BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia hal menyenangkan yang dapat di nikmati oleh semua
kalangan dan yang paling di tunggu – tunggu adalah hiburan, dimana setiap orang akan
dimanjakan dan memperoleh kesenangan di dalamnya, dengan melakukan kegiatan atau hal – hal
yang menyenangkan bagi mereka. Hiburan banyak jenisnya mulai dari hiburan khusus keluarga,
pribadi misalnya seperti bioskop, diskotik, music tiup, karoke, klub malam, panti pijat, mandi
uap, Spa, bola sodok, bola gelinding, seluncur, taman rekreasi dan masih banyak lagi. Hiburan
dapat diperoleh dari berbagai fasilitas yang telah di sediakan oleh pihak tertentu untuk
memperoleh keuntungan di dalamnya.Untuk mencapai keinginan tersebut, tentunya memerlukan
uang untuk membayar setiap dari hiburan yang didapat. Tempat hiburan biasanya terkumpul di
tempat yang padat akan penduduk seperti di kota, salah satunya kota Medan.
Kota Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan
kota terbesar ketiga di Indonesia dengan luas 265,1 km² setelah Jakarta dan Surabaya. Kota ini
juga merupakan kota terbesar di luar Pulau Jawa. Medan juga merupakan salah satu kota besar
yang ada di Indonesia dengan jumlah penduduk yang padat yaitu 2,098 juta penduduk pada
tahun 20101
1
Sumber: pemkomedan.go.id
. Kota Medan juga menyandang status sebagai kota Metropolitan, hal ini boleh
dilihat dari segi fisik banyaknya bangunan atau gedung tinggi seperti perkantoran dan pusat
perbelanjaan dan hiburan, sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang semakin canggih
Salah satu yang menarik dari kota Medan adalah banyaknya tempat hiburan yang dapat
memanjakan setiap pengunjungnya, seperti Bioskop, Diskotik, Karoke, Klab Malam, Mandi
Uap, Spa, Panti Pijat, Taman rekreasi, Pusat perbelanjaan, Pagelaran kesenian dan masih banyak
lagi. Tentunya dengan beraneka ragamnya tempat hiburan yang ada di kota Medan akan
mempengaruhi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah ( PAD) dalam bidang pajak daerah
melalui pajak penyelenggaraan hiburan khususnya yang dimana akan berguna untuk
pembangunan Kota Medan, untuk memperoleh PAD yang ditujukan untuk pembangunan daerah
tersebut. Ada beberapa sumber pendapatan asli daerah, salah satunya yaitu melalui pajak hiburan
yang seperti di utarakan diatas.
Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang – undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar – besarnya kemakmuran
rakyat2
Pajakjuga merupakan tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara(APBN). Tanpa Pajak akan sangat mustahil sekali negara ini dapat
melakukanpembangunan. Dalam struktur APBN, kontribusi penerimaan dalam negeri darisektor .Pajak merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakatdan negara.
Saat ini, pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang asing bagimasyarakat Indonesia. Sebagian
kalangan telah menempatkan pajak sebagai salahsatu kewajiban dalam bernegara, yaitu
merupakan sarana untuk ikut berpartisipasidalam membantu pelaksanaan tugas bernegara yang
ditangani oleh pemerintah.Indikasi ini terlihat dari semakin banyaknya jumlah Wajib Pajak,
demikian jugakeikutsertaan masyarakat dari berbagai kalangan apabila ada
penyelenggaraankegiatan mengenai perpajakan seperti halnya seminar, lokakarya,
dialogpenyuluhan. Dan buku-buku mengenai pajak pun sudah banyak kita temui.
2
Pajak cukup signifikan secara nominal maupun persentase.Medan merupakan kota yang besar
dengan peringkat tempat hiburan yang banyak sehingga potensipajaknya akan sangat besar.
Tetapi sampai saat ini, potensi pajak di Medan belum dapat diterima daerah secara maksimal.
Namum demikian, pajak jugamasih merupakan hal yang rumit dan sekaligus menjadi momok
yang menakutkanuntuk sebagian wajib pajak karena dalam hal ini pajak masih dianggap
sebagaibeban pada masyarakat karena tingginya pajak hiburan di Kota Medan yang sekarang ini
yakni menjadi 20 % ,sehingga menimbulkan banyak pengusaha di bidang hiburan tidak
mendaftarkan usahanya ke Dinas Pendapatan Pemerintahan Kota Medan dan mengurus ke Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Medan, sehingga banyak menimbulkan tingkat pelanggaran rekayasa
setoran pajak hiburan ke daerah dari pengelola. Dengan pengenaan pajak terlalu besar pada
pengelola, maka potensi rekayasa setoran pajak ke daerah juga akan semakin besar dan Pajak
dianggap rumit karena peraturan pajak itu sendirikerap kali berubah-ubah dan sulit dimengerti.
Dalam hal ini wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayaran
pajak, pemotonganpajak, dan pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Berdasarkan pengertian
diatas Pajak dari setiap tempat hiburan tersebut akan di setorkan atau di bayar oleh setiap Badan
yang dalam artian sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas,
Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
Jika sudah sampai pada urusan seperti ini pemerintah daerah akan kesulitan untuk
mengurusnya jika tidak ada undang – undang peraturan daerah atau kebijakan khusus untuk
mengurus dan menangani di bidang pajak hiburan. Oleh karena itu untuk menangani di bidang
Pajak Hiburan Pemerintah Daerah Khususnya Wali Kota Medan mengeluarkan Peraturan Wali
Kota Medan Nomor 35 tahun 2011 tentang pajak hiburan Kota Medan, yang merupakan
pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan.
Berdasarkan laporan atau berita dari salah satu media massa cetak yaitu Waspada dan
Medan bisnis. Jika mengacu dari potensi dan objek pajak yang dimiliki Kota Medan, maka target
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak dan retribusi yang diproyeksikan untuk Dinas
Pendapatan (Dispenda) Kota Medan tahun 2013 sebesar Rp1,2 triliun dinilai masih terlalu
kecil.Seharusnya, PAD dari sektor pajak dan retribusi yang layak itu sebesar Rp1,7 triliun atau
Rp1,8 triliun. Karenanya, Walikota optimis Kadispenda yang baru dilantik M.Husni mampu
merealisasikan target guna mendukung jalannya pembangunan di Kota Medan. Realisasi
Pendapatan Asli Daerah
sekitar Rp 897 miliar dari target Rp 1,19 triliun, pajak hiburan 70% dari target Rp 38,9 miliar3
Dalam Peraturan Wali Kota Nomor 35 tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan ini dibahas
mengenai petunjuk teknis pelaksanaan, dengan demikian akan mempermudah agen atau dinas
yang mengatur tentang pajak hiburan dalam memperoleh ijin, membayar pajak, pelaksanaan
pemungutan pajak, pendataan, pendaftaran, pelaporan, tata cara penetapan dan pembayaran,
penagihan, pembukuan, pemeriksaan dan pengawasan, pengajuan keberatan banding,
pembetulan, pembatalan, pengurangan dan ketetapan,dan penghapusan, atau pengurangan sanksi
administrasi. Dengan demikian akan mempermudah aparat atau dinas yang mengatur tentang
pajak hiburan di Kota Medan, sehingga meminimalisir kesalahan atau kecurangan di dalam .
3
pelaksanaan maupun di dalam lapangan khususnya bagi pengusaha hiburan agar sadar pajak dan
mau ikud berpartisipasi untuk membangun daerah melalui pajak. Berdasarkan uraian di atas
maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang bagaimanaImplementasi Peraturan Wali Kota
Medan Tentang Pajak Hiburan Kota Medan. 1.2 Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Implementasi
Peraturan Wali Kota Medan No 35 Tahun 2011 Tentang Pajak Hiburan di Kota Medan ?
I.3Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui bagaimana implementasi Peraturan Wali Kota Medan Tentang Pajak
Hiburan di Kota Medan beserta kendala yang terdapat didalam pelaksanaannya.
I.4.Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1) Secara Ilmiah : bermanfaat untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir
ilmiah dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karya ilmiah berdasarkan
kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara.
2) Secara Praktis : sebagai bahan masukan untukDinas Pendapatan Kota Medan dari sektor
pajak hiburan.
Secara Akademis : bermanfaat untuk menambah pengetahuan teoritis dan menyumbang
I.5.Kerangka Teori
Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep. Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penelitian ini, maka dibutuhkan teori-teori
sebagai pedoman kerangka berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti
masalah yang dipilih. Pedoman tersebut disebut kerangka teori. Kerangka teori merupakan
bagian dari penelitian, tempat peneliti memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan variabel pokok, subvariabel atau masalah pokok yang ada dalam penelitian(Kerlinger,
1973: 9)4
Menurut Easton (1969), kebijakan publik adalah pengalokasian nilai-nilai kekuasaan
untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat
melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari
sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai
kepada masyarakat.
.Adapun yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
I.5.1.Kebijakan Publik
1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan berasal dari kata policy dari bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kebijakan dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi
pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak. Sedangkan publik bisa diartikan sebagai umum, masyarakat, ataupun Negara.
5
4
Effendi, Sofian. 2012. Metode Penelitian Survey (Edisi Revisi) (Jakarta: LP3ES) hal 35.
5
Sedangkan menurut Anderson, kebijakan publik merupakan arah tindakan yang
mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi
suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan
perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan atau bukan pada apa yang diusulkan atau
dimaksudkan.6
Kebijakan publik memiliki tahap yang cukup kompleks karena memiliki banyak proses
dan variabel. Menurut William Dunn (1998), tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai
berikut
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
publik adalah serangkaian pedoman dan dasar rencana yang akan dilakukan oleh pemerintah
dalam mengatasi sebuah persoalan yang ada dalam kehidupan masyarakatnya dengan hubungan
yang mengikat. Jadi, kebijakan publik berpusat pada penyelesaian masalah yang sudah nyata.
7
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting) :
Kelompok masyarakat seperti parpol, ormas, serikat, ataupun kelompok lainnya akan
menyuarakan isu mereka kepada pemerintah. Isu yang disampaikan oleh mereka akan
bersaing untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Para pembuat kebijakan akan
memilih isu yang akan mereka angkat. Sedangka isu yang lain ada yang tidak tersentuh
sama sekali dan sebagian lagi akan didiamkan dalam waktu yang cukup lama.
b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Isu yang telah masuk ke dalam agenda kebijakan dan dibahas oleh para pembuat
kebijakan akan didefenisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.
6
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pressindo) hal. 16.
7
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya
dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap
perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk memecahkan masalah.
c. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan,
pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari
mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Kebijakan yang sudah diadopsi kemudian dirangkum melalui program-program yang
harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan administrasi maupun agen
pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil akan dilaksanakan oleh
unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap
ini, berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat
dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para
pelaksana.
e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk melihat
sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik yang
pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki
masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau
criteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih
1.5.2Implementasi Kebijakan
I.5.2.1Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang krusial dalam proses kebijakan publik.
Jika suatu kebijakan telah ditetapkan, kebijakan tersebut tidak akan berhasil dan terwujud
bilamana tidak diimplementasikan. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dalam arti luas dapat
diartikan sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik
yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan.
Sementara itu, Van Meter dan Van Horn menyebutkan implementasi kebijakan sebagai
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah
maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk
mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu
tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan
yang besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Jadi implementasi
merupakan suatu proses dinamis yang melibatkan secara terus menerus usaha-usaha untuk
mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur
kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program pada tujuan kebijakan yang diinginkan.
Menurut Jones terdapat tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu:
1. Penafsiran: yaitu kegiatan yang menerjemahkan makna program kedalam pengaturan
2. Organisasi: merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan
kebijakan.
3. Penerapan: berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lainnya
I.5.2.2Model-Model Implementasi Kebijakan
Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan itu berlangsung secara efektif,
maka dapat dilihat dari berbagai model, yaitu:
A. Model Van Meter dan Van Horn (1975)
Teori ini beranjak dari suatu argumen bahwa perbedaan-perbedaan dalam proses
implementasi akan dipengaruhi oleh sifat kebijakan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya Van
Meter dan Van Horn menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan
antara isu kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang menghubungkan
kebijakan dengan kinerja kebijakan. Mereka menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan
kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang penting dalam prosedur-prosedur
implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut maka permasalahan yang perlu
dikaji dalam hubungan ini adalah:
a. Hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam
organisasi.
b. Seberapa jauhkah tingkat efektifitas mekanisme-mekanisme kontrol pada setiapjenjang
struktur, masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah dalam
c. Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam organisasi (masalah
kepatuhan).
Dari pandangan tersebut maka Van Meter dan Van Horn membuat tipologi kebijakan menurut:
a. Jumlah masing-masing perubahan yang akan terjadi.
b. Jangkauan atau lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat
dalam proses implementasi.
Alasan dikemukakannya hal ini adalah bahwa proses implementasi itu akan dipengaruhi
oleh dimensi-dimensi kebijakan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi akan berhasil
apabila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit sementara kesepakatan terhadap tujuan
terutama dari para implementor dilapangan relatif tinggi. Hal lain yang dikemukakan mereka
bahwa yang menghubungkan kebijakan dan kinerja dipisahkan oleh sejumlah variabel bebas
yang saling berkaitan. Variabel bebas itu adalah:
1. Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan.
Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi interpretasi dan mudah
menimbulkan konflik diantara agen implementasi.
2. Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya non manusia seperti dana yang digunakan untuk mendukung implementasi
3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain agar
tujuan kebijakan dapat tercapai.
4. Karakteristik Agen Pelaksana
Karakteristik agen pelaksana mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola
hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semua hal tersebut akan mempengaruhi
implementasi suatu program.
5. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, lingkungan yang dapat mendukung
keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan dapat
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan, karaktersitik para partisipan yakni menolak
atau mendukung, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elit politik
mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi Implementor
Ini mencakup tiga hal, yakni: (a) respon implementor terhadap kebijakan yang akan
dipengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan, (b) kognisi, pemahaman para agen
pelaksana terhadap kebijakan, dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai
yang dimiliki oleh implementor.
Bagan 1.1: model implementasi van meter dan van horn
Sumber: Van Meter dan Van Horn, 1975: 463
B. Model Implementasi Kebijakan Grindle8
Implementasi menurut Grindle (1980), ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Ide dasar Grindle adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan
menjadi program aksi maupun proyek individual biaya telah disediakan, maka
implementasi kebijakan dilakukan, tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada
implementability dari program itu, yang dapat dilihat pada isi dan konteks kebijakannya.
Isi kebijakan mencakup: (1) kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan, (2) tipe atau
jenis manfaat yang akan dihasilkan, (3) derajat perubahan yang diinginkan, (4)
kedudukan pembuat kebijakan, (5) siapa pelaksana program, (6) sumber daya yang
dilibatkan.
8
Wibawa, Samodra, dkk.1994. Evaluasi kebijakan Publik(Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa) hal. 22-25. Komunikasi antar orgaisasi
dan kegiatan pelaksanaan
Ukuran dan Tujuan
Kebijakan Karakteristik
Badan Pelaksana
Sikap Pelaksana Prestasi kerja
Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Politik Sumber
Demikian dengan konteks kebijakan juga memengaruhi proses implementasi.
Yang dimaksud Grindle dengan konteks kebijakan adalah: (1) kekuasaan kepentingan
dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan penguasa, dan (3)
kepatuhan serta daya tanggap pelaksana. Intensitas keterlibatan para perencana, politisi,
pengusaha, kelompok sasaran, dan para pelaksana program akan bercampur baur
memengaruhi efektivitas implementasi. Hal ini searah dengan variabel kondisi sosial,
ekonomi, dan politik yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, dimana juga
berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan.
plementasi kebijakan.
Bagan1.2Implementasi sebagai proses politik dan administratif
(Merilee S. Grindle. 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World,
Princeton University Press, New Jersey, p. 11)
I mplementing
ActivitiesI nfluenced by:
a.Content of Policy
I ntersts affected
Type of benefits
Extent of change envisioned
Site of decision making
Program implementors
Resources committed
b.Context I mplementation
Power, interests, and strategies of actors involved
I nstitution and regime characteristics
Compliance and responsiveness
Outcomes:
a. I mpact on society, individuals, and groups b. Change and its
Policy Goals
Goals achieved?
Action Programs and I ndividual Projects
Designed and Funded Programs Delivered as designed?
C. Model Mazmanian dan Sabatier (1983)
Model ini disebut sebagai model kerangka analisis implementasi. Mazmanian dan
Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu:
1. Karakteristik dari masalah (tractability of the problems) sering disebut dengan variabel
independen. Indikatornya adalah:
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan.
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran.
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi.
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan.
2. Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure implementation)
sering disebut dengan istilah variabel intervening, indikatornya adalah:
a. Kejelasan isi kebijakan.
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis.
c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut.
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi
pelaksana.Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.
e. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
f. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam
implementasi kebijakan.
3. Variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation) sering disebut
dengan istilah dependen. Indikatornya adalah:
b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan.
c. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups).
d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.
D. Model Implementasi Kebijakan George Edward III9
George Edward III melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis,
dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi
kebijakan. Faktor-faktor tersebut ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruhnya terhadap
implementasi kebijakan. Menurut George Edward III, dalam pendekatan studi implementasi
harus dimulai dengan suatu pernyataan abstrak seperti yang dikemukakan sebagai berikut:
a. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi
kebijakan?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, George Edward III mengajukan empat faktor yang
berperan penting dalam keberhasilan implementasi, yaitu:
1. Komunikasi (communication).
Implementasi kebijakan akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan
kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan
kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan
secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan
perlu dikomunikasikan sehingga pelaku kebijakan mengetahui secara tepatapa yang menjadi isi,
9
tujuan, kelompok sasaran kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat menyiapkan hal-hal apa
saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa
berjalan secara efektif dan sesuai dengan tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi
merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya
untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang
berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan
efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah
mereka dapat melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua
personel dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenahi maksud dan tujuan kebijakan.
Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya
mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan
bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan
mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara
serius mempengaruhi implementasi kebijakan. Komunikasi implementasi mencakup beberapa
hal yaitu: (a) transformasi informasi, (b) kejelasan informasi, dan (c) konsistensi informasi.
2. Sumber Daya (resource)
Bukan hanya isi sebuah kebijakan saja yang dikomunikasi secara jelas, sumber daya juga
harus tetap dipersiapkan untuk dapat melaksanakan implementasi kebijakan. Ketersediaan
sumber daya dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi
kebijakan tidak akan efektif bilamana saumber-sumber pendukungnya tidak memadai.
Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang
relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber
diarahkan sebagaimana yang diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat
dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.Sumberdaya
manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya
program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika
jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan
skill/kemampuan para pelaksana untuk melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen
SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Informasi merupakan sumberdaya
penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai
bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui
tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada
peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu
kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan informasi/pengetahuan
bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak
bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien.
Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan individu terhadap peraturan
pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan
bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik
penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor.Fasilitas yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang
mencukupi. Tanpa fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.
3. Disposisi (sikap)
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap
melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat
kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.Ada tiga bentuk
sikap/respon implementor terhadap kebijakan ; kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana
untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut.
Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami
kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada
didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program.
Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran
program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai
tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari dukungan pimpinan ini adalah Menempatkan
kebijakan menjadi prioritas program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang
mendukung program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis kelamin dan
karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan dana yang cukup guna memberikan
insentif bagi para pelaksana program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam
melaksanakan kebijakan/program.
4. Struktur Birokrasi (bereaucratic structure)
Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur
birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang
terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial
Bagan 1.3: model implementasi George Edward III
I.5.2.3Variabel – Variabel Yang Akan Digunakan Dalam Penelitian Ini
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan, perlu diketahui
variabel-variabel atau faktor-faktor penentunya. Menurut Solichin semakin kompleks
permasalahan kebijakan dan semakin mendalam analisis yang dilakukan, semakin diperlukan
teori atau model yang relatif operasional, yang mampu menghubungkan kausalitas antar variabel
yang menjadi fokus masalah. Oleh karena itu, maka variabel yang akan dipakai dalam
Implementasi Peraturan Wali Kota Medan Tentang Pajak Hiburan yaitu:
1. Disposisi (sikap implementor)
Kecenderungan/sikap yang dimiliki oleh implementor yang akan mempengaruhi
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan. Adapun kecenderungan yang dimaksud
mencakup hal-hal berikut:
a. Tingkat komitmen implementor terhadap pencapaian tujuan kebijakan.
b. Respon implementor terhadap kebijakan yang akan mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan kebijakan.
2. Komunikasi
Komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke
bawah maupun sebaliknya. Komunikasi dilakukan untuk menghindari distorsi implementasi,
untuk itu perlu adanya ketepatan waktu dalam penyampaian informasi, kejelasan informasi yang
disampaikan dan adanya konsistensi dalam penyampaian informasi. Sementara itu koordinasi
menyangkut persoalan yang lebih mendasar, yaitu bagaimana praktik pelaksanaan kekuasaan.
Koordinasi berarti adanya kerjasama yang saling terkait dan saling mendukung antar pelaksana
kebijakan/lembaga terkait dalam sistem administrasi guna pencapaian tujuan implementasi
kebijakan.
3. Struktur birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu aspek penting dari organisasi adalah
adanya standart prosedur operasional (SOP) yang menjadi pedoman bagi setiap implementor
dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.
4. Sumber daya
Ketersediaan sumber daya merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan.
Tanpa sumber daya yang cukup, implementasi kebijakan tidak akan bisa tercapai. Sumber daya
dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu sumber daya materiil dan sumber daya non materiil.
Sumber daya materiil meliputi dana dan peralatan yang dipakai, sedangkan sumber daya non
materiil meliputi staff/personil yang memadai serta keahlian-keahlian yang tepat untuk
melaksanakan tugas-tugasnya, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, serta informasi
I.6Definisi Konsep
Menurut Singarimbun konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang
menjadi perhatian ilmu sosial.
Untuk menghindari adanya salah pengertian maka defenisi konsep yang dipakai dalam
penelitian ini adalah :
1. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah segala aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah lewat keputusan
bersama dengan aktor-aktor politik untuk memecahkan masalah publik yang dihadapi. Kebijakan
publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalahPeraturan Wali Kota Medan No 35 tahun 2011
Tentang Pajak Hiburan di Kota Medan.
2. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun
swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu.
Adapun indikator yang digunakan untuk menganalisis implementasi kebijakan dalam
penelitian ini di ambil dari model implementasi kebijakan George C. Edward adalah sebagai
berikut:
1. Komunikasi
3. Disposisi Implementor
4. Struktur birokrasi
1.7 Definisi Operasional
Menurut Singarimbun definisi operasional adalah unsur penelitian memberitahukan
bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah
semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Melalui
pengukuran ini dapat diketahui indkator apa saja sebagai pendukung untuk di analisis dari
variabel-variabel tersebut.
Adapun yang menjadi definisi operasional dalam penelitian ini yaitu:
1. Komunikasi
a. Seberapa besar kerjasama dan dukungan antar berbagai instansi dalam
pelaksanaan kebijakan
2. Sumber daya
a. Kemampuan dari para implementor
b. Ketersediaan dana dan fasilitas
3. Disposisi implementor
Kecenderungan sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah:
a. Gambaran komitmen implementor terhadap tujuan kebijakan
b. Respon implementor terhadap kebijakan
4. Struktur birokrasi
Prosedur standart operasional (SOP) atau Petunjuk pelaksana/petunjuk teknis
(Juklak/Juknis)
I.8Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini akan mengikuti bab – bab sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, defenisi konsep, dan sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini berisi bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data,
dan teknik analisi data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum mengenai karakteristik lokasi penelitian.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini berisikan data-data yang diperoleh selama penelitian dilapangan dan dokumen-dokumen
BAB V ANALISIS DATA
Bab ini memuat analisa data yang diperoleh dari hasil penelitain dan memberikan interpretasi
atas permasalahan yang diteliti.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran, bagian kesimpulan berisi jawaban atas masalah yang