• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Literasi Matematika. 1. Pengertian Literasi. Maulidi (2016) menjelaskan pengertian literasi adalah kemampuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. A. Literasi Matematika. 1. Pengertian Literasi. Maulidi (2016) menjelaskan pengertian literasi adalah kemampuan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Literasi Matematika 1. Pengertian Literasi

Maulidi (2016) menjelaskan pengertian literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulis dan lisan, pengetahuan tentang genre dan kultural. Menurut Nugraha (2016) Literasi berasal dari kata bahasa latin “littera” yang diartikan sebagai penguasaan sistem-sistem tulisan dan konvensi-konvensi yang menyertainya, selanjutnya istilah literasi lebih diartikan sebagai kemampuan baca tulis, kemudian berkembang meliputi proses membaca, menulis, berbicara, mendengar, membayangkan, dan melihat.

Richard Kern (Nugraha, 2016) mendefinisikan istilah literasi sebagai berikut:

“Literasi is the use of socially, and historically, and culturally situated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose sensitive, literacy is dinamic, non static and variable across and within discourse communities and cultures. It drawn on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of writen and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge.”

(2)

Artinya, literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks. Literasi memerlukan setidaknya sebuah kepekaan yang tak terucap tentang hubungan-hubungan antara konvensi-konvensi tekstual dan konteks penggunaannya serta idealnya kemampuan untuk berefleksi secara kritis tentang hubungan-hubungan tersebut. Karena peka dengan tujuan, literasi bersifat dinamis, tidak statis, dan dapat bervariasi di antara dan di dalam komunitas dan kultur wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahasa tulisan dan lisan, pengetahuan tentang genre (pengetahuan tentang jenis-jenis teks yang berlaku dalam komunitas wacana, misalnya teks naratif, eksposisi, deskripsi, dan lain sebagainya), dan pengetahuan kultural.

2. Kemampuan Literasi Matematika

Menurut Ojose (2011) literasi matematika merupakan pengetahuan untuk mengetahui dan menggunakan dasar matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian ini, siswa yang memiliki kemampuan literasi matematika yang baik memiliki kepekaan konsep-konsep matematika mana yang relevan dengan fenomena atau masalah yang dihadapi. Dari kepekaan ini kemudian dilanjutkan dengan pemecahan masalah dengan menggunakan konsep matematika.

Menurut OECD (2013) Literasi matematika adalah kapasitas siswa untuk merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Mencakup penalaran matematis dan menggunakan

(3)

konsep-konsep matematika, prosedur, fakta, dan alat-alat untuk menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena.

Hal tersebut mengisyaratkan bahwa literasi matematika tidak hanya pada penguasaan materi saja, akan tetapi hingga kepada penggunaan penalaran, konsep, fakta dan alat matematika dalam pemecahan masalah sehari-hari. Selain itu, literasi matematika juga menuntut siswa untuk mengkomunikasikan dan menjelaskan fenomena yang dihadapinya dengan konsep matematika (Sari, 2015).

Sebelum dikenalkan melalui PISA, istilah literasi matematika telah dicetuskan oleh NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) sebagai salah satu visi pendidikan matematika yaitu menjadi melek/literate matematika, sebagaimana tertulis dalam kajian Sari (2015) literasi matematika dalam visi tersebut dimaknai dengan “an individual’s ability to explore, to conjecture, and to reason logically as well as to use variety of mathematical methods effectively to solve problems. By becoming literate, their mathematical power should develop”. Pengertian ini mencakup 4 komponen utama literasi matematika dalam pemecahan masalah yaitu mengeksplorasi, menghubungkan dan menalar secara logis serta menggunakan metode matematis yang beragam. Komponen utama ini digunakan untuk memudahkan pemecahan masalah sehari-hari yang sekaligus dapat mengembangkan kemampuan matematikanya.

Senada dengan pendapat tersebut, Stecey & Tuner (2015) mengartikan literasi dalam konteks matematika adalah kekuatan untuk

(4)

menggunakan pemikiran matematika dalam pemecahan masalah sehari-hari agar lebih siap menghadapi tantangan kehidupan. Pemikiran matematika yang dimaksudkan meliputi pola pikir pemecahan masalah, menalar secara logis, mengkomunikasikan dan menjelaskan. Pola pikir ini dikembangkan berdasarkan konsep, prosedur, serta fakta matematika yang relevan dengan masalah yang dihadapi.

Melengkapi pendapat sebelumnya, Steen, Turner & Burkhard dalam kajian Sari (2015) menjelaskan bahwa literasi matematika dimaknai sebagai kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan pemahaman matematis secara efektif dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari. Siswa yang memiliki kemampuan literasi matematika tidak cukup hanya mampu menggunakan pengetahuan dan pemahamannya saja, akan tetapi juga harus mampu untuk menggunakannya secara efektif.

Menurut Sari (2015) kemampuan literasi matematika dapat didefinisikan sebagai kemampuan siswa untuk merumuskan, menggunakan, dan menginterpretasikan matematika dalam berbagai konteks pemecahan masalah kehidupan sehari-hari secara efektif.

Secara umum pendapat-pendapat di atas menekankan pada hal yang sama yaitu bagaimana kemampuan siswa dalam menggunakan pengetahuan matematika yang dimilikinya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari secara maksimal. Dalam proses memecahkan masalah atau konteks, siswa yang memiliki kemampuan literasi matematika akan memahami bahwa konsep matematika yang telah

(5)

dipelajari dapat menjadi sarana menemukan solusi dari masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Fokus dari bahasa dalam definisi literasi matematika adalah keterlibatan aktif dalam matematika, hal ini mencakup penggunaan penalaran matematis, penggunaan konsep, prosedur, fakta dan alat-alat matematika dalam menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena. Secara khusus, kata kerja merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan merupakan tiga titik proses dimana siswa akan terlibat aktif dalam pemecahan masalah (OECD, 2013).

a. Merumuskan situasi matematis

Meliputi identifikasi peluang untuk menerapkan dan menggunakan matematika yang memperlihatkan bahwa matematika dapat diterapkan untuk memahami atau memecahkan suatu masalah tertentu, atau tantangan yang disajikan. Termasuk di dalamnya mampu mengambil situasi seperti yang disajikan dan mengubahnya ke dalam bentuk solusi matematika, menyediakan struktur dan representasi matematika, mengidentifikasi variabel dan membuat asumsi sederhana yang dapat membantu memecahkan masalah atau memenuhi tantangan (OECD, 2013).

b. Menerapkan matematika

Melibatkan penerapan penalaran matematika dan penggunaan konsep, prosedur, fakta dan alat-alat matematika untuk mendapatkan solusi. Hal ini meliputi pembuatan manipulasi ekspresi aljabar dan

(6)

persamaan atau model matematika lainnya, menganalisis informasi secara matematis dari diagram dan grafik matematika, mengembangkan deskripsi dan penjelasan matematika, serta menggunakan alat-alat matematika untuk memecahkan masalah (OECD, 2013).

c. Menafsirkan matematika

Menafsirkan matematika adalah merenungkan solusi matematika atau hasil matematis dan menafsirkan solusi tersebut ke dalam konteks masalah atau tantangan. Termasuk di dalamnya meliputi evaluasi solusi atau penalaran matematika dalam kaitannya dengan konteks masalah, dan menentukan apakah solusi yang dihasilkan wajar dan masuk akal (OECD, 2013).

Selain ketiga hal tersebut, dalam PISA juga terdapat tujuh kemampuan dasar matematika yang menjadi pokok dalam proses literasi matematis (OECD, 2013), yaitu meliputi:

a. Communicating (Komunikasi)

Literasi matematis melibatkan proses komunikasi, sebab dalam proses pemecahan masalah siswa perlu mengutarakan atau mengemukakan gagasan, ketika melakukan penalaran terhadap soal maupun langkah-langkah penyelesaian, selain itu siswa juga perlu menjelaskan hasil pemikiran atau gagasannya kepada orang lain agar orang lain juga dapat memahami hasil pemikirannya.

(7)

b. Mathematising (Matematisasi)

Kemampuan literasi matematis juga melibatkan kemampuan matematisasi, yakni kemampuan dalam menerjemahkan bahasa sehari-hari ke dalam bentuk matematika, baik berupa konsep, struktur, membuat asumsi atau pemodelan.

c. Representation (Representasi)

Kemampuan representasi disini adalah kemampuan dalam merepresentasikan objek-objek matematika seperti grafik, tabel, diagram, gambar, persamaan, rumus, dan bentuk-bentuk konkret lainnya.

d. Reasoning and Argument (Penalaran dan Argumen)

Kemampuan penalaran dan argumen adalah akar dari proses berpikir logis yang dikembangkan untuk menemukan suatu kesimpulan yang dapat memberikan pembenaran terhadap solusi suatu permasalahan.

e. Devising Strategies for Solving Problem (Merancang strategi untuk memecahkan masalah)

Kemampuan ini berkaitan dengan kemampuan seseorang menggunakan matematika untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

(8)

f. Using Symbolic, Formal and Technical Language and Operations (Penggunaan simbol, bahasa formal, teknis, dan operasi)

Kemampuan ini melibatkan pemahaman, penafsiran, kemampuan memanipulasi suatu konteks matematika yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan terkait matematika.

g. Using Mathematical Tools (Penggunaan alat matematika)

Kemampuan yang dimaksud adalah mampu menggunakan berbagai macam alat yang dapat membantu proses matematisasi, dan mengetahui keterbatasan dari alat-alat tersebut.

Turner (2015) menjelaskan deskripsi kompetensi kemampuan literasi matematika sebagai berikut :

a. Komunikasi

Definisi komunikasi adalah membaca dan menginterpretasikan pernyataan, pertanyaan, perintah, tugas, gambar-gambar dan objek-objek, membayangkan dan memahami situasi yang diperkenalkan, dan membuat pemikiran dari informasi yang disediakan mencakup syarat-syarat matematika menunjuk mempresentasikan dan menjelaskan satu pekerjaan matematika atau penalaran.

Kemampuan komunikasi meliputi komponen sifat reseptif dan konstruktif. Komponen reseptif terdiri dari memahami apa yang sedang ditanyakan dan ditunjukkan terkait dengan tujuan tugas matematis, meliputi bahasa matematika yang digunakan, informasi yang relevan, dan apa sifat dari respon yang diminta. Komponen

(9)

konstruktif terdiri dari menyajikan respon yang mungkin meliputi langkah-langkah penyelesaian, deskripsi dari penalaran yang digunakan, dan justifikasi jawaban yang diberikan.

Komunikasi tidak termasuk mengetahui cara mendekati atau memecahkan masalah, bagaimana cara menggunakan informasi yang diberikan, atau bagaimana alasan untuk menguatkan bahwa jawaban yang diperoleh benar, melainkan pemahaman atau penyajian informasi yang relevan. Komunikasi juga tidak berlaku mengekstrak atau memproses informasi matematika dari representasi.

Permintaan untuk aspek reseptif kompetensi ini meningkat sesuai dengan kompleksitas materi yang harus ditafsirkan dalam memahami tugas, kebutuhan untuk menghubungkan beberapa sumber informasi atau untuk bergerak mundur dan maju (ke siklus) antar elemen informasi. Sedangkan asperk konstruktif meningkat dengan kebutuhan untuk memberikan solusi tertulis berupa penjelasan secara rinci.

b. Matematisasi

Definisi dari matematisasi adalah menerjemahkan suatu situasi di luar matematika ke dalam model matematika, menginterpretasikan hasil dari penggunaan suatu model yang dihubungan dengan situasi masalah, atau memvalidasi ketercukupan dari model yang dihubungkan dengan situasi masalah.

(10)

Fokus dari kompetensi ini adalah pada aspek siklus pemodelan dalam hubungan konteks ekstra-matematika dengan beberapa domain matematika. Dengan demikian, kompetensi matematisasi memiliki dua komponen, yakni situasi di luar matematika yang mungkin membutuhkan terjemahan ke dalam bentuk yang dapat disesuaikan dengan perlakuan matematis, meliputi pemodelan yang mempermudah penyederhanaan asumsi, mengidentifikasi variabel yang hadir dalam konteks dan hubungan diantara keduanya, dan mengekspresikan variabel tersebut dalam bentuk matematis.

Sebaliknya, hasil yang mungkin perlu ditafsirkan sehubungan dengan situasi atau konteks ekstra-matematis, meliputi menerjemahkan matematis yang menghasilkan elemen spesifik dari konteks dan memvalidasi kecukupan solusi yang ditemukan yang berhubungan dengan konteks. Perlakuan intra-matematis dari isu dan masalah berikutnya dalam domain matematika ditangani dengan kompetensi lain. Oleh karenanya, sementara itu kompetensi matematisasi berurusan dengan mewakili konteks ekstra-mathematis dengan menggunakan entitas matematis, representasi entitas matematika ditangani dengan kompetensi representasi.

Permintaan untuk aktivasi kompetensi ini meningkat dengan tingkat kreativitas, wawasan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menerjemahkan antara elemen konteks dan struktur masalah matematika.

(11)

c. Representasi

Definisi dari representasi disini adalah membuat suatu gambaran yang mengilustrasikan suatu informasi dari masalah, menerjemahkan gambaran tersebut, membuat representasi matematika dari informasi yang diberikan pada soal yang akan digunakan menuju sebuah solusi, memilih dan merencanakan gambaran-gambaran untuk memotret situasi atau untuk menyajikan suatu pekerjaan.

Fokus dari kompetensi ini adalah pada penguraian, penyusunan, dan manipulasi representasi entitas matematis atau menghubungkan representasi yang berbeda. Dengan representasi entitas matematika dapat memahami sebuah ekspresi konkret (pemetaan) konsep, objek, hubungan, proses atau tindakan matematis. Selain itu, representasi juga dapat berupa fisik, verbal, simbolis, grafis, tabel atau diagram. Tugas matematika sering disajikan dalam bentuk teks, terkadang dengan materi grafis itu hanya membantu mengatur memahami intruksi konteks, informasi verbal atau teks, gambar dan grafik pada umumnya tidak termasuk kompetensi representasi, melainkan bagian dari kompetensi komunikasi. Demikian pula, bekerja secara eksklusif dengan representasi simbolis terletak di dalam menggunakan kompetensi simbol, operasi dan bahasa formal. Di sisi lain, penafsiran antar representasi yang berbeda selalu merupakan bagian dari kompetensi representasi.

(12)

Permintaan untuk kompetensi ini meningkat dengan jumlah informasi yang akan diolah, dengan kebutuhan untuk mengintegrasikan informasi dari banyak representasi, dan dengan kebutuhan untuk merancang representasi bukan untuk menggunakan representasi yang diberikan. Permintaan juga meningkat dengan menambah kompleksias representasi atau penguraiannya, dari representasi sederhana dan standar (seperti grafik batang atau grafik cartesian).

d. Penalaran dan Argumen

Definisi dari penalaran dan argumen adalah memberikan gambaran kesimpulan dari penggunaan pemikiran yang logis dalam menyelidiki dan menghubungkan unsur-unsur masalah yang terkait, memeriksa dengan penuh ketelitian, atau membenarkan argumen dan kesimpulan.

Kompetensi ini berhubungan dengan menarik kesimpulan yang sah berdasarkan pada mental internal (usia atau kapasitas otak) memproses informasi matematika yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil yang sesuai, dan untuk mengumpulkan pembenaran kesimpulan, dan membuktikan hasil yang diperoleh.

Bentuk lain dari mental proses dan representasi yang terlibat bertanggungjawab pada tugas-tugas yang menopang masing-masing dari kompetensi lainnya. Misalkan, pemikiran yang dibutuhkan untuk memilih atau merencanakan suatu pendekatan ke arah penyelesaian masalah yang berkaitan merupakan bagian dari kompetensi

(13)

pemecahan masalah (merancang strategi untuk memecahkan masalah), dan pemikiran yang terlibat dalam perubahan unsur-unsur kontekstual pada suatu bentuk matematika yang baku merupakan bagian dari kompetensi matematisasi.

Sifat, bilangan atau unsur-unsur kesulitan yang perlu dibawa dalam membuat kesimpulan, dan panjang serta kompleksitas dari rantai-rantai kesimpulan yang membutuhkan pentingnya kontribusi merupakan suatu hal yang meningkatkan permintaan kompetensi ini. e. Merancang Strategi untuk Memecahkan Masalah

Definisi merancang strategi untuk memecahkan masalah adalah memilih suatu strategi matematika untuk memecahkan suatu masalah seperti halnya monitoring dan kontroling penerapan dari strategi.

Menyusun atau merancang strategi disini berbeda dengan kompetensi pemecahan masalah yang telah ada sebelumnya. Fokus dari kompetensi ini adalah pada aspek pemecahan masalah yang meliputi memilih, membangun atau mengaktifkan strategi dan pemantauan solusi untuk mengendalikan pelaksanaan proses yang terlibat. Strategi yang digunakan berupa tahapan yang bersama-sama membentuk keseluruhan rencana yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Setiap tahap terdiri dari sub tujuan dan langkah-langkah yang berkaitan.

(14)

strategi yang sesuai, dengan kompleksitas proses pemecahan masalah yang meningkat (misalnya jumlah, jangkauan dan kompleksitas tahapan yang dibutuhkan dalam strategi), dan dengan konsekuensial perlunya kontrol metakognitif yang lebih besar dalam penerapan strategi menuju solusi.

f. Penggunaan Simbol, Bahasa Formal, Teknik, dan Operasi.

Definisi dari kompetensi ini adalah memahami dan menerapkan prosedur dan bahasa matematika (meliputi ekspresi simbol, aritmatika dan operasi aljabar), menggunakan aturan-aturan matematika, mengaktifkan dan menggunakan pengetahuan dari definisi, hasil-hasil, aturan-aturan dan sistem formal.

Kompetensi ini mencerminkan keterampilan dengan mengaktifkan dan menggunakan pengetahuan isi matematika, seperti definisi, fakta, atauran algoritma dan prosedur matematika, mengingat dan menggunakan ungkapan simbolis, mengartikan dan memanipulasi formula atau hubungan fungsional atau ungkapan aljabar lainnya dan menggunakan aturan operasi formal (misalnya perhitungan aritmatika atau persamaan pemecahan). Kompetensi ini juga meliputi penerapan unit pengukuran dan jumlah yang diturunkan seperti kecepatan dan massa jenis.

Mengembangkan formulasi simbolis dari situasi ekstra matematika adalah bagian dari matematisasi. Misalnya, menyiapkan sebuah persamaan untuk merefleksikan elemen kunci dari sebuah situasi ekstra matematika termasuk matematisasi, sedangkan

(15)

pemecahannya adalah bagian dari penggunaan kompetensi simbol, operasi, dan bahasa formal. Manipulasi ungkapan simbolis milik kompetensi simbol, operasi, dan bahasa formal, namun menerjemahkan antar representasi simbolis dan lainnya milik kompetensi representasi. Istilah variabel yang digunakan dalam kompetensi ini merujuk pada simbol yang mewakili angka yang tidak ditentukan atau mengubah sebuah kuantitas, misalnya C dan r dalam rumus C = ¼ 2πr.

Permintaan kompetensi ini meningkat seiring dengan meningkatnya kompleksitas dan kecanggihannya isi matematika dan pengetahuan prosedural yang dibutuhkan.

Sedangkan, menurut Ojose (2011) indikator untuk kemampuan literasi matematika terdiri dari 8 kompetensi, yaitu :

a. Penalaran dan Berpikir Matematis. b. Argumentasi Matematis.

c. Komunikasi Matematis. d. Pemodelan.

e. Merumuskan dan Menyelesaikan Masalah. f. Representasi.

g. Penggunaan Simbol.

h. Penggunaan Alat dan Teknologi.

Deskripsi kemampuan literasi matematika dalam penelitian ini adalah pendeskripsian tentang kemampuan literasi matematika siswa yang

(16)

a. Komunikasi Meliputi :

1) Memahami dan menuliskan informasi yang diketahui dan ditanyakan terkait dengan tujuan soal.

2) Menyajikan respon yang mungkin, meliputi :

a) Menuliskan rumus yang digunakan untuk menyelesaikan soal. b) Menuliskan langkah-langkah penyelesaian yang mudah

dipahami.

c) Menuliskan kesimpulan dari jawaban yang diberikan. b. Penggunaan Simbol, Bahasa Formal, Teknik, dan Operasi.

Meliputi :

1) Menggunakan bahasa matematika, berupa simbol, aritmatika, atau operasi aljabar.

2) Menggunakan definisi, fakta, aturan algoritma dan prosedur matematika.

3) Menggunakan aturan operasi formal, berupa perhitungan aritmatika atau pemecahan persamaan.

4) Menggunakan unit pengukuran dan jumlah yang diturunkan seperti kecepatan dan jarak.

c. Merencanakan Strategi untuk Memecahkan Masalah. Meliputi :

1) Merencanakan suatu pendekatan atau strategi yang mengarah pada penyelesaian masalah.

(17)

2) Menjelaskan tahapan atau langkah-langkah penyelesaian soal. 3) Menerapkan dan melaksanakan strategi penyelesaian soal. 4) Memeriksa kembali.

d. Penalaran dan Argumen. Meliputi :

1) Menghubungkan unsur-unsur masalah yang saling berkaitan. 2) Memberikan alasan logis yang menghasilkan kesimpulan. 3) Membuat kesimpulan dari solusi yang diberikan.

B. Gaya Kognitif Reflektif-Impulsif 1. Pengertian Gaya Kognitif

Setiap siswa memiliki cara – cara sendiri yang disukainya dalam menyusun apa yang dilihat, diingat dan dipikirkannya. Perbedaan-perbedaan antar pribadi yang menetap dalam cara menyusun dan mengolah informasi serta pengalaman-pengalaman ini dikenal sebagai gaya kognitif. Gaya kognitif merupakan variabel penting yang mempengaruhi pilihan-pilihan siswa dalam bidang akademik, kelanjutan perkembangan akademik, bagaimana siswa belajar serta bagaimana siswa dan guru berinteraksi di dalam kelas (Slameto, 2010).

Desmita (2011) menyebutkan bahwa gaya kognitif merupakan salah satu ide baru dalam kajian psikologi perkembangan dan pendidikan. Ide ini berkembang pada penelitian mengenai bagaimana siswa menerima dan mengorganisasi informasi dari lingkungan sekitarnya. Gaya kognitif

(18)

sering dideskripsikan sebagai berada dalam garis batas antara kemampuan mental dan sifat personalitas. Berbeda dengan strategi kognitif yang mungkin mengalami perubahan dari waktu ke waktu serta dapat dipelajari dan dikembangkan, gaya kognitif bersifat statis dan secara relatif menjadi gambaran tetap tentang diri siswa (Riding, & Douglas, 1993). Gaya (style) juga berbeda dengan kemampuan (ability), seperti intelegensi. Kemampuan mengacu pada isi kognisi yang menyatakan informasi apa saja yang telah diproses, dengan langkah bagaimana dan dalam bentuk apa informasi itu diproses. Sedangkan gaya lebih mengacu pada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi itu diproses. Atau dengan kata lain, gaya adalah cara siswa menggunakan kemampuannya (Santrock, 2004).

Menurut Tennant dalam bukunya Desmita (2011), secara sederhana mendefinisikan gaya kognitif sebagai “an individual’s characteristic and consistent approach to organising and processing information.” Artinya, gaya kognitif adalah karakteristik individu dan pendekatan yang konsisten untuk mengatur dan memproses informasi. Kemudian, menurut Ferrari dan Sternberg dalam bukunya Desmita (2011), menjelaskan “cognitive styles refer to the dominant or typical ways children use their cognitive abilities across a wide range of situations, when the situation is complex enough to allow a variety of responsses.” Artinya, gaya kognitif mengacu pada cara yang dominan atau khas siswa dalam menggunakan kemampuan kognitif mereka diberbagai situasi,

(19)

ketika situasinya cukup kompleks memungkinkan siswa untuk memberikan berbagai respon.

Desmita (2011) menyimpulkan berdasarkan pada beberapa definisi di atas, bahwa yang dimaksud dengan gaya kognitif adalah karakteristik siswa dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan berlangsung lama. Jadi, setiap siswa memiliki gaya kognitif yang berbeda dalam memproses informasi atau menghadapi suatu tugas dan masalah. Perbedaan ini bukan menunjukkan tingkat inteligensi atau kecakapan tertentu, sebab siswa yang berbeda dengan gaya kognitif yang sama belum tentu memiliki tingkat inteligensi atau kemampuan yang sama. Apalagi siswa dengan gaya kognitif yang berbeda, kecenderungan perbedaan tingkat intelegensi dan kemampuan yang dimilikinya lebih besar.

Para ahli psikologi dan pendidikan berbeda pendapat dalam mengemukakan tipe-tipe gaya kognitif, setiap kategorisasi itu terdapat perbedaan akan tetapi juga persamaan-persamaan, walaupun menggunakan istilah-istilah yang berbeda-beda. Berbagai penggolongan itu dapat kita ambil tiga gaya kognitif yang ada kaitannya dengan proses belajar-mengajar, yakni gaya kognitif menurut tipe : (1) gaya field dependence dan independence, (2) gaya impulsif dan reflektif, (3) gaya preseptif/reseptif dan sistematis/intuitif, (Nasution, 2010).

(20)

2. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Kagan mendefinisikan siswa yang memiliki karakteristik cepat dalam menjawab masalah, tetapi tidak/kurang cermat, sehingga jawaban cenderung salah, disebut siswa yang bergaya kognitif impulsif. Siswa yang memiliki karakteristik lambat dalam menjawab masalah, tetapi cermat/teliti, sehingga jawaban cenderung betul, disebut siswa yang bergaya kognitif reflektif. Perbedaan karakteristik dalam berpikir sangat jelas berlawanan. Siswa reflektif memiliki kelemahan lambat dalam berpikir, karena terlalu hati-hati, sedangkan siswa impulsif memiliki kelemahan tidak cermat/akurat dalam berpikir dan terlalu cepat dalam mengambil keputusan. Akan tetapi, kelemahan-kelemahan tersebut tidak selamanya buruk bagi siswa, karena bergantung situasi dan masalahnya (Warli, 2012) .

Menurut Kagan dalam bukunya Santrock (2004) menjelaskan bahwa gaya impulsif/reflektif disebut sebagai tempo konseptual, yakni murid cenderung bertindak cepat dan impulsif atau menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan merenungkan akurasi dari suatu jawaban. Murid yang impulsif sering kali lebih banyak melakukan kesalahan dibandingkan dengan murid yang reflektif. Dibandingkan murid yang impulsif, murid yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas meliputi: mengingat informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasi teks, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

(21)

Tabel 2.1 Perbedaan Sifat Siswa Reflektif dan Impulsif.

Siswa Reflektif Siswa Impulsif

 Untuk menjawab digunakan waktu lama.

 Jawaban lebih tepat (akurat).  Menyukai masalah analog.  Menggunakan paksaan dalam

mengeluarkan berbagai kemungkinan.

 Menggunakan strategis dalam menyelesaiakan masalah

 Reflektif terhadap kesusastraan IQ Tinggi

 Berpikir sejenak sebelum mejawab

 Beragumen lebih matang

 Cepat memberikan jawaban tanpa mencermati terlebih dahulu.

 Pendapat kurang akurat.

 Tidak menyukai jawaban masalah yang analog.

 Menggunakan hypothesis-scaning, yaitu merujuk pada satu kemungkinan saja.

 Kurang strategis dalam menyelesaikan masalah

Sumber : Kagan (Warli, 2012)

Mencermati perbedaan siswa reflektif dan siswa impulsif pada tabel tersebut, siswa reflektif memiliki banyak aspek positif yang bisa menunjang kesuksesan belajar. Siswa impulsif banyak aspek negatif dalam menunjang kesuksesan belajar. Perbedaan ini akan berakibat pada cara belajar dari masing-masing siswa.

Dibandingkan siswa yang impulsif, siswa yang reflektif juga lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Murid reflektif biasanya standar kinerjanya tinggi. Banyak bukti menunjukkan murid reflektif lebih efektif dan baik dalam pelajaran sekolah dibandingkan dengan murid impulsif (Santrock, 2004).

Di samping itu, dibandingkan dengan siswa yang impulsif, siswa yang reflektif juga lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan belajar

(22)

biasanya memiliki standar kerja yang tinggi. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa siswa reflektif lebih efektif dan lebih baik dalam pelajaran di sekolah dibandingkan dengan siswa yang impulsif (Santrock, 2004).

Dari berbagai definisi di atas, dapat dipahami bahwa gaya kognitif reflektif merupakan karakteristik gaya kognitif yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan dengan waktu yang lama tetapi akurat sehingga jawaban cenderung benar. Sedangkan gaya kognitif impulsif merupakan karakteristik gaya kognitif yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan dengan waktu yang singkat tetapi kurang akurat sehingga jawaban cenderung salah.

Terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengukur gaya kognitif reflektif dan impulsif, yaitu banyaknya waktu yang diperlukan untuk memecahkan masalah dan keakuratan jawaban yang diberikan. Jika aspek waktu dibedakan menjadi dua yaitu singkat dan lama, serta keakuratan jawaban dibedakan menjadi dua yaitu akurat/cermat (keakuratan tinggi) dan tidak akurat/tidak cermat (keakuratan rendah), maka siswa dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu fast-accurate (cepat-akurat), reflektif (lambat-akurat), impulsive (cepat-tidak akurat), dan slow-innaccurate (lambat-tidak akurat) (Rozencwajg dan Corroyer, 2005).

Keempat gaya kognitif tersebut merupakan gaya kognitif yang menunjukkan tempo atau kecepatan dalam berfikir. Kebanyakan peneliti hanya tertarik pada dua kelompok gaya kognitif yaitu reflektif dan

(23)

impulsif, alasannya kedua gaya kognitif tersebut merupakan gaya kognitif yang memiliki jumlah terbesar individu, menurut Reuchlin sekitar 70% dari populasi (Rozencwajg dan Corroyer, 2005).

3. Pengukuran gaya kognitif relektif-impulsif

Berdasarkan definisi reflektif dan impulsif, terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam pengukuran reflektif dan impulsif, yaitu waktu yang digunakan untuk menyelesaikan soal (t) dan banyaknya jawaban benar siswa atau banyaknya jawaban salah siswa (f).

Pengelompokkan siswa reflektif dan impulsif dipilih berdasarkan kecepatan siswa dalam menyelesaikan soal Matching Familiar Figure Test (MFFT). Siswa dikategorikan reflektif jika rata-rata waktu pengerjaan seluruh soal berada di atas median dari catatan rata-rata waktu pengerjaan seluruh siswa, dan rata-rata frekuensi jawaban benar berada di atas median dari catatan rata-rata frekuensi jawaban benar seluruh siswa. Kelompok siswa reflektif adalah siswa yang catatan waktu paling lama dan paling banyak benar dalam dalam menjawab seluruh butir soal.

Sedangkan siswa dikategorikan impulsif jika rata-rata waktu pengerjaan seluruh soal berada di bawah median dari catatan rata-rata waktu pengerjaan seluruh siswa, dan rata-rata frekuensi jawaban benar berada di bawah median dari catatan rata-rata frekuensi jawaban benar seluruh siswa. Kelompok siswa impulsif adalah siswa yang catatan waktunya paling cepat dan paling banyak salah dalam menjawab seluruh butir soal (Block, dkk).

(24)

C. Materi

1. Kompetensi Dasar (KD)

3.6 Mengidentifikasi unsur, keliling, dan luas lingkaran. 2. Indikator

3.6.1 Menerapkan konsep atau rumus unsur lingkaran dalam pemecahan masalah

3.6.2 Menerapkan konsep atau rumus keliling dan luas lingkaran dalam pemecahan masalah

3. Materi

1. Unsur-Unsur Lingkaran

Ada beberapa bagian lingkaran yang termasuk dalam unsur-unsur sebuah lingkaran di antaranya titik pusat, jari-jari, diameter, busur, tali busur, tembereng, juring, dan apotema.

2. Keliling dan Luas Lingkaran a. Rumus Keliling Lingkaran

Rumus umumnya yaitu : Keliling = π x d Dengan keterangan sebagai berikut : π = phi = 3,14 atau 22/7

d = diameter

Dikarenakan diameter (d) = 2 kali jari-jari (r) maka rumusnya bisa juga menjadi seperti berikut: Keliling = π x 2 r

Atau biasa kita gunakan Keliling = 2 π r

(25)

b. Rumus Luas Lingkaran Luas = π r2

Dengan keterangan sebagai berikut : π = phi = 3,14 atau 22/7

r = jari-jari lingkaran Contoh :

Sebuah roda sepeda memiliki jari-jari 21 cm. Ketika sepeda dikayuh, roda tersebut berputar sebanyak 50 kali. Tentukan keliling dan jarak yang ditempuh oleh roda sepeda tersebut. Pembahasan :

Cari keliling roda terlebih dahulu : K = 2πr

K = 2 x 22/7 x 21 cm K = 12 cm

Untuk mengetahui jarak yang ditempuh oleh roda, menggunakan rumus:

Jarak = Keliling x banyak putaran Jarak = 12 cm x 50 cm

Jarak = 600 cm

Maka jarak yang ditempuh roda sepeda tersebut adalah 600 cm atau 6m.

(26)

D. Penelitian Relevan

Pada tahun 2015, Fadholi dkk (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Pembelajaran Matematika dan Kemampuan Literasi serta Karakter Siswa SMK”, menyebutkan bahwa kemampuan literasi matematika siswa tergolong kurang. Peneliti tidak menjelaskan secara rinci indikator-indikator apa saja yang diukur dalam penelitian, pada hasil penelitian tersebut hanya memberikan gambaran prosentase masing-masing indikator dari 7 indikator kemampuan literasi matematika yang digunakan. Pada penelitian tersebut banyaknya butir soal yang digunakan sejumlah 5 butir soal, namun tidak dijelaskan konten apa saja yang diterdapat pada ke 5 butir soal tersebut. Berbeda dengan penelitian tersebut, pada penelitian yang akan dilakukan peneliti tidak mengukur sejauh mana kemampuan literasi matematika siswa, tetapi bagaimana deskripsi kemampuan literasi matematika siswa ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif.

Jika ditinjau dari gaya kognitifnya, Nurdianasari dkk (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas VIII Berdasarkan Gaya Kognitif”, menyebutkan bahwa pencapaian aspek literasi matematika siswa reflektif, impulsif, fast accurate, dan slow innaccurate berbeda-beda. Siswa fast accurate tergolong paling menonjol diantara yang lain, yakni unggul pada aspek representation and devising strategies for solving problems. Siswa reflektif memiliki kemampuan yang tergolong sangat baik pada aspek using mathematics tools. Siswa impulsif memiliki kemampuan yang tergolong baik pada aspek representation, devising

(27)

strategies for solving problems, dan using mathematics tools. Siswa fast accurate memiliki kemampuan yang tergolong sangat baik pada aspek using mathematics tools. Siswa slow innaccurate memiliki kemampuan yang tergolong sangat baik pada aspek using mathematics tools. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdianasari dkk memiliki kesamaan dengan yang akan diteliti, yaitu mendeskripsikan kemampuan literasi matematika ditinjau dari gaya kognitif. Selain kesamaan juga memiliki perbedaan, yaitu mengenai a) tempat penelitian, Nurdianasari dkk melakukan penelitian di SMP N 1 Petarukan, sedangkan peneliti akan melakukan penelitian di MTs N Model Babakan Tegal, b) fokus penelitian, Nurdianasari dkk fokus pada kemampuan literasi matematika siswa materi luas permukaan dan volume kubus dan balok, sedangkan peneliti mengambil fokus penelitian pada materi lingkaran, c) kategori subjek penelitian, Nurdianasari dkk meneliti dari keempat karakter gaya kognitif meliputi reflektif, impulsif, fast accurate, dan slow innaccurate, sedangkan peneliti hanya mengambil 2 karakter gaya kognitif yaitu reflektif dan impulsif.

Sedangkan menurut Mujulifah dkk (2015) pada penelitiannya yang berjudul “Literasi Matematika Siswa Dalam Menyederhanakan Ekspresi Aljabar”, menyebutkan bahwa literasi matematis siswa ditinjau dari aspek pemahaman, siswa telah memiliki pengetahuan tentang ekspresi aljabar dan penyederhanaannya, namun belum memahami seutuhnya. Ditinjau dari aspek penerapan, siswa memiliki kelancaran pada soal-soal rutin penyederhanaan ekspresi aljabar, tetapi tidak untuk soal non-rutin dan soal cerita. Ditinjau dari

(28)

aspek penalaran, siswa cenderung menunjukkan gagasan atau pembuktian yang kurang mendukung jawaban. Dan ditinjau dari aspek komunikasi, siswa cenderung belum lancar dalam mengemukakan hasil pemikiran dan dalam menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide matematis dengan tepat. Kesamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah mendeskripsikan kemampuan literasi matematika siswa. Namun terdapat perbedaan, penelitian yang dilakukan Mujulifah dkk adalah analisis kemampuan literasi matematika menggunakan desain tes internasional dengan konteks Indonesia, sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah deskripsi kemampuan literasi matematika siswa ditinjau dari gaya kognitif reflektif impulsif.

E. Kerangka Pikir

Literasi matematika adalah kemampuan siswa dalam merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan segenap pengetahuan matematika yang dimilikinya untuk memecahan masalah yang dihadapinya. OECD mendefinisikan bahwa literasi matematika adalah kemampuan siswa untuk merumuskan, menerapkan dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks (Stecey & Tuner, 2015).

Manusia dapat dibedakan dari cara dia memandang sesuatu dan bagaimana dia menerima, mengatur dan memproses informasi, keempat hal tersebut menjadi faktor yang mempengaruhi gaya kognitif seseorang. Acharya (2002) mengatakan bahwa gaya kognitif adalah pola-pola intrinsik tipe belajar siswa dalam merasa, berpikir, mengingat dan memecahkan masalah.

(29)

Gaya kognitif mengacu pada karakteristik konsistensi siswa dalam menerima, memahami, mengingat, memproses informasi dan mengorganisasikan cara berpikir serta memecahkan masalah. Hal ini berarti antara gaya kognitif dan literasi matematika memiliki keterkaitan, karena keberhasilan siswa dalam memecahkan masalah akan sangat ditentukan bagaimana cara siswa itu berpikir, mengingat konsep-konsep sebelumnya yang terkait dengan masalah yang diberikan dan bagaimana siswa memproses informasi untuk mendapatkan solusi yang tepat. Hal ini menunjukkan bahwa gaya kognitif mempunyai kontribusi yang penting terhadap kemampuan literasi matematika. Jadi memungkinkan siswa yang mempunyai gaya kognitif yang berbeda akan memiliki kemampuan literasi matematika yang berbeda juga.

Gaya kognitif yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsif. Kagan menyebutkan bahwa karakteristik siswa reflektif adalah lambat dalam menjawab masalah tetapi cermat, sehingga jawaban masalah cenderung betul, dan karakteristik siswa impulsif adalah cepat dalam menjawab masalah, tetapi tidak cermat sehingga jawaban masalah cenderung salah (Warli, 2012).

Setiap siswa akan mengalami masalah dalam kehidupannya dan memecahkan masalah merupakan hal yang penting bagi siswa. Karena demikian pentingnya, sehingga literasi matematika penting untuk dijadikan fokus dalam pembelajaran matematika di sekolah. Dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-hari dengan menggunakan dan menerapkan

(30)

sehingga diperoleh solusi terbaik dari masalah yang dihadapi. Pada penelitian ini akan mendeskripsikan kemampuan siswa menggunakan pengetahuan matematika yang dimilikinya untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari yang mengacu pada komponen komunikasi, merancang strategi untuk memecahkan masalah, penggunaan simbol, bahasa formal, teknik, dan penggunaan operasi, serta komponen penalaran dan argumen.

Masalah dalam penelitian ini adalah masalah dalam kehidupan sehari-hari yang termasuk kedalam materi lingkaran kelas VIII. Dalam rangka untuk mengetahui gambaran kemampuan literasi matematika dari siswa bergaya kognitif reflektif dan siswa yang bergaya impulsif, penelitian ini akan diberikan tes kemampuan literasi matematika yang diikuti dengan wawancara dan kemudian data ditraskrip, kemudian dipaparkan dan seterusnya dilakukan analisis data.

Hubungannya dengan gaya kognitif siswa, Kagan menyebutkan bahwa siswa reflektif memiliki kelemahan lambat dalam berpikir, karena terlalu hati-hati, sedangkan siswa impulsif memiliki kelemahan tidak cermat/akurat dalam berpikir dan terlalu cepat dalam mengambil keputusan (Warli, 2012). Masing-masing tipe gaya kognitif memiliki kelemahan yang berbeda, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat keunikan tersediri untuk keduanya. Kemampuan literasi matematika siswa diukur berdasarkan indikator yang memiliki karakteristik unik pula, sehingga tidak dapat disimpulkan gaya kognitif reflektif atau gaya kognitif impulsif yang memiliki kemampuan literasi matematika lebih baik.

Gambar

Tabel 2.1 Perbedaan Sifat  Siswa Reflektif dan Impulsif.

Referensi

Dokumen terkait

- Tahun 2012 jumlah spesimen KLB Keracunan Makanan/Minuman yang diperiksa secara Bakteriologi Sanitasi sebanyak 154 sampel. Sedangkan tahun 2011 sebanyak 124 sampel. - Tahun

Moleong (2007:157), sumber data utama penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, sehingga selebihnya adalah data tambahan berupa dokumen dan lain-lain. kata-kata

Karena perolehan suara terbanyak akan mendapatkan kursi di DPR, sementara dalam satu daerah pilihan kader partai yang bertarung merebut kursi DPRD bisa mencapai 10

Untuk melihat penggunaan bahasa Che Wong dalam kalangan masyarakat orang Asli ini, sebanyak 22 soalan telah dikemukakan kepada responden dan pilihan jawapan yang

Järgmises etapis analüüsiti uuringu TALIS 2013 loodusainete ja teiste ainete õpetajate ning eesti, vene ja mõlema õppekeelega koolides õpe- tavate loodusainete õpetajate

Analisa karakteristik kecelakaan melalui data mining dikategorisasikan berdasarkan parameter data yang digunakan (waktu, lokasi, pihak terlibat, fatalitas dan

tersebut seakan-akan keluar dri manusia, dilakukan dengan sadar atas pilihan sendiri, dengan satu perkataan: sengaja, faktor kesengajaan ini mutlak untuk penilaian

Dibukanya Umbul Sewu sebagai objek wisata mempunyai pengaruh sosial terhadap masyarakat sekitar, seperti mengubah status sosial masyarakat yang tadinya pengangguran