan suatu resiko hukum diantara para pihak, oleh karenanya banyak pihak yang melakukan perjanjian tertulis dengan menggunakan jasa notaris untuk membuat akta perjanjian sebagai alat pembuktiannya.

Berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata atau dalam bahasa Belanda disebut sebagai burgerlijk wetbook (yang biasa disingkat BW), dikenal alat pembuktian tertulis sebagai berikut:

(4)

Berdasarkan Pasal 1868 akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik adalah Notaris.

2. Tulisan/akta di bawah tangan

Berdasarkan Pasal 1874, yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Notaris memiliki kewenangan untuk membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain. (Pasal 15 UUJN).

(5)

Pasal 17 dan Pasal 18 UUJN menegaskan bahwa seorang Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota serta mempunyai wilayah jabatan yang meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya, seorang Notaris tidak dapat menjalankan jabatannya diluar wilayah jabatannya.

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Pasal 1868 mensyaratkan bahwa akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang. Untuk memenuhi syarat autentik tersebut sebuah akta Notaris harus memiliki anatomi akta yang sesuai dengan ketentuan Pasal 38 UUJN. Selain dari anatomi akta, dalam membuat akta Notaris juga harus memperhatikan syarat mengenai pihak-pihak yang menghadap dan saksi-saksi yang dapat digunakan dalam membuat akta sebagaimana diatur didalam Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN, penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum.

(6)

a. Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah;

b. Cakap melakukan perbuatan hukum;

c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan

e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak.

Dengan demikian, maka saksi harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam Akta. Selanjutnya, kekuatan pembuktian akta notaris secara tegas dijelaskan dalam Pasal 1867 KUH Perdata, yang mengenal 2 (dua) alat pembuktian tertulis, namun dengan perbedaan kekuatan pembuktian yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Kekuatan pembuktian dengan tulisan/akta autentik

Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata, akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka. Untuk dapat dikatakan sebagai akta autentik maka berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata suatu bukti tertulis harus memenuhi dua unsur, yaitu:

(7)

2) Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.

b. Kekuatan pembuktian dengan tulisan/akta di bawah tangan

Berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila ada pengakuan dari orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka. Akibat hukum apabila anatomi akta Notaris tidak sesuai Undang-undang.

Dengan demikian, maka akta yang dibuat oleh Notaris merupakan akta yang autentik. Hal ini karena Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN, menyebutkan bahwa pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik adalah Notaris. Namun, untuk memenuhi syarat autentiknya suatu akta, maka Notaris harus membuat akta yang sesuai dengan aturan yang tercantum dalam Pasal 38 UUJN. Apabila terdapat kelalaian dari Notaris dalam membuat akta sehingga tidak sesuai dengan yang diatur oleh undang-undang, maka unsur akta autentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata tidak terpenuhi, maka akta tersebut tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta autentik, tetapi hanya memiliki kekuatan pembuktian akta di bawah tangan yang sangat tergantung dari pengakuan dari orang-orang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak.

(8)

tangan.” Apabila kelalaian dari Notaris tersebut mengakibatkan suatu kerugian bagi para pihak yang memiliki kepentingan terhadap akta tersebut maka berdasarkan Pasal 84 UUJN, para pihak dapat menuntut biaya, kerugian berikut bunganya kepada Notaris yang telah melakukan kelalaian tersebut.

Dengan demikian, substansi hukum UUJN dan KUHPerdata yang mengatur tentang akta autentik dan pembuatan akta autentik oleh pejabat umum, dan mengenai syarat otentisitas suatu, maka dapat dipahami bahwa akta notaris secara elektronik belum memenuhi syarat otentisitas akta autentik. Sehinggga penggunaan akta tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan dari pembuatan notaril, yaitu untuk untuk memperoleh kepastian hukum dari suatu peristiwa hukum yang dicatatkan dalam akta autentik, sehingga memiliki nilai pembuktian.

2. Pembuatan akta notaris secara elektronik dalam persfektip hukum positif

Pembuatan akta notaris dapat dikaji berdasarkan 2 (dua) pendekatan atau teori yang dapat menggambarkan hubungan antara teknologi dan hukum. Kedua teori yang dapat dipergunakan dalam menganalisis penerapan teknologi informasi dalam pembuatan akta notaris tersebut yaitu, teori instrumental dan teori substantif.106 Joshua Sitompul dalam bukunya yang berjudul cyberspace, cybercrime, cyber law, menjelaskan:

Teori Instrumental melihat bahwa teknologi adalah alat yang dikembangkan dengan prinsip rasionalitas dan efisiensi, dan berdasarkan prinsip-prinsip itu, teknologi menghadirkan atau memberikan pilihan-pilihan dan kebutuhan-kebutuhan rasional bagi masyarakat. Oleh karena itu, teknologi bersifat netral

(9)

yang terpisah dari proses ekonomi, politik, sosial dan budaya. Produktivitasnya dapat diukur secara objektif, terlepas dari budaya, sehingga teknologi dapat dialihkan dari satu masyarakat ke masyarakat lain, atau dengan kata lain teknologi dapat diterapkan secara universal. Sebaliknya teori substantif melihat bahwa teknologi tidak netral karena teknologi berkaitan erat dengan kepentingan subjek yang membuat teknologi yang dimaksud. Oleh karena itu teknologi dapat menjadi alat yang berbahaya karena pembuat teknologi dapat mengontrol atau mendominasi orang atau masyarakat yang menggunakan teknologi tersebut melalui teknologi yang dibuatnya.107

Melalui kedua teori tersebut di atas, maka dapat dilakukan kajian terhadap penerapan teknologi informasi dalam pembuatan akta notaris. Tahap pertama, melihat perkembangan teknologi yang ada apakah telah mengganggu atau merusak kepentingan atau nilai yang telah diatur oleh hukum yang ada, hal ini dilakukan dengan cara:

a. Mengidentifikasi kepentingan yang terkena dampak perkembangan teknologi tersebut dengan menggunakan hukum serta doktrin-doktrin hukum yang telah ada.

b. Menilai apakah kepentingan tersebut telah benar-benar terganggu akibat perkembangan teknologi yang dimaksud.108

Mengawali analisis pengaruh perkembangan teknologi informasi terhadap peran dan fungsi notaris di masyarakat, dalam hal kewenangan notaris sebagai pejabat publik, maka dilihat bahwa perkembangan teknologi yang terjadi di masyarakat telah merubah sisi kehidupan manusia yang beralih dari interaksi sosial yang dilakukan secara nyata menjadi ruang maya (tersendiri). Hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dalam dunia maya (virtual) memiliki keterkaitan dengan tugas dan kewenangan notaris, khususnya yang menyangkut dengan perdagangan, dan

(10)

berbagai kontrak-kontrak komersial yang dilakukan melalui internet, misalnya perjanjian jual beli. Harus diakui bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membawa perubahan radikal dalam melakukan transaksi. Teknologi yang ada saat ini telah mampu mengatasi masalah jarak dan waktu dalam melakukan transaksi konvensional. Para pihak yang pada awalnya harus melakukan transaksi dengan bertatap muka, dengan teknologi telegran, telepon dan kemudian internet membuat para pihak dapat lebih cepat dalam melakukan komunikasi dan transaksi.

Penelitian yang dilakukan oleh Garicano dan Kaplan menunjukkan bahwa internet mempengaruhi komponen biaya yang digunakan untuk menentukan suatu produksi dalam suatu transaksi. Salah satu biaya yang dimaksud ialah biaya koordinasi yaitu biaya yang dikeluarkan untuk membuat keberadaan pembeli dan penjual potensial saling mengetahui keberadaan dan lokasinya satu sama lainnya, dan membawa mereka untuk bertransaksi.109

Dasar pertimbangan efisiensi waktu dan biaya tersebut, maka muncullah wacana untuk menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta notaris. Akan tetapi, wacana tersebut masih mengalami berbagai kendala, khususnya terkait persoalan hukum yang mengaturnya. Untuk mengatasi berbagai permasalahan hukum yagn muncul dalam transaksi elektronik, pemerintah telah menetapkan berbagai regulasi, termasuk mengundangkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Traksansi Elektronik.

(11)

Secara umum, pengaturan dalam UU ITE dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai transaksi elektronik dan pengaturan tentang perbuatan yang dilarang (cybercrime). Pengaturan transaksi elektronik sendiri mencakup pengaturan mengenai pengakuan alat bukti elektronik, pengaturan waktu pengiriman dan penerimaan informasi elektronik, dan pengaturan tanda tangan elektronik serta sertifikasi elektronik. Namun demikian, hukum tidak dapat menyelesaikan seluruh masalah yang muncul dari penerapan teknologi informasi dan komunikasi.

Pembuatan akta notaris secara elektronik terdapat berbagai benturan hukum yang terjadi, seperti ketentuan mengenai otentisitas sebuah akta yang diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Kemudian berbagai syarat pembuatan akta yang diatur dalam UUJN, yang belum memungkinkan untuk pembuatan akta notaris secara elektronik, misalnya ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN, yang mensyaratkan notaris untuk membacakan akta dihadapan para pihak dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.

Secara yuridis pembuatan akta notaris secara elektonik belum dimungkinkan, sebab adanya pembatasan terhadap kewenangan notaris dalam pembuatan akta notaril secara elektronik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yang menyebutkan:

Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam

(12)

Redaksi Pasal 5 ayat (4) di atas, menunjukkan bahwa akta notaril atau akta notaris tidak termasuk dalam dokumen elektronik yang dimaksudkan dalam undang-undang ini, sehingga pembuatan akta notaris secara elektronik sangat tidak dimungkinkan apabila mengacu pada ketentuan pasal ini. Sehingga, pembuatan akta notaris secara elektronik yang di dasari pada keperluan dan keinginan dari masyarakat belum terakomodir dalam undang-undang yang menyebabkan belum adanya kepastian hukum terhadap kewenangan notaris dalam membuat akta secara elektronik. Sebagai negara yang berdasarkan hukum (recht staat), maka setiap kewenangan haruslah memiliki dasar hukum. Dengan demikian, notaris dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus pula berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.

Meskipun, pembuatan akta notaris secara elektronik tersebut merupakan keinginan atau tuntutan dari masyarakat atau para pihak, bukan berarti notaris dapat mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku. Kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan fungsi dan tugas dari notaris menurut Djuhad Mahja adalah:

Memperoleh menjamin kepastian, ketertiban dan perlidungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dibuat dihadapan pejabat tertentu. Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat yang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.110

G.H.S Lumban Tobing, kedudukan notaris sebagai pejabat umum, bertujuan untuk:

110Djuhad Mahja,Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, (Jakarta:

(13)

Membuat akta autentik mengenai segala perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.111

Lebih lanjut, R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, istilah Openbare ambtenaren

yang terdapat dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek voor Indonesie (BW) diterjemahkan menjadi pegawai-pegawai umum. Dengan terjemahannya bunyi Pasal 1868 BW menyatakan bahwa:

Suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”112 Menurut R. Subekti, dimaksud pegawai umum adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil.113

Berdasarkan fungsi dari pejabat notaris yang dijelaskan di atas, maka pelaksanaan fungsi dan tugas pejabat notaris dalam membuat akta autentik mengenai segala perbuatan, perjanjian yang dikehendaki oleh masyarakat (pihak yang berkepentingan) yang dinyatakan dalam akta autentik haruslah memberikan kepastian hukum. Dengan belum terakomodirnya kewenangan tersebut dalam undang-undang, maka pelaksanaan tugas dan fungsi notaris dalam memberikan layanan pembuatan akta secara elektronik belum memiliki kepastian hukum, sehingga menimbulkan persoalan hukum baru.

KUH Perdata merupakan suatu ketentuan umum dari aturan hukum yang

111G.H.S Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris(Jakarta: Erlangga, 2001) Hlm. 31 112R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya

Paramita, 2009) Hlm. 475

(14)

mengatur tentang kewenangan notaris sebagai pejabat publik, sedangkan UUJN merupakan lex specialis dari aturan yang mengatur tugas dan kewenangan notaris sebagai pejabat publik. Demikian pula halnya dengan UU ITE, sebagai aturan khusus (lex specialis) dari ketentuan umum mengenai transaksi secara konvensional yang diatur dalam KUH Perdata. Dengan demikian, menganalisis tentang konsep penerapan teknologi informasi dalam pembuatan akta notaris secara elektronik, harus dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap ketiga undang-undang tersebut.

Mencermati fungsi dan tujuan dari pembuatan akta oleh para pihak yang berkepentingan dihadapan notaris, diketahui bahwa persoalan yang mendasar dalam pembuatan akta notaris adalah mengenai keautentikan (ontesitas) akta, jika pembuatan akta tersebut dilakukan secara elektronik. Pasal 1868 KUHPerdata secara tegas telah menjelaskan:

Akta dapat dikatakan sebagai akta autentik, jika akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum ditempat akta itu dibuat. Berdasarkan definisi tersebut, diketahui bahwa suatu akta dapat dikatakan sebagai akta autentik harus memenuhi syarat-syarat yaitu dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh seorang pejabat atau pegawai umum, dan pejabat atau pegawai umum tersebut harus berwenang untuk membuat akta tersebut ditempat di mana akta dibuat.

(15)

notarissambt van indonesie, S 1860, No. 3), yang berbunyi: Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) satu-satunya yang berwenang (uitsluitend bevogd) untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin tanggal, menyimpannya dan memberikan salinan dan kutipan (grosse).114

Berdasarkan Pasal 1 PJN jo Pasal 1868 KUHPerdata, diketahui bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang menyebutkan: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya”.

Sampai pada tahap ini, analisa penerapan teknologi informasi dalam pembuatan akta autentik oleh pejabat notaris masih dimungkinkan dilakukan, dengan alasan bahwa pengertian yang dimaksudkan oleh Pasal 1868 KUHPerdata, jika akta tersebut dibuat menurut undang-undang dan dilakukan dihadapan pejabat umum (notaris).

Pembuatan akta secara elektronik oleh notaris tentunya mengacu pada UUJN, khususnya Pasal 15 yang mengatur tentang kewenangan notaris. Apabila kewenangan notaris dalam Pasal 15 UUJN dihubungkan dengan syarat pertama yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yakni akta dibuat dalam bentuk yang ditetapkan oleh

(16)

undang-undang, maka syarat ini belum dapat dipenuhi dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi notaris untuk membuat akta autentik secara elektronik. Oleh karena, penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN secara tegas memberikan batasan tentang kewenangan yang dimiliki oleh notaris terkait dengan kewenangan notaris dalam kegiatan transaksi elektronik, yakni antara lain: kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang. Dengan demikian, dapat dipahami UUJN telah secara tegas dan terperinci mengatur mengenai kewenangan notaris dalam membuat akta autentik. Artinya, akta autentik yang menjadi kewenangan dari notaris sudah ditetapkan oleh undang-undang.

(17)

adanya aturan hukum yang jelas mengatur tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum.

Fenomena yang saat ini terjadi di masyarakat, bahwa masyarakat merasakan manfaat dari komunikasi yang dilakukan secara elektronik, baik itu hal melakukan transaksi jual beli (e-commerce), membuat suatu perjanjian/kontrak (e-contract) dan lain sebagainya. Kenyataan ini, jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam mengatur kewenangan jabatan notaris belum sepenuhnya mengakomodir dari kemanfaatan hukum, sehingga dapat memberikan jaminan hukum bagi masyarakat.

Jeremy Bentham, menyatakan bahwa ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.115 Teori utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines), yang tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada persoalan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.

Berdasarkan teori utilitarianisme yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham, yang menjadi dasar teori (ground theorie) dalam penelitian, maka pembuatan akta notaris secara elektronik adalah suatu keniscayaan, yang tidak bisa tidak dan mau

(18)

tidak mau kedepannya harus dapat diakomodir oleh pejabat notaris dalam sebagai respons perkembangan peradaban masyarakat. Dengan demikian, maka pemerintah sebagai lembaga (eksekutif) dan pembuat undang-undang (legislatif) sebagai perumus undang-undang harus mampu merespons keadaan ini dengan mengharmonisasikan seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan notaris sebagai pejabat publik pembuat akta autentik.

B. Prospek Hukum Penggunaan dan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik

Pakar sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo dalam Habieb Adjie, berpendapat: Kekuatan hukum progresif adalah kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa saja. Hukum itu rentan terhadap keadaan status quo. Bagi para penegak hukum mempertahankan status quo lebih mudah dan aman daripada berinisiatif melakukan perubahan dan pembaharuan. Bekerja secara biasa-biasa saja sambil menunggu pensiun lebih aman daripada bertingkah melakukan perbaikan. Progresif itu adalah kreatif meninggalkan pikiran status quo yang tidak banyak membantu membangkitkan bangsa dari keperpurukan116

Berkerja berdasarkan normativitas (aturan/pasal) merupakan kredo atau pegangan suci bagi notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya, dariapada bekerja bertingkah melakukan terobosan-terobosan untuk mengatasi berbagai kekurangan dalam dunia hukum yang berkaitan dengan jabatan notaris. Di samping itu, bekerja dengan menggunakan pendekatan melekat sebagaimana isi pasal/aturan

116 Habib Adjie. Menoropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, (Bandung: Citra

(19)

yang paling aman untuk notaris. Dengan bekerja seperti itu sebenarnya notaris berada pada pihak yang mempertahankan status quo. Jika dicermati pasal/aturan dalam UUJN dan peraturan lainnya yang terkait dengan jabatan notaris, dapat dilketahui bahwa tidak selamanya perundangan yang ada mengatur tentang segala sesuatunya, terlebih menyangkut keadaan yang terus berkembang di masyarakat.

Habib Adjie mencontohkan, pembuatan Surat Keterangan Waris (SKW) oleh notaris, yang merupakan upaya untuk melakukan terobosan progresif dalam bidang pembuatan bukti ahli waris untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa berdasarkan etnis (golongan penduduk) yang dibuat di hadapan notaris dalam bentuk akta pihak. Hal tersebut sesuai dengan wewenang notaris, yaitu berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN, terlihat bahwa pembuatan SKW tersebut tidak memilik dasar hukum sama sekali, serta tugas notaris adalah membuat akta, bukan membuat surat.

Contoh di atas merupakan sebagian kecil dari tindakan progresif yang dilakukan notaris, bahkan jika mengeksplorasi dan kemudian mengeksploitasi tindakan lain yang dapat dilakukan notaris dengan memerhatikan aturan hukum yang berlaku, namun tentunya untuk melakukan hal demikian diperlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam dan serius dari seluruh notaris di Indonesia.

(20)

datang kepada notaris harus mampu diformulasikan ke dalam bentuk akta. Kemampuan memformulasikan dalam bentuk akta tersebut merupakan salah satu implementasi notaris progresif.117

Perkembangannya, lembaga notaris di Indonesia dihadapkan pada persoalan munculnya wacana pembuatan akta secara elektronik. Dalam hal ini sebagian besar notaris beranggapan hal itu sulit untuk dilakukan mengingat undang-undang belum mengaturnya secara tegas dan jelas. Beberapa notaris yang dijadikan sebagai narasumber/informan terkait dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi (pembuatan akta secara elektronik) memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Notaris Syamsurizul A. Bispo, menjelaskan bahwa: “penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta notaris untuk saat ini belum memungkinkan untuk dilaksanakan, sebab belum diatur dalam secara tegas dan jelas dalam undang-undang”.118

2. Notaris Rosniaty, mengatakan: “penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta notaris belum dapat dilaksanakan, mengingat beberapa peraturan terkait dalam jabatan notaris belum mengatur hal itu secara jelas. Demikian pula dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, secara tegas memberikan batasan bahwa dokumen elektronik dikecualikan terhadap akta yang dibuat secara tertulis atau akta notaril”.119

117Ibid., Hlm. 12

(21)

3. Notaris Tony, menjelaskan: “pembuatan akta notaris secara elektronik dapat saja dilakukan, jika telah dilakukan revisi terhadap undang-undang yang terkait dengan jabatan notaris, seperti KUH Perdata, UUJN, dan juga UU ITE. 120

Lebih lanjut, ketika dikonfirmasi mengenai kesiapan dari notaris terkait dengan wacana pembuatan akta notaris secara elektronik, beberapa notaris yang dijadikan sebagai responden memberikan keterangan sebagai berikut:

1. Notaris Syamsurizul A. Bispo menjelaskan: “bahwa kesiapan notaris dalam penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta, secara teknis dapat dikatakan telah memadai, di mana di setiap kantor-kantor notaris yang ada saat ini telah tersedia fasilitas komputer, printer, scan, fax, dan juga jaringan internet”.121

2. Sementara itu, Notaris Ibu Rosniaty menerangkan: “secara teknis notaris telah siap dalam menerapkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta, di kantor ini contohnya, sarana dan prasana yang dibutuhkan untuk membuat akta notaris secara elektronik telah cukup memadai, di mana terdapat jaringan internet sebagai penghubung atau interaksi sosial dengan masyarakat, baik melalui sosial media, email dan lain sebagainya”.122

3. Notaris Tony menyatakan: “Kesiapan notaris dalam pembuatan akta secara elektronik secara teknis telah memadai, hal ini dapat dilihat dari kemampuan

120Hasil wawancara dengan Notaris Tony, pada tanggal 15 Agustus 2016.

(22)

menggunakan aplikasi internet, seperti sosial media, email dan lainnya. Sebagian besar notaris yang ada saat ini mampu menggunakan aplikasi internet”.123

Pendapat beberapa narasumber di atas, jika dihubungkan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, dapat dikatakan bahwa notaris-notaris tersebut berada pada posisi status quo, yang menerima keadaan dan kenyataan normativitas undang-undang tanpa melihat adanya kebutuhan masyarakat terhadap pembuatan akta notaris secara elektronik seiring dengan pemanfaatan perkembangan teknologi dan komunikasi dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat saat ini.

Menurut Habib Adjie notaris progresif berarti progresif dalam pola pikir yang senantiasa bertindak tidak hanya berpegang pada norma-norma hukum positif, tetapi juga senantiasa menggali berbagai bentuk tindakan hukum yang dapat dituangkan atau diformulasikan dalam bentuk akta autentik.124 Dalam kaitannya dengan pembuatan akta secara elektronik, maka notaris harus berpikir secara progresif bagaimana menerapkan perkembangan teknologi dan komunikasi dalam pembuatan akta autentik sesuai dengan kebutuhan masyarakat ini. Oleh karena, kehadiran notaris adalah untuk masyarakat, bukan sebaliknya masyarakat untuk notaris. Dengan demikian, notaris harus mampu memberikan pelayanan terbaik dan kepuasan yang maksimal kepada masyarakat sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sebagai wujud implementasi dari pola tindak dan sikap profesionalisme dari notaris.

123Hasil wawancara dengan Notaris Tony, pada tanggal 15 Agustus 2016.

(23)

Sikap notaris yang kaku berpegang teguh pada undang-undang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya memang suatu keharusan, dengan demikian notaris tetap berada koridor hukum. Namun, sikap notaris yang terlalu terfokus dan kaku menyikapi aturan hukum yang ada dalam menjalankan kewenangannya terkadang dapat menjadi hambatan, terlebih yang berkaitan dengan persoalan-persoalan baru dari perkembangan yang terjadi di masyarakat. Notaris seyogyanya dapat melakukan penyimpangan dari ketentuan undang-undang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sepanjang tetap berada pada parameter yang telah ditetapkan oleh undang-undang.

Notaris dalam pelaksanaan kewenangan mengacu pada ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN, dan juga ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu:

1. Akta harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.

2. Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Pejabat umum oleh/atau di hadapan siapa akta dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta yang bersangkutan.

Wewenang notaris yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dengan batasan-batasan bahwa notaris harus berwenang:

1. Sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat.

2. Sepanjang mengenai subjek hukum (orang dan badan hukum) 3. Sepanjang berwenang mengenai tempat di mana akta itu dibuat. 4. Sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.125

(24)

Kewenangan notaris dalam Pasal 15 ayat (1) jo Pasal 1868 KUH Perdata, jika dihubungan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi notaris dalam pembuatan akta secara elektronik, pada dasarnya dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknologi komunikasi video conference. Namun, menjadi persoalan adalah apakah otensitas akta notaris yang terkandung dalam Pasal 1868 KUHPerdata dapat terpenuhi. Ontensitas akta notaris yang dibuat dengan menggunakan sarana teknologi komunikasi video conference, dapat dianalisis berdasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku terkait dengan kewenangan notaris dalam permbuatan notaris.

Pertama, akta harus dibuat oleh atau di hadapan notaris. Pemenuhan unsur ini dapat dilakukan dengan cara mengadakanvideo conference, di mana para pihak dapat berhadapan langsung dan bertatap muka. Melalui teknologi video conference, maka otensitas akta autentik, di mana akta autentik harus dibuat oleh atau di hadapan notaris dapat dipenuhi. Kemudian, pemenuhan akta harus dibuat berdasarkan undang-undang, yakni UUJN, dalam kaitannya dengan pembuatan akta secara elektronik juga dapat dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dan notaris. Artinya akta yang dimohonkan oleh para pihak yang berkepentingan dan yang dibuat oleh atau di hadapan notaris melalui teknikvideo conferencetersebut adalah akta yang merupakan kewenangan dari notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN.

(25)

1. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta. 2. Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit

2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c dan m, seorang pejabat notaris dalam membuat akta memiliki kewajiban untuk melekatkan sidik jari, dan ditanda tangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan notaris. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf c dan m, dalam pembuatan akta autentik secara elektronik sangatlah sulit diterapkan. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan sebagai berikut:

(26)

itu juga. Artinya, setelah pembacaan akta oleh notaris, maka akta tersebut harus ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Secara teknis pemenuhan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m, dalam pembuatan akta autentik secara elektronik sangat sulit untuk dipenuhi. Meskipun dalam Undang-Undang ITE dikenal adanya tanda tangan digital (digital signature) yang dapat dibubuhkan dalam dokumen elektronik, tetapi mekanisme pembubuhan

digital signaturedalam prakteknya membutuhkan suatu proses sampai pada akhirnya

digital signaturetersebut dapat dibubuhkan dalam akta autentik yang dibacakan oleh notaris. Sehingga ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m, di mana penandatanganan akta dilakukan pada saat itu tidak dapat terwujud.

Akibat hukum tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m, maka akta yang dibuat oleh notaris tersebut hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (9), yang selengkapnya berbunyi: “Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan”.

(27)

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris. Artinya notaris dalam hal ini dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata menyangkut kerugian yang diderita para pihak akibat tidak terpenuhinya unsur Pasal 44 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tersebut.

Selain itu, dalam praktik notaris, suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan notaris atas keinginan para pihak juga seringkali terjadi kesalahan. Mengenai tata cara melakukan perubahan terhadap isi akta, Pasal 48 ayat (1) telah mengatur beberapa larangan dan ketentuan yang harus dilaksanakan oleh notaris, yaitu:

1. Diganti 2. Ditambah 3. Dicoret 4. Disisipkan 5. Dihapus/atau 6. Ditindih.

(28)

dewasa sehingga dapat melakukan perbuatan hukum. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 39 UUJN, sebagai berikut:

1. Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Paling rendah berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b) cakap melakukan perbuatan hukum.

2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

3. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.

Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UUJN, notaris harus dapat memastikan bahwa pihak penghadap telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, hal ini dibuktikan dengan memberikan identitas diri para pihak yang berkepentingan kepada notaris. Kemudian penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal. Ketentuan ini sangat sulit diterapkan dalam pembuatan akta secara elektronik, di mana dalam pembuatan akta elektronik, meskipun dilakukan melalui video conference, notaris akan mengalami kesulitan untuk menentukan apakah para pihak tersebut benar-benar cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagai suatu syarat sahnya perjanjian.

(29)

hadapan (ten overstaand), yang dalah praktik disebut akta pihak, para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.126

Berdasarkan kedua bentuk jenis akta yang dibuat oleh notaris di atas, maka untuk saat ini sangat tidak dimungkinkan menerapkan teknologi informasi dalam pembuatan akta notaris secara elektronik. Terutama dalam pembuatan akta relaas, yang dalam hal ini kehadiran seorang notaris di hadapan para pihak merupakan suatu keharusan, sehingga dapat dibuat Berita Acara yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak.

Lebih lanjut, apabila merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (4) huruf a dan b UU ITE, diketahui bahwa dokumen yang dibuat dalam bentuk akta notaril tidaklah termasuk dalam informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Sehingga akta notaris yang dibuat secara elektronik tidak memperoleh kekuatan hukum sebagai bukti yang sah menurut ketentuan UU ITE. Dengan pembatasan makna dari informasi elektronik/dokumen elektronik yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a dan b, maka akta autentik yang dibuat secara elektronik oleh notaris dianggap tidak dapat menjadi alat bukti yang sah. Sehingga, keautentikan dari akta yang dibuat oleh notaris dalam hal ini tidak terpenuhi.

Dengan demikian, substansi hukum dalam pembuatan akta secara elektronik belum terakomodir seutuhnya dalam UUJN dan juga UU ITE yang merupakan

126Habib Adjie,Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,

(30)

landasan hukum bagi notaris dalam menangkap peluang pembuatan akta secara elektronik sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat modern yang terjadi saat ini. Namun, meskipun di dalam UUJN, KUH Perdata dan UU ITE, pembuatan akta secara elektronik belum dimungkinkan untuk dilaksanakan oleh notaris, tetapi peluang pembuatan akta secara elektronik tetap terbuka dengan diaturnya pembuatan akta secara elektronik dalam Rapat Umum Pemegang Saham melalui media telekonferensi (RUPS Telekonferensi). Hanya dalam pelaksanaannya belum dapat diterapkan, mengingat kendala yuridis yang masih dihadapi oleh notaris.

Meskipun demikian, ketentuan Pasal 77 UUPT merupakan suatu isyarat hukum yang menunjukkan peluang bagi notaris dalam pembuatan akta secara elektronik, namun ketentuan ini tidak memiliki sinkronisasi hukum dengan substansi UU ITE yang muncul belakangan. Pembuat undang-undang bukannya lebih mempertegas kewenangan notaris dalam UU ITE, tetapi sebaliknya membatasi kewenangan notaris dalam membuat akta secara elektronik. Padahal kebutuhan akan pelayanan yang serba singkat dan cepat adalah suatu keniscayaan yang dibutuhkan di tengah masyarakat modern. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh R. B. Simatupang, bahwa:

Kondisi saat ini segala sesuatu menjadi lebih mudah dengan adanya teknologi informasi. Saat ini batas wilayah, waktu dan jarak semakin tidak terasa dengan adanya kemajuan teknologi informasi. Dalam era yang serba sederhana dan canggih ini dikenal juga istilah paperless, terbukti salah satunya dengan ketentuan baru dalam UUPT (40/2007) yang mengatur mengenai RUPS melalui media elektronik.127

(31)

Apabila memperhatikan ketentuan dalam ketiga undang-undang yang dijadikan pokok pertimbangan dalam menentukan kemungkinan penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta notaris secara elektronik, maka kemungkinan pembuatan akta notaris perlu diselesaikan dengan menggunakan asas:128

1. Lex superior derogate legi inferiori, yang apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang secara hirarki lebih rendah dengan lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang hirarkinya lebih rendah harus disisihkan; atau

2. Lex specialis derogate legi generalis, yang merujuk pada dua peraturan perundang-undangan yang secara hirarki mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain, (peraturan khusus mengalahkan peraturan yang umum); atau 3. Lex posterior derogate legi priori, yang artinya peraturan

perundang-undangan yang terkemudian menyisihkan peraturan perundang-perundang-undangan yang terdahulu.

Apabila memperhatikan masing-masing asas tersebut, sebenarnya antara UUJN, UUPT, dan UU ITE tidak menunjukkan adanya pertentangan yang perlu diselesaikan dengan asas-asas tersebut, hanya saja substansi hukum yang ada dalam masing-masing undang-undang belum bersinergi, sehingga substansi undang-undang

(32)

yang memberikan peluang pembuatan akta notaris secara elektronik belum dapat diberlakukan sesuai dengan bunyinya, mengingat masih terhalang oleh ketentuan peraturan lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka pembuatan akta notaris secara elektronik hanya dimungkinkan apabila telah dilakukan perubahan terhadap berbagai undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan kewenangan notaris dalam membuat akta secara elektronik, yaitu UUJN dan UU ITE. Jika terhadap UUJN dan UU ITE tidak dilakukan perubahan, maka pembuatan akta secara elektronik akan terhambat, baik secara yuridis maupun secara teknis di lapangan. Adapun pasal-pasal yang menjadi penghambat dalam pembuatan akta notaris secara elektronik, sehingga perlu dilakukan perubahan (revisi) diantaranya adalah:

1. Pasal 1 angka 7 tentang akta harus dibuat oleh atau dihadapan notaris

2. Pasal 1 angka 8 dan angka 9 tentang minuta akta dan salinan akta tidak ada lagi perbedaan.

3. Pasal 16 ayat (1), tentang kewajiban pembacaan akta di depan dua orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga.

4. Pasal 38 ayat (4) uraian tentang penandatanaganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada.

(33)

6. Pasal 50 tentang pencoretan bagian yang harus dicoret tetap dapat dibaca sesuai yang tercantum semula.

Perubahan yang harus dilakukan dalam UU ITE adalah penegasan kewenangan notaris dalam membuat akta secara elektronik. Dengan adanya penegasan kewenangan notaris dalam membuat akta secara elektronik maka akan diperoleh jaminan kepastian hukum bagi notaris dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pejabat pembuat akta. Hal ini dapat dilakukan dengan mencabut ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yang kemudian mempertegas kewenangan notaris dalam pembuatan akta secara elektronik dengan menyatakan surat yang dibuat dalam bentuk tertulis dan dalam bentuk akta notaril atau yang dibuat oleh pejabat pembuat akta termasuk dalam kategori informasi/dokumen elektronik.

(34)

Pengadaptasian konsep pembuatan akta notaris dalam sistem hukum perundangan-undangan bermaksud untuk memenuhi tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian hukum dalam pembuatan akta secara elektronik, dapat dianalisa berdasarkan pada teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin kepastian hukum dalam hubungan pergaulan kemasyarakatan.

Kepastian hukum (rechtszekerheid) yang dimaksud ialah kejelasan pertuaran hukum mengenai hak, kewajiban dan status seseorang atau suatu badan hukum. Kepastian hak, kewajiban dan kepastian status ini mendatangkan ketertiban, keteraturan, ketenangan bagi yang bersangkutan, karena adanya kejelasan seperti diatur oleh hukum, maka seseorang tahu benar-benar bagaimana status atau kedudukannya, seberapa jauh hak maupun kewajibannya dalam kedudukan tersebut.129Kepastian hukum dianggap tidak ada atau kabur, atau samar-samar jika:

1. Tidak ada aturan mengenai sesuatu (null).

2. Ada peraturan hukumnya tapi tidak jelas pengertiannya dan mengakibatkan timbul penafsiran yang berbeda-beda.

3. Terdapat pertentangan isi di antara sesama aturan hukumnunya sendiri baik aturan yang setingkat maupun yang tidak sama tingkatnya, sehingga membingungkan masyarakat.

4. Belum ada peraturan pelaksanaan meskipun sudah ada peraturan pokoknya sehingga tidak member efek apa-apa.130

Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum yang tertuang dalam undang-undang tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang-undang-undang itu dibuat berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang

(35)

tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-lainan. Keadaan di mana terjadinya pertentangan antara KUHPerdata jo UUJN dengan UU ITE, dan juga antara UU ITE dengan UUPT, atau sebaliknya UUPT dengan UUJN jo KUHPerdata, dapat dikatakan telah terjadi ketidakpastian hukum atau kekosongan hukum terkait penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta secara elektronik.

Di samping kepastian hukum, tujuan hukum lainnya adalah mewujudkan kemanfaatan hukum. Kemanfaatan hukum, terkait dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta notaris bahwa pengaturan tentang pembuatan akta notaris secara elektronik merupakan suatu keniscayaan. Dengan demikian, perubahan terhadap UUJN dan UU ITE, haruslah dilakukan mengingat pengaturan tersebut banyak memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Oleh karena, pada praktiknya sistem hubungan sosial yang dibangun di masyarakat tidak lagi dilakukan secara konvensional, melainkan telah beralih pada penerapan teknologi informasi dan komunikasi.

(36)

Kemanfaat hukum yaitu kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Penilaian terhadap baik buruknya hukum, adil atau tidaknya hukum tergantung dari kemampuan hukum itu dalam memberikan kebahagiaan bagi masyarakat. Dilakukannya perubahan terhadap UUJN dan UU ITE oleh pembuat undang-undang, sehingga kewenangan notaris dalam pembuatan akta secara elektronik memperoleh jaminan kepastian hukum. Dengan demikian, negara dalam hal ini telah memposisikan diri sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu memberikan kebahagiaan mayoritas rakyat.

Perubahan terhadap UUJN dan UU ITE saat ini adalah hal yang penting, sehingga dapat memberikan jaminan pada hak-hak individu-individu yang melakukan berbagai macam bentuk transaksi secara elektronik, yang saat ini masih menimbulkan berbagai persoalan, khususnya mengenai jaminan kepastian hukum dalam pembuatan akta notaris secara elektronik.

(37)

Dengan demikian, untuk menciptakan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum bagi masyarakat, perlu menghamornisasikan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta secara elektronik, yaitu antara UUJN dengan UU ITE dan antara UUPT dengan UUJN. Sehingga notaris tidak lagi mengalami permasalahan yuridis menyangkut kewenangannya dalam membuat akta secara elektronik.

(38)

BAB IV

HAMBATAN DAN UPAYA PEMERINTAH DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIS SECARA ELEKTRONIK

A. Hambatan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik

Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung pada substansi hukum, struktur hukum/pranata hukum dan budaya hukum. Terkait dengan permasalahan mengenai pembuatan akta autentik secara elektronik oleh notaris, maka dapat dianalisis berdasarkan teori system hukum yang dikembangkan oleh Lawrence M. Friedman.

1. Hambatan Pembuatan Akta Notaris Secara Elektronik Dari Segi Substansi Hukum

Kajian penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembuatan akta notaris tidak dapat terlepas dari pengaruh dogmatik hukum. Dogmatik hukum adalah bertujuan untuk memaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (veklaren) hukm positif yang berlaku.131

Dogmatik hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu dogmatics law. Bruggink mengartikan dogmatik hukum sebagai: “…sistem konseptual aturan hukum, yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum oleh pengemban kewenangan hukum disebut pembentukan hukum (rechtsvorming). Pengambilan

131

(39)

keputusan hukum oleh pengemban kewenangan hukum disebut penemuan hukum

(Rechtsvinding), objek dogmatik hukum adalah hukum positif.”132

Hukum sebagai suatu alat pembaruan masyarakat (law as a tool of society engineering) merupakan suatu teori yang berasal dari Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal an introduction to the philosphy of law (1954) yang merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism yang kemudian dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmaja dalam teori hukum pembangunan.133

Indonesia telah mengadakan suatu pembangunan hukum yang merupakan upaya merombak tata hukum lama menjadi tata hukum nasional yang baru. Pembangunan hukum di Indonesia sampai saat ini sedang dan terus digalakkan. Pembangunan di segala bidang tidak mungkin berjalan mulus bila tidak dilandasi sistem Hukum Nasional yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan dapat mengantisipasi kebutuhan masyarakat abad ke-21. Seperti yang telah dikemukakan pada bagian pertama bahwa pemanfaatan teknologi informasi di samping menghasilkan banyak manfaat bagi kehidupan manusia, juga dapat menimbulkan munculnya berbagai permasalahan di antaranya banyak menemui hambatan, antara lain hambatan hukum dan non hukum yang perlu ditindaklanjuti oleh Pemerintah.

Berkaitan dengan pembahasan di atas, maka pembicaraan semakin sangat menarik mengingat kondisi perkembangan hukum di Indonesia dari waktu ke waktu selalu menunjukkan ketertinggalan baik disebabkan masih adanya penggunaan

132 Ibid. Hlm. 62

133 H. S Salim.Perkembangan Teori dan Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

(40)

peraturan hukum dari peninggalan penjajah sampai dengan menggunakan produk hukum yang dibuat sekarang baik itu dari sisi substansi dan sisi materi tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan pembangunan terutama di dalam perkembangan teknologi informasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Solly Lubis, bahwa:

Proses pembentukan perundangan-perundangan (legislaslator) sering terasa lamban dan kalah balap dibandingkan dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan yang semakin banyak, apalagi dalam era perkembangan IPTEK, sosial ekonomi. Di sisi lain fungsionaris legislatif tidak mempunyai pegangan dan arahan politis yang konkrit mengenai fostur sistem hukum yang akan dikembangkan, bahkan lebih banyak terpengaruh oleh perkembangan yang menjurus mereka kearah pelayanan hukum yang memihak kaum elite.134 Keinginan untuk lebih bisa mengoptimalkan penggunaan sarana teknologi informasi dalam setiap aspek kehidupan manusia, dan upaya untuk terciptanya percepatan pertumbuhan pembangunan dalam segala bidang di Indonesia, khususnya pertumbuhan dan perkembangan layanan jasa di bidang kenotariatan, maka kebutuhan untuk merevisi UUJN, UU ITE merupakan sesuatu keharusan agar penerapan perkembangan teknologi informasi dan teknologi dalam pembuatan akta secara elektronik oleh notaris memperoleh kepastian hukum.

Kewenangan notaris dalam penerapan teknologi informasi dan komunikasi dalam dalam pembuatan akta autentik secara substansi hukum menemukan beberapa kendala. Substansi hukum yang menjadi kendala dalam UUJN terdapat dalam beberapa pasal yang diatur dalam UUJN, yang antara lain: Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 8, Pasal 16 ayat (1) huruf l, Pasal 38 ayat (4), Pasal 44 ayat (1), Pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).

(41)

Substansi pasal-pasal tersebut di atas, secara langsung menjadi hambatan bagi notaris dalam pembuatan akta secara elektronik. Pasal 1 angka 7 mewajibkan pembuatan akta autentik di hadapan pejabat notaris. Kemudian di dalam Pasal 1 angka 8 mewajibkan pencantuman tanda tangan para pihak, saksi dan notaris dalam minuta akta. Selain pencantuman tanda tangan, Pasal 16 ayat (1) huruf l juga mewajibkan pejabat notaris untuk membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l, maka dapat dipahami dalam pembuatan akta notaris, maka notaris berkewajiban untuk membacakan isi akta tersebut di hadapan para pihak dan saksi. Kemudian setelah akta tersebut dibacakan oleh pejabat notaris, akta tersebut harus segera dicantumkan tanda tangan oleh para pihak, saksi dan juga notaris. Kewajiban untuk pencantuman tanda tangan dipertegas kembali dalam Pasal 44 ayat (1) UUJN, mewajibkan segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.

(42)

paraf atau tanda pengesahan lainnya oleh para pihak penghadap, saksi dan juga notaris.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang termaktub dalam UUJN, dapat dipahami bahwa pembuatan akta secara elektronik belum terakomodir dalam peraturan jabatan notaris atau UUJN. Dengan demikian, dapat dikatakan Substansi hukum yang termuat dalam UUJN sebagai pedoman pelaksanaan kewenangan notaris belum mendukung pembuatan akta secara elektronik oleh pejabat notaris.

Ditinjau dari substansi hukum UU ITE, maka pembuatan akta notaris secara elektronik secara tegas dan jelas telah dibatasi, sehingga pembuatan akta notaris tidak dapat dilakukan secara elektronik. Hal ini jelas diatur dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b, yang berbunyi: “Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta”.

Redaksi Pasal 5 ayat (4) huruf b di atas, memberikan pemahaman bahwa pembuatan akta secara elektronik tidak dapat dilaksanakan, oleh sebab adanya pembatasan terhadap tindakan notaris terkait dengan pembuatan akta secara elektronik. Dengan kata lain, ketentuan ini secara tidak langsung melarang pejabat notaris untuk membuat akta secara elektronik.

(43)

memang bukan soal yang mudah untuk dilakukan, karena hal ini harus memerlukan pengkajian lebih khusus yang sangat mendalam, karena menyangkut aspek sosiologis, filosofis dan yuridis. Walaupun sampai sekarang belum ada undang-undang khusus yang mengatur tentang pembuatan akta secara elektronik, akan tetapi tidak berarti sebelumnya tidak pernah ada peraturan yang mengatur masalah tersebut.

Tidak cermatnya pembuat undang-undang dalam perumusan aturan hukum terkait dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta secara elektronik dapat dianalisis berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUPT, yang berbunyi RUPS dapat dilakukan melalui media teleconference, video converence atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta rapat dapat melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. Dalam pembuatan risalah RUPS secara umum dapat dibuat dengan 2 (dua) cara yaitu:

a. Secara di bawah tangan yang dibuat dan disusun sendiri oleh Direksi perseroan.

Dalam prakteknya, risalah RUPS yang dibuat secara di bawah tangan biasa disebut Notulen atau Risalah. Cara ini dipilih oleh direksi dan/atau pemegang saham perseroan apabila agenda RUPS tahunan hanya membahas dan memutuskan hal-hal yang dianggap hanya berlaku di dalam lingkungan perseroan sendiri, dan keputusan RUPS tersebut tidak memerlukan persetujuan dari atau harus dilaporkan atau diberitahukan kepada Menkumham. Notulen/Risalah RUPS di bawah tangan ini biasa dipilih dalam rangka pelaksanaan RUPS tahunan yang agenda atau acaranya khusus mengenai pemberian persetujuan dan pengesahan oleh RUPS atas laporan tahunan yang disampaikan oleh Direksi. Akan tetapi, bukan berarti bahwa RUPS tahunan tidak diperkenankan untuk menghadirkan seorang Notaris. b. Notulen/Risalah RUPS yang dibuat Notaris disebut berita acara.

(44)

Notaris dipilih Direksi dan/atau pemegang saham Perseroan, maka Direksi dan/atau pemegang saham Perseroan harus meminta jasa Notaris untuk menghadiri dan menyaksikan jalannya RUPS agar Notaris dapat membuat berita acara mengenai segala sesuatu yang dibicarakan dan diputuskan dalam RUPS, asalkan tempat diadakannya RUPS masih diwilayah kerja Notaris yang bersangkutan. RUPS yang dilaksanakan dengan menghadirkan Notaris tersebut, tata cara penyelenggaraannya tetap harus memenuhi ketentuan yang termuat dalam AD PT dan/atau UUPT, di mana pimpinan RUPS adalah Direksi PT dengan memperhatikan anggaran dasar PT, sedangkan Notaris berfungsi menjalankan kewajibannya untuk mendengar dan menyaksikan langsung jalannya RUPS sejak dibuka hingga ditutupnya RUPS. Sehingga Notaris dapat menyusun dan membuat risalah RUPS yang dalam praktek disebut akta berita acara dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan Pasal 38 sampai Pasal 57 UUJN Nomor 30 Tahun 2004.135

Seyogyanya dengan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUPT tersebut, pengaturan mengenai pembuatan akta notaris secara elektronik harus dipertegas kembali dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE yang dirumuskan dan diterbitkan belakangan setelah penerbitan UUPT. Namun, sebaliknya UU ITE memberikan pembatasan atau pengecualian terhadap akta notaris, sehingga menjadikan kekaburan dalam pelaksanaan ketentuan Pasal 77 ayat (1) UUPT tersebut dan sekaligus menimbulkan ketidaksinkronan antara undang-undang UUPT dengan UU ITE. Selain masalah legalitas pembuatan akta secara elektronik yang mengacu pada berbagai undang-undang yang telah dijelaskan di atas, hambatan lain yang dihadapi dalam pelaksanaan pembuatan akta secara elektronik adalah masalah pembuktian dan masalah format atau bentuk serta tata cara pembuatan akta notaris. Dalam pembuatan akta notaris secara elektronik, selain kendala masalah penandatangan akta, pembuatan akta notaris juga mengalami masalah yang berkaitan dengan kekuatan pembuktian.

(45)

Pembuktian merupakan bagian terpenting dalam proses penyelesaian sengketa perdata di pengadilan, karena melalui tahap pembuktian, kebenaran akan adanya suatu peristiwa dan adanya suatu hak dapat dinyatakan terbukti atau tidak di muka persidangan. Pada intinya dengan pembuktian para pihak berupaya untuk meyakinkan para hakim tentang kebenaran adanya suatu peristiwa atau hak dengan menggunakan alat-alat bukti. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh R. Subekti, bahwa yang dimaksud dengan pembuktian ialah “menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan”.136Pasal 164 HIR yang menyebutkan 5 (lima) macam alat bukti, yang meliputi:

a. Bukti surat b. Bukti saksi c. Persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah.

Proses pembuktian, bukti surat adalah bukti yang penting dan utama. Dalam lalu lintas perdagangan seringkali sengaja disediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila dikemudian hari timbul suatu perselisihan, bukti mana adalah berupa sehelai surat. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam bentuk bukti surat, yang meliputi: a. surat biasa, b. akta autentik, c. akta di bawah tangan.137

136R. Subekti,Op.Cit., Hlm. 1

137Retno Wulan,Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju,

(46)

Perbedaan dari ketiga macam surat ini yaitu dalam kelompok mana suatu tulisan termasuk, itu tergantung dari cara pembuatannya. Menurut Pasal 165 HIR, dimaksud dengan akta autentik adalah adalah surat yang dibuat dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahliwarisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu langung berhubungan dengan pokok akta itu.

Pasal 165 HIR, ditentukan bahwa akta autentik merupakan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya. Akta autentik merupakan bukti yang cukup, itu berarti bahwa dengan dihaturkannya akta kelahiran anak, maka sudah terbukti secara sempurna tentang kelahiran anak tersebut, sehingga untuk perihal tersebut tidak perlu penambahan pembuktian lagi. Bukti yang cukup disebut pula dengan bukti yang sempurna. Kekuatan pembuktian sempurna berarti isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, kecuali apabila diajukan bukti lawan yang kuat, hal mana berarti bahwa hakim harus mempercayai apa yang tertulis dalam akta tersebut. Dengan perkataan lain yang termuat dalam akta itu harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan.138

Pendapat yang berkembang, bahwa akta autentik tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan dalam akta tersebut, tetapi

(47)

juga bahwa apa yang dituliskkan tadi adalah benar. Hal ini berarti, bahwa apabila dalam akta notaris tertulis, bahwa A dan B telah menghadap di hadapan PPAT dan menerangkan, bahwa mereka telah melakukan jual beli mengenai sebidang sawah dengan harga tertentu, maka yang harus dianggap benar, bukan saja bahwa mereka telah menerangkan tentang terjadinya jual beli sawah tersebut, tetapi pula bahwa jual beli sawah termaksud benar-benar telah terjadi.

Sehubungan dengan pembuatan akta secara elektronik, maka dalam hal pembuktian akta secara elektronik belum diketahui secara pasti kedudukan hukumnya apakah termasuk dalam kategori akta autentik atau dipersamakan dengan akta di bawah tangan. Dalam hal ini masih terjadi kontroversi mengenai kedudukan hukum akta elektronik dalam pembuktian, apakah akta elektronik termasuk dalam bentuk akta autentik atau dipersamakan dengan akta di bawah tangan. Arsyad Sanusi berpendapat:

Suatu dokumen elektronik, sekiranya dihasilkan oleh suatu sistem Informasi Elektronik yang telah dilegalisasi atau dijamin oleh para profesional yang berwenang untuk itu, maka hal itu termasuk dokumen autentik, dan jika sistem Informasi Elektronik dapat tetap berjalan sebagaimana mestinya, sepanjang tidak dibuktikan oleh para pihak, dokumen elektronik tersebut diterima layaknya sebagai akta atau dokumen autentik, dan bukan akta dibawah tangan.139

Pendapat berbeda dikemukan oleh Brian Prasetyo bahwa akta autentik untuk saat ini belum bisa berbentuk elektronik. Kalau kedudukannya sama dengan akta dibawah tangan boleh saja, sebab bentuk akta elektronik hanya merupakan

139 Surya Jaya, Cyber Notary Persfektif Hukum Pembuktian, makalah disampaikan pada

(48)

kesepatakan para pihak. Alasan Brian Prasetyo menyatakan bukan sebagai akta autentik:

a. Akta autentik bentuknya ditentukan oleh peraturan dan belum ada peraturan yang menyatakan bahwa akta autentik boleh dalam bentuk elektronik.

b. Akta harus ditandatangani dan sampai saat ini belum ada peraturan yang secara eksplisit dan bersifatlex specialismenyatakan bahwadigital signature

boleh digunakan untuk menandatangani akta autentik.

c. Pembuatan akta dan penandatanganan harus dihadiri dan disaksikan oleh Notaris dan para saksi dan sampai saat ini belum ada peraturan yang menyatakan bahwa Notaris boleh menyaksikan panandatanganan melalui misalnyateleconference.140

Pandangan Brian Prasetyo sejalan dengan ketentuan ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 bahwa ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektonik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis.

b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Alat bukti elektronik tidak berlaku terhadap surat-surat yang harus dibuat dalam bentuk surat tertulis atau dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat pejabat pembuat akta. Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa alat bukti elektronik dalam bentuk dokumen elektronik tidak berlaku dan tidak dapat dipersamakan dengan suatu akta autentik /akta notaril yang bentuknya tertulis dan mempunyai minuta akta (asli akta notaris). Hal ini sejalan pula dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 164 jo 165 HIR, tentang alat bukti dalam hukum acara

(49)

perdata, dan mengenai macam bentuk alat bukti surat yang diakui dalam pembuktian acara perdata.

Praktek peradilan di Indonesia, alat bukti elektonik masih dianggap sebagai alat bukti petunjuk. Alat bukti dalam Undang-undang telah ditentukan secara

enumeratif, artinya undang-undang terlebih dahulu telah menentukan satu persatu alat bukti yang sah dan bernilai sebagai alat bukti. Ahcmad Ali, menyatakan bahwa terdapat 7 (tujuh) alat bukti dalam Hukum Acara Perdata, yaitu:141

a. Alat bukti tertulis atau surat. b. Kesaksian.

c. Persangkaan. d. Pengakuan. e. Sumpah

f. Keterangan ahli. g. Pemeriksaan setempat.

Kedudukan akta elektronik dalam pembuktian perkara perdata dapat dikatakan bukan sebagai akta autentik yang berdiri sendiri, oleh sebab keaslian akta autentik tersebut masih perlu dibuktikan. Proses pembuktian daripada keaslian akta elektronik tersebut dibutuhkan keterangan ahli yang mampu menjelaskan tentang keaslian dari akta tersebut.

UU ITE mengatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Namun tidak semua informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang

141Achmad Ali & Wiwie Heryani,Asas-asas Hukum Pembuktian, (Jakarta: Kencana Prenada

(50)

sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/ dokumen elektronik dinyatakan sah sebagai alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keautentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.

c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.

d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut, dan

e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Pada tahap ini, terkait pembuatan akta secara elektronik oleh notaris hingga saat ini notaris belum memiliki sistem yang andal dan aman dalam penyelenggaraan sistem elektronik. Sehingga pelayanan pembuatan akta secara elektronik belum memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam UU ITE.

(51)

ketentuan yang harus dilaksanakan oleh notaris, dalam memberikan layanan jasa secara elektronik, diantaranya:

a. Pendaftaran. b. Perangkat keras. c. Perangkat lunak. d. Tenaga ahli. e. Pengamanan.

f. Sertifikasi kelaikan system elektronik, dan g. Pengawasan.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sebelum dokumen elektronik dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan beroperasi sebagaimana mestinya. Oleh karena itu dapat dipertanyakan apakah dokumen elektronik (dalam hal ini risalah RUPS modern) sudah memenuhi batas minimal pembuktian, oleh karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai alat bukti, harus dipenuhi secara utuh syarat formil dan materiil sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang.

(52)

dukungan alat bukti yang lain. Sedangkan pada akta dibawah tangan agar mempunyai nilai pembuktian haruslah dipenuhi syarat formil dan materiil yaitu:

a. Dibuat secara sepihak atau berbentuk partai (sekurang-kurangnya dua pihak); b. Ditanda tangani pembuat atau para pihak yang membuatnya;

c. isi dan tanda tangan diakui.

Kalau syarat di atas dipenuhi, sesuai dengan ketentuan Pasal 1975 KUH Perdata juncto Pasal 288 RBG, maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta autentik, dan oleh karenanya mempunyai batas minimal pembuktian yaitu mampu berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain. Dari Pasal 1 point 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE dapat dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai nilai pembuktian, yaitu:

a. Berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar...dan seterusnya yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;

b. Dinyatakan sah apabila menggunakan/berasal dari Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang;

(53)

Syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang kemudian juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat diingkari oleh pembuatnya (non repudiation).

Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, dapat dikatakan dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain. Nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang dengan demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht).

Referensi

Dokumen terkait

Kesalahan yang dilakukan oleh notaris dalam Pasal 48 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2014, tentang “perubahan terhadap isi akta dimana jika notaris pada saat membuat

Hak dan kewajiban seorang Notaris terkait pembuatan akta pendirian Perkumpulan telah tertuang didalam Pasal 15 ayat (1) UUJN terkait kewenangan seorang, meskipun

Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa dalam hal tanggung jawab notaris pengganti dalam pembuatan akta bila terdapat kesalahan atau kelalaian dapat dikenakan sanksi

(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mengakibatkan suatu Akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 16 ayat (7) dan (8) termasuk ke dalam cacat bentuk akta notaris, sebab pembacaan akta oleh notaris di hadapan para pihak dan saksi adalah

Hak dan kewajiban seorang notaris terkait pembuatan akta pendirian Perkumpulan telah tertuang didalam Pasal 15 ayat 1 UUJN terkait kewenangan seorang, meskipun badan hukum Perkumpulan

Permasalahan lainnya yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap akta risalah RUPS yang dilaksanakan secara elektronik, yaitu terjadinya kekaburan hukum pada Pasal 5 Ayat

Kendati demikian, kesalahan substansi dalam pembuatan akta otentik oleh Notaris dalam penelitian ini dapat memberikan bukti diperlukannya teori perlindungan hukum bagi para pihak yang