• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477 Pid.Sus 2013 PN.Jkt.Sel)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1477 Pid.Sus 2013 PN.Jkt.Sel)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban

manusia serta merupakan ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban

manusia serta sebuah ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu

negara.Terorisme saat ini bukan saja merupakan suatu kejahatan lokal atau

nasional tetapi sudah merupakan kejahatan transnasional atau internasional,

banyak menimbulkan ancaman atau bahaya terhadap keamanan, perdamaian dan

sangat merugikan kesejahteraan masyarakat dan bangsa.

Terorisme juga selalu identik dengan kekerasan.Bahkan terorisme ini

merupakan puncak dari aksi kekerasan itu sendiri.Karena bisa saja kekerasan

terjadi tanpa aksi terorisme, tetapi tidak ada aksi terorisme yang tanpa kekerasan.1

Adapun pelaksanaan serangan teroris adalah berupa aktivitas terorisme

yang terbagi menjadi; serangan teroris konvensional yang mana dilakukan dengan

cara menebarkan teror secara meluas kepada masyarakat dengan ancaman atau

kekerasan, baik oleh individu maupun kelompok, serta menimbulkan akibat

berupa penderitaan fisik dan/atau psikologis dalam waktu berkepanjangan

sehingga dikategorikan sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary

crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity). Selanjutnya serangan non-konvensional melalui cyberspace atau cyberterror yang

diakses

(2)

dilakukan dengan cara menebarkan secara meluas di cyberspace dan serangan

terhadap komputer, sistem komputer yang mengakibatkan terganggunya data,

sistem, dan infrastruktur vital yang mengakibatkan korban jiwa dan material yang

besar untuk kepentingan teroris.2

Kesan pertama yang timbul dalam benak setiap orang yang mendengar dan

membahasakan tentang terorisme adalah; destruksi, kekalutan, bencana, dan

instabilitas.Mana mungkin terorisme melalui aksi teror dan penggunaan

kekerasannya, berkeinginan menjaga stabilitas negara dan masyarakat.Realitas

historis, riwayat munculnya pergerakan serta aksi teror, tidak pernah senyap

dalam lintasan ingatan masyarakat, mulai dari skala local, nasional, regional,

hingga ke tataran global.Benang kusut mencari akar penyebab lahirnya terorisme

terus dikaji oleh para pakar, pemerhati dan pihak keamanan, untuk menemukan

secara kompehensif penyebab dasar dari aksi terorisme tersebut. Teror dalam

sejarah melintasi ranah kajian berbagai disiplin ilmu, mulai dari kajian historis,

ekonomi, politik, agama, ideologi, dan kultural. 3

Indonesia sendiri merupakan salah satu dari banyaknya negara di dunia

yang pernah terkena aksi teror oleh sekelompok teroris.Salah satu kasus yang

pastinya tidak dapat kita lupakan adalah saat terjadinya Bom Bali yang memberi

gambaran kepada negara atau pemerintah untuk lebih meningkatkan pengamanan

terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Sebagai akibat dari tragedi Bom Bali

pemerintah berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas pelaku tindak pidana

2Petrus Reinhard Golose, Invasi Terorisme Ke Cyberspace, (Jakarta: YPKIK, 2015),

hal.37

3John Haba, “Kata Pengantar”, dalam Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI, CMB

(3)

terorisme, dengan cara memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa

tersebut. Hal ini tentunya menjadi prioritas utama dalam suatu usaha penegakan

hukum.Untuk melakukan pengusutan diperlukan perangkat hukum yang mengatur

tentang tindak pidana terorisme, agar nantinya para aparat penegak hukum dapat

menjadikan perangkat hukum tersebut sebagai suatu pedoman dalam menjalankan

tugas dan fungsinya sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Posisi Indonesia di era transisional menjadi perdebatan, berakhir pada

pemanfaatan kepentingan. Indonesia dikategorikan sebagai weaken state (negara

lemah) terancam mengarah pada kondisi failed state index dan majalah Foreign

Policy, dari 170 negara, Indonesia berada pada urutan ke-64 dengan skor 81. Yang termasuk negara gagal adalah negara yang memperoleh nilai 90 keatas.Kendati

Indonesia belum mencapai kategori negara gagal, tetapi sudah masuk dalam

kategori negara gagal, tetapi sudah masuk dalam kategori “warning” atau

memiliki resiko gagal bila terjadi krisis.4 The US Departement of State Indonesia

2001, Country Report on Human Rights Practices, menyebutkan bahwa akibat

kegagalan negara mengelola dan meredam konflik selama proses transisi pasca

pemerintahan Presiden Soeharto, menyebabkan ribuan rakyat meninggal dunia,

sekitar 1,5 juta orang mengungsi dan kehilangan tempat tinggal.5

4Kompas, Indonesia Negara Lemah. Benarkah?, 20 Juli 2011, hal.14

5Sukardi Rinakit, Soegeng Sarjadi (ed.), Meneropong Indonesia 2020, (Jakarta:

Perpustakaan Nasional,2003), hal. 275

Indikatornya

terlihat dari beberapa konflik komunal berskala besar di Indonesia pasca

pemerintahan Orde Baru, yaitu konflik suku dayak dan pendatang dari Madura di

wilayah Sambas Kalimantan Barat, menurut laporan Komisi Hak Asasi Manusia

(4)

rumah terbakar, 197 unit rumah rusak berat akibat konflik berkepanjangan sejak

Desember 1998 sampai akhir 2003 antara sesama warga Maluku, menyebabkan

13.428 orang meninggal dunia, 330.758 orang atau 57.571 kepala keluarga

mengungsi pada awal tahun 2002 (Crisis Center Keuskupan Maluku) demikian

juga dengan konflik Poso Sulawesi Tengah.6Kondisi tersebut erat kaitannya

dengan dampak resesi ekonomi dunia dan reformasi yang terjadi di Indonesia

memperburuk ekonomi, sosial, dan politik dalam negeri.Kondisi krisis ekonomi

maupun politik yang terjadi di era transnasional seperti yang dialami Indonesia

sekarang inilah yang sangat memungkinkan bagi berkembangnya jaringan

terorisme global. Keadaan yang menguntungkan bagi gerakan terorisme ini

didukung oleh latar sosial akan maraknya seperti konflik antar etnik, ras, maupun

agama baik karena dimunculkan oleh motif perbedaan kultur dan etnik, terutama

perebutan resource ekonomi maupun politik.7

Pada pihak lain, Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan bahwa konsep

negara lemah mengarah pada negara gagal, tidak lengkap, dan bersifat ahistoris.

Maksudnya keberhasilan dan kegagalan seharusnya bisa dimaknai sebagai sebuah

proses sejarah yang dinamis. Suatu negara dapat mengalami penurunan legitimasi

karena beberapa masalah, tetapi negara tersebut tentu tetap memiliki potensi untuk Akumulasi persoalan pada masa

transisional ini semakin menyatu dengan maraknya aksi terorisme global yang

secara terbuka dimulai dari serangan terhadap menara kembar World Trade

Centre dan Pentagon tanggal 11 September 2001 merambat dengan cepat ke

berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

(5)

kembali menguatkan legitimasinya.Seperti halnya Indonesia pada masa transisi

mengalami gejolak yang sangat hebat membuat kaum teroris manca negara

memanfaatkan peluang tersebut sebagai “ladang terorisme”.8

8Kompas, Indonesia Ladang Terorisme, 20 Juli 2011. Hlm.7

Sebelum keluarnya UU No. 15 Tahun 2003, Tindak Pidana Terorisme ini

lebih didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mana

belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas

Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena itu pemerintah Indonesia merasa perlu

untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2002, yang pada tanggal 4

April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Hal tersebut kini telah menjadi bukti

konkrit pemerintah yang demi menjaga kedaulatan Bangsa dan Negara,

melindungi segenap warga negara serta demi terciptanya keamanan dan

kesejahteraan rakyat maka memutuskan untuk mengambil langkah dalam

pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Hasil penelitian putusan perkara Nomor :1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel

yang memuat putusan kasus Terorisme, dalam putusan perkara tersebut pelaku

memenuhi rumusan Pasal 15 jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi

(6)

Berdasarkan Latar Belakang Permasalahan tersebut, maka penulis tertarik

untuk meneliti tentang penerapan unsur-unsur Pasal 15 jo. Pasal 9

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

sebab menurut penulis kasus ini adalah kasus yang menarik untuk diteliti, penulis

juga tertarik untuk meneliti hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dan hal-hal

yang melatarbelakangi penerapan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana

Terorisme dalam kasus yang menjadi bahan studi penulis yaitu putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas terdapat beberapa pokok permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dalam beberapa

peraturan?

2. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

terorisme dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor

1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

a. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dalam

(7)

b. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana

terorisme dengan melihat dan menganalisa pertimbangan-pertimbangan

hakim dalam perkara dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara

Nomor 1477/Pid.Sus/2013/PN.Jkt.Sel.

2. Manfaat Penulisan

Secara teoritis manfaat dari penulisan ini diharapkan penulis dapat menjadi

bahan bacaan dan penambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca khususnya bagi

kalangan akademis dan pihak-pihak yang terkait dengan topik penulisan ini.Selain

itu penulisan ini juga diharapkan dapat berguna dan bermanfaat sebagai bahan

acuan untuk perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang Tindak Pidana

Terorisme dan apabila dimungkinkan dapat juga bermanfaat bagi perkembangan

pengaturan tentang pemberantasan Terorisme di Indonesia.

Sedangkan secara praktis penulisan ini bermanfaat sebagai kerangka acuan

dan landasan bagi penulis lanjutan dan dapat memberikan masukan kepada

praktisi, civitas akademika serta seluruh pihak yang terkait dalam pemberantasan

Terorisme di Indonesia. Serta melalui penulisan ini diharapkan dapat menambah

wawasan pembaca khususnya dalam pemahaman akan peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang Terorisme dalam hukum pidana Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara, tidak ada judul skripsi ataupun tesis yang sama dengan judul skripsi

(8)

Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor :

1477/Pid.Sus./2013/PN.Jkt.Sel)”.

Penulisan skripsi ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran penulis

secara pribadi tanpa ada penjiplakan yang dapat merugikan pihak tertentu. Oleh

karena itu skripsi ini adalah hasil karya penulis sendiri yang disusun secara

terperinci dengan mempelajari, membaca, mengutip data-data yang ada dalam

buku-buku, literature-literatur, dan peraturan perundang-undangan dan pihak lain

yang berkaitan dengan judul skripsi ini sehingga penulisan skripsi ini asli dan

dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit”.Para ahli hukum mengemukaan istilah yang

berbeda-beda dalam upayanya memberikan arti dari strafbaar feit. Adami

Chazawi telah menginventarisir sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan

baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur

hukum sebagai terjemahan dari istilah starfbaar feit, yaitu sebagai berikut:9

a. Tindak Pidana, dapat dikatan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-perundang-undangan

menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No.6 Tahun 1982

tentang Hak Cipta, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak

Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001, dan perundang-undangan

9Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

(9)

lainnya. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini, misalnya seperti Prof.

Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.;

b. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-azas Hukum Pidana” Mr. Drs. H.J van

Schravendijk dalam buku “Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”,

Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk

UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam UUDS

1950 Pasal 14 ayat 1;

c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit.

Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. Drs. E.

Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni

peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I). Prof. A. Zainal Abidin

dalam buku beliau “Hukum Pidana I”. Prof. Moeljatno pernah juga

menggunakan istilah ini seperti pada judul buku “Delik-Delik Percobaan

Delik-Delik Penyertaan”, walaupun menurutnya lebih tepat dipergunakan

istilah perbuatan pidana;

d. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr. M.H. Tirta Amidjaja yang berjudul Pokok-pokok Hukum Pidana;

e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah tersebut digunakan oleh M. Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana Begitu juga

Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana

(10)

f. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang di dalam UU No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan

Peledak (Pasal 3);

g. Perbuatan pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Azas-azas Hukum Pidana.

Istilah yang dipergunakan oleh konsep KUHP Baru sebagai terjemahan dari

istilah strafbaar feit adalah tindak pidana.

Secara khusus memang tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang

dimaksud dengan strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh

karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu,

yang sampai saat ini belum ada keseragaman perndapat. Pengertian tindak pidana

penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di

dalamnya.Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya

menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.

Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan

tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.Sudarto

mengemukakan, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah

tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang ini merupakan titik penghubung

dan dasar untuk pemberian pidana. Perbuatan (gedraging), meliputi pengertian

berbuat dan tidak berbuat, sehingga definisi itu tetap akan kurang lengkap atau

berbelit-belit dan tidak jelas.10

(11)

Barda Nawawi Arief menyebutkan,11

a. Pada tanggal 13 Juli 1938 Rb. Dordrecht, dalam kasus pembunuhan,

menjatuhkan pidana penjara 7 tahun pada seorang perempuan (banding

tidak diupayakan), yang dalam kapasitasnya sebagai ibu dan pengasuh

anaknya ‘secara sistematis dengan sengaja tidak member anaknya yang

berumur 4 bulan makanan yang ia perlukan sehingga anak tersebut mati’; bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya

ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan “landasan yuridis” untuk

menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana

(strafbaar feit). Namun apa yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tidak

dijelaskan. Jadi tidak ada pengertian/batasan yuridis tentang tindak

pidana.Pengertian tindak pidana (strafbaar feit) hanya ada dalam teori atau

pendapat para sarjana.

Tindak pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu

perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang, namun adakalanya tindak pidana

ini juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang, misalnya:

b. Seseorang ditunjuk menjadi pengawas toko, namun membiarkan terjadinya

pencurian kopi: HR 21 Februari 1921, NJ 1921, 465, W 10717.

Menurut R. Tresna, pertimbangan atau pengukuran terhadap

perbuatan-perbuatan terlarang, yang mentapkan mana yang harus ditetapkan sebagai

peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sedemikian pentingnya, dapat

berubah-ubah tergantung dari keadaan, tempat, dan waktu atau suasana serta

11Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana,2008) hal. 73-74, dalam Mohammad

(12)

berhubungan erat dengan perkembangan pikiran dan pendapat umum. Apa yang

pada suatu waktu di tempat itu dianggap sebagai suatu perbuatan yang harus

dicela namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat bisa

berubah dan dianggap sebagai suatu kejahatan. Sebaliknya, apa yang tadi

dianggap sebagai suatu kerjahatan, di waktu yang lain, karena keadaannya

berubah, dianggap tidak merupakan suatu hal yang membahayakan.

Undang-Undang harus mencerminkan keadaan, pendapat atau anggapan umum, dan

meskipun pada umumnya Undang-Undang selalu terbelakang dalam mengikuti

perkembangan gerak hidup di dalam masyarakat, akan tetapi terhadap beberapa

perbuatan, ketentuan hukum tetap sesuai dengan anggapan umum. Misalnya

pembunuhan, dari dulu kala sampai sekarang, tetap dianggap sebagai sesuatu

perbuatan jahat, baik dilihat dari sudut agama atau moral, maupun dilihat dari

sudut sopan santun, sehingga sudah semestinya terhadap perbuatan yang demikian

itu diadakan ancaman hukuman pidana.12

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan

istilah perbuatan jahat atau kejahatan yang bisa diartikan secara yuridis atau

kriminologis.13

Adapun unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian

unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan

Undang-Undang (rumusan pasal). Pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana

tersebut dalam rumusan Undang-Undang, yang dalam bahasa Belanda disebut

12R. Tresna, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limited, 1959), hal. 29-30 dalam

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 80 13Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press,

(13)

elementen van de wettelijk delictsome schrijving, misalnya: unsur-unsur (dalam arti sempit) dari tindak pidana pencurian ialah unsur-unsur yang tercantum dalam

Pasal 362 KUHP.14

Menurut Moeljatno unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam

suatu perbuatan pidana, adalah:15

a. Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan);

b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan;

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;

d. Unsur melawan hukum yang objektif;

e. Unsur melawan hukum yang subjektif

Kelima unsur atau elemen diatas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke

dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.16

a. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai

berikut:

Unsur objektif dapat dibagi menjadi:

1) Act, ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif; dan 2) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif;

b. Akibat perbuatan manusia

Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah

membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang

14Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), hal.9 dalam

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal. 107 15

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (1982), hal.1, dalam Mohammad Ekaputra,

Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015), hal.43

16Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta: Sinar

(14)

dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak

milik/harta, atau kehormatan;

c. Keadaan-keadaan

Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas:

1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan; dan

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan;

d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum

Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan

terdakwa dari hukuman.Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum, yakni

berkenaan dengan larangan atau perintah.

Sedangkan unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum

pidana, yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” (an act does not make guilty unless

the mind is guilty; actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud pada konteks ini adalah:

a. Kesengajaan, yang terdiri dari tiga bentuk, yaitu:

1) Sengaja sebagai maksud;

2) Sengaja sebagai kepastian;

3) Sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis);

b. Kealpaan, yang merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada

kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu:

1) Tidak berhati-hati; dan

(15)

Berkaitan dengan kasus yang sedang penulis teliti, jika diaplikasikan ke

dalam rumusan tindak pidana yang disebutkan didalam Pasal 15 PERPU No. 1

Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang berdasarkan UU No.

15 Tahun 2003 maka dapat disimpulkan unsur-unsur nya adalah sebagai berikut:

Pasal 15 UU No. 15 Tahun 2003 jo. PERPU No. 1 Tahun 2002 yang

menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan,

atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12

dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.”

Maka dapat diuraikan unsur subjektif dari pasal tersebut adalah melakukan

permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan. Sedangkan unsur objektif nya

adalah setiap orang, melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud

pada Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Dengan demikian maka jika seseorang memenuhi kesemua unsur tersebut

maka ia dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana Terorisme.

2. Ruang Lingkup Terorisme

a. Pengertian Terorisme

Sampai sekarang pembatasan dan pengertian terorisme belum disepakati

secara universal, karena di samping banyaknya elemen terkait, juga karena banyak

pihak mempunyai kepentingan menterjemahkan terminologi terorisme dari sudut

pandang dan kepentingannya termasuk setiap negara atau lembaga merumuskan

definisinya sendiri-sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Paul Wikinson yang

(16)

terorisme terletak pada sifat subyektif teror itu sendiri. Ini disebabkan karena

manusia mempunyai latar kekuatan yang berbeda, pengalaman-pengalaman

pribadi dan latar belakang budaya yang berbeda membuat image yang berbeda

satu dengan yang lain. Kendati terdapat perbedaan pemahaman tentang terorisme,

ada beberapa definisi yang dapat menjadi rujukan.Kata terorisme berasal dari

bahasa Latin, yaitu “terrere” atau teror yang berarti membuat rasa takut yang

mencekam, keadaan yang menakutkan; kegentaran.17

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Poerwadarminta, teror adalah

perbuatan orang-orang atau lembaga (pemerintah dan sebagainya) yang

berwenang. Sedangkan terorisme adalah praktek-praktek tindakan teror;

penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai

tujuan (terutama untuk tujuan politik). Dalam prespektif hukum, menurut Black’s

Law Dictionary, tindak pidana terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur

kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang

melanggar hukum pidana, dan jelas dimaksudkan untuk pertama, mengintimidasi

penduduk sipil; kedua, mempengaruhi kebijakan pemerintah; ketiga,

mempengaruhi penyelenggara negara dengan cara penculikan dan pembunuhan. Lebih lanjut dikatakannya

kata teror sebagai kata benda mengandung arti sebuah ketakutan yang amat sangat

(extreme fear); kemampuan untuk menimbulkan ketakutan. Untuk kata kerja

transitif, terrorize berarti mengancam atau memaksa dengan teror atau dengan

ancaman (to intimidate or coerce by terror or by threats of terror).

18

17Gunawan Budi, Terorisme, Mitos, dan Konspirasi, (Jakarta: Forum Media Utama,

2006), hal.1-2

18Muladi, Demokrasi, HAM, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Habibie

(17)

Menurut konvensi PBB tahun 1937, terorisme adalah segala bentuk

tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud

menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau

masyarakat luas.19

Mengacu pada Undang-Undang nomor 15 tahun 2003, yang dimaksud

dengan tindak pidana terorisme adalah setiap tindakan dari seseorang dalam

pengertian perseorangan, kelompok, orang sipil, militer, maupun polisi yang

bertanggung jawab secara individual atau korporasi dengan sengaja menggunakan

kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa

takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban secara massal,

dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda

orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek

vital yang strategis atau ingkungan hidup serta fasilitas publik dan fasilitas

internasional.20

Selain itu istilah Terorisme ini juga dapat didefinisikan sebagai setiap

tindakan yang melawan hukum dengan cara menebarkan teror secara meluas

kepada masyarakat dengan ancaman atau kekerasan, baik yang diorganisir

maupun tidak, serta menimbulkan akibat berupa penderitaan fisik dan/atau

psikologis dalam waktu berkepanjangan sehingga dikategorikan sebagai tindak

kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) dan kejahatan terhadap

kemanusiaan (crime against humanity).21

19Marthen Luther Djari, Terorisme dan TNI, (Jakarta: CMB Press, 2013), hal.11 20Ibid., hal. 11

21Petrus Reinhard Golose, Invasi Terorisme Ke Cyberspace, (Jakarta: YPKIK, 2015), hal.

(18)

Kendati belum tercapai kesepakatan akhir dari rumusan pengertian

terorisme, dapat disimpulkan beberapa kesamaan universal dari pengertian

terorisme dengan beberapa elemen kunci sebagai berikut: Pertama, adanya

aktivitas terencana dan sistematis, bukan kegiatan yang dilakukan secara

impulsive atau dorongan sesaat. Kedua, bermotivasi politis sebagai tujuan utama, bukan kriminal.Permintaan uang tebusan hanya sebagai sasaran antara untuk

memperkuat tujuan dan merubah tatanan politik yang mapan.Ketiga, dilakukan

oleh perorangan terutama kelompok yang memiliki jaringan yang terorganisir

dengan militansi yang amat kuat.Keempat, korbannya dipilik secara acak, tidak

pandang bulu, sehingga seluruh lapisan masyarakat berpotensi menjadi

korban.Kelima, memiliki cara yang berubah-ubah dengan tujuan taktis (jangka

pendek), strategis (jangka panjang), maupun gabungan dari jangka pendek dan

panjang. Keenam, memperoleh peliputan dari media, seluruh aksi terorisme

diupayakan menjadi pemberitaan ke khalayak ramai.22

b. Bentuk- Bentuk Terorisme

Untuk mencapai hasilnya, para teroris menggunakan model/bentuk aksi

gerakan yang tidak sama dan berubah-ubah, dalam kenyataannya paling tidak

terdapat enam belas bentuk aksi teror, yaitu:23

1) Peledakan Bom

Taktik ini merupakan model yang paling banyak dilakukan para teroris,

karena pekerjaannya yang tersembunyi, tidak membutuhkan jumlah orang yang

(19)

banyak, bahannya yang mudah diperoleh dan biaya yang relatif murah, tidak

memerlukan keahlian yang tinggi, mempunyai daya ledak yang dahsyat dengan

korban yang amat banyak. Bom sebagai saran digunakan dalam terorisme sudah

dikenal pada era Napoleon, untuk memperluas kekuasaan yang melebihi

sasarannya sendiri.Pada tahun 1858 Orsini berusaha membunuh Napoleon III,

menyebabkan delapan orang yang tidak bersalah mati ikut mati terbunuh.24

2) Bom Waktu dan Bom Buku

Bentuk ini menggunakan getaran sesuai dengan waktu yang

dikehendaki/timer, ada pula yang menggunakan bom bunuh diri dengan cara

melilitkan bom pada bagian badan yang siap diledakan baik oleh pemakainya atau

oleh pihak lain sesuai skenario dan yang terakhir ini berkembang adalah bom

buku, yaitu bom yang dimasukan dalam kotak berbentuk buku yang dikirimkan ke

alamat sesuai target. Dalam dekade terakhir ini tercatat lebih dari 67% dari aksi

teror dilaksanakan berhubungan dengan bom.

3) Bom Bunuh Diri/suicide bomb

Menurut Institute for Counter-Terrorism (ICT), peledakan bom bunuh diri

adalah sebuah “metode operasi dengan penyerangan bergantung pada kematian

pelaku. Pelaku sepenuhnya menyadari bahwa jika ia tak tewas, rencana

penyerangan tidak akan dapat dilaksanakan.” Robert A. Pepe menulis, terorisme

bunuh diri merupakan bentuk terorisme yang sangat agresif. Dalam terorisme

bunuh diri dengan menggunakan bom-pelaku, teroris tidak mengharapkan akan

lolos dari maut. Pelaku pasti mati.Bom bunuh diri sudah mulai digunakan sejak

24A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.,(Jakarta: Buku

(20)

abad ke-11.Cara serupa dipergunakan pada saat pecah Revolusi Belgia tahun

1830.Pada saat Perang Dunia II, serangan bom bunuh diri menjadi mode, terutama

dipergunakan oleh pilot-pilot Jepang. Mereka menggunakan kamikaze dengan

cara menjadikan diri mereka sebagai peluru kendali manusia. Mereka

menerbangkan pesawat yang sarat dengan bahan peledak dan menabrak pesawat

pada kapal-kapal musuh dan yang spektakuler adalah bom bunuh diri yang

dilakukan dengan menabrak menara kembar WCT dan Pentagon pada 11

September 2001.

Di Indonesia, bom bunuh diri marak dipergunakan mulai dari bom bunuh

diri di Bali 12 Oktober 2002, berlanjut 5 Agustus 2003 di hotel J.W. Marriot dan

Ritz Carlton Jakarta yang mengakibatkan 9 orang tewas dan puluhan orang

mengalami luka-luka. Cara ini digunakan karena, selain biaya yang sangat rendah,

juga tidak membutuhkan teknologi canggih dan korban bisa dalam jumlah besar.

4) Pembajakan

Aksi pembajakan populer dilakukan sejak tahun 1960 yang sampai sekarang

masih ditemukan. Dalam kurun waktu 1960 sampai dengan 1975 tercatat 439

peristiwa pembajakan di seluruh dunia. Umumnya aksi ini dilakukan atas pesawat

terbang, kapal laut, kereta api, dan mobil. Pembajakan kereta api yang cukup

terkenal terjadi di Belanda oleh sekelompok warga yang menamakan diri

Republik Maluku Selatan (RMS) pertama kali terjadi pada 21 Desember 1975,

pemerintah Belanda menyebutnya sebagai kidnappings: around the world. Dalam

insiden tersebut, kelompok ini menembak masinis kereta api, namun seluruh

(21)

5) Penembakan

Taktik penembakan banyak ditemukan di daerah-daerah konflik seperti di

Aceh, Maluku, Poso, dan Papua.Seperti yang baru saja terjadi, penembakan

terhadap pesawat Twin Otter PK-YRF Trigana di pegunungan Mulia Jayawijaya

Papua pada Minggu 8 April 2012 tujuannya menghabisi para pihak yang

dipandang sebagai lawannya dan menimbulkan rasa takut di kalangan rakyat atau

orang-orang yang menjadi target.Para penembak merupakan kelompok

terlatih/snipper seperti yang banyak terjadi di daerah konflik di Maluku, Poso,

Aceh, dengan senjata yang canggih.

6) Perampokan

Aksi perampokan biasanya dilakukan para teroris dengan merampas uang

dalam jumlah yang besar untuk mendukung kegiatan operasi kaum teroris.Dalam

aksi ini tidak segan-segan mereka menghabisi orang-orang yang berhubungan

dengan perampokan tersebut. Perampokan umumnya dilakukan atas mobil

pembawa uang, atau barang berharga dan toko-toko emas, bank atau

tempat-tempat yang dipandang memiliki dana yang besar. Selain emas, sasaran

perampokan juga senjata api, seperti yang dilakukan pada 25 Mei 2011 di

halaman depan Bank BCA Cabang Palu yang menembak tiga anggota polisi yang

sedang bertugas kemudian merampas senjata polisi yang menjadi sasaran

mereka.25

7) Pembunuhan

(22)

Aksi teror pembunuhan merupakan bentuk teror yang paling tua, menurut

catatan sejarah sudah berlangsung pada jaman Kain dan Habel ribuan tahun

sebelum Masehi.Taktik tersebut masih ditemukan sampai saat ini.Sasaran

pembunuhan biasanya sudah direncanakan terlebih dahulu. Setelah terjadi

pembunuhan, para teroris akan mengumumkan bertanggung jawab atas insiden

pembunuhan tersebut. Pembunuhan umumnya dilakukan secara terpilih/selektif

terhadap target terpilih atas figur yang dikenal dalam masyarakat seperti pejabat

pemerintah, pejabat diplomat, aparat kepolisian, tokoh agama, tokoh masyarakat,

aparat keamanan, politisi, atau para pengusaha. Apabila aksi terlaksana akan

membawa dampak pemberitaan yang sangat luas, sehingga aksi teroris akan

semakin dikenal dan diketahui masyarakat luas. Semakin tinggi tingkatan target

pembunuhan, akan semakin tinggi efek sosial bagi kehidupan masyarakat.

Menurut catatan, dalam sepuluh tahun terakhir ini terjadi 246 insiden pembunuhan

di seluruh dunia.26

8) Penyanderaan

Merupakan salah satu taktik dan metode tradisional yang dipergunakan

kaum teroris menangkap, mengurung target yang menjadi korban, baik pribadi

atau kelompok di satu atau beberapa tempat yang dirahasiakan dengan sejumlah

tuntutan kepada pemerintah, lembaga, organisasi, ataupun

perorangan.Pembebasan dapat diberikan apabila tercapai kesepakatan.Penyandera

dapat berkomunikasi melalui media yang tersedia, sambil mengajukan berbagai

tuntutan, sekaligus menyampaikan ancaman yang dilakukan bila tidak memenuhi

26 Abdurrahman Pribadi dan Abu Rayyan, Membongkar Jaringan Terorisme, (Jakarta:

(23)

tuntutan penyandera.Di Indonesia aksi penyanderaan sudah sering dilakukan oleh

sekelompok orang terhadap satu atau beberapa orang yang tidak selalu ada

kaitannya dengan para penyandera. Seperti penyanderaan tim ekspedisi Lorentz

oleh kelompok orang di daerah Mapnduma kabupaten Wamena Irian Jaya, antara

penyandera dengan pihak yang disandera tidak saling mengenal dan

berkepentingan. Ketika itu penyandera mengajukan permintaan bahan makanan,

obat-obatan, uang, tetapi yang utama adalah tuntutan untuk merdeka dari NKRI.

Penyanderaan dapat berlangsung sangat lama, umumnya mereka mengulur-ulur

waktu, sering meminta di mediasi oleh LSM atau lembaga sosial/Palang Merah

Internasional atau pihak lain yang menguntungkan kelompok penyandera.

9) Penculikan

Penculikan ini merupakan taktik yang dilakukan para teroris dengan

melakukan penghadangan terhadap orang atau kelompok orang tertentu, diikuti

dengan tuntutan tebusan berupa uang, benda atau tuntutan politik seperti yang

dilakukan oleh kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina.27

10) Penghadangan

Aksi penculikan di

Indonesia banyak dilakukan oleh kelompok kecil dengan motif ekonomi, tebusan

uang, atau balas dendam, tidak berkaitan dengan jaringan internasional seperti

Al-Qaeda.

Penghadangan merupakan satu bentuk teror yang dilakukan oleh

perorangan atau kelompok perorangan terhadap orang atau kelompok orang

dengan menggunakan senjata tajam, senjata api, atau benda-benda lain yang

27Dr. A.C. Manulang, Menguak Tabu Intelijen: Teror, Motif, dan Rezim, (Jakarta: CMB

(24)

membuat calon korban atau korban terjebak, tertembak. Aksi penghadangan

biasanya dipersiapkan dengan matang melalui perencanaan medan dan waktu,

penggunaan sarana, dan latihan, sehingga hasilnya lebih terjamin. Tujuan

menciderai, menakut-nakuti, atau membunuh.Biasanya penghadangan dilakukan

karena tidak puas terhadap suatu kebijakan atau suatu protes terhadap

penguasa.Pada beberapa bulan terakhir ini penghadangan banyak terjadi di daerah

Papua dan Aceh.Di lintasan Timika menuju pusat penambangan Free Port sering

terjadi penghadangan dengan tujuan meminta perhatian pihak manajemen agar

memberi perhatian yang lebih besar kepada masyarakat sekitar kawasan

penambangan.

11) Pembakaran

Metode pembakaran ini banyak disukai oleh kelompok turis tertentu.

Selama kurun waktu dua puluh tahun, hampir 14% insiden teroris disebabkan oleh

pembakaran dengan menggunakan alat bom pembakar untuk memulai terjadinya

api. Kelompok teroris Ku Klux Klan dan beberapa kelompok teroris terkenal di

Amerika membakar sejumlah gereja dan kelompok minoritas dan beberapa

kelompok teroris ternama di Amerika melakukan aksi pembakaran sejumlah

gedung gereja kelompok minoritas.Pada waktu terjadi konflik horizontal di

Maluku, metode membakar marak dipergunakan oleh kelompok bertikai, baik dari

kalangan Muslim yang berada di wilayah penduduk mayoritas Kristen banyak

yang dibakar.Demikian juga beberapa perkampungan berpenduduk Kristen yang

diapit oleh pemukiman penduduk mayoritas Muslim habis terbakar, sehingga

(25)

12) Sabotase

Aksi teror dengan sabotase sangat efektif digunakan untuk melawan

negara-negara industry. Penggunaan taktik ini dimulai dari pemilihan satu atau

beberapa target yang memiliki potensi dipilih karena target tersebut mudah

diserang dan sulit dilindungi. Bila aktivitas sabotase ini berhasil, maka akan

dipublikasi secara luas. Kegiatan sabotase ini pernah dilakukan di Montana oleh

sekelompok orang dengan cara menembak ke dalam transformator pada proyek

irigasi datar, menyebabkan 1.500 galon oli tumpah. Kerugian materil atas

penembakan tersebut mencapai US $300.000 juga beberapa aktivitas dalam radius

50km tidak berfungsi.28

13) Intimidasi atau Ancaman

Intimidasi atau ancaman ini merupakan salah satu bentuk teror yang

banyak dipraktekan untuk melakukan tindakan menakut-nakuti atau mengancam

orang perorangan atau kelompok orang dengan menggunakan kekerasan, sehingga

para korban atau calon korban terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk

mencapai maksud yang ditetapkan.Taktik ini sering dilakukan oleh kelompok

teroris, termasuk di Indonesia. Berulang kali terdengar ada penelepon gelap

memberitahukan bahwa dalam beberapa saat lagi akan meledak bom yang

tersimpan di salah satu tempat. Mendengar informasi tersebut, dengan

berdesak-desakan orang akan lari ke luar bangunan.

14) Serangan Bersenjata

(26)

Bentuk ini masih sering ditemukan sampai sekarang. Teroris Sikh di India

melakukan serangan bersenjata menembak dan membunuh seluruh penumpang

bus termasuk wanita, anak-anak, dan warga lanjut usia yang beragama Hindu.

Taktik serupa juga digunakan oleh kelompok Tamil di Sri Lanka di Negara Peru

oleh “Shining Path” atau “Sendaro Luminoso” mengaku bertanggung jawab atas

meninggalnya 10.000 orang dalam kurun waktu Sembilan tahun.29

15) Serangan Gas

Di Indonesia

dapat dilihat di lintasan jalur dari Timika ke lokasi penambangan Free Port dan di

pegunungan Mulia Papua.Diberitakan bahwa banyak penduduk sipil dan aparat

yang mati tertembak.Sering juga kelompok bersenjata ini menjadikan pos polisi

militer (oleh GPK) sebagai sasaran dengan tujuan merampas senjata dari aparat

keamanan.

Serangan gas adalah penggunaan senjata kimia, biologi, radioaktif, senjata

nuklir atau bom berkekuatan besar, seperti yang terjadi dengan serangan gas

beracun (gas syaraf) sarin oleh sekte Aum Shinrikyo yang disemprotkan oleh lima

anggota kelompok yang menumpang kereta bawah tanah Tokyo pada 20 Maret

1995 yang menewaskan 13 orang dan melukai 6000 orang. Pemerintah Kanada,

Uni Eropa, dan Amerika Serikat memasukan sekte Aum ke dalam kelompok

teroris. Melalui rangkaian penyelidikan, kepolisisan Jepang menemukan bahwa

zat sarin yang digunakan mempunyai kesamaan dengan zat yang digunakan pada

peristiwa penyerangan di Matsumoto tahun 1994. Kelompok ini

(27)

mempertimbangkan menyerang stasiun kereta api bawah tanah Kasumegaseki,

karena tempat ini menjadi pusat aktivitas pemerintah.30

16) Bioterorisme

Bioterorisme ini merupakan aksi pelepasan secara sengaja kuman

penyebab penyakit, seperti virus, bakteri, atau kuman lain dengan tujuan

menimbulkan kesakitan, atau bahkan kematian kepada semua mahluk hidup

terutama manusia. Kuman pathogen dapat disebarkan melalui udara, sumber air,

dan makanan. Aksi ini pernah dijadikan senjata biologis pada tahun 1520 dalam

peperangan oleh seorang jendral Spanyol, Fransisco Pizarro yang ketika itu

memimpin pasukan dalam rangka menaklukan kerajaan Inca di Peru dengan cara

memberikan pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang-orang

Inca.31Ancaman ini juga pernah terjadi di Jakarta, melalui kiriman amplop

bertuliskan anthrax ke Kedutaan Besar Perancis di Jakarta pada Senin 23 April

2012.Kendati Polisi menyatakan hasilnya negatif, namun Kepala BIN (Badan

Intelijen Negara), mengatakan bahwa anthrax telah menjadi ancaman.32

c. Motif atau Faktor Penyebab Terorisme

Perang melawan teroris adalah perang dalam benak atau pikiran

seseorang.Disini peranan motivasi menjadi penting bagi seseorang untuk memilih

antara bertindak radikal atau tidak. Terdapat unsur-unsur yang dapat dijabarkan

secara psikologis, mengapa ada seseorang dapat berubah menjadi berpaham

30Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terorisme, (Jakarta: YPKIP, 2009), hal. 10-11 31Kompas 27 Juli 2009, I Made Artika; Mengatasi Ancaman Bioterorisme, hal.1 32

(28)

radikal sehingga rela membunuuh dirinya sendiri dan orang lain demi mencapai

suatu tujuan.33

U.S. Army Training and Doktrine Command pada tahun 2007

menyebutkan beberapa alasan memunculkan motivasi terjadinya pergerakan

teroris, antara lain: separatisme, etnosentrisme, nasionalisme, dan revolusioner.

Hoffman mengidentifikasi enam motivasi aksi terorisme yang dituangkan dalam

tabel klasifikasi motivasi terorisme yaitu meliputi; Nasionalis-separatis, religious,

ideologi, single issue, negara sponsor, dan penderita sakit jiwa.34

Mencermati pandangan para ahli tentang motif dan sasaran terorisme

dihadapkan pada berbagai kejadian maka dapat diuraikan sebagai berikut:35

Keempat, sebagai akumulasi dari penindasan, peminggiran, dan penderitaan.Kelompok yang mendapat diskriminasi secara konstitusional biasanya

menjadi faktor determinan meluasnya terorisme.Semula, para teroris berasal dari

kelompok minoritas termarginal, namun secara perlahan-lahan membentuk

kelompok yang dapat menjadi kelompok mayoritas. Di Indonesia, “barisan sakit Pertama, budaya kekerasan yang tumbuh dalam satu negara dapat menjadi

motif terjadinya aksi terorisme.Hal itu disebabkan oleh munculnya kesadaran

kolektif bahwa kekerasan itu adalah tradisi warisan sejarah dan fakta sosial.

Kedua, aksi terorisme sering dipicu oleh hal-hal yang bersifat politis dan non-politis.

Ketiga, berupa intimidasi atau mempengaruhi kebijakan pemerintah dan meyakinkan ideologi sendiri.

33Petrus Reinhard Golose, Deradikalisasi Terosisme, (Jakarta: YPKIK, 2009), hal. 115 34Petrus Reinhard Golose, op.cit., hal. 7-8

(29)

hati” kelompok DI/NII yang telah dibersihkan sampai tahun 1980-an kembali menyatu dengan kelompok JI sebagai pengembangan dari Al-Qaeda menjadi

kekuatan baru.

Kelima, kelemahan komitmen pemerintah melawan terorisme membuat gerakan terorisme semakin meluas.Kelemahan pemerintah dimaksud bukan

karena pemerintah belum berbuat apa-apa, tetapi yang dilakukan belum secara

intensif, bahkan kerja keras untuk membatasi gerak terorisme dan menjamin

tersedianya keamanan cenderung lamban, ragu, dan tidak seluruhnya menjadi

peluang bagi aktivitas teroris.

Keenam, tujuan jangka pendek aksi terorisme adalah menarik perhatian media masa dan perhatian publik.

Ketujuh, tuntutan kaum teroris biasanya ditujukan kepada sasaran dan pihak tertentu.

Kedelapan, tujuan aksi teroris adalah untuk tercapainya tujuan mereka.Umumnya teroris tidak memilih korban.Mereka tidak peduli apakah itu

warga sipil atau bukan, yang utama adalah tercapainya tujuan, yaitu

menakut-nakuti mempengaruhi, dan menghancurkan.

Kesembilan, para teroris selalu berupaya menciptakan perasaan tidak nyaman, gangguan fisik, maupun psikologis masyarakat.

Kesepuluh, aktivitasnya selalu bernilai mengagetkan (shockvalue) untuk menarik perhatian publikasi secara besar-besaran, sehingga public menjadi takut,

panik, dan gelisah.Media tentunya menjadi corong pengeras suara kampanye

(30)

Kesebelas, menjadikan tempat keramaian seperti tempat pembelanjaan,

tempat ibadah, fasilitas publik sebagai sasaran penghancuran dan teror.36

Sedangkan Tb. Ronny R. Nitibaskara dalam Jurnalnya mengatakan bahwa

berbagai corak ragam motif-motif dilancarkannya terorisme timbul akibat

banyaknya ragam pelaku. Adapun secara umum motif-motif tersebut adalah

sebagai berikut:37

a. Motif Politik

Terorisme yang dilakukan atas dasar motif politik sesuai dengan

kelompok-kelompok organisasi yang merupakan gerakan perlawanan yang sering dituduh

melaksanakan terorisme, seperti Liberation Front di Salvador dan Irish Repulican

Army (IRA) di Eropa.

b. Motif Ekonomi

Teroris yang bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan secara material

sebanyak-banyaknya, biasanya dilakukan oleh organisasi-organisasi

kejahatan (crime organizations) seperti Mafia, Yakuza, kartel-kartel

perdagangan obat terlarang dan sejenisnya.

c. Motif Penyelamatan (Salvation)

Motif ini bertalian erat dengan ajaran sekte-sekte aliran kepercayaan.Contoh

terorisme dengan motif penyelamatan yang paling menggentarkan adalah

yang dilakukan oleh sekte Aum Shinrikyo di Jepang dengan pimpinannya

Shoko Asahara. Kelompok sekte ini pada bulan Maret 1995 melakukan teror

36

Budi Gunawan, Terorisme, Mitos dan Konspirasi, (Jakarta: Forum Media Utama), hal. 8-10

37Tb. Ronny R. Nitibaskara, Terorisme Sebagai Kejahatan Penuh Wajah : Suatu

Tinjauan Kriminologis dan Hukum Pidana, Jurnal Kriminologi Indonesia, Volume 2, 3(Desember,

(31)

dengan gas sarin di stasiun bawah tanah Tokyo yang menewaskan 10 orang

dan melukai 5000 orang lainnya.

Pelaku ini sama sekali tidak menganggap tindakannya sebagai teror. Dalam

keyakinan mereka, manusia hidup senantiasa dalam keadaan sengsara dan

terpenjara.Oleh karena itu diperlukan adanya suatu kematian yang cepat

untuk penyelamatan.

d. Motif Balas Dendam

Terorisme dengan motif ini biasanya dilakukan pelaku individual, atau

kelompok-kelompok kecil yang terorganisir maupun organisasi-organisasi

kejahatan.Pelaku individual dengan motif balas dendam salah satu

contohnya adalah Unabomber. Pelaku yang nama sebenarnya adalah

Theodore John Kecynski ini merasa kecewa dengan lembaga riset

universitas tertentu yang dirasakannya telah memperlakukannya secara

kurang layak. Selanjutnya ia merasa terdorong untuk menumpahkan

kemarahannya berupa terorisme berantai.

e. Kegilaan (Madness)

Pelaku dengan motif ini biasanya melakukan terorisme berakar dari adanya

penyimpangan psikologis. Teroris dari Spanyol, Carlos, yang sempat

(32)

3. Pelaku Terorisme

Pelaku terorisme disebut teroris yang dapat diartikan sebagai seseorang atau

biasanya anggota suatu kelompok yang menggunakan atau membela terorisme,

atau seseorang yang meneror atau menakuti orang lain.38

Sedangkan menurut Stanislaus Riyanta, teroris adalah orang yang

menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan

politik.39

Meski jika dikaji dengan ilmu kriminologi, maka dapat disimpulkan bawha

pelaku dalam kejahatan ini dapat dibedakan antara individu dan organisasi.Secara

kualitatif, rage of terror (rasa takut yang mendalam akibat teror) yang disebabkan

oleh pelaku individu tak kalah menggentarkan dibanding pelaku-pelaku lain yang

terdiri dari kelompok terorganisir. Misalnya Theodore John Kacynski yang

melakukan serangkaian terror bom selama hampir 15 tahun hanya seorang diri

atau Timothy Mc. Veigh yang berhasil menghancurkan gedung bertingkat delapan

belas di Oklahoma City pada Tahun 1995 dan dicatat oleh pers sebagai “The

Worst Domestic Terrorism in American History”. 40

Munculnya berbagai pelaku terorisme individual tersebut, secara konseptual

akan mempengaruhi definisi terorisme. Batasan untuk menekan terorisme hanya

untuk mencapai tujuan politik tampaknya perlu ditinjau kembali.Hal ini

diakibatkan semakin beragamnya motif yang mendasari dilakukannya kejahatan

38Petrus Reinhard Golose., op. cit., hal. 5

39Stanislaus Riyanta, Apa Itu Terorisme?, dalam

(33)

itu. Itulah sebabnya pakar terorisme, Walter Laqueur menyatakan bahwa today

society faces not one terrorism but many terrorism.41

1. Bahan Hukum Primer

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif yang secara deduktif dimulai dengan analisa terhadap pasal-pasal dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur permasalahan yang dibahas

didalam skripsi ini. bersifat normatif karena ini merupakan penelitian hukum yang

bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif mengenai hubungan antara

satu peraturan dengan peraturan lainnya dan penerapan dalam prakteknya yaitu

studi putusan dalam skripsi ini.

Adapun sumber dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diambil

melalui data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh diluar

koresponden dalam arti bahwa data yang diperoleh adalah data tidak langsung,

yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

Bahan hukum primer ini merupakan berbagai ketentuan dan peraturan

perundang-undangan maupun Undang-Undang yang telah berlaku di Indonesia

yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, yaitu Undang-Undang No. 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang

No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention of The

Supression of Terrorist Bombings 1997 menjadi Undang,

(34)

Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International Convention of The

Supression of The Financing of The Terrorism 1999 menjadi Undang-Undang, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 Tentang Penanganan Masalah Terorisme.

Selain berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan maupun

Undang-Undang yang telah berlaku di Indonesia yang mengatur tentang Tindak Pidana

Terorisme.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ini merupakan bahan yang berkaitan dengan bahan

hukum primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum

primer.Peneliti mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan, yaitu

buku-buku yang berkaitan dengan bahan hukum primer.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier ini adalah bahan hukum pelengkap dari bahan hukum

primer dan sekunder.Penulis mengambilnya melalui berbagai jurnal maupun

arsip-arsip penelitian.

Selanjutnya untuk teknik pengumpulan data, penulis memakai teknik

pengumpulan data melalui studi kepustakaan dimana penulis memperoleh data

dengan cara mengumpulkan dan membahas bahan-bahan penelitian yang dapat

menunjang penelitian hukum didalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi menjadi beberapa bab, dimana dalam satu

(35)

dalam bab tersebut. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian

sebagai berikut:

1. BAB I PENDAHULUAN

Di dalam bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti apa penelitian

pada umumnya, yaitu dengan menguraikan latar belakang mengapa penulis

mengangkat topik ini, rumusan masalah yang ingin penulis bahas dalam skripsi

ini, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode apa yang

diapakai oleh penulis untuk melakukan penelitian pada skripsi ini, keaslian

penulisan, serta sistematika penulisan dalam skripsi ini.

2. BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERORISME DI

INDONESIA DALAM BEBERAPA PERATURAN

Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang lahirnya dan bagaimana sanksi

pidana dari peraturan-peraturan di Indonesia yang mengatur tentang permasalahan

yang menjadi topik dalam skripsi ini, yaitu terorisme. Adapun peraturan-peraturan

tersebut meliputi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang No.5 Tahun 2006 tentang Pengesahan

International Convention of The Supression of Terrorist Bombings 1997 menjadi Undang-Undang, serta Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 tentang Penanganan

Masalah Terorisme.

3. BAB III PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU

TINDAK PIDANA TERORISME (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta

(36)

Di dalam bab ini akan diuraikan bagaimana penerapan sanksi pidana dalam

studi putusan yang menjadi konsentrasi pada skripsi ini, yaitu dengan

menjabarkan secara rinci posisi kasus mulai dari kronologis sampai putusan

hakimnya, pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana dan hal-hal yang

melatarbelakangi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana, serta analisis

putusan yang menjadi konsentrasi pada skripsi ini.

4. BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dimana hanya berisi kesimpulan dari isi

Referensi

Dokumen terkait

ABDURRAHMAN ABDULLAH NUSA TENGGARA BARAT..

• Ketentuan Pasal 5 Ayat 3 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2011 tentang Terbitan..

Menurut Ferizal 25 kurangnya kesadaran dan kepudulian mas- yarakat terhadap sesuatu hal yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat tersebut merupakan salah satu

Dalam ajaran Islam, ibadah manusia dan jin lebih disukai oleh Allah dibandingkan ibadah para malaikat, karena manusia dan jin bisa menentukan pilihannya

Berdasarkan nilai koefisien determinasi atau R square sebesar 0,462 hal ini menunjukkan bahwa 46,2% yang menunjukan bahwa Penerapan Good Corporate Governance

PERENCANAAN ULANG TIMBUNAN OPRIT DAN ABUTMENT JEMBATAN PLASMA BATU TUGU- PLASMA TANJUNG KURUNG, PALEMBANG (YANG MENGALAMI KERUNTUHAN SEBELUMNYA PADA SAAT PELAKSANAAN).. RIF’

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Telah banyak riset yang membuktikan bahwa rokok sangat menyebabkan ketergantungan, di samping menyebabkan banyak tipe kanker, penyakit jantung, penyakit pernapasan,