• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metalografi Kualitatif Dan Kuantitatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metalografi Kualitatif Dan Kuantitatif"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

METALOGRAFI KUALITATIF DAN KUANTITATIF METALOGRAFI KUALITATIF DAN KUANTITATIF

Metalografi kuantitatif adalah Ilmu yang mempelajari secara kuantitatif Metalografi kuantitatif adalah Ilmu yang mempelajari secara kuantitatif hubungan antara pengukuran-pengukuran yang dibuat pada bidang dua dimensi hubungan antara pengukuran-pengukuran yang dibuat pada bidang dua dimensi dengan besaran-besaran struktur mikro dari suatu spesimen berdimensi tiga.

dengan besaran-besaran struktur mikro dari suatu spesimen berdimensi tiga.

Metalografi kuantitatif adalah pengukuran gambar struktur dari potongan, Metalografi kuantitatif adalah pengukuran gambar struktur dari potongan, replika, atau lapisan tipis dari logam-logam yang dapat diamati dengan mikroskop replika, atau lapisan tipis dari logam-logam yang dapat diamati dengan mikroskop optik dan mikroskop elektron. Obyek yang diukur fasa dan butir

optik dan mikroskop elektron. Obyek yang diukur fasa dan butir yang meliputiyang meliputi

A.

A. Fraksi volumeFraksi volume

Perhitungan fraksi volume dilakukan untuk menentukan fraksi volume dari Perhitungan fraksi volume dilakukan untuk menentukan fraksi volume dari fasa tertentu atau dari suatu kandungan tertentu. Teknik yang paling sederhana fasa tertentu atau dari suatu kandungan tertentu. Teknik yang paling sederhana yaitu dengan melihat struktur mikro, memperkirakan fraksi luas. Atau dengan yaitu dengan melihat struktur mikro, memperkirakan fraksi luas. Atau dengan membandingkan struktur mikro dengan pembesaran tertentu terhadap standar membandingkan struktur mikro dengan pembesaran tertentu terhadap standar tertentu yang terdiri dari beberapa jenis dan gambar struktur yang ideal dengan tertentu yang terdiri dari beberapa jenis dan gambar struktur yang ideal dengan  persentase

 persentase yang yang berbeda. berbeda. Dengan Dengan metode metode perhitungan perhitungan ada ada dua dua cara. cara. Cara Cara yangyang  pertama adalah dengan analisa luas

 pertama adalah dengan analisa luas yang diperkenalkan pertama kali oleh Delesse,yang diperkenalkan pertama kali oleh Delesse, Geologis Jerman pada tahun 1848, yang menunjukkan fraksi luas Aa, dari Geologis Jerman pada tahun 1848, yang menunjukkan fraksi luas Aa, dari  potongan

 potongan dua dimensi adalah suatu pdua dimensi adalah suatu perhitungan fraksi volumerhitungan fraksi volume :e :

Vv = A /AT Vv = A /AT

Dimana A adalah jumlah luas fasa yang dimaksud AT adalah luas total Dimana A adalah jumlah luas fasa yang dimaksud AT adalah luas total  pengukura

 pengukuran. n. Pengukuran dapat Pengukuran dapat dengan metode dengan metode planimetri planimetri atau atau dengan memotongdengan memotong foto

foto fasa fasa yang yang dimaksud dimaksud dan dan mencoba mencoba membandingkan lmembandingkan lebar ebar 11 11 fasa fasa yangyang dimaksud dengan lebar foto yang dimaksud. Metode ini kurang sesuai untuk fasa dimaksud dengan lebar foto yang dimaksud. Metode ini kurang sesuai untuk fasa halus.

halus.

Cara yang kedua adalah dengan analisa garis, metode ini diperkenalkan Cara yang kedua adalah dengan analisa garis, metode ini diperkenalkan oleh Reziwal seorang Geologis Jerman pada tahun 1898. Ia mendemonstrasikan oleh Reziwal seorang Geologis Jerman pada tahun 1898. Ia mendemonstrasikan ekuivalensi antara fraksi garis LL dan fraksi volum. Pada analisa garis, total ekuivalensi antara fraksi garis LL dan fraksi volum. Pada analisa garis, total  panjang dari

 panjang dari garis-garis garis-garis yang ditariyang ditarik k sembarangan sembarangan memotong fasa memotong fasa yang diukur yang diukur LL dibagi dengan total panjang garis LT untuk memperoleh fraksi garis :

(2)

LL = L /LT = Vv

Cara yang kedua yaitu dengan perhitungan titik, diperkenalkan oleh Thomson 1933, Glagolev 1933, Chalkley 1943. Metode ini menggunakan point grind dua dimensi. Caranya test grind diletakkan pada lensa okuler atau dapat diletakkan di depan layar proyeksi atau foto dengan bantuan lembaran plastik. Pembesaran harus cukup tinggi sehingga lokasi titik uji terhadap struktur tampak  jelas. Pembesaran sekecil mungkin dimana hasil memungkinkan pembesaran

disesuaikan dengan daya pisah dan ukuran area untuk ketelitian statistik. Semakin kecil pengukuran semakin banyak daerah yang dapat dianalisa dengan derajat ketelitian statistik tertentu. Titik potong adalah perpotongan 2 garis grind:

Pp = P /PT = L /nPo

Dimana n adalah jumlah perhitungan dan Po jumlah titik dari grind. Jadi PT = nPo, jumlah total titik uji pada lensa okuler umumnya menggunakan jumlah titik terbatas yaitu 9, 16, 25, dan seterusnya dengan jarak teratur. Sedangkan untuk grind yang digunakan didepan screenmempunyai 16, 25, 29, 64 atau 100 titik. Fraksi volume sekitar 50% sangat baik menggunakan jumlah grind yang sedikit, seperti 25 titik. Untuk volume fraksi yang amat rendah baik digunakan grind dengan jumlah titik yang banyak dalam kebanyakan pekerjaan, fraksi volume dinyatakan dengan persentase dengan dikalikan 100. Ketiga metode dapat dianggap mempunyai ketelitian yang sama.

V V = A A = L L = P

B. Ukuran /besar butir

Metode perhitungan besar butir ada dua cara. Cara yang pertama adalah metode Planimetri yang diperkenalkan oleh Jefferies. Metodenya yaitu dengan rumus :

G = [3,322 Log (NA) ± 2,95]

Dimana NA adalah jumlah butir/ mm2 = (F) (n1+ n2/2) = NAF adalah bilangan Jefferies = M2 / 5000.

(3)

5000 mm2 = Luas lingkaran.

 No butir dapat dilihat di table ASTM Metoda yang kedua adalah dengan metode Intercept yang diperkenalkan oleh Heyne yaitu dengan rumus : G = [6,646 log 9L3) ± 3,298]

PL = P / (LT/M)

Panjang garis perpotongan ;

-L3 = 1 / PL

P = Jumlah titik potong batas butir deng an lingkaran

LT = Panjang garis total

M = Perbesaran

P1 atau L3 dapat dilihat di table besar butir ASTM

Sebenarnya masih banyak obyek-oblek pengukuran metalografi kuantitatif lainnya yang belum disebutkan. Seperti mengukur luas permukaan dan panjang garis volume, dan distribusi ukuran partikel dengan metode yang berbeda-beda. Semuanya dipakai sesuai dengan permintaan analisa metalografinya. Tetapi yang  paling sering menjadi obyek dalam metalografi kuantitatif biasanya adalah  perhitungan fraksi volume dan perhitungan besar atau ukuran butir.

Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik C. Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik adalah sebuah pemeriksaan untuk mengamati struktur dengan perbesaran 10-100 kali, biasanya digunakan mikroskop cahaya.

D. Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik adalah sebuah pemeriksaan untuk mengamati struktur dengan perbesaran diatas 100 kali, biasanya digunakan mikroskop cahaya ataupun mikroskop elektron dan mikroskop optik.

(4)

 Nomenklatur alat polish dan mikroskop Nomenklatur mikroskop

Sistem kristalografi E. Sistem Isometrik

1. Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Dengan  perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

2. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :

Tetaoidal, Gyroida, Diploida, Hextetrahedral, Hexoctahedral. Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992)

F. Sistem Tetragonal

Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan  panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih  pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.

(5)

Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya,  pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan

nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya  perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚.  Hal ini menjelaskan  bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:

Piramid, Bipiramid, Bisfenoid, Trapezohedral, Ditetragonal Piramid, Skalenohedral, Ditetragonal Bipiramid

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)

G. Sistem Hexagonal

Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).mPada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti,  pada sistem ini, sudut α  dan β  saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚

terhadap sumbu γ.

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada

(6)

sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya  perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚.  Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu  bˉ  dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 7:

Hexagonal Piramid, Hexagonal Bipramid, Dihexagonal Piramid, Dihexagonal BipiramidTrigonal Bipiramid, Ditrigonal Bipiramid, Hexagonal Trapezohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)

H. Sistem Trigonal

Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik sudutnya.

Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya  perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚.  Hal ini

(7)

menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚ terhadap sumbu  bˉ  dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:

Trigonal pyramid, Trigonal Trapezohedral, Ditrigonal Piramid, Ditrigonal Skalenohedral, Rombohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini adalah tourmalinedan cinabar  (Mondadori, Arlondo. 1977)

I. Sistem Orthorhombik

Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang berbeda. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya  panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu  bˉ.

Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:

v Bisfenoid, v Piramid,v Bipiramid

v Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah stibnite, chrysoberyl, aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992)

J. Sistem Monoklin

Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus

(8)

terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang  paling panjang dan sumbu b paling pendek.

Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak lurus (miring).

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya  pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚.  Hal ini menjelaskan  bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas:

Sfenoid, Doma, Prisma

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite, malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)

K. Sistem Triklin

Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan

(9)

sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ;  bˉ^c+= 80˚.  Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu  bˉ dan  bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.

Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:

Pedial dan Pinakoidal

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite, anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase .

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan antara penerimaan total dengan pengeluaran total diperoleh nilai R/C ratio sebesar 1,08 artinya bahwa apabila diasumsikan usaha budidaya ikan kolam

Pendugaan parameter interval rata-rata dengan kepercayaan 95% menunjukkan bahwa panjang kaki puyuh Malon betina dewasa memiliki rentangan 8,76 9,21 yang diperoleh

Kelompok kriteria C = kemudahan penanggulangan masalah dilihat dari perbandingan antara perkiraan hasil atau manfaat penyelesaian masalah yang akan diperoleh dengan sumber daya

Sampel percobaan yang digunakan dalam praktikum ini adalah nugget yang terbuat dari ampas tahu dan ampas kedelai yang telah siap. dimasak artinya nugget tersebut masih dalam

Dari metoda back reflection Laue tersebut, diketahui bahwa kristal tunggal LSMO 327 memiliki sudut arah sumbu c dengan sudut 80° terhadap arah pertumbuhan kristalnya.. Sedangkan

Mengacu pada kajian sistem kristal terlihat bahwa kedua sisi pada penampang tidak sama (a ≠ b ) dan sisi panjang (c) juga tidak sama (a ≠ b ≠ c) sehingga bisa disimpulkan bahwa

Dari metoda back reflection Laue tersebut, diketahui bahwa kristal tunggal LSMO 327 memiliki sudut arah sumbu c dengan sudut 80° terhadap arah pertumbuhan kristalnya.. Sedangkan

Grafik efek panjang daerah slip terhadap perbandingan antara load support capacity kondisi slip dengan load support capacity maksimum (no-slip) dengan variasi gap ratio ...