• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP PENGAKUAN DAN

PELAKSANAAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA

A. Sejarah dan Landasan Hukum Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pada masa penjajahan Belanda, arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa belumlah dikenal oleh bangsa Indonesia karena pada saat itu yang berlaku adalah hukum adat, akan tetapi, orang-orang Eropa telah mengenal Lembaga arbitrase yang telah dibentuk sebelumnya oleh Pengusaha Belanda melalui Kamar Dagang Eropa yang diatur dalam hukum acara perdata bagi golongan orang Eropa Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering (“BRV”).1 Berdasarkan BRV, hukum acara arbitrase yang menyelesaikan sengketa

perdagangan diatur secara pasti dalam Pasal 615 – Pasal 651 BRV. Selanjutnya, dalam perkembangan yang terjadi, penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini mendapatkan permasalahan, yaitu pengadilan bagi golongan Eropa secara formal dihapuskan oleh pemerintah bala tentara Jepang yang berakibat bahwa BRV yang didalamnya juga mengatur mengenai lembaga arbitrase menjadi tidak berlaku.2

Sejarah hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase dimulai semenjak Indonesia terlepas dari penjajahan bangsa Belanda dan Jepang hingga kemudian meraih kemerdekaannya pada tahun 1945. Pada saat itu, Indonesia tidak memiliki undang-undang ataupun peraturan apapun yang dapat digunakan sebagai sistem hukum Negara, hingga pada akhirnya, Indonesia mengadopsi hukum peninggalan Belanda dan kemudian menganut sistem hukum Eropa Kontinental sebagai dasar sistem hukumnya hingga dikeluarkannya hukum yang lebih baru untuk

1 Prof. Abdulkadir Muhammad, SH, Hukum Perusahaan Indonesia, cetakan ke III,

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006) hlm.586

2 id.

(2)

mengakomodir permasalahan hukum yang berkembang seiring waktu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Karen Mills,3 “When Indonesia attained

independence, in 1945, the then governing Dutch laws remained in force until such time as new laws would be promulgated to replace them. Thus Indonesia remains a civil law jurisdiction, with Dutch law as the underlying basis.”

Sebagai Negara Hukum Eropa Kontinental, Indonesia mengadopsi Hukum perdata yang diatur dibawah Burgerlijke Wetboek (“BW”), hukum acara perdata umum untuk kalangan Jawa Madura – Herziene Indonesisch Reglement (“HIR”), hukum acara perdata Rechtsreglement Buitengewesten (“RBG”) dan BRV (Burgerlijke Reglement op de Rechtsvordering) yang pada dasarnya telah dihapuskan di era penjajahan Jepang. Perangkat-perangkat hukum inilah yang kemudian digunakan untuk mengatur arbitrase sebagai salah satu forum penyelesaian sengketa investasi serta transaksi bisnis dan perdagangan internasional.

A.1. HIR dan BRV sebagai Landasan Utama Hukum Arbitrase Indonesia

Landasan titik tolak pengaturan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa diluar pengadilan dalam sistem tata hukum Indonesia pada dasarnya terletak pada Pasal 377 HIR dan 705 RBG yang mengatur,4 “jika seseorang Indonesia dan orang

Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Kedua pasal tersebut menjadi landasan pengaturan dalam kehidupan dan praktek hukum arbitrase, karena pasal ini menegaskan bahwa:

a. Pihak-pihak yang bersangkutan diperbolehkan menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau arbitrase.

3

Karen Mills, Arbitration Process in Indonesia, (Hong Kong: Sweet & Maxwell, 1999), hlm.1

4

Pasal 377 HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 705 RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)

(3)

b. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk keputusan.

c. Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter wajib tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa.

Dengan jelas terlihat bahwa, Pasal 377 HIR dan 705 RBG memberikan kemungkinan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur kekuasaan pengadilan apabila mereka menghendakinya akan tetapi dengan satu syarat bahwa, hukum yang digunakan oleh pihak yang bersengketa tetap mengacu kepada hukum/peraturan yang berlaku bagi Bangsa Eropa.

Kehadiran dari dua pasal tersebut diatas hanyalah memberikan gambaran terhadap pemberian kewenangan berdasarkan doctrine of comity kepada juru pisah diluar pengadilan Indonesia tetapi pasal tersebut tidak memberikan pengaturan lebih lanjut terhadap suatu prosedur maupun pengaturan tata cara penyelesaian sengketa (hukum acara arbitrase) dari sejak awal pendaftaran penyelesaian sengketa hingga akhir dijatuhkannya putusan. Untuk mengisi ketiadaan pengaturan tentang prosedur dan tata cara penyelesaian sengketa melalui juru pisah (arbitrase), Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG langsung menunjuk aturan pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de Bergerlijke Rechtsverordering) yaitu pada pasal 615-651 sebagai hukum acara penyelesaian sengketa yang wajib untuk diikuti.

Sebagai pedoman umum aturan arbitrase yang diatur dalam RV meliputi lima bagian pokok berikut:5

1. Bagian Pertama (Pasal 615-623): Persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbiter.

2. Bagian Kedua (pasal 624-630): Pemeriksaan di muka badan arbitrase. 3. Bagian Ketiga (Pasal 631-640): Putusan arbitrase.

4. Bagian Keempat (Pasal 641-647): Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase.

5

(4)

5. Bagian Kelima (Pasal 647-651): Berakhirnya acara-acara arbitrase. Sistematika tersebut dibuat pada tahun 1849 dan pada saat itu mungkin sudah memenuhi kebutuhan praktek, akan tetapi, pada kenyataannya, ketentuan arbitrase yang diatur dalam BRV tidak mengatur aspek-aspek hukum internasional serta meliputi hal-hal yang berkenaan dengan pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing baik dalam kegiatan penanaman modal asing maupun dalam lalu lintas dunia perdagangan.6 Adapun alasan masih digunakannya HIR dan BRV

pada saat itu adalah karena adanya ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 45”) yang menentukan,7

“segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini.” Dengan adanya ketentuan Pasal tersebut dan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan belum adanya suatu peraturan khusus tentang arbitrase, membuat Indonesia tetap memberlakukan Reglemen Acara Perdata dibawah HIR, RBG dan BRV sebagai landasan utama pengaturan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa.

A.2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pendirian Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Indonesia pada dasarnya,8 telah melakukan berbagai usaha untuk

membangun kembali serta meningkatkan perkembangannya sebagai suatu Negara. Semenjak 1967, pada awal-awal diterapkannya Rencana Pembangunan Lima

6

Sujud Margono, ADR dan Arbitrase, op.cit., hlm.110

7

Pasal II Aturan Peralihan, Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sehubungan dengan pengaturan pasal ini, Karen Mills juga menambahkan bahwa, “Indonesia is a civil jurisdiction, having adopted Dutch Laws and practice at the time of Indonesia’s independence in 1945. However, one of the basic problems for the new independent government was how much of the law applied under the colonial system should be maintained. It was obvious that some aspects of the old legal system were at odds with the principle of a newly independent state. One such unacceptable principle was the maintenance of different laws for the different population group and thus unification of law in as many fields became a priority. The new Indonesian Constitution therefore brought all Indonesians under the same laws. The Law Constitution provided that old Dutch laws not in conflict with the new Constitution would remain valid, if not fully binding at least as guidelines, unless and until they were superseded by new laws of the Republic, sebagaimanatertulis dalam Karen Mills, Arbitration Process in Indonesia,loc.cit.

(5)

Tahun (“Repelita”) pertama oleh Pemerintah, Indonesia telah mempromosikan PMA (Penanaman Modal Asing) dan sejauh ini telah sukses menarik perhatian dari beberapa Negara maju seperti, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Inggris dan beberapa Negara tetangga di Asia. Indonesia memahami bahwa program penanaman modal ini adalah esensial terhadap perbaikan Negara dan secara fisik telah mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Indonesia sebagai Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam, memiliki banyak tenaga kerja, serta potensi pasar yang menjanjikan, mengundang PMA dan ahli manajerial teknis internasional. Indonesia telah menerbitkan peraturan, undang-undang serta hukum finansial aset dan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan PMA dimana ini merupakan bagian yang tersalurkan paling banyak oleh perusahaan-perusahaan bisnis asing, yang beroperasi secara utuh atau secara parsial di Indonesia. Indonesia bahkan mengijinkan perusahaan asing untuk tetap beroperasi di Indonesia dengan tetap berada di bawah hukum Negara asalnya atau Negara lainnya, yang mana secara konsekuen, dengan adanya hukum dari beberapa Negara ini menyebabkan sudut pandang hukum yang berbeda-beda dan terkadang berujung kepada suatu sengketa.

Sehubungan dengan kemungkinan sengketa yang muncul dari suatu hubungan hukum Indonesia dengan asing tersebut maka, dengan tetap memberlakukan BW sebagai Hukum Perdata, serta HIR dan BRV sebagai hukum

8

Priyatna Abdurrasyid mengatakan bahwa, “It is a fact, that Indonesia is sincere in the efforts to reconstruct and develop its country. Since 1967, at the beginning of the 1st

Five Year Plan, Indonesia has promoted Foreign Investment and so far has successfully attracted considerable attention, especially from potential creditor countries such as the USA, Japan, West Germany, France, Britain, and from the neighboring Asian countries as well. We are aware that there foreign investment programs are essential for the recovery of our country and so physically able to serve the welfare of our people. Indonesia, which is rich in natural resources and raw materials, where manpower is in abundance and with promising market potential, invites foreign capital and international technical managerial expertise’s. Indonesia has promulgated asset of financial and economic rules and regulations with the aim to encourage foreign capital investment and these are for the most part channeled through foreign business enterprises, whose operations wholly or partially take place in Indonesia. Indonesia even still permits foreign companies to carry out business in Indonesia and continue operating under the laws of their own or of other preferred countries; consequently, partly caused by various points of laws, the foreign business enterprises sometimes become entangled in disputes concerning their operation, among themselves or against nationals,” sebagaimana tertulis dalam Priyatna Abdurrasyid,

“Cooperation of The Indonesian National Board of Arbitration with Foreign Arbitration Tribunals”, dalam Arbitration in Indonesia and International Conventions on Arbitration, The Indonesian National Board of Arbitration (BANI), (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 22

(6)

acara perdata (arbitrase) Indonesia, Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kuasa Kehakiman (“UU 14/1970”) pada tanggal 17 Desember 1970. Penerbitan UU 14/1970 tersebut didasari oleh adanya suatu ketentuan yang diatur dalam UUD 1945 mengatur bahwa,9 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah

Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.” Ketentuan Pasal 24 tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lainnya yang membawahi penanganan dan pemeriksaan perkara arbitrase dikarenakan tidak adanya suatu peraturan dan badan peradilan khusus yang menangani arbitrase dibawah undang-undang pada saat itu.

Wewenang dan kompetensi Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan yang menangani dan memeriksa perkara arbitrase sebagaimana disebut diatas, diperkuat dengan ketentuan Pasal 3 UU 14/1970 yang mengatur bahwa,10 “semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia

adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-Undang,” ditambah dengan penjelasannya yang mengatur bahwa, “penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.” Munculnya UU 14/1970 sebagai undang-undang yang mengatur kuasa kehakiman sebagai lembaga peradilan yang menangani perkara arbitrase menandakan bahwa arbitrase dalam bentuk formal telah berkembang di Indonesia pada era 1970-an.

Penerbitan UU 14/1970 kemudian diikuti oleh pembentukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”) sebagai lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara arbitrase dalam negeri. Pembentukan BANI ini diprakarsai oleh Kamar Dagang Indonesia (“Kadin”) melalui akta pendirian yang telah disetujui dan didukung Menteri Kehakiman, Menteri Negara Perekonomian

9

Pasal 24, Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

10

Pasal 3 beserta penjelasannya, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kuasa Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, LN Tahun 1970 Nomor 74, TLN Nomor 2951

(7)

dan Perindustrian, Ketua Bappenas, Ketua Mahkamah Agung dan Presiden Republik Indonesia, yang dibuat di hadapan notaris pada tahun 1977 untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap sengketa yang diselesaikan dalam arbitrase, khususnya di Indonesia. Dasar hukum keberadaan BANI yang didirikan berdasarkan akta notaris tersebut kemudian ditingkatkan menjadi undang-undang, yaitu, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1987.11

Didirikannya BANI didasari oleh adanya suatu fakta bahwa kebutuhan akan kehadiran suatu lembaga arbitrase yang independen yang dikelola, diatur serta dijalankan dengan baik sangatlah penting dalam suatu kondisi dimana sedang terjadi peningkatan PMA melalui joint venture yang terjadi di wilayah Indonesia sebagai Negara berkembang. Fakta lainnya adalah dimana Perusahaan joint venture pada kenyataannya, mendirikan perusahaan di Indonesia, memperkerjakan tenaga kerja Indonesia, menyewa kediaman dan membeli kebutuhan harian dari warga Negara Indonesia, sehingga menurut hukum perdata internasional, Hukum Indonesia berlaku bagi mereka. Oleh karena itu, sangatlah logis dan disarankan bahwa, dalam hal terjadinya sengketa dalam suatu kontrak joint venture, para pihak akan membawa sengketa mereka kepada arbiter yang memiliki pengetahuan hukum terhadap hukum Indonesia dan keadaan lokal.12

Pembentukan BANI tidak untuk menciptakan persaingan dengan badan arbitrase asing, karena BANI memiliki karakteristik yang sama, antara lain:

1. Memastikan bahwa sumber hukum yang mempengaruhi sengketa, dalam hal ini, hukum yang diterapkan menjadi hukum yang

11

Prof. Abdulkadir Muhammad, op,cit., hlm. 593

12

R. Subekti mengatakan bahwa, “for Indonesia being a developing country, a well running arbitration is going to be indispensable with a view of the ever increasing number of joint ventures… As a matter of fact, joint ventures companies are usually running enterprises in Indonesian territory, employing Indonesian workers, renting premises and buying their daily supplies from Indonesian nationals, so that according to the rules of International Private Law, The Indonesian Law is applicable. It is therefore, logical and advisable that, in case of a dispute arising from such joint-venture contracts, the parties will submit their dispute to arbitrators who have knowledge of the Indonesian Law and the local situation,” sebagaimana tertulis dalam R. Subekti, “Introducing The Indonesian National Board of Arbitration”, dalam Arbitration in Indonesia and International Conventions on Arbitration, The Indonesian National Board of Arbitration (BANI), (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 10

(8)

menjadi hukum di masa yang akan datang (de lege lata ot de lege feranda).

2. Arbitrase mengacu kepada arbiter, dasar konsensual kewenangan jurisdiksional; merupakan suatu hal yang tepat bila keinginan para pihak dalam sengketa berperan penting, dan oleh karena itu, maka hukum yang diterapkan menjadi hukum penyelesaian sengketa mereka di masa yang akan datang.

3. Kemandirian keinginan para pihak secara normal berpengaruh dalam tahap:13

a. Hukum yang akan mengatur dalam arbitrase;

b. Hukum yang akan diterapkan sehubungan dengan materi sengketa, yang biasanya muncul dalam hubungan kontraktual. 4. Kemandirian para pihak akan memungkinkan untuk mengisi

kekosongan yang ditinggalkan oleh kekurangan dalam pengaturan hubungan hukum internasional. Hal tersebut menghindari konflik sistem hukum nasional dalam lingkup arbitrase dan mempersempit konflik hukum dan konflik jurisdiksi.

5. Secara internasional, kemandirian tersebut akan memperoleh signifikasi dasar-dasar pengaturan hukum internasional dan akan menjadi hukum kebiasaan dalam sistem hukum nasional.

6. Permohonan yang nyata terhadap batas kemandirian kontraktual dilengkapi oleh perjanjian arbitrase yang disepakati para pihak. 7. Sistem hukum nasional dibutuhkan untuk mengontrol pelaksanaan

putusan arbitrase.

8. Kemandirian para pihak disertai dengan kebebasan untuk memilih hukum nasional yang paling tepat untuk digunakan dalam penyelesaian sengketa.

9. Setidaknya para pihak sepakat untuk tidak menyelesaikan sengketa mereka di Pengadilan.

13

(9)

10. Para pihak secara umum mengharap suatu pemikiran yang menunjukkan fleksibilitas yang secara normal tidak terpisahkan dalam proses peradilan.

Berdasar kepada karakteristik-karakteristik di atas, pendirian BANI pada saat itu, merupakan suatu terobosan besar dalam hukum arbitrase nasional Indonesia, mengingat Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur tentang arbitrase, namun sudah menerbitkan undang-undang yang mengatur tentang lembaga yang secara khusus menangani arbitrase diluar kekuasaan kehakiman.

A.3. UNCITRAL Arbitration Rules sebagai Landasan Hukum Arbitrase Internasional dalam Lingkup Hukum Nasional

Pendirian BANI pada tahun 1977 diikuti dengan dimasukkannya sumber hukum internasional kedalam sistem tata hukum nasional Indonesia, dimana Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani resolusi UNCITRAL Arbitration Rules pada tanggal 15 Desember 1976. UNCITRAL Arbitration Rules, sebagai suatu peraturan yang mengglobalisasikan serta menginternasionalisasikan nilai-nilai dan tata cara arbitrase dalam hubungan perdagangan internasional,14 serta kemudian menjadi salah satu sumber hukum

internasional yang mengatur tentang arbitrase di Indonesia.

Beberapa pokok materi yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules adalah (pada tahun 1976):15

Section 1. Introductory Rules

1. Scope of application (Pasal 1)

Penerapan kalusula atau perjanjian arbitrase antara pihak yang bersengketa harus dalam bentuk tertulis (agreed in writing).

14 M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 69

15

Pasal 1 – 41, United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Arbitration Rules 1976 (Lex Mercatoria)

(10)

2. Notice and calculation of periods of time (Pasal 2)

Pasal 2, UNCITRAL Arbitration Rules mengatur ketentuan tenggang waktu yang digariskan tata cara perhitungan batas waktu mengenai adanya pemberitahuan (notice) yang mana dalam hal ini meliputi pengumuman (notification), komunikasi (communication) atau usul (proposal), dianggap sudah diterima terhitung sejak disampaikan secara fisik atau in person ke alamat atau tempat tinggal, tempat usaha atau alamat surat (mailing address).

3. Notice of arbitration (Pasal 3)

Pasal 3 mengatur tentang terminologi yang digunakan terhadap para pihak dalam persidangan arbitrase mengacu kepada Penggugat (Claimant) dan Tergugat (Respondent), sedangkan Pasal 3 (2) mengatur bahwa persidangan dimulai sejak pemberitahuan persidangan arbitrase diterima oleh Tergugat. Ayat selanjutnya mengatur tentang persyaratan yang perlu dipenuhi dalam pemberitahuan persidangan arbitrase yaitu:

a. Penyelesaian sengketa menggunakan arbitrase; b. Mencantumkan nama dan alamat para pihak;

c. Membuat penunjukkan klausula arbitrase dalam perjanjian; d. Membuat penunjukkan tentang sengketa apa yang timbul

dalam perjanjian;

e. Memuat dasar gugatan/klaim;

f. Mengindikasikan jumlah yang keluar; g. Memuat permohonan putusan;

h. Mengisi jumlah arbiter yang berisi proposal penunjukkan arbiter atau pejabat berwenang, pemberitahuan penunjukkan persidangan arbitrase dan pernyataan klaim.

4. Representation and assistance (Pasal 4)

Berisi tentang ketentuan bahwa para pihak harus memberitahu pihak lainnya perihal bantuan hukum atau perwakilannya dalam persidangan yang telah dipilih olehnya.

(11)

Section II. Composition of The Arbitral Tribunal

5. Number of arbitrators (Pasal 5)

Pasal ini mengatur jumlah arbiter, apabila para pihak belum menentukan dalam perjanjian atau tidak setuju mengenai penunjukkan jumlah arbiter dalam waktu 15 hari setelah diterimanya pemberitahuan persidangan arbitrase, jumlahnya adalah 3 (tiga).

6. Appointment of arbitrators (Pasal 6 - 8)

Pasal 6 mengatur penunjukkan arbiter tunggal; Pasal 7 berisi ketentuan tentang prosedur penunjukkan tiga arbiter dalam persidangan; dan Pasal 8 UNCITRAL Arbitration Rules mengatur apabila Dewan Penunjukkan ditentukan oleh pihak yang bersengketa maka para pihak menyediakan:

a. Salinan pemberitahuan persidangan arbitrase;

b. Salinan perjanjian yang menunjukkan subyek sengketa; dan c. Salinan perjanjian arbitrase apabila terpisah dari perjanjian

pokok.

7. Challenge of arbitrators (Pasal 9 - 12)

Pasal 9 mengatur kewajiban arbiter untuk mengungkapkan kepada Dewan Penunjukkan dan para pihak yang bersengketa keadaan yang dapat menimbulkan keraguan terhadap kemandirian dan kemampuannya untuk tidak memihak secara adil; Pasal 10 menentukan bahwa terhadap keadaan ragu-ragu tersebut muncul, kompetensi panel arbiter dapat dichallenge. Pasal 11, UNCITRAL Arbitration Rules berhubungan dengan prosedur challenge. Dimana pihak yang ingin men-challenge arbiter memiliki jangka waktu 15 hari untuk mengajukan challenge tersebut semenjak pemberitahuan penunjukkan arbiter atau sejak tanggal pihak tersebut menyadari dapat diajukannya dasar challenge. Pasal 12, mengatur ketentuan apabila challenge yang diajukan tidak diterima oleh pihak satunya. Dalam hal ini, apabila challenge diterima, maka arbiter substitusi ditunjuk sesuai pasal 6 – 9.

(12)

8. Replacement of an arbitrator (Pasal 13)

mengatur bahwa apabila arbiter gagal dalam bertindak, arbiter baru akan ditunjuk.

9. Repetitions of hearings in the event of the replacement of an arbitrator (Pasal 14)

Dalam pasal ini, apabila arbiter ditunjuk oleh salah satu pihak digantikan, Pengadilan arbitrase dalam menentukan apakah akan melanjutkan persidangan atau mengulang kembali persidangan sebelumnya, meminta persetujuan para pihak.

Section III. Arbitral Proceedings

10. General provisions (Pasal 15)

Pasal 15 menentukan bahwa Pengadilan dalam memeriksa serta menangani perkara harus memperlakukan para pihak yang bersengketa secara adil dan kedua pihak tersebut diberikan kesempatan yang sama untuk menghadirkan pembelaannya.

11. Place of arbitration (Pasal 16)

merujuk kepada penunjukkan tempat dilaksanakannya arbitrase. 12. Language (Pasal 17)

Bahasa yang digunakan dalam persidangan. 13. Statement of claim (Pasal 18)

Dalam Pasal ini dipersyaratkan suatu salinan pernyataan klaim / gugatan beserta perjanjian para pihak untuk dilampirkan dalam pemberitahuan persidangan arbitrase.

14. Statement of defence (Pasal 19)

Pernyataan pembelaan yang diajukan oleh Tergugat diatur dalam Pasal ini.

15. Amendments to the claim or defence (Pasal 20)

Perubahan atau penambahan / melengkapi pernyataan pembelaan selama persidangan arbitrase.

(13)

Mengatur bahwa Pengadilan arbitrase memiliki kewenangan untuk mengatur keberatan terhadap jurisdiksinya sendiri dan juga eksistensi dan validitas dari perjanjian arbitrase tersebut.

17. Further written statements (Pasal 22)

Mengatur tentang adanya suatu penambahan terhadap pernyataan klaim ataupun pembelaan dapat dimintakan oleh Pengadilan arbitrase kepada para pihak untuk menyediakan kedua pernyataan tersebut dalam bentuk tertulis.

18. Periods of time (Pasal 24 - 25)

Dalam Pasal 24 ini, Pengadilan memiliki kebijaksanaan untuk menentukan jangka waktu penambahan pernyataan ini dapat berlangsung serta mengatur bahwa tiap pihak memiliki kewajiban untuk mengajukan bukti-bukti terhadap fakta yang mendukung klaimnya atau pembelaannya serta Pengadilan arbitrase dapat meminta para pihak untuk menyediakan dalam bentuk ringkasan (summary). Pasal 25 di satu sisi, mengatur bahwa apabila Pengadilan mengatur bahwa pernyataan oral akan didengar dalam persidangan ini, maka pihak Pengadilan arbitrase harus memberitahu para pihak terhadap waktu, tempat, serta tanggal diadakannya persidangan tersebut.

19. Interim measures of protection (Pasal 26)

Pengadilan arbitrase dapat menjatuhkan putusan sela atas permohonan salah satu pihak dengan maksud untuk melindungi subjek perkara dari sengketa tersebut.

20. Experts appointed by the arbitral tribunal (Pasal 27)

Pengadilan arbitrase juga memiliki kewenangan untuk menunjuk para ahli untuk menjadi saksi dalam persidangan, dimana pernyataannya kemudian dicatat dan para pihak memiliki hak untuk memeriksa pencatatan pernyataan saksi ahli tersebut.

(14)

Sama halnya dengan UNCITRAL Model Law, UNCITRAL Arbitration Rules juga mengatur tentang kesalahan para pihak dalam menyajikan pernyataan klaim serta pernyataan pembelaan. 22. Closure of hearings (Pasal 29)

Pengakhiran persidangan arbitrase diatur dalam Pasal ini. 23. Waiver of right to object (Pasal 30)

Dalam hal salah satu pihak mengetahui bahwa terdapat beberapa kesalahan dalam penerapan UNCITRAL Arbitration Rules dalam persidangan ini namun tidak menyatakan keberatannya, maka haknya untuk mengajukan keberatan yang dimiliki olehnya adalah hangus.

Section IV. The Award

24. Decisions (Pasal 31)

Prosedur pengambilan keputusan arbitrase oleh tiga arbiter didasari oleh suara terbanyak (Majority Decision).

25. Form and effect of the award (Pasal 32)

Mengatur bentuk putusan dan efek dari putusan arbitrase tersebut. 26. Applicable law, amiable compositeur (Pasal 33)

Pengadilan arbitrase menerapkan hukum yang telah dipilih oleh para pihak sehubungan dengan pokok perkara.

27. Pasal 34 Mengatur Penyelesaian persidangan arbitrase 28. Interpretation of the award (Pasal 35)

Dalam pasal ini, pihak yang bersengketa dapat memohon interpretasi terhadap putusan kepada Pengadilan arbitrase dalam jangka waktu 30 hari setelah diterimanya putusan arbitrase.

29. Correction of the award (Pasal 36)

Memberikan ketentuan pembenaran terhadap kesalahan pengetikan putusan.

30. Additional award (Pasal 37)

Pasal 37 mengatur para pihak memiliki hak untuk memohon putusan tambahan dilakukan apabila dipertimbangkan bahwa

(15)

putusan sebelumnya telah gagal untuk memenuhi klaim yang diajukan dalam persidangan arbitrase.

31. Cost (Pasal 38 - 40)

Pasal 38 – 40 mengatur bahwa penghitungan biaya arbitrase dimasukkan dalam putusan arbitrase serta dihitung dari biaya perkara, biaya perjalanan dan pengeluaran lain sehubungan dengan persidangan seperti pengunaan saksi ahli, bantuan lain, biaya perjalanan saksi lainnya serta biaya untuk Dewan Penunjukkan. 32. Deposit of costs

Para pihak diharuskan untuk mendepositkan uang yang diperlukan untuk biaya penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 38.

UNCITRAL Arbitration Rules pada dasarnya serupa dengan UNCITRAL Model Law. Letak perbedaannya adalah;16 UNCITRAL Model Law mengatur

sebuah pola yang dapat diadopsi oleh perancang hukum di Pemerintah Nasional Negara-Negara sebagai bagian dari peraturan domestik tentang arbitrase sedangkan UNCITRAL Arbitration Rules dipilih oleh para pihak sebagai bagian dari penyelesaian sengketa dalam kontrak mereka atau setelah sengketa tersebut timbul, untuk mengatur hukum acara arbitrase yang dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak tersebut. Singkat kata, Model Law dipilih dan diadopsi oleh Pemerintah, sedangkan Arbitration Rules, dipilih oleh pihak-pihak dalam perjanjian mereka.

Partisipasi Indonesia sebagai Negara yang ikut menandatangani resolusi UNCITRAL tidaklah membuahkan hasil yang signifikan terhadap perkembangan arbitrase di Indonesia. Berdasar kepada fakta diatas, UNCITRAL Arbitration Rules hanya berlaku bagi pihak yang memilihnya sebagai hukum acara arbitrase di Indonesia melalui BANI, dan hal tersebut hanyalah berlaku secara nasional, mengingat BANI adalah lembaga arbitrase nasional Indonesia. Pembentukan

16

Perserikatan Bangsa-Bangsa, “FAQ - UNCITRAL and Private Disputes / Litigation”,

United Nations Commission on International Trade Law, didapat dari http://www.uncitral

(16)

BANI pada tahun 1977 dan penandatanganan UNCITRAL Arbitration Rules memang merupakan terobosan dalam sistem tata hukum arbitrase yang pertama di sistem tata hukum Indonesia, namun belum dapat mengakomodir pengaturan tentang arbitrase asing di Indonesia.

A.4. Peraturan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 sebagai Bentuk Ratifikasi Konvensi New York 1958

Indonesia kemudian mengambil langkah selanjutnya untuk memberikan suatu kontribusi bahwa hukum arbitrase Indonesia dapat diterima dalam lingkup hukum internasional dengan berpartisipasi menjadi Negara anggota Konvensi New York 1958 dengan meratifikasi Konvensi New York 1958 yang kemudian diterapkan dalam hukum nasional Indonesia melalui penerbitan Perpres 34/1981. Tineke Louise mengatakan bahwa terdapat beberapa alasan Indonesia meratifikasi Konvensi New York:17

1. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal.

Pertama dalam tahun 1966 timbul suatu perubahan pokok dalam kebijaksanaan pemerintah RI dibidang keuangan dan ekonomi. Dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/1966/MPRS khususnya BAB VIII mengenai hubungan ekonomi, telah ditentukan bahwa karena kebutuhan perkembangan nasional maka penanaman modal asing perlu diikutsertakan. Perubahan padangan terhadap PMA antara lain disebabkan karena adanya suatu penelitian yang telah dilakukan oleh United Nation terhadap Multinational Corporation, sehubungan dengan kekhawatiran yang dikemukakan oleh Negara-Negara tertentu terhadap peranan yang dimainkan oleh perusahaan demikian dalam masalah ekonomi dan politik Negara-Negara tertentu. Kesimpulan dari panitia ahli adalah bahwa perusahaan multinasional demikian dapat membawa kontribusi baik bagi perkembangan apabila

17

(17)

diawasi dengan tepat. Terlebih lagi Indonesia telah membangun kerjasama dengan Negara lain dalam bentuk investment protection agreement, Investment Guarantee Agreements, Economis Cooperation Agreements yang merupakan perjanjian-perjanjian yang bertujuan memberikan perlindungan dan keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan yang telah diberikan oleh UU PMA.

Dalam Investment Agreements tersebut diatur beberapa prinsip pokok yaitu: A most favourate nation clause dan National Treatment Clause.

2. Dengan ikut sertanya Indonesia pada Konfrensi tentang penyelesaian perselisihan antara Negara dan warga Negara asing mengenai penanaman modal asing, Undang-Undang No. 32 Tahun 1968.

Dalam rangka untuk mendorong dan membina penanaman modal asing di Indonesia, pemerintah RI telah merasa perlu untuk turut menandatangani Konvensi Washington. Konvensi ini diprakarsai oleh International Bank For The Reconstruction and Development, karena Indonesia menjadi anggota pada Bank Dunia maka telah dipenuhi persyartan untuk ikut serta pada Konvensi Washington ini. Oleh karena itu, beberapa waktu setelah diundangkannya UU No. 1/1967 maka Indonesia turut serta dalam Konvensi Washington pada tanggal 16 Februari 1966 dan pada tanggal 29 Juni 1968 pemerintah telah menetapkan Undang – Undang tentang Persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian perselisihan anatara Negara dan warga Negara asing mengenai penanaman modal. 3. Sebagai anggota PBB, Indonesia tidak hendak “terpencil” dari

perkembangan dan pergaulan dunia Internasional.

4. Karena Negara-Negara modern (termasuk Negara- Negara ASEAN) juga sudah menjadi peserta Konvensi New York 1958 ini.

(18)

Sebagaimana alasan-alasan tersebut diatas, kesediaan pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Konvensi New York yang dituangkan dalam Perpres 34/1981 merupakan suatu terobosan yang memberikan suatu universalitas hukum internasional tentang pengaturan pengakuan dan pelaksanaan arbitrase internasional dalam teritori Negara Indonesia serta diharapkan bahwa ratifikasi Konvensi New York tersebut dapat mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau “joint venture” di Indonesia.18

Diratifikasinya Perpres 34/1981 dengan segala harapan-harapannya di satu sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam hukum penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Hal ini dikarenakan, belum ada peraturan pelaksana (hukum acara) dibawah Perpres 34/1981 yang mengatur tentang prosedur dan tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim memberikan suatu pandangan mengapa peraturan pelaksana dari Konvensi New York tidak kunjung diterbitkan demi terlaksananya Perpres 34/1981. Mereka menyatakan bahwa, pada dasarnya, “berdasarkan Kepres 34/1981 tersebut, maka setiap keputusan arbitrase asing yang (i) dikeluarkan di Negara yang ikut meratifikasi New York Convention; (ii) Negara tersebut juga menerapkan asas resiprositas, dan (iii) dengan catatan bahwa keputusan arbitrase asing tersebut adalah bidang hukum dagang (commercial nature) serta (iv) tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy), maka keputusan arbitrase asing tersebut akan dapat dilaksanakan di Indonesia. Sebagian ahli berpendapat bahwa penerapan ketentuan New York Convention tidak membutuhkan peraturan pelaksanaan lebih lanjut, dikarenakan keputusan arbitrase asing yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebut dalam Keppres 34/1981 dapat dilaksanakan di Indonesia, mengingat Keppres tersebut

18

Bagian Penjelasan, Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Persetujuan Atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968, LN Tahun 1968 Nomor 32, TLN Nomor 2852

(19)

merupakan wujud ratifikasi Indonesia dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.19

Dengan ketiadaan peraturan pelaksana untuk membimbing Pengadilan Indonesia untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing, memaksa Indonesia untuk tetap menggunakan BRV sebagai hukum acara yang mengatur prosedur dan tata cara terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing itu sendiri dengan memberikan kewenangan kepada juru pisah untuk memeriksa dan memutus suatu perkara sengketa perdagangan komersial internasional atas dasar pasal 377 HIR dan 705 RBG beserta perangkat-perangkat hukum arbitrase lainnya sebagaimana telah disebutkan diatas. Di satu sisi, hukum acara arbitrase yang diatur dalam BRV, dirasa tidak bersahabat terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia karena adanya peraturan yang mengatur bahwa pada dasarnya Indonesia tidak menerima putusan yurisdiksi Negara lain untuk dapat diterapkan pelaksanaannya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari adanya pengaturan dalam pasal 463 yang menyatakan bahwa:

20

“(1) Kecuali seperti ditentukan dalam pasal 724 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan lain-lain ketentuan perundang-undangan, keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan luar negeri, tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia;

(2) Perkara-perkara sedemikian dapat diajukan lagi dan diputuskan di dalam badan-badan peradilan di Indonesia;

(3) Berkenaan dengan pengecualian-pengecualian yang tercantum didalam ayat (1) di atas, maka keputusan-keputusan dari hakim luar negeri dapat dijalankan hanya setelah memperoleh suatu perintah fiat eksekusi (executoir) dalam bentuk seperti ditentukan dalam pasal 435 yang telah diperoleh oleh pihak pemenang dari Pengadilan Negeri di Indonesia yang berwenang di tempat dimana keputusan asing ini harus dilaksanakan;

19

Felix O. Soebagjo dan Fatmah Jatim, “Arbitrase di Indonesia Beberapa Contoh kasus dan Pelaksanaan dalam Praktik” dalam Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2: Arbitrase di Indonesia, hlm. 92-93

20

(20)

(4) Untuk memperoleh perintah fiat eksekusi tersebut, tidak perlu untuk mengadili perkara yang bersangkutan sekali lagi.”

Keadaan mengenai tidak adanya suatu peraturan pelaksana dibawah Perpres 34/1981 sebagai peraturan yang mengatur ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional yang dijatuhkan oleh badan arbitrase internasional telah membawa sejumlah permasalahan dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Noah Rubbins mengatakan bahwa, “Indonesia’s antiquated arbitration legislation led to decades of problems in enforcing foreign decisions. This legally is due chiefly to an article of the Dutch Civil Code stating that judgment of foreign court may not be recognize in local courts, in the absence of any express law on arbitration, Indonesian courts interpreted the Civil Code instruction as extending equally to foreign arbitral awards.”21

A.5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990

Berdasar kepada kondisi sistem tata hukum Indonesia yang masih belum memiliki suatu peraturan pelaksana putusan arbitrase asing dan berdasar kepada fakta bahwa Indonesia telah melakukan penandatanganan UNCITRAL Arbitration Rules serta meratifikasi Konvensi Internasional yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (Konvensi New York), Pemerintah akhirnya menetapkan suatu peraturan perundangan baru tepat 9 (sembilan) tahun setelah peratifikasian Konvensi New York. Peraturan perundangan yang diterbitkan pada tanggal 1 Maret 1990 tersebut merupakan peraturan pelaksana yang mengatur tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing dibawah kuasa kehakiman tertinggi di Indonesia yaitu Perma 1/1990 (Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing).

Perma ini merupakan jawaban dan partisipasi terhadap tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, mengingat bahwa secara factual,

21

Noah Rubbins, “The Enforcement and Annulment of International Arbitration Awards in Indonesia”, AM. U. INT’LL L. Rev., 2005, hlm. 366

(21)

meskipun Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 telah mensahkan dan menggabungkan diri ke dalam Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (“Konvensi Washington”), ternyata eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia tetap mengalami kegagalan. Selain dari itu, dalam Perpres 34/1981, Pemerintah RI telah mensahkan dan bergabung kedalam Konvensi New York 1958 dimana pengesahana tersebut secara de facto dan de yure telah menempatkan Indonesia sebagai Negara yang terikat dan harus patuh serta rela “mengakui” dan melaksanakan eksekusi setiap putusan arbitrase asing, namun, kenyataan masih tetap berbicara lain, setiap permintaan eksekusi putusan arbitrase asing selalu kandas didepan Pengadilan. Langkah tersebut tetap tidak mengubah sikap Pengadilan untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Alasan pokok Pengadilan menolak pengakuan dan pelaksanaan eksekusi tersebut adalah karena adanya pertimbangan penolakan eksekusi yang dicantumkan dalam putusan tersebut yang berisi, “Meskipun sudah ada Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Indonesia, kalau belum ada peraturan pelaksananya.” Jadi menurut Mahkamah Agung, walaupun Indonesia telah mensahkan dan bergabung dengan Konvensi New York 1958, tidak otomatis putusan-putusan arbitrase asing dapat dieksekusi semata-mata atas kekuatan Keppres 34/1981.22

Perma ini sangatlah sederhana karena hanya terdiri dari 9 (Sembilan) pasal yang dibagi dalam 6 (enam) Bab. Adapun sistematika dari Perma ini adalah:

23

1. Umum (Pasal 1 – 3); 2. Exequatur (Pasal 4);

22

Mahkamah Agung, Putusan Nomor 2944 K/Pdt/1983, 29-11-1984, Putusan ini dimuat sebagai lampiran V dalam buku Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Indonesia dan Arbitrase Internasional, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 108; M. Yahya Harahap, op.cit., hlm. 58-59

23

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990

(22)

3. Tata Cara Permohonan untuk memperoleh Exequatur (Pasal 5); 4. Tata Cara Sita dan Pelaksanaan Putusan (Pasal 6);

5. Tentang Biaya (Pasal 7); 6. Bab VI (diatur kemudian).

Sehubungan dengan ketentuan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi New York 1958, Perma ini telah mengakomodir ketentuan-ketentuan beserta asas-asasnya, antara lain:24

1. Asas Executorial Kracht

Asas ini diatur dalam Pasal 2 Perma, dimana menurut Pasal ini, putusan arbitrase asing disamakan dengan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sebagaimana kita ketahui bahwa, menurut Konvensi New York 1958, putusan arbitrase asing adalah final dan mengikat, maka dengan disamakannya putusan arbitrase asing sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan sendirinya dalam putusan tersebut telah terkandung “kekuatan eksekusi” atau executorial karcht”. Dengan kata lain, setiap putusan arbitrase asing yang diajukan permohonan eksekusinya di Indonesia; (a) harus diakui keabsahannya dan (b) harus dijalankan eksekusinya (enforcement). Sebenarnya, tentang pengertian putusan arbitrase asing yang dirumuskan dalam pasal 2 Perma, mengacu kepada rumusan Pasal 1 ayat 1 Konvensi New York 1958. Hal itu adalah wajar, dikarenakan sumber rujukan utama penjabaran Perma adalah Keppres 34/1981; sedangkan Keppres tersebut tiada lain merupakan “pengesahan” atas Konvensi New York 1958. Oleh karena itu, setiap rumusan Perma, harus mengacu dan menyesuaikan diri dengan Pasal-Pasal Konvensi tersebut.

2. Asas Resiprositas

24

(23)

Asas resiprositas (reciprocity) merupakan asas fundamentum dalam Konvensi New York 1958. Asas ini diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi yang menentukan bahwa setiap Negara anggota peserta Konvensi berhak “menyatakan” atau mengumumkan pada waktu ratifikasi bahwa pengakuan dan pengeksekusian putusan arbitrase asing didasarkan atas asas resiprositas di antara sesama Negara peserta Konvensi (any state may on the basis of reciprocity declare that it will apply the Convention to the recognition and enforcement of awards made only in the territory of another Contracting State).

Asas resiprositas yang diatur dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi New York 1958, nampaknya diambil sepenuhnya oleh Perma, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi:

25

“suatu putusan arbitrase asing di wilayah hukum Republik Indonesia dapat diakui dan dilaksanakan apabila:26

Putusan ini dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun perorangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Arbitrase Asing. Pelaksanaan didasarkan atas azas timbal balik (resiprositas).”

Memperhatikan penegasan asas resiprositas, Perma menuntut adanya saling hormat menghormati dan saling menghargai antara Negara yang satu dengan Negara yang lainnya dalam pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Pasal 3 ayat 1

25

Pasal 3 ayat 1, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990

26

Pasal 3, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990

(24)

Perma merupakan penegasan tentang kerelaan dan kesediaan Indonesia mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase yang harus bersifat “timbal balik” oleh Negara lain, agar asas kederajatan yang timbal balik dapat dituntut dalam pergaulan internasional atas suatu masalah hukum yang terbina dari suatu hubungan ikatan bilateral atau multilateral.

3. Asas Pembatasan

Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 Perma yang mengatur bahwa,27

“Putusan-putusan Arbitrase tersebut dalam ayat (1) di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang,” menunjukkan adanya pembatasan berlakunya pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan yang menurut hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang. Kesediaan badan Peradilan Indonesia mengakui serta mengeksekusi putusan arbitrase asing, tidak boleh menyimpang dari putusan yang menyangkut perselisihan dalam bidang Hukum Dagang.

Asas pembatasan yang diatur dalam Pasal tersebut sejalan dengan lampiran Keppres No. 34 Tahun 1981, yang menegaskan “and that it will apply the Convention only to the differences ariseing out of legal relationship, whether contractual or not, which are considered as commercial under Indonesian Law…” Sedang yang dinyatakan dalam Lampiran Keppres tersebut merujuk kepada diperbolehkannya pembatasan yang disebut dalam Pasal 1 ayat 3 Konvensi New York 1958. Dalam kalimat terakhir pasal ini, diatur suatu ketentuan yang memberi hak kepada setiap Contracting State untuk membatasi pengakuan serta pengeksekusian putusan arbitrase asing terbatas pada bidang Hukum Dagang (some states have ratified or acceded subject to reservation, natabily specifying

27

Pasal 3 ayat 2, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990

(25)

that the Convention’s application is subject to reciprocity or that is limited to business and commercial transaction.

4. Asas Ketertiban Umum

Asas lain yang menjadi fundamentum pengakuan serta pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing adalah “ketertiban umum” atau “public policy”. Asas ini diatur dalam Pasal 3 ayat 3 Perma yang berbunyi,28 “Putusan-putusan Arbitrase Asing tersebut dalam ayat

(1) di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.” Disitu ditegaskan bahwa putusan-putusan arbitrase asing yang diakui serta yang dapat dieksekusi di Indonesia hanya terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan “ketertiban umum.”

Asas ketertiban umum juga merupakan asas fundamentum dalam Konvensi New York 1958, dimana asas tersebut ditegaskan dalam Pasal V ayat 2 huruf b yang berbunyi,29 “the recognition or

enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country”. Oleh karena ketertiban umum dipandang sebagai salah satu asas dalam Konvensi, memberi kewenangan bagi Negara yang diminta eksekusi, untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan apabila putusan bertentangan dengan kepentingan umum Negara yang bersangkutan.

Berdasarkan kepada asas-asas tersebut diatas, sebenarnya Perma 1/1990 tersebut memberikan suatu pengaturan secara lebih rinci tentang arbitrase serta telah mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional

28

Pasal 3 ayat 3, Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, Peraturan Nomor 1 Tahun 1990

29

Pasal V ayat 2 (b), Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention)

(26)

sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958 dengan memberikan pengaturan terhadap prosedur dan tata cara (hukum acara) pelaksanaan putusan arbitrase asing dibandingkan dengan hukum acara perdata yang diatur dibawah BRV, akan tetapi, belumlah menggantikan adanya peraturan hukum acara perdata dibawah BRV. Dengan kata lain, Indonesia memiliki perangkat hukum acara arbitrase yang tumpang tindih dalam sistem hukum Negaranya.

Bentroknya hukum acara dalam Perma ini dan BRV dapat dilihat dari adanya catatan akan permohonan putusan arbitrase yang terjadi pada kisaran tahun 1990-1998, dimana diantara selang waktu tersebut, terdapat 16 (enam belas) pendaftaran pelaksanaan putusan arbitrase asing yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendaftaran ini akan tetapi, tercatat 8 (delapan) permohonan pelaksanaan diberikan exequatur, dua aplikasi ditolak, dua permohonan dicabut, serta status lainnya tidak diketahui.30

Permasalahan ini belumlah selesai hingga Indonesia menerbitkan suatu peraturan perundang-undangan baru yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase asing yang secara lebih spesifik untuk memberikan jaminan transparansi serta kepastian dan perlindungan hukum kepada para pelaku usaha penanaman modal maupun international business and commercial trade dengan mengakomodir pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing pada tahun 1999 sebagaimana diamanatkan Konvensi New York 1958 yang diratifikasi oleh Indonesia.

B. Sikap Pengadilan Indonesia terhadap Putusan Arbitrase Asing sebelum diundangkannya UU 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Dalam penanaman modal (investment), transaksi bisnis internasional (international business transaction) ataupun transaksi dagang internasional (international commercial trading), terdapat kemungkinan timbul sengketa antara partner asing dengan partner domestik dalam kerjasama (joint operation) mereka atau perusahaan joint venture maupun antara investor asing dengan pemerintah

30

(27)

lokal. Hampir secara pasti dapat dikatakan perjanjian joint venture sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya sengketa antara para pihak.31 Robert

Briner mengatakan bahwa, “International commercial arbitration is the servant of international business and Trade.”32

Arbitrase memang dipilih oleh para pihak-pihak pelaku usaha yang bersengketa dalam penanaman modal dan International Commercial Trade untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dalam hal kesalahpahaman penafsiran dan penerapan perjanjian, perselisihan kepentingan dan pendapat dalam kesepakatan perjanjian, pengingkaran pelaksanaan kewajiban perjanjian, ataupun karena adanya kerugian dalam pelaksanaan perjanjian yang pada dasarnya isinya telah disepakati oleh mereka.

Pada kenyataannya, arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang sejak awal telah dipilih dan ditentukan dalam perjanjian para pelaku usaha karena pertimbangan keuntungan-keuntungan yang diberikan bagi para pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian sengketa investasi, transaksi bisnis dan dagang internasional mereka, juga memiliki kekurangan. Letak kekurangan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa yang murah, cepat, rahasia, efektif serta sifat putusannya yang bersifat final dan mengikat, adalah pada tidak mudahnya memberikan efek in force kepada pelaksanaan putusan arbitrase yang kemudian menimbulkan esensi efektifitas kewajiban hukum kepada para pihaknya. Tony Budidjaja mengatakan bahwa,33 “Most arbitral awards are

considered final and binding on the parties, and having received an award made in its favor, the successful party in arbitration can expect one of three things to happen:

31

Ridwan Khairandy, op.cit., hlm. 192

32

Robert Briner, op.cit., hlm. 14

33

(28)

(a) The other party to the arbitration honors the award by

(1) Voluntarily paying to the successful party the amounts awarded to it; or

(2) Accepting any declarations made in the award and acting (or, as the case may be, desisting from a particular course of conduct) in accordance with them; or

(b) The other party fails to honor the award but takes no active steps to resists the award; or

(c) The other party actively resists the award.

Sebagaimana pernyataan tersebut diatas, pada kenyataannya putusan arbitrase hanya “dianggap” final dan mengikat kepada para pihak pelaku usaha yang bersengketa dimana pelaksanaannya tersebut pun hanya berbentuk tanggung jawab moral apabila tidak dimintakan penetapan kepada jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang memiliki kewenangan yang sama dibawah hukum internasional.

William W. Park menambahkan bahwa,34 “The New York Convention

operates on two levels to promote the international currency of commitments to arbitrate. First, the Convention requires deference to valid arbitration agreements. Second, courts must enforce foreign awards34 as they would domestic onesRecognition of awards, however, is subject to several defenses. One group furthers the loser's right to a fair arbitration, by allowing courts to reject awards tainted with excess of authority and procedural irregularity. Another set of defenses protects the forum's own interest in withholding support for awards that deal with nonarbitrable subjects or violate public. The effectiveness of the Convention largely depends on each country's national arbitration law.”

Pada dasarnya, pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing memang memberikan dua pilihan yaitu dilaksanakannya putusan tersebut secara sukarela (tanggung jawab moral) atau membutuhkan penetapan pelaksanaan oleh Pengadilan agar putusan tersebut dapat berlaku secara efektif dan kemudian menimbulkan tanggung jawab secara hukum. Dalam prakteknya akan tetapi, para

34

William W. Park, “Duty and Discretion in International Arbitration”, The American Journal of International Law, Vol. 93, No. 4 (Oct., 1999), hlm. 809-810

(29)

pihak yang bersengketa membutuhkan suatu penetapan jurisdiksi pengadilan atau forum lain yang memiliki kewenangan yang sama dibawah hukum internasional, karena rata-rata pihak yang dirugikan dalam putusan arbitrase akan terus mencari cara untuk mengesampingkan tanggung jawabnya dalam beberapa jurisdiksi pengadilan di Negara-negara untuk melepaskan tanggung jawab hukumnya dibawah putusan arbitrase.35

Huala Adolf menambahkan, meski arbitrase menyandang berbagai keuntungan, namun pada prakteknya pun ternyata memiliki kelemahan-kelemahan, antara lain:36

1. Untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah, dalam hal ini, kedua belah pihak yang bersengketa harus memiliki kesepakatan dalam perjanjian mereka terlebih dahulu, termasuk pada pemilihan forum arbitrase asing yang tidak mudah.

2. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase dalam teritori Negara lain masih merupakan permasalahan yang sulit.

3. Sebagaimana diketahui bahwa arbitrase menganut sistem nonpreseden atau keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Dimana, dengan tidak adanya preseden tersebut, sangatlah dimungkinkan adanya keputusan yang saling berlawanan (conflicting decision), dan berujung kepada fleksibilitas dalam pengambilan keputusan sulit dicapai.

Pelaksanaan putusan arbitrase, khususnya arbitrase asing pada dasarnya tidaklah mudah.37 Sulitnya melaksanakan suatu putusan arbitrase dalam teritori

Negara dimana putusan tersebut akan dilaksanakan dikarenakan terdapat

35

Alan Redfern dan Martin Hunter mengatakan,”finally, the losing party may resist any attempt by the winning party to obtain recognition or enforcement of the award, in whatever jurisdiction this is sought, sebagaimana tertulis dalam Alan Redfern, op.cit., hlm. 444

36

(30)

perbedaan pengaturan dan penerapan hukum nasional terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dalam tiap-tiap sistem hukum nasional Negara-negara di dunia, berbedanya pengaturan hukum dagangnya,38 kemampuan dan

keahlian hakim yang berbeda-beda dalam menafsirkan putusan arbitrase, dapat atau tidaknya sistem hukum positif negara tempat dimana putusan arbitrase tersebut akan dilaksanakan mengakomodir putusan arbitrase tersebut merupakan beberapa alasan sulitnya pelaksanaan putusan arbitrase asing dalam teritori suatu Negara. Dapat atau tidaknya putusan arbitrase dilaksanakan dalam teritori suatu Negara serta mengakomodir atau tidaknya ketentuan-ketentuan hukum arbitrase nasional Negara terhadap pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, dapatlah dilihat dalam sejarah hukum arbitrase sebagai hukum penyelesaian sengketa penanaman modal atau international commercial trade dalam Negara tersebut.

Sehubungan dengan sejarah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sejarah hukum arbitrase di Indonesia sangatlah unik, dimana, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang arbitrase, baik secara langsung ataupun tidak langsung tapi dihubung-hubungkan yang hanya mengisi suatu pengaturan arbitrase dalam lingkup tata hukum nasional dan tidak secara internasional. Turut sertanya Indonesia dalam beberapa Konvensi internasional seperti Konvensi mengenai penyelesaian sengketa arbitrase antara Negara dan subjek nasional Negara lain (Konvensi Washington) dan Konvensi yang mengatur pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing secara spesifik masih belum dapat menerima putusan arbitrase asing untuk dilaksanakan dalam sistem tata hukum nasional serta wilayah Negara Indonesia.

37

Rene David mengatakan bahwa, “it is not always easy to draw the line between arbitration and justice by the state,” sebagaimana tertulis dalam Rene David, op.cit., hlm. 8

38

Eric A. Posner mengatakan bahwa, “a judicial system that enforces contracts idiosyncratically would probably not respect a choice of law term. This problem is the result of the diversity of commercial law regimes among states, and the diversity of their judicial systems,” sebagaimana tertulis dalam Eric A. Posner, “Arbitration and the Harmonization of International Commercial Law: A Defense of Mitsubishi”, 39 Va. J. Int'l L. 647, Virginia Journal of International Law Association, Spring, 1999, hlm. 648

(31)

Adapun pernyataan Mahkamah Agung yang menentukan bahwa, “Meskipun sudah ada Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Indonesia, kalau belum ada peraturan pelaksananya,” menunjukkan sikap pengadilan Indonesia kurang dapat menerima pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia. Diundangkannya peraturan pelaksana (Keppres 34/1981 dan Perma 1/1990) yang membawahi ketentuan Konvensi New York 1958 pun ternyata hanya menyebabkan tumpang tindihnya hukum acara pengakuan dan pelaksanaan arbitrase di Indonesia, karena peraturan pelaksana tersebut tidak menggantikan suatu ketentuan hukum acara yang telah diatur sebelumnya (Pasal 436 BRV) yang mengatur bahwa keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan luar negeri, tidak dapat dieksekusi (dilaksanakan) di Indonesia. Hal ini sangatlah menghambat pelaksanaan ketentuan Konvensi New York dalam tata hukum Indonesia tentang arbitrase.

Rumitnya pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dibuktikan dengan adanya beberapa contoh perkara yang membuktikan bahwa sistem hukum Indonesia tidak bersahabat dengan putusan arbitrase internasional yang diputuskan oleh badan arbitrase internasional yang terletak dalam teritori Negara anggota Konvensi New York. Kasus-kasus tersebut antara lain:

(32)

B.1. Trading Corporation of Pakistan Limited v. PT Bakrie Brothers

Perkara ini terjadi pada tahun 1981, dimana sebuah putusan arbitrase internasional dari badan arbitrase Inggris dimintakan pelaksanaan eksekusinya di Indonesia oleh pihak yang bersengketa. Perkara ini adalah perkara antara Trading Corporation of Pakistan Limited v. PT Bakrie and Brothers,39 dimana, kedua belah

pihak bersengketa dan Pakistan Trading Company Ltd. mengajukan masalahnya kepada badan arbitrase Inggris (Federation of Oils, Seed and Fats Association Ltd.) dengan dasar Bakrie Brothers tidak mengikuti isi kontrak dan tidak membayar ganti rugi. Badan Arbirase tersebut melalui putusan nomor 2282 tanggal 8 September 1981 membebani pihak Bakrie Brothers untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 98510,74. Pakistan Trading Company Ltd. telah memohon Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melaksanakan putusan arbitrase London tersebut, dengan dasar (1) Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 (Keppres 34/1981); (2) bahwa, Keppres 34/1981 berlaku secara resiprositas antara negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi New York dan Inggris adalah salah satu anggota Konvensi New York.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya Nomor 64/Pdt/G/1984/PN.JKT.SEL menolak permohonan Pakistan Trading Company Ltd. PN mengatakan bahwa putusan arbitrase tersebut tidak berkekuatan hukum sehingga tidak dapat dilaksanakan karena dalam pertimbangannya, putusan arbitrase tersebut tidaklah sah karena putusan tersebut dibuat di Inggris, sedangkan menurut asas resiprositas yang tercantum dalam Keppres 34/1981, Inggris tidak berhak untuk memutus perkara arbitrase ini sebab Negara yang saling berhubungan (contracting states) adalah Indonesia dan Pakistan, bukan Indonesia dan Inggris. Pertimbangan lainnya adalah bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan prosedur pengambilan putusan oleh badan arbitrase dimana pihak Bakrie Brothers tidak diberikan kesempatan untuk membela diri sebagaimana diatur dalam Pasal V (3) Konvensi New York. Atas perkara ini, Pakistan Trading Company Ltd., mengajukan upaya hukum hingga kasasi, dimana

39

Erman Rajagukguk, “Implementation of The 1958 New York Convention in Several Asian Countries…”, op.cit., hlm. 6-7

(33)

permohonan kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung, karena menurut Mahkamah Agung keputusan Judex Facti tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 10 (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Pasal 636 RV, 637 RV, 639RV, 642 RV.

B.2. Navigation Maritime Bulgare v. PT Nizwar

Perkara ini telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 2944K/PDT/1983 tertanggal 29 November 1984 dalam sengketa antara Navigation Maritime Bulgare sebuah perusaaan yang berkedudukan di Bulgaria melawan PT. Nizwar.40 Kasus ini bermula dari

Navigation Maritime Bulgare mengajukan permohonan fiat eksekusi (eksekutor) kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan arbitrase di London yang telah menghukum PT Nizwar untuk membayar klaim sejumlah US$ 72.756,39 ditambah dengan bunga 7.5% per tahun, dihitung sejak1 Januari 1975 sampai dengan keputusan arbitrase dilaksanakan untuk kepentingan dan keuntungan Navigation Maritime Bulgare, dimana Mahkamah Agung Indonesia kembali memberikan putusan bahwa putusan arbitrase asing tetap tidak dapat dilaksanakan di Indonesia karena Pemerintah Indonesia tidak berhasil dalam menerbitkan peraturan pelaksana yang memberikan kewenangan pada Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung untuk mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase asing di Indonesia, seperti yang diamanatkan oleh Konvensi New York 1958.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut: a. Sesuai dengan yurisprudensi di Indonesia, putusan pengadilan

asing dan putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, kecuali antara Republik Indonesia dan Negara asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan pengadilan asing/putusan arbitrase asing.

40

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 2944K/Pdt/1983 tentang perkara antara PT Nizwar dan Navigation Maritime Bulgare, Tanggal 20 Agustus 1984, didapat dari http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/, diakses pada 16 Desember 2010, 13:00 WIB

(34)

b. Republik Indonesia tidak mutlak terikat pada perjanjian-perjanjian internasional yang diadakan oleh Pemerintah Belanda pada masa penjajahan.

c. Sehubungan dengan Keppres 34/1981 tentang pengesahan Convention on the Recognition of Foreign Arbitral Awards, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanannya, yaitu untuk menetapkan apakah permohonan putusan arbitrase asing dapat diajukan langsung pada pengadilan negeri, jika dapat, maka pengadilan negeri yang mana ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.”

B.3. E.D. Dan F.MAN (SUGAR) Ltd. v. Yani Harianto

Perkara ini merupakan kasus pertama bagi Indonesia yang menolak pelaksanaan keputusan arbitrase asing berdasarkan ketertiban umum.41 Putusan

kasus ini, mengakibatkan penetapan Mahkamah Agung RI tanggal 1 Maret 1991 mengenai dikabulkannya permohonan exequatur putusan arbitrase London 1989 menjadi irrelevant untuk dilaksanakan. Pokok sengketa dari perkara ini adalah perkara jual beli gula. Putusan Mahkamah Agung mengatakan bahwa Pengusaha Indonesia (Yani Harianto) tidak berwenang untuk mengadakan perjanjian jual beli gula karena berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1971 tertanggal 14 Juli 1971 yang mengatur bahwa impor gula hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Logistik Negara (Bulog). Mahkamah Agung mengatakan bahwa jual beli gula tersebut adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan peraturan yang ada. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur tentang adanya klausula halal dalam suatu perjanjian yang dibentuk oleh para pihak pelaku usaha dimana isi atau ketentuan dari perjanjian yang mengikat mereka tidaklah

41

Winata E. Kusnandar, “Meninjau Mekanisme Arbitrase di Dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999”, dalam Arbitrase Dan Mediasi, Jakarta, 08 & 09 Oktober 2002, hlm.79-82

(35)

bertentangan dengan peraturan yang ada dan berlaku (hukum positif) di Indonesia. Adanya pengaturan jual beli gula melalui Keppres yang menyatakan bahwa, jual beli gula hanya boleh dilakukan oleh Bulog, menandakan bahwa pihak individu maupun perusahaan diluar bulog tidak dapat melakukan transaksi jual beli gula karena akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Eksistensi dari perjanjian tersebut oleh karena itu, dapatlah dibatalkan karena tidak sesuai dengan ketertiban umum hukum nasional Indonesia.

B.4. PT Batu Mulia Utama v. Sainrapt et Brice Societe Auxiliarre d’

Enterprises Societe Routiere Colas (“SSC”)

Perkara ini bermula dari adanya perjanjian kerja sama antara PT Batu Mulia dengan SSC. Dalam perjanjian tersebut, ada 2 (dua) pasal yang berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa.42

Pasal XXIII menyatakan sebagai berikut:

All disputes arising in connection with this Agreement shall be finally settled under the Rules of Concilliation and Arbitration of International Chamber of Commerce (“ICC”) by one or more arbitrators appointed in accordance with the said rules. The arbitration shall be held in Jakarta, Indonesia.”

Pasal XVIII menyatakan sebagai berikut:

“This Agreement shall be governed by the laws of the Republic of Indonesia. For the implementation and consequences of this Agreement all parties choose the permanent and irrevocable domicile ath the office of the Registrar of the District Court of in Jakarta.”

PT Batu Mulia Utama dengan mendasarkan diri pada ketentuan Pasal XVIII juncto Pasal XXIII menggugat pihak SSC di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan meminta penetapan agar penyelesaian sengketa ini diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (“BANI”). Gugatan ini dinyatakan tidak dapat diterima. Di tingkat banding, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

42

Referensi

Dokumen terkait

Anestesi lokal adalah obat yang diberikan secara lokal (topikal atau suntikan) dalam kadar yang cukup dapat menghambat hantaran impuls pada saraf yang dikenai oleh obat

Perusahaan yang memiliki nilai hutang yang tinggi dan dapat mengalokasikan dan memanfaatkan tambahan modal eksternal, menandakan bahwa perusahaan tersebut

Homoseksual merupakan salah satu faktor resiko penularan HIV/AIDS, hal ini dikarenakan perilaku seksual pada kelompok homoseksual mempunyai peranan penting dalam

Terdapat sejumlah keuntungan lebih lainnya dari bahan antiviral ini, seperti biaya produksi yang murah, memiliki spektrum antivirus yang luas, cytotoxicity rendah, relatif

Spiral & double-loop wire binding ( Jilid ring spiral Kawat) Jilid spiral ini tersedia dengan bergai jenis ukuran dari yang kecil sampai besar tergantung ketebalan kertas

Periode tahun 1990-an, mulai tumbuh kesadaran dalam diri perempuan perupa untuk memanfaatkan karya seni rupa sebagai media ekspresi mengungkapkan berbagai persoalan gender yang

[r]