• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KECERDASAN EMOSIONAL DAN PENDIDIKAN ISLAM. emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang lebih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KECERDASAN EMOSIONAL DAN PENDIDIKAN ISLAM. emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang lebih"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

18

BAB II

KECERDASAN EMOSIONAL DAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Kecerdasan Emosional

1. Definisi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk menjinakkan emosi dan mengarahkannya kepada hal-hal yang lebih positif. Seseorang dapat melakukan sesuatu dengan didorong oleh emosi, dalam arti bagaimana yang bersangkutan dapat menjadi begitu rasional di suatu saat dan menjadi begitu tidak rasional pada saat yang lain. Dengan demikian, emosi mempunyai nalar dan logikanya sendiri. Tidak setiap orang dapat memberikan respon yang sama terhadap kecenderungan emosinya. Seseorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat

dari berbagai segi.1

Orang dengan keterampilan emosional yang berkembang baik kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka, orang

yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan

emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas

1

M. Darwis Hude, Emosi, Penjelajahan Religio-Psik ologis tentang Emosi Manusia di dalam Alquran (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. viii-ix.

(2)

kemampuan mereka untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan

memiliki pikiran yang jernih.2

2. Komponen Kecerdasan Emosional

Daniel Goleman mengutip Salovey menempatkan kecerdasan pribadi dardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang

dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima

kemampuan utama yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, membina hubungan.

a. Mengenali emosi diri

Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosi. Orang yang memiliki keyakinan yang lebih entang perasaannya adalah pilot yang andal bagi kehidupan mereka, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi akan perasaan mereka yang sesungguhnya atas pemngambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.

b. Mengelola emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan akan terus menerus bertarung melawan kemurungan, sementara

2

Daniel Goleman, Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ, terjemahan T. Hermya, Cetakan ke-9 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm.. 48.

(3)

mereka yang pintar dapat bangit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.

c. Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri dan berkreasi. Kendali diri emosional menahan diri terhadap

kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan

keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

d. Mengenali emosi orang lain

Empati merupakan kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.

e. Membina hubungan

Seni membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan

mengelola emosi orang lain. Orang-orang yang hebat dalam

keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang

mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.3

3

(4)

B. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Kata pendidikan dalam bahasa Indonesia berasal dari suku kata “didik” dengan diberi awalan “pe” dan akhiran “an”, yang mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan mulanya

berasal dari bahasa Yunani yaitu “paedagogie” yang berarti memberikan

bimbingan kepada anak. Kemudian istilah ini diterjemahkan ke dalam

bahasa Inggris menjadi “education” yang berarti pengembangan atau

bimbingan.4

Dalam wacana ke-Islaman, pendidikan lebih sering disebut dengan

istilah ta’dib, ta’lim, tarbiyah.

a. Ta‟dib

Istilah ta’dib berasar dari akar kata addaba yuaddibu ta’diiban yang

artinya antara lain: membuatkan makanan, melatih akhlak yang baik,

sopan santun, dan tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik. Ta’dib

lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama,

adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika.5 Ta’dib lazimnya

diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi

pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta’dib yang seakar dengan adab

4

M. Utsman Najati, Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, terjemahan Irfan Salim, Cetakan ke-III (Jakarta: Hikmah, 2002), hlm. 3.

5

(5)

memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan, sebaliknya

peradaban yang berkualitas dapat diperoleh melalui pendidikan.6

b. Ta‟lim

Istilah ta’lim berasal dari kata dasar “allama” yang berarti

mengajar dan menjadikan yakin dan mengetahui. Penggunaannya dalam pengajaran, si pengajar berusaha memindahkan ilmunya kepada yang diajar atau belajar dengan jalan membentangkan, memaparkan,

dan menjelaskan isi pengetahuan atau ilmu yang diajarkan.7

Ta’lim merupakan kata benda buatan (masdar) yang berasal dari

akar kata allama. Para pakar menerjemahkan istilah ta’lim dengan

pengajaran. Kalimat “allamahu ‘ilm” memiliki arti mengajarkan ilmu

kepadanya. Pengajaran lebih condong kepada aspek kognitif seperti pengajaran atau transfer ilmu mata pelajaran Matematika, Fisika, dan

sebagainya.8

c. Tarbiyah

Abd. Halim Soebahar yang dikutip Muntahibun Nafis

menyatakan bahwa dalam mu’jam bahasa Arab, kata al-tarbiyah

memiliki tiga akar bahasa9, yaitu:

1) Rabba, yarbu, tarbiyah: yang memiliki arti “tambah” dan

“berkembang”. Tarbiyah merupakan proses menumbuhkan dan

6

M. Utsman Najati, op.cit., hlm. 3-4. 7

Ibid., hlm. 8. 8

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidik an Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 18-19.

9

(6)

mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik, baik fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.

2) Rabba, yurbi, tarbiyah: yang bermakna “tumbuh” dan menjadi

besar atau dewasa. Artinya pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha

untuk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual.

3) Rabba, yarubbu, tarbiyah: yang memiliki makna memperbaiki,

menguasai urusan, memlihara dan merawat, memperindah,

memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur, dan

menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Artinya, pendidikan merupakan usaha memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki, dan mengatur kehidupan peserta didik supaya ia dapat bertahan hidup lebih baik dalam kehidupannya.

Secara terminologi, pengertian pendidikan Islam cukup beraneka ragam dan bermacam-macam yang telah dinyatakan oleh para pakar pendidikan Islam. Syed Muhammad Naquib al-Attas memberikan konsep yaitu: “sekiranya kita ditanya, apakah pendidikan itu?, maka dapat dikemukakan sebuah jawaban sederhana: pendidikan adalah suatu proses

penanaman sesuatu ke dalam diri manusia”.10

Sedangkan dalam pandangan Muhammad Athiyah al-Abrasyi,

pendidikan Islam adalah sebuah proses untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencitai tanah air, tegap

10

(7)

jasmaninya, sempurna akhlaknya, teratur pikirannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya baik lisan maupun tulisan. Sedangkan menurut Marimba, pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya

kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.11

2. Tujuan Pendidikan Islam

a. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam

Pandangan objective oriented (berorientasi pada tujuan)

mengajarkan bahwa tugas guru bukanlah sekedar menyampaikan

materi, mengajarkan ilmu dan kecakapan-kecakapan tertentu,

melainkan juga merealisir atau mencapai suatu tujuan pendidikan. Zakiah Darajat berpendapat bahwa tujuan pendidikan itu sendiri adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Sedangkan H. M. Arifin berpendapat bahwa tujuan itu bisa jadi

menunjukkan futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu

yang tidak dapat dicapak kecuali dengan usaha dengan melalui proses

tertentu.12

Tujuan merupakan sasaran ataupun arah yang hendak dituju yang memberikan arah dan pedoman terhadap segala aktifitas atau kegiatan pendidikan yang dilaksanakan. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah standar usaha yang telah ditentukan sebagai pengarah usaha

11

Ramayulis, Ilmu Pendidik an Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), hlm. 4. 12

(8)

yang akan dilaksanakan dan menjadi titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Tujuan dapat membatasi ruang gerak usaha supaya kegiatan apat berfokus pada apa yang dicita-citakan dan dapat memberikan evaluasi atau penilaian terhadap kegiatan-kegiatan yang

telah dilakukan sebagai usaha pendidikan. Tujuan pendidikan

merupakan suatu keseluruhan kepribadian manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sehingga Abrasy berpendapat melalui syairnya: “setiap sesuatu mempunyai tujuan yang diusahakan untuk dicapai, seseorang bebas menjadikan pencapaian tujuan pada taraf

yang paling tinggi”.13

T.S. Eliot menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu,

tujuannya harus diambil dari pandangan hidup, sehingga jika

pendidikan tersebut adalah pendidikan Islam, maka rumusan tujuan

pendidikannya haruslah diambil dari pandangan Islam pula.14 Pada

dasarnya, pendidikan Islam sejalan dengan misi Islam itu sendiri, yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak sehingga mencapai pada tingkat akhlakul karimah. Selain itu juga ada dua sasaran penting dalam

pendidikan Islam yaitu mencapai kebahagiaan di dunia dan

kesejahteraan di akhirat. Hal ini merupakan nilai lebih dan menjadi

pembeda antara pendidikan Islam dengan pendidikan yang lain.15

13

Abdul Mujib,dan Jusuf Mudzakir, op.cit., hlm. 71. 14

Ramayulis, op.cit., hlm.24. 15

(9)

Para ahli pendidikan Islam belum memiliki kesepakatan dalam merumuskan tujuan pendidikan secara bulat. Di antara rumusan-rumusan tujuan pendidikan Islam oleh Imam Ghazali yaitu: insan paripurna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, dan insan paripurnya yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun memberikan pendapatnya bahwa tujuan pendidikan Islam ada dua yaitu: (1) Tujuan keagamaan, berupa beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya karena telah melaksanakan hak-hak Allah yang telah diwajibkan kepdanya, (2) Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu tujuan kemanfaatan duia atau persiapan untuk hidup di dunia. Al-Attas menghendaki bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Sedangkan

Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah

terbentuknya orang yang berkepribadian muslim.16

Diakui bahwa orang yang betul-betul menerima keseluruhan cita-cita ideal yang terdapat di dalam al-Quran.. Peningkatan jiwa dari kesetiaannya yang hanya kepada Allah semata, dan melaksanakan moralitas Islami yang telah diteladankan ke dalam tingkah laku dan sepak terjang kehidupan Nabi Muhammad SAW merupakan bagian

pokok dalam tujuan umum pendidikan.17 Pendidikan akan mencapai

tujuannya jika nilai-nilai humanis masuk dalam diri peserta didiknya.

16

Ibid., hlm.61-62. 17

Abdurrahnan Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidik an Berdasark an Al Quran, terjemahan Arifin dan Zainuddin (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 141.

(10)

Peserta didik akan mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar agar

bermanfaat bagi sesama.18

Dari seluruh formulasi tujuan pendidikan Islam di atas, M. Abdul

Mujib yang dikutip Muntahibun Nafis, menyimpulkan tujuan

pendidikan Islam adalah bahwa terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjelaskan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan, dan pewaris Nabi. Dalam versi

Thalhah Hasan, terminologi insan kamil desebut dengan insan kaffah

dengan persyaratan adanya tiga dimensi19, yaitu:

1) Dimensi religius, yaitu bahwa manusia merupakan makhluk yang

mengandung berbagai misteri yang tidak dapat direduksikan kepada faktor materi saja. Dengan demikian manusia dapat dicegah menjadi robot yang diprogram secara determinitis, akan tetapi

manusia tetap memiliki kepribadian dan kebebasan akan

martabatnya. Cara mengangkatnya adalah dengan memberikan nilai spiritual yang karenanya manusia memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain.

2) Dimensi budaya. Dalam dimensi ini, manusia mendapatkan dasar

untuk mempertahankan kepribadiannya dan mampu mencegah arus zaman yang membawa pada disintegrasi dan framentasi yang selalu mengancam kehidupan manusia.

18

Novan Ardy Widyani dan Barnawi, Ilmu Pendidik an Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm.26.

19

(11)

3) Dimensi ilmiah, mendorong manusia bersifat obyektif dan realitis dalam menghadapi tantangan zaman, sehingga terbina tingkah laku

secara kritis dan rasional, serta berusaha mengembangkan

keterampilan dan kreatifitas berpikir.

b. Tahap-Tahap Tujuan Pendidikan Islam

Manusia dalam kehidupannya akan selalu terbatasi oleh ruang dan waktu. Sehingga dalam merumuskan tujuan pendidikan tidak dapat melampaui batas-batas kehidupan tersebut. Perumusan tujuan pendidikan menekankan perhatiannya pada keadaan psikis serta lingkungan di mana ia berada. Konsekuensinya, perumusan tujuan pendidikan akan menjadi terbuka dan berjenjang atau bertahap. Terbuka berarti rumusan tujuan tersebut bisa diperluas, sedangkan

berjenjang berarti rumusan tujuan disesuaikan dengan tuntutan

insidental, instrumental, maupun mental. 20

Dari uraian di atas, Muntahibun Nafis membagi tahap-tahap

tujuan pendidikan Islam dalam empat tahapan21, yaitu:

1) Tujuan umum, yaitu tujuan yang hendak dicapai dari seluruh tahap

kegiatan pendidikan. Tujuan ini harus meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap, tingkah laku, kebiasaan, dan pandangan. Bentuk insan kamil dengan pola takwa harus tergambar

20

Abd. Halim Soebahar, op.cit., hlm. 68. 21

(12)

pada pribadi seseorang yang terdidik, walaupun dalam ukuran yang rendah.

2) Tujuan akhir, yaitu tujuan yang ingin dicapai pada akhir hidup

manusia, karena pendidikan Islam berlangsung sejak manusia dilahirkan hingga akhir hayatnya. Misalnya tujuan umum yang berupa insan kamil dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun. Oleh karenanya, tujuan pendidikan Islam yang telah dicapai harus selalu dipupuk, dikembangkan, dipelihara, setidak-tidaknya dipertahankan, agar tidak luntur atau berkurang, meskipun dengan pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam pendidikan

formal.22 Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagai

muslim merupakan ujung dari takwa sebagai akhir dari proses hidup jelas berisi kegiatan pendidikan. Insan kamil yang mati dan akan menghadap tuhannya merupakan tujuan akhir dari peoses

pendidikan Islam.23

3) Tujuan sementara, ialah tujuan yang akan dicapai setelah peserta

didik diberi sejumlah pengalaman yang direncanakan dalam kurikulum pendidikan formal. Tujuan sementara ini merupakan tujuan yang hendak dicapai pada tingkat-tingkat pendidikan formal, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi.

22

Ibid., hlm. 70. 23

Zakiah Darajat, Ilmu Pendidik an Islam, cetakan kesebelas (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm. 31.

(13)

4) Tujuan operasional, yaitu tujuan praktis yang dicapai peserta didik

setelah mengalami beberapa kegiatan pendidikan. Tujuan

operasional merupakan tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik mendapatkan satu unit kegiatan pendidikan dengan

bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan.24

3. Pendidik dalam Pendidikan Islam

a. Definisi Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik dalam konteks Islam sering disebut dengan murabbi,

mu’allim, dan mu’addib. Kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi, kata „allama berasal dari kata „allama, yu’allimu, sedangkan

kata muaddib berasal dari kata addaba, yuaddibu.25

Menurut Ramayulis, pendidik dalam pendidikan Islam

hakekatnya adalah orang yang bertanggung jawab terhadap

perkembangan peserta didik dengan mengupayakan potensi yang ada pada peserta didik baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam ungkapan Moh. Fadhil al-Jamali, pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, sehingga terangkat derajatnya dengan kemampuan dasar yang dimiliki manusia. Sedangkan Marimba mengakatan bahwa pendidik

24

M. Muntahibun Nafis, op.cit.., hlm. 70-71. 25

(14)

adalah orang dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggung

jawab tentang pendidikan peserta didik.26

Pendidik berarti pula orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan kepada peserta didiknya dalam mengembangkan jasmani dan rohaninya, agar mencapai kedewasaan dan mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, serta berperan sebagai makhluk sosial maupun sebagai individu.

Muntahibun Nafis mengutip pendapat Abdul Mujib bahwa pendidik dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan yang menyerahkan tanggung jawab adalah agama, wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa. Ini berarti pendidik merupakan sifat yang lekat pada setiap

orang karena tanggung jawabnya atas pendidikan.27

Pendidik dalam lembaga pendidikan seperti di sekolah disebut dengan guru, yang meliputi guru madrasah, atau sekolah sejak dari guru taman kanak-kanak, guru sekolah dasar, guru sekolah menengah, dan sampai dosen-dosen di perguruan tinggi, kyai di pondok pesantren,

dan lain sebagainya.28

b. Tugas Pendidik dalam Pendidikan Islam

26

Ramayulis, op.cit., hlm.85. 27

M. Muntahibun Nafis, op.cit., hlm. 85-86. 28

(15)

Dalam pandangan al-Ghazali, seorang pendidik mempunyai

tugas yang utama yaitu menyempurnakan, membersihkan,

mensucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan pada dasarnya tujuan utama pendidikan Islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah yang kemudian realisasinya adalah kesalehan sosial dalam masyarakat di sekitarnya. Dari sini dapat dikatakan kesuksesan pendidik adalah ketika peserta didiknya telah dapat mengaktualisasi perpaduan antara iman, ilmu dan amal saleh setelah mengalami

sejumlah proses belajar.29

Abdurrahman an-Nahlawy menyebutkan tugas pendidik yaitu: Pertama, berfungsi penyucian, yaitu bahwa pendidik berfungsi sebagai

pembersih, pemelihara, dan pengembang fitrah peserta didik. Kedua,

berfungsi pengajaran, yakni pendidik bertugas menginternalisasikan dan mentransformasikan pengetahuan dan nilai-nilai agara kepada

peserta didik.30

Dalam paradigma Jawa, pendidik sering disebut dengan guru (gu

dan ru) yang berarti “digugu dan ditiru”. Dikatakan “dugugu

(dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai karena ia memiliki pengalaman yang luas dalam melihat kehidupan.

Dan dikatakan “ditiru” (diikuti) karena guru merupakan seseorang

yang memiliki kepribadian yang utuh, yang karenanya tingkah lakunya

29

Ibid., hlm.90. 30

(16)

dapat dijadikan suri tauladan oleh peserta didiknya. Pengertian ini diasumsikan bahwa tugas guru tidak sekedar mentransformasikan ilmu tetapi juga bagaimana ia mampu menginternalisasikan ilmunya pada

peserta didik.31 Tugas guru tidak hanya mengajar tetapi juga sebagai

motivator dan fasilitator proses belajar.32

Kadang kala seseorang terjebak dalam sebutan pendidik, misalnya ada orang yang mampu memberikan dan memindahkan ilmu pengetahuan kepada orang lain sudah dikategorikan sebagai seorang pendidik. Padahal tugas pendidik bukan hanya dalam hal itu saja,

tetapi juga bertanggung jawab mengelola (sebagai manager of

learning), mengarahkan (director of learning), memfasilitasi, dan

merencanakan (the planner of future society) dan mendesain program

yang akan dijalankan dengan baik dari sini tugas dan fungsi pendidik

dapat disimpulkan dengan33:

1) Sebagai pengajar (intruksional), yang bertugas merencanakan

program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilaksanakan.

2) Sebagai pendidik, yang mengarahkan peserta didik pada tingkat

kedewasaan dan berkepribadian mulia seiring dengan tujuan Allah menciptakannya.

31

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., hlm. 90. 32

Munardji, op.cit., hlm.63. 33

(17)

3) Sebagai pemimpin, yang memimpin, yang mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap

berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan,

pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.

c. Syarat dan Kode Etik Pendidik dalam Pendidikan Islam

Kode etik merupakan norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan antara pendidik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya. Bentuk kode etik suatu lembaga tidak harus sama, namun secara intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku secara umum. Pelanggaran terhadap

kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik.34

Al-Ghazali merumuskan kode etik pendidik dengan 17 bagian35,

yaitu:

1) Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang

terbuka dan tabah.

2) Bersikap penyantun dan penyayang.

3) Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak.

4) Menghindari dan menghilangkan sifat angkuh terhadap sesama.

5) Bersifat merendah ketika menyatu denga sekelompok masyarakat.

6) Menghilangkan aktifitas yang tidak berguna dan sia-sia.

34

Ibid., hlm. 96. 35

(18)

7) Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQnya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal.

8) Menghilangkan sifat marah.

9) Memperbaiki sikap anak didiknya, dan bersikap lemah lembut

terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya.

10)Meninggalkan sifat yang menakutkan para peserta didik yang

belum memahaminya.

11)Berusaha memperlihatkan pernyataan-pernyataan peserta didik

walaupun pernyataan itu tidak bermutu.

12)Menerima kebenaran dari peserta didik yang membantahnya.

13)Menjadikan kebenaran sebagai acuan proses pendidikan walaupun

kebenaran itu datangnya dari peserta didik.

14)Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang

membahayakan.

15)Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus menerus

mencari informasi untuk disampaikan kepada peserta didiknya yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah.

16)Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardlu kifayah

( kewajiban kolektif seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi,

dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardluain (kewajiban

(19)

17)Mengaktualisasikan informasi yang akan diajarkan kepada peserta didik.

Ramayulis berpendapat mengenai syarat pendidik, yaitu:

beriman, bertaqwa, ikhlas, berakhlak, berkepribadian yang integral

(terpadu), bertanggung jawab, cakap, keteladanan, memiliki

kompetensi kependidikan yang mencakup: kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan atas bahan pengajaran, dan kompetensi dalam

metode dan pendekatan dalam pendidikan.36

4. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

a. Paradigma Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Peserta didik merupakan “raw material” (bahan mentah) di

dalam proses transformasi yang disebut pendidikan. Peserta didik berbeda dengan komponen lainnya dalam sistem pendidikan karena peserta didik ini merupakan material setengah jadi, karena memang dalam Islam peserta didik memiliki sebuah fitrah yang dianugerahkan oleh Allah. Sedangkan kompoen pendidikan lain dapat dirumuskan

dan disusun sesuai dengan keadaan fasilitas dan kebutuhan yang ada.37

Membicarakan peserta didik, sesungguhnya kita membicarakan hakikat manusia yang memerlukan bimbingan. Para ahli psikologi

mempunyai pandangan yang berda terhadap manusia. Aliran

psikoanalisis beranggapan bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya

36

Ramayulis, op.cit., hlm. 37-45. 37

(20)

digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan psikologis yang sejak semula ada dalam diri individu. Manusia tidak bebas untuk menentukan nasibnya, sebab tingkah laku manusia semata-mata digerakkan untuk memuaskan kebutuhan dan

instink biologisnya. Aliran humanistik beranggapan bahwa manusia

senantiasa dalam proses untuk wujud, namun tidak pernah selesai dan tidak pernah sempurna. Tingkah laku manusia digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan dirinya sendiri, namun oleh rasa tanggung

jawab sosial dan kebutuhan unguk mencapai sesuatu. Aliran

behaviorisme beranggapan bahwa tingkah laku manusia merupakan reaksi dari rangsangan yang datang dari luar dirinya. Manusia ditentukan oleh lingkungan karena proses interaksi terus menerus antar individu dengan lingkungannya. Hubungan interaksi itu diatur oleh

hukum-hukum belajar, pembiasaan dan peniruan.38

b. Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik

Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan peserta didik dalam proses belajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali merumuskan

sebelas pokok kode etik peserta didik39, yaitu:

1) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah,

sehingga dalam kehidupan sehari-harinya peserta didik dituntut

38

Ramayulis, op.cit., hlm. 48-49. 39

(21)

untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendan dan dari watak yang tercela dan mengisinya dengan akhlak yang terpuji.

2) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah

ukhrawi. Artinya belajar bukan semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat yang tinggi di hadapan Allah dan manusia.

3) Bersikap tawadlu’, sekalipun ia cerdas, tetapi juga harus bijak

dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidikannya, termasuk bijak kepada teman-temannya yang IQnya lebih rendah.

4) Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran,

sehingga terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.

5) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun

duniawi.

6) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran

yang mudah menuju pelajaran yang sukar atau mulai dari ilmu

yang fardlu ‘ain hingga ilmu yang fardlu kifayah.

7) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih ada ilmu yang

lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu

pengetahuan secara mendalam.

8) Megenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari,

sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.

(22)

9) Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah, sebelum memasuki ilmu duniawi.

10)Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu

ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.

11)Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dilakukan uji antipiretik patch ekstrak etanol bawang merah (Allium ascalonicum L.) dengan menggunakan matriks kitosan dan enhancer Span-80 terhadap

Berbeda dengan hasil analisa kuantitatif pada Tabel 5.3, dalam Tabel 5.4 dimana air laut diolah dengan menggunakan filtrasi karet remah dan radiasi sinar UV

Istilah pertumbuhan biasa digunakan untuk menyatakan perubahan-perubahan ukuran fisik yang secara kuantitatif semakin lama semakin besar atau panjang. Istilah perkembangan

a) Pleasure Relaxation, perilaku merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi dan makan. b) Stimulation to

Dalam kalimat sederhana dapat dinyatakan sebagai berikut. Bilangan asli dikalikan dengan pecahan campuran hasilnya dapat diperoleh dengan mengubah terlebih dahulu bentuk

Berkaitan dengan kompetensi pedagogik, seorang guru haruslah memiliki pengetahuan yang baik mengenai metode pembelajaran inovatif meliputi metode penyajian, strategi

The cloud transmittance functions developed have been tested in relation to their predictive capability of global photosynthetically active radiation when they are combined with

Dari uraian di atas, penulis ingin membantu dunia sepakbola agar semakin berkembang lagi di kemudian hari, yaitu dengan membuat penelitian dengan judul Hubungan Antara