• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. A. Sebelum Undang-Undang Nomor 35 Tahun ) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. A. Sebelum Undang-Undang Nomor 35 Tahun ) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA SEBELUM DAN

SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG –UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

A. Sebelum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Penggunaan obat-obatan terlarang jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance).

Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor.

Untuk menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang-undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278

(2)

Juncto 536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut.

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gaette No.419, 1949). Baru pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES 6/71, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang

(3)

No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotik (pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. Pada masa ini merupakan periode pertama dari perkembangan kelembagaan Badan Narkotika Nasional yang didirikan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1971, dalam hal ini peran Badan Narkotika Nasional terdapat di dalam penjelasan pasal 34 menurut Undang – Undang no 9 tahun 1976 yaitu melakukan pengawasan dan berkoordianasi dengan penyidik dalam rangka penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika.

Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi. Sehingga disusunlah UU Anti Narkotika nomor 22/1997, menyusul dibuatnya UU Psikotropika nomor 5/1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati.

Tujuan dibentuknya undang – undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya/penyalahgunaan narkotika dan memberantas peredaran gelap narkotika.

Upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika perlu dilaksanakan secara komprehensif dan

(4)

multidimensional, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait baik pemerintah maupun masyarakat.

Pencegahan dan Pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dilakukan dengan membangun upaya pencegahan yang berbasis masyarakat, termasuk didalamnya melalui jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah dengan menggugah dan mendorong kesadaran masyarakat, kepedulian san peran serta aktif masyarakat. Motto yang menjadi pendorong semangat adalah “ Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati “.

Pemerintah juga mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini mempunyai tugas melakukan koordiansi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Di dalam penjelasan Keputusan Presiden no 17 Tahun 2002 dinyataka bahwa Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kegiatan Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika melaksanakan beberapa peran yaitu sebagai berikut :

a. Bidang Pencegahan, dengan memberikan pembinaan kepada masyarakat tentang bahaya narkotika, mendorong dan menggugah kesadaran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi narkotika, serta membangktikan peran aktif serta kepedulian masyarakat untuk memerangi narkotika.

(5)

b. Bidang Rehabilitasi, dilakukan dengan cara medis dan sprtitual dalam mengobati orang yang telah mengkonsumsi narkotika yang bertujuan untuk menyembuhkan dan memulihkan kesehatan fisik dan mental jiwa dri pda pemakai narkotika. Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial.

c. Bidang Penegakan Hukum, menggelar operasi rutin dengan target daerah merah (kawasan jual-beli) untuk dijadikan kawasan hijau (wilayah bebas narkoba). Hal ini merupakan langkah untuk meminimalkan atau membendung penyalahgunaan narkoba yang tidak mengenal waktu, lokasi dan korbannya.

Pada masa ini merupakan perkembangan ketiga dari Badan Narkotika Nasional, akan tetapi badan narkotika nasional pada masa itu dianggap kurang begitu efektif dikarenakan lembaga tersebut hanya bersifat koordinatif dan administratif.

Dalam hal ini masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

(6)

2) Peraturan Presiden No 83 Tahun 2007 Tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, Badan Narkotika Kabupaten/Kota

Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya sudah semakin meningkat sehingga membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif yang menuntut pengembangan organisasi secara proporsional di pusat dan daerah. Kemudian dalam rangka menjamin keterpaduan dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan operasional di bidang ketersediaan, pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya perlu peningkatan koordinasi antar instansi pemerintah.

Hal ini yang mendorong pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 yang merupakan revisi dari Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002.

Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak pidana narkotika adalah suatu realitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut :

a) Melakukan pengkoordinasian dengan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN. Pengkoordinasian ini meliputi berbagai hal yaitu :

(7)

1. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN

2. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan kebijakan di bidang ketersediaan dan P4GN serta pemecahan permasalahan dalam pelaksanaan tugas

3. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dalam kegiatan pengadaan, pengendalian, dan pengawasan di bidang narkotika psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya.

4. Pengoordinasian BNP dan BNK/Kota berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan di bidang P4GN

5. Pengoordinasian antara instansi pemerintah terkait maupun komponen masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah;

6. pengoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

b) Membentuk satuan satgas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing.

(8)

c) Menyusun perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN;

d) Menyusun dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama di bidang P4GN;

e) Melaksanakan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN;

f) Menyelenggarakan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN;

g) Melaksanakan fasilitasi dan pengoordinasian wadah peran serta masyarakat;

h) Melaksanakan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika

i) Melakukan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;

j) peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya;

(9)

k) Melaksanakan kerja sama nasional, regional, dan internasional di bidang P4GN;

l) Melakukan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN;

Kemudian di dalam Bab II, Pasal 15 tentang peranan Badan Narkotika Propinsi dalam bidang pencegahan tindak pidana narkotika, adalah sebagai berikut :

a) Melakukan pengkoordinasian antara perangkat daerah dan instansi pemerintah di provinsi dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional BNN di bidang ketersediaan dan P4GN.

b) Membentuk satuan satgas sesuai kebijakan operasional BNN yang terdiri dari atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di provinsi sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.

Selanjutnya peranan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota di dalam bidang pencegahan tindak pidana narkotika adalah sebagai berikut :

a) Melakukan pengkoordinasian antara petangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota, dalam penyiapan dan penyusunan kebijakan pelaksanaan operasional di bidang P4GN

b) Melakukan pengoperasian satgas yang terdiri dari atas unsur perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota di bidang P4GN sesuai dengan bidang tugas, dan fungsi dan kewenangannya masing-masing

(10)

c) Pelaksanaan pemutusan jaringan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya melalui satuan tugas di lingkungan Kabupaten/Kota sesuai dengan kebijakan operasional BNN

d) Pembangunan dan pengembangan sistem informasi sesuai dengan kebijakan operasional BNN

Badan Narkotika Nasional mempunyai tugas membantu Presiden dalam mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan operasional di bidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya atau dapat disingkat dengan P4GN.

Melaksanakan P4GN dengan membentuk satuan tugas yang terdiri atas unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing masing di bidang Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika pencegahan yang ditempuh oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebagai berikut :

Pencegahan Primer, ditujukan pada anak-anak dan generasi muda yang belum pernah menyalahgunakan narkoba. Semua sektor masyarakat yang berpotensi membantu generasi muda untuk tidak menyalahgunakan narkoba Kegiatan pencegahan primer terutama dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan, penerangan dan pendidikan17

17

Strategi pencegahan primer bertujuan untuk mencegah pergeseran populasi yang awalnya pengguna tak berkala menjadi pengguna rutin yang seharusnya masuk dalam informasi kategori frekuensi

(11)

penggunaan narkoba, jumlah narkoba yang digunakan serta faktor-faktor yang berhubungan dalam proses transisi pecandu narkoba berat.18

Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada pemakai narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian narkoba. Tidak sembarang orang boleh mengobati

Pencegahan Sekunder adalah pencegahan yang ditujukan pada anak-anak atau generasi muda yang sudah mulai mencoba-coba menyalahgunakan narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang dapat membantu anak-anak, generasi muda berhenti menyalahgunakan narkoba. Kegiatan pencegahan sekunder menitikberatkan pada kegiatan deteksi secara dini terhadap anak yang menyalahgunakan narkoba, konseling perorangan dan keluarga pengguna, bimbingan sosial melalui kunjungan rumah.

Pencegahan Tertier ditujukan pada korban Narkoba atau bekas korban narkoba. Sektor-sektor masyarakat yang bisa membantu bekas korban Narkoba untuk tidak menggunakan Narkoba lagi. Kegiatan pencegahan tertier dilaksanakan dalam bentuk bimbingan sosial dan konseling terhadap yang bersangkutan dan keluarga serta kelompok sebayanya, penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial yang menguntungkan bekas korban untuk mantapnya kesembuhan, pengembangan minat, bakat dan keterampilan kerja, pembinaan org tua, keluarga, teman dmn korban tinggal, agar siap menerima bekas korban dgn baik jgn sampai bekas korban kembali menyalahgunakan Narkotika.

(12)

pemakai narkoba. Pemakaian narkoba sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari narkoba secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai narkoba sangat rumit dan membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya mengapa pengobatan pemakai narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya banyak yang gagal. Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik antara dokter, keluarga dan penderita.

Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru, ginjal, dati dan lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asosial. Dan penyakit-penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifili dan lain-lain). Itulah sebabnya mengapa pengobatan narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat. Setelah sembuh, masih banyak masalah lain yang akan timbul. Semua dampak negatif tersebut sangat sulit diatasi. Karenanya, banyak pemakai narkoba yang ketika ”sudah sadar” malah mengalami putus asa, kemudian bunuh diri.

Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar, pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan instansi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong narkoba.Selain mengendalikan produksi dan

(13)

distribusi, program represif berupa penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-undang tentang narkoba. Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi, produksi, penyimpanan, dan penyalahgunaan narkoba adalah : Badan Obat dan Makanan (POM), Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung/ Kejaksaan Tinggi/ Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung (Pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri).

Upaya pencegahan di bidang Penegakan Hukum adalah upaya terpadu dalam pemberantasan narkoba secara kompherehensif, organisasi kejahatan narkoba dengan menerapkan undang – undang dan peraturan – peraturan secara tegas , konsisten dan dilakukan dengan sungguh – sungguh, serta adanya kerjasama anatar instansi dan kerjasama internasional yang saling menguntungkan. Strategi yang dilakukan dalam pengakan hukum dimaksudkan untuk :

a. Mengungkap dan memutus jaringan sindikat perdagangan dan peredaran gelap narkoba, baik nasional maupun internasional.

b. Melakukan proses penanganan perkara sejak penyidikan sampai lembaga pemasyarakatan secara konsisten dan sungguh – sungguh.

c. Mengungkapkan motivasi/latar belakang dari kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

d. Pemusnahan barang bukti narkoba yang berhasil disita, khususnya terhadap narkotika dan psikotropika golongan I.

(14)

e. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap ketersediaan dan peredaran prekursor serta penyitaan terhadap asset milik pelaku kejahatan perdagangan dan peredarn gelap narkoba

Untuk memperlancar pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNN, yang diketuai oleh Kepala Kepolisian Negara Repbulik Indonesia, dibentuklah Pelaksana Harian BNN, yang selanjutnya disebut sebagai Lakhar BNN yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Ketua BNN. Lakhar BNN dipimpin oleh Kepala Pelaksana Harian yang selanjutnya disebut Kalakhar BNN.

Lakhar BNN mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada BNN di bidang ketersediaan dan P4GN. Lakhar BNN terdiri atas sekretariat, inspektorat, pusat dan satuan tugas.

BNN dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika Kabupaten/Kota (BNK). Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi dan baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia.19

19

Pedoman P4GN ( Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007) , hlm:70-73

Badan Narkotika Kabupaten/Kota juga mempunyai peran yang sama dengan Badan Narkotika Nasional dan Badan Narkotika Propinsi yaitu mengkoordinasikan perangkat daerah dan instansi pemerintah di Kabupaten/Kota.

Dalam melaksanakan tugas, setiap pempinan satuan organisasi di lingkungan Lakhar BNN, Lakhar BNP, Lakhar BNK/Kota wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap satuan organisasi di bawahnya.

(15)

Ketua BNN wajib melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNN kepada Presiden secara berkala atau sewaktu – waktu jika dipandang perlu.

Ketua BNP melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNP kepada Gubernur secara berkala atau sewaktu – waktunya jika dipandang perlu dan tembusannya disampaikan kepada BNN.

Ketua BNK/Kota melaporkan pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi BNK/Kota kepada Bupati/Walikota secara berkala atau sewaktu – waktu jika dipandang perlu dan tembusannya disampaikan kepada BNN dan BNP. Dalam melaksanakan tugas BNN,BNP,BNK/Kota dapat mengikutsertakan peran masyarakat.

B. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Program kegiatan upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika atau P4GN terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional didasari oleh kebijakan dan strategi nasional.20

Strategi Nasional P4GN berupa : Peningkatan kampanye anti Narkotika di lingkungan kerja, sekolah dan keluarga, untuk mengurangi tingkat prevalensi penyalahguna Narkotika yang saat ini berjumlah 1,99 % dari total populasi penduduk indonesia. Mengupayakan agar korban yang sembuh meningkat dan korban yang relapse berkurang. Pengungkapan jaringan sindikat meningkat.

(16)

Adapun Kebijakan nasional P4GN yaitu menjadikan masyarakat imun terhadap penyalahgunaan Narkotika, menyembuhkan korban penyalahguna Narkotika melalui proram terapi dan rehabilitasi dan terus menerus memberantas jaringan sindikat Narkotika.

Pelaksanaan program kegiatan yang difokuskan pada dua bidang, yaitu :

a. Supply Reduction (pemberantasan jaringan sindikat Narkotika), BNN

melalui satgas-satgas di bidang penegakan hukum telah dilakukan berbagai langkah dan upaya untuk menghentikan serta memutus mata rantai jaringan dan pasokan Narkotika di pasaran, melalui upaya-upaya antara lain :

1) Pengawasan terhadap peredaran Narkotika, khususnya prekursor yang merupakan bahan utama pembuat Narkotika, dengan cara memonitor para importir atau distributor bahan prekursor.

2) Latihan operasi maritim bersama -- interdiksi antara BNN dengan TNI Angkatan Laut yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman beberapa waktu lalu.

3) Sosialisasi dan pengawasan prekursor untuk para penegak hukum di 11 propinsi. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan para petugas di lapangan mengenai mekanisme dan proses pengawasan prekursor.

4) Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum di bidang penyelidikan tindak pidana Narkotika melalui pelatihan controlled delivery dan computer based training.

(17)

b. Primary Demand Reduction (aktualisasi partisipasi masyarakat). Guna mendorong partisipasi masyarakat dalam menekan penyalahgunaan Narkotika, juga telah dilaksanakan berbagai kegiatan preventif. Penyuluhan dan penerangan tentang bahaya penyalahgunaan Narkotika di 33 propinsi kepada berbagai lapisan masyarakat, seperti lingkungan pendidikan, tokoh agama, tokoh masyarakat, instansi pemerintah dan swasta, para ibu, mahasiswa, pelajar, LSM, dan pemuda. Selain itu juga dilaksanakan upaya pemberdayaan masyarakat yang melibatkan 3.220 orang yang berasal dari lingkungan pendidikan, tenaga kerja, media massa, dan penyandang cacat.

Demand Reduction (penyembuhan penyalahguna Narkotika),

diimplementasikan dalam kegiatan terapi dan rehabilitasi korban penyalahgunaan Narkotika. Kemudian melaksanakan kegiatan - kegiatan lain di bidang terapi rehabilitasi yaitu :

1. Family support group, untuk memberikan pemahaman dan

keterampilan praktis bagi orang tua dan keluarga dalam mendukung kesembuhan para pecandu.

2. Recovery dari segi sosial bagi para pecandu, Narkotika melalui kegiatan bermusik dan olahraga sepakbola.

3. Pengembangan sistem dan metode dengan memberikan akses kunjungan untuk keperluan penelitian, studi banding ataupun konsultasi seputar upaya penanggulangan korban Narkotika.

Referensi

Dokumen terkait

penampilan produk bisa dilihat dari tanpak rasa, bau, dan bentuk dari produk. 8) Kesan Kualitas (perceived quality), sering dibilang merupakan hasil dari

Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah : (1) Memperoleh pemahaman dari unsur-unsur kebudayaan universal masyarakat Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang,

Ada beberapa tahapan yang dapat ditempuh untuk membangun kemitraan Polri dengan Masyarakat, yaitu: (1) Mengoptimalkan fungsi forum kemitraan polisi dan masyarakat

extraordinaire, leplus fort,leplusint駻essant, lemieux馗ritqui aitparu depuistrente ans m駻itait bien qu'enl'ins駻ant dans votrecatalogue, vous l'honorassiez du petitbout

Penelitian empiris di Amerika secara umum menunjukkan bahwa individu yang menikah memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi daripada individu yang tidak menikah, bercerai,

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan yang berasal dari kulit udang yang berbentuk tepung berupa butiran berwarna putih kekuning-kuningan. Sampel

Hal ini pun begitu menyulitkan tatkala terlebih pada orang-orang yang gagap akan teknologi, karena banyak perusahaan yang sekarang ini menaruh minat untuk

No. Mengoreksi pembacaan puisi tentang lafal, intonasi dan ekspresi yang tepat. Mampu mengoreksi pembacaan puisi tentang lafal, intonasi dan ekspresi. Mampu mengoreksi