• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surat Keputusan Rektor Universitas Airlangga Nomor 1520/UN3/2019 tentang Pendanaan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi di Universitas Airlangga tahun anggaran 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Surat Keputusan Rektor Universitas Airlangga Nomor 1520/UN3/2019 tentang Pendanaan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi di Universitas Airlangga tahun anggaran 2019"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Gedung BPPT II Lantai 19, Jl. MH. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat http://simlitabmas.ristekdikti.go.id/

PROTEKSI ISI LAPORAN AKHIR PENELITIAN

Dilarang menyalin, menyimpan, memperbanyak sebagian atau seluruh isi laporan ini dalam bentuk apapun kecuali oleh peneliti dan pengelola administrasi penelitian

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TAHUN TUNGGAL ID Proposal: 100a4c33-8da8-451d-8ff8-70b7fb195ea7 Laporan Akhir Penelitian: tahun ke-1 dari 2 tahun

1. IDENTITAS PENELITIAN A. JUDUL PENELITIAN

Dampak Sosial Penggunaan Gawai (Mobile Phones) di Kalangan Anak-Anak serta Keterlibatan Orang Tua dan Sekolah Dalam Pengembangan Literasi Digital

B. BIDANG, TEMA, TOPIK, DAN RUMPUN BIDANG ILMU

Bidang Fokus RIRN / Bidang

Unggulan Perguruan Tinggi Tema Topik (jika ada)

Rumpun Bidang Ilmu Sosial Humaniora, Seni Budaya,

Pendidikan

-Media, Literasi, Informasi dan Komunikasi

Sosiologi

C. KATEGORI, SKEMA, SBK, TARGET TKT DAN LAMA PENELITIAN

Kategori (Kompetitif Nasional/ Desentralisasi/ Penugasan) Skema Penelitian Strata (Dasar/ Terapan/ Pengembangan) SBK (Dasar, Terapan, Pengembangan) Target Akhir TKT Lama Penelitian (Tahun) Penelitian Desentralisasi Penelitian Terapan Unggulan Perguruan Tinggi SBK Riset Terapan SBK Riset Terapan 6 2 2. IDENTITAS PENGUSUL Nama, Peran Perguruan Tinggi/ Institusi Program Studi/

Bagian Bidang Tugas ID Sinta H-Index

RAHMA SUGIHARTATI Ketua Pengusul

Universitas

Airlangga Ilmu Sosial 5983071 2

HELMY PRASETYO YUWINANTO S.Sos, M.KP Anggota Pengusul 1 Universitas Airlangga Perpustakaan 5983007 0

3. MITRA KERJASAMA PENELITIAN (JIKA ADA)

(65)

penelitian, mitra sebagai calon pengguna hasil penelitian, atau mitra investor

Mitra Nama Mitra

Mitra Pelaksana Penelitian Drs. Hasto Hendarto, MM Mitra Calon Pengguna Drs. Hasto Hendarto, MM

4. LUARAN DAN TARGET CAPAIAN Luaran Wajib

Tahun

Luaran Jenis Luaran

Status target capaian ( accepted, published, terdaftar

atau granted, atau status lainnya)

Keterangan (url dan nama jurnal, penerbit, url paten, keterangan sejenis lainnya)

1 Kebijakan produk

Luaran Tambahan

Tahun

Luaran Jenis Luaran

Status target capaian (accepted, published, terdaftar atau granted,

atau status lainnya)

Keterangan (url dan nama jurnal, penerbit, url paten, keterangan

sejenis lainnya) 1 Prosiding dalam pertemuan ilmiah Internasional terdaftar 1 Publikasi Ilmiah Jurnal Internasional submitted

Nama journal: Behaviour & Information Technology atau Computers in Human Behavior (terindex Scopus)

5. ANGGARAN

Rencana anggaran biaya penelitian mengacu pada PMK yang berlaku dengan besaran minimum dan maksimum sebagaimana diatur pada buku Panduan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi 12.

Total RAB 2 Tahun Rp. 321,885,000 Tahun 1 Total Rp. 149,180,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol. Biaya

Satuan Total

Analisis Data HR Sekretariat/Administrasi

Peneliti OB 2 1,500,000 3,000,000

Analisis Data HR Pengolah Data P

(penelitian) 3 1,500,000 4,500,000

Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 75 50,000 3,750,000

Bahan ATK Paket 1 4,730,000 4,730,000

Bahan Bahan Penelitian (Habis

Pakai) Unit 500 10,000 5,000,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

HR Sekretariat/Administrasi

Peneliti OB 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib,

dan Luaran Tambahan Biaya seminar internasional Paket 1 2,000,000 2,000,000 Pelaporan, Luaran Wajib,

dan Luaran Tambahan

Publikasi artikel di Jurnal

Internasional Paket 2 3,000,000 6,000,000

Pelaporan, Luaran Wajib,

(66)

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol. Biaya

Satuan Total

Pengumpulan Data HR Sekretariat/Administrasi

Peneliti OB 3 1,500,000 4,500,000

Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 18 700,000 12,600,000

Pengumpulan Data Transport OK (kali) 35 150,000 5,250,000

Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 125 50,000 6,250,000

Pengumpulan Data Uang Harian OH 204 400,000 81,600,000

Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 500 8,000 4,000,000

Tahun 2 Total Rp. 172,705,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol. Biaya

Satuan Total

Analisis Data HR Sekretariat/Administrasi

Peneliti OB 2 1,500,000 3,000,000

Analisis Data HR Pengolah Data P

(penelitian) 3 1,500,000 4,500,000

Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 75 50,000 3,750,000

Bahan ATK Paket 1 5,305,000 5,305,000

Bahan Bahan Penelitian (Habis

Pakai) Unit 500 10,000 5,000,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

HR Sekretariat/Administrasi

Peneliti OB 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya seminar internasional Paket 1 2,000,000 2,000,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya penyusunan buku

termasuk book chapter Paket 1 5,000,000 5,000,000 Pelaporan, Luaran

Wajib, dan Luaran Tambahan

Publikasi artikel di Jurnal

Internasional Paket 2 3,000,000 6,000,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya konsumsi rapat OH 105 50,000 5,250,000

Pengumpulan Data HR Sekretariat/Administrasi

Peneliti OB 3 1,500,000 4,500,000

Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 21 700,000 14,700,000

Pengumpulan Data Transport OK (kali) 40 150,000 6,000,000

Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 140 50,000 7,000,000

Pengumpulan Data Uang Harian OH 238 400,000 95,200,000

Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 500 8,000 4,000,000

(67)

A. RINGKASAN: Tuliskan secara ringkas latar belakang penelitian, tujuan dan tahapan metode penelitian, luaran

yang ditargetkan, serta uraian TKT penelitian.

Studi ini bertujuan memetakan situasi problematik di balik makin maraknya menggunaan gawai di kalangan anak-anak, terutama tentang dampaknya terhadap relasi sosial anak, serta bagaimana keterlibatan dan peran orang tua serta sekolah dalam pengembangan literasi digital di kalangan anak-anak, khususnya siswa Sekolah Dasar. Studi ini mendesak dilakukan, sebab ancaman atau resiko di balik makin maraknya penggunaan gawai di kalangan anak-anak benar-benar sudah sangat meresahkan.

Sejak mobil phones mulai meningkat penggunaannya di kalangan anak-anak, semakin banyak pula kajian-kajian tentang dampak dari pemanfaatannya –di antaranya dampak-dampaknya bagi kesehatan mental, fisik, psikologi, kognitif, budaya, dampak terhadap bidang pendidikan, hubungan sosial, serta ancaman cyberbullying dan cybersex. Salah satu dampak penggunaan gawai di sini adalah munculnya kecanduan dan ketergantungan pada mobile phone di kalangan anak-anak, sehingga menyebabkan perilaku yang disebut sebagai nomophobia (no mobile phone phobia). Nomophobia adalah suatu sindrom ketakutan jika berada jauh dari mobile phones dan kecemasan jika tidak memegang mobile phones. Permasalahan yang dikaji dalam studi ini adalah: (1) Bagaimana pola perilaku penggunaan dan pemanfaatan gawai di kalangan anak-anak?; (2) Bagaimana dampak pemanfaatan gawai terhadap relasi sosial yang dikembangkan dalam lingkungan sosial di kalangan anak-anak?; (3) Bagaimana keterlibatan orang tua melakukan sosialisasi tentang pemanfaatan smart phone dan pengembangan literasi digital di lingkungan keluarga?; dan (4) Bagaimana peran sekolah dalam pengembangan literasi digital di kalangan anak-anak?

Studi ini telah dilakukan di 4 daerah, yaitu Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Madiun dan Kabupaten Kediri. Jumlah responden ditetapkan 500 responden, yakni para siswa di jenjang Sekolah Dasar yang di masing-masing daerah dipilih sebanyak 100 responden –kecuali Kota Surabaya sebanyak 200 responden. Di masing-masing kota, semula akan dipilih 2 SD Negeri dan 2 SD Swasta sebagai lokasi penelitian. Tetapi karena dalam praktik ada sejumlah sekolah yang menolak siswanya diwawancarai, maka proses pengumpulan data juga dilakukan di Lembaga Bimbingan Belajar untuk siswa Sekolah Dasar.

Studi ini menemukan bahwa pola perilaku penemuan informasi yang berkembang di kalangan siswa Sekolah Dasar telah mengalami perubahan yang dramatis. Bagi siswa yang merupakan bagian dari iGeneration, kehadiran gawai dan internet telah membuka peluang bagi mereka untuk mengembangkan interaksi dengan sesama peer-group melalui media social, khususnya WhatApps dan Instagram. Anak-anak yang sudah adiktif gawai, mereka biasanya memang menghabiskan sebagian besar waktunya memanfaatkan gawai untuk berbagai keperluan. Dua aktivitas yang menonjol dilakukan siswa SD adalah bermain game dan mengakses berbagai video di Youtube. Aktivitas ini populer dilakukan siswa SD ketika mengisi waktu luang mereka di hari libur atau pada saat jeda istirahat tidak mengerjakan tugas sekolah atau ketika mereka tidak sedang bermain bersama teman-temannya.

Kehadiran gawai di satu sisi memang menjadi media subtitutif untuk mengganti rasa kesepian bila anak-anak sedang sendirian di rumah atau pada saat mereka tidak ada kegiatan lain bersama keluarga atau teman. Tetapi, di sisi yang lain harus diakui kehadiran gawai dan internet juga membuka peluang anak-anak terpapar konten informasi yang negative. Di luar berbagai kelebihan yang ditawarkan gawai, studi ini menemukan ada hal-hal lain yang kontra-produktif. Walaupun tidak semua anak melakukannya, tetapi studi ini menemukan sebagian responden mengaku pernah menjadi korban bullying di media social (cyber bullying), dan sebagian yang lain mengaku pernah melakukan cyber bullying. Sebagian responden mengaku pernah dikirimi teman atau orang lain konten kekerasan, dan bahkan ada responden mengaku pernah aktif mengakses konten kekerasan. Yang memprihatinkan, sebagian responden mengaku pernah dikirimi dan menerima konten cyberporn.

(68)

cenderung mendua. Dalam arti, orang tua cenderung memberi kebebasan anak-anaknya untuk memanfaatkan gawai, tetapi tetap dalam koridor yang bisa ditoleransi. Sementara itu, keterlibatan guru dan sekolah dalam pengembangan literasi di kalangan siswa SD belum berjalan optimal. Studi ini menemukan, tidak lebih dari separuh siswa yang mengaku guru mereka sering mengajarkan agar siswa mencari informasi di internet untuk mendukung mengerjaan tugas-tugas sekolah.

Studi ini menemukan, telah terjadi perubahan perilaku penemuan informasi di kalangan siswa SD yang tidak lagi hanya mengandalkan informasi dari sumber-sumber bacaan cetak di perpustakaan, melainkan telah menjadi bagian YouTube Generation yang lebih banyak menggunakan media sosial (YouTube) melalui smartphone. Di kalangan siswa SD, posisi perpustakaan yang tidak lagi memonopoli peran sebagai lembaga sumber informasi, karena kehadiran smartphone untuk mengakses sumber informasi seperti YouTube dan Google merupakan pilihan alternative bagi siswa SD. Bagi siswa di era milenial, perpustakaan lebih sering dipahami sebagai sumber informasi untuk buku-buku wajib pelajaran sekolah, dan bukan sebagai sumber informasi yang mampu menyediakan kebutuhan informasi yang luas dan beragam bagi siswa.

Luaran wajib penelitian ini adalah “Model Kebijakan Pengembangan Literasi Digital Siswa Melalui Kolaborasi Pustakawan, Guru dan Wali Murid”. Dokumen Model Kebijakan ini telah diterima oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur sebagai mitra dan menurut rencana akan ditindak lanjuti berupa program-program pengembangan literasi digital di kalangan siswa. Luaran Tambahan berupa 1) artikel ilmiah di jurnal internasional terindeks Scopus. Saat ini, artikel untuk jurnal internasional telah disubmit ke jurnal Library Philosophy and Practice (Q3) dengan status under review; 2) Paper untuk International Conference Urban Studies (ICUS 2019) yang telah dipresentasikan.

Penelitian yang dilakukan di tahun 2019 merupakan tahun 1 penelitian yang telah menghasilkan TKT tingkat 5, yaitu berupa kelengkapan dan analisis data penelitian serta model kebijakan pengembangan literasi digital sebagai bentuk penanganan dampak sosial gawai di kalangan siswa SD.

B. KATA KUNCI: Tuliskan maksimal 5 kata kunci.

anak-anak; kecanduan gawai; nomophobia; literasi digital

Pengisian poin C sampai dengan poin H mengikuti template berikut dan tidak dibatasi jumlah kata atau halaman namun disarankan seringkas mungkin. Dilarang menghapus/memodifikasi template ataupun menghapus penjelasan di setiap poin.

C. HASIL PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan secara ringkas hasil pelaksanaan penelitian yang telah dicapai

sesuai tahun pelaksanaan penelitian. Penyajian dapat berupa data, hasil analisis, dan capaian luaran (wajib dan atau tambahan). Seluruh hasil atau capaian yang dilaporkan harus berkaitan dengan tahapan pelaksanaan penelitian sebagaimana direncanakan pada proposal. Penyajian data dapat berupa gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya, serta analisis didukung dengan sumber pustaka primer yang relevan dan terkini.

(69)

Pengisian poin C sampai dengan poin H mengikuti template berikut dan tidak dibatasi jumlah kata atau halaman namun disarankan seringkas mungkin. Dilarang menghapus/memodifikasi template ataupun menghapus penjelasan di setiap poin.

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Studi-studi tentang dampak dan pemanfaatan gawai, terutama tentang information seeking behaviour selama ini telah banyak dilakukan pada kelompok orang dewasa dan berfokus tentang kehidupan sehari-hari, bidang pekerjaan, dan bidang-bidang kehidupan lainnya (Eriksson-Backa, Enwald, Hirvonen, & Huvila, 201876; Mansour & Ghuloum, 201777; Mowbray, Hall, Raeside, & Robertson, 201878; Wellings & Casselden, 201979). Sedangkan studi tentang pengunaan gawai di kalangan siswa umumnya lebih banyak difokuskan pada siswa di jenjang SMA dan mahasiswa (Al-Daihani, 201880; Kwasitsu & Chiu, 201981; Lee & Song, 201582; Madden, Ford, Miller, & Levy, 200683; Nicholas, Huntington, Jamali, Rowlands, & Fieldhouse, 200984). Tidak banyak studi tentang pemanfaatan gawai, terutama tentang information seeking behaviour yang dilakukan terhadap siswa di jenjang Sekolah Dasar. Jikapun ada, studi-studi yang dilakukan lebih berfokus pada information search strategies, dan aspek dampak psikologis yang ditimbulkan akibat penggunaan gawai yang tarafnya terindikasi kecanduan, seperti life satisfaction and loneliness (Liu, Shen, Xu, & Gao, 201385; Vanderschantz, Hinze, & Cunningham, 201486). Hingga saat ini masih belum banyak studi information seeking behaviour yang dilakukan terhadap siswa SD yang menggunakan smartphone.

Dibandingkan berbagai perangkat teknologi informasi lain, seperti laptop, atau Personal Computer (PC), smarthphone merupakan teknologi informasi dan komunikasi yang telah mengubah cara-cara orang berkomunikasi, menemukan informasi, dan melakukan aktivitas-aktivitas sehari-hari –tak terkecuali anak-anak SD. Berbagai aplikasi yang bisa digunakan di dalam smartphone mengakibatkan adanya peningkatan jumlah pengguna yang luar biasa. Memanfaatkan smartphone telah berkembang menjadi kebiasaan serta memunculkan ketergantungan, dan akhirnya inilah yang membuat penggunaan smartphone menjadi semakin pervasive (Oulasvirta, Rattenbury, Ma, & Raita, 201287; Park, Kim, Young, & Shim, 201388). Telah banyak penelitian yang mengkaji berbagai pemanfaatan smartphone dalam berbagai konteks kehidupan, di antaranya work-related use at home and private use at work (Dora, van Hooff, Geurts, Hooftman, & Kompier, 2019)89, travel (D. Wang, Xiang, & Fesenmaier, 2016)90, advertising (Martins, Costa, Oliveira, Gonçalves, & Branco, 2019)91, hospitality industry (D. Wang, Xiang, Law, & Ki, 2016)92.

Di era milenial, salah satu subjek penelitian tenang information seeking behaviour dan dampak penggunaan gawai yang menarik dan penting adalah di kalangan siswa. Tetapi, seperti disinggung di atas-- penelitian terhadap siswa belum sebanyak subjek orang dewasa. Sejak kurun waktu antara tahun 1999-2008 ditemukan hanya sekitar 19,4% penelitian yang berfokus pada siswa dari seluruh studi perilaku informasi (Julien, Pecoskie, & Reed, 2011)93. Sebelum ada media sosial dan smartphone meningkat penggunaannya, penelitian information seeking behaviour pada siswa hanya terkait dengan web searching, online library catalog, electronic encyclopedia (Borgman, Hirsh, Walter, & Gallagher, 199594; Fidel, 199995; Hargittai, 201096; Hirsh, 199797; Kuiper, Volman, & Terwel, 200598; Marchionini, 198999; Wallace, Kupperman, Krajcik, & Soloway, 2000100). Namun ketika penggunaan smartphone dan media sosial meluas dalam masyarakat, terdapat beberapa akademisi yang tertarik untuk mengkaji information seeking behaviour di kalangan anak-anak (Bowler, Julien, & Haddon, 2018)101. Ketika internet dapat diakses melalui perangkat computer/laptop, anak-anak dapat menggunakannya untuk menemukan informasi di rumah dan di perpustakaan. Terlebih lagi ketika mobile phone juga mudah digunakan, maka anak-anak semakin berpeluang memanfaatkannya untuk mendapatkan informasi (Bowler et al., 2018)102.

Banyak studi menemukan bahwa anak-anak generasi internet dan bahkan generasi Z cenderung melakukan berbagai aktivitas melalui smartphone (Turner, 2015103; Zhitomirsky-Geffet & Blau, 2017104). Bisa dikatakan bahwa smartphone tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan keseharian mereka (Ahad & Anshari, 2017)105, bahkan mereka terpapar dan menggunakan mobile media devices sejak berusia 6 bulan hingga 4 tahun (Kabali et al., 2015)106. Melalui banyak aplikasi dalam smartphone, mereka bisa komunikasi, membangun pertemanan, membaca informasi, mencari informasi apapun (Bae, 2015107; Tariq, Tariq, Hussain, & Shahid, 2018108; Zilka, 2018a109). Ketika inovasi dan penggunaan smartphone semakin pervasive, maka kecenderungan information seeking behaviour mereka difasilitasi oleh teknologi tersebut. Karena sudah terbiasa dengan smartphone, mereka juga berusaha menemukan informasi guna penyelesaian tugas-tugas akademik (Asplund, Olin-Scheller, & Tanner, 2018)110. Meskipun anak-anak mempunyai keterbatasan pemahaman tentang pencarian C. HASIL PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan secara ringkas hasil pelaksanaan penelitian yang telah dicapai

sesuai tahun pelaksanaan penelitian. Penyajian dapat berupa data, hasil analisis, dan capaian luaran (wajib dan atau tambahan). Seluruh hasil atau capaian yang dilaporkan harus berkaitan dengan tahapan pelaksanaan penelitian sebagaimana direncanakan pada proposal. Penyajian data dapat berupa gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya, serta analisis didukung dengan sumber pustaka primer yang relevan dan terkini.

(70)

informasi, pada kenyataannya mereka berjuang secara mandiri menggunakan internet melalui smartphone untuk memperoleh informasi (Danovitch, 2019)111. Karena tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan teknologi internet, maka anak-anak menganggap internet yang bisa diakses melalui perangkat gadget sebagai salah satu sumber informasi yang berisi pengetahuan yang bisa dipercaya (Wang, Tong, & Danovitch, 2019)112.

Studi ini mengkaji pola information seeking behaviour yang dilakukan oleh siswa SD dan bagaimana dampak penggunaan gawai di kalangan siswa SD, termasuk bagaimana peran sekolah, guru dan orang tua dalam mencegah agar siswa tidak kecanduan dan bergantung pada gawai dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sebelum itu, dalam bab ini dipaparkan terlebih dahulu karakteristik siswa yang diteliti.

1. Karakteristik Responden

Studi ini telah mewawancarai 500 anak-anak yang semuanya adalah siswa Sekolah Dasar dari empat kota/kabupaten di Provinsi Jawa Timur. Daerah yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Madiun. Di masing-masing kota/kabupaten telah diwawancarai 100 responden –kecuali Kota Surabaya yang jumlah respondennya 200 siswa Sekolah Dasar.

Tabel 1 Kota/Kabupaten Responden Kota/Kabupaten Responden F % 1. Kota Surabaya 200 40 2. Kota Malang 100 20 3. Kab. Kediri 100 20 4. Kota Madiun 100 20 Total 500 100 Sumber: P4

Wawancara dilakukan di sejumlah sekolah dan di Lembaga Bimbingan Belajar (LBB). Sebagian sekolah bersedia menerima tim peneliti dan memberi ijin siswa mereka untuk diwawancarai. Tetapi sejumlah sekolah lain tidak memberi ijin, sehingga akhirnya wawancara dilakukan di sejumlah LBB yang menjadi tempat anak-anak SD mencari tambahan jam belajar.

Tabel 2 Sekolah Responden Sekolah F % 1. SD Negeri 403 80,6 2. SD Swasta Keagamaan 74 14,8 3. SD Swasta Umum 23 4,6 Total 500 100 Sumber: P3

Dari 500 siswa yang diwwancarai, sebagian besar merupakan siswa yang bersekolah di SD Negeri (80,6%). Sementara itu, sisanya adalah siswa yang bersekolah di SD Swasta Keagamaan (14,8%) dan SD Swasta umum (4,6%). Dari segi status ekonomi, siswa yang diteliti relative homogen berasal dari kelas menengah ke bawah. Namun demikian, bukan bearti mereka berasal dari keluarga miskin. Dari penuturan sejumlah informan guru dan dari hasil pengamatan diketahui sebagian siswa bahkan berasal dari keluarga yag secara ekonomi mapan. Hal ini terlihat ketika mereka pulang, siswa tersebut dijemput kendaraan bermotor roda empat. Tabel 3 Kelas Responden Kelas Responden F % 1. Kelas I 33 6,6 2. Kelas II 65 13 3. Kelas III 83 16,6 4. Kelas IV 130 26 5. Kelas V 135 27 6. Kelas VI 54 10,8 Total 500 100 Sumber: P5

Siswa yang diteliti berasal dari berbagai jenjang kelas, mulai dari siswa kelas I hingga siswa kelas VI. Sebagian besar siswa yang diwawancarai, umumnya berasal dari kelas IV hingga kelas VI. Sebanyak 27% merupakan siswa kelas V, dan 10,8% siswa kelas VI. Sebanyak 26% responden merupakan siswa kelas IV.

(71)

Sementara itu, untuk siswa kelas III diketahui sebanyak 16,6%. Untuk siswa kelas II sebanyak 13% dan siswa kelas I sebanyak 6,6%.

Tabel 4

Jenis Kelamin Responden

Jenis Kelamin F % 1. Laki-laki 247 49,4 2. Perempuan 253 50,6 Total 500 100 Sumber: P1 Tabel 5 Usia Responden Usia (tahun) F % 1. 7-8 99 19,8 2. 9-10 217 43,4 3. 11-12 179 35,8 4. 13-14 5 1 Total 500 100 Sumber: P2

Siswa yang diteliti dari aspek jenis kelamin relative berimbang. Dari 500 siswa yang diwawancarai, sebanyak 49,4% berjenis kelamin laki-laki, dan 50,6% responden berjenis kelamin perempuan. Usia responden berkisar antara 7 sampai dengan 14 tahun. Sebagian besar (43,4%) responden berusia sekitar 9-10 tahun. Sedangkan yang berusia 11-12 tahun tercatat sebanyak 35,8%. Dari 500 siswa, yang berusia 7-8 tahun tercatat sebanyak 19,8%. Tabel 6 Berlangganan Wifi Berlangganan Wifi F % 1. Ya 164 32,8 2. Tidak 336 67,2 Total 500 100 Sumber: P6

Di rumah, sebagian besar siswa mengaku orang tuanya tidak berlangganan wifi. Hanya 32,8% responden yang orang tuanya berlangganan wifi di rumah. Untuk responden yang tinggal di kota besar sepert Surabaya atau Malang, kemungkinan untuk berlangganan wifi memang lebih terbuka. Tetapi, untuk siswa yang berasal dari daerah, mereka kebanyakan tidak berlangganan wifi. Sebanyak 67,2% responden mengaku orang tuanya tidak berlangganan wifi yang memungkinkan anak bisa mengakses internet. Namun demikian, sebagian anak mengaku meski orang tuanya tidak berlangganan wifi, mereka tetap bisa mengakses informasi dari dunia maya melalui handphone yang dimiliki.

2. Kepemilikan Gawai

Bagi anak-anak di era milenial, memiliki gawai tampaknya sudah menjadi semacam keharusan. Dewasa ini, nyaris tidak ada anak-anak yang tidak memiliki atau paling-tidak menggunakan handphone untuk berkomunikasi dengan keluarga maupun peer-groupnya. Sebagai bagian dari net generation, atau bahkan bagian dari zetizen, anak-anak dalam rentang usia 7 hingga 14 tahun adalah anak-anak yang sehari-hari telah familiar dengan penggunaan gawai, baik untuk urusan privat dengan keluarga, orang tuanya maupun untuk mendukung urusan dengan peer-group dan tugas-tugas dari sekolah.

Tabel 7

Responden Memiliki Gawai Sendiri

Memiliki Gawai Sendiri F %

1. Ya 359 71,8

2. Tidak 141 28,2

Total 500 100

(72)

Dari 500 anak-anak SD yang diteliti, sebagian besar (71,8%) mengaku telah memiliki gawai sendiri. Sisanya sebanyak 28,2% responden tidak memiliki gawai sendiri, tetapi mereka sehari-hari terbiasa menggunakan gawai milik orang tuanya atau saudaranya. Untuk siswa kelas I atau II, mereka biasanya memang belum memiliki handphone privat miliknya sendiri. Namun demikian, bukan berarti mereka tidak familiar dengan penggunaan gawai, terutama handphone.

Tabel 8 Gawai yang Dimiliki

Gawai yang Dimiliki F %

1. Handphone 343 95,54

2. Tablet/I-Pad 13 3,62

3. Laptop 3 0,84

Total 359 100

Sumber: P8

Sehari-hari untuk anak-anak yang masih kelas I dan II itu biasanya meminjam handphone milik orang tua atau kakaknya. Di mal, misalnya, ketika ada sebuah keluarga yang makan di sebuah restoran, maka hampir bisa dipastikan anak-anak mereka yang berusia 7-8 tahun akan duduk tenang sambil memainkan handphne dalam genggamannya untuk melihat berbagai hal, termasuk bermain game. Handphone itu biasanya milik orang tuanya yang mereka pinjam sementara untuk bermain.

―Aku biasanya pinjam punya mamaku. Kalau punya kakak ndak boleh tak pinjam. Punya mama yang boleh. Kalau pas makan, aku biasanya lihat-lihat dan main game. Sambil nunggu makanan datang. Di rumah aku ya sering pinjam HPnya mama. Pokoknya kalau sudah ndak ada PR aku main HP….‖, tutur Risky (7 tahun), siswa kelas I di salah satu SD swasta di Kota Surabaya.

Dari 359 siswa SD yang memiliki gawai sendiri, hampir semua berupa handphone (95,54%). Hanya 3,62% responden yang mengaku memiliki gawai berupa talet atau iPad. Sementara itu, sebanyak 0,84% responden mengaku memiliki laptop. Handphone tampaknya menjadi pilihan utama anak—anak, karena di samping lebih praktis dan mudah dibawa, handphone juga menjadi media bagi mereka menjalin komunikasi dengan orang tua dan teman-temannya.

Tabel 9

Asal Gawai yang Dimiliki

Asal Gawai yang Dimiliki F %

1. Dibelikan Baru 228 63,51

2. Dibelikan Second Hand 21 5,85

3. Bekas dari Orang Tua 85 23,68

4. Bekas dari Kakak 25 6,96

Total 359 100

Sumber: P9

Gawai yang dimiliki anak-anak, sebagian besar adalah gawai baru (63,51%). Artinya mereka memang dibelikan gawai baru oleh orang tuanya untuk dipergunakan sebagai gawai pribadi anak yang bersangkutan. Hanya sebanyak 23,68% responden yang mengaku gawai yang mereka miliki adalah bekas dari orang tuanya, dan 6,96% responden mengaku gawai yang mereka miliki adalah gawai bekas milik kakaknya. Sebanyak 5,85% responden mengaku gawai yang dimiliki merupakan gawai second hand yang dibeli dari toko gadget. Bagi sebagian anak tidak masalah apakah gawai yang mereka pakai gawai bekas atau bukan, yang penting masih bisa dipakai.

Tabel 10

Usia Pertama Kali Diberi Gawai

Usia Pertama Kali Diberi Gawai (tahun) F %

1. 2 – 3 7 1,95 2. 4 – 6 48 13,37 3. 7 – 9 209 58,22 4. 10 – 12 95 26,46 Total 359 100 Sumber: P10

(73)

Usia pertama kali responden memiliki gawai, sebagian besar pada saat mereka berusia 7-9 tahun (58,22%). Namun demikian, sebanyak 13,37% responden mengaku telah memiliki gawai pada saat mereka berusia 4-6 tahun, bahkan sebanyak 1,95% responden mengaku memiliki gawai sendiri ketika mereka berusia 2-3 tahun. Sejumlah responden yang sudah memiliki gawai sendiri tatkala masih berusia 2-2-3 tahun itu, umumnya berupa iPad yang mereka gunakan untuk bermain game atau untuk aktivitas pleasure lainnya. Dari 359 responden yang memiliki gawai sendiri, sebanyak 26,46% responden mengaku memiliki gawai sendiri ketika berusia 10-12 tahun. Menurut penuturan sejumlah orang tua yang sempat diwawancarai di sekolah, mereka mengaku kadang khawatir kalau gawai membuat anak-anak mereka kecanduan game dan lupa untuk belajar. Namun demikian, karena teman-teman anaknya juga telah memiliki gawai, sejumlah informan mengaku tidak bisa menolak ketika anaknya meminta dibelikan handphone.

Tabel 11

Gawai yang Pertama Kali Dimiliki

Gawai yang Pertama Kali Dimiliki F %

1. Handphone 298 83,01

2. Tablet/I-Pad 57 15,88

3. Laptop 4 1,11

Total 359 100

Sumber: P11

Untuk jenis gawwai yang dimiliki responden pertama kali, sebagian besar (83,01%) berupa handphone. Hanya 15,88% responden yang memiliki tablet atai iPad untuk pertama kali memiliki gadget. Sementara itu, ada 1,11% responden yang mengaku pertama kali memiliki gawai berupa laptop. Siswa yang memiliki laptop ini mengaku lebih suka bermain game di laptop daripada di handphone yang layarnya kecil. Di laptop, gambar yang mereka lihat dan mainkan lebih jelas, sehingga menjadi lebih menyenangkan anak-anak.

Tabel 12

Kepemilikan Gawai yang Dipinjam

Kepemilikan Gawai yang Dipinjam F %

1. Ya, pinjam orang tua 120 85,11

2. Ya, pinjam saudara 21 14,89

3. Ya, pinjam teman 0 0

4. Ya, lainnya 0 0

Total 141 100

Sumber: P12

Untuk 141 responden yang tidak memiliki gawai sendiri, tetapi sehari-hari tetap memanfaatkan gawai, sebagian besar adalah dari hasil meminjam gawai milik orang tua (85,11%). Sebanyak 14,89% responden mengaku memakai gawai hasil mereka meminjam dari saudara. Tidak banyak responden yang meminjam dari kakaknya, karena biasanya tidak diperbolehkan atau tidak diberi ijin kakaknya. Sejumlah informan mengaku selama ini mereka lebih sering meminjam ke orang tuanya, terutama ibu untuk bermain game dari handphone.

Tabel 13

Gawai yang Sering Dipinjam

Gawai yang Sering Dipinjam F %

1. Handphone 139 98,58

2. Tablet/I-Pad 2 1,42

3. Laptop 0 0

Total 141 100

Sumber: P13

Gawai yang sering dipinjam responden, sebagian besar adalah handphone (98,58%). Di kalangan anak-anak, sudah lazim terjadi ketika mereka tengah beristirahat atau pada saat jeda menunggu kegiatan tertentu, mereka akan meminjam handphone milik orang tuanya untuk bermain game, video-video pendek di Youtube atau melihat-lihat informasi hiburan lainnya.

3. Intensitas dan Perilaku Penggunaan Gawai

Bagi generasi internet atau yang disebut iGeneration, gawai seringkali menjadi perangkat yang wajib dimiliki dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi di kalangan anak-anak SD, kebutuhan dan intensitas

(74)

penggunaan gawai tampaknya belum terlalu intens hingga membuat mereka benar-benar kecanduan pada penggunaan gawai. Pada saat mereka sedang libur dan memiliki waktu luang, memang gawai menjadi salah satu kebutuhan yang fungsional bagi anak-anak. Namun demikian, ketika ada kegiatan lain yang dilakukan bersama teman-teman mereka, maka gawai pun tidak selalu harus ada.

Tabel 14

Rata-rata Penggunaan Gawai dalam Sehari

Gawai

Durasi (menit) Total

5 – 154 155 – 304 305 – 454 455 – 604 F % F % F % F % F % 1. Handphone 318 64,90 139 28,37 17 3,47 16 3,27 490 100 2. Tablet/I-Pad 37 97,37 1 2,63 0 0 0 0 38 100 3. Laptop 19 90,48 2 9,52 0 0 0 0 21 100 Sumber: P14

Di kalangan anak-anak SD, penggunaan gawai umumnya berbeda antara satu dengan anak yang lain. Ada sebagian anak yang sebagian besar waktu luangnya dimanfaatkan untuk memainkan gawai, seperti bermain game, bermedia social atau untuk melihat Youtube. Namun demikian, ada pula anak-anak yang hanya mempergunakan gawai skitar 1-2 jam saja. Dalam sehari, rata-rata penggunaan gawai di kalangan anak-anak SD sebagian besar anak-anak (64,90%) berkisar antara 5-154 menit atau sekitar 5 menit hingga 2,5 jam. Namun demikian, sebanyak 28,37% responden yang mengaku menggunakan gawai sehari-hari rata-rata sekitar 155 hingga 304 menit. Bahkan, ada 3,47% responden yang mengaku memanfaatkan gawai hingga 305-454 menit, dan sebanyak 3,27% responden mengaku memanfaatkan gawai hingga 455-604 menit setiap harinya atau sekitar 7 jam lebih setiap harinya. Anak-anak yang sudah adiktif gawai, mereka biasanya memang menghabiskan sebagian besar waktunya memanfaatkan gawai untuk berbagai keperluan.

Intensitas pemanfaatan gawai di kalangan anak-anak biasanya meningkat pada saat mereka sedang libur sekolah. Di mal-mal di kota besar seperti Surabaya, misalnya, ketika anak-anak tengah jalan-jalan atau makan bersama orang tuanya, sudah lazim terjadi sembari menunggu makanan dating atau sambil makan, mereka biasanya memanfaatkan gawai miliknya untuk bermain game atau untuk mengakses konten-konten lain di dunia maya. Sebuah kelurga dengan 2 orang anak, misalnya, ktika duduk dalam satu meja, biasanya satu dengan yang lain tidak saling bicara karena baik orang tua maupun anak-anak itu disibukkan dengan gawai masing-masing.

Tabel 15 Posisi Gawai saat Tidur

Posisi Gawai saat Tidur F %

1. Dimatikan 272 54,4

2. Tidak dimatikan dan diletakkan tidak jauh dari responden 136 27,2

3. Tidak tentu, kadang dimatikan kadang tidak 92 18,4

Total 500 100

Sumber: P15

Sementara itu, untuk 21 responden yang sehari-hari lebih banyak menggunakan laptop, mereka mengaku setiap harinya rata-rata memanfaatkan waktu sekitar 5 hingga 154 menit untuk duduk di depan meja dan memanfaatkan laptop. Sedangkan sebanyak 38 responen yang lebih sering menggunakan iPad sebagian besar (97,37%) juga mengaku memanfaatkan sekitar 5-154 menit setiap harinya untuk memainkan iPad. Kepemilikan dan penggnaan iPad ini biasanya popular di kalangan siswa Kelas I dan II SD, karena mereka tampaknya lebih banyak memanfaatkan gawai untuk bermain game, dan layer iPad yang lebih lebar daripada handphone membuat iPad lebih digemari anak-anak.

Di kalangan siswa SD, penggunaan gawai tergolong intens, bahkan sebagian responden tampaknya tidak lepas dari gawai. Sekitar separuh responden (54,4%) responden memang mengaku mematikan gawai saat mereka tidur. Tetapi, sebanyak 27,2% responden mengaku tidak mematikan gawai meski mereka tidur. Gawai itu bahkan sengaja diletakkan tidak jauh dari posisi mereka tidur, karena jika tiba-tiba ada informasi masuk atau pangggilan masuk, mereka bisa dengan segera melihatnya. Sebanyak 18,4% responden mengaku tidak tentu, kadang gawai dimatikan, tetapi kadang juga tidak dimatikan. Dari hasil indepth interview diketahui, cukup banyak anak-anak justru sebelum tidur dan menunggu kantuk, mereka memanfaatkan waktu untuk melihat-lihat dan memainkan gawai miliknya terlebih dahulu. Di kalangan siswa Kelas 5 atau 6, mereka biasanya lebih banyak yang mengaku memanfaatkan gawai sebelum tidur daripada siswa kelas 1 atau 2 –yang notabene masih kecil.

(75)

Tabel 16

Rutinitas Paling Sering Mengecek Handphone

Rutinitas Paling Sering Mengecek Handphone F %

1. Bangun tidur langsung mengecek handphone 99 19,8

2. Sikat gigi/mandi, baru mengecek handphone 86 17,2

3. Setelah sarapan baru mengecek handphone 29 5,8

4. Dalam perjalanan ke sekolah mengecek handphone 5 1

5. Tidak mengecek hp di pagi hari, tetapi setelah pulang sekolah baru mengecek gawai

281 56,2

Total 500 100

Sumber: P16

Berbeda dengan orang dewasa yang kebanyakan ingin selalu mengetahui perkembangan informasi terbaru dan sering mengecek handphone untuk mengecek ada-tidaknya info masuk, di kalangan anak-anak tampaknya kebutuhan mereka belum ke arah itu. Separuh lebih responden (56,2%) mengaku mereka biasanya baru mengecek HP tatkala sudah pulang dari sekolah. Hanya 19,8% responden mengaku biasanya mereka bangun tidur langsung mengecek HP. Sebanyak 17,2% responden mengaku setelah sikat-gigi dan mandi, mereka biasanya baru mengecek HP miliknya. Sebanyak 5,8% responden mengaku baru mengecek HP setelah sarapan.

Tabel 17 Pemanfaatan Gawai

Pemanfaatan Gawai Sering Jarang Tidak Pernah Total

F % F % F % F % 1. Akses Informasi 169 33,8 208 41,6 123 24,6 500 100 2. Akses Gambar 141 28,2 227 45,4 132 26,4 500 100 3. Akses Foto 132 26,4 239 47,8 129 25,8 500 100 4. Akses Video 334 66,8 120 24,0 46 9,2 500 100 5. Akses Musik 183 36,6 203 40,6 114 22,8 500 100 6. Akses Games 295 59,0 137 27,4 68 13,6 500 100 7. Komunikasi Media Sosial 213 42,6 171 34,2 116 23,2 500 100 Sumber: P17

Di kalangan siswa SD, pemanfaatan gawai yang paling sering umum adalah untuk mengakses video dari Youtube (66,8%) dan mengakses game-game yang ada di media online (59%). Sebanyak 42,6% responden mengaku sering memanfaatkan untuk menjalin komunikasi melalui media sosial dengan sesama teman atau keluarga. Sementara itu, sebanyak 33,8% responden mengaku sering memanfaatkan gawai untuk mengakses informasi, atau membaca berita dan info lainnya. Sebanyak 28,2% responden mengaku sering memanfaatkan gawai untuk mengakses gambar dan foto (26,4%). Sebagai anak-anak yang sedang dalam masa transisi dan membutuhkan teman untuk bersosialisasi, anak-anak memang banyak yang memanfaatkan handphone untuk bermedia social. Tetapi, dibandingkan sebagai media berkomunikasi, keberadaan gawai tampaknya lebih banyak dimanfaatkan anak untuk menonton Youtube dan bermain game. Artinya daripada membaca, anak-anak lebih banyak memanfaatkan gawai untuk bermain dan menonton.

Tabel 18

Pemanfaatan Media Sosial

Media Sosial Sering Jarang Tidak Pernah Total

F % F % F % F % 1. Facebook 63 12,6 79 15,8 358 71,6 500 100 2. Instagram 126 25,2 91 18,2 283 56,6 500 100 3. WhatsApp 263 52,6 140 28,0 97 19,4 500 100 4. Line 17 3,4 30 6,0 453 90,6 500 100 5. Twitter 7 1,4 10 2,0 483 96,6 500 100

(76)

6. Grup WA 219 43,8 143 28,6 138 27,6 500 100

7. Grup Line 15 3,0 23 4,6 462 92,4 500 100

Sumber: P19

Ketika anak-anak menjalin interaksi dengan teman atau keluarga, selama ini media social yang seringkali dimanfaatkan anak-anak untuk berjejaring social, terutama adalah WhatsApp (52,6%), baru kemudian disusul Instagram (25,2) dan Facebook (12,6%). Sebanyak 43,8% responden juga mengaku sering memanfaatkan Group WA untuk media berkomunikasi dengan sesama temannya. Bagi anak-anak, berkomunikasi melalui WhatsApp dinilai lebih praktis, gratis dan dapat respon langsung, sehingga interaktifitas yang berlangsung bisa seketika. Ini berbeda dengan facebook yang tidak setiap waktu orang membuka dan menjawab info yang masuk.

Tabel 19

Benda yang Harus Dibawa

Benda yang Harus Dibawa

Ya, Wajib Ada Ya, Tapi Lupa Tidak Apa

Tidak Masalah

Tidak Bawa Total

F % F % F % F % 1. HP 144 28,8 152 30,4 204 40,8 500 100 2. Laptop 7 1,4 2 0,4 491 98,2 500 100 3. Tablet/I-Pad 11 2,2 14 2,8 475 95,0 500 100 4. Dompet/Ua ng 242 48,4 119 23,8 139 27,8 500 100 5. Buku Bacaan 73 14,6 108 21,6 319 63,8 500 100 6. Tas 174 34,8 109 21,8 217 43,4 500 100 Sumber: P20

Sebagai bagian dari net generation kebutuhan anak-anak untuk berkomunikasi melalui media social dengan memanfaatan teknologi informasi relative tinggi. Tetapi bukan berarti mereka menjadi tergantung dan setiap waktu harus membawa handphone, tablet/iPad atau laptop. Dari 500 responden yang diteliti, sekitar separuh responden (48,4%) mengaku lebih mementingkan membawa dompet atau uang. Sebanyak 34,8% responden menyatakan tas sebagai salah satu bekal yang wajib dibawa. Yang menggembirakan sebanyak 14,6% responden menyatakan buku bacaan merupakan bekal wajib yang harus ada.

4. Dampak Penggunaan Gawai

Kehadiran gawai bagi anak-anak, di satu sisi memang menawarkan kemudahan dan juga hal-hal lain yang bermanfaat. Namun demikian, di sisi yang lain, ketika gawai hadir dengan segala kelebihannya, ternyata di saat yang sama juga mengundang resiko bagi anak-anak. Munculnya cyber bullying, kemungkinan anak terkontaminasi pornografi dan peluang anak terpapar kekerasan juga menjadi lebih terbuka pada saat mereka memegang gawai dan mengakses internet.

Tabel 20

Perasaan Ketika Tidak Membawa Handphone Perasaan Ketika Tidak Membawa

Handphone

Ya Tidak Total

F % F % F %

1. Takut ketinggalan informasi 74 14,8 426 85,2 500 100

2. Takut tidak bisa dihubungi 94 18,8 406 81,2 500 100

3. Takut tidak ada kegiatan saat luang 116 23,2 384 76,8 500 100

4. Takut tidak bisa bermain game 192 38,4 308 61,6 500 100

5. Takut tidak bisa nonton Youtube 148 29,6 352 70,4 500 100 6. Takut tidak bisa lihat Instagram 60 12,0 440 88,0 500 100

(77)

7. Disuruh bawa HP oleh orang tua 58 11,6 442 88,4 500 100

8. Tidak merasakan apa-apa 307 61,4 193 38,6 500 100

Sumber: P21

Bagi anak-anak di Provinsi Jawa Timur, handphone selama ini termasuk benda yang sering bahkan selalu mereka bawa. Meski sebagian besar mengaku tidak masalah kalau suatu saat handphone mereka ketinggalan. Namun demikian, cukup banyak responden yang mengaku membutuhkan handphone dan bahkan ada indikasi memiliki ketergantungan pada perangkat teknologi informasi ini. Sebanyak 38,4% responden mengaku takut tidak bisa bermain game untuk mengisi jeda waktu luang jika tidak membawa handphone. Sebanyak 29,6% responden juga mengaku kalau tidak membwa handphone takut tidak bisa menonton Youtube. Sementara itu, sebanyak 23,2% responden mengaku tidak nyaman jika handphone ketinggalan, karena kuatir tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan pada saat ada waktu luang. Sembari menunggu atau jeda istirahat, bermain game di handphone, saling membangun interkasi dengan teman dan lain sebagainya adalah aktivitas yang rutin dilakukan sebagian responden ketika mereka tidak memiliki tugas atau kewajiban sekolah yang harus dikerjakan. Sebanyak 11,6% responden wajib dan merasa tidak enak jika tidak memba handphone karena disuruh orang tua untuk selalu membawanya untuk memudahkan komunikasi di antara mereka dengan orang tuanya.

Studi ini menemukan sebanyak 61,4% responden mengaku tidak merasakan apa-apa meskipun mereka tidak membawa handphone. Yang penting mereka ada aktivitas lain yang bisa dilakukan bersama teman, membaca bacaaan popular atau aktivitas yang lain.

Tabel 21

Rata-rata Selang Responden Mengecek Isi HP

Durasi (menit) F % 1. 1 – 45 372 75,92 2. 46 – 90 84 17,14 3. 91 – 135 29 5,92 4. 136 – 180 5 1,02 Total 490 100 Sumber: P22

Keterangan: 10 responden tidak menggunakan HP, dan hanya menggunakan Tablet/I-Pad dan/ Laptop.

Walaupun tidak termasuk yang benar-benar kecanduan dan menyatakan handphone setiap saat harus ada, studi ini menemukan sebagian besar responden tampaknya memiliki keterikatan yang cukup kuat dengan gadget miliknya. Seperti diakui 75,92% responden, bahwa rata-rata selang waktu responden mengecek handphonenya, apakah ada pesan masuk atau tidak, sekitar 1-45 menit sekali. Sebanyak 17,14% responden mengaku jeda mereka mengecek handphone adalah sekitar 46-90 menit atau sekitar 45 menit sampai dengan 1,5 jam. Hanya 1,02% responden yng mengecek handphonenya sekitar 136-180 menit sekali. Selama di sekolah, anak-anak kebanyakan memang tidak diperkenankan membawa handphone di kelas. Tetapi ketika mereka sdang di rumah atau sedang libur sekolah dan handphone ada di tangan mereka, maka kebutuhan untuk intens mengecek handphone umumnya cukup besar.

Tabel 22

Responden Merasa Tidak Kesepian karena Memanfaatkan HP

Responden Merasa Tidak Kesepian karena Memanfaatkan HP F %

1. Sangat setuju 111 22,22

2. Setuju 182 36,4

3. Ragu-ragu 53 10,6

4. Tidak setuju 144 28,8

5. Sangat tidak setuju 10 2

Total 500 100

Sumber: P23

Bagi anak-anak, keberadaan handphone harus diakui sangat strategis. Dikatakan strategis, sebab sebagian besar responden umumnya merasa kehidupan mereka sehari-hari tertolong dan tidak kesepian karena ada handphone. Dari 500 responden yang diteliti, sebanyak 36,4% responden menyatakan setuju dengan

(78)

pernyataan bahwa ia merasa tidak kesepian karena memanfaatkan handphone. Bahkan, sebanyak 22,22% responden mengaku sangat setuju dengan pernyataan itu. Hanya 28,8% responden yang tidak setuju.

Tabel 23

Kegiatan yang Pernah Dilakukan

Kegiatan yang pernah dilakukan Ya Tidak Total

F % F % F %

1. Cyberbullying 114 22,8 386 77,2 500 100

2. Korban Cyberbullying 163 32,6 337 67,4 500 100

3. Akses Cyberporn 25 5,0 475 95,0 500 100

4. Menerima Cyberporn 61 12,2 439 87,8 500 100

5. Akses konten kekerasan 70 14,0 430 86,0 500 100

6. Dikirimi konten kekerasan 121 24,2 379 75,8 500 100

Sumber: P24

Pada saat mereka sedang berkumpul dengan teman, jalan-jalan atau melakukan aktivitas lain bersama dengan teman atau keluarga, memang tidak masalah jika handphone tidak ada. Tetapi lain soal ketika anakanak sedang sendiri di kamar atau di rumah. Kehaidaran handphone menurut sejumlah informan sangat dibutuhkan agar mereka tidak kesepian, karena dengan adanya handphone mereka tetap bisa menjalin komunikasi dengan siapa saja.

Salah satu fungsi utama handphone bagi anak-anak memang sebagai media untuk berkomunikasi, menjalin interaksi dengan teman atau keluarga. Tetapi, pada saat-saat tertentu, keberadaan handphone ternyata juga dimanfaatkan untuk hal-hal yang beresiko. Di luar berbagai kelebihan yang ditawarkan gawai, ternyata ada hal-hal lain yang kontra-produktif. Walaupun tidak semua anak melakukannya, tetapi studi ini menemukan sebanyak 32,6% responden mengaku pernah menjadi korban bullying di media social (cyber bullying), dan sebanyak 22,8% responden mengaku pernah melakukan cyber bullying. Sebanyak 24,2% responden mengaku pernah dikirimi teman atau orang lain konten kekerasan, dan bahkan 14% responden mengaku pernah aktif mengakses konten kekerasan. Yang memprihatinkan, sebanyak 12,2% responden mengaku pernah dikirimi dan menerima konten cyberporn.

Dari segi jumlah, memang tidak terlalu banyak anak yang menerima efek negative penggunaan gawai. Tetapi, ketika control orang tua makin longgar, dan anak makin terbiasa memanfaatkan gawai untuk mengakses pornografi atau konten kekerasan, maka bukan tidak mungkin akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak itu sendiri. Di era digital seperti sekarang ini, anak-anak yang makin familiar dengan pemakaian gadget, harus diakui salah satu implikasi negatifnya adalah anak-anak menjadi lebih mudah mengakses konten pornografi. Seperti dikatakan Koordinator End Child Prostitution dan Trafficking (ECPAT) Indonesia Ahmad Sofian bahwa internet adalah faktor utama yang memicu bahaya kecanduan pornografi di kalangan anak-anak. Penelitian ECPAT melaporkan, 50% anak yang kecanduan pornografi melakukan tindak kekerasan seksual kepada anak lainnya.

Di kalangan anak-anak milenial, pornografi adalah godaan terbesar yang acapkali harus dihadapi ketika mereka makin terbiasa memanfaatkan gadget dan internet. Berbeda dengan era satu dekade silam di mana anak-anak yang ingin melihat pornografi harus meminjam atau membeli gambar, majalah dan VCD/DVD porno (blue film), kini berkat perkembangan teknologi informasi dan internet, anak-anak dengan mudah mengakses cyberporn setiap waktu dalam berbagai jenis: gambar, cerita atau film porno. Sebagai anak-anak yang sudah akil balik yang memiliki libido yang tinggi, kecenderungan anak-anak untuk terus mengakses pornografi di dunia maya di satu sisi sebetulnya tidak terlalu mengherankan. Tetapi, di sisi yang lain, ketika anak-anak makin kecanduan mengakses pornografi, dan bersikap makin permisif, maka peluang anak-anak menjadi korban sekaligus pelaku tindakan asusila bukan tidak mungkin menjadi lebih terbuka. Kasus-kasus anak-anak yang mengembangkan pergaulan bebas (free sex), membuat video porno dengan pasangannya, melakukan dating rape, dan bahkan tindak pelecehan seksual (sexual harassment) hingga pemerkosaan (rape), ada indikasi makin meningkat bersamaan dengan makin mudahnya anak-anak mengakses cyberporn.

(79)

Tabel 24

Pilihan Kegiatan Sehari-hari

Pilihan Kegiatan Sehari-hari

Lebih senang internetan

Lebih senang

hal-hal lain Sama saja Total

F % F % F % F % 1. Jalan-jalan ke mall 129 25,8 335 67,0 36 7,2 500 100 2. Nonton film di bioskop 160 32,0 311 62,2 29 5,8 500 100 3. Nonton televisi 159 31,8 288 57,6 53 10,6 500 100 4. Olahraga 110 22,0 345 69,0 45 9,0 500 100 5. Kursus/les 129 25,8 320 64,0 51 10,2 500 100 6. Membaca novel/komik 199 39,8 246 49,2 55 11,0 500 100 7. Bermain bersama teman 42 8,4 415 83,0 43 8,6 500 100 Sumber: P25

Sejumlah studi menemukan, anak-anak dan remaja dengan kelompok usia 9 sampai dengan 16 tahun sebanyak 93% terlibat dalam mengakses pornografi online dalam seminggu dan 60% bahkan hampir setiap hari mengakses pornografi internet (Tsaliki, Chronaki, & Olafsson, 2014)113. Secara kuanitatif, jumlah laki-laki dan perempuan yang mengakses internet dilaporkan sebanyak 79% laki-laki dan 51,9% perempuan. Yang sering mengakses internet pornografi laki-laki dengan umur 15 tahun sebanyak 38,5% dan 19 tahun (30,2%). Perempuan dengan umur 15 tahun sebanyak 3,5% dan 19 tahun sebanyak 3,6% (Wallmyr & Welin, 2006)114. Dengan makin meluasnya kepemilikan gawai dan kesempatan anak mengakses internet, bukan tidak mungkin resiko terpapar pornografi juga makin meluas dan mensasar anak-anak yang masih berusia 10-14 tahun.

Selama ini, pilihan aktivitas yang seringkali dilakukan anak-anak sebagian adalah berselancar di dunia maya atau menghabiskan waktu untuk aktivitas yang lain? Ketika pertanyaan ini dilontarkan, sebagian besar responden sebetulnya cenderung lebih senang memanfaatkan wakttu luang untuk hal-hal lain di luar internetan. Tetapi, dari 500 responden yang diteliti cukup banyak anak yang mengaku lebih senang memanfaatkan waktu untuk internetan daripada jalan-jalan ke mal, menonton film bioskop, olahraga, membaca, atau bermain bersama teman. Sebanyak 39,8% responden mengaku lebih senang internetan daripada membaca novel atau komik. Sebanyak 32% responden mengaku lebih senang internetan daripada menonton film di bioskop. Semenrara itu, sebanyak 31,8% responden mengaku lebih senang internetan daripada menonton televisi. Sebanyak 22% responden mengaku lebih senang internetan daripada berolahraga. Bahkan yang ironis, studi ini menemukan ada indikasi sebagian anak (8,4%) ternyata tumbuh menjadi anak yang soliter. Anak-anak yang seharusnya banyak mengisi waktu dengan bermain bersama teman, membangun aktivitas bersama, ternyata ada 8,4% anak yang menyatakan lebih suka internetan sendiri daripada melakukan aktivitas offline.

Tabel 25

Kegiatan yang Dilakukan dalam 6 Bulan Terakhir

Kegiatan 6 Bulan Terakhir Sering Jarang Tidak Pernah Jumlah

F % F % F % F %

1. Belajar dengan teman 147 29,4 261 52,2 92 18,4 500 100 2. Bermain ke rumah teman 308 61,6 166 33,2 26 5,2 500 100 3. Bermain ke rumah saudara 245 49,0 230 46,0 25 5,0 500 100 4. Jalan-jalan ke mall dengan teman 48 9,6 153 30,6 299 59,8 500 100 5. Menginap di rumah teman 30 6,0 142 28,4 328 65,6 500 100

6. Olahraga dengan teman 277 55,4 176 35,2 47 9,4 500 100 7. Main games dengan

(80)

8. Nonton bioskop dengan teman

38 7,6 100 20,0 362 72,4 500 100

9. Berlibur dengan

keluarga 278 55,6 195 39,0 27 5,4 500 100

10. Berlibur ke luar kota dengan teman

36 7,2 132 26,4 332 66,4 500 100

Sumber: P26

Dalam 6 bulan terakhir, aktivitas yang banyak dilakukan anak-anak untuk mengisi waktu luang, sebagian besar adalah bermain ke rumah teman (61,6%), bermain ke rumah saudara (49%), olahraga dengan teman (55,4%), atau berlibur dengan keluarga (55,6%). Studi ini menemukan, sebanyak 29,4% responden mengaku lebih sering memanfaatkan waktu untuk mengerjakan PR atau belajar bersama teman.

Tabel 26

Keseringan Responden Membawa HP dalam Kegiatannya

Keseringan Responden Membawa HP dalam Kegiatannya F %

1. Selalu membawa, tidak pernah tidak membawa 92 18,4

2. Sering 93 18,6

3. Jarang 168 33,6

4. Tidak pernah 147 29,4

Total 500 100

Sumber: P27

Studi ini menemukan, sebanyak 33,6% responden mengaku jarang membawa handphone. Namun sebanyak 18,6% responden mengaku sering membawa handphone, dan bahkan 18,4% responden mengaku selalu membawa handphone kemana pun mereka pergi. Sebanyak 29,4% responden mengaku tidak pernah membawa handphone ketika bepergian. Sementara itu, sebanyak 33,6% responden mengaku jarang membawa handphone. Di kalangan keluarga keleas menengah, anak-anak memang umumnya sudah memiliki handphone sendiri dan terbiasa membawa handphone kemana pun mereka pergi. Tetapi, bagi anak-anak yang berasal dari kelas menengah ke bawah, tidak semua memiliki dan membawa handphone.

Tabel 27

Frekuensi Menanyakan PR menggunakan HP

Frekuensi Menanyakan PR menggunakan HP F %

1. Sering 213 42,6

2. Jarang 151 30,2

3. Tidak pernah 136 27,2

Total 500 100

Sumber: P28

Sebanyak 42,6% responden mengaku sering menggunakan handphone untuk bertanya tentang PR dari sekolah kepada teman-teman mereka. Sebanyak 30,2% responden mengaku jarang memanfaatkan handphone untuk bertanyatentang PR, dan bahkan 27,2% responden menaku tidak pernah bertanya tentang PR melalui handphone. Bagi sebagian besar anak-anak, handphone lebih banyak dipergunakan untuk bermain game, menjalin komunikasi dengan teman lain melalui media social, atau untuk melihat video pendek di Youtube daripada untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan akademis.

5. Keterlibatan Orang Tua dan Keluarga Dalam Pemanfaatan Gawai

Orang tua dan keluarga pada dasarnya adalah habitus yang mempengaruhi perilaku anak-anak, termasuk dalam pengunaan gawai. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang kecanduan, maka kemungkinan besar anak juga tumbuh menjadi anak yang adiktif terhadap penggunaan gawai. Bagi anak-anak, orang tua adalah role model. Apa yang dikerjakan orang tua, sering menjadi preferensi atau acuan bagi anak untuk menirunya.

Tabel 28

Anggota Keluarga yang Tidak Lepas dari HP/I-Pad

Anggota Keluarga yang Tidak Lepas dari HP/I-Pad F %

1. Ayah 152 30,4

(81)

3. Kakak 190 38 4. Kakek 5 1 5. Nenek 1 0,2 6. Adik 33 6,6 7. Tidak ada 9 1,8 Total 500 100 Sumber: P29

Di kalangan anggota keluarga responden, orang yang paling intens menggunakan handphone atau bahkan kecanduan handphone, umumnya adalah kakak responden (38%). Setelah itu, ayah (30,4%) dan ibu (22%) adalah anggota keluarga mereka yang diketahui responden paling sering menggunakan handphone atau iPad. Anggota keluarga lain, seperti kakek (1%), nenek (0,2%), dan adik (6,6%) umumnya tidak banyak memanfaatkan handphone atau iPad untuk memenuhi berbagai hal yang berkaitan dengan urusan mereka. Ketika anak melihat orang tua dan saudaranya getol menggunakan gawai, maka jangan heran jika anak-anak pun kemudian meniru apa yang dilakukan orang tua dan saudaranya.

Tabel 29

Tindakan Orang Tua kepada Responden Tindakan Orang Tua pada

Responden

Sering Jarang Tidak Pernah Total

F % F % F % F % 1. Memarahi karena sering pakai HP 241 48,2 180 36,0 79 15,8 500 100 2. Melarang milik HP 71 14,2 89 17,8 340 68,0 500 100 3. Membolehkan, asal selesai mengerjakan PR 271 54,2 145 29,0 84 16,8 500 100 4. Membolehkan, asal tidak ada ujian

250 50,0 167 33,4 83 16,6 500 100

5. Membolehkan, asal tidak main games

105 21,0 162 32,4 233 46,6 500 100

6. Membolehkan, hanya di hari libur

191 38,2 116 23,2 193 38,6 500 100

7. Tidak pernah melarang menggunakan HP 116 23,2 215 43,0 169 33,8 500 100 8. Memberi nasihat tentang penggunaan HP 314 62,8 109 21,8 77 15,4 500 100 Sumber: P30

Sudah barang tentu, sebagai orang tua, ayah dan ibu responden tidak akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada anak-anak mereka dalam penggunaan gawai. Pada saat anak-anak dinilai kelewat batas atau bahkan adiktif dalam penggunaan gawai, maka sebagai orang tua, tentu ayah atau ibu responden akan memberitahu anak-anaknya. Di berbagai keluarga biasanya ada aturan-auran tertentu tentang kapan responden diperkenankan menggunakan gawai, dan kapan mereka harus jeda dari gawai untuk melakukan hal yang lain.

Studi ini menemukan, separuh lebih responden mengaku orang tua mereka memperbolehkan responden bermain atau menggunakan handphone asalkan sudah selesai mengerjakan PR (54,2%). Sebanyak 50% responden mengaku orang tuanya memperbolehkan responden menggunakan handphone, asalkan tidak ada ujian ke esok harinya. Sebanyak 38,2% responden mengaku diperkenankan orang tuanya menggunakan handphone ketika tanggal dalam kalender berwarna merah alias libur. Dari 500 responden yang diteliti, yang paling banyak (62,8%) umumnya adalah ketika para orang tua memberi nasehat anak-anaknya tentang penggunaan handphone.

Meski pun dalam keluarga yang sibuk, orang tua cenderung membiarkan anak-anak untuk mengisi hari-harinya dengan kegiatannya sendiri, termasuk memanfaatkan gawai. Tetapi, dalam batas-batas tertentu, sebagian besar orang tua umumnya masih ikut berperan dan mengendalikan anak-anaknya agar tidak sampai kecanduan atau adiktif dalam penggunaan gawai yang kelewat batas.

6. Keterlibatan Sekolah dan Literasi Digital

Selain orang tua, guru di sekolah adala pihak yang juga diharapkan ikut mengajarkan kepada siswa bagaimana mereka memanfaatkan gawai dengan benar, dan bagaimana mencegah agar anak-anak tidak terpapar konten informasi yang beresiko ketika mereka beselancar di dunia maya.

(82)

Tabel 30

Peraturan Membawa HP/I-Pad di Sekolah

Anggota Keluarga yang Tidak Lepas dari HP/I-Pad F %

1. Ya, ada peraturan 447 89,4

2. Ya, ada peraturan tapi kadang guru tidak melarang 36 7,2

3. Tidak ada aturan 7 1,4

4. Boleh membawa Hp/I-Pad/Tablet ke sekolah tapi ketika di kelas/jam pelajaran tidak boleh dinyalakan

10 2

Total 500 100

Sumber: P31

Selama ini, penggunaan handpone di berbagai sekolah umumnya memang telah dibatasi. Seperti ditemukan dalam studi ini, sebagian besar responden (89,4%) mengaku di sekolah mereka umumnya tidak diperkenankan membawa HP atau iPad. Sebanyak 7,2% responden mengaku dilarang sekolah, tetapi guru seringkali membiarkan. Hanya 1,4% responden yang menyatakan tidak ada aturan yang melarang siswa membawa handpone ke sekolah. Meski kebanyakan sekolah melarang siswa membawa handphone di kelas, tetapi bukan berarti sekolah melarang sama sekali penggunaan gawai, dan tidak mengijinkan siswa untuk berselancar di dunia maya. Justru dalam banyak kasus, ketika siswa belajar, sekolah justru mengajarkan kepada siswa untuk memanfaatkan kekayaan informasi yang ada di dunia maya untuk mendukung proses pembelajaran.

Tabel 31

Kegiatan Guru di Sekolah Kegiatan Guru di

Sekolah

Sering Jarang Tidak Pernah Total

F % F % F % F % 1. Menjelaskan TI dan fungsinya 136 27,2 205 41,0 159 31,8 500 100 2. Menjelaskan pemanfaatan HP/Ipad/Laptop dengan benar 131 26,2 206 41,2 163 32,6 500 100 3. Menjelaskan cara akses informasi di internet 87 17,4 183 36,6 230 46,0 500 100 4. Mencari informasi di internet untuk tugas sekolah 229 45,8 166 33,2 105 21,0 500 100

5. Tidak boleh mencari informasi di internet untuk tugas sekolah

36 7,2 123 24,6 341 68,2 500 100

6. Menjelaskan bahwa banyak informasi yang tidak bisa dipercaya di internet

99 19,8 173 34,6 228 45,6 500 100

Sumber: P32

Hanya 45,8% siswa yang mengaku guru mereka sering mengajarkan agar siswa mencari informasi di internet untuk mendukung mengerjaan tugas-tugas sekolah. Hanya 27,2% siswa yng mengaku guru mereka sering menjelaskan tentang teknologi informasi dan fungsinya. Sementara itu, hanya 26,2% siswa yang mengakui guru mereka sering menjelaskan apa manfaat gawau dan bagaimana menggunakannya dengan benar.

Sebagai siswa, responden selama ini tidak hanya belajar di kelas, tetapi mereka seringkali juga harus mengerjakan tugas-tugas sekolah dari guru. Dalam system pembelajaran di Indonesia, siswa setiap hari memang dihadapkan pada berbagai tugas dari guru untuk memperdalam penguasaan materi pembelajaran dan melatih siswa trampil mengerjakan tugas sekolah.

Referensi dan informasi yang dibutuhkan siswa untuk mengerjakan tugas sekolah, biasanya bermacam-macam tergantung pada tugas dari guru sesuai mata pelajaran dan materi pembelajaran. Dari pengakuan siswa, dalam satu bulan terakhir, informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas akademik, sebagian besar adalah informasi tentang cara membuat kerajinan tangan (19%), pantun atau puisi (19,6%), dakwah dan ceramah keagamaan (16,4%) dan rumus-rumus (14%). Sebagian responden yang lain mengaku informasi yang mereka butuhkan seringkali adalah video percobaan laboratorium (8,6%), soal-soal matematika dan cara

Gambar

Tabel 2  Sekolah Responden  Sekolah  F  %  1.  SD Negeri  403  80,6  2.  SD Swasta Keagamaan  74  14,8  3
Tabel 8  Gawai yang Dimiliki
Tabel 15  Posisi Gawai saat Tidur
Tabel 17  Pemanfaatan Gawai
+3

Referensi

Dokumen terkait

Partisipasi masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) di Desa Tetehosi, ada beberapa partisipasi yang telah

Lokasi Masjid direncanakan di daerah Gunung Sindur, Bogor yang dekat dengan lokasi perumahan masyarakat dengan kondisi jalan yang sudah lebih baik.. Kondisi fisik bangunan adalah

Matakuliah Ilmu Kedokteran Jiwa Masyarakat mempelajari konsep dan teori yang terkait dengan upaya kesehatan jiwa, salah satu dari 15 upaya kesehatan untuk mewujudkan jiwa

Penelitian ini dilakukan untuk memahami bagaimana penggambaran laki-laki yang terdapat dalam lirik lagu “Selir Hati”, dengan menggunakan kajian pustaka yaitu komunikasi

Untuk itu perlu dibahas terlebih dahulu mengenai perbedaan perangkat lunak Propietary (berlisensi) dan perangkat lunak Open Source, kemudian pentingnya keberadaan sistem operasi

Tapi berbeda dengan latihan fisik, tidak ada kemajuan dengan buku ini”, kutipan tersebut menggambarkan watak tokoh Raib yang pantang menyerah dalam berlatih fisik

PENGARUH DIAMETER BUTIR SILIKA DAN JENIS REAGEN PADA PENYERAPAN ZIRKONIUM DENGAN KOLOM SILIKA GEL Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi optimum dari diameter

Benih disimpan pada temperatur tertentu sebelum disemai pada temperatur yang cocok untuk perkecambahannya.. pertumbuhan atau agar terjadi pembentukan bahan-bahan yang