• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

A. Perbankan Syariah di Indonesia

Undang-Undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah memberikan pengakuan terhadap keberadaan prinsip syariah dalam dunia perbankan Indonesia dengan membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa dan agama dengan jumlah penduduk 240 juta. Meskipun bukan negara Islam, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk beragama Islam sebanyak 88 Persen, Kristen 5 persen, Katolik 3 persen, Hindu 2 persen, Budha 1 persen, dan lainnya 1 persen39. Semakin majunya sistem keuangan dan perbankan serta semakin meningkatnya kesejahteraan, kebutuhan masyarakat, khususnya muslim menyebabkan semakin besarnya kebutuhan terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah. Atas dasar dorongan kebutuhan masyarakat terhadap layanan jasa perbankan syariah, bank syariah pertama berdiri pada tahun 1992 di Indonesia. Semenjak itu, pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan dual banking system.

39

(2)

1. Sejarah Perbankan Syariah

Sejak eksperimen pertama pendirian bank Islam oleh Mit Ghamr pada tahun 1960-an, bank syariah mulai banyak berdiri dan keberadaannya didukung oleh kekayaan minyak dikawasan Teluk. Perkembangan bank syariah mulai meningkat tajam setelah awal berdirinya pada tahun 1960. Dari hanya satu bank pada awal tahun 1970-an, meningkat menjadi sembilan pada tahun 1980. Diantaranya adalah Bank Sosial Naseer (1971), Bank Islam Faisal Mesir (1977), Bank Islam Faisal Sudan (1977), Lembaga Keuangan Kuwait (1977), Bank Islam Bahrain (1979) dan Bank Islam Internasional dalam Investasi dan Pembangunan (1980). Antara tahun 1981-1985 , sekitar 24 bank syariah dan lembaga keuangan lainnya telah didirikan di Qatar, Sudan, Bahrain, Malaysia, Bangladesh, Senegal, Guinea, Denmark, Selandia Baru, Turki, Inggris, Yordania, Tunisia, dan Mauritania. Kebanyakan bank-bank Islam maupun lembaga keuangan berdiri hampir di seluruh negara muslim. Di samping itu, di negara-negara non muslim yang jumlah umat Islamnya minoritas, seperti Amerika Serikat atau Australia, mereka berusaha mendirikan lembaga keuangan Islam40

Rintisan praktek perbankan syariah di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, gagasan perbankan syariah dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung dan di Jakarta. Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi bank syariah Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari

40

Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga; Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer

(3)

larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudharabah, musyarakah dan murabahah.

Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian bank syariah di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasilnya lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank syariah di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.

Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 November 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000,- . Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kelahiran bank syariah di Indonesia realtif lambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI41. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep

41

OKI adalah singkatan dari Organisasi Kerjasama Islam (Organization of the Islamic

(4)

bank syariah, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian bank syariah di Indonesia karena political will belum mendukung.

Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI. Pada saat penandatanganan akte pendirian ini terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak 84 miliar. Pada awal pendirian Bank Muamalat di Indonesia, keberaaan bank syariah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan sistem syariah ini hanya di kategorikan sebagai “bank dengan sistem bagi hasil” tidak terdapat rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan hanya sepintas lalu dan merupakan “sisipan belaka”42

.

Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Muamalat Indonesia merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa bank syariah lain, yakni Bank IFI membuka cabang syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB) anak perusahaan Bank Mandiri serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per

42

Nurul Ichsan Hasan. Perbankan Syariah (Sebuah Pengantar) (Jakarta : Referensi, 2014), Hal. 102

(5)

bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah , yakni Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.

Perkembangan bank syariah di Indoensia kini telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan sistem ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank konvensional dan banyak dilikuidasi karena kegagalan sistem bunganya, sementara perbankan yang menerapkan sistem syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan, hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank muamalat melewati krisis tersebut dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dengan tidak menerima sepersen pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan pada tahun 2008, bank muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih. Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan43.

2. Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

Perbankan yang ada pada awal-awal kemerdekaan sampai dengan adanya deregulasi perbankan pada tahun 1988 merupakan bank yang secara keseluruhan mendasarkan pengelolaannya pada prinsip bunga (interest). Seiring dengan banyaknya tuntutan masyarakat yang menghendaki suatu lembaga keuangan yang

43

(6)

bebas dari bunga (riba), maka dibutuhkan rangkaian upaya secara yuridis dan kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tesebut. Secara hukum telah terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil.

Ketentuan dalam Pasal 6 huruf m dan ketentuan dalam Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 menetapkan sebagai berikut :

“Bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah”

Pengaturan bank berdasarkan prinsip bagi hasil dimaksud lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992. Namun seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, ketentuan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, eksistensi bank berdasarkan prinsip syariah disebutkan di dalam salah satu usahanya yang dijalankan oleh bank umum dan bank perkreditan rakyat dengan perumusan yang

(7)

berbeda. Berkaitan dengan usaha bank umum, ketentuan dalam Pasal 6 huruf m Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan bahwa:

“Bank umum menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”

Demikian pula berkaitan dengan usaha bank perkreditan rakyat, ketentuan dalam Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan bahwa:

“Bank perkreditan rakyat menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia”

Selain itu, eksistensi kehadiran bank berdasarkan prinsip syariah disebutkan pula dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menetapkan bahwa:

“Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”

Kemudian, dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 yang menetapkan bahwa:

“Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”

(8)

Dengan demikian, ketentuan dalam pasal-pasal tersebut merupakan dasar hukum dan eksistensi penyelenggaraan kegiatan usaha yang operasionalnya berdasarkan sistem prinsip syariah, yang secara rinci akan diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dan pengganti pengaturan perbankan syariah tersebut, ditetapkan peraturan pelaksananya oleh Bank Indonesia, yang semula dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia, kemudian diganti dalam bentuk peraturan Bank Indonesia, yaitu:

a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005

b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip Syariah kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006.

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan

(9)

Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional, kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomoor 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/7/PBI/2007.

Semula pengaturan mengenai produk-produk perbankan syariah didasarkan pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, yang secara yuridis tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum (terbatas pada orang yang meminta fatwa), maka ada pendapat bahwa fatwa tersebut hendaknya dijadikan sebagai hukum positif dengan jalan memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan. Mengingat kewenangan pengaturan terhadap bank secara teknis ada pada Bank Indonesia, karenanya ketentuan yang ada dalam fatwa Dewan Syariah Nasional itu tepat juka dimasukkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia44.

Agar memiliki kesamaan cara pandang dengan produk-produk perbankan syariah sebagaimana telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tersebut, maka oleh Bank Indonesia ditetapkan ketentuan tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana termuat dalam :

44

Abdul Ghofur Anshori, Payung Hukum Perbankan Syariah (UU di Bidang Perbankan,

(10)

a Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah.

b Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Dewasa ini kerangka hukum bank syariah telah diatur secara khusus dan tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlunya aturan spesifik atau khusus dalam suatu undang-undang tersendiri yang mengatur perbankan syariah, berhubung perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional dan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin menigkat. Sejalan dengan itu, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi maka dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfataan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan mengangkatnya ke dalam sistem hukum nasional. Sebelum terbentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, operasional perbankan syariah berdasarkan pada Undang-Undang Perbankan umum seperti dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

(11)

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 serta aturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia berupa peraturan dan Surat Edaran Bank Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 telah diatur jenis usaha ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah ataupun unit usaha syariah yang merupakan bagian dari bank umum konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang meliputi kegiatana usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim, yang pelaksanaannya dilakukan secara

menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqomah). Pengelolaan perbankan syariah juga berpedoman pada prinsip kehati-hatian guna mewujudkan perbankan syariah yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perunda ng-undangan.

Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 diatur mengenai kepatuhan syariah (syariah compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dipresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang harus dibentuk pada masing-masing bank syariah dan unit usaha syariah. Dewan Pengawas Syariah dimaksud bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip syariah dimaksud difatwakan oleh MUI yang selanjutnya dituangkan dalam peraturan Bank Indonesia. Dengan demikian eksistensi kelembagaaan Dewan

(12)

Syariah Nasional (DSN) MUI yang selama ini mengeluarkan berbagai fatwa tentang produk dan jasa syariah yang sesuai dengan prinsip syariah, yang kemudian diperlengkapi dengan dan dituangkan dalam peraturan Bank Indonesia45.

3. Fungsi dan Tujuan Perbankan Syariah Indonesia

Bank syariah adalah merupakan bagian integral dari sistem perbankan nasional. Sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, fungsi dan tujuan bank syariah tentu saja tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan sumber utama pengaturan kehidupan perbankan di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perbankan dinyatakan bahwa :

“Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan, pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”

Ketentuan kedua pasal tersebut menegaskan tentang fungsi dan tujuan yang harus diemban oleh perbankan nasional, termasuk oleh bank syariah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 dan 4 Ayat (1) Undang-Undang Perbankan, yang merupakan bagian dari integral dari perbankan nasional. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa sebagai bagian dari perbankan nasional fungsi dan tujuan bank syariah di Indonesia pada dasarnya tidak lain sebagaimana bank konvensional, ia merupakan suatu lembaga perantara keuangan (intermediary

45

(13)

financial institution) yang fungsi utamanya adalah memobilisasi dana dan

mendistribusikan kembali dana tersebut dari dan kepada masyarakat, lembaga atau usaha-usaha produktif lainnya. Perbedaannya dengan bank konvensional hanya terletak pada prinsip yang menjadi dasar dalam menjalankan fungsi tersebut, sedangkan bank syariah justru tanpa bunga (interest) dalam menjalankan fungsi tersebut 46.

Dalam menjalankan operasinya bank syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut :

a. Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar pinrip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.

b. Sebagai pengelola invetasi atas dana yang dimiliki pemilk dasar shahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana;

c. Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan

d. Sebagai pengelola fungsi sosial.

Dengan demikian juga halnya dengan tujuannya, sebagaimana bank konvensional, bank syariah di Indonesia selain berfungsi sebagaimana lazimnya suatu lembaga keuangan perbankan, juga diarahkan untuk berperan sebagai agen pembangunan (agent of development) yang bertujuan mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan stabillitas

46

Cik Basir. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah ; Di Pengadilan Agama dan

(14)

nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa keberadaan bank syariah di Indonesia bukan hanya ditujukan untuk sekelompok atau segolongan rakyat tertentu, melainkan untuk kepentingan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan, tanpa kecuali47.

B. KEGIATAN USAHA DAN PRODUK PERBANKAN SYARIAH

1. Kegiatan Usaha Perbankan Syariah

a. Prinsip Kegiatan Usaha Berdasarkan Syariah

Bank Islam atau bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariah Islam. Jadi, bank Islam atau syariah adalah bank yang pengelolaan dan pengoperasionalannya menggunakan prinsip syariah, prinsip syariat islam atau hukum islam.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 telah dirumuskan pengertian prinsip syariah tersebut, yaitu:

“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (mudharabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan

47

(15)

kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtiha)”

Sementara itu, dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah telah dirumuskan pula pengertian prinsip syariah, yaitu:

“Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”

Ketentuan di atas hanya berfokus dalam hal kegiatan penyaluran dana (lending). Akan tetapi, jika ditafsirkan secara sistematis mengenai penghimpunan dana (funding), juga suda diatur didalamnya48. Artinya, baik dalam kegiatan penghimpunan dana maupun penyaluran dana serta pelayanan jasa lainnya bagi bank syariah harus mendasarkan pada aturan perjanjian (tertulis/akad) menurut hukum Islam atau sesuai dengan syariah sebagaimana difatwakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penerapan fatwa di bidang syariah yaitu DSN MUI. Dahulu dengan mempedomani Fatwa DSN MUI tersebut kemudian disusunlah ketentuan persyaratan minimum akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah sebagaimana termuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana bagi bank yang Melaksanakan Kegaitan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dengan adanya ketentuan akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah ini diharapkan akan memberikan manfaaat kepada semua pihak yang berkepentingan yang pada

48

(16)

gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah yang sehat. Selain itu, kejelasan akad penghimpunan dana dan penyaluran dana bank syariah akan membantu operasional bank sehingga menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak/pelaku dalam industri perbankan syariah, termasuk bagi pengelola bank/pemilik dana/pengguna dana, otoritas pengawas, dan auditor bank syariah.

Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana, bank syariah wajib membuat akad sesuai dengan ketentuan dalam peraturan Bank Indonesia dan wajib ditegaskan jenis transaksi syariah yang digunakan, yaitu wadi’ah, mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna, ijarah dan qardh. Perkembangan yang pesat di dunia bisnis dan keuangan telah

mendorong berkembangnya inovasi transaksi-transaksi keuangan syariah. Untuk mengantisipasi timbulnya resiko reputasi atas pesatnya perkembangan inovasi transaksi keuangan tersebut diperlukan kesesuaian dengan prinsip syariah secara istiqomah sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional. Untuk itu diperlukan adanya penyesuaian dan penyempurnaan pengaturan yang berlaku terhadap pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah dalam rangka memlihara kepercayaan terhadap masyarakat banyak sebagaimana termuat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa bagi Bank Syariah, yang sekaligus mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan

(17)

Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana, dan pelayanan jasa, bank syariah wajib memenuhi prinsip syariah. Prinsip syariah yang wajib dipenuhi oleh bank syariah dimaksud bersumber pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Pemenuhan Prinsip syariah dimaksud di atas dilaksanakan 49:

1) Dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, antara lain:

a) Prinsip keadilan (‘adl), yaitu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai porsinya.

b) Prinsip keseimbangan (tawazun), yaitu meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian.

c) Prinsip kemaslahatan (maslahah), yaitu merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, individual dan kolektif, serta harus memenuhi tiga unsur, yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib)

49

(18)

dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan.

d) Prinsip universalisme (alamiyah), yaitu dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).

2) Tidak mengandung unsur-unsur :

a) Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah.

b) Maysir, yaitu transaksi yang bersifat speklatif (untung-untungan) yang tidak terkait langsung dengan produktivitas di sektor riil.

c) Riba, yaitu pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil), antara lain, dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fardhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah).

d) Dzalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

e) Riswah, yaitu tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi.

(19)

f) Objek haram, yaitu suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah.

Kemudian, ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan bahwa :

“Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.”

Dari ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dapat diketahui secara jelas bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usaha diwajibkan berasaskan dan mengimplementasikan prinsip syariah50. Artinya, kegiatan usaha yang dijalankan perbankan syariah dimaksud tidak mengandung unsur-unsur sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, antara lain:

a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil), antara lain, dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fardhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah);

b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan, kecuali diatur lain dalam syariah;

d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau

e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.

Mengenai prinsip-prinsip syariah dalam penghimpunan dana, penyaluran dana, dan pelayanan jasa bagi bank syariah, ketentuan dalam Pasal 3 Peraturan

50

(20)

Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 menetapkan bahwa pemenuhan prinsip syariah sebagaimana dimaksud di atas dilakukan sebagai berikut:

a. dalam kegiatan penghimpunan dana dengan mempergunakan antara lain, akad wadi’ah dan mudharabah;

b. dalam kegaitan penyaluran dana berupa permbiayaan dengan mempergunakan, antara lain, akad mudaharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna’, ijarah, ijarah muntahiyah bittamilk dan qardh; dan

c. dalam kegaitan pelayanan jasa dengan mempergunakan, antara lain, akad kafalah, hawalah, dan sharf.

b. Kegiatan Usaha Bank Syariah

Ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 , maka telah dimuat dan dibatasi kegiatan usaha bank, yakni51 :

1) Mengatur kegaitan-kegiatan usaha yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh bank

2) Kegiatan usaha bank tersebut dibedakan antara bank umum dan bank perkreditan rakyat; dan

3) Bank umum dapat mengkhususkan untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu dan memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya. Kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank umum lebih luas daripada kegaitan usaha yang dijalankan oleh bank perkreditan rakyat. bagi bank yang menjalankan kegiatan usahanya

51

(21)

berdasarkan prinsip syariah, wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegaiatan usahanya52.

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, kegiatan usaha bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia. Pengaturan yang sama sebelumnya dijumpai dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005.

Ketentuan dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 menentukan bahwa bank umum syariah wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegaitan usahanya, yang meliputi :

a. Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara lain:

b. Melakukan penyaluran dana melalui:

c. Melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad, antara lain:

d. Membeli, menjual, dan/atau menjamin atas resiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah;

e. Membeli surat-surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

f. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;

52

(22)

g. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip syariah;

h. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;

i. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadiah yad amanah;

j. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah; k. Memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip syariah;

l. Memberikan fasilitas bergaransi berdasarkan prinsip syariah;

m. Melakukan kegaitan usaha kartu debet, charge card berdasarkan prinsip syariah;

n. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah;

o. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang disetujui oleh Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional;

Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 menetapkan bahwa:

a. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud di atas, bank umum syariah dapat pula:

1) Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf;

2) Melakukan kegaitan penyertaan modal pada bank umum syariah atau perusahaan lain di bidang keuangan berdasarkan prinsip syaraiah, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asauransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan;

3) Melakukan kegaitan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

4) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

b. Bank umum syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana sosial, antara lain, dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama bank umum syariah atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.

(23)

Sementara itu, juga untuk kegiatan usaha bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) pengaturannya lebih lanjut oleh Bank Indonesia. Pengaturan sebelumnya dapat dijumpai dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, kemudian dicabut, diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006.

Jika dibandingkan dengan kegiatan usaha bank umum syariah, dapat dikatakan kalau kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum Perkreditan Syariah jauh lebih sempit dan terbatas. Bank Umum Perkreditan Syariah dilarang untuk melakukan kegiatan usaha menerima dana simpanan masyarakat dalam bentuk giro berdasarkan prinsip wadi’ah, tidak seperti bank umum syariah. Larangan ini sejalan dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 bahwa bank perkreditan rakyat dalam kegaitan usahanya tidak termasuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran kegiatan usaha mana yang hanya dijalankan oleh bank umum.

Dari ketentuan yang mengatur kegiatan usaha perbankan syariah sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8//25/PBI/2006, diketahui bahwa pada prinsipnya kegiatan usaha perbankan , termasuk dalam hal ini

(24)

kegiatan usaha bagi bank syariah meliputi kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau bentuk lainnya berdasarkan prinsip syariah, kegiatan penyaluran dana ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dan kegiatan pelayanan jasa bank berdasarkan prinsip syariah.

Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 diatur pula secara limitatif mengenai produk dan jasa perbankan syariah yang merupakan kegiatan usaha perbankan syaraiah. Kegiatan usaha perbankan syariah di sini dilaksanakan oleh 53:

a. Bank syariah, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah. Menurut jenisnya, bank syariah terdiri atas: 1) Bank umum syariah, yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2) Bank pembiayaan rakyat syariah, yaitu bank syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. b. Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu unit kerja dari kantor pusat bank umum

konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.

53

(25)

Di samping menjalankan fungsi bisnis, perbankan syariah ternyata dimungkinkan juga untuk menjalankan fungsi sosial. Fungsi perbankan syariah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa :

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

(4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahu 2008 menyatakan: “ yang dimaksud dengan “dana sosial lainnya”, antara lain, adalah penerimaan bank yang berasal dari pengenaan sanksi terhadap nasabah (ta’zir)”

Berkenaan dengan kegiatan usaha perbankan syariah, ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menyebutkan secara limitatif kegaitan usaha bank syariah tersebut meliputi :

a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

(26)

d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah;

m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah; p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan

Prinsip Syariah; dan

q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang social sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, bank umum syariah dapat pula melakukan kegiatan usaha lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu:

(27)

b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;

d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;

e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;

h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal; dan

i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

Sementara itu, kegiatan usaha perbankan syariah yang dijalankan u nit usaha syariah ditentukan pula secara limitatif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu meliputi :

a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli

(28)

dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;

n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan

o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang social sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Demikian pula, selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2208, unit usaha syariah dapat pula melakukan kegiatan usaha lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu :

a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;

d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;

e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang; dan

(29)

f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip Syariah.

Dalam melakukan kegaitan usaha sebagaimana tersebut dalam Pasal 19 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, bank umum syariah dan unit usaha syariah juga dilarang melakukan hal-hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu:

(1) Bank Umum Syariah dilarang:

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

(2) UUS dilarang:

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal; c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

Apabila dibandingkan dengan kegiatan usaha perbankan konvensional, kegaiatan usaha perbankan syariah tidak jauh berbeda, hanya saja setiap produk perbankan syariah disertai dengan jenis akadnya yang sesuai dengan prinsip syariah54. Untuk mempelajari produk-produk yang dihasilkan oleh perbankan syariah tidak terlepas dari produk konvensional, karena dalam praktiknya menunjukkan bahwa sebenarnya esensi produk yang ada hampir sama, yang membedakan adalah pada kontraprestasi yang disediakan bagi nasabah deposan atau dana yang ditarik oleh bank dari nasabah debitur. Dalam produk-produk

54

(30)

perbankan syariah, kontraprestasi berupa bunga tidak ada dan digantikan dengan kontrapestasi berupa bagi hasil, margin keuntungan, bonus, biaya sewa, biaya administrasi dan fee. Sedangkan dalam perbankan konvensional, kontraprestasi yang ada berupa bunga atas simpanan dan kredit atau fee untuk produk jasa yang diberikan. Dengan demikian, lingkup perndapatan yang diperoleh oleh bank syariah lebih bervariatif, tanpa adanya unsur bunga di dalamnya55.

2. Produk Perbankan Syariah

Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh operasionalisasi fungsi bank syariah. Dalam menjalankan operasinya bank syariah memiliki empat fungsi. Dari keempat fungsi operasional tersebut kemudian diturunkan menjadi produk-produk bank syariah, yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam produk pendanaan, produk pembiayaan, dan produk jasa perbankan.

a. Produk Pendanaan

Produk-produk pendanaan bank syariah ditujukan untuk memobilisasi dan investasi tabungan untuk pembangunan perkonomian dengan cara yang adil sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua pihak. Tujuan mobilisasi dana merupakan hal penting karena Islam secara tegas mengutuk penimbunan tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana secara produktif dalam rangka mencapai tujuan sosial-ekonomi Islam. Dalam hal ini, bank syariah melakukannya tidak dengan prinsip bunga (riba), melainkan dengan

55

Abdul Ghofur Anshhori, Perbankan Syariah di Indonesia ( Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2007), hal. 77

(31)

prinsip yang sesuai dengan syariat Islam, terutama wadi’ah (penitipan) , qardh (pinjaman), mudharabah(bagi hasil) dan ijarah.

Tabel 1 Produk Pendanaan dan Akad yang digunakan

Wadi’ah Qardh Mudharabah Ijarah

Giro √ √

Tabungan √ √ √

Deposito √

Obligasi/Sukuk √ √

Dari tabel 1 dapat disimpulkan bahwa produk-produk pendanaan bank syariah mempunyai empat jenis yang berbeda, yaitu :

1) Giro, dengan prinsip wadi’ah atau qardh

2) Tabungan, dengan prinsip wadi’ah, qardh, atau mudharabah 3) Deposito, dengan prinsip mudharabah

4) Obligasi/sukuk, dengan prinsip mudharabah, ijarah dan lain-lain.

b. Produk Pembiayaan

Produk-produk pembiayaan bank syariah yang khususnya ditujukan untuk menyalurkan investasi dan simpanan masyarakat ke sektor riil dengan tujuan produktif dalam bentuk investasi bersama (investment financing) yang dilakukan bersama mitra usaha (kreditor) menggunakan pola bagi hasil (mudharabah atau musyarakah) dan dalam bentuk investasi sendiri (trade financing) kepada yang

membutuhkan pembiayaan menggunakan pola bagi jual beli (mudharabah, salam, dan istishna) dan pola sewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik).

Produk-produk pembiayaan bank syariah dapat menggunakan empat pola yang berbeda, yakni:

1) Pola bagi hasil, untuk investment financing : a) Musyarakah

(32)

b) Mudharabah

2) Pola Jual beli, untuk trade financing : a) Murabahah

b) Salam c) Istishna

3) Pola Sewa, untuk trade financing : a) Ijarah

b) Ijarah Muntahiya Bittamlik

4) Pola Pinjaman, untuk dana talangan adalah Qardh

Dari sekian banyak produk pembiayaan bank syariah, tiga produk pembiayaan utama yang mendominasi portofolio pembiayaan bank syariah adalah pembiayaan aneka barang dan properti. Akad-akad yang digunakan dalam aplikasi pembiayaan tesebut sangat bervariasi dari pola bagi hasil, pola jual beli ataupun pola sewa. Produk lain yang cukup penting adalah pembiayaan proyek, pembiayaan ekspor, pembiayaan pertanian, pembiayaan manufaktur`dan kontruksi. Akad-akad yang digunakan lebih spesifik sesuai dengan karakteristiknya56.

c. Produk Jasa Perbankan

Produk–produk jasa perbankan dengan pola lainnya pada umumnya menggunakan akad-akad tabarru’ yang dimaksudkan tidak untuk mencari keuntungan, tetapi dimaksudkan sebagai fasilitas pelayanan kepada nasabah dalam melakukan transaksi perbankan. Oleh karena itu bank sebagai penyedia jasa hanya membebani biaya administrasi. Jasa perbankan golongan ini yang bukan termasuk akad tabarru’ adalah akad sharf yang merupakan akad pertukaran uang

56

(33)

dengan uang dan ujr yang merupakan bagian dari ijarah (sewa) yang dimaksudkan untuk mendapatkan upah (ujroh) atau fee.

Contoh produk-produk jasa perbankan dan akad yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Produk Jasa Perbankan dan Akad yang digunakan

No Produk Jenis Jasa Prinsip

1 Dana Talangan

Jasa Keuangan

Qardh

2 Anjak Piutang Hiwalah

3 L/C, Transfer, Inkaso, Kliring, RTGS dan

sebagainya Hiwalah

4 Jual beli valuta asing Sharf

5 Gadai Rahn

6 Payroll Ujr/Wakalah

7 Bank Garansi Kalalah

8 Safe Deposit Box Jasa Nonkeuangan Wadiah yad

amanah/Ujr

9 Investasi Terikat (Channelin) Jasa Keagenan Mudharabah

muqoyyadah

10 Pinjaman Sosial Kegiatan Sosial Qardhul Hasan

Hampir setiap produk jasa perbankan menggunakan akad yang berbeda. Apabila dijabarkan maka :

1) Jasa Perbankan Keuangan menggunakan akad : a) Hiwalah, digunakan pada jasa :

(1) Anjak Piutang, dan

(2) L/C, Transfer, Inkaso, Kliring, RTGS dan sebagainya b) Qardh, digunakan pada jasa dana talangan

c) Sharf, digunakan pada jasa jual beli valuta asing d) Rahn, digunakan pada jasa gadai

e) Ujr/Wakalah, digunakan jasa pada payroll f) Kafalah, digunakan pada jasa bank garansi

(34)

2) Jasa Perbankan Nonkeuangan, seperti Safe Deposit Box menggunakan akad wadi’ah yad amanah atau Ujr;

3) Jasa Keagenan pada investasi terikat (Chanellin) menggunkan akad mudharabah muqayyadah ;

4) Kegiatan Sosial seperti pinjaman sosial menggunakan akad Qardhul Hasan

Adapun akad Hiwalah, Wakalah, Wadi’ah, Ujr, Qardhul Hasan adalah jenis akad Tabarru’. Sedangkan akad Qardh, Sharf, Rahn dan Mudharabah adalah jenis akad Tijarah.

Gambar

Tabel 1 Produk Pendanaan dan Akad yang digunakan
Tabel 2 Produk Jasa Perbankan dan Akad yang digunakan

Referensi

Dokumen terkait

Sampel berpasangan ujian-t digunakan untuk menganalisis min perbezaan antara bilangan kejadian buli dengan buli secara verbal dalam kalangan pelajar sekolah rendah

Dapatan kajian mendapati bahawa konsep kerohanian amat sesuai diamalkan dalam kalangan pesakit kanser wanita dan kepentingan aspek kerohanian seperti mengakui bahawa ujian

Jenis auditor adalah auditor internal yang bekerja di perusahaan manufaktur Semarang atau auditor eksternal yang bekerja di KAP Semarang.. Jenis auditor diukur

a.Untuk bisa mencapai tujuan input dan menghasilkan output pada proses ini sudah dilakukan tetapi terkadang masih belum adanya dokumentasi sehingga proses ini masih belum

The reproductive biology of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Hawaiian water and the western tropical Pacific Ocean: Project summary.. Fecundity of yellowfin tuna

1) Tujuan pembelajaran. Media hendaknya dipilih yang dapat menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya, mungkin ada beberapa alternatif

pembantuan”medebewind”. Dengan demikian, pembentukan peraturan perundang-undangan dalam bidang pemerintah daerah bertujuan untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik

The result of this research shows that Arabic curriculum owned by Madrasah Ibtidaiyah  Diniyah  Nurul  Ulum  Kebonsari  Malang  does  not  give    the