• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Negara kita umumnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Negara kita umumnya"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Seperti diketahui bersama bahwa pada kenyataannya di Negara kita umumnya warga masyarakat didaerah pedesaan masih tunduk dan taat pada aturan hukum adat sebagai pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku serta berinteraksi dengan sesama. Hukum adat menurut Prof Dr. Soerjono Soekanto adalah keseleruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan, kesusilaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum. Menurut Ter Haar hukum adat merupakan keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para perangkat hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku secara merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati.1

Hukum adat tumbuh dan dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib hukum diantara manusia yang bergaul didalam suatu komunitas masyarakat, agar supaya dengan demikian dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum adat itu baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tidak kelihatan tetapi diyakini dan dipercaya sejak lahir sampai meninggalnya seseorang. Dimana ada masyarakat hukum adat yang senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara dan pandangan

1Sri Harini Dwiyanti. Pengantar Hukum Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga,

(2)

hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.

Suparlan mengatakan pada saat yang sama, bahkan telah berlangsung jauh lebih lama terdapat pelbagai sistem hukum dari masyarakat dan kebudayaan-kebudayaan lain (the other cultures) selain state law (hukum negara).2Masyarakatnya mempertahankan

sistem-sistem hukum tersebut secara dinamis sesuai dengan laju kebudayaannya. Dalam kondisi yang demikian tidak jarang muncul kendala dimana terjadi benturan antara hukum Negara dan hukum adat, walaupun hukum adat merupakan sumber hukum yang tidak tertulis karena berasal dari adat kebiasaan masyarakat3.

Pada dasarnya hukum adat merupakan hukum yang tumbuh dan berkembang dalam suatu komunitas masyarakat dimana masyarakat itu sendiri yang menganut serta menaatinya. Yang tidak kalah penting untuk mendapat perhatian secara seksama adalah bahwa hukum adat itu telah dipraktekkan sejak lama sehingga menjadikan hukum adat sebagai faktor penentu dalam mempersatukan seluruh anggota masyarakat, baik dari segi lahiriah maupun non lahiriah dalam konteks hukum adat. Oleh karena itu maka dapat diasumsikan bahwa sesungguhnya hukum adat adalah kebudayaan. Senada dengan pandangan diatas, Soerjono Soekamto mengutip pendapat Hazseri yang mengatakan bahwa: “Hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam adat sebagai bagian integralnya,

2Djaka Soehendera, Paper untuk Seminar dan Pelatihan Pluralisme Hukum, yang diselenggarakan HuMA.

Depok & Bogor: 28 s.d 30 Agustus 2003

(3)

sebagai bagian kelengkapannya, Adat selengkapnya adalah seluruh kebudayaan yang berkaidah sebagaimana tumbuh dan dikenal dalam masyarakat adat” 4.

Frank Cooley dalam Ambonese Adat : A General Description menyebutkan pentingnya adat dalam kehidupan bermasyarakat di Ambon, antara lain ; Adat adalah pemberian nenek moyang atau leluhur dan harus di patuhi, adat juga merupakan representasi dari perintah leluhur sebagai pendiri komunitas. Adat adalah sebuah hukum dalam mengatur kehidupan bermasyarakat didalam komunitas (1962: 2-4). Kedua dimensi ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Dalam penjelasannya, Cooley menguraikan bahwa Leluhur yang adalah pendiri dari komunitas, mendirikan Negri (baca:Desa) dan menetapkan adat sebagai sebuah sistem yang mengatur hidup mereka dimasa kini maupun mengatur hidup keturunan mereka di masa depan. Cooley menambahkan bahwa mereka yang menjalankan adat mendapatkan berkat dari leluhur (baca: Tete Nene Moyang), sedangkan mereka yang mengabaikan adat mendapat sebuah kutukan, seperti dalam penulisannya berikut ini5 :

….., it becomes clear that adat is obligatory upon all members of the community precisely because it is believed to have been established and handed down to them by the ancestors. It represents the will of the ancestors. Observance of it is an expression of respect for the ancestors. To ignore or neglect it is to flout the will of the ancestors, and this is exceeedingly hazardous because of the power which they continue to hold. The sanctions of adat are thus rooted primarily in this power attributed to the ancestors.

Kekuatan pemahaman ini masih ada sampai sekarang sehingga adat tetap menjadi fenomena pertama dalam kehidupan masyarakat Ambon, walaupun masyarakat pulau Ambon rata-rata memiliki identitas yang pada umumnya beragama Kristen dan Islam.

4 Agus Umbu Tauwa, Deskripsi Tentang Pelaksanaan Kawin Paksa Menurut Hukum Adat di Kecamatan Katiku Tana Kabupaten Sumba Barat, FH UKAW. Hal. 2, 2000

(4)

Praktek-praktek percampuran antara adat dan agama terasa sangat nyata, sehingga terkadang praktek-praktek yang dilakukan oleh orang Ambon terasa sangat kental dengan agama, tetapi itu hanya menjadi sebuah bungkusan luar, isi dari semangat tersebut berasal dari spiritualisme manusia adat Maluku atau Ambon pada khususnya untuk melaksanakan adat6 .

Ini terlihat pada proses perkawinan masyarakat adat di Maluku dimana mengenal perkawinan minta bini (masuk minta) yang sangat diharapkan setiap orang, karena perkawinanan minta bini/ masuk minta ini selain direstui kedua belah pihak juga berakhir pada sahnya nikah gereja. Negri Latuhalat dan Alang menganut agama Nasrani juga mengenal perkawinan minta bini (masuk minta) seperti halnya, masyarakat ambon pada umumnya, tetapi setiap tempat tentu memiliki aturan dan tata cara yang berbeda dalam prosesi masuk minta. Dalam hal ini, keluarga laki-laki harus memeberikan harta kawin kepada keluarga dari pihak perempuan yang hendak dilamar sebagai tanda bahwa mereka hendak meminang anak gadis itu untuk dijadikan isteri oleh anak laki-laki mereka. Pemberian harta kawin untuk pihak perempuan adalah suatu keharusan yang tidak bisa diabaikan karena menurut kepercayaan masyarakat setempat jika menyalahi aturan adat yang berlaku maka terjadi hal yang tidak diinginkan (pamali).

Masyarakat di Maluku pada umumnya merupakan masyarakat adat, dikenal kesatuan masyarakat hukum adat dengan nama Negri yang diatur berdasarkan hukum adat setempat, kesatuan-kesatuan masyarakat adat tersebut beserta perangkat pemerintahannya telah lama ada, hidup dan berkembang serta dipertahankan dalam tata pergaulan hidup masyarakat. Negri di Maluku sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, memiliki

(5)

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak, asal usul Negeri, adat istiadat dan hukum adat yang diakui dalam Sistem Pemerintahan Nasional.7

Latuhalat dan Alang adalah Negri atau desa yang berada di provinsi maluku dengan ibukota Ambon, sebuah wilayah yang berada di daerah timur Indonesia. Kedua Negri ini berada di satu daratan yaitu Pulau Ambon. Negri Latuhalat meliputi Tanjung Nusaniwe seluruhnya yang dikelilingi oleh lautan dan hanya sebagian saja yang berbatasan dengan daerah dataran lainnya, sedangkan Negri Alang adalah desa/negeri yang terletak di kecamatanLeihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa kedua Negri ini memegang prinsip adat yang diwariskan nenek moyang zaman dahulu hingga sekarang ini. Salah satunya adat persaudaraan sekandung yang dikenal masyarakat Maluku sebagai adat Pela Gandong8.

Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku, berupa suatu perjanjian hubungan antara satu negri (sebutan untuk kampung atau desa) dengan negri lainnya, yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain di Maluku (Bahasa Ambon: Tapele Tanjong). Biasanya satu negri memiliki paling tidak satu atau dua Pela yang berbeda jenisnya. Sistem perjanjian pela ini diperkirakan telah dikenal atau telah ada sebagai bagian kearifan lokal masyarakat Maluku sebelum masa kedatangan bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Belanda; dan digunakan

7 http://webcache.googleusercontent.com/:fhukum.unpatti.ac.id didownload pada 10 May 2016 8http://dolfis.wordpress.com/budaya-maluku/pela-gandong: download 26 februari 2015

(6)

untuk memperkuat pertahanan terhadap penyerangan bangsa Eropa yang pada waktu itu melakukan upaya monopoli rempah-rempah.9

Pela berasal dari kata “Pila” yang berarti “buatlah sesuatu untuk bersama”. Sedangkan jika ditambah dengan akhiran-tu, menjadi “pilatu”, artinya adalah menguatkan, usaha agar tidak mudah rusuh atau pecah. Tetapi juga ada yang menghubungkan kata pela ini dengan pela-pela yang berarti saling membantu atau menolong. Dengan beberapa pengertian ini, maka dapat dikatakana bahwa Pela adalah suatu ikatan persaudaraan atau kekeluargaan antara dua desa atau lebih dengan tujuan saling membantu atau menolong satu dengan yang lain dan saling merasakan senasib penderitaan. Dalam arti bahwa senang dirasakan bersama begitupun susah dirasakan bersama (Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ikatan pela ini diikat dengan suatu sumpah dan dilakukan dengan cara minumdarah yang diambil dari jari-jari tangan yang dicampur dengan minuman keras lokal maupun dengan cara memakan sirih pinang.10

Hubungan pela ini biasanya terjadi karena ada peristiwa yang melibatkan kedua kepala kampung atau desa, dalam rangka saling membantu dan menolong satu sama lain. Dalam ikatan pela ini memiliki serangkaian nilai dan aturan yang mengikat masing-masing pribadi yang tergabung dalam persekutuan persaudaraan atau kekeluargaan itu. Aturan itu antara lain adalah: tidak boleh menikah sesama pela atau saudara sekandung dalam pela. Jika hal ini dilakukan maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi hukuman bagi yang melanggaranya.

9 https://id.wikipedia.org/wiki/Pela di download 26 februari 2015

(7)

Gandong, apakah ungkapan “ Gandong “ itu mempunyai daya perekat tersendiri bagi angota-anggota masyarakat pela. Bahasa tanah (baca: bahasa Ambon) mengenal semacam akar kata (yang berasal dari bahasa Indonesia), dalam pemakaiannya, maka kata dasar ini sering ditambahi aksara pada bagian awal, sisipan, ataupun akhiran. Hal semacam itu dapat kita bandingkan antara kandung (dalam bahasa Indonesia) dan gandong dalam bahasa Ambon. Orang Ambon yang tadinya berasal antara lain. Dari kehidupan social di Nunusaku, sebagaai manusia Timur, jelas mempunyai orentasi yang lain dalam menentukan nama bagi suatu perserikatan antara negri-negri yang disebut pela gandong. Jadi gandong adalah rahim atau pangku, suatu pusat dan awal dari pada segala suatu yang hidup.

Awal terjadi hubungan pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang ini berasal dari dimana seorang bangsawan Negri Alang menyukai seorang gadis dari Negri Latuhalat, dan keluarga bangsawan dari Negri Alang datang ke Latuhalat untuk melamar gadis tersebut setelah diterima keluarga pihak perempuan ternyata pimpinan adat di Negri Latuhalat pada saaat itu tidak setuju dengan lamaran tersebut tapi karna keluarga takut malu, pimpinan adat di Negri Latuhalat mempersiapkan penganten dari boneka yang akan dikawinkan dengan bangsawan dari Negri Alang. Setelah terjadi arak-arakan penganten boneka yang diketahui asli oleh bangsawan dan orang-orang di Negri Allang itu menjatuhkan diri di Tanjung Hattu, orang-orang dari mengetahui gadis yang menjatuhkan diri itu adalah penganten perempuan dari Negri Latuhalat. Namun setelah beberapa hari penganten boneka ditemukan oleh Negri Leliboy dan menjadi cibiran bahwa Negri Alang buta karena bangsawan mau mengawini boneka. Ini yang menjadi asal dimana para tua-tua

(8)

adat dan bangsawan Negri Alang datang mengikat janji sebagai saudara sekandung dengan hubungan Pela.

Pada dasarnya ada 3 Pela yang ditetapkan, yakni 11:

1. Pela karas, Pela Karas adalah sumpah yang diikrarkan antara dua Negri (desa) atau lebih karena terjadinya suatu peristiwa yang sangat penting dan biasanya berhubungan dengan peperangan antara lain seperti pengorbanan, akhir perang yang tidak menentu (tak ada yang menang atau kalah perang), atau adanya bantuan-bantuan khusus dari satu Negri kepada Negri lain.

2. Pela gandong atau bungso didasarkan pada ikatan darah atau keturunan untuk menjaga hubungan antara kerabat keluarga yang berada di Negri atau pulau yang berbeda

3. Pela tempat sirih diadakan setelah suatu peristiwa yang tidak begitu penting berlangsung, seperti memulihkan damai kembali sehabis suatu insiden kecil atau bila satu Negri telah berjasa kepada Negri lain. Jenis Pela ini juga biasanya ditetapkan untuk memperlancar hubungan perdagangan

Pada umumnya Pela di Maluku mempunyai aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar oleh kedua negri atau desa. Pela didasari atas empat ketentuan sebagai berikut12 :

11Sahusilawane Ny,F.Sejarah Pela Dan Gandng Antara Negeri Negeri Di Pulau Ambon, Ambon:Balai Kajian

Sejarah Dan Nilai Tradisional,2004 Hal 14

(9)

1. Negri yang berpela berkewajiban saling membantu disaat genting (bencana alam, peperangan, dll)

2. Jika diminta, maka Negri yang satu wajib memberi bantuan kepada Negri yang lain yang hendak melaksanakan proyek-proyek demi kepentingan kesejahteraan umum, seperti umumnya : (pembangunan rumah-rumah ibadah seperti gereja, mesjid; atau bangunan bangunan umum)

3. Kalau seorang Pela datang berkunjung ke Negri yang berpela itu, maka orang tersebut wajib memberi makan kepada saudara pelanya, tamu yang sepela tersebut tidak usah meminta izin untuk membawa pulang apa-apa dari hasil tanah atau buah-buahan menurut kesukaannya.

4. Semua penduduk Negri-Negri yang yang berhubungan Pela itu dianggap sedarah, sebab itu dua orang sepela tidak boleh kawin karena di pandang sumbang. Tiap pelanggaran yang berkaitan dengan itu akan di hukum keras oleh nenek moyang yang mengikrarkan Pela itu. Contoh-contoh penghukuman yaitu sakit, mati dan kesusahan lain, biasa juga terjadi mengakibatkan ke anak-anaknya. Biasanya mereka yang melanggar pantangan itu disuruh berjalan mengelilingi negri-negrinya yang hanya berpakian daun-daunan kelapa, sementara penghuni negri mencaci makinya.

Pela gandong sendiri bagi masyarakat Maluku dapat diartikan sebagai perserikatan beberapa Negri lain. Perserikatan yang berdasarkan hubungan persaudaraan sejati, dengan isi dan tata laku yang diatur dalam perjanjian baik lisan maupun tulisan, di mana para pihak

(10)

berjanji untuk tunduk pada perjanjian yang dimaksud sebagai dasar hukumnya dari waktu ke waktu13.

Salah satu ketentuan Pela antara Negri Latuhalat dengan Negri Alang adalah dilarang kawin yang ditulis dalam sebuah prasasti pela”diarak Negri Latuhalat dan Negri Alang dilarang kawin”, yang dituliskan di atas sebuah tugu adat nya adalah laki-laki dan perempuan dilarang kawin karena dianggap saudara kandung14. Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua/kerabatnya.

Ini juga terjadi dalam budaya Pela Gandong yang terjadi di Maluku, Dimana Negri- Negri adat di Maluku tidak dapat kawin/menikah dengan sesama Negri-Negri adat lainnya seperti Negri Latuhalat dengan Negri Alang di mana kedua Negri-Negri adat ini tidak dapat melangsungkan pernikahan/kawin karena kedua Negri ini Pela (saudara kandung). Adat larangan kawin tersebut masih berlansung sampai sekarang ini, dan masyarakat Negri Latuhalat dan Negri Alang masih memegang teguh hukum adat tersebut15 .

Ada sekitar 5 orang pasangan yang secara langsung juga menjadi responden dalam penelitian skripsi ini yang berada dari dua Negri Latuhalat dan Negri Alang yang melakukan perkawinan dengan mengesampingkan larangan Pela tersebut, baik itu secara sengaja atau tidak sengaja, dengan alasan tidak mengetahui adanya larangan perkawinan Pela. Ketidakinginantahuan si pelaku dan kurangnya informasi berkaitan larangan

13Sahusilawane F. Sejarah Pela Dan Gandng Antara Negeri Negeri Di Pulau Ambon,Ambon:Balai Kajian Sejarah

Dan NilaiTradisional,2004 , Hal 14

14Dokumentasi Pengurus PAASA(Persatuan Anak-Anak Samasuru, ,Ameth) Ambon,Sejarah"Pela"Ameth-Ema

,(Maluku:Percetakan Daerah,1972),hlm4

(11)

perkawinan Pela tersebut, dan yang secara tidak langsung dengan demikian harus diselesaikan dengan cara adat dengan berbagai cara tahapan adat untuk menyelesaikan permasalahan perkawinan pela tersebut.

Dengan demikian berkaitan dengan ini dapat ditegaskan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap larangan Kawin Pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang yang dilakukan oleh 5 Responden, dimana seharusnya larangan tersebut yang adalah bagian dari aturan-aturan adat yang berlaku atas kedua Negri yang telah melakukan perikatan persaudaraan dapat ditaati oleh kedua pasangan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud untuk membahas masalah ini lebih lanjut dengan tinjauan hukum adat dalam bentuk proposal skripsi dengan judul “Pelaksanaan Hukum Adat Pela Gandong Negri Latuhalat Dan Negri Alang di Ambon Propinsi Maluku". Ini sesuai dengan toeri yang digunakan dalam sistem hukum dari Friedman dan turut dibahas dalam skripsi ini.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pelaksanaan hukum adat Pela Gandong di Negri Latuhalat dan Negri Alang terhadap adanya pelanggaran perkawinan antara pasangan kawin pela?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Memperoleh pemahaman tentang pelaksanaan hukum adat Pela Gandong dan tinjaun hukum adat dalam hubungan dengan larangan perkawinan antar pela.

(12)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan solusi dalam bidang hukum adat terkait larangan perkawinan pela gandong di Ambon. Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin mengetahui tentang hukum adat khususnya tenanting larangan perkawinan pela gandong di Ambon, ini Dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin mengkaji secara mendalam tentang hukum adat berkaitan dengan masalah yang penulis utarakan diatas.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian dalam rangka meningkatkan fungsi hukum adat khusunya pemerinta daerah/kota (Ambon) dalam penegakan tentang hukum adat dan juga mayarakat terhadap manfaat larangan perkawinan antar pela.

F. METODE PENELITIAN

Metode penelitian diartikan sebagai ajaran metode-metode, sedangkan pengertian dari metode adalah suatu tehnik atau cara yang di rancang sedemikian rupa dan di pakai dalam proses untuk memperoleh pengetahuan.

Dalam penelitian ini penulis memerlukan data-data agar hasil penelitian dapat di pertanggung jawabkan. Untuk itu diperlukan suatu metode tertentu agar dapat diperoleh data-data yang lengkap. Selanjutnya penulis menggunakan metode sebagai :

(13)

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian sosio legal yaitu studi hukum yang dipelajari sebagai variable akibat yang timbul sebagai hasil akhir dari berbagai kekuatan dalam proses social. Langka-langkah dan desain teknis penelitian hukum mengikuti pola ilmu social dan berakhir dengan penarikan kesimpulan.16 Dengan demikian berkaitan dengan skripsi ini maka dapat telihat hasil penelitian bahwa kawin pela sebagai variable yang melanggar aturan atau tatanan adat yang berlaku di Negri Latuhalat dan Negri Allang.

2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis. Yuridis sosiologis, yaitu pendekatan penelitian yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang (manusia dan badan hukum) dan masyarakat serta efektivitas berlakunya hukum positif di masyarakat.17 Adanya interaksi social dalam penyelesaian masalah perkawinan pela gandong menurut hukum adat yang berlaku di masyarakat adat negri latuhalat dan negri alang adalah menjadi fokus analisa penelitian skripsi ini.

3. Teknik Pengambilan Data a. Data Primer

Data ini diperoleh dengan cara wawancara, terhadap:

1. Pelaku kawin antar Pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang

16 Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. 1984. Hal 13 17Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. 1984. Hal 51

(14)

2. Kepala adat Negri Latuhalat dan Negri Alang, aparat Negri (Raja) sebagai informen

3. Orang tua pasangan kawin antar Pela

4. Masyarakat Adat Negri Latuhalat yakni Latuputty dan Negri Alang yakni Patty

5. Sekertaris Negri Alang Buce Patty

b. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan melalui literatur dan dokumen-dokumen yang relevan dengan pokok permasalahan.

4. Unit Amatan dan Unit Analisia a. Unit Amatan

Unit amatan adalah para pihak yang mengetahui terkait bagaimana tinjauan hukum adat terhadap larangan perkawinan karena asas pela gandong ( studi kasus di Negri Latuhalat dan Negri Alang, Ambon -Maluku ) yakni :

1. Pelaku kawin antar Pela antara Negri Latuhalat dan Negri Alang 2. Kepala adat Negri Latuhalat dan Negri Alang, aparat Negri (Raja)

sebagai informen

(15)

4. Masyarakat Adat Negri Latuhalat yakni Latuputty dan Negri Alang yakni Patty

5. Sekertaris Negri Alang Buce Patty

b. Unit Analisa

Unit anaslisis dalam pendekatan ini adalah terletak pada pelaksanaan hukum adat pela gandong di Negri Latuhalat dan Negri Alang terhadap adanya pelanggaran perkawinan antara pasangan kawin pela

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis dan secara berurutan sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dan terarah. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II HASIL PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian data penelitian, sekaligus analisa peneliti terhadap data-data atau bahan-bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji pada penelitian ini.

BAB III PENUTUP

Bab ini berisi pernyataan tentang kesimpulan (jawaban atas permasalahan) dan saran.

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Jika melihat fenomena perubahan tersebut seharusnya perempuan hindu Bali yang telah menikah dan tidak menjadi purusa berhak untuk mendapatkan warisan dari harta

74 Hasil studi menunjukan bahwa GMIM sebagai salah satu gereja anggota PGI telah memberi kontribusi besar dalam gerakan ekumenis di Indonesia pada periode

Sebelum pelajaran dimulai mahasiswa PPL mengkonsultasikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Mahasiswa PPL juga melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing

Persepsi dukungan organisasi mempengaruhi reaksi afektif karyawan terhadap pekerjaan mereka, termasuk kepuasan kerja dan mood positif. Kepuasan kerja mengacu pada sikap

Tabel 33 merupakan hasil penghitungan berdasarkan penjadwalan yang dilakukan oleh perusahaan, dapat dilihat bahwa jika dibandingkan dengan hasil penjadwalan dengan

Daftar seperti ini umumnya tidak tersedia dan jika peneliti ingin membuatnya maka diperlukan biaya dan waktu yang cukup besar.Dengan menggunakan metode klaster, peneliti hanya

dalam penelitian tindakan kelas ini, peneliti bermaksud untuk mencoba meningkatkan kemampuan anak tunagrahita ringan dalam pembelajaran aspek penjumlahan dengan

Penelitian untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun sirih terhadap jumlah makrofag pada fase proliferasi luka bakar derajat II A telah dilakukan dengan melakukan