• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PERMASALAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PERMASALAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

1

BAB VI

PERMASALAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT

Apa yang akan dipelajari dalam bab ini?

Gambar 6.1

Peta Konsep Mengenai Permasalahan Sosial Dalam Masyarakat

PERMASALAHAN SOSIAL

DALAM MASYARAKAT

Batasan Sosiologis Permasalahan Sosial Permasalahan Masyarakat dan Permasalahan Sosial Ukuran-ukuran Sosiologis Permasalahan Sosial Sumber-sumber dan Klasifikasi Permasalahan Sosial Ekonomi Biologis Psikologis Kebudayaan Permasalahan Sosial dan Pengelompokan Sosial Partikularisme Kelompok Sosial dan Dilema Pembentukan Kepentingan Publik Beberapa Permasalahan Sosial Penting Kemiskinan Kesenjangan Sosial dan Ekonomi Kejahatan Ketidakadilan 3.2. Menganalisis permasalahan sosial dalam kaitannya dengan pengelompokan sosial dan

kecenderungan eksklusi sosial di masyarakat dari sudut pandang dan pendekatan sosiologi 4.2 Memberikan respons dalam mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat dengan cara memahami kaitan pengelompokan sosial dengan kecenderungan eksklusi dan tumbuhnya permasalahan sosial

(2)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

2

A.

Batasan Sosiologis Permasalahan Sosial

Kalian masih ingat pembahasan di kelas X tentang penelitian sosial? Di pembahasan itu kita membahas antara lain tentang “masalah”, “permasalahan”, atau “problema” sebagai topik atau titik awal dilakukannya kegiatan penelitian, karena penelitian memang bertujuan untuk mengatasi suatu masalah melalui prosedur ilmiah. Apa yang dimaksud dengan masalah, permasalahan, atau problema? Tiga istilah itu kita beri makna yang sama, yaitu suatu keadaan yang terjadi tidak seperti yang diharapkan, atau peristiwa yang terjadi tidak pada tempat atau waktu yang tepat. Masalah terjadi ketika das sollen (apa yang seharusnya) tidak sama dengan

das sein (yang terjadi dalam kenyataan). Pembahasan di bagian ini adalah mengenai permasalahan atau problema sosial (social problem).

Apa yang dimaksud dengan permasalahan sosial?

Banyak hal terjadi di kehidupan bermasyarakat yang tidak sebagaimana diharapkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Misalnya dalam hal lalu lintas di jalan, kemacetan lalu lintas adalah hal yang tidak sesuai dengan harapan. Kemacetan juga bisa berdampak pada perilaku pengendara, pengendara yang tertekan pikirannya oleh kemacetan menjadi temparemental, mudah marah, mereka kemudian membunyikan klakson kendaraannya bertubi-tubi, sehingga menimbulkan kegaduhan. Jalanan yang seharusnya menyenangkan, yang terjadi justru meresahkan dan dapat menjadi sumber pertikaian.

Demikian juga dengan harga-harga barang yang semakin tinggi, prosedur layanan birokrasi yang rumit, lambat, dan tidak profesional, tidak sesuai dengan prosedur operasional standar, sehingga belum mampu memberikan layanan yang prima, jalan beraspal yang mulai berlobang, biaya pendidikan yang tinggi, fasilitas kesehatan masyarakat yang kurang memadai, terjadinya pertikaian di antara para warga masyarakat, munculnya kelompok-kelompok intoleran, banyak orang tidak mendapatkan pekerjaan, dan sebagainya merupakan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

Apakah semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat merupakan masalah sosial?

Agar dapat menjawab pertanyaan ini, kalian harus memahami definisi tentang permasalahan sosial. Definisi pertama tentang permasalahan sosial dikutipkan dari buku Sosiologi Suatu Pengantar yang ditulis oleh Soerjono Soekanto, bahwa apa yang disebut permasalahan sosial meliputi gejala-gejala dalam masyarakat yang abnormal, gejala-gejala yang tidak dikehendaki, atau gejala-gejala yang bersifat patologis, atau gejala-gejala merupakan penyakit sosial dalam masyarakat. Mengapa gejala-gejala abnormal itu disebut permasalahan sosial? Pertama, gejala abnormal tersebut melibatkan nilai-nilai sosial dan lembaga sosial atau lembaga kemasyarakatan. Masalah tersebut bersifat sosial karena bersangkut-paut dengan hubungan antar-manusia. Hal tersebut merupakan masalah karena bersangkut-paut dengan gejala-gejala yang menganggu kelanggengan masyarakat.

Dalam Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial Jilid 2 yang disusun oleh Adam Kuper dan Jessica Kuper (halaman 993) disebutkan bahwa permasalahan sosial (social problems) merupakan kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat. Definisi ini sejaan dengan yang dirumuskan oleh Paul B. Horton bahwa permasalahan sosial merupakan kondisi sosial yang tidak diinginkan oleh sejumlah orang karena dikawatirkan akan menganggu sistem sosial.

(3)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

3

Perspektif konstruksionisme yang merupakan perspektif alternatif dalam sosiologi yang muncul sekitar tahun 1970an, menempatkan pemasalahan sosial bukan sebagai keadaan melainkan tindakan. Hal ini berbeda dengan pandangan sosiologi yang menggunakan perspektif objektif sebagaimana disebutkan sebelumnya. Akibatya, banyak hal yang semula dianggap sebagai permasalahan sosial, ternyata –berdasarkan persepektif konstruksionisme-- bukan hal bersifat problematis. Dahulu para orang tua menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk mendisiplinkan anak sesuai dengan pandangan mereka. Sehingga ketika anak-anak tidak menerapkan disiplin seperti yang dilakukan oleh orangtua, maka itu merupakan hal yang meresahkan sebagian besar orangtua atau bahkan masyarakat, sehingga hal itu merupakan permasalahan sosial. Sekarang, jika hal itu dilakukan maka dapat dianggap sebagai telah melakukan penganiayaan atau kekerasan terhadap anak-anak.

Bagaimana keadaan-keadaan yang tidak diinginkan seperti prostitusi, rokok, anak hilang, pelecehan seksual, homoseksualitas, minum-minuman keras, tumbuh dan berkembangnya sekte keagamaan tertentu, prestasi di bidang pendidikan yang rendah, dan sebagainya itu diklaim sebagai permasalahan sosial? Latar belakang sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan di antara keduanya akan sangat menentukan keadaan tersebut sebagai permasalahan sosial atau bukan permasalahan sosial. Sehingga, dalam perspektif ini – konstruksionisme- permasalahan sosial merupakan hal yang subjektif dan relatif. Tindakan-tindakan yang di suatu masyarakat atau sekarang merupakan permasalahan sosial, di tempat lain atau waktu mendatang, keadaan yang sama dengan itu mungkin bukan suatu permasalahan sosial. Berdasarkan uraian ini juga dapat dikatakan bahwa tidak semua masalah yang dihadapi oleh masyarakat otomatis menjadi permasalahan sosial.

Penjelasan C. Wright Mills dalam Sosiological Imagination berikut ini diharapkan lebih dapat memberikan pemahaman. Mills membedakan permasalahan dalam masyarakat menjadi dua macam, yaitu (1) personal troubles of milieu, dan (2) public issue (Kamanto Sunarto, 2000, hal 13).

Personal trouble of milieu merupakan masalah pribadi dan merupakan ancaman-ancaman terhadap nilai-nilai yang didukung pribadi. Sedangkan public issue merupakan hal-hal yang bersifat umum dan berada di luar lingkungan setempat bagi individu; public issue berada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu. Inilah yang merupakan permasalahan sosial. Perhatikan ilustrasi berikut. Suatu kota berpenduduk 100 ribu orang, dan dari data tentang usia produktif, hanya satu orang yang merupakan penganggur. Apakah hal ini merupakan permasalahan pribadi (personal troubles) ataukah permasalahan sosial (public issue)? “Menjadi penganggur” dalam kasus ini merupakan ancaman yang bersifat pribadi, yaitu bagi penganggur itu sendiri. Pemecahan masalah ini juga bersifat pribadi, misalnya penganggur tersebut kemudian mempelajari keterampilan tertentu sehingga dapat digunakan untuk bekerja. Namun, jika dalam suatu kota yang berpenduduk 50 juta orang, dan dari 50 juta orang tersebut terdapat 15 juta orang yang menganggur, maka inilah yang disebut public issue atau permasalahan sosial. Pemecahan masalah demikian tidak bersifat personal karena berada di luar lingkup kesempatan yang tersedia bagi masing-masing individu.

(4)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

4

B.

Ukuran-ukuran Sosiologis Permasalahan Sosial

Setelah kalian mengetahui dan memahami tentang batassan sosiologis permasalahan sosial, berikut dibahas tentang ukuran-ukuran sosiologis mengenai suatu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat itu merupakan permasalahan sosial atau bukan permasalahan sosial.

Kriteria utama

Kriteria utama permasalahan sosial adalah terjadinya ketidaksesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan atau tindakan-tindakan sosial, atau dengan kata lain dalam masyarakat terdapat kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup. Namun, ternyata tidak ada ukuran yang pasti sejauh mana ketidaksesuaian atau kepincangan yang terjadi itu dapat diklasifikasikan sebagai permasalahan sosial atau bukan permasalahan sosial. Hal tersebut sangat tergantung pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan kepekaan masyarakat atas hal tersebut. Sebagaiana telah disampaikan di bagian depan, bahwa latar belakang sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan di antara keduanya akan sangat menentukan keadaan tersebut sebagai permasalahan sosial atau bukan permasalahan sosial. Sehingga secara objektif, ukuran umum yang digunakan adalah apakah gejala tersebut tersebut telah menimbulkan social unrest atau belum. Jika gejala ketidaksesuaian atau ketimpangan tersebut sudah menimbulkan keresahan sosial karena sudah di luar kemampuan kendali para individu atau pribadi-pribadi warga masyarakat, maka jadilah hal tersebut sebagai public issue atau permasalahan sosial, jika belum menimbulkan keresahan sosial, maka hal tersebut masih merupakan masalah yang dihadapi masyarakat sebagai

personal troubles.

Sumber

Pada awalnya, masalah sosial dibatasi pada masalah yang bersumber dari gejala-gejala sosial, tidak saja perwujudannya yang bersifat sosial, tetapi harus juga bersumber dari kondisi-kondisi dan proses-proses sosial. Hal demikian tidak memuaskan pada banyak ahli Sosiologi, karena kepincangan-kepincangan yang bersumber dari gempa bumi, banjir, letusan gunung api, mewabahnya suatu penyakit, dan semacamnya tidak dapat disebut sebagai permasalahan sosial. Dapat saja kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh gagalnya panen. Akhirya sumber permasalahan sosial tidak dibatasi pada kondisi-kondisi dan proses-proses sosial saja, tetapi yang palin pokok adalah gejala-gejala tersebut menimbulkan masalah sosial.

Pihak yang menentukan suatu masalah merupakan permasalahan sosial

atau bukan permasalahan sosial

Barangkali dapat dinyatakan bahwa masyarakatlah yang berhak menentukan suatu permasalahan merupakan permasalahan sosial atau bukan permasalahan sosial. Tetapi segolongan orang yang berkuasa (elite) memiliki peluang lebih besar untuk menentukannya, karena golongan tersebut walaupun jumlahnya sedikit memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar dari orang-orang lain untuk membuat dan menentukan kebijakan sosial.

(5)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

5

Permasalahan sosial manifest dan laten

Permasalahan sosial manifest adalah permasalahan sosial yang memang dianggap sebagaqi masalah oleh sebagian besar warga masyarakat. Namun, ada masalah-masalah sosial yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat tetapi tidak diakui bahwa hal tersebut merupakan masalah karena ketidakmampuan masyarakat mengatasi permasalahan tersebut. Permasalahan sosial yang demikian ini dinamakan permasalahan sosial latent. Misalnya prostitusi yang sebenarnya merupakan gejala menyimpang yang terjadi di hampir semua kota. Sejarah prostitusi dapat dikatakan berhimpitan dengan sejarah tumbuhnya kota. Awalnya sebuah kota adalah ketika ada bagian masyarakat yang karena kekuasaan dan kompetensinya menjadi terbebaskan dari pekerjaan mengolah tanah. Bagian masyarakat ini memiliki waktu luang (lessure time) yang cukup sehingga memerlukan kegiatan mengisi waktu luang. Keuangannya yang sangat memadai memungkinkan bagian masyarakat ini berkesempatan untuk menikmati kesenangan-kesenangan hidup di pusat-pusat hiburan. Masalah lain yang berpotensi menjadi permasalahan sosial yang latent adalah korupsi, masyarakat merasa tidak berdaya mengatasi permasalahan sosial ini karena korupsi sudah lekat melekat di kultur birokrasi. Ketika masyarakat merasa memiliki kekuatan untuk menghapus korupsi dari kultur birokrasi, maka korupsi tidak menjadi permasalahan sosial latent lagi, melainkan menjadi permasalahan sosial yang manifest. Dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia merupakan contoh tentang hal ini.

Perhatian masyarakat terhadap permasalahan sosial

Suatu kejadian yang merupakan permasalahan sosial belum tentu mendapat perhatian oleh masyarakat, sebaliknya kejadian yang mendapat perhatian penuh oleh masyarakat belum tentu merupakan masalah sosial. Tingginya tingkat pelanggaran lalu lintas oleh masyarakat mungkin tidak banyak mendapat perhatian masyarakat, tetapi kecelakaan kereta api yang memakan korban banyak jiwa mendapatkan perhatian penuh masyarakat.

Perhatian masyarakat atas masalah sosial dipengaruhi antara lain oleh (1) jarak sosial, karena jarak sosial yang dekat lebih mampu menimbulkan simpati masyarakat, (2) manifest social problems lebih mendapat perhatian dari masyarakat daripada latent social problems, karena yang pertama masyarakat memiliki keyakinan akan mampu mengatasinya, sedang yang kedua masyarakat merasa tidak berdaya untuk mengatasinya.

C.

Sumber-sumber dan Klasifikasi Permasalahan Sosial

Soerjono Soekanto mengklasifikasikan permasalahan sosial menurut faktor-faktor yang menjadi sumbernya, yaitu

1. Faktor ekonomi, misalnya kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya 2. Faktor Biologis, misalnya penyakit menular

3. Faktor Biopsikologis, misalnya neurosis, disorganisasi jiwa, bunuh diri, dan sebagainya 4. Faktor Kebudayaan, misalnya perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik ras,

konflik etnis, konflik keagamaan, terorisme, dan sebagainya.

Klasifikasi lainnya didasarkan pada kepincangan-kepincangan yang terjadi tersebut disebabkan oleh apa. Ada yang terjadi karena

(6)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

6

1. warisan fisik, misalnya masalah-masalah sosial yang disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya alam,

2. warisan biologi, misalnya bertambah dan berkurangnya penduduk, migrasi, dan sebagainya, dan

3. warisan sosial dan kebijakan sosial, misalnya depresi, pengangguran, hubungan minoritas dengan mayoritas, pendidikan, politik, pelanggaran hokum, agama, pengisian waktu luang, perencanaan sosial, dan sebagainya.

D.

Permasalahan Sosial yang bersumber pada Pengelompokan

Sosial

Pengelompokan sosial merupakan salah satu bentuk dari warisan sosial atau merupakan bagian dari faktor kebudayaan. Tentu kalian masih ingat mengenai pembahasan sebelum bab ini, yaitu mengenai pengelompokan sosial, bahwa salah satu persoalan dalam pengelompokan sosial adalah tumbuh dan berkembangnya eksklusivisme dan partikularisme, karena akan berpengaruh pada hubungan antar-kelompok dalam masyarakat. Beberapa peristiwa dalam hubungan antar-kelompok yang disebabkan oleh berkembangnya eksklusivisme dan partikularisme dapat menjadi permasalahan sosial atau public issue, misalnya praktik-praktik diskriminasi, dominasi kelompok mayoritas terhadap minoritas, kebencian dan antagonisme antar-kelompok, bahkan upaya-upaya pembersihan etnis (genocide).

Hubungan antar-kelompok dalam masyarakat tidak berlangsung pada ruang sosial yang bersifat hampa, melainkan akan berlangsung dengan dipengaruhi oleh dimensi-dimensi tertentu, seperti sejarah masyarakat, sikap, perilaku, institusi, dan gerakan sosial.

Dimensi sejarah

Dimensi sejarah berhubungan dengan masalah tumbuh dan berkembangnya masyarakat serta hubungan antar-kelompok. Misalnya mengapa muncul antagonisme atau kebencian sebagian besar anggota masyarakat terhadap kelompok etnis tertentu? Hal ini kira-kira sama dengan mengapa akhirnya kulit putih lebih dominan daripada kulit hitam, bagaimana hubungan tersebut kemudian menimbulkan dominasi atau perbudakan? Keadaan ini tak lepas dari adanya pengaruh sejarah.

Dimensi sikap

Dimensi sikap meliputi sikap anggota atau suatu kelompok terhadap anggota lain atau kelompok lain. Misalnya, bagaimana sikap warga pribumi (indigenous) terhadap pendatang (migran) atau sebaliknya, sikap pendatang (migran) terhadap pribumi (indigenous)? Dimensi sikap yang akan berpengaruh dalam hal ini adalah masalah stereotype atau prasangka.

Stereotype merupakan anggapan sekelompok orang terhadap kelompok lain dengan ciri-ciri tertentu bahwa mereka itu memiliki “citra tertentu”, berupa sifat-sifat perilaku atau tindakan yang tertentu, dapat bersifat positif atau negatif. Stereotype negatif melahirkan prasangka (prejudice). Karena stereotype merupakan “anggapan tentang citra suatu kelompok atau orang”

maka belum tentu benar, artinya dapat saja semuanya benar atau dapat juga sebagian saja yang benar. Namun, stereotype sangat berpengaruh terhadap hubungan antar-kelompok. Seperti telah disebut di depan, dapat menimbulkan kebencian atau antagonisme di antara kelompok-kelompok. Misalnya orang terkena gejala rasisme, sehingga ia memandang kelompok ras tertentu memiliki martabat yang lebih rendah.

(7)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

7

Dimensi perilaku

Dimensi perilaku yang mempengaruhi dan menimbulkan permasalahan dalam hubungan antar-kelompok adalah tentang diskriminasi dan pemeliharaan jarak sosial. Diskriminasi merupakan “the differential treatment” atau perlakuan yang berbeda terhadap orang atau kelompok yang

memiliki ciri-ciri tertentu. Dibandingkan dengan kaum laki-laki, maka kaum perempuan lebih banyak menghadapi perlakuan yang berbeda ketika ingin mendapatkan pendidikan, pekerjaan, atau jabatan tertentu, karena dianggap berfisik lemah dan emosional. Orang-orang yang menderita penyakit tertentu juga sering menghadapi perlakuan yang berbeda, misalnya diarang sekolah karena dikawatirkan akan menularkan penyakit tertentu. Para wisatawan asing sering mendapatkan pelayanan yang lebih baik daripada wisatawan domestik oleh para pelayan pariwisata, seperti petugas hotel, restoran, toko, dan perusahaan transportasi wisata. Diskriminasi sering berkaitan dengan adanya prasangka, tetapi prasangka bukanlah prasyarat untuk terjadinya diskriminasi, atau tidak selalu prasangka berlanjut pada pemberian perlakuan yang berbeda.

Seseorang yang mendiskriminasi terhadap perempuan, kaum homoseks, mantan nara pidana, penderita penyakit AIDS, atau penyandang cacat, bukan karena meragukan pengetahuan, keterampilan, atau sikap mereka, tetapi kawatir hubungannya dengan orang-orang tersebut akan menimbulkan kerugian baginya. Seorang pemilik pondok dapat saja menolak untuk menyewakan kamar kepada seseorang yang beragama atau bersukubangsa tertentu apabila ia yakin bahwa hal ini akan berakibat terjadinya jarak sosial antara dirinya dengan para tetangga atau kerabatnya.

Dimensi perilaku antara lain menimbulkan permasalahan yang berupa rasialisme (praktik diskriminasi ras), seksisme (diskrminasi terhadap laki-laki atau perempuan), dan ageisme (diskriminasi terhadap orang-orang dari kelompok umur tertentu, misalnya kelompok anak-anak di bawah umur, atau terhadap para lanjut usia).

Dimensi Institusi

Dimensi intitusi ini dapat berlangsung dalam proses-proses yang berhubungan dengan demokratisasi. Di Amerika Serikat dikenal adanya sistem norma dalam demokrasi yang dikenal sebagai Harrenvolk Democracysm, atau demokrasi yang lebih unggul, misalnya munculnya anggapan bahwa jabatan-jabatan strategis itu hanya layah diempati oleh para WASP (White, Anglo Saxon, Protestan). Silakan kalian berdiskusi mengenai demokratisasi di Indonesia, apakah juga dipengaruhi oleh dimensi institusi sebagaimana di Amerika Serikat?

Dimensi Gerakan Sosial

Gerakan sosial (social movement) merupakan aliansi sejumlah besar orang yang berserikat untuk mendorong atau menghambat perubahan sosial. Hubungan antar-kelompok yang berbentuk hubungan antar-ras, antar-etnik, antar-agama, antar-generasi, antar-seks/jenis kelamin, hubungan antara orang-orang yang normal dengan para penyandang cacat fisik atau cacat mental, antara para konformis dengan para penyimpang, dan sebagainya, sering melibatkan gerakan sosial, baik oleh kaum atau orang-orang yang menginginkan perubahan atau pun yang mempertahankan keadaan. Misalnya gerakan sosial kaum homoseks dalam memperjuangkan hak-haknya, gerakan sosial melawan cara hidup tertentu yang dianggap sebagai cara yang ketinggalan zaman, gerakan sosial kaum feminis, dan sebagainya.

(8)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

8

Permasalahan sosial apa saja yang muncul sebagai akibat dari adanya pengelompokan sosial dalam masyarakat? Permasalahan sosial yang muncul cenderung bersumber pada adanya hubungan antar-kelompok. Berdasarkan uraian dari dimensi-dimensi yang mempengaruhi hubungann antar-kelompok dalam masyarakat kiranya sudah tergambarkan apa saja hal yang merupakan public issue atau permasalahan sosial. Gejala-gejala apakah yang kemudian dapat diklaim bahwa itu menimbulkan keresahan sosial? Apakah sejarah masyarakat yang kemudian menimbulkan perbudakan, antagonisme dan kebencian antar-kelompok? Apakah stereotype

dan prasangka antar-kelompok? Apakah diskriminasi dalam segala bentuknya seperti rasialisme, sexisme, ageisme? Apakah ketidaksetaraan kelompok dalam proses dan praktik demokrasi? Apakah adanya gerakan-gerakan sosial dalam masyarakat yang ingin mengubah atau mempertahankan keadaan? Kembali pada ukuran-ukuran sosiologis untuk mengklaim bahwa hal tersebut adalah permasalahan sosial atau public issue, yaitu apakah hal-hal tersebut berhubungan atau berdampak pada hubungan sosial di antara para anggota masyarakat dan apakah hal tersebut menimbulkan keresahan sosial karena mengancam kelangsungan hidup masyarakat dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan.

E.

Beberapa Permasalahan Sosial Penting

Setelah kita membahas tentang permasahan sosial yang berhubungan dengan pengelompokan sosial, selanjutnya kita akan membahas beberapa permasalahan sosial di masyarakat yang penting, yaitu kemiskinan, kriminalitas, kekerasan, kesenjangan sosial-ekonomi, dan ketidakadilan. Bukan berarti permasalahan sosial yang lainnya tidak penting, namun karena berbagai keterbatasan hanya beberapa inilah yang akan dibahas.

1.

Kemiskinan

Definisi kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral.

Ali Khomsan, dkk dalam Buku Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin yang diterbitkan oleh Yayasan Obor (2015), mengemukakan beberapa definisi kemiskikinan, antara lain: (1) keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup, (2) apabila pendapatan suatu komunitas berada di bawah garis kemiskinan, (2) kekurangan kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat yang layak, (3) kondisi seseorang dengan sumberdaya (material, sosial, dan budaya) yang sangat terbatas.

Deklarasi PBB menyatakan bahwa kemiskinan merupakan kondisi yang ditandai oleh kehilangan kebutuhan dasar manusia, termasuk makanan, air minum yang aman, fasilitas sanitasi, kesehatan, perumahan, pendidikan dan informasi.

Dr. Nasikun mengutip Chambers (2001) menyatakan bahwa kemiskinan adalah suatu

integrated concept, yang memiliki lima dimensi, yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) ketidakberdayaan, (3) kerentanan menghadapi situasi darurat, (4) ketergantungan, dan (5) keterasingan baik secara geografis maupun secara sosiologis. Sehingga hidup dalam kemiskinan bukan saja hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan yang rendah (poverty), tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan yang rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal,

(9)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

9

ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan menentukan jalan hidupnya sendiri.

Pada masyarakat sederhana, kemiskinan bukanlah merupakan permasalahan sosial, karena masyarakat tersebut beranggapan bahwa keadaan mereka sudah merupakan takdir, sehingga tidak ada upaya-upaya untuk mengatasinya. Kemiskinan baru merupakan masalah sosial ketika ditetapkannya taraf hidup.

Pada masyarakat modern, kemiskinan merupakan permasalahan sosial, karena sikap masyarakat yang tidak menginginkan adanya keadaan tersebut. Miskin dalam masyarakat kota tidak selalu berarti kurang makan, pakaian, atau perumahan, melainkan karena kondisi ekonominya tidak dapat cukup untuk memenuhi taraf hidup.

Macam-macam kemiskinan

Menurut jenisnya, terdapat tiga jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan relatif, kemiskinan subjektif, dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang terjadi karena perbandingan di antara kelas-kelas pendapatan atau ekonomi dalam masyarakat. Kemiskinan subjektif, yaitu kemiskinan menurut perasaan individu. Kemiskinan relatif dan subjektif bukanlah kemiskinan yang bersifat objektif, karena ukurannya bersifat relatif. Sebuah keluarga dapat saja disebut keluarga kaya karena dibandingkan dengan keluarga dari kelas ekonomi di bawahnya, namun keluarga tersebut menjadi miskin apabila dibandingkan dengan keluarga yang berada di kelas ekonomi di atasnya. Demikian juga tentang “perasaan miskin” dalam kemiskinan subjektif, dari pengamatan sepintas, tampaknya lebih banyak orang yang “merasa miskin” daripada orang yang “merasa kaya”. Perasaan-perasaan demikian sangat dipengaruhi oleh keterikatan seseorang terhadap keyakinan dan ajaran agamanya, ideologi, atau pandangan hidupnya. Berbeda dengan kemiskinan absolut yang dalam hal ini kita dapat menemukan ukuran-ukurannya yang lebih objektif.

Kemiskinan absolut, merupakan kemiskinan yang terjadi ketika tingkat hidup seseorang tidak memungkinnya untuk dapat memenuhi keperluan-keperluan hidupnya yang mendasar, sehingga kesehatan fisik dan mentalnya terganggu. Yang dimaksud kebutuhan hidup mendasar adalah kebutuhan hidup yang diperlukan agar dapat hidup layak, seperti pangan (makanan), sandang (pakaian), papan (rumah tempat tinggal), kesehatan, dan pendidikan. Di antara kebutuhan-kebutuhan tersebut yang paling mendasar adalah pangan. Jika tingkat nutrisi dan gizi konsumsi pangan seseorang rendah, maka berdampak pada rendahnya harapan hidup dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia.

Prof. Sayogya

(pada tahun 1970an) menentukan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan gizi menimal yang diperlukan oleh rata-rata setiap orang. Dari penelitiannya, ditentukan garis kemiskinan adalah tingkat konsumsi per kapita per tahun yang setara dengan 240 kg beras di perdesaan dan 360 kg beras di perkotaan. Kriteria lengkapnya sebagai berikut.

Kriteria Perdesaan (kg/kapita/tahun) Perkotaan (kg/kapita/tahun

Melarat 180 270

Sangat miskin 240 360

Miskin 320 480

Tabel 6.1

(10)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

10

Badan Pusat Statistik (BPS)

Badan Pusat Statistik (BPS) mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan pangan maupun non-pangan. BPS menghitung kemiskinan melalui tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar (basic needs). Indeks yang digunakan adalah Head Count Index (HCI), yang diperoleh dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum pangan dan non-pangan. Kebutuhan minimum pangan yang ditetapkan merujuk pada Widyakarya Pangan dan Gizi 1988, yaitu 2.100 kkal/kapita/hari. Sedangkan kebutuhan minimum non-pangan yang harus dipenuhi adalah perumahan, bahan bakar, sandang, pendidikan, kesehatan, dan transportasi.

Kementerian Dalam Negeri

Kementerian dalam negeri menggunakan ukuran sembilan bahan pokok (sembako), atau yang sekarang dikenal dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Minumum Kabupaten/Kota (UMK), dengan asumsi kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum bagi sebuah keluarga yang terdiri atas seorang suami, seorang isteri, dan dua orang anak.

Tabel 6.2

Upah Minimum Beberapa Propinsi di Indonesia 2014

NO. PROVINSI UMP

2013 (Rp) 2014 (Rp) 2015 (Rp) 1 NANGGROE ACEH D 1,550,000 1,750,000 1,900,000 2 SUMATERA UTARA 1,375,000 1,505,850 1,625,000 3 SUMATERA BARAT 1,350,000 1,490,000 1,615,000 4 RIAU 1,400,000 1,700,000 1,875,000 5 KEPULAUAN RIAU 1,365,087 1,665,000 1,954,000 6 JAMBI 1,300,000 1,502,300 1,710,000 7 SUMATERA SELATAN 1,350,000 1,825,600 1,974,000 8 BANGKA BELITUNG 1,265,000 1,640,000 2,100,000 9 BENGKULU 1,200,000 1,350,000 1,500,000 10 LAMPUNG 1,150,000 1,399,037 1,581,000 11 JAWA BARAT 850,000 1,000,000 2,987,000 *) 12 DKI JAKARTA 2,200,000 2,441,301 2,700,000 13 BANTEN 1,170,000 1,325,000 1,600,000 14 JAWA TENGAH 830,000 910,000 1,685,000 *) 15 DI YOGYAKARTA 947,114 988,500 1,302,500 *) 16 JAWA TIMUR 866,250 1,000,000 2,710,000 *) 17 BALI 1,181,000 1,542,600 1,621,000 18 N T B 1,100,000 1,210,000 1,330,000 19 N T T 1,010,000 1,150,000 1,250,000 20 KALIMANTAN BARAT 1,060,000 1,380,000 1,560,000 21 KALIMANTAN SELATAN 1,337,500 1,620,000 1,870,000 22 KALIMANTAN TENGAH 1,553,127 1,723,970 1,896,000 23 KALIMANTAN TIMUR 1,752,073 1,886,315 2,026,000 24 MALUKU 1,275,000 1,415,000 1,650,000 25 MALUKU UTARA 1,200,622 1,440,746 1,557,000

(11)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

11

NO. PROVINSI UMP

2013 (Rp) 2014 (Rp) 2015 (Rp) 26 GORONTALO 1,175,000 1,325,000 1,600,000 27 SULAWESI UTARA 1,550,000 1,900,000 2,150,000 28 SULAWESI TENGGARA 11,25,207 14,00,000 1,652,000 29 SULAWESI TENGAH 995,000 1,250,000 1,500,000 30 SULAWESI SELATAN 1,440,000 1,800,000 2,000,000 31 SULAWESI BARAT 1,165,000 1,400,000 1,655,000 32 PAPUA 1,710,000 1,900,000 2,193,000 33 PAPUA BARAT 1,720,000 1,870,000 2,015,000

Sumber: bisnis.liputan6.com dan beberapa sumber lainnya.

*) Data 2015 untuk daerah ini tidak lagi UMP tetapi UMK, yang dicantumkan UMK tertinggi di daerah ybs.

Menurut sumber/faktor penyebabnya

Berdasarkan sumber atau faktor penyebabnya dapat diindentifikasi tiga macam kemiskinan, yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.

Kemiskinan natural

Kemiskinan natural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kelangkaan atau ketiadaan sumberdaya alam, juga oleh sebab-sebab natural yang lain seperti cacat fisik bawaan lahir, sakit, usia lanjut, atau karena bencana alam. Beberapa ahli menyebutnya sebagai persistent poverty.

Kemiskinan kultural

Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh berkembangnya kebudayaan kemiskinan, yang meliputi sikap, tindakan, dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang tidak tidak produktif dalam arti ekonomi. Kemiskinan demikian sebagaimana pandangan para penganut teori modernisasi yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor dari si miskin seperti kemalasan dan rendahnya kompetensi dan keterampilan, tidak dimilikinya etika kewirausahaan, budaya yang tidak terbisa dengan kerja keras, dan sebagainya, atau yang oleh Oscar Lewis disebut sebagai the culture of poverty atau kebudayaan kemiskinan.

Kemiskinan struktural

Kemiskinan struktural disebabkan oleh faktor-faktor yang bersumber dari struktur sosial masyarakat, misalnya kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi asep produksi yang tidak merata, korupsi, kolusi, serta tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Menurut Bagong Suyanto, dkk., kemiskinan struktural terjadi karena eksploitasi kelas sosial di atasnya, bukan karena kesalahan internal si miskin. kemiskinan struktural bersumber pada struktur yang tidak adil dan tindakan kelas sosial yang berkuasa yang dengan kekayaan dan kekuasaanya mengeksploitasi orang-orang dari kelas yang tidak berkuasa.

Berdasarkan sebab-sebab tersebut, maka kemiskinan struktural memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

 Kecil peluang terjadinya mobilitas sosial naik di kalangan masyarakat kelas bawah (miskin)

(12)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

12

 Terjadi apa yang disebut deprivation trap (perangkap kemiskinan), yang terdiri atas lima

unsur, yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, dan (2) keterbelakangan, yang berupa kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kedua hal ini kait-mengait satu dengan lainnya sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang meminimalkan peluang hidup orang (keluarga) miskin untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kemiskinan mengakiibatkan orang tidak mampu menyisakan pendapatannya untuk investasi baik investasi fisik maupun sumberdaya manusia, misalnya pendidikan bagi anak-anaknya. Rendahnya investasi ini akan menyebabkan keterbelakangan yang berupa kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Keterbelakangan yang dialami oleh orang miskin menyebabkan mereka tidak memiliki posisi tawar, jika ia bekerja maka produktivitasnya rendah, dampak berikutnya adalah pendapatannya rendah yang pada gilirian berikutnya menjadikannya sebagai kaum miskin. Perhatikan gambar perangkap kemiskinan dan keterbelakangan berikut!

Gambar 6.2

Perangkap Kemiskinan dan Keterbelakangan

2.

Kriminalitas

Kriminalitas merupakan tingkat atau derajat kejahatan (crime) yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Tingginya kriminalitas menjadi permasalahan sosial karena secara nyata meresahkan serta mengancam ketenteraman dan kenyamanan warga masyarakat. Mengapa orang-orang berbuat jahat atau bertindak kriminal?

Kejahatan merupakan gejala sosial yang bisa terjadi di hampir semua masyarakat. Secara sosiologis, orang menjadi jahat diperoleh dengan cara yang sama dengan orang berperilaku baik, yaitu melalui proses belajar (EH Sutherland), yaitu proses-proses seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, indentifikasi, pembentukan konsep diri, atau kekecewaan-kekecewaan yang agresif. Perilaku jahat dipelajari melalui interaksinya dengan orang lain, yaitu orang-orang dengan kecenderungan perilaku menyimpang, merusak, atau melawan hukum.

Ada perbedaan pengertian kejahatan menurut hukum dan kejahatan menurut kriminologi. Menurut hukum kejahatan adalah perilaku yang melanggar undang-undang pidana. Sedangkan

Kemiskinan

Keterbelakangan

Investasi Fisik dan Sumberdaya Manusia

rendah Produktivitas dan

Tingkat Pendapatan yang rendah

(13)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

13

menurut kriminologi, kejahatan tidak hanya yang melawan undang-undang pidana, tetapi semua perbuatan yang menimbulkan cidera pada pihak lain atau ancaman bagi masyarakat, atau menghambat kelancaran tatanan dalam masyarakat. Contoh perilaku yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan: penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, pencurian tanpa atau dengan kekerasan, penipuan, dan sebagainya.

Para ahli sosiologi membuat klasifikasi yang berbeda, sehingga dalam Sosiologi dikenal adanya kejahatan tanpa korban (crime without victims), kejahatan terorganisasi (organized crime), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).

Crime without victim

Tidak semua kejahatan menimbulkan penderitaan pada pihak lain. Kejahatan demikian dinamakan kejahatan tanpa korban (victimless Crime), contohnya berjudi, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, bermabuk-mabukan, hubungan seksual tidak sah yang dilakukan secara sukarela oleh orang-orang dewasa, Walaupun tidak menimbulkan penderitaan bagi orang lain secara langsung, tetapi oleh sebagian besar warga masyarakat atau oleh pihak yang berkuasa dianggap sebagai perbuatan tercela. Perbuatan-perbuatan tersebut secara tidak langsung sebenarnya juga bisa menimbulkan penderitaan bagi pihak lain, seperti tindakan pemabuk di jalan raya bisa menimbulkan cidera pihak lain, pekerja seks komersial dapat menyebarkan penyakit menular seksual, AIDS, dan sebagainya.

Organized Crime

Kejahatan terorganisasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh komplotan berkesinambungan untuk memperoleh uang, kekuasaan, atau keuntungan-keuntungan lainnya, yang dilakukan dengan halan menghindari hukum, melalui penyebaran rasa takut, tindakan korupsi, monopoli secara tidak sah atas jasa tertentu, pemutaran uang hasil kejahatan dalam bentuk saham, penyediaan barang secara melanggar hukum, seperti penjualan barang-barang hasil kejahatan, bisnis pelacuran, perjudian gelap, peminjaman uang dengan bunga tinggi, dan sebagainya.

Kejahatan-kejahatan demikian bahkan bisa lintas negara (transnational organized crime), seperti kejahatan oleh organisasi-organisasi dengan jaringan global. Misalnya penyelundupan senjata, bahan nuklir, obat terlarang, money laundering, perdagangan anak-anak dan perempuan, penyelundupan tenaga asing, dan sebagainya.

White Collar Crime

Kejahatan kerah putih merupakan konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh EH Sutherland dan merujuk pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang atau orang berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya. Termasuk kejahatan kategori ini adalah penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan atau negara, penipuan, dan sebagainya.

Pada awalnya, kejahatan ini disebut business crime atau economic criminality. Memang white

collar crime pada umumnya dilakukan oleh penguasa atau pengusaha di dalam menjalankan

peran dan fungsinya. Keadaan keuangan yang relatif kuat memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat dan hukum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan orang-orang ini kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya, karena keuangan dan kekuasaannya yang kuat.

(14)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

14

Para penjahat kerah putih pada umumnya berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak mengalami gangguan, pada masa anak-anak dan remajanya tidak mengalami hambatan dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkannya, terpenuhi kebutuhan gizi dan nutrisinya sehingga memiliki kecerdasan yang tinggi, bersifat praktis pragmatis, tetapi tidak atau kurang memiliki prinsip-prinsip moral yang kuat. Tetapi yang menjadikan kejahatan jenis ini spesifik, adalah kedudukan dan peranan yang melekat pada pelakunya.

Corporate Crime

Corporate crime merupakan kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi formal (perusahaan) dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Karena tidak dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh badan hukum, pelakunya tidak dapat dipidana. Ada empat jenis corporate crime: (1) kejahatan terhadap konsumen, (2) kejahatan terhadap publik, (3) kejahatan terhadap pemilik perusahaan, dan (4) kejahatan terhadap karyawan.

Contoh kejahatan terhadap konsumen adalah kasus biskuit beracun di Indonesia pada tahun 1989 (Tempo, 4 November 1989 dan 6 Januari 1990), sebabnya adalah pemekar biskuit

ammonium bikarbonat tertukar dengan sodium nitrit yang beracun. Pada tahun 2016 terjadi pula penggunaan bahan-bahan kedaluwarsa oleh perusahaan besar yang menjual makanan asal Italia, piza.

3.

Kekerasan (Violence)

Dalam sosiologi, setidaknya ditemukan tiga perspektif tentang kekerasan, sehingga memang tidak memiliki definisi yang tunggal. Persepektif pertama adalah yang memandang kekerasan sebagai tindakan aktor atau kelompok aktor. Perspektif pertama yang dipelopori oleh para ahli biologi, fisiologi dan psikologi beranggapan bahwa kekerasan merupakan tindakan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan bawaan (innate), faktor biologis, atau sebagai konsekuensi kelainan genetik. Sehingga kekerasan didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang yang memiliki kekuattan menghancurkan.

Perspektif kedua adalah perspektif yang memandang kekerasan sebagai produk dari struktur sosial, yang mendefinisikan kekerasan sebagai sesuatu yang menyebabkan orang terhalang mengaktualisasikan potensi dirinya secara wajar. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Johan Galtung bahwa kekerasan terdiri atas kekeraasan yang langsung atau tampak dan kekerasan yang tidak langsung atau tidak tampak.

Persektif ketiga, adalah perspektif yang memandang kekerasan sebagai jejaring antara struktur sosial dan aktor, sehingga kekerasan itu dapat dilakukan oleh aktor (kekerasan mikro) dan kekerasan struktur (kekerasan makro). Tokoh perspektif ini adalah Jennifer Turpin dan Lester R. Kurtz. Perspektif ketiga ini berusaha untuk menjelaskan kekerasan secara komprehensif, bahwa kekerasan itu bersumber dari aspek-aspek yang sifatnya normatif dan juga bersumber dari aspek empirik. Misalnya dalam memahami kekerasan yang berlatar belakang agama, maka sumbernya dapat berasal dari aspek normatif, misalnya bahwa agama oleh para pemeluknya dianggap sebagai “ultimate truth” atau kebenaran yang bersifat puncak dan universal. Hal ini

berpotensi menimbulkan ketegangan-ketegangan horizontal di antara kelompok-kelompok agama, atau dapat juga di antara kelompok-kelompok dalam agama, akibat penafsiran yang berbeda tentang suatu kebenaran.

(15)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

15

Di samping itu kekerasan berlatar belakang agama juga dapat bersumber dari aspek empirik dalam masyarakat bahwa (1) eksklusivitas dari pemimpin atau penganut agama, (2) sikap tertutup dan saling curiga di antara kelompok-kelompok agama, (3) keterkaitan yang berlebihan dengan simbol-simbol agama, (4) agama menjadi alat untuk mencapai tujuan tertentu, bisa politik, ekonomi, atau kepentingan-kepentingan lainnya, dan (5) terjadinya kesenjangan ekonomi, politik, dan sosial di antara kelompok-kelompok agama.

4.

Kesenjangan Ekonomi dan Sosial

Kesenjangan atau ketimpangan ekonomi dan sosial merupakan salah satu dari permasalahan sosial karena merupakan gejala atau kondisi yang keberadaannya tidak diinginkan oleh sebagian besar warga masyarakat. Apabila secara ekonomi dalam masyarakat terdapat ketimpangan yang nyata, dapat berdampak pada munculnya permasalahan sosial yang lain seperti berbagai macam konflik, kerusuhan, kejahatan, serangan bersenjata, dan lain-lainnya yang bersumber pada adanya kecemburuan sosial terhadap kelas atas. Potensi timbulnya konflik antar-kelas pendapatan akan lebih besar apabila pemilahan kelas-kelas ekonomi dalam masyarakat berhimpitan dengan pemilahan berdasarkan parameter-parameter SARA (sukubangsa, agama, ras, antar-golongan sosial lainnya).

Apa yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi dan sosial? Kesenjangan ekonomi dan sosial merujuk pada perbedaan tingkat pendapatan atau kedudukan antara kelas ekonomi dan sosial bawah dengan kelas ekonomi dan sosial atas. Kesenjangan ini dapat terjadi negara, antar-daerah dalam suatu negara, antar-profesi yang berbeda, ataupun antar-kelompok atau golongan yang ada di dalam masyarakat.

Pembangunan masyarakat yang terlalu sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menciptakan kesenjangan ekonomi dan sosial yang cukup jauh di antara kelas-kelas dalam masyarakat.

Kesenjangan ekonomi merupakan jarak antara kelas ekonomi atas dengan kelas ekonomi bawah. Dapat meliputi kesenjangan luas pemilikan atau penguasaan lahan pertanian di perdesaan, kesenjangan pemilikan alat-alat produksi di perkotaan, kesenjangan peranan dalam proses produksi, dan kesenjangan tingkat pendapatan dan atau kekayaan.

Secara nasional, kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat dapat dilihat dari distribusi pendapatan nasional. Jika 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah mendapatkan kurang dari 12 persen pendapatan nasional, berarti masyarakat tersebut mengalami kesenjangan ekonomi yang tinggi. Apabila 40 persen penduduk perpendapatan rendah tersebut mendapatkan 12 sampai dengan 17 persen pendapatan nasional, berarti masyarakat tersebut mengalami kesenjangan yang sedang, dan apabila 40 persen penduduk berpendapatan rendah mendapatkan lebih dari 17 persen pendapatan nasional, berarti kesenjangan ekonominya rendah.

Jika kesenjangan ekonomi merupakan perbedaan atau jarak di antara kelas-kelas pendapatan dan kekayaan, maka kesenjangan sosial terwujud pada perbedaan peluang memperoleh pendidikan, layanan kesehatan, aspirasi sosial, dan jarak sosial di antara kelas-kelas sosial yang ada dalam masyarakat. Kesenjangan sosial pada umumnya juga tampak pada adanya kesenjangan budaya, seperti gaya hidup yang berbeda, penggunaan simbol status yang berbeda, yang terwujud pada berbagai macam artefak yang melekat pada kelas sosial tertentu, seperti

(16)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

16

merk dan cara berpakaian, merk sepatu, merk tas, arloji, kendaraan bermotor atau mobil, desain dan lokasi tempat tinggal, dan sebagainya.

Perbedaan gaya hidup antara lain tampak pada bentuk rumah, gaya bahasa, gaya pakaian, pemilikan kendaraan, dan sebagainya. Perbedaan aspirasi sosial misalnya tampak pada perbedaan sikap politik dan pandangan tentang pendidikan, kesehatan, pembangunan. Perbedaan aspirasi sosial dapat berdampak pada perbedaan peluang hidup di antara kelas sosial yang berbeda. Sedangkan perbedaan jarak sosial terwujud dalam kesediaan menerima orang-orang yang berasal dari lapisan atau kelas sosial yang berbeda dan solidaritas (kesetiakawanan sosial).

5.

Ketidakadilan

Bahwa ketidakadilan merupakan keadaan yang tidak diinginkan oleh sebagian besar warga masyarakat tampaknya merupkan pernyataan yang dapat dterima. Itulah mengapa ketidakadilan termasuk dalam permasalahan sosial yang penting dan dibahas di pembelajaran sosiologi kita.

Hampir semua bangsa dan umat manusia di dunia mendambakan adanya keadilan dan kesetaraan, misalnya di hadapan hukum dan dalam mendapatkan perlakuan dari komponen-komponen masyarakat, baik oleh individu, kelompok-kelompok sosial, asosiasi, dan tentu saja organisassi pemerintah. Namun, dalam hubungan antar-manusia, perorangan atau kelompok terjadi juga peristiwa-peristiwa yang berupa ketidakadilan, misalnya ketidaksetaraan di hadapan hukum, diskriminasi, rasisme, rasialisme, seksisme, ageisme, ketidakadilan gender, dan lain-lainnya.

Diskriminasi merupakan perlakuan yang berbeda terhadap orang atau kelompok dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam hal pendidikan. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu sering dijumpai norma-norma, adat, atau kebiasaan yang tidak mendukung atau bahkan melarang kaum perempuan untuk berpartisipasi seluas-luasnya dalam pendidikan formal. Perlakuan yang semacam juga terjadi dalam hal pekerjaan, penghasilan, kekuasaan atau peluang politik.

Dalam interaksinya dengan kaum laki-laki perempuan juga sering mengalami bentuk kekerasan, seperti pelecehan seksual, perkosaan, atau kekerasan domestik (domestic violelence), dan ketidakadilan dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan domestik atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, yang di berbagai masyarakat cenderung diasosiasikan dengan pekerjaan kaum perempuan.

Ketidakadilan yang disebut terakhir sering disuarakan oleh para penggerak feminisme. Bagi para feminis, mengasumsikan keterkaitan antara perempuan, rumah, dan feminitas dengan pekerjaan domestik sebagai hal yang meresahkan.

Kaum perempuan dalam banyak masyarakat memang diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik tidak berbayar, yakni mengurus rumah tangga dan pekerjaan-pekerjaan-pekerjaan-pekerjaan yang bersifat afeksi dan emosional serta pengasuhan-pengasuhan anggota keluarga. Sementara para laki-laki diasosiasikan dengan pekerjaan-pekerjaan formal di ranah publik yang berbayar. Pembagian kerja semacam ini merupakan permasalahan sosial bagi para feminis radikal karena hanya menguntungkan para laki-laki atau suami. Tuntutan tentang kesetaraan gender telah

(17)

AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI KELAS XI IPS

17

mengubah karakteristik pekerjaan domestik ini seiring dengan adanya sebagian perempuan yang bekerja di pekerjaan-pekerjaan formal di ranah publik yang berbayar. Teknologi yang dapat menghemat energi fisik dalam menjalankan pekerjaan domestik, misalnya tersedianya kompor listrik atau gas, electric rice cooker, oven microwave, dan sebagainya, telah sedikit banyak menggeser pemilahan pekerjaan yang dianggap sebagai permasalahan sosial karena menimbulkan ketidakadilan. Alat-alat itu telah menjadikan para perempuan memiliki waktu cukup untuk bekerja di sektor publik yang berbayar, dan laki-laki pun mendapatkan kemudahan dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaaan domestik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Santosa. 2010. Sukses Ujian Sosiologi SMA. Jakarta: PT Yudhistira.

2. Agus Purnomo. 2009. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Theologis-Sosial Radikalisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3. Adam Kupper dan Jessica Kupper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

4. Dyole Paul Johnson. 1981. Teori-teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.

5. George Ritzer (Ed). 2013. Sosiologi. (Terjemahan) Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 6. Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. 1999. Sosiologi; Edisi Keenam Jilid I. Jakarta:

PT Erlangga.

7. Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi (Judul Asli: Essentials of Sociology). Jakarta: PT Erlangga.

8. Ali Khosman, dkk. 2015. Indikator Kemiskinan dan Misklasifikasi Orang Miskin.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Fakultas Ekologi Manusia IPB.

9. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (ed.). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

10.John Scott. 2013. Sosiologi The Key Concept. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 11.Kamanto Soenarto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI. 12.Ken Plummer. 2011. Sosiologi The Basic, Terjemahan oleh Nanang Martono dan

Sisworo. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

13.Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

14.Margaret M. Poloma. 1998. Sosiologi Kontemporer. Terjemahan dari Contemporary Sociological Theory. Jakarta: PT Rajawali Pers.

15.Masri Singarimbum dan Sofian Effendi.1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

16.Mohammad Nazir. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 17.Nasikun. 1996. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Rajawali Pers.

18.Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi. 1986. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Yasbit FE UI.

19.Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pantantar; Edisi Baru Keempat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

20.Soerjono Soekanto. 1985. Kamus Sosiologi; Edisi Baru. Jakarta: Rajawali Pers. 21.Soerjono Soekanto. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

22.Tim Sosiologi. 2004. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat Kelas 1 SMA. Jakarta: PT Yudhistira.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Pendeteksian outlier pada regresi nonlinier dengan metode statistik likelihood displacement (LD) dilakukan dengan cara menghilangkan pengamatan yang diduga mengandung

(4) Kendala/hambatan yang dihadapi dalam proses pembuatan seni kerajinan perak teknik filigri adalah bahan baku yang semakin mahal, tidak adanya tempat dan ruang

Oleh karena itu tujuan dari tugas akhir ini adalah Merancang dan membuat PIDS`yang berfungsi untuk memberikan informasi berupa nama kereta, nomor kereta, nomor

Secara praktis peneliti berharap dapat memberikan informasi positif bagi divisi marketing komunikasi PT Indosat untuk dapat mengetahui sejauh mana efektifitas penggunaan media

Dalam tahap pengembangan, hal yang dilakukan untuk membuat aplikasi adalah melakukan pembuatan gambar, pembuatann animasi, dan pemograman dengan menggunakan

proses dari data yang dihasilkan komputer berupa kertas menjadi film. yang siap ditransfer ke

Trial BA k1 (Perlis) 2017 ا.لاؤس نيعبرأ ىلع يوتحت ةقرولا هذه نأ بولطملا :اهعيمج ةلئسلا نع بجأ

d 280°C. Produk yang menggunakan parameter 290°C memiliki kualitas yang buruk. Penggunaan parameter ini akan menyebabkan produk yang dihasilkan mengalami gagal