• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. zaman (Semi, 1993: 2). Budi Darma (via Purba, 2010: 6) mengatakan objek ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. zaman (Semi, 1993: 2). Budi Darma (via Purba, 2010: 6) mengatakan objek ilmu"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

  BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman (Semi, 1993: 2). Budi Darma (via Purba, 2010: 6) mengatakan objek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya sastra. Karya sastra merupakan pengungkapan masalah hidup, filsafat, serta ilmu jiwa. Dengan kata lain, sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup dan kejiwaan namun bukan dengan cara teknis akademis, melainkan dengan karya sastra.

Karya sastra adalah seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi. Karya sastra juga merupakan karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional (Purba, 2010: 7). Dengan ciri kreativitas dan imajinasi tersebut, sastra memiliki kemungkinan yang paling luas dalam mengalihkan berbagai kejadian di alam semesta ke dalam tulisan naratif semantis, dari kuantitas kehidupan sehari-hari ke dalam kualitas dunia fiksional (Ratna, 2003: 35). Karya sastra mempunyai logika tersendiri yang berkaitan erat dengan konvensi karya sastra. Oleh karena itu, beberapa karya tertentu tidak dapat dikaji dengan menggunakan ukuran logika di luar sastra. Logika dalam karya sastra disebut logika internal (Purba, 2010: 8).

(2)

  Dalam mengkaji sebuah karya sastra tidak dapat dilakukan dengan hanya merangkum maupun mencuplik karya tersebut dengan komentar yang umum, namun dengan menelaah karya tersebut dari berbagai macam aspek dan dimensi. Aspek yang dimaksud dapat berupa teori sastra maupun berdasar pada pendekatan keilmuan lain, seperti filsafat, sosiologi, agama, psikologi, dan sebagainya. Dari berbagai macam aspek tersebut hal yang paling utama dalam telaah sastra adalah mencari kekuatan karya sastra (Fananie, 2002: 64). Sosiologi sebagai salah satu aspek penelitian merupakan ilmu mengenai hubungan sosial dalam masyarakat. Sosiologi yang dalam kaitannya adalah ilmu mengenai manusia juga melingkupi penelitian dalam ilmu sastra. Salah satu unsur sosial yang dimaksud adalah bagaimana seorang pengarang dipengaruhi atau mempengaruhi proses terjadinya karya sastra. Hal tersebut karena adanya keterkaitan karya sastra yang tak jarang merupakan gambaran realitas sosial yang ada pada jamannya.

Realitas sosial merupakan salah satu unsur penting bagi seorang pengarang dalam melahirkan sebuah karya sastra. Karena realitas sosial yang diangkat ke dalam sebuah karya sastra mampu menentukan apakah karya sastra tersebut layak dibaca atau tidak. Salah satu karya sastra Jepang yang mengungkap realitas sosial yang ada dalam masyarakat adalah novel Saga no Gabai Baachan karangan Shimada Youshichi.

Shimada Youshichi yang bernama asli Tokunaga Akihiro lahir di Hiroshima pada tahun 1950. Setelah ayahnya meninggal karena terkena radiasi pasca ledakan bom Hiroshima, ia dititipkan pada neneknya yang tinggal di Saga oleh ibunya. Masa-masa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ia habiskan bersama

(3)

  neneknya di Saga, setelah itu ia kembali ke Hiroshima. Saat remaja ia sangat menggemari baseball dan berniat untuk menjadi pemain baseball profesional, namun saat dewasa hingga kini ia menekuni bidang entertainment di Jepang. Pada

tahun 1975, Shimada Youshichi membentuk kelompok lawak manzai1 “B&B”

bersama rekannya Youhachi. Kemudian mereka memenangkan gelar “Pendatang Baru Terbaik” pada kontes manzai di NHK. Pada tahun 1980, kelompok ini

mempelopori manzai boom2 di Jepang. Di tahun 2001, terbitlah novel pertamanya

berjudul Saga no Gabai Baachan.

Realitas sosial yang terdapat dalam novel Saga no Gabai Baachan ini ditunjukkan Shimada Youshichi melalui gambaran kondisi ekonomi di Jepang yang memburuk dan kehidupan yang berat pada pasca Perang Dunia II. Tokoh Nenek Osano diceritakan hidup dalam masa pasca perang yang berat sebagai tukang bersih-bersih di Universitas Saga demi membesarkan kelima anaknya setelah ditinggal mati oleh suaminya pada masa perang di tahun 1942. Tokoh Ayah dan Ibu Akihiro yang tinggal di Hiroshima setelah menikah juga diceritakan mengungsi ke Saga karena situasi perang yang berat di Hiroshima dan kembali lagi ke Hiroshima setelah perang usai. Selepas meninggalnya Ayah Akihiro akibat terkena radiasi bom, tokoh Akihiro diceritakan harus pergi meninggalkan Hiroshima, yang saat itu dianggap kota metropolitan, ke Saga, kota kecil yang masih menjunjung nilai-nilai tradisi Jepang, saat ia berumur delapan tahun. Hal tersebut dikarenakan kondisi dan lingkungan tempat tinggalnya di Hiroshima

      

1 Seni melawak dari daerah Kansai yang dilakukan dua orang atau lebih dengan cara

bercakap-cakap di depan penonton, satu berperan sebagai si pintar (tsukkomi) dan satu sebagai si bodoh (boke).

(4)

  dianggap tidak baik untuk perkembangan dan pendidikan Akihiro yang masih kecil.

Lafevere (Lafevere via Suwondo, 2003: 5) mengemukakan bahwa karya sastra yang dapat digunakan sebagai objek telaah sastra adalah karya yang bernilai. Maksud dari ‘karya yang bernilai’ tersebut adalah karya yang meskipun sederhana namun dapat mengurai berbagai macam pengalaman manusia baik dalam dimensi perseorangan maupun dimensi sosial. Karya sastra yang pantas menjadi objek studi sastra adalah karya yang baik, dalam arti karya tersebut inspiratif, menyodorkan pemikiran, membuka kesadaran, menambah wawasan, dan memiliki daya gugah yang tinggi (Budi Darma via Suwondo, 2003: 5). Salah satu teori dalam dunia ilmu sastra yang menelaah dari aspek sosiologi dikemukakan oleh Mikhail Bakhtin. Bakhtin (Bakhtin via Faruk, 1999: 215) mengatakan, bahwa prinsip pertama studi sosiologis terhadap fenomena ideologis bekerja adalah prinsip kodrat material dan sepenuhnya objektif dari perkembangan ideologis secara global. Dengan prinsip di atas, studi sosiologi ideologi harus mampu memecahkan ciri-ciri dan bentuk material dari fenomena ideologis sebagai materi yang mengandung makna dan sekaligus dapat merealisasikan makna tentang persoalan bentuk dan ciri-ciri interaksi sosial.

Novel Saga no Gabai Baachan memiliki unsur-unsur yang telah dipaparkan oleh Lafevere dan Budi Darma untuk digunakan sebagai objek telaah sastra. Selain memiliki unsur-unsur tersebut, novel ini juga memiliki berbagai unsur menarik, yang jika kesemua unsur digabungkan akan mencerminkan sebuah perilaku yang disebut dengan perilaku karnival (carnival attitude). Bakhtin (1973:

(5)

  88, 100, 133) menyebut perilaku karnival (carnival attitude) mempunyai unsur-unsur di antaranya seperti: (1) petualangan yang fantastik; (2) manusia abnormal, aneh, dan eksentrik; (3) berbagai adegan skandal; (4) utopia sosial dalam bentuk mimpi, khayalan, dan harapan; (5) dialog filosofis tentang pertanyaan-pertanyaan akhir; (6) komikal, misalnya adanya peristiwa pelecehan terhadap tokoh yang berpengaruh (presiden, pendeta, guru, dan lain-lain); (7) campuran berbagai genre seperti puisi, cerpen, novel, syair lagu, surat, dan lain-lain; dan (8) adanya sifat jurnalistis dan publistis, misalnya disebutkannya nama-nama tokoh populer. Unsur-unsur pembentuk perilaku karnival tersebut terdapat dalam novel Saga no Gabai Baachan.

Novel Saga no Gabai Baachan yang merupakan buku pertama Shimada Youshichi ini terinspirasi dari kehidupan masa kecilnya saat tinggal bersama neneknya di Saga. Menurut Wahyudi Siswanto (2008: 79), pengarang memperlakukan kenyataan-kenyataan dalam karya sastranya dengan tiga cara, yaitu manipulatif, artifisial, dan interperatif. Hanya saja kadar kenyataan tersebut berbeda untuk setiap jenis karya sastra. Dalam karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar kenyataan yang terkandung lebih dominan. Dalam novel Saga no Gabai Baachan ini Shimada Youshichi hanya menggunakan tokoh dalam kehidupan nyata yang berpengaruh dominan pada dirinya, namun unsur cerita, seperti peristiwa dan kejadian, dikembangkan oleh imajinasi pengarang. Tokoh utama dalam novel ini adalah Tokunaga Akihiro, penulis novel itu sendiri, dan sang nenek, Nenek Osano.

(6)

  Bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima membuat Akihiro yang masih kecil kehilangan ayahnya. Ibunya yang menanggung beban untuk memenuhi kebutuhan keluarga memutuskan untuk mengirim Akihiro tinggal bersama neneknya di sebuah kota kecil bernama Saga. Meskipun keluarga di Hiroshima hidup prihatin, namun ternyata kehidupan di Saga satu tingkat lebih memprihatinkan.

Ketika pertama kali bertemu sang nenek, Akihiro yang masih tidak dapat menerima kenyataan harus pindah ke Saga pun langsung diajari cara menanak nasi. Nenek Osano bekerja sebagai petugas pembersih di Universitas Saga, oleh karena itu setiap hari ia harus berangkat pagi-pagi sekali dan tidak akan sempat membuatkan Akihiro sarapan. Maka Akihiro harus bisa mengurus dirinya sendiri. Biarpun miskin, Nenek Osano selalu menjalani hari dengan optimis dan ceria. Selalu saja ada ide cemerlang dalam menyiasati kemiskinan yang dideritanya. Setiap hari Akihiro dikejutkan dengan kelakuan dan tingkah aneh sang Nenek. Ia tidak habis pikir bagaimana neneknya menjalani kehidupan setiap hari. Salah satu tingkah Nenek Osano adalah mengikatkan seutas tali yang telah dikaitkan dengan magnet di pinggangnya dan menyeret-nyeretnya ke manapun ia berjalan. Magnet tersebut berguna untuk menarik paku dan sampah logam lainnya yang ia temui di sepanjang jalan yang dilewati. Setelah terkumpul, sampah logam tersebut dijual Nenek ke toko daur ulang untuk menghasilkan uang.

Suatu hari Nenek Osano juga pernah berkata pada Akihiro bahwa mereka memiliki supermarket pribadi. Ternyata yang dimaksud supermarket pribadi adalah sungai di depan rumah yang dipasangi sebatang galah oleh Nenek Osano. Berbagai macam benda yang hanyut di sungai tersangkut di galah tersebut,

(7)

  kemudian Nenek Osano akan mengambil serta memanfaatkannya. Misalnya ranting-ranting untuk dijadikan kayu bakar, sayur-sayuran dan buah-buahan cacat yang dibuang ke sungai dari pasar di hulu sungai, bahkan benda-benda lain seperti

geta3 yang dapat digunakan oleh Nenek dan Akihiro.

Novel yang menyajikan bacaan ringan namun sarat makna ini menarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai novel Saga no Gabai Baachan. Pengkajian yang dimaksud adalah analisis novel berdasarkan teori dialogis Mikhail Bakhtin sehubungan dengan ditemukannya unsur-unsur karnival dalam novel Saga no Gabai Baachan.

1.2 Rumusan Masalah

Menurut Lafevere (Suwondo, 2003: 5), pada dasarnya poetika sastra hanya dapat ditemukan dalam karya sastra itu sendiri. Artinya, hanya karya sastralah yang menjadi objek utama studi sastra. Karya sastra yang dimaksud dalam hal ini adalah karya sastra dari berbagai macam genre seperti novel, cerpen, puisi, drama, dan sebagainya.

Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang pengkajian ini, novel Saga no Gabai Baachan memiliki unsur-unsur menarik yang disebut perilaku karnival oleh Mikhail Bakhtin. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa novel ini merupakan karya sastra yang terkarnivalisasi (carnivalized literature) yang memiliki kecenderungan sebagai novel polifonik (pluralitas suara). Sebuah novel yang memiliki kecendrungan polifonik dapat diasumsikan sebagai novel yang

       3 Sandal kayu.

(8)

  memiliki karakteristik dialogis (Suwondo, 2001: 9). Mengacu pada hal tersebut, dapat diasumsikan pula bahwa novel Saga no Gabai Baachan memiliki karakteristik dialogis.

Berdasarkan alasan di atas maka perlu dilakukan analisis lebih lanjut menggunakan teori dialogis Mikhail Bakhtin atas beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah tersebut adalah: (1) bagaimanakah bentuk karnivalisasi dalam novel Saga no Gabai Baachan; (2) bagaimanakah komposisi dan situasi plot dalam novel tersebut; (3) bagaimanakah hubungan dialogis antartokoh dan bagaimana posisi pengarang dalam hubungannya dengan tokoh-tokoh tersebut; (4) bagaimana representasi gagasan (ideologi) pengarang; (5) seperti apakah dialog intertekstual yang terjadi dalam novel tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis yang dimaksud adalah untuk mengungkap dan membahas fakta cerita dalam novel Saga no Gabai Baachan karya Shimada Youshichi mengacu pada karakteristik dialogis, sehingga dapat diketahui sampai di mana kepolifonikannya dan bagaimana pula kedialogisannya. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah memperkaya pengetahuan pembaca terhadap karya Shimada Youshichi, khususnya novel Saga no Gabai Baachan. Selain itu juga untuk membantu meningkatkan minat masyarakat Indonesia untuk membaca karya sastra asing, khususnya karya sastra Jepang.

(9)

  1.4 Landasan Teori

Dalam penelitian ini rumusan masalah dipusatkan pada karakteristik polifonik dan dialogis novel Saga no Gabai Baachan. Hal tersebut dikarenakan terdapatnya unsur-unsur karnival sebagai unsur pembentuk utama yang menandai sebuah novel memiliki kecenderungan polifonik dan dialogis. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dialogis yang diperkenalkan oleh Mikhail Bakhtin.

Mikhail Bakhtin adalah salah satu dari pencipta teori wacana pada abad ke-20. Beberapa teori yang dikenalkannya antara lain dialogisme, polifonik, heteroglossia, intertekstualitas, dan karnaval teks. Teori Bakhtin yang paling terkenal adalah teori dialogisme. Bakhtin mengemukakan bahwa dialogisme berarti adanya keberagaman perspektif dan suara. Dalam Problems of Dostoevsky’s Poetics, Bakhtin mengembangkan konsep yang menjelaskan sebagian besar karyanya. Konsep tersebut disebut polifonik yang menjadi pusat dari analisisnya. Polifonik secara literal memiliki arti bermacam-macam suara. Bakhtin melihat karya Dostoevsky mengandung banyak suara-suara yang berbeda, yang tidak bergabung menjadi satu perspektif dan tidak juga di bawah suara pengarang. Setiap suara memiliki perspektifnya sendiri, validitasnya sendiri dan kandungan narasinya sendiri. Pembaca tidak hanya melihat sebuah realitas tunggal yang dihadirkan oleh pengarang, namun banyak realitas yang dimunculkan oleh setiap karakter. Oleh karena itu, para tokoh bebas bersuara, dalam arti mereka mampu berdiri di samping, mampu tidak sependapat, dan mampu memberontak si pengarang.

(10)

  Prinsip dialogis merupakan sebuah kritik terhadap ‘monologisme’ yaitu wacana yang bersumber pada sebuah pikiran tunggal atau disebut homofonik atau suara tunggal yang menjadi karakteristik dari tulisan-tulisan tradisional. Dalam monologisme, ada sebuah perspektif dan kesadaran tunggal yang transenden dan diintegrasikan ke dalam semua wilayah, sehingga menyatukan semua praktik-prakik, ideologi, nilai dan keinginan yang dianggap dominan. Segala sesuatu yang tidak relevan dengan perspektif ini dianggap tidak penting. Suatu dunia monologis dibentuk dari objek-objek yang diintegrasikan dalam sebuah kesadaran tunggal. Karena subjek hanya akan memiliki nilai ketika mempunyai hubungan perspektif yang transenden dengan kesadaran tunggal tersebut, maka statusnya direduksi menjadi objek. Mereka tidak dianggap sebagai bentuk kesadaran lain. Monologisme akan menutupi dunia yang direpresentasikannya dengan membuat sebuah kesadaran tunggal yang mutlak.

Sebaliknya, dialogisme berusaha untuk menganggap dan memunculkan perspektif dan suara-suara yang beragam tersebut sehingga menjadi ‘double-voiced’ atau ‘multi-‘double-voiced’. Setiap karakter dalam novel mempunyai kata-kata (suara) mereka sendiri, tetapi selalu berhubungan dan berinteraksi dengan kata-kata yang lain dari karakter lainnya. Dialogisme tidak mengabaikan realitas dari ideologi pengarang sehingga ini dianggap jauh lebih objektif dan realistis daripada monologisme.

Dalam dialogisme, terjadi penolakan terhadap makna yang ambigu dan tertutup dan tidak berhasil untuk menciptakan makna yang menyeluruh. Kesadaran yang satu selalu berhubungan dengan kesadaran yang lain. Menurut

(11)

  Bakhtin, bahasa monolog telah mengabaikan dialogis, padahal semua praktik pasti ada tujuan dialogis. Kesadaran manusia bukanlah sebuah entitas terpadu, namun merupakan konflik antara kesadaran yang berbeda. Kesadaran merupakan produk dari interaksi dan tidak dapat berdiri sendiri atau terisolasi.

Dialogisme tidak hanya melihat perbedaan dalam dunia, namun juga perspektif tersebut mempunyai nilai yang sama. Di antara perbedaan perspektif, tidak berarti ada satu perspektif yang salah, karena tidak ada kebenaran tunggal, tetapi yang ada adalah bermacam-macam makna yang saling bersaing untuk menjadi kebenaran, maka kebenaran dibangun berdasarkan konteks. Dalam dialogis, struktur sebuah teks merupakan tidak lebih penting dari hak-hak setiap karakter di dalamnya untuk menjadi subjek, dan bukan objek. Novel merupakan sebuah tradisi yang dibangun melalui dialog-dialog antara jiwa dan perspektif yang tidak dapat digabungkan. Bakhtin menekankan bahwa yang harus dilakukan bukanlah hanya memahami perspektif yang berbeda, tetapi dengan melihat perbedaan itu akan menghasilkan sesuatu yang baru atau memperkaya yang sudah ada.

Bakhtin mengemukakan (Suwondo, 2001: 42), bahwa dilihat dari sudut pandang monologis, konstruksi (komposisi atau struktur) novel polifonik terkesan kacau dan tidak teratur. Hal itu disebabkan karena novel pada dasarnya dibangun oleh - atau menghimpun – berbagai macam genre atau unsur asing dan prinsip-prinsip artistik yang tidak sesuai. Namun, justru karena adanya ketidakteraturan itulah sebuah novel mampu melahirkan pluralitas gaya, aksen, dan suara yang memiliki kedudukan setara.

(12)

  Mendukung pernyataannya tersebut, Bakhtin (via Suwondo, 2001: 45) menekankan bahwa pada dasarnya karya sastra hidup di masa kini (masa ketika karya sastra ditulis), tetapi walau bagaimanapun juga tetap mengingat masa lalu. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi memori kreatif dari proses perkembangan sastra. Oleh karena itu, kehadiran novel polifonik sebagai genre (sastra) baru juga tidak terlepas dari genre yang mendahuluinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Bakhtin kemudian menempatkan apa yang disebut sebagai tradisi sastra karnival sebagai sesuatu yang penting di dalam sejarah sastra. Dikatakan penting karena tradisi sastra karnival telah memberikan pengaruh signifikan bagi lahirnya novel polifonik, yaitu melalui proses transformasi berbagai unsur, terutama unsur komikal (comical) dan perilaku karnival (carnival attitude) (Bakhtin via Suwondo, 2001: 46).

Bakhtin (Bakhtin, 1973: 100, 133) mengartikan perilaku karnival sebagai perilaku yang akar-akarnya tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial dan berkembang dalam kondisi masyarakat kelas. Dalam kondisi masyarakat semacam itu perilaku karnival mencoba memperlakukan dunia sebagai milik semua orang sehingga mereka (siapa pun yang menghuni dunia itu) dapat menjalin kontak (dialog) secara bebas, akrab, tanpa dihalangi oleh tatanan, dogma, atau hierarki sosial. Perilaku tersebut semula berkembang dalam kisah-kisah rakyat karnivalistik (carnivalistic folklores), kemudian berpengaruh pada karya-karya sastra klasik genre serio-komik (serio-comic genre), di antaranya Socratic

(13)

  Dialog dan Menippean Satire (abad ke-3 SM), dan jauh sesudah itu (abad ke-18) berkembang pula dalam tradisi novel-novel Eropa.

Dalam Socratic Dialog setidaknya terdapat lima karakteristik yang memberikan pengaruh bagi munculnya novel polifonik (Bakhtin via Suwondo, 2001: 48-49). Pertama, kebenaran dialogis diletakkan sebagai dasar karya sastra. Untuk mencapai kebenaran dialogis tersebut, suatu kebenaran (gagasan) harus dipertentangkan dengan kebenaran lain sehingga lahir kebenaran baru. Dikatakan demikian karena sesungguhnya kebenaran tidak berasal dari dan tidak tinggal di dalam individu, tetapi dalam hubungan dialogis antar induvidu secara kolektif.

Kedua, adanya perangkat dasar, yaitu sinkrisis dan anakrisis. Sinkrisis merupakan bentuk penjajaran dramatis berbagai sudut pandang terhadap objek tertentu. Anakrisis merupakan provokasi, yaitu sarana yang berupa kata, ungkapan, atau situasi yang berfungsi untuk mendesak interlokutor (lawan bicara) agar mengekspresikan pendapat dan pikirannya sehingga kebenaran-kebenaran (baru) dapat ditarik darinya. Sinkrisis dan anakrisis mendialogisasi, membawa keluar, dan mengubah pemikiran menjadi suatu ungkapan di dalam dialog, dan akhirnya mengubah pemikiran-pemikiran itu menjadi hubungan dialogis antar individu.

Ketiga, tokoh-tokoh yang berdialog (tokoh utama dan interlokutornya) adalah para ideolog, yaitu manusia-manusia pencipta gagasan. Oleh sebab itu, seluruh peristiwa yang terjadi atau yang direproduksi merupakan peristiwa ideologis pencarian dan pengujian suatu kebenaran.

(14)

  Keempat, sebagai tambahan anakrisis, provokasi-provokasi tersebut berfungsi sebagai pencair atas otomatisme dan objektivasi, dan sebagai pendesak pihak lain agar terlibat secara penuh.

Kelima, gagasan secara organik melekat pada pelukisan seorang pribadi (penyampai). Jadi, pengujian dialogis tentang suatu gagasan secara simultan merupakan sebuah pengujian atas pribadi yang mewakilinya.

Sementara itu, di dalam Manippean Satire terdapat 14 (empat belas) karakteristik yang juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi lahirnya novel polifonik (Bakhtin via Suwondo, 2001: 49-52). Keempat belas karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Mengandung unsur komikal (lucu). (2) Walaupun tokoh-tokoh rekaannya berasal dari sejarah atau legenda, mereka tidaklah statis, tapi mempunyai kebebasan dan fantasi yang luar biasa. (3) Fantasi-fantasi dan petualangan yang paling berani dan bebas dimotivasi, dibenarkan, dan dijelaskan secara internal oleh tujuan ideologis dan filosofis yang semuanya digunakan untuk menciptakan situasi yang paling luar biasa sebagai sarana untuk menguji kebenaran (gagasan filosofis). (4) Adanya kombinasi fantasi dan simbolisme organik yang bebas. Misalnya, unsur religius dikombinasikan dengan naturalisme dunia bawah (kasar) seperti rumah bordil, sarang pencuri, kedai minum, pasar atau penjara. (5) Secara berani fantasi digabung dengan universalisme filosofis dan ideologis. Manippean Satire adalah karya tentang “pertanyaan-pertanyaan akhir” sehingga di dalamnya terdapat pro dan kontra berbagai “pertanyaan akhir kehidupan (kematian)”. (6) Dalam hubungannya dengan universalisme filosofis tampak ada suatu konstruksi

(15)

  tiga tingkat, yaitu sinkrisis tindakan ditransfer dari bumi, lalu ke Olympus, dan akhirnya ke dunia bawah. (7) Terdapat berbagai eksperimen yang fantastis dan aneh; misalnya, melihat kehidupan sebuah kota dari suatu ketinggian. (8) Muncul berbagai eksperimen moral psikologis, misalnya manusia abnormal, pribadi yang terbelah, mimpi di siang hari, atau bunuh diri. (9) Muncul berbagai adegan skandal, perilaku eksentrik, tindakan yang tidak sesuai, pelanggaran yang diterima umum, pemprofanan hal-hal yang sakral, pelanggaran etika, dan sebagainya. (10) Terdapat banyak kontras tajam dan berbagai kombinasi oksimoronik (kaisar-budak, bangsawan-bandit, kaya-miskin), dan kontras-kontras itu muncul secara simultan dan tidak terduga. (11) Ada unsur utopia sosial dalam bentuk mimpi atau perjalanan ke antah-berantah. (12) Banyak digunakan genre atau teks lain (surat, pidato, prosa, puisi, dan sebagainya); karya-karya itu disajikan dengan berbagai jarak dan posisi, dengan berbagai derajat parodi dan objektivasi. (13) Kehadiran karya-karya lain tersebut mengintensifkan keragaman gaya dan nada; dan dari sini terbentuklah suatu perilaku baru, yaitu perilaku dialogis. (14) Terdapat unsur publisitas dan jurnalistis yang berhubungan dengan berbagai persoalan ideologis yang bersifat kontemporer. Oleh sebab itu banyak ditampilkan tokoh-tokoh publik yang terkemuka yang (kini) telah surut atau tiada lagi untuk mengungkap berbagai peristiwa besar dan atau perubahan-perubahan yang baru muncul.

Oleh karena ditemukannya berbagai unsur perilaku karnival dan karakteristik novel polifonik yang telah dikemukakan di atas dalam novel Saga no Gabai Baachan karangan Shimada Youshichi, maka dapat diasumsikan bahwa novel tersebut merupakan karya sastra karnivalis (carnivalized literature) yang memiliki

(16)

  kecenderungan polifonik (banyak suara, banyak pandangan, banyak gagasan) dan dapat diasumsikan pula bahwa novel tersebut memiliki karakteristik dialogis.

1.5 Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian sastra yang menggunakan novel Saga no Gabai Baachan karangan Shimada Youshichi antara lain oleh Vina Amelia, mahasiswi Pendidikan Bahasa Jepang FKIP Universitas Riau pada tahun 2012 dengan judul Makna Hidup Dalam Fenomena Eksistensi Tokoh Baachan Dalam Novel Saga no Gabai Baachan Karya Shimada Youshichi (Pendekatan Psikologi Eksistensialisme). Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa tokoh Nenek Osano menunjukkan eksistensialisme yang khas, dengan cara-cara yang dilakukan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya. Prinsip kebebasan dan tanggung jawab selalu ada dalam diri Nenek Osano. Tokoh ini merupakan individu yang selalu mempunyai kebebasan dalam menentukan keputusan dalam hidup. Di samping kebebasan, Nenek Osano juga mengedepankan tanggung jawab atas hal-hal yang telah ia putuskan. Unsur spiritualitas menunjukkan bahwa Nenek Osano merupakan manusia yang memiliki keluhuran dalam hidup karena memiliki hati yang baik.

Selain itu penelitian terhadap novel Saga no Gabai Baachan juga dilakukan oleh Sinta Rustam, mahasiswi Universitas Bina Nusantara, dengan judul Analisis Konsep Ganbare Pada Dua Tokoh Novel Saga no Gabai Baachan pada tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, Sinta membagi dua simpulan, simpulan konsep ganbare yang terdapat dalam tokoh Aku dan simpulan konsep ganbare yang

(17)

  terdapat pada Nenek Osano. Simpulan konsep ganbare yang terdapat dalam tokoh Aku yaitu sikap pantang menyerah dan melakukan yang terbaik, sedangkan konsep ganbare pada Nenek Osano adalah melakukan yang terbaik dan semangat.

Dalam lingkup Universitas Gadjah Mada sendiri, penelitian novel Saga no Gabai Baachan dilakukan oleh Kuni Shohfaturrohmah pada tahun 2013. Penelitian tersebut berjudul Pesan Moral Novel Saga no Gabai Baachan Karya Shimada Youshichi: Analisis Fakta Cerita Dan Tema. Kuni mengungkapkan pesan moral yang ingin disampaikana dalam novel tersebut. Pesan moral tersebut adalah menjalani hidup secara praktis dan tidak berbelit-belit, ketepatan berpikir dan mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah agar dapat bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, siapa saja bisa bahagia karena kebahagiaan itu sederhana dan tidak bisa diukur dengan materi, keyakinan dan pantang menyerah dalam segala hal, dan setiap hal yang dilakukan dengan tekun akan membuahkan keberhasilan dan kesuksesan.

Penelitian yang menggunakan teori dialogis Mikhail Bakhtin pernah dilakukan oleh Tirto Suwondo, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2000 dengan judul Olenka: Tinjauan Dialogis dan Geoliany Faresta Z., mahasiswi jurusan Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2009 dengan judul Hubungan Dialogis Dalam Novel Fukai Kawa Karya Endoo Shuusaku: Sebuah Tinjauan Berdasarkan Teori Dialogis Mikhail Bakhtin. Dalam kedua penelitian tersebut didapatkan kesimpulan yang serupa yaitu, berbagai unsur karnival yang mengkarnivalisasi novel ternyata tidak menjamin dirinya sebagai novel yang sepenuhnya polifonik dan dialogis. Novel Fukai Kawa dan

(18)

  Olenka termasuk dalam kategori novel monofonik karena hanya menyuarakan satu suara, yaitu suara pengarang.

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, dapat diketahui bahwa berbagai penelitian yang telah dilakukan terdapat kesamaan dari segi objek material (novel) dan formal (teori). Namun, penelitian dengan objek material novel Saga no Gabai Baachan dengan menggunakan teori dialogis Mikhail Bakhtin belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini akan memunculkan hasil penelitian yang baru.

1.6 Metode Penelitian

Dalam upaya membahas rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, di dalam penelitian ini digunakan metode interpretasi dialogis (Bakhtin via Tedorov, 1984: 107-108). Interpretasi dialogis adalah interpretasi yang di dalamnya dua (atau lebih) identitas dapat hidup dan diakui. Akan tetapi, di dalam penelitian ini metode interpreatsi tersebut tidak akan dipahami dalam pengertian strukturalisme (structuralism), tetapi dalam pengertian pascastrukturalisme (post-stucturalism). Dalam arti, walaupun metode ini tetap bekerja dengan cara pemahaman relasi unsur-unsur, tetapi relasi itu tidak dilihat dalam kerangka kesatuan atau totalitas (prinsip strukturalisme), tetapi dalam kerangka keberagaman dan ketersebarannya di dalam novel yang diambil sebagai objek penelitian, yaitu novel Saga no Gabai Baachan karangan Shimada Youshichi.

Langkah-langkah penelitian dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama adalah menentukan teks yang akan dipakai sebagai objek penelitian, yaitu novel Saga no Gabai Baachan karangan Shimada Youshichi. Selanjutnya menentukan

(19)

  permasalahan yang ada di dalam novel dan menentukan teori yang digunakan, yaitu teori dialogis Mikhail Bakhti, untuk menjawab permasalahan tersebut.

Tahap selanjutnya adalah menjabarkan bentuk karnivalisasi yang terdapat dalam novel Saga no Gabai Baachan. Kemudian melihat komposisi dan situasi-situasi plot, menetukan hubungan antartokoh dan posisi pengarang, menentukan representasi gagasan, serta mengungkap dialog intertekstual dalam novel tersebut. Tahapan terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian.

1.7 Sistematika Penyajian

Penulisan laporan ini terdiri atas 4 (empat) bab. Bab pertama berupa pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab kedua berisi tentang pengarang dan karya-karyanya. Bab ketiga berisi pembahasan mengenai analisis dialogis. Bab kelima berisi kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Laporkan kepada pengawas Tes Sumatif kalau terdazpat tulisan yang kurang jelas, rusak atau jumlah soal kurang.. Jumlah soal sebanyak 25 : 20 butir Pilihan Ganda 5 butir Uraian

[r]

Sesuai dengan s.10 (3) Undang-Undang Pengadilan Negeri 1981 c.54, latihan seleksi terbuka untuk semua pemohon yang memenuhi persyaratan pemenuhan janji peradilan dalam waktu 7

dengan gadai, dan Pasal 1977 BW tidak dapat berlaku padanya.” 11 Pasal 314 WvK (KUHD) menegaskan bahwa kapal Indonesia yang dapat dibukukan dan telah didaftar

Most of the newest remote sensing systems, such as Landsat8, SPOT, IKONOS, QuickBird, EO-1 and ALOS provide sensors with one high spatial resolution panchromatic (PAN)

Untuk itu keberadaan sumber daya manusia aparatur memiliki peran yang cukup dominan dalam pencapaian tujuan pemerintahan kecamatan secara efktif dan efisien yang harus

In addition to simulation of rainfall-runoff process using the recorded land precipitation, the performance of four satellite algorithms of precipitation, that is, CMORPH,