BAB III
PEMBUATAN AKTA NOTARIIL MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 JO NOMOR 2 TAHUN
2014 TENTANG UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS
A. Pembuat Akta Notariil Menurut Hukum Islam
Pembuatan akad dalam hukum Islam salah satunya ijab-qabul, ijab-qabul
adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam
berakad diantara dua orang atau lebih sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan
yang tidak berdasarkan syara’.
Oleh karena itu,dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian
dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada
keridaan dan syariat Islam. Dari beberapa istilah yang telah dijelaskan diatas, dapat
memperlihatkan tiga kategori, bahwasannya:
Pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang
berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah
satu pihak, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan oleh mitra akad
sebagai tanggapan dari penawaran dari pihak yang pertama. Akad tidak terjadi
apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena
akad adalah keterkaitan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan
qabul.
Kedua: akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah
pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau penetapan hak bukanlah akad,
karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan dua pihak dan karenanya tidak
memerlukan qabul. Konsepsi akad sebagai tindakan dua pihak adalah pandangan
ahli-ahli Hukum Islam modern. Pada zaman pra modern terdapat perbedaan pendapat.
Sebagian besar fuqaha memang memisahkannya secara tegas kehendak sepihak dari
akad, akan tetapi sebagian yang lain menjadikan akad meliputi juga kehendak
sepihak. Bahkan ketika berbicara tentang aneka ragam akad khusus, mereka tidak
membedakan antara akad dengan kehendak sepihak sehingga mereka membahas
pelepasan hak, wasiat dan wakaf bersama-sama dengan pembahasan jual beli, sewa
menyewa dan semacamnya, serta mendiskusikan apakah hibah juga memerlukan ijab
dan qabul ataukah cukup dengan ijab saja.
Ketiga: tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas
lagi, tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan
oleh para pihak melalui pembuatan akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam di
sebut “hukum akad” (hukm al-’aqad).65 1. Rukun Dan Syarat Akad
Untuk dapat terealisasinya tujuan akad, maka diperlukan unsur pembentuk
akad, hanya saja, dikalanganfuqahaterdapat perbedaan pandangan berkenaan dengan unsur pembentuk akad tersebut (rukun dan syarat). Menurut jumhur fuqaha, rukun akad terdiri atas:
2. Mahallul ‘aqd, yakni obyek akad yang disebut juga dengan “sesuatu yang hendak diakadkan”
3. Shighatul ‘aqd, pernyataan kalimat akad yang lazimnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.
Sedangkan menurut fuqaha Hanafiyah, mempunyai pandangan yang berbeda dengan jumhur fuqaha diatas. Bagi mereka, rukun akad adalah unsur-unsur dari
pokok pembentuk akad dan unsur tersebut hanya ada satu yaqin sighat akad (ijab qabul).Al- Aqidanidanmahallul ‘aqd bukan merupakan rukun akad melainkan lebih tepatnya untuk dimasukkan sebagai syarat akad. Pendirian seperti ini didasarkan pada
pengertian rukun sebagai sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu,
sedangkan dia bersifat internal (dakhily) dari sesuatu yang ditegakkannya.66
Dalam Hukum Islam Perjanjian dikenal dengan istilah Akad. Hal tersebut
dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat (1), yaitu :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki Nya”.
Adapun syarat menurut pengertian fuqaha dan ahli ushul adalah, “segala sesuatu yang dikaitkan pada tiadanya sesuatu yang lain, dan syarat itu bersifat
eksternal (kharijy)”. Maksudnya adalah, tiadanya syarat mengharuskan tiadanya
masyrut (sesuatu yang disyaratkan), sedangkan adanya syarat tidak mengharuskan adanya masyrut. Misalnya, kecakapan pihak yang berakad merupakan syarat yang
berlaku pada setiap akad sehingga tiadanya kecakapan menjadi tidak berlangsungnya
akad.
Masing-masing rukun (unsur) yang membentuk akad diatas, memerlukan
adanya syarat-syarat agar rukun (unsur) tersebut dapat berfungsi dan dapat
membentuk suatu akad. Tanpa adanya syarat-syarat yang dimaksud, rukun akad tidak
dapat membentuk suatu tujuan dari pada akad. Dalam hukum Islam, syarat-syarat
tersebut dinamakan “syarat-syarat terbentuknya akad (syurūth al-In’iqad)”.
Rukun pertama, yaitu: “para pihak”, yang harus memenuhi dua syarat
terbentuknya akad, diantaranya adalah: (1)tamyiz, dan (2) berbilang/at-Ta’addud. Rukun kedua, yaitu: “pernyataan kehendak”, yang harus memenuhi dua syarat
juga, diantaranya adalah:
(1) Adanya persesuaian ijab dan qabul, dengan kata lain tercapainya kata
“sepakat”.
(2) Kesatuan majelis akad.
Rukun ketiga, yaitu: “obyek akad”, yang harus memenuhi tiga syarat
terbentuknya akad, diantaranya adalah:
(1) Obyek akad itu dapat diserahkan,
(2) Tertentu atau dapat ditentukan, dan
(3) Obyek itu dapat ditransaksikan.
Kemudian syarat untuk terbentuknya akad yang keempat adalah “tidak
Syarat-syarat yang terkait dengan rukun tersebut dinamakan dengan “syarat
terbentuknya akad (syurut al-in’iqad)” yang telah diuraikan di atas. Adapun syarat-syarat pada umumnya ada delapan macam, yaitu:67
1. Tamyiz
2. Berbilang pihak (at-Ta’addud)
3. persatuan ijab dan qabul (kesepakatan)
4. kesatuan majelis akad
5. obyek akad dapat diserahkan
6. obyek akad tertentu atau dapat ditentukan
7. obyek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki/
mutaqawwimdanmamluk)
8. tujuan tidak bertentangan dengan syariat.
3. Obyek Akad
Dalam hukum perjanjian Islam obyek akad dimaksudkan sebagai suatu hal.
yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum akad. Obyek akad
dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau pekerjaan, atau sesuatu yang lain yang
tidak berkenaan dengan syariah. Benda meliputi benda bergerak dan tidak bergerak
maupun benda berbadan dan benda tidak berbadan. Misalnya akad jual beli rumah
obyeknya adalah benda, yaitu berupa rumah dan ruang harga penjualannya yang juga
merupakan benda akad sewa menyewa obyeknya adalah manfaat barang yang disewa,
akad pengangkutan obyeknya adalah jasa pengangkutan. Imbalannya, yang bisa
berupa benda (termasuk uang), manfaat atau jasa juga merupakan obyek akad. Jadi
dalam akad jual beli rumah, misalnya, menurut hukum Islam bukan rumahnya saja
yang merupakan obyek akad, tetapi imbalannya yang berupa uang atau berupa
lainnya juga merupakan obyek akad jual beli.
Para ahli Hukum Islam mensyaratkan beberapa syarat pada obyek akad,
diantaranya adalah :68
a. Obyek akad dapat diserahkan atau dapat dilaksanakan
Obyek akad disyaratkan harus dapat diserahkan apabila obyek tersebut berupa
barang seperti dalam akad jual beli, atau dapat dinikmati maupun dapat diambil
manfaatnya apabila obyek itu berupa manfaat benda seperti dalam sewa menyewa
benda (ijārah al-manāfi’). Apabila obyek akad berupa sesuatu perbuatan seperti
mengajar, melukis, mengerjakan suatu pekerjaan, maka pekerjaan itu harus mungkin
dan dapat dilaksanakan. Dasar ketentuan ini dapat disimpulkan dalam hadits Nabi
SAW, yang berbunyi:
“Dari Hakim Ibn Hizam (dilaporkan bahwa) ia berkata: aku bertanya kepada
Nabi SAW, kataku: Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku menjual
suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjual kepadanya, kemudian aku
membelinya dipasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab: jangan engkau
menjual barang yang tidak ada padamu ”.
Larangan menjual barang yang tidak ada pada seseorang dalam hadits di atas
adalah karena Nabi SAW mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat
dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak. Atas dasar itu
disimpulkan suatu aturan umum mengenai obyek akad, yaitu bahwa obyek tersebut
harus merupakan barang yang dapat dipastikan bisa diserahkan.
b. Obyek akad harus tertentu atau dapat ditentukan
Syarat kedua dari obyek akad adalah bahwa obyek tersebut tertentu dan dapat
ditentukan. Dasar ketentuan ini adalah bahwa Nabi SAW melarang jual beli kerikil.
Dengan jual beli kerikil dimaksudkan jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil
pada obyek jual beli, dimana obyek yang terkena batu kerikil tersebut itulah jual beli
yang terjadi. Hal ini hampir mirip dengan judi dimana seseorang memasang sejumlah
uang, kemudian menggulirkan sebuah bola kecil, kemudian roda atau bola kecil
tersebut berhenti atau masuk lobang, maka itulah obyek yang dia menangkan. Disini
terjadi ketidaktentuan atau ketidakjelasan obyek. Dari larangan ini diabstraksikan
ketentuan umum bahwa suatu obyek akad harus tertentu atau dapat ditentukan.
Obyek akad itu tertentu artinya diketahui dengan jelas olehpara pihak
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sengketa. Apabila obyek tidak jelas
secara mencolok sehingga dapat menimbulkan persengketaan, maka akadnya tidak
sah. Ketidakjelasan kecil (sedikit) yang tidak membawa kepada persengketaan tidak
membatalkan akad. Ahli-ahli hukum Hanafi menjadikan akad kebiasaan dalam
masyarakat sebagai menentukan mencolok atau tidaknya suatu ketidak jelasan.
c. Obyek akad dapat di transaksikan menurut syara’
Suatu obyek dapat ditransaksikan dalam hukum Islam apabila memenuhi
1) Tujuan obyek tersebut tidak bertentangan dengan transaksi, dengan kata lain
sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila transaksi tersebut bertentangan
dengan tujuan yang ditentukan untuk sesuatu tersebut. Dalam hukum Islam,
ada tiga jenis pemilikan dilihat dari segi pemiliknya, yaitu:
a) milik pribadi/ individual.
b) milik negara, misalnya: gedung atau kendaraan, dianggap tidak dapat
dijual kecuali setelah dicabut dari daftar millik negara.
c) milik umum/ masyarakat, yakni barang yang tidak dimiliki oleh
masyarakat atau biasanya dalam kitab fiqih disebut sebagai milik Allah.
2) Sifat atau hakikat dari obyek itu tidak bertentangan dengan transaksi, dengan
kata lain sesuatu tidak dapat ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu
itu tidak memungkinkan transaksi. Yakni, sesuatu juga tidak dapat
ditransaksikan apabila sifat atau hakikat sesuatu itu memang tidak dapat
menerima transaksi atau tidak dapat menerima akibat hukum akad. Untuk
dapat ditransaksikan dan dapat menerima akibat hukum akad, suatu obyek,
apabila berupa benda, harus:
a) merupakan benda bernilai dalam pandangan syariat Islam (mutaqawwim) b) benda yang dimiliki.
d. Obyek akad tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Obyek yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum lebih tertuju kepada
obyek yang berupa melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Adapun obyek berupa
porno dimasukkan dalam kategori benda yang tidak bernilai pada pandangan syari’at
Islam.
B. Akta Notariil menurut Undang–Undang Jabatan Notaris
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan
dalam undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu
ditempat akta itu dibuat. Begitu halnya dengan akta notaris sebagai akta otentik yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan
atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau
menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau
menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya
sesuai aturan hukum yang berlaku.
Notaris merupakan salah satu pengemban hukum di Indonesia selain profesi
hukum yang lain seperti jaksa, hakim dan pengacara. Pengemban profesi hukum ini
memiliki peranan yang vital dalam kehidupan hukum. Jaksa membidangi penuntutan
terhadap terdakwa, hakim menjalankan profesi untuk memutus perkara yang
dihadapkan kepadanya dan pengacara membela kepentingan kliennya di luar dan
didalam persidangan. Sementara Notaris lebih erat berhubungan dengan profesi
hukum dalam pembuatan akta. Profesi-profesi hukum tersebut mengemban suatu
profesi yang mulia dikenal“officium nobile”.
Pasal 38 ayat (2) huruf d Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN)
kedudukan Notaris. Dan pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris pada akhir
akta wajib dicantumkan dan tanda tangan Notaris. Pencantuman nama dan tanda
tangan Notaris pada akhir akta merupakan perintah Undang-Undang Jabatan Notaris,
karena merupakan bagian dari syarat formal akta Notaris. Dan jika syarat formal tidak
dipenuhi, baik sebagian atau seluruhnya sebagimana disyaratkan pasal 38
Undang-Undang Jabatan Notaris, maka akta Notaris tersebut hanya mempunyai kekuatan
pembuatan sebagaimana disebutkan Pasal 84 Undang-Undang Jabatan Notaris dan
juga kekuatan pembuktian sebagai tulisan dibawah tangan jika ditandatangani oleh
para pihak sebagaimana juga ditegaskan dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Pencantuman nama Notaris dan tanda tangan Notaris tersebut, oleh pihak
tertentu yang bergeluk dalam penegakan hukum sering ditafsirkan Notaris sebagai
pihak dalam akta, sehingga ketika isi akta dipermasalahkan oleh mereka yang nama
tersebut dalam akta atau oleh pihak lainnya, Notaris seringkali ditempatkan sebagai
Tergugat atau Turut Tergugat, atau juga ditempatkan sebagai saksi atau bahkan
tersangka atau terdakwa. Penempatan Notaris dengan kualifikasi seperti itu, dapat
disimpulkan telah salah kaprah atau pihak-pihak tertentu tersebut tidak mengerti atau
tidak memahami kedudukan Notaris dalam Sistem Hukum Nasional, khususnya
sebagai jabatan yang diberikan kewenangan tertentu oleh Negara.69 Untuk membuat
69
alat bukti otentik yang dikehendaki oleh para pihak dan sesuai aturan hukum yang
berlaku untuk perbuatan hukum yang bersangkutan. Menempatkan atau
mendudukkan Notaris dengan kualifikasi seperti itu terhadap Notaris dalam
pelaksanaan tugas jabatan Notaris telah terjadi kriminalisasi terhadap Jabatan
Notaris.70
Pasal 38 ayat (3) huruf c Undang-Undang Jabatan Notaris ditegaskan bahwa
isi akta yang merupakan kehendak atau keinginan dari para pihak penghadap yang
datang menghadap Notaris. Sehingga isi akta tersebut merupakan kehendak atau
keinginan para penghadap sendiri, bukan keinginan atau kehendak Notaris, tapi
Notaris hanya membingkainya dalam bentuk akta Notaris sesuai Undang-Undang
Jabatan Notaris. Oleh karena itu, jika isi akta dipermasalahkan oleh para pihak atau
pihak lain yang berkepentingan, maka hal tersebut, yang berkaitan dengan isi akta,
merupakan permasalahan mereka sendiri. Contohnya jika oleh para pihak dibuat akta
utang-piutang, yang dibayar oleh peminjam dalam jangka waktu dan jumlah tertentu
sebagaimana disebutkan dalam akta. Ketika peminjam wanprestasi, dan yang
meminjamkan sulit menagih kepada peminjam. Yang meminjamkan membuat
laporan pengaduan dan Berita Acara Pemeriksaan kepada kepolisian agar ditinjak
lanjuti laporan tersebut. Untuk menindaklanjuti pengaduan tersebut, karena perjanjian
pinjam-meminjam uang dituangkan dalam bentuk akta Notaris, untuk melengkapi
Berita Acara Pemeriksaan tadi, pihak Kepolisian akan memanggil Notaris agar
70 Peter Latumeten, “Kriminalisasi Akta Notaris dan Pelaksanaan Jabatan Notaris”,
memberikan keterangan berkaitan dengan akta pinjam-meminjam uang tersebut.
Dalam kaitannya perlu dipertanyakan, apakah wanprestasinya peminjam karena akta
notaris?atau apakah peminjam dalam keadaan tidak sanggup membayar atau pada
saat itu tidak punya uang? Dalam kejadian seperti itu, kepolisian harus mencermati,
wanprestasinya peminjam karena atau dengan alasan apa? Jangan hanya karena
pinjam-meminjam uang tersebut dituangkan dalam akta Notaris harus dipanggil
sebagai saksi. Bahwa wanprestasinya salah satu pihak tersebut, sehingga dalam kaitan
ini, tidak alasan atau tidak perlu Kepolisian memanggil Notaris untuk ditempatkan
sebagai apapun. Demikian pula jika dari wanprestasi tersebut diajukan gugatan
perdata, maka dengan alasan yang sama tidak pada tempatnya dan sangat tidak
beralasan Notaris untuk ditempatkan atau ditarik sebagai Penggugat atau Turut
Tergugat atau sebagai saksi atas gugatan tersebut. Dan suatu hal yang tidak tepat
pula, jika seorang Notaris ditempatkan sebagai saksi atau akta yang dibuat dihadapan
atau oleh Notaris tersebut, karena akta Notaris sudah di kontruksikan mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga siapapun harus terikat dengan akta
Notaris tersebut. Karena akta Notaris harus dinilai apa adanya, dan setiap orang harus
dinilai benar berkata seperti itu yang dituangkan dalam akta Notaris yang
bersangkutan. Keadaan seperti tersebut diatas, akan lebih menyimpang lagi, jika
kemudian dikembangkan, dengan alasan tercantum nama dan tanda tangan Notaris
pada akta yang bersangkutan, kemudian di kontruksikan, bahwa Notaris sebagai
pihak dengan kualifikasi yang membuat, atau menyuruh atau turut serta melakukan
tersebut, yang pada akhirnya akan menempatkan sebagai saksi atau tersangka.71Dan jika menghukum Notaris dengan hukum dengan penjara seberapa lamapun atau
dengan hukuman mati, tidak akan membatalkan akta Notaris yang dibuat dihadapan
atau oleh Notaris yang bersangkutan. Akta tersebut akan tetap berlaku jika tidak
dibatalkan oleh para pihak yang bersangkutan atau berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Telah ada kejadian Notaris dijatuhi
hukuman penjara, berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris
yang bersangkutan, tapi ternyata akta tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak.
Jadi dalam hal ini tidak ada releyansinya memenjarakan Notaris seperti itu, sementara
akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris tetap mengikat dan berlaku.72
Dalam kaitan ini, bagaimanakah pemahaman yang benar menurut hukum
kedudukan Notaris dalam akta dan para pihak yang tercantum namanya dalam akta
dan pihak yang berkepentingan. Bahwa pencatuman nama Notaris pada akta Notaris,
71 Saksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatan
Notaris, artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus berdasarkan kepada aturan hukum yang mengatur hal. tersebut, dalam hal. ini Undang-Undang Jabatan Notaris. Jika semua tata cara pembuatan akta sudah ditempuh suatu hal. yang tidak mungkin secara sengaja Notaris melakukan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan akta tersebut. Suatu tindakan bunuh diri, jika seorang Notaris secara sengaja bersama-sama atau membantu penghadap secara sadar membuat akta untuk melakukan suatu tindak pidana. Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan oleh Notaris, merupakan suatu tindakan yang disadari, atau direncanakan dan diinsyafi segala akibat hukumnya, dalam hal. Notaris sebagai sumber untuk melakukan kesengajaan bersama-sama dengan para penghadap. Sanksi pidana terhadap Notaris tunduk terhadap tertentu pidana umum, yaitu Kitan Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-Undang Jabatan Notaris tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris. Habib Adjie, “Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik Berkaitan dengan Pembuatan Akta Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris”,disertai, program pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2007, hal.213.
72Terjadinya pemidanaan terhadap Notaris berdasarkan akta yang dibuat oleh atau dihadapan
tidak berarti pihak didalamnya atau turut serta atau menyuruh atau membantu
melakuakn suatu tindakan hukum tertentu yang dilakukan para pihak atau penghadap,
tapi hal tersebut merupakan aspek formal akta Notaris sesuai Undang-Undang
Jabatan Notaris (UUJN). Dan Notaris tidak terikat dengan isi akta dan juga tidak
mempunyai kepentingan hukum dengan isi akta yang bersangkutan. Jika akta Notaris
dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak yang berkepentingan dengan alasan
apapun, sangat tidak ada alasan hukum untuk menempatkan atau mendudukan
Notaris sebagai Tergugat, Turut Tergugat atau Tersangka atupun saksi.
Jika akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau yang berkepentingan,
maka untuk menyelesaikan harus didasarkan pada kebatalan dan pembatalan Akta
Notaris sebagai suatu alat bukti yang sempurna.
Menurut George Whitecross Patton73 alat bukti dapat berupa oral (words spoken by witness in court) dan documentary (the production of a admissible document) atau material (the production of a physical res other than a document). Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri
dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah dan tertulis
dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Dalam
perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana juga perdata) telah pula
73George Whitecross Patton, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press,
diterima alat bukti elektronis atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis
sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan.74
Dalam kaitan ini perlu diberi penekanan dan penjelasan terhadap alat bukti
tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Secara tertulis
tersebut dapat berupa surat (secara umum)75dan surat dalam bentuk tertentu serta tata cara pembuatan dengan pejabat yang ditunjuk dengan peraturan
perundang-undangan.76 Dalam hal. ini akan di bahas mengenai akta Notaris dan akta Otentik yang disebutkan pada pasal 1 dan 15 Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) ada
istilah akta Notaris.
Dalam Pasal 1867 KUHPerdata disebutkan ada istilah Akta Otentik, dan Pasal
1868 KUHPerdata memberikan batasan secara unsur yang dimaksud dengan akta
otentik yaitu:
74a. Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
b. Pasal 38 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang
c. Pasal 26 A huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
d. Pasal 27 huruf b Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang.
75 Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca yang dimaksudnkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang atau dipergunakan sebagai pembuktian, dengan demikian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidak termasuk dalam pengetian alat bukti yang sah. Hari Sasongkodan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal.62.
76Istilah peraturan perundang-undangan ini merupakan penyebutan secara generik terhadap
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
c. Pegawai Umum (Pejabat umum) oleh-atau dihadapan siapa akta itu dibuat,
harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.
Otentik atau Authentiek77dapat diartikan:
Bersifat umum, bersifat jabatan, memberi pembuktian yang sempurna (dari surat-surat): khususnya dalam akta: authentieke akte. Para Notaris istimewa ditunjuk untuk membuat akta otentik baik atas permintaan atau atas perintah; akan tetapi juga beberapa pejabat negeri yang berhak membuatnya mengenai hal-hal yang berhubungan dengan tugas pekerjaannya.
Satu syarat lagi yang harus ditambahkan yaitu akta otentik mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna, karena di dalam akta otentik tersebut
didalamnya telah termasuk semua unsur bukti :
a. Tulisan
b. Saksi-saksi
c. Persangkaan-persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah78
Arti akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dapat pula
ditentukan bahwa siapapun terikat dengan akta tersebut, sepanjang tidak bisa
77 N.E.Algra, H.R.W. Gokkel –dkk, Kamus Istilah Hukum Fokema Andreae,
belanda/indonesia, Bina Cipta, Jakarta, 1983, hal. 37.
dibuktikan bukti sebaliknya berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Bahwa akta otentik merupakan sebutan yang diberikan kepada pejabat tertentu
yang dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, seperti Akta otentik tidak saja dapat
dibuat oleh Notaris, misalnya juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).79 Pejabat Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil.
Dalam Hukum Acara Perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui oleh
hukum, terdiri dari:80
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun
dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.81 Tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang, dibuat
79
Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dikategorikan sebagai akta otentik, meskipun sampai saat ini belum ada perintah undang-undang yang mengatur mengenai Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan tanggal 22 Maret 1972, nomor 937 K/Sip/1970, bahwa akta jual beli tanah yang dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap sebagai bukti surat yang mempunyai kekuatan bukti sempurna, M.Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum putusan mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata setengah Abad, Swa justitia, Jakarta, 2005, hal.146.
80 Pasal 138, 165, 167, HIR, 164, 285-305 Rbg, S.1867 nomor 29, pasal 1867-1894 B.W.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan putusan tanggal 10 april 1957, nomor 213 K/Sip/1955, bahwa penglihatan hakim dalam persidangan atas alat bukti tersebut, adalah merupakan pengetahuan hakim sendiri, yang merupakan usaha pembuktian. M.Ali Boediarto, Ibid, hal. 157.
dihadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat
dimana akta tersebut dibuat.82Tulisan dibawah tangan atau disebut juga akta dibawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa
perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang.83 Baik akta otentik maupun akta dibawah tangan dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat
bukti. Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat
bukti, jika hal. seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan
atau dengan alat bukti lainnya. Perbedaan penting antara kedua jenis akta tersebut,
yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna.
Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa
adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta
tersebut. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para
pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak,84 jika para pihak mengakuinya, maka akta dibawah tangan tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik,85jika ada salah stu pihak yang mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta
82Pasal 1868 BW 83Pasal 1874 BW
84 Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 775 K/Sip/1971,
tanggal 6 oktober 1971, menegaskan bahwa surat (surat jual beli) yang diajukan dalam persidangan, kemudian disangkal oleh pihak lawan, dan tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya, maka surat (jual beli tanah) tersebut dinilai sebagai alat bukti yang lemah dan belum sempurna. M.Ali Boediarto, op.cit.,hal.145.
tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim.86 Baik alat bukti akta dibawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi
rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW, dan secara
materiil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 BW) sebagai suatu
perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt seryanda).
Bahwa disebut akta Notaris, karena akta tersebut sebagai akta otentik yang
dibuat dihadapan atau oleh Notaris yang memenuhi syarat yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Akta Notaris sudah pasti akta otentik. Tapi
akta otentik bisa juga akta Notaris, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
Risalah Lelang Pejabat Lelang dan Akta Catatan Sipil.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa salah
satu kewenangan Notaris, yaitu membuat akta secara umum dengan batasan
sepanjang:
a. Tidak dikecualikan kepada pejabat lainyang ditetapkan oleh undang-undang.
b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh
aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat atau dikendaki oleh yang berkepentingan.
86
d. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal. ini sesuai dengan
tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris.
e. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal. ini Notaris harus menjamin
kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta
otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan
Notaris,87 hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik, yaitu:88
a. Didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang (bentuknya baku).
b. Dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum.
Dikemukakan pula oleh Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esensilia
agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:89 a. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
b. Dibuat oleh dan dihaadapan pejabat umum.
c. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk
itu dan ditempat dimana akta itu dibuat.
Pasal 1868 BW merupakan sumber untuk otentitas akta Notaris juga
merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai
berikut:
87Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris. 88
Philipus M.Hadjon,“Formulir Pendaftaran Tanah bukan Akta Otentik”, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hal.3
89Irawan Soerodjo,Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, 2003,
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
c. Pejabat Umum oleh-atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta tersebut.
Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Akta yang dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum90
Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengatur mengenai sifat
dan bentuk akta tidak menentukan mengenai Sifat Akta.91Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa akta Notaris adalah akta
otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara
yang ditetapkan dalam Undang-Undang jabatan Notarisdan secara tersirat dalam
pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris disebutkan bahwa Notaris
wajib membuat Daftar Akta dan mencatat semua akta yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris.
Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan
disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau
90Dalam pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg, 1868 BW) dapat disimpulkan bahwa akta otentik
dapat dibagi menjadi (1) akta yang dibuat oleh pejabat (actie ambtelijk, procesverbaal akte) dan (2) akta yang dibuat oleh para pihak (partijakte).
91Sebagai bahan perbandingan dalamWet op het Notarisamb(1999) Artikel 37.1. diatur dan
perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam bentuk akta Notaris.
Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak
yang diberikan atau yang diceritakan dihadapan Notaris. Para pihak berkeinginan
agar uraian atau keterangannya dituangkan kedalam bentuk akta Notaris.92
Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi
dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan
atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang
dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat
memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris
diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian
tetap bahwa hal. tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak,
bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak
bukan perbuatan atau tindakan Notaris.
Pengertian seperti tersebut diatas merupakan salah satu karakter yuridis
dari akta Notaris, tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris
tetap berada diluar para pihak, atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan
kedudukan Notaris seperti itu, sehinggal jika suatu akta Notaris dipermasalahkan,
maka tetap kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau yang turut serta
melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau
sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata. Penempatan Notaris
sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi
membuat atau menempatkan keterangan palsu kedalam akta otentik atau
menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat
oleh atau dihadapan Notaris, maka hal. tersebut telah mencederai akta Notaris dan
Notaris yang tidak dipahami oleh aparat hukum lainnya mengenai kedudukan akta
Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran
lain atas akta Notaris atau dengan kata lin terikat dengan akta Notaris tersebut.
Dalam tataran hukum (kenotariatan)yang benar mengenai akta Notaris dan
Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka:
1) Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas
akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalakan sudah tidak
mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari
pembatalan tersebut.93
2) Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salh
satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan umtuk
mengdegradasikan akta Notaris menjadi akta dibawah tangan. Setelah di
degradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan
penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah di degradasikan, apakah
93
tetap mengikat para pihak atau dibatalkan?hal. ini tergantung pembuktian dan
penilaian hakim.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan
dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang
bersangkutan dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat
dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta
Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan
apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan
aspek materiil atas akta Notaris.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
Ketika kepada para Notaris masih diberlakukan peraturan jabatan Notaris
(PJN), masih diragukan apakah akta yang dibuat sesuai dengan undang-undang?
Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan instruktie voor de Notarissen Residerende in Nederland Indie dengan Stbl.No.11, tanggal 7 Maret 1822,94 kemudian dengan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie
(Stb.1860:3), dan Reglement ini berasal dari Wet op Het Notarisambt (1842), kemudian Reglement tersebut diterjemahkan menjadi Peraturan Jabatan Notaris (PJN).95 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk Reglement, hal
94
R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982.hal.24-25.
95Tan Thong Kie,Study Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris,Ichtiar van Hoeve, Jakarta,
tersebut tidak dipermasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia,
pengaturannya tidak lebih dari bentukReglement, dan secara kelembagaan dengan undang-undang Nomor 33 tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta.
Setelah lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris keberadaan akta Notaris
mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam
hal. ini ditentukan dalam pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris.96
c. Pejabat umum oleh-atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu
Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu:97
1) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat
itu.
Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak
dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang
membuatnya disamping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain,
mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik
96Notaris dan PPAT diberikan kewenangan untuk membuat Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT) berdasarkan pasal 15 ayat (1) Undang-undang nomor 4 tahun 1996. Dengan menggunakan parameter pasal 38 UUJN tersebut, maka SKMHT tidak memenuhi syarat sebagai akta Notaris, sehingga Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan tidak dapat menggunakan blanko SKMHT yang selama ada, tapi Notaris dapat membuatnya dalam bentuk akta Notaris dengan memenuhi semua ketentuan yang tercantum dalam pasal 38 UUJN. Jika Notaris dalam membuat kuasa membebankan hak tanggungan masii menggunakan blanko SKMHT, maka notaris telah bertindak diluar kewenangannya, sehingga SKMHT tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuatan sebagai akta otentik, tapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawa tangan.
mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai
wewenang terbatas.
Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris telah menentukan wewenang
Notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh
melakukan suatu tindakan diluar wewenang tersebut. Sebagai contoh apakah
Notaris dapat memberikanLegal Opinionsecara tertulis atas permintaan para pihak?jika dilihat dari wewenang yang tersebut dalam pasal 15
Undang-Undang Jabatan Notaris, pembuatan Legal Opinion ini tidak termasuk wewenang Notaris. Pemberian legal Opinian merupakan pendapat pribadi Notaris yang mempunyai kapasitas keilmuan bidang hukum dan kenotarisan,
bukan dalam kedudukannya menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris,
sehingga dariLegal Opinionmenimbulkan permasalahan hukum, harus dilihat dan diselesaikan tidak berdasarkan kepada tata cara yang dilakukan Majelis
Pengawasan atau Majelis Pemeriksa yang dibentuk oleh Majelis Pengawas,
tapi diserahkan kepada prosedur yang biasa, yaitu jika menimbulkan kerugian
dapat digugat secara perdata, hal. ini harus dibedakan dengan kewajiban
Notaris dapat memberikan penyuluhan hukum yang berkaitan dengan akta
yang akan dibuat oleh atau dihadapan Notaris yang bersangkutan.
Tindakan Notaris diluar wewenang yang sudah ditentukan tersebut, dapat
dikategorikan sebagai perbuatan diluar wewenang Notaris. Jika menimbulkan
permasalahan bagi para pihak yang menimbulkan kerugian secara materiil
seperti ini, maka Majelis Pengawas atau Majelis Pemeriksa yang dibentuk
oleh Majelis Pengawas tidak perlu turut serta untuk menindaknya sesuai
wewenang Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris dapat turut
serta untuk menyelesaikannya, jika tindakan Notaris sesuai dengan wewenang
Notaris.
2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta
untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan
akta, ada batasan bahwa menurut pasal 52 Undang-Undang Jabatan Notaris
(UUJN) Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri sendiri,
istri/suami atau orang lain yang mepunyai hubungan kekeluargaan dengan
Notaris, baik karna perkawinan maupun hubungan darah dalam garis
keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta
dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak
untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun perantaraan kuasa.
Mengenai orang dan untuk siapa dibuat, harus ada keterkaitan yang jelas,
misalnya jika akan dibuat akta pengikat jual yang dikuti dengan akta kuasa
untuk menjual, bahwa pihak yang akan menjual mempunyai wewenang untuk
menjualnya kepada siapapun. Untuk mengetahui ada keterkaitan semacam itu,
identitas dan bukti kepemilikannya. Salah satu tanda bukti yang sering
diminta oleh Notaris dalam pembuatan akta Notaris, yaitu Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikannya ada
kemungkinan antara orang yang namanya tersebut dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dan sertifikat bukan orang yang sama, artinya pemilik
sertifikan bukan orang yang sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), hal.
ini bisa terjadi di Indonesia, karena banyak kesamaan nama dan mudahnya
membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), serta dalam sertifikat hanya tertulis
nama pemegang hak, tanpa ada penyebutan identitas lain. Dalam kejadian
seperti ini bagi Notaris tidak menimbulkan permasalahan apapun, tapi dari
segi yang lain Notaris oleh pihak yang berwajib (kepolisian/penyidik)
dianggap memberikan kemudahan untuk terjadinya suatu tindak pidana.
Berkaitan denga identitas diri penghadap dan bukti kepemilikannya yang
dibawa dan aslinya diperlihatkan ternyata palsu, makanya hal. ini bukan
tanggungjawab Notaris, tanggungjawabnya diserahkan kepada para pihak
yang menghadap.
3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat maka dimana akta itu
dibuat.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu
dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus
berkedudukan ke daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan
kabupaten atau kota (pasal 19 ayat (1) UUJN) Notaris mempunyai wilayah
jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (pasal 19
ayat (2) UUJN) pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada ditempat
kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh provinsi,
misalnya Notaris yang berkedudukan di kota Surabaya, maka dapat membuat
akta di kabupaten atau kota lain dalam wilayah provinsi jawa timur. Hal ini
dapat dijalankan dengan ketentuan:
a) Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) diluar
tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta
akan dibuat. Contoh Notaris yang berkedudukan di Surabaya, akan
membuat akta di Mojokerto, maka Notaris yang bersangkutan harus
membuat dan menyelesaikan akta tersebut di Mojokerto.
b) Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan
atau penyelesaian akta.
c) Menjalankan tugas jabatan diluar tempat kedudukan Notaris dalam
wilayah jabatan satu provinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak
terus menrus (pasal 19 ayat (2) UUJN)
Ketentuan tersebut dalam praktek memberikan peluang kepada Notaris untuk
merambah dan melintasi batas tempat kedudukannya dalam pembuatan akta,
meskipun bukan suatu hal yang dilarang untuk dilakukan, karena yang
provinsi (Pasal 17 huruf a UUJN), tapi untuk saling menghormati sesama
Notaris dikabupaten atau kota lain lebih baik hal seperti itu untuk tidak
dilakukan berikan penjelasan kepada para pihak untuk membuat akta yang
diinginkannya utuk menghadap Notaris di kabupaten atau kota yang
bersangkutan. Dalam keadaan tertentu dapat saja dilakukan, jika di kabupaten
atau kota tersebut tidak ada Notaris.
4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu
Notaris harus berwenang sepanjan mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif,
artinya tidak dalam keadaan suci atau diberhentikan sementara waktu. Notaris
yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas
jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan
dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal angka 3 UUJN).98
Seorang Notaris dapat mengangkat seorang Notaris Pengganti, dengan
ketentuan tidak kehilangan kewenangannya dalam menjalankan tugas
jabatannya dengan demikian dapat menyerahkan kewenangannya kepada
Notaris Pengganti, sehingga yang dapat mengangkat Notaris Pengganti yaitu
Notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara yang setelah cuti habis
protokolnya dapat diserahkan kembali kepada Notaris yang digantikannya,
98
sedangkan tugas jabatan Notaris99 dapat dilakukan oleh pejabat sementara Notaris hanya dapat dilakukan untuk Notaris yang kehilangan kewenangannya
dengan alasan:
a) Meninggal dunia
b) Telah berakhir masa jabatannya
c) Minta sendiri
d) Tidak mampu secara Rohani dan/atau Jasmani untuk melakukan tugas
jabatannya sebagai notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun
e) Pindah wilayah jabatan
f) Diberhentikan sementara
g) Diberhentikan dengan tidak hormat
Notaris Pengganti khusus berwenang untuk membuat akta tertentu saja
yang disebutkan dalam suat pengangkatannya, dengan alasan Notaris yang
berada di kabupaten atau kota yang bersangkutan hanya seorang Notaris, dan
dengan alasan sebagaimana tersebut dalam UUJN tidak boleh membuat akta
yang dimaksud. Ketidakbolehan tersebut dapat didasarkan kepada ketentuan
pasal 52 UUJN, terutama mengenai orang dan akta yang akan dibuat.
99Dalam pasal 62 UUJN dalam pengangkatan Pejabat Sementara Notaris disamping
Dengan demikian kedudukan akta Notaris sebagai akta otentik atau
otensitas akta Notaris, karena:
a) Akta dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seorang pejabat publik.
b) Akta dibuat dalam bentuk dan tata cara (prosedur) dan syarat yang
ditentukan oleh undang-undang.
c) Pejabat publik oleh/atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta itu.
Karakter yuridis akta Notaris, yaitu:
a) Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh
undang-undang (UUJN)
b) Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan
keinginan Notaris.
c) Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal. ini
Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau
penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
d) Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat
dengan akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang
tercantum dalam akta tersebut.
e) Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan
para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Ada yang tidak setuju
pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan
alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.
Akta notaris sebagai akta Otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian:100 a. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu
sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta
otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik sampai terbukti
sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan
akta otentik secara lahiriah. Dalam hal. ini beban pembuktian ada pihak yang
menyangkalnya keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta
Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang
bersangkutan, baik yang ada pada minuta dan Salinan dan adanya awal akta
(mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.
Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus
dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu
dipertentangkan dengan alat bukti lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu
akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan
wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.
Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris
sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus
didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian
semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan pengadilan. Penggugat
harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta menjadi objek gugatan
bukan akta Notaris.
b. Formal (formele bewijskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh
pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai
dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal
untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan,
tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan
tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa
yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris, (pada akta pejabat/berita
acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap
(pada akta pihak).
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan
dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari
mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,
disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan
ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain
pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian
terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu
membuktikan ketidak benaran tersebut, maka akta tersebut diterima oleh siapa
pun. Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau
penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa
dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Pengingkaran
atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke
pengadilan umum, dan peggugat harus dapat membutikan bahwa ada aspek
formal yang dilanggar atau tidak sesuai dengan akta yang bersangkutan,
misalnya, bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris
pada hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau
merada tanda tangan tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal.
ini terjadi bersangkutan atau penghadap tersebut menggugat Notaris, dan
penggugat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.101 c. Materil
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut
dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan
101 Jika akta otentik dikesampingkan dan tidak mengikat hakim dalam proses pembuktian,
yang dituangkan / dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau
keterangan para pihak yang diberikan / disampaikan di hadapan Notaris dan
para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan / dimuat
dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang
menghadap Notaris yang kemudian / keterangannya dituangkan/ dimuat
dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata
pernyataan / keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka
hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal
semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai
yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk / diantara para pihak dan para
ahli waris serta para penerima hak mereka.102
Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan
harus dapat membuktikan bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan
yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (di
hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan
pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.
Dalam praktik pembuatan akta Notaris, ketiga aspek tersebut tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Namun aspek-aspek tersebut harus dilihat
secara keseluruhan sebagai bentuk penilaian pembuktian atas keotentikan akta
Notaris. Nilai pembuktian tersebut dapat dikaji dari beberapa putusan perkara
pidana dan perkara perdata yang sesuai dengan ketiga aspek tersebut.
Perkara pidana dan perdata akta Notaris senantiasa dipermasalahkan dari
aspek formal, terutama mengenai :
1) Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap.
2) Pihak (siapa) yang menghadap Notaris.
3) Tanda tangan yang menghadap.
4) Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta.
5) Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta.
6) Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta
dikeluarkan.103
Perkara pidana yang berkaitan dengan aspek formal akta Notaris, pihak
Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim akan memasukkan Notaris telah
melakukan tindakan hukum :
1) Membuat surat palsu / yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu /
yang dipalsukan (Pasal 263 ayat (1), (2) KUHP).
2) Melakukan pemalsuan (Pasal 264 KUHP).
3) Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266
KUHP).
4) Melakukan, menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan (Pasal 55
jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2) atau 264 atau 266 KUHP).
5) Membantu membuat surat palsu / atau yang dipalsukan dan menggunakan
surat palsu / yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 263 ayat
(1) dan (2)atau 264 atau 266 KUHP).104
Dalam pembuatan akta pihak ataupun akta relaas harus sesuai dengan tata
cara yang sudah ditentukan. Akta pihak Notaris hanya mencatat, dan
membuatkan akta atas kehendak, keterangan atau pernyataan para pihak yang
kemudian ditandatangani oleh para pihak tersebut, dan dalam akta relaas,
berisi pernyataan atau keterangan Notaris sendiri atas apa yang dilihat atau
didengarnya, dengan tetap berlandaskan bahwa pembuatan akat relaaspun
harus ada permintaan dari para pihak.
Pemeriksaan terhadap Notaris selaku tersangka atau terdakwa harus
didasarkan kepada tatacara pembuatan akta Notaris, yaitu :
1) Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang
diperlihatkan kepada Notaris.
2) Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau
kehendak para pihak tersebut (tanya-jawab).
3) Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak
para pihak tersebut.
4) Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi
keinginan atau kehendak para pihak tersebut.
5) Memenuhi segala teknik administratif pembuatan akta Notaris, seperti
pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan, dan pemberkasan
untuk minuta.
6) Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
jabatan Notaris.
Memidanakan Notaris dengan alasan-alasan aspek formal akta tidak akan
membatalkan akta Notaris yang dijadikan objek perkara pidana tersebut dan
akta yang bersangkutan tetap mengikat para pihak.105Dalam perkara perdata, pelanggaran terhadap aspek formal dinilai sebagai suatu tindakan melanggar
hukum dan hal ini dilakukan dengan mengajukan gugatan terhadap Notaris
tersebut. Pengingkaran terhadap aspek formal ini harus dilakukan oleh
penghadap sendiri, bukan oleh Notaris atau pihak lainnya. Aspek materil dari
akta Notaris, segala hal. yang tertuang harus dinilai benar sebagai pernyataan
atau keterangan Notaris dalam akta relaas dan harus dinilai sebagai pernyataan
atau keterangan para pihak dalam aktapartij (pihak). Hal apa saja yang harus ada secara materil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan
batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat dan didengar oleh Notaris
atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak di hadapan Notaris.
105 Hal ini dapat disejajarkan dengan orang yang membuat dan mempergunakan surat palsu
Dengan demikian, secara materil akta Notaris tidak mempunyai kekuatan
eksekusi dan batal demi hukum dengan putusan pengadilan, jika dalam akta
Notaris :
1) Memuat lebih dari 1 (satu) perbuatan atau tindakan hukum.
2) Materi akta bertentangan dengan hukum yang mengatur perbuatan atau
tindakan hukum tersebut.
Berkaitan dengan Kebatalan atau Pembatalan akta Notaris, Pasal 84
UUJN ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika Notaris melakukan
tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama
jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu:
1) Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan.
2) Akta Notaris menjadi batal demi hukum.106
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai di bawah tangan
dan akta Notaris menjadi batal demi hukum adalah dua istilah yang berbeda.
Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan dapat dilihat dan ditentukan dari :
1) Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika
Notaris melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk
akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
106
2) Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai
akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
maka pasal lainnya yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84
UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum.
Suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, yaitu objeknya
tidak tertentu dan kausa yang terlarang, maka perjanjian tersebut batal demi
hukum. Mengenai perjanjian harus mempunyai objek tertentu ditegaskan
dalam Pasal 1333 BW, yaitu suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok
suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya yang di kemudian hari
jumlah (barang) tersebut dapat ditentukan atau dihitung. Pasal 1335 BW
menegaskan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka perjanjian tersebut tidak
mempunyai kekuatan, ini membuktikan bahwa setiap perjanjian harus
mempunyai kausa yang halal, tetapi menurut Pasal 1336 BW, jika tidak
dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada
sesuatu sebab lain daripada yang dinyatakan persetujuannya namun demikian
adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum
(Pasal 1337 BW). Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum, jika :
1) Tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan.
2) Mempunyai sebab yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan
Ketentuan-ketentuan jika dilanggar akta Notaris mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan disebutkan dengan tegas dalam
pasal-pasal tertentu dalam UUJN yang bersangkutan sebagaimana tersebut di atas, maka
dapat ditafsirkan bahwa ketentuan-ketentuan yang tidak disebutkan dengan tegas
akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
maka selain itu termasuk ke dalam akta Notaris yang batal demi hukum, yaitu :
1) Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I,
yaitu tidak membuat daftar akta wasiat dan mengirimkan ke daftar pusat
wasiat dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan (termasuk
memberitahukan bilamana nihil).
2) Melanggar kewajiban sebagaimana tersebut dalam Pasal 16 ayat (1) huruf k,
yaitu tidak mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan
tempat kedudukannya.
3) Melanggar ketentuan Pasal 44, yaitu pada akhir akta tidak disebutkan atau
dinyatakan dengan tegas mengenai penyebutan akta telah dibacakan untuk
akta yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa lainnya yang
digunakan dalam akta, memakai penterjemah resmi, penjelasan,
penandatanganan akta dihadapan penghadap, Notaris dan penterjemah resmi.
4) Melanggar ketentuan Pasal 48, yaitu tidak memberikan paraf atau tidak
memberikan tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan Notaris, atas
pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain dengan
cara penambahan, penggantian atau pencoretan.
5) Melanggar ketentuan Pasal 49, yaitu tidak menyebutkan atas perubahan akta
yang dibuat tidak di sisi kiri akta, tapi untuk perubahan yang dibuat pada akhir
akta sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan
menyisipkan lembar tambahan. Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk
bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.
6) Melanggar ketentuan Pasal 50, yaitu tidak melakukan pencoretan, pemarafan
dan atas perubahan berupa pencoretan kata, huruf, atau angka, hal. tersebut
dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang
tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan
pada sisi akta, juga tidak menyatakan pada akhir akta mengenai jumlah
perubahan, pencoretan dan penambahan.
7) Melanggar ketentuan Pasal 51, yaitu tidak membetulkan kesalahan tulis
dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah
ditandatangani, juga tidak membuat berita acara tentang pembetulan tersebut
dan tidak menyampaikan berita acara pembetulan tersebut kepada pihak yang
tersebut dalam akta.
Dalam pasal-pasal tersebut tidak ditegaskan akta yang dikualifikasikan
sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian di bawah tangan dan akta yang
batal demi hukum dapat diminta ganti kerugian kepada Notaris berupa penggantian
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan akta Notaris
yang batal demi hukum keduanya dapat dituntut penggantian biaya, ganti rugi dan
bunga, hanya ada satu pasal, yaitu Pasal 52 ayat (3) UUJN yang menegaskan, bahwa
akibat akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
Notaris wajib membayar biaya, ganti rugi dan bunga.
Sanksi akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan dan akta menjadi batal demi hukum merupakan sanksi eksternal, yaitu sanksi
terhadap Notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak melakukan serangkaian
tindakan yang wajib dilakukan terhadap (atau untuk kepentingan) para pihak yang
menghadap Notaris dan pihak lainnya yang mengakibatkan kepentingan para pihak
tidak terlindungi.
1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Suatu Akta menjadi Batal Demi Hukum
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu :
a. Adanya kata sepakat di antara dua pihak atau lebih;
b. Cakap dalam bertindak;
c. Adanya suatu hal. tertentu;
d. Adanya suatu sebab yang halal.
Apabila perjanjian tersebut melanggar syarat objektif yaitu suatu hal. tertentu
dan suatu sebab yang halal maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sedangkan
apabila perjanjian tersebut melanggar syarat subjektif yaitu kata sepakat dan cakap
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta menjadi batal atau
dapat dibatalkan adalah sebagai berikut :
a. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan Dalam Bertindak.
Secara umum dibedakan antara kewenangan bertindak dan kecakapan bertindak.
Sejak seorang anak lahir, malahan anak dalam kandungan dianggap sebagai telah
dilahirkan berkedudukan sebagai subjek hukum dan sebab itu pula memiliki
kewenangan hukum (Pasal 1 ayat (2) KUHPerdata). Kewenangan bertindak dari
subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum dapat dibatasi oleh atau melalui
hukum. Setiap orang dianggap cakap melakukan tindakan hukum, tetapi
kebebasan ini dibatasi pula oleh daya kerja hukum objektif. Dikatakan mereka
yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang
secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum. Bagi mereka yang di
bawah umur batasan tertentu dikaitkan dengan ukuran kuantitas, yaitu usia.
Sebagai penghadap untuk pembuatan akta Notaris harus memenuhi syarat paling
sedikit berumur 18 tahun (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris).
Mereka yang tidak mempunyai kewenangan bertindak atau tidak berwenang
adalah orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan hukum
tertentu. Notaris (termasuk para saksi) yang dengan perantaraannya telah dibuat
akta wasiat dari pewaris tidak boleh menikmati sedikit pun dari apa yang pada
berarti bahwa Notaris tersebut boleh saja mendapat hibah wasiat dari orang lain
asal bukan dari klien yang membuat wasiat di hadapannya tersebut.
b. Cacat Dalam Kehendak
KUHPerdata (Pasal 1322 – Pasal 1328 KUHPerdata) menetapkan secara limitatif
adanya cacat kehendak, yakni kekhilafan/kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang).
1) Kekeliruan dan Penipuan
Dikatakan penipuan apabila seseorang dengan sengaja dengan kehendak dan
pengetahuan memunculkan kesesatan pada orang lain. Penipuan dikatakan
terjadi tidak saja bilamana suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak
diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga suatu informasi keliru dengan
sengaja diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lain. Di dalam praktik
penipuan dan kekhilafan menunjukkan perkaitan yang erat, tetapi ada pula
sejumlah perbedaan.
2) Ancaman
Ancaman terjadi bilamana seseorang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindakan hukum, yakni dengan melawan hukum,
mengancam, dan menimbulkan kerugian pada diri orang tersebut atau
kebendaan miliknya atau terhadap pihak ketiga. Ancaman tersebut sedemikian
menimbulkan ketakutan sehingga kehendak seseorang terbentuk secara cacat.
Kehendak betul telah dinyatakan, tetapi kehendak tersebut muncul sebagai
3) Penyalahgunaan Keadaan
Penyalahgunaan keadaan adalah keadaan tergeraknya seseorang karena suatu
keadaan khusus untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan
menyalahgunakan hal ini. Keadaan khusus ini terjadi karena keadaan
memaksa/darurat, keadaan kejiwaan tidak normal, atau kurang pengalaman.
c. Bertentangan dengan Undang-Undang
Larangan yang ditetapkan undang-undang berkenaan dengan perjanjian akan
berkaitan dengan tiga aspek dari perbuatan hukum yang dimaksud, yakni :
a) Pelaksanaan dari tindakan hukum.
b) Substansi dari tindakan hukum.
c) Maksud dan tujuan tindakan hukum tersebut.
Suatu perjanjian yang dibuat pada saat tidak adanya larangan mengenai perbuatan
hukum tersebut, tetapi ternyata di kemudian hari ada ketentuan undang-undang
yang melarangnya, maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum, tetapi
menjadi dapat dibatalkan atau mungkin masih dapat dilaksanakan setelah adanya
izin tertentu. Penentuan apakah suatu perjanjian adalah batal demi hukum karena
bertentangan dengan undang-undang adalah pada waktu perjanjian tersebut
dibuat.
d. Bertentangan dengan Ketertiban Umum dan Kesusilaan Baik
Pada umumnya perbuatan hukum dianggap bertentangan dengan ketertiban umum
jika perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan asas-asas pokok