• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

Dampak Pembangunan Smelter

di Kawasan Ekonomi Khusus

Provinsi Sulawesi Tenggara

PUSAT DATA DAN TEKNOLOGI INFORMASI

ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

(2)

TIM PENYUSUN

Pengarah

Sekretaris Jenderal KESDM M. Teguh Pamudji

Penanggung Jawab

Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi KESDM Agung Wahyu Kencono

Ketua

Kepala Bidang Analisis dan Evaluasi Data Strategis Sugeng Mujiyanto

Tim Penyusun

Bambang Edi Prasetyo Agus Supriadi

Aang Darmawan Tri Nia Kurniasih Feri Kurniawan Khoiria Oktaviani Ameri Isra Ririn Aprillia Qisthi Rabbani Dini Anggreani Indra Setiadi ISBN: 978-602-0836-13-3 Penerbit

Pusat Data dan Teknologi Informasi

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jl. Medan Merdeka Selatan No. 10 Jakarta 10110 Telp. : (021) 29660817 ext 1224

Fax : (021) 29440297

Email : pusdatin@esdm.go.id Cetakan Pertama,

Hak Cipta dilindungi undang – undang

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat perkenan-Nya laporan mengenai “Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara)” dapat kami selesaikan.

Laporan “Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara)” memberikan gambaran tentang perkembangan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun usulan rekomendasi kebijakan pengembangan industri mineral nikel yang terpadu, khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sebagian besar data dan informasi dalam laporan ini diperoleh dari laporan berkala yang disampaikan oleh Kementerian Perdagangan, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara KESDM, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, dan Pusdatin KESDM.

Akhirul kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan membantu penyusunan laporan ini. Diharapkan, laporan ini dapat menjadi referensi bagi pimpinan Kementerian ESDM, BUMN, dan pihak lain dalam upaya mengembangkan mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jakarta, Desember 2015 Penyusun.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada para profesional di bawah ini yang telah membagi waktu dan informasi yang berharga sehingga buku ini dapat diterbitkan.

• Ir. Darsa Permana, M. Si., Puslitbang Teknologi Mineral dan

Batubara

• Drs. Harta Haryadi, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara

• Drs. Jafril, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara

• Ir. Yudo Supriyantono, Puslitbang Teknologi Mineral dan

Batubara

• Drs. Bambang Yuniarto, Puslitbang Teknologi Mineral dan

Batubara

• Dr. Sumedi, S.P. Institut Pertanian Bogor

(5)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 - 2025 diarahkan pada penciptaan nilai tambah sumber daya alam sehingga pembangunan ekonomi yang beragam dan inklusif dapat terwujud. Hal ini memungkinkan semua wilayah di Indonesia dapat berkembang sesuai dengan potensinya masing - masing. Pembangunan ekonomi yang dimaksud tidak dikendalikan oleh pusat namun pada sinergi pembangunan sektoral dan daerah untuk menjaga keuntungan kompetitif nasional.

Dalam Undang - Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dalam Pasal 102 dinyatakan bahwa “Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan, pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”. sehubungan dengan hal tersebut, maka pada setiap kegiatan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara diwajibkan meningkatkan nilai tambah.

Penerapan peningkatan nilai tambah ini memberikan dampak terhadap wilayah penghasil mineral mentah (dalam hal ini Provinsi Sulawesi Tenggara), dampak ini meliputi dampak positif maupun negatif. Dampak positif lebih dominan ke dampak jangka panjang sedangkan dampak negatif dominan ke dampak jangka pendek.

Dampak terhadap perekonomian nasional dilihat dari investasi pabrik smelter di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar USD 3,8 miliar atau sekitar 20,11 % dari investasi pabrik smelter secara nasional. Beroperasinya perusahaan yang membangun smelter pada tahun-tahun berikutnya, sesuai dengan studi kelayakan yang mereka buat, mengakibatkan terjadinya kenaikan pada tenaga kerja yang terlibat, baik dalam kegiatan smelter maupun penambangan. Pada tahun 2015, tenaga kerja naik menjadi 19.102 orang, dengan perincian 11.899 orang pada smelter dan 7.203 orang pada penambangan. Pada tahun 2016, naik lagi menjadi 40.773 orang, dengan perincian 27.775 orang pada smelter dan 12.998 orang pada penambangan. Sementara pada tahun 2017, angka penyerapan tenaga kerja menjadi 65.440 orang, terdiri atas 34.375 orang pada smelter dan 31.065 orang pada penambangan. Angka ini sudah melampaui jumlah tenaga kerja pada tahun 2013 ketika kebijakan PNT belum dilaksanakan, yakni 56.127 orang.

(6)

DAFTAR ISI

Tim Penyusun ... i

Kata Pengantar ... ii

Ucapan Terimakasih ... iii

Ringkasan Eksekutif ... iv

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... ix BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...

1.2. Maksud dan Tujuan ...

1.3. Metodologi ...

1.3.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 1.3.2. Pengolahan Data ...

1.4. Landasan Hukum ...

BAB 2 KONDISI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

2.1. Geografis ...

2.2. Sarana dan Prasarana ...

2.3. Kependudukan dan Angkatan Kerja ...

2.4. Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap PDRB

Provinsi Sulawesi Tenggara ...

2.5. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus

di Provinsi Sulawesi Tenggara ...

BAB 3 KONDISI SMELTER NIKEL DI PROVINSI SULAWESI

TENGGARA

3.1. Cadangan dan Sumber Daya Nikel ...

3.1.1. Pertambangan Nikel di Sulawesi Tenggara ... 3.1.2. Pola Pemenuhan Bijih Nikel ...

BAB 4 ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN SMELTER DI

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

4.1. Analisis Dampak Ekonomi Pembangunan Pabrik

Pengolahan dan pemurnian nikel ... 4.1.1. Dampak terhadap Produk Domestik Regional Bruto ... 4.1.2. Dampak terhadap Tenaga Kerja (SDM) ... 4.1.3. Dampak terhadap Pendapatan Rumah Tangga ...

1 3 4 4 5 6 8 12 12 13 14 17 18 25 28 34 42 43

(7)

4.1.4. Backward Linkage (Keterkaitan ke Belakang) dan Linkage (Keterkaitam ke Depan)

4.2. Dampak terhadap Pengembangan Masyarakat

(CSR) Sekitar Smelter ...

4.3. Dampak terhadap Pendapatan/Perekonomian

Nasional ...

4.4. Tabel Input-Output ...

4.4.1. Keterkaitan Ke Belakang (Backward Linkages) ...

4.4.2. Keterkaitan Ke Depan (Forward Linkages) ...

4.5. Kebutuhan Nikel dan Kondisi Perekonomian Tahun

2006 Sebelum Dilakukan Pengolahan (Smelter) ... 4.5.1. Skenario Alternatif I ... 4.5.2. Skenario Alternatif II ... BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan ...

5.2. Rekomendasi ...

 

DAFTAR PUSTAKA ... ...

LAMPIRAN ...

4.1.4. Backward Linkage (Keterkaitan ke Belakang) dan

Linkage (Keterkaitam ke Depan)

4.2. Dampak terhadap Pengembangan Masyarakat

(CSR) Sekitar Smelter ...

4.3. Dampak terhadap Pendapatan/Perekonomian

Nasional ...

4.4. Tabel Input-Output ...

4.4.1. Keterkaitan Ke Belakang (Backward Linkages) ...

4.4.2. Keterkaitan Ke Depan (Forward Linkages) ...

4.5. Kebutuhan Nikel dan Kondisi Perekonomian Tahun

2006 Sebelum Dilakukan Pengolahan (Smelter) ... 4.5.1. Skenario Alternatif I ... 4.5.2. Skenario Alternatif II ... BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan ... 5.2. Rekomendasi ...

 

DAFTAR PUSTAKA ... ... LAMPIRAN ... 45 47 62 73 75 77 82 82 82 85 89 ... 87 90 ...

(8)

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Peta Koridor Ekonomi Indonesia ... 2

Gambar 1.2. Koridor Ekonomi Sulawesi ... 3

Gambar 2.1. Peta Administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara ... 9

Gambar 2.2. Kawasan Industri Prioritas Luar Jawa ... 11

Gambar 2.3. Sebaran Cadangan Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara ... 12

Gambar 2.4. Persentase penduduk usia 15+ di Provinsi Sulawesi Tenggara ... 14

Gambar 3.1. Jumlah IUP Nikel Operasi Produksi di Sulawesi Tenggara ... 18

Gambar 3.2. Peta Sebaran Mineral Provinsi Sulawesi Tenggara .. 19

Gambar 3.3. Status IUP Nikel di Sulawesi Tenggara ... 20

Gambar 3.4. Smelter Nikel PT. Cahaya Modern Metal Industri ... 22

Gambar 3.5. Pengerjaan Fondasi Pabrik PT. Kembar Emas Sultra 22 Gambar 4.1. Koridor Pembangunan Ekonomi Sulawesi (MP3EI) ... 29

Gambar 4.2. Backward linkage dan Forward linkage industri pengolahan nikel ... 40

Gambar 4.3. Grafik Penggunaan Dana Comdev Sektor ESDM Tahun 2009-2013 ... 46 2 8 10 11 13 17 18 19 22 22 30 46 55 3

(9)

Gambar 4.4. Rencana Investasi Pembangunan Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Mineral Berdasarkan Komoditas ... 52 Gambar 4.5. Rencana Investasi Pembangunan Fasilitas

Pengolahan dan Pemurnian Mineral Berdasarkan Provinsi ... 53 Gambar 4.6. Proyeksi jumlah tenaga kerja yang dapat diserap,

2014-2017 ... 53 Gambar 4.7. Kenaikan Ekspor Bijih Nikel (2008-2011) ... 55 Gambar 4.8. Perkiraan Nilai Ekspor Mineral Tahun 2013 – 2017 ... 56

65

65

66 69 69

(10)

Daftar Tabel

Tabel 2.1. Cadangan Nikel Provinsi Sulawesi Tenggara ... Tabel 2.2. Jumlah Perusahaan Konstruksi di Provinsi Sulawesi

Tenggara 2011-2013 ... Tabel 2.3. Kontribusi Pertumbuhan Sektoral Provinsi Sulawesi

Tenggara ... Tabel 3.1. Status IUP Nikel per Kabupaten di Provinsi Sulawesi

Tenggara ... Tabel 3.2. Perusahaan yang telah Menandatangani Pakta

Integritas Membangun Smelter ... Tabel 3.3. Penjualan Bijih Nikel per kabupaten di Provinsi Sulawesi

Tenggara ... Tabel 3.4. Produksi dan Konsumsi Bijih Nikel Dalam Rangka

Pembangunan Smelter ... Tabel 3.5. Distribusi Pasokan Bijih Nikel per Kabupaten ... Tabel 4.1. Potensi Sumber Daya Bahan Galian Nikel Provinsi

Sulawesi Tenggara ... Tabel 4.2. PDRB atas Dasar Harga Konstan (Juta Rupiah)

Menurut Lapangan Usaha Tahun Dasar 2010, 2012 – 2014 ... Tabel 4.3. PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Menurut

Lapangan Usaha Tahun Dasar 2010,

2012 s.d 2014 ... Tabel 4.4. Realisasi Dana Comdev Subsektor Mineral dan

Batubara Tahun 2009-2013 ... Tabel 4.5. Penyaluran Program Kemitraan Berdasarkan Sektor

Usaha ... Tabel 4.6. Penyaluran Program Bina Lingkungan Berdasarkan

Sektor Usaha ... Tabel 4.7. Nilai Ekspor Bijih Nikel (Perusahaan Tahap Konstruksi

Tahun 2015) ... Tabel 4.8. Prakiraan Nilai Ekspor Refinery Product ... Tabel 4.9. Tabel Input-Output untuk Sistem Perekonomian dengan

Tiga Sektor Produksi ... Tabel 4.10. Transaksi atas Dasar Harga Pembeli, 32 Sektor (juta

rupiah) ... Tabel 4.11. Keterkaitan ke Belakang dan Keterkaitan Ke Depan ... Tabel 4.12. Skenario Produk Biih Nikel Sulawesi Tenggara

Dikonsumsi sebagian dan di ekspor

sebagian/Dikonsumsi seluruhnya ... 11 12 14 20 21 23 26 27 32 36 37 56 59 60 71 72 74 80 81 84

(11)

Daftar Lampiran

Lampiran1. Daftar IUP Operasi Produksi yang Aktif Melaksanakan Kegiatan ... Lampiran2. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan dan

Pemurnian Nikel di Sulawesi Tenggara ... Lampiran3. Rekap Data Smelter Nikel ... Lampiran4. Data Rencana Produksi Smelter Nikel ... Lampiran5. Perusahaan yang Membangun Smelter Nikel di Provinsi

Sulawesi Tenggara 2013 ... 11 12 14 20 21 26 27 32 36 37 56 59 60 71 72 74 80 81 84 90 95 97 99 100

(12)
(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nikel merupakan komoditas utama sektor pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Potensi sumber daya mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara cukup besar, yaitu sebesar 97,4 miliar ton yang tersebar dalam luas 480 ribu Ha. Periode 2008-2013 telah dilakukan penambangan mineral nikel sebanyak 56,9 juta ton sehingga sumber daya yang tersedia saat ini sebanyak 97,3 miliar ton mineral nikel. Perbandingan antara produk bijih nikel dengan produk Ferronikel (FeNi) adalah sebesar 377 : 1, ini menandakan bahwa pada periode tersebut kesadaran untuk meningkatkan nilai tambah produk hasil pertambangan melalui Pengolahan dan Pemurnian masih sangat minim.

Jumlah perusahaan yang mengusahakan penambangan mineral nikel sebanyak 2 KK dan 438 IUP, tersebar di beberapa Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara (Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara, 2015).

Kekayaan mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara tidak didukung oleh sarana prasarana untuk meningkatkan nilai

tambahnya. Kurangnya infrastruktur transportasi dan terbatasnya

pasokan energi menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan. Sehubungan dengan itu, optimalisasi pemanfaatan mineral melalui pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral dapat menjadi kekuatan industri bagi Provinsi Sulawesi Tenggara. Pembangunan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral nikel harus segera diwujudkan agar dapat memajukan perekonomian Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya serta mampu mendorong perekonomian nasional.

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah sebuah pola induk Pemerintah Indonesia untuk mempercepat realisasi perluasan pembangunan ekonomi dan pemerataan kemakmuran agar dapat dinikmati masyarakat Indonesia secara merata (Gambar 1.1).

(14)

Sumber : Kemenko Perekonomian, 2011

Gambar 1.1.

Peta Koridor Ekonomi Indonesia

Dalam MP3EI, Sulawesi Tenggara masuk ke dalam Koridor Sulawesi dengan tema “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, dan Perikanan serta Pertambangan Nikel Nasional.” (Gambar 1.2). Tema pembangunan koridor ekonomi tersebut sejalan dengan potensi kekayaan yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Oleh karena itu, Provinsi Sulawesi Tenggara ideal untuk dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus yang sedang digalakkan oleh Pemerintah.

(15)

Sumber : Kemenko Perekonomian, 2011

Gambar 1.2. Koridor Ekonomi Sulawesi

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Analisis dan

Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi

Khusus dengan studi kasus Provinsi Sulawesi Tenggara perlu dilaksanakan.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari kegiatan Analisis dan Evaluasi Dampak

Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi kasus

Provinsi Sulawesi Tenggara) adalah untuk melakukan kajian kebijakan pengembangan industri mineral nikel yang terpadu khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dampak ini meliputi

Provinsi Sulawesi Tenggara kaya akan Sumber Daya Nikel tetapi masih belum mampu menjadi pendorong perekonomian daerah.

 

(16)

dampak sosial, ekonomi dan lingkungan. Hal tersebut sejalan dengan tujuan peningkatan nilai tambah mineral bijih yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara serta sebagai dasar untuk menyusun usulan rekomendasi kebijakan pengembangan industri mineral nikel yang terpadu khususnya Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.3. Metodologi

Kegiatan ini dilaksanakan secara swakelola oleh tim Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) melalui studi literatur, rapat koordinasi, Focus Group Discussion (FGD) dan atau

konsinyering dengan narasumber dari stakeholder terkait serta

kunjungan langsung ke Provinsi Sulawesi Tenggara.

Analisis yang dilakukan menggunakan model input output Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2006. Pada saat perhitungan, semua diasumsikan bahwa kondisi saat ini sama dengan kondisi tahun 2006 di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan pertimbangan, belum adanya perkembangan teknologi yang dipakai dalam mengolah produk mentah nikel. Asumsi tersebut dipakai guna untuk melakukan pendekatan perhitungan serta mengurangi bias yang dihasilkan dari perhitungan yang dilakukan.

1.3.1. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam kegiatan ini adalah data sekunder. Yaitu, data yang diperoleh dari berbagai sumber (bukan melalui pengamatan langsung). Sumber data berasal dari Dinas Pertambagan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Pusat dan Statsistik Provinsi Sulawesi Tenggara, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi Tenggara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara

Mengetahui dampak pembangunan smelter untuk dijadikan gambaran usulan rekomendasi kebijakan pengembangan industri mineral nikel.

(17)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, hasil-hasil penelitian sebelumnya dan pustaka lainnya yang terkait.

1.3.2. Pengolahan Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis agar dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan yang sedang diteliti sehingga kita dapat membuat kesimpulan-kesimpulan sebagai hasil temuan dari permasalahan yang ada.

Pengolahan data dalam kegiatan Analisis dan Evaluasi

Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus

(Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) menggunakan model input output. Model ini merupakan uraian statistik, disajikan dalam bentuk matriks yang menjelaskan keterkaitan transaksi antara industri barang dan jasa dalam rentang waktu tertentu. Aspek yang paling penting dalam perekonomian adalah hubungan antar industri. Hubungan ini bersifat saling terkait satu dengan yang lainnya. Output

satu industri menjadi input industri lainnya. Oleh karena itu,

perubahan suatu industri ikut mempengaruhi perubahan pada

industri lainnya, yang artinya perubahan input bagi industri lain.

Dengan demikian secara berantai pengaruh ini akan dirasakan oleh industri yang berkaitan tadi. Dari hubungan seperti itu, jelas terlihat hubungan timbal balik.

Pengaruh perubahan dalam satu industri dengan industri lain akan bergerak secara berantai. Hubungan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu :

 Hubungan langsung (direct effect), adalah pengaruh yang

secara langsung dirasakan oleh sektor yang menggunakan

input dari output sektor yang bersangkutan. Misalnya, kalau

industri feronikel meningkat jumlahnya (produksi diserap 100% di dalam negeri) maka permintaan akan nikel akan meningkat juga. Termasuk permintaan listrik, bahan bakar, angkutan dan sebagainya.

Hubungan tidak langsung (indirect effect), adalah pengaruh

terhadap industri yang outputnya tidak digunakan dalam

input bagi keluaran industri yang bersamgkutan. Misalnya,

pengaruh industri feronikel terhadap industri perkebunan.

Hubungan sampingan, adalah pengaruh yang tidak

(18)

pengaruh langsung tersebut di atas. Misalnya, peningkatan produksi feronikel akan meingkatkan pendapatan buruh industri, atau peningkatan jumlah buruh yang berarti pula peningkatan sejumlah buruh tersebut. Dengan peningkatan pendapatan ini maka permintaan atau kebutuhan beras dapat naik.

Sebagai langkah akhir dari proses pengolahan data,

dibutuhkan analisis dan evaluasi agar memperoleh gambaran yang lebih mendalam dari data yang diolah.

1.4. Landasan Hukum

Analisis dan Evaluasi Dampak Pembangunan Smelter di

Kawasan Ekonomi Khusus (Studi Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara) terkait dengan peningkatan nilai tambah mineral nikel yang juga dapat meningkatkan aspek sosial ekonomi masyarakat Sulawesi Tenggara khususnya dan nasional pada umumnya. Dasar hukum yang melatari analisis dan evaluasi ini adalah :

a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 ayat 3 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

c. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

f. Peratuan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;

g. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;

Pengumpulan data melalui studi literatur, rapat koordinasi, FGD, kunjungan lapangan. Selanjutnya data diolah untuk mendapatkan usulan rekomendasi.

(19)

h. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;

i. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah melalui Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri;

j. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2013 tentang Percepatan Pelaksanaan Peningkatan Nilai Tambah melalui Pengolahan dan Pemurnian;

k. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011

tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025;

l. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara;

m. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pengawasan terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan yang Dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

n. Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara;

o. Peraturan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 39 Tahun 2013

tentang Peningkatan Nilai Tambah dan Pengendalian Ekspor Mineral dan Batubara di Wilayah Sulawesi Tenggara.

(20)

BAB 2

KONDISI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

2.1. Geografis

Secara geografis, Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan diantara 02°45'-06°15' LS dan membentang dari barat ke timur di antara 120°45'-124°45' BT. Batas administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebaga berikut (Gambar 2.1):

Sumber : Sulawesitenggaraprov.go.id

Gambar 2.1. Peta Administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara

Utara : Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi

Sulawesi Selatan

Selatan : Prov. Nusa Tenggara Timur di Laut Flores

Timur : Prov. Maluku di Laut Banda

(21)

Luas wilayah keseluruhan Provinsi Sulawesi Tenggara

adalah 148.140 km2, dengan 74,25% (110.000 km2) berupa perairan

laut dan 25,75% (38.140 km2) berupa daratan. Provinsi Sulawesi

Tenggara terdiri atas 10 wilayah Kabupaten (Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Kolaka, Konawe Selatan, Wakatobi, Bombana, Kolaka Utara, Buton Utara, Konawe Utara), dan dua wilayah kota (Kota Kendari dan Kota Bau-Bau).

Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki beberapa sungai yang melintasi hampir seluruh kabupaten/kota. Sungai-sungai tersebut pada umumnya potensial untuk berbagai keperluan, baik untuk industri, rumah tangga maupun irigasi. Daerah aliran sungai, seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) Konawe Utara, melintasi Kabupaten Kolaka, dan Konawe. DAS tersebut seluas 7.150,68 km² dengan debit air rata-rata 200 m³/detik. Bendungan Wakotobi yang menampung aliran sungai tersebut, mampu mengairi persawahan di daerah Konawe seluas 18.000 ha. Selain itu, masih dapat dijumpai banyak aliran sungai di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan debit air yang besar sehingga berpotensi untuk pembangunan dan pengembangan irigasi, seperti: Sungai Lasolo di Kabupaten Konawe, Sungai Roraya di Kabupaten Bombana (Kecamatan Rumbia, dan Poleang), Sungai Wandasa dan Sungai Kabangka Balano di Kabupaten Muna, Sungai Laeya di Kabupaten Kolaka, dan Sungai Sampolawa di Kabupaten Buton.

Sulawesi Tenggara yang terletak di daerah khatulistiwa dengan ketinggian pada umumnya di bawah 1.000 meter, sehingga rata-rata wilayahnya beriklim tropis. Panjang garis pantai adalah 1.470 Km serta memiliki 651 buah pulau, 290 buah pulau belum memiliki nama dan baru 85 buah pulau yang memiliki nama dan berpenghuni.

Pada tanggal 8 Januari 2015, melalui Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2015 diterbitkan RPJMN 2015 – 2019 yang menetapkan 14 Kawasan Industri Prioritas Luar Jawa, salah satunya di Kabupaten Konawe yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 2.2).

(22)

Sumber : Buku III RPJMN 2015 s.d. 2019

Gambar 2.2. Kawasan Industri Prioritas Luar Jawa

Untuk mendukung kawasan industri prioritas luar Jawa seperti yang disebutkan di atas, dibutuhkan sumber daya alam berupa mineral nikel. Mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara sangat berlimpah dan tersebar di Kabupaten Konawe Utara, Kolaka Utara, Konawe, Kolaka, Bombana, Konawe Selatan, dan Buton, dengan total luas sebaran 313.788,77 Ha (gambar 2.3). Cadangan nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebesar 97.401.593.025,72 Wmt (Tabel 2.1). Kabupaten Konawe Utara merupakan kabupaten dengan jumlah cadangan nikel terbesar, yaitu 46.007.440.652,72 Wmt dengan luasan 82.626,03 Ha.

(23)

Sumber : Bappeda Sultra

Gambar 2.3. Sebaran Cadangan Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara

Tabel 2.1.

Cadangan Nikel Provinsi Sulawesi Tenggara

LOKASI CADANGAN NIKEL (Wmt)

Kab.  Konawe  Utara   46.007.440.652.72  

Kab.  Bombana   28.200.014.800,00  

Kab.  Kolaka   12.819.244.028,00  

Kab.  Konawe  Selatan   4.348.838.160,00  

Kab.  Kolaka  Utara   2.763.796.196,00  

Kab.  Konawe   1.585.927.189,00  

Kab.  Buton  &  Kota.  Bau-­‐Bau   1.676.332.000,00  

TOTAL 97.401.593.025,72

(24)

2.2. Sarana dan Prasarana

Pembangunan fisik berupa sarana dan prasarana sangat dibutuhkan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Konstruksi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dapat berupa jalan, tempat tinggal, gedung perkantoran, jembatan, dan sebagainya.

Jumlah perusahaan konstruksi di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 adalah sebanyak 2.543 perusahaan, di tahun 2013 menurun menjadi 2.481 perusahaan (Tabel 2.2). Penurunan jumlah perusahaan konstruksi ini diikuti dengan penurunan jumlah tenaga kerja. Persentasi jumlah tenaga kerja Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 sebesar 6,40%, menurun pada tahun 2013 menjadi 5,50% (Statistika Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, 2014).

Tabel 2.2.

Jumlah Perusahaan Konstruksi di Provinsi Sulawesi Tenggara 2011-2013

Sumber : Statistik Indonesia, BPS

Catatan : e Angka Perkiraan

2.3. Kependudukan dan Angkatan Kerja

Jumlah penduduk Sulawesi Tenggara tahun 2013 berjumlah 2,36 juta jiwa. Jumlah ini diproyeksikan bertambah sebanyak 42 ribu jiwa dalam tiga tahun terakhir. Peningkatan jumlah penduduk tidak diikuti dengan laju pertambahan penduduk, pada tahun 2013 laju pertumbuhan penduduk menjadi 1,81% dari sebelumnya 1,83% di tahun 2012.

(25)

Dengan luas wilayah sekitar 38.140 km2, secara rata-rata

setiap km2 wilayah Sulawesi Tenggara ditinggali oleh 62 orang

penduduk, dengan rata-rata 4 orang per rumah tangga.

Pada tahun 2013, persentase penduduk usia 15+ angkatan kerja adalah sebesar 62,86%, sedangkan yang bukan angkatan kerja sebesar 21,14%, kelompok yang mengurus rumah tangga, 9,16% kelompok yang berstatus sekolah, 2,94% pengangguran, dan 3,91% kelompok lainnya (Gambar 2.4).

Sumber : Sakernas, 2013

Gambar 2.4. Persentase penduduk usia 15+ di Provinsi Sulawesi Tenggara

Keterbatasan lapangan kerja menyebabkan tidak semua angkatan kerja yang tersedia terserap di pasar kerja. Selain itu, tenaga kerja di beberapa bidang telah tergantikan oleh mesin serta teknologi yang tinggi.

2.4. Kontribusi Sektor Pertambangan terhadap PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara

Sektor utama perekonomian berasal dari Pertanian, Perdagangan dan Jasa - jasa. Pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor cenderung menuju ke arah positif sampai dengan tahun 2013, termasuk sektor Pertambangan dan Penggalian yang tumbuh sebesar 0,63%.

Hanya saja, sejak berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2009, yang salah satu di antaranya mengamanatkan peningkatan nilai tambah mineral, pertumbuhan sektor Pertambangan menurun dari 43,03%

(26)

pada tahun 2012 menjadi 6,74% pada tahun 2013, menurun lagi menjadi -1,49% pada kuartal 3 tahun 2014.

Dari keseluruhan PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara, sektor Pertambangan memberikan kontribusi negatif, yakni sebesar -0,13% di tahun 2014 (Tabel 2.3).

Tabel 2.3.

Kontribusi Pertumbuhan Sektoral Provinsi Sulawesi Tenggara

Sumber : BI Sultra

2.5. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Provinsi Sulawesi Tenggara

Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan satuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional, sehingga batasan wilayah tidak selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Bagian-bagian wilayah ini mencakup komponen biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia, serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian, istilah wilayah menekankan hubungan yang sangat penting antarmanusia dengan sumber daya-sumber daya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu.

Wilayah pengembangan seperti Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah perwilayahan untuk tujuan pengembangan ekonomi atau wilayah untuk pembangunan (development). Tujuan pembangunan ini terkait dengan lima kata kunci, yaitu: 1) pertumbuhan; 2) penguatan keterkaitan; 3) keberimbangan; 4) kemandirian; 5) keberlanjutan.

(27)

Pengertian pembangunan dalam sejarah dan perkembangannya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada:

1) penekanan pertumbuhan ekonomi,

2) penekanan pertumbuhan dan kesempatan kerja, 3) penekanan pertumbuhan dan pemerataan,

4) penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), 5) penekanan pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan

6) penekanan pembangunan berkelanjutan (suistainable development).

Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan ekonomi wilayah (provinsi) di Indonesia sangat beragam, karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktivitas (Mercado, 2002).

Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002), prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan ekonomi wilayah (provinsi) di Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Sebagai pusat pertumbuhan (growth center). Pengembangan wilayah (provinsi) tidak hanya bersifat internal wilayah (provinsi), namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah (provinsi) sekitarnya, bahkan secara nasional.

2) Pengembangan wilayah (provinsi) memerlukan upaya kerja sama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah (provinsi). 3) Pola pengembangan wilayah (provinsi) bersifat integral yang

merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan.

Dalam pengembangan wilayah (provinsi), mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan wilayah (provinsi). Dalam pemetaan strategi pengembangan wilayah (provinsi) satu wilayah (provinsi) pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat sinergisme di dalam pelaksanaannya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi, 2003).

(28)

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam terutama mineral nikel. Kekayaan mineral nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara diharapkan mampu menjadi pemicu bagi pengembangan ekonomi. Dalam konteks internasional, perekonomian dunia yang bergerak cepat, seperti globalisasi dan pasar bebas yang menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika sosial, politik, dan budaya, mengakibatkan kebutuhan terhadap berbagai komoditi, termasuk komoditi mineral nikel dapat memacu pertumbuhan ekspor di negara pemilik sumber daya mineral.

Berdasarkan pertimbangan di atas, pengembangan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan bagian penting dalam pembangunan suatu negara, provinsi, kabupaten/ kota untuk menghadapi persaingan perubahan ekonomi wilayah yag baik dengan mempertimbangkan aspek sumber daya yang dimiliki, aspek internal, sosial, dan pertumbuhan ekonomi.

(29)

BAB 3

KONDISI

SMELTER

NIKEL DI PROVINSI

SULAWESI TENGGARA

3.1. Cadangan dan Sumber Daya Nikel

Mengingat banyaknya batuan yang termasuk dalam Mandala Geologi Sulawesi Bagian Timur, yang didominasi oleh batuan ultrabasa, maka Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi endapan mineral logam yang sangat erat kaitannya dengan batuan tersebut, yaitu mineral-mineral logam dasar, seperti nikel, besi, dan kromit. Berdasarkan batuan pembawanya (batuan ultrabasa), endapan nikel di daerah ini memiliki sebaran yang meliputi beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka Utara, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton, dan Kota Bau-Bau (Gambar 3.1).

Sumber : Puslitbang Tekmira ESDM

Gambar 3.1.

Jumlah IUP Nikel Operasi Produksi di Sulawesi Tenggara Kab.  Buton   Kab.  Bombana   Kab.  Konawe   Kab.  Konawe  Utara   Kab.  Konawe  Selatan   Kab.  Kolaka   Kab.  Kolaka  Utara   Kota  Bau-­‐bau   Lintas  Kabupaten   Lintas  Propinsi  

5

4

 

  3  

1

7  

8  

1

8  

1

1  

(30)

Luas sebaran endapan nikel diperkirakan mencapai 480.032,13 Ha, dengan status kawasan 283.561,84 Ha (59%) masuk kawasan Areal Penggunaan Lain (APL), 170.300 Ha (35%) kawasan Hutan Lindung (Hl), dan 26.170, 28 Ha (5%) masuk dalam kawasan Hutan Konservasi.

Dalam upaya pengembangan Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dengan sektor pertambangan sebagai salah satu sektor strategis, maka empat dari tujuh kabupaten yang menjadi alternatif untuk pembangunan industri pertambangan adalah Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara, Kolaka Utara, dan Kolaka (Gambar 3.2).

Sumber : Bappeda Prov. Sultra

Gambar 3.2.

Peta Sebaran Mineral Provinsi Sulawesi Tenggara 3.1.1. Pertambangan Nikel di Sulawesi Tenggara

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki sumber daya nikel cukup besar. Dari jumlah izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan masing-masing Kabupaten/Provinsi sebanyak 528 IUP, 350 IUP (66%) adalah IUP nikel. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan di Provinsi Sulawesi Tenggara didominasi oleh kegiatan usaha nikel (Gambar

(31)

3.3). IUP nikel terbanyak ada di Kabupaten Konawe Utara, dan di posisi kedua berada di Kabupaten Kolaka Utara, berikutnya Kabupaten Konawe, Kabupaten Kolaka, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton, serta sedikit di Kabupaten lainnya.

Sumber : Puslitbang Tekmira ESDM

Gambar 3.3.

Status IUP Nikel di Sulawesi Tenggara

Jumlah IUP nikel yang masih aktif melakukan kegiatan produksi per Oktober 2013 hanya 61 IUP (17%), status operasi produksi 166 IUP (47%), dan eksplorasi 184 IUP (52%). Ada enam daerah yang banyak memiliki IUP nikel, yaitu Kabupaten Konawe Utara 157 IUP dengan operasi produksi aktif sebanyak 14 IUP, Kolaka Utara 50 IUP dengan 10 IUP operasi produksi aktif, Kabupaten Konawe 46 IUP dengan tiga IUP operasi aktif, Kabupaten Kolaka 31 IUP dengan 15 IUP-nya berstatus IUP operasi aktif, Kabupaten Konawe Selatan 29 IUP dengan tiga IUP operasi aktif dan Bombana 19 IUP dengan 4 IUP operasi aktif (Tabel 3.1).

0   20   40   60   80   100   120   140   160   180   Jumlah  IUP  

(32)

Tabel 3.1.

Status IUP Nikel per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara

No Kabupaten /Daerah Jumlah IUP Nikel IUP Produksi Operasi

Operasi Produksi Aktif Eksplorasi 1 Buton 78 11 5 5 6 2 Bombana 86 19 11 4 8 3 Butur 14 1 1 4 Muna 3 1 1 5 Konawe 54 46 12 3 34 6 Konawe Utara 159 157 71 14 86 7 Konawe Selatan 31 29 12 8 17 8 Kolaka 35 31 27 16 4 9 Kolaka Utara 60 50 26 10 24 10 Bau bau 3 2 1 1 11 Lintas Kabupaten 3 1 1 1 0 12 Lintas Provinsi 1 1 1 13 Kontrak karya 1 1 1 Jumlah 528 350 166 61 184

Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2013, luas wilayah IUP nikel yang aktif melakukan kegiatan produksi mencapai 118.186 Ha (atau 118

Km2), berarti hanya 0,3% dari luas daratan Sulawesi Tenggara

(38.140 km2). Daerah yang paling luas digunakan untuk kegiatan penambangan adalah Konawe Utara (42.441Ha) dan Kolaka (8.864 Ha).

Dari jumlah IUP operasi produksi aktif dan telah menandatangani pakta integritas membangun pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel ada tujuh perusahaan (Tabel 3.2). Tiga perusahaan yang telah mempunyai kemajuan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel per 30 September 2013, adalah PT. Cahaya Modern Metal Industri, PT. Kembar Mas dan PT. Cinta Jaya.

(33)

Tabel 3.2.

Perusahaan yang telah Menandatangani Pakta Integritas Membangun Smelter

Perusahaan Investasi Mineral Kabupaten

PT Cahaya Modern Metal

Industri Smelter Nikel Konawe

PT Kembar Mas Smelter Nikel Konawe Utara

PT BMS Group Smelter Nikel Konawe Utara

PT Jilin Smelting Indonesia Smelter Nikel Bombana

PT Jian Metal Indonesia Smelter Nikel Konawe Utara

PT Elit Kharisma Utama Smelter Nikel Konawe Utara

PT Cinta Jaya Smelter Nikel Konawe Utara

Terkait dengan peraturan larangan ekspor bijih nikel, maka di Provinsi Sulawesi Tenggara ada 20 perusahaan yang akan

membangun smelter nikel (Lampiran 1). Di antara keduapuluh

perusahaan tersebut, ada enam perusahaan dengan tingkat kemajuan pembangunan smelter mencapai di atas 30%, yaitu PT. Jilin Metal, PT. Bintang Smelter Indonesia di Konawe Selatan; PT. Cahaya Modern Metal Industri di Konawe; PT. Kembar Emas Sultra, PT. Karyatama Konawe Utara di Konawe Utara; PT. Bhinneka Sekarsa Adidaya di Kolaka Utara. Selain itu, ada tujuh perusahaan

yang telah menandatangani pakta integritas membangun smelterper

tanggal 26 april 2013. Ketujuh perusahaan tersebut tersebar di tiga kabupaten, yaitu Konawe Utara lima perusahaan, Konawe satu perusahaan, dan Bombana satu perusahaan.

Salah satu perusahaan yang telah menandatangani fakta

integritas untuk membangun smelter adalah PT Cahaya Modern

Metal Industri di Kabupaten Konawe telah mencapai lebih dari 60% (Gambar 3.4).

(34)

Gambar 3.4.

Smelter Nikel PT. Cahaya Modern Metal Industri

Sedangkan PT Kembar Emas Sultra, yang juga telah menandatangani fakta integritas, baru menyelesaikan pembangunan smelter-nya sekitar 30%, atau tahap pengerjaan konstruksi (Gambar 3.5).

Gambar 3.5.

(35)

Apabila diasumsikan bahwa penjualan bijih nikel identik dengan jumlah yang diproduksi, maka jumlah produksi nikel selama periode 2012-2013, atau sampai sebelum diberlakukan larangan ekspor bijih nikel bulan Januari 2014 dapat dilihat pada Tabel 3.3. Pada Tabel tersebut menunjukkan tingkat penjualan bijih nikel pada tahun 2012 sebesar 18,678,250 ton, dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan yang mencapai 29,431,002 ton, atau mengalami peningkatan sebesar 58%. Secara nominal kenaikan produksi paling tinggi adalah di Kabupaten Konawe Selatan dan Konawe Utara yang masing-masing mengalami kenaikan 4,898,505 ton dan 3,448,050 ton (Tabel 3.3).

Tabel 3.3.

Penjualan Bijih Nikel per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara

No Kabupaten Tahun Kenaikan

2012 2013 Nominal % 1 Konawe Utara 5,707,841 9,155,891 3,448,050 60 2 Buton 842,014 1,252,714 410,700 49 3 Kolaka Utara 3,043,410 4,239,776 1,196,366 39 4 Bombana 562,382 1,094,568 532,186 95 5 Konawe Selatan 2,618,297 7,516,802 4,898,505 187 6 Konawe 56,758 -56,758 -100 7 Kolaka 3,458,715 3,547,825 89,110 3 8 Prov. Sultra 2,388,833 2,623,426 234,593 10 Jumlah 18,678,250 29,431,002 10,752,752 58

Sebagian sumber daya nikel di Sulawesi Tenggara sudah diolah oleh PT Aneka Tambang di Kolaka yang menghasilkan FeNi, dan satu perusahaan di Konawe yang menghasilkan nickel pig iron (NPI). Sebagian besar produksi bijih nikel yang diproduksi tersebut diekspor ke Tiongkok dan Jepang. Ironisnya, untuk memenuhi kebutuhan nikel dalam negeri, Indonesia harus mengimpor kembali nikel yang sudah diolah di Jepang.

Pengembangan industri pengolahan pemurnian nikel, seperti

antara lain melalui proses dapat meningkatkan nilai tambah

(36)

beberapa teknologi proses pengolahan dan pemurnian nikel selain menggunakan proses mond, seperti pengolahan biji nikel laterit dan peningkatan perolehan total nikel dan kobal pada proses leaching bijih nikel laterit.

Pada saat ini sudah ada teknologi pengolahan dan pemurnian nikel berkadar rendah yang dapat menjadi peluang untuk mengolah bijih nikel. Bijih nikel laterit merupakan salah satu sumber bahan logam nikel yang banyak terdapat di Sulawesi Tenggara, dengan kandungan nikelnya lebih kecil dari 2% dan belum termanfaatkan dengan baik.

Proses pengolahan bijih nikel laterit kadar rendah pada bijih nikel laterit jenis limonit dan jenis saprolit telah berhasil dilakukan. Selain itu, telah ditemukan cara untuk memperbaiki kinerja proses leaching dengan AAC (Ammonia Ammonium Carbonate) terhadap bijih nikel laterit kadar rendah yang kandungan magnesiumnya sampai 15%, yaitu dengan penambahan bahan aditif baru seperti kokas dan garam NaCl yang digabungkan dengan aditif konvensional sulfur ke dalam pellet.

Dengan mengolah bijih nikel menjadi ferronickel, harganya dapat meningkat dari USD55/ton menjadi USD232/ton, atau meningkatkan nilai komoditi sekitar 400%. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya nikel sampai ke proses pengolahannya harus memperhatikan berbagai faktor, yaitu pasokan bijih nikel, pasokan energi, dan kemudahan - kemudahan utama lainnya yang diperlukan oleh investor maupun calon investor yang akan membangun smelter. Jika smelter berdiri, maka akan ada tambahan pemasukan bagi negara sebesar 300%, ketimbang nikel hasil tambang diekspor dalam bentuk bijih. Smelter yang akan dibangun juga bakal menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu, produksi tambang juga lebih terkendali, memacu industri hilir karena ketersediaan bahan baku dalam negeri, serta mengurangi kerusakan lingkungan karena mineral yang tidak dimanfaatkan dapat

dikembalikan. Smelter yang akan dibangun juga akan memberikan

efek berantai yang positif di sektor perekonomian, dengan adanya pemasok dan industri-industri ikutannya, dan pastinya meningkatkan lapangan kerja. Selain itu, akan terjadi pemerataan perekonomian, karena industri tidak hanya terpusat di Jawa tapi juga di daerah-daerah lain.

(37)

Bijih nikel baru sebagian kecil yang diolah menjadi ferronikel dan nikel matte, sedangkan sebagian besar masih diekspor dalam bentuk bijih sebelum diberlakukan larangan ekspor bijih mineral. Perlu adanya investasi untuk pengembangan industri smelter ferro nikel atau produk olahan lainnya, misalnya minimal untuk

pemrosesan crude ferro nickel (5-10% Ni), yang selanjutnya dapat

diproses menjadi ferro nickel seperti yang dilakukan PT Aneka

Tambang.

Berdasarkan kuesioner dan wawancara dengan pemilik IUP nikel di Sulawesi Tenggara, diperoleh informasi bahwa sebagian besar IUP kecil tidak akan membangun smelter dan mereka

mengharapkan ada investor untuk membangun smelter yang

kebutuhan bijih nikelnya dipasok dari IUP-IUP kecil tersebut. Permasalahan yang dihadapi para pemegang IUP kecil adalah keterbatasan kemampuan finansial untuk membangun smelter, jumlah cadangan dan teknologi.

3.1.2. Pola Pemenuhan Bijih Nikel

Pola pemenuhan bijih nikel untuk smelter di Sulawesi

Tenggara berdasarkan pada rencana pembangunan smelter dan kebutuhan bijih, jumlah IUP produksi bijih, dan jumlah cadangan. Jumlah perusahaan yang sudah dan merencanakan membangun smelter nikel adalah sebanyak 20 perusahaan dan jumlah IUP aktif produksi sebelum diberlakukan larangan ekspor bijih adalah tersebar di Konawe Selatan lima smelter delapan IUP, Konawe Utara delapan smelter 14 IUP, Kolaka Utara tiga smelter 10 IUP, Bombana dua smelter empat IUP, Kolaka satu smelter 16 IUP, dan Konawe satu Smelter 3 IUP. Jumlah serapan bijih nikel dari rencana smelter tersebut adalah sebanyak 16.821.000 ton per tahun dengan kadar Ni berkisar antara 1,1 - 1,9%. Di sisi lain jumlah rata - rata produksi nikel per tahun di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 21.576.875 ton, maka jumlah bijih nikel yang tidak terserap per tahun sebanyak 8.805.409 ton. Apabila dirinci sesuai dengan rencana pembangunan smelter, maka serapan bijih untuk smelter di masing-masing daerah adalah di Konawe Selatan sebanyak 4.671.000 ton, Konawe Utara 3.840.000 ton, Kolaka Utara 1.900.000 ton, Bombana 2.060.000 ton, Kolaka 3.500.000 ton, dan Konawe 850.000 ton. Apabila dikaitkan dengan jumlah IUP yang aktif melakukan kegiatan produksi (60 IUP) dan tingkat konsumsi bijih nikel pada smelter di masing-masing daerah, menunjukkan adanya potensi kelebihan pasokan sebesar

(38)

8.805.409 ton/tahun. Kelebihan pasokan ini hanya memperhatikan jumlah IUP yang aktif melakukan kegiatan produksi dan belum termasuk potensi pasokan bijih nikel dari IUP produksi tidak aktif yang jumlahnya mencapai 164 IUP (Tabel 3.4).

Tabel 3.4.

Produksi dan Konsumsi Bijih Nikel Dalam Rangka Pembangunan Smelter

Kabupaten

Jumlah IUP Produksi (ton) Kapasitas (ton) Kelebihan Pasokan (ton) Produksi

tidak aktif Produksi Aktif

Konawe Utara 71 14 7.431.866 3.840.000 3.591.866 Buton 5 5 1.047.364 0 1.047.364 Kolaka Utara 26 10 3.641.593 1.900.000 1.741.593 Bombana 11 4 828.475 2.060.000 1.231.525 Konawe Selatan 12 8 5.067.549 4.671.000 396.549 Konawe 12 3 56.758 850.000 793.242 Kolaka 27 16 3.503.270 3.500.000 3.270 Jumlah 164 60 21.576.875 1.6821.000 8.805.409

Kelebihan pasokan bijih nikel mengindikasikan ada beberapa IUP aktif produksi tidak melakukan kegiatan penambangan karena perusahaan smelter pada umumnya bekerja sama dengan IUP - IUP besar (grup) dan belum menyentuh pada IUP - IUP kecil. Untuk mengatasi permasalahan ini ada tiga skenario yang dapat ditempuh, yaitu:

a. Mendistribusikan keseluruhan potensi kosumsi bijih nikel untuk smelter kepada seluruh IUP aktif produksi secara merata untuk masing-masing wilayah.

b. Membangun smelter pada wilayah yang kelebihan pasokan bijih. c. Memasok bijih nikel di suatu daerah ke wilayah yang kekurangan

pasokan.

Untuk skenario a, distribusi bijih nikel pada umumnya dapat dipenuhi oleh daerah setempat, kecuali daerah Bombana dan Konawe yang kekurangan pasokan, maka pemenuhan bijihnya dapat dipenuhi dari IUP dari luar daerah atau dari IUP Produksi (pasif) daerah setempat. Sedangkan di daerah Buton ada lima IUP

(39)

produksi aktif, empat di antaranya dimiliki oleh PT Arga Morini Indah (empat IUP) dengan luas lahannya mencapai 3.883 Ha, cukup potensial membangun smelter atau kerja sama dengan investor lain, sehingga produksi bijih nikel dari IUP di wilayah ini dapat dapat ditampung oleh smelter tersebut.

Skenario b dapat dicapai melalui konsorsium antara para pemilik IUP produksi aktif/pasif skala kecil atau para pemilik IUP kecil dengan calon investor (custom plant). Konsorsium pembangunan smelter dapat dilakukan melalui pengumpulan modal dari masing-masing pemilik IUP, dan setiap IUP dapat memasok bijih nikel yang disesuaikan dengan rasio kontribusi modal yang diserahkan untuk membangun smelter tersebut.

Skenario c dapat dilakukan dengan memasok bijih nikel dari suatu daerah ke daerah yang mempunyai kekurangan pasokan (Tabel 3.5), seperti Kabupaten Bombana yang memiliki 4 IUP aktif produksi dengan kemampuan memasok bijih nikel hanya 828.475 ton/tahun, tetapi potensi konsumsinya mencapai 2.060.000 ton/tahun. Demikian juga dengan Kabupaten Konawe yang memiliki tiga IUP aktif produksi dengan kemampuan memasok bijih nikel hanya 56.758ton/tahun, tetapi potensi konsumsinya mencapai 850.000 ton/tahun.

Tabel 3.5.

Distribusi Pasokan Bijih Nikel per Kabupaten

Kabupaten Jumlah IUP Produksi Aktif Potensi konsumsi (ton) Bagian Pasokan per IUP (ton) Konawe Utara 14 3.840.000 274.285 Buton 5 0 0 Kolaka Utara 10 1.900.000 190.000 Bombana 4 2.060.000 515.000 Konawe Selatan 8 4.671.000 583.875 Konawe 3 850.000 283.333 Kolaka 16 3.500.000 218.750 Jumlah 60 16.821.000 2.065.243

(40)

BAB 4

ANALISIS DAMPAK PEMBANGUNAN

SMELTER

DI PROVINSI SULAWESI

TENGGARA

4.1. Analisis Dampak Ekonomi Pembangunan Pabrik Pengolahan dan Pemurnian Nikel

Koridor Pembangunan Ekonomi Sulawesi Tenggara

Dalam rangka mendukung pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, salah satu strategi utama yang digunakan

adalah mengembangkan koridor-koridor ekonomi melalui

pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di setiap pulau/kepulauan dengan mengembangkan klaster industri berbasis sumber daya alam. Mengingat Indonesia terdiri atas ribuan pulau dengan berbagai kekhasan yang dimilikinya, terutama ditinjau dari aspek kekayaan sumber daya alam, penduduk, tingkat pertumbuhan ekonomi, infrastruktur, dan lokasi demografi, maka percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dibagi dalam enam Koridor Ekonomi (KE). Keenam KE tersebut adalah:

a. KE Sumatera; b. KE Jawa c. KE Kalimantan;

d. KE Sulawesi dan Maluku Utara; e. KE Bali – Nusa Tenggara; f. KE Papua – Maluku.

Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, Provinsi Sulawesi Tenggara termasuk ke dalam KE Sulawesi dan Maluku Utara, di samping Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo, dengan

tema pengembangan adalah “Pusat Produksi dan Pengolahan

Hasil Pertanian, Perkebunan dan Perikanan Nasional”, dan fokus

pada pertambangan nikel untuk diolah menjadi bahan komoditi ekspor setengah jadi dan komoditi produk jadi (Gambar 4.1). Dengan demikian terlihat bahwa KE Sulawesi dan Maluku Utara

(41)

memang bertumpu kepada hasil-hasil tambang yang patut dikembangkan, khususnya sumber daya dan cadangan tambang nikel yang dimiliki oleh Provinsi Sulawesi dan Maluku Utara yang cukup besar.

Rencana Pabrik Pengolahan dan Pemurnian (Smelter) Nikel Di

Provinsi Sulawesi Tenggara

Tambang nikel merupakan andalan utama Provinsi Sulawesi Tenggara, yang mampu meningkatkan perekonomian daerah. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Minerba KESDM tahun 2015 dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sulawesi Tenggara, ada dua puluh lima perusahaan besar yang yang akan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara dan seluruhnya akan beroperasi mulai pada tahun 2018, yaitu:

1. PT. Cahaya Modern Metal Industri 2. PT. Antam Fe-Ni

3. PT. Antam Pomala (Ekspansi) 4. PT. Macika Mada Madana 5. PT. Integra Mining Nusantara 6. PT. Karyatama Konawe Utara 7. PT. Sambas Mineral Mining 8. PT. Putra Mekongga Mining 9. PT. Stargate Pacipic Resources 10. PT. Jilin Metal Indonesia (Billy Group) 11. PT. Bososi Pratama

12. PT. Cinta Jaya

13. PT. Bhineka Sekarsa Adidaya 14. PT. Cipta Djaya Surya

15. PT. Elit Kharisma Utama 16. PT. Konawe Nikel Nusantara 17. PT. Kembar Emas Sultra 18. PT. Riota Jaya Lestari 19. PT. Sriwijaya Raya 20. PT. Bola Dunia Mandiri 21. PT. Surya Saga Utama

22. PT. Bintang Smelter Indonesia (Ifishdeco) 23. PT. Dharma Rosadi Internasional

24. PT. Pulau Rusa Tamita 25. PT. Tristaco Mineral Makmur.

(42)

Terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mewajibkan proses pengolahan dan pemurnian bagi berbagai jenis mineral termasuk mengolah nikel menjadi nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain, sebelum diekspor, di satu sisi akan membuka peluang bagi peningkatan penyerapan tenaga kerja dan PAD melalui pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian nikel tersebut, namun di sisi lain diperlukan upaya untuk pengadaan energi dalam rangka mengoperasikan pabrik pengolahan/pemurniannya, di samping perbaikan/ pengadaan infrastruktur. Sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara beserta pemerintah kabupaten/ kota agar nikel dapat dijadikan andalan bagi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dari 25 pabrik pengolahan dan pemurnian nikel, ada 20 pabrik pengolahan yang sudah siap berproduksi.

Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Gambar 4.1.

(43)

Di bidang energi, tidak terlalu banyak potensi yang dapat dikembangkan, sebab Provinsi Sulawesi Tenggara tidak memiliki sumber daya energi yang besar (sektor pengadaan listrik dan gas hanya 0,03% dari struktur PDRB Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2014). Potensi batubara yang dimiliki Provinsi Sulawesi Tenggara tidak terlalu signifikan untuk memasok kebutuhan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel. Padahal, pengolahan nikel menjadi nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain memerlukan energi yang sangat besar, sehingga mau tidak mau Provinsi Sulawesi Tenggara terpaksa harus membangun sumber daya energi untuk mendukung pabrik pengolahan dan pemurnian nikel tersebut atau mendatangkan sumber energi dari luar Provinsi.

Atas dasar kenyataan di atas, pengembangan industri pengolahan nikel menjadi nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain di Provinsi Sulawesi Tenggara memerlukan upaya dan kerja keras, baik dari Pemerintah Pusat maupun pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara, agar mampu secepatnya merealisasikan rencana pabrik pengolahan dan pemurnian. Untuk itu kebijakan yang dapat mendorong investor baru atau meningkatkan investasi yang sudah ada, terutama dalam penyediaan energi, menjadi prasyarat utama dalam mewujudkan rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian tersebut.

(44)

32Dampak Pembangunan Smelter di Kawasan Ekonomi Khusus Provinsi Sulawesi Tenggara Tabel 4. 1. P ot ens i S um ber D aya B ahan G al ian N ik el di P rovi ns i S ul aw es i T enggar a No Kabupaten Sumber Day a (T on) Total Produksi Periode 2008 - 2013 Sumber Day a Tersisa (T on)

Kadar Hasil Uji

Laboratorium Sampel Bahan Galian 1 K ab K onaw e U tar a 46 .007 .440 .652 ,72 16 .249 .021 ,00 45 .991 .191 .631 ,72 N i=1, 91 -2, 4% ; F e=1 4, 07 -17, 47% 2 K ab B om bana 28 .200 .014 .800 ,00 5. 335 .801 ,00 28 .194 .678 .999 ,00 3 K ab K ol ak a 12 .819 .244 .028 ,00 16 .071 .935 ,90 12 .803 .172 .092 ,10 N i=2, 17% ; F e=34% 4 K ab K onaw e S el at an 4. 348 .838 .160 ,00 8. 007 .223 ,00 4. 340 .830 .937 ,00 N i=2, 11 -2, 13% ; F e= 21, 96 -23, 03% 5 K ab K ol ak a U tar a 2. 763 .796 .196 ,00 6. 654 .418 ,29 2. 757 .141 .777 ,71 N i=1, 76 -1, 9% ; F e=1 8, 1-20, 18% 6 K ab B ut on dan K ot a B au -B au 1. 676 .332 .000 ,00 2. 035 .966 ,00 1. 674 .296 .034 ,00 N i= 2-2, 07% ; F e= 20, 10 -34% 7 K ab. K onaw e 1. 585 .927 .189 ,00 40 .000 ,00 1. 585 .887 .189 ,00 N i= 1,8 -2% ; F e=18, 03 -16, 25% 8 Li nt as K abupat en 2. 568 .344 ,00 J u m l a h 97 .401 .593 .025 ,72 56 .962 .709 ,19 97 .344 .630 .316 ,53 S um ber : D inas P er tam bangan E S D M P rovi ns i S ul aw es i Tenggar a, 2015  

(45)

Dampak Ekonomi Pabrik Pengolahan Dan Pemurnian Nikel

Sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri sebagai bagian dari upaya meningkatkan nilai tambah mineral dan/atau batubara (Pasal 102 dan Pasl 103 ayat (1)). Khusus untuk mineral nikel, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Di Dalam Negeri, menjelaskan bahwa mineral nikel wajib dimurnikan terlebih dulu sebelum dijual ke luar negeri. Ini berarti mineral nikel harus diekspor dalam bentuk logam,

bukan konsentrat. Oleh karena itu, pembangunan smelter nikel di

Provinsi Sulawesi Tenggara akan menghasilkan logam nikel dalam bentuk nikel mate, logam paduan, logam nikel, dan lain-lain.

Dengan adanya rencana pembangunan pabrik pengolahan (smelter) nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara akan memberikan dampak, baik positif maupun negatif, bagi wilayah tersebut. Dampak positif dari rencana pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel terhadap ekonomi dan sosial di Provinsi Sulawesi Tenggara secara langsung akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan perekonomian dan pembangunan daerah termasuk masyarakat di dalamnya, sehingga akan menyebabkan:

1. meningkatnya perekonomian daerah berupa peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB);

2. bertambahnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (meningkatnya lapangan pekerjaan);

3. adanya peningkatan pendapatan setiap rumah tangga;

4. adanya pengaruh keterkaitan dari kegiatan ekonomi backward

linkage (pengaruh keterkaitan kebelakang) maupun forward lingkage (pengaruh keterkaitan ke depan).

Adapun dampak negatif yang mungkin muncul adalah: 1. kehilangan pendapatan sementara dari sektor pertambangan

karena berhentinya kegiatan tambang, hingga pabrik

pengolahan selesai dan produksi dimulai (comissioning);

2. terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara hingga pabrik pengolahan selesai, sehingga terdapat angka pengangguran terhadap tenaga kerja langsung dan tidak langsung untuk sementara;

(46)

3. laju pertumbuhan ekonomi bawah terhambat disebabkan CSR/ Comdev dari yang selama ini diperoleh dari perusahaan tambang untuk sementara berhenti;

4. untuk sementara terjadi keresahan sosial dari masyarakat yang selama ini hidup tergantung dari pekerjaan tambang;

5. terganggunya pasar dunia yang selama ini tergantung kepada bahan mentah Indonesia.

4.1.1. Dampak terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Produk Domestik Bruto (PDB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam suatu negara selama satu tahun, termasuk hasil produksi dan jasa yang dihasilkan perusahaan/orang asing yang berada di negara bersangkutan. Sedangkan pengertian Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha ekonomi dalam wilayah/kabupaten/kota/provinsi selama satu tahun, termasuk hasil produksi dan jasa yang dihasilkan perusahaan/ orang asing yang berada di wilayah bersangkutan.

PDB maupun PDRB, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan, merupakan indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu.

a) PDB maupun PDRB atas dasar berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun untuk mengetahui pergeseran dan struktur ekonomi wilayah/kabupaten/kota/provinsi/negara bersangkutan;

b) PDB maupun PDRB atas dasar harga konstan menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun wilayah/kabupaten/kota/provinsi/ negara bersangkutan.

Berdasarkan harga konstan tahun 2010, pada tahun 2012, pendapatan regional bruto Provinsi Sulawesi Tenggara tercatat sebesar Rp59,78 triliun. Dengan jumlah penduduk sebanyak 2.345.465 jiwa, maka pendapatan perkapita sebesar Rp25.489.785. Di tahun 2013, pendapatan regional meningkat

(47)

menjadi Rp64,27 triliun dan jumlah penduduk menjadi 2.369.713 jiwa, sehingga pendapatan perkapita sebesar Rp26.817.472. Pada tahun 2014, pendapatan regional meningkat lagi menjadi Rp68,30 triliun dan jumlah penduduk sebanyak 2.448.081 jiwa, sehingga pendapatan perkapita sebesar Rp27.898.883 (lihat Tabel 4.2).

Selama tiga tahun terakhir (2012 - 2014), perkembangan ekonomi Sulawesi Tenggara menunjukkan pertumbuhan rata-rata 6,26% setiap tahunnya. Dari Tabel 4.1 dapat diketahui Sektor Pertambangan memberikan kontribusi paling tinggi kedua setelah Sektor Pertanian dan Kehutanan, sementara sektor penyumbang terkecil adalah Sektor Pengadaan Listrik dan Gas. Jika melihat pertumbuhan ekonomi ini, maka angka pertumbuhan di Provinsi Sulawesi Tenggara lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6,02%, meski pangsa sumbangan Provinsi Sulawesi Tenggara masih relatif kecil terhadap perekonomian nasional yang besarnya rata-rata sudah mencapai angka Rp2.000 triliun lebih, yaitu hanya sebesar 0,54%.

Berdasarkan harga berlaku menurut lapangan usaha, pada tahun 2012, pendapatan regional bruto Provinsi Sulawesi Tenggara tercatat sebesar Rp64,69 triliun. Dengan jumlah penduduk sebanyak 2.345.465 jiwa, maka pendapatan perkapita sebesar Rp 27.582.584. Di tahun 2013, pendapatan regional meningkat menjadi Rp71,04 triliun dan jumlah penduduk 2.369.713 jiwa, sehingga pendapatan perkapita sebesar Rp29.641.133. Pada tahun 2014, pendapatan regional meningkat lagi menjadi Rp78,62 triliun dan jumlah penduduk sebanyak 2.448.081 jiwa, sehingga pendapatan per kapita sebesar Rp32.115.109 (lihat Tabel 4.3).

(48)

Tabel 4. 2. P D R B at as D as ar H ar ga K ons tan (J ut a R upi ah) M enur ut Lapangan U saha T ahun D as ar 2010, 2012 – 2014 No La pa nga n U sa ha 2012 2013 2014 LP 1 P er tani an, K ehut anan, dan P er ik anan 14 625 406, 59 15 508 217, 36 16 921 607, 78 9, 11 2 P er tam bangan dan P enggal ian 13 833 548, 85 14 866 536, 76 14 148 927, 78 - 4, 83 3 In du st ri P en go la ha n 3 669 856, 82 3 824 676, 91 4 120 653, 04 7, 74 4 P engadaan Li st rik , G as 27 241, 53 30 958, 17 34 240, 72 10, 60 5 P engadaan A ir 119 052, 07 130 165, 84 139 232, 37 6, 97 6 K on st ru ksi 6 849 365, 64 7 441 991, 91 8 380 774, 94 12, 61 7 P er dagangan B es ar dan E cer an, dan R epar as i M obi l dan M ot or 6 888 012, 93 7 515 269, 82 8 139 100, 97 8, 30 8 Tr ans por tas i dan P er gudangan 2 635 367, 94 2 805 301, 60 2 949 138, 28 5, 13 9 P eny edi aan A kom odas i dan M ak an M inum 330 957, 84 358 542, 18 392 293, 18 9, 41 10 In fo rm asi d an K om un ika si 1 314 981, 83 1 496 449, 83 1 540 202, 45 2, 92 11 Jas a K euangan 1 184 844, 54 1 352 627, 27 1 480 342, 34 9, 44 12 R eal E st at e 1 044 642, 05 1 103 427, 99 1 176 666, 07 6, 64 13 Jas a P er us ahaan 113 427, 93 128 187, 50 140 671, 54 9, 74 14 A dm ini st ras i P em er int ahan, P er tahanan dan J am inan S os ial W aj ib 3 247 714, 52 3 388 607, 67 3 828 331, 51 12, 98 15 Jas a P endi di kan 2 533 177, 05 2 824 985, 14 3 219 902, 00 13, 98 16 Jas a K es ehat an dan K egi at an S os ial 544 734, 91 605 007, 88 678 375, 94 12, 13 17 Jas a Lai nnya 823 066, 02 892 829, 95 1 008 264, 41 12, 93 P RODUK DOM ES TI K RE GI ONAL BRUT O S UL AW ES I T ENGGARA 59 785 399, 06 64 273 783, 78 68 298 724, 30 6, 26 P enduduk P er tengahan T ahun 2. 345. 465 2. 396. 713 2. 448. 081 P D R B P er kapi ta A D H B T ahun D asar 2010 ( rupi ah) 25. 489. 785 26. 817. 472 27. 898. 883 2012: A ngk a S em ent ar a; 2013: A ngka S angat S em ent ar a; 2014: A ngk a S angat -S ang at S em ent ar a

(49)

Tabel 4. 3. P D R B A tas D as ar H ar ga B er lak u (J ut a R upi ah) M enur ut Lapangan U saha T ahun D as ar 2010, 2012 s .d 2014 La pa nga n U sa ha 2012 2013 2014 Str uk tu r P DRB (2 ) (3 ) (4 ) (5 ) (6 ) P er tani an, K ehut anan, dan P er ik anan 16 305 585, 70 18 095 983, 92 20 158 060, 05 25, 64 P er tam bangan dan P enggal ian 14 865 627, 39 15 582 057, 71 15 832 070, 66 20, 14 Indus tri P engol ahan 3 874 685, 94 4 181 864, 04 4 692 250, 20 5, 97 P engadaan Li st rik , G as 24 456, 08 25 355, 00 27 431, 10 0, 03 P engadaan A ir 122 135, 52 138 821, 87 163 052, 85 0, 21 K on st ru ksi 7 401 424, 51 8 329 077, 35 9 690 353, 19 12, 33 P er dagangan B es ar dan E cer an, dan R epar as i M obi l dan M ot or 7 262 524, 25 8 076 246, 80 9 225 945, 13 11, 73 Tr ans por tas i dan P er gudangan 2 813 820, 12 3 160 530, 12 3 433 715, 89 4, 37 P enyedi aan A kom odas i dan M ak an M inum 364 024, 29 404 096, 43 454 959, 19 0, 58 Inf or m as i dan K om uni kas i 1 286 578, 22 1 451 309, 48 1 478 510, 56 1, 88 Jas a K euangan 1 343 962, 42 1 601 078, 14 1 829 106, 63 2, 33 R eal E sta te 1 116 048, 23 1 194 101, 81 1 293 200, 08 1, 64 Jas a P er us ahaan 119 711, 83 136 981, 16 154 808, 82 0, 20 A dm ini st ras i P em er int ahan, P er tahanan dan Jam inan S os ial W aj ib 3 669 747, 34 4 035 943, 63 4 748 428, 74 6, 04 Ja sa P endi di kan 2 681 164, 20 3 020 320, 62 3 585 496, 40 4, 56 Jas a K es ehat an dan K egi at an S os ial 589 730, 01 662 907, 14 760 782, 18 0, 97 Jas a Lai nnya 852 758, 51 944 613, 63 1 092 217, 49 1, 39 DUK DO M ES TI K RE G IO NA L BRUT O 64 693 984, 56 71 041 288, 85 78 620 389, 17 100, 00 P er te nga ha n Ta hun 2. 345. 465 2. 396. 713 2. 448. 081 B P er kap ita A D H B T ah un D asar 2010 (r up iah ) 27. 582. 584 29. 641. 133 32. 115. 109 2012: A ngk a S em ent ar a; 2013: A ngka S angat S em ent ar a; 2014: A ngk a S angat S angat S em ent ar a  

Gambar

Gambar 2.1. Peta Administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara  Utara     : Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi
Gambar 2.2. Kawasan Industri Prioritas Luar Jawa
Gambar 2.3. Sebaran Cadangan Nikel di Provinsi Sulawesi Tenggara  Tabel 2.1.
Gambar 2.4. Persentase penduduk usia 15+
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini yaitu (1) sektor pertanian, konstruksi, transportasi & komunikasi, dan sektor jasa menjadi sektor basis di Sulawesi Tenggara.. (2) Sektor listrik, gas, air

Dampak Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) terhadap Pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Tanjung Lesung Kabupaten Pandeglang Provinsi

Bila dilihat dari penciptaan sumber pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara Triwulan III-2015, Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto memiliki sumber pertumbuhan

Hasil penelitian ini yaitu (1) sektor pertanian, konstruksi, transportasi & komunikasi, dan sektor jasa menjadi sektor basis di Sulawesi Tenggara.. (2) Sektor listrik, gas, air

Dwi Susilawati, Analisis Hukum Pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, Medan,

Analisis Hukum Pengelolaan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus , Medan, skripsi Fakultas

Upaya Pemerintah Daerah dalam mengatasi hambatan optimalisasi PAD dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi daerah di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara antara lain melalui

35 PENGARUH SEKTOR EKONOMI DOMINAN TERHADAP KEMANDIRIAN FISKAL KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI SULAWESI TENGGARA Wilda Fatmala Politeknik Baubau Email : wildafatmala.wf@gmail.com