• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Penelitian mengenai pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur sudah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Kajian Pustaka. Penelitian mengenai pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur sudah"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

9

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

Penelitian mengenai pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur sudah banyak dilakukan sebelumnya. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terlebih dahulu dan relevan dengan masalah yang diteliti penulis dalam penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut.

Waluyo (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan Dalam Percakapan Lum Kelar di Radio SAS FM” menyimpulkan penelitian sebagai berikut, pertama, ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kerjasa dalam tuturan Lum Kelar. Pelanggaran prinsip kerjasama terjadi terhadap empat maksim, yaitu (a) pelanggaran maksim kuantitas, (b) pelanggaran maksim kualitas, (c) pelanggaran maksim relevansi, dan (d) pelanggaran maksim pelaksanaan. Pelanggaran prinsip kerja sama yang paling banyak terjadi terhadap maksim kualitas. Kedua, ditemukan adanya pelanggaran terhadap prinsip kesopanan dalam percakapan Lum Kelar. Pelanggaran hanya terjadi terhadap lima maksim dari enam maksim yang tercakup dalam prinsip ini. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksud adalah (a) pelanggaran maksim kebijaksanaan, (b) pelanggaran maksim penerimaan, (c) pelanggaran maksim kemurahan, (d) pelanggaran maksim kerendahan hati,dan (e) pelanggaran maksim kecocokan. Pelanggaran terhadap maksim kesimpatian tidak ditemukan dalam penelitian ini. Ketiga, tuturan Lum Kelar mengandung beberapa macam implikatur percakapan. Implikatur-implikatur tersebut digunakan antara lain

(2)

untuk (a) menegaskan, (b) mengeluh, (c), menciptakan humor, (d) menyindir, (e) memastikan, (f) menolak, (g) menyombongkan diri, (h) mengejek, dan (i) menyatakan rasa kesal. Dalam percakapan Lum Kelar, implikatur percakapan terbanyak digunakan untuk humor. Hal ini merupakan salah satu strategi untuk menarik minat pendengar, agar mau mendengarkan Lum Kelar dari awal hingga akhir.

Nurul Hidayati (2010) dalam skripsi yang berjudul, “Implikatur Percakapan sebagai Unsur Pengungkapan Humor dalam Komedi OKB di Trans 7 (Sebuah Tinjauan Pragmatik)” menyimpulkan penelitian sebagai berikut terdapat 4 bentuk pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam komedi

OKB. Pelanggaran itu meliputi pelanggaran maksim kuantitas,

pelanggaran maksim kualitas, pelanggaran maksim relevansi (hubungan), dan pelanggaran maksim cara (pelaksanaanan). Pelanggaran prinsip kerja sama yang terjadi didominasi oleh pelanggaran terhadap maksim cara (palaksanaan), hal ini terjadi karena cara bertutur yang tidak secara langsung, ambigu, berkepanjangan dan tidak teratur.

Pada pelanggaran prinsip kerja sama yang terdapat dalam komedi OKB di Trans 7 terdapat 10 implikatur sebagai unsur pengungkapan humor. Implikatur itu meliputi menyindir, mengejek, menolak, menunjukkan suatu keadaan/ memberitahu, menyarankan, berjanji, berspekulasi, mengeluh, mengkritik, dan

menyombongkan diri. Di dalam komedi OKB implikatur sebagai unsur

pengungkapan humor yang terjadi didominasi oleh implikatur menyindir dan mengejek yang menimbulkan jenis humor satire dan implikatur yang lain menimbulkan jenis humor plesetan, sinisme, dan guyon parikena.

(3)

Durratun Nasihah Assholihah (2012) dalam skripsi yang berjudul, “Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Implikatur dalam Talk Show Provocative Proactive di Metro TV” menyimpulkan penelitian sebagai berikut, pertama, dari analisis yang dilakukan pada talk show PP di Metro TV terdapat pelanggaran prinsip kerja sama. Pelanggaran tersebut meliputi empat maksim yang dikemukakan oleh Grice yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaanan. Kedua, implikatur yang terdapat dalam talk show PP di Metro TV sebanyak 19 jenis implikatur. Implikatur tersebut adalah implikatur berjanji, implikatur kebanggaan, implikatur pemberitahuan, implikatur alasan, implikatur harapan, implikatur tidak setuju, implikatur sindiran, implikatur mengkritik, implikatur keraguan, implikatur pertanyaan, implikatur gurauan, implikatur rayuan, implikatur perintah, implikatur memuji, implikatur larangan, implikatur tawaran, implikatur pemberian saran, implikatur ejekan, dan implikatur simpulan.

Penelitian-penelitian di atas merupakan kajian yang pernah mengkaji obyek penelitian membahas mengenai masalah pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur. Letak perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah pada sumber data. Dalam penelitian ini sumber data penelitian berupa tuturan yang diperoleh dari acara “Raja Gombal” di Trans 7.

Adanya ruang lingkup pemakaian bahasa yang diteliti berbeda, maka kemungkinan hasil yang diperoleh pun akan berbeda. Dengan demikian, penelitian ini membahas pelanggaran prinsip kerja sama dan implikatur dengan sumber data penelitian yang berbeda dari penelitian terdahulu.

(4)

B. Landasan Teori 1. Pragmatik

Definisi pragmatik dalam Kamus Linguistik ada dua. Pertama, pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Kedua, pragmatik adalah aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Harimurti Kridalaksana, 2008:176-177).

Yule mendefinisikan pragmatik ke dalam 4 definisi (dalam Indah Fajar Wahyuni, 2006: 3-4). Pertama menurutnya pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Hal tersebut karena pragmatik mempelajari makna yang disampaikan oleh penutur dan ditafsirkan oleh petutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Pendekatan ini menjelaskan tentang bagaimana cara penutur mengatur apa yang ingin mereka katakan dan disesuaikan dengan orang yang diajak berbicara, di mana, kapan, dan dalam keadaan apa. Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Keakraban antara penutur dan petutur mengisyaratkan adanya pengalaman yang sama.

Menurut Kreidler dalam bukunya Introducing English Semantics (1998: 18), menyatakan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang berhubungan dengan arti. Perbedaan antara pragmatik dan semantik dapat ditunjukkan dari penyusun atau aspek kajian secara umum. Keduanya berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa dengan tepat. Dan memberikan batasan mengenai pengertian pragmatik, yaitu:

(5)

“The chief focus of pragmatics is a person’s ability to derive meanings from specific kinds of speech situations-to recognize what the speaker is referring to, to relate new information to what has gone before, to interpret what is said from background knowledge about the speaker and the topic of discourse, and to infer or ‘fill in’ information that the speaker takes for granted and doesn’t bother to say.” (Kreidler, 1998: 19)

Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa fokus utama pragmatik adalah kemampuan seseorang untuk mengartikan suatu tuturan berdasar situasi tutur tertentu. Hal tersebut berfungsi untuk mengetahui maksud pembicaraan penutur, menghubungkan informasi baru dengan apa yang telah terjadi sebelumnya, menyimpulkan atau 'mengisi' informasi yang penutur tuturkan sehingga tidak perlu repot-repot untuk mengatakannya secara mendetail berdasar latar belakang pengetahuan penutur dan mitra tutur mengenai topik pembicaraan.

Prakmatik menurut Levinson dalam Kunjana Rahardi (2005:48) adalah studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Batasan Levinson mengenai pragmatic, yaitu:

Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language (Levinson, 1983:9)

Pemberian batasan dalam ilmu pragmatik juga dilakukan oleh Leech (dalam edisi terjemahan M. D. D. Oka, 1993:8) bahwa pragmatik merupakan studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations).

Pragmatik mempelajari makna secara eksternal atau makna yang terikat dengan konteks. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi (I Dewa Putu Wijana, 1996: 1).

(6)

Rustono (1999:4) mendefinikan pragmatik sebagai bidang linguistik yang mengkaji hubungan timbal balik antara fungsi dan bentuk. Di dalam batasan yang sederhana itu, secara implisit tercakup penggunaan bahasa, komunikasi, konteks, dan penafsiran.

2. Situasi tutur

Rustono (1999:25) mengemukakan bahwa Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Di mana tuturan merupakan akibat yang disebabkan oleh situasi tutur. Maksud dari sebuah tuturan yang sebenarnya hanya bisa teridentifikasi apabila kita mengetahui situasi tutur yang melatarbelakangi dan mendukungnya.

Leech mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik (dalam edisi terjemahan M. D. D. Oka, 1993:19-21), yakni.

a. Penyapa (yang menyapa) atau pesapa (yang disapa)

Orang yang menyapa dinyatakan sebagai penutur, sedangkan orang yang disapa sebagai petutur. Dalam hal ini perlu dibedakan antara „penerima‟ (orang yang menerima dan menafsirkan pesan) dan „yang disapa‟ (orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran pesan). Seorang „penerima‟, berusaha mengartikan isi wacana hanya berdasarkan bukti kontekstual yang ada tanpa menjadi sasaran pesan si penutur, sedangkan „yang disapa‟ atau „si petutur‟ selalu menjadi sasaran tuturan.

(7)

b. Konteks sebuah tuturan

Konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan membantu petutur menafsirkan makna tuturan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks menjadi latar belakang pengetahuan yang diperkirakan dimiliki dan disetujui bersama oleh penutur dan petutur serta yang menunjang interpretasi petutur terhadap apa yang dimaksud penutur dengan suatu ucapan tertentu.

c. Tujuan sebuah tuturan

Istilah tujuan atau fungsi sering dianggap lebih berguna daripada maksud penutur mengucapkan sesuatu. Istilah tujuan lebih netral daripada maksud, karena tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang sadar, sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan yang berorientasi tujuan.

d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar

Pragmatik berkaitan dengan tindak-tindak atau performansi-performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu. Dengan demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan yang lebih konkret daripada hanya mengacu pada tata bahasa saja, karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tutur secara keseluruhan.

e. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Selain sebagai tindak ujar atau tindak verbal, dalam pragmatik kata „tuturan‟ dapat digunakan sebagai produk suatu tindak verbal (bukan tindak verbal itu sendiri). Hal tersebut pada dasarnya dikarenakan tuturan

(8)

yang ada dalam suatu pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.

3. Teori Tindak Tutur

a. Tindak Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi

Austin (dalam Leech edisi terjemahan M. D. D. Oka, 1993:316) dan Searle (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996: 17) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tindakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu).

a) Tindak Lokusi

Tidak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Konsep lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. (Nababan dalam I Dewa Putu Wijana 1996: 18). I Dewa Putu Wijana sendiri berpendapat bahwa pengidentifikasian tindak tutur lokusi dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur.

b) Tindak Ilokusi

Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya dipertimbangkan secara seksama. Tindak ilokusi harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya (I Dewa Putu Wijana, 1996: 18).

(9)

c) Tindak Perlokusi

Dalam I Dewa Putu Wijana (1996: 18) dijelaskan bahwa sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi (the act of affecting someone).

b. Tindak Tutur Langsung dan Tidak Langsung

Searle (dalam I Dewa Putu Wijana, 1996:30 menyatakan bahwa secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, dan memohon, maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung (direct speech act).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Kreidler. Penulis menganggap bahwa teori ini sejalan dengan objek kajian yang penulis teliti. Karena rayuan gombal menurut teori Kreidler termasuk dalam tidak tutur ekspresif. Hal tersebut terjabarkan dalam macam-macam tidak tutur menurut Kreidler (1998:183).

a. Tindak Tutur Asertif

Bahasa berfungsi untuk mengungkapkan fakta atau untuk menginformasikan sesuatu hal yang dapat dinilai benar atau tidaknya suatu

(10)

tuturan. Kreidler membagi menjadi beberapa bagian kelas verba yaitu sebagai berikut.

a) Verba asertif untuk menyampaikan informasi, misalnya:

mengumumkan, menyatakan, mengungkapkan, menjelaskan,

mengindikasikan, menyebutkan, memberitakan, dan melaporkan.

b) Verba asertif yang berfokus pada kebenaran ucapan, antara lain:

menuduh, menegaskan, mengakui, menjamin, bersumpah, mengklaim,

bertaruh, membuktikan, berpendapat, dan mempertahankan pendapat. c) Verba asertif yang berfokus pada komitmen penutur atau keterlibatan penutur dalam topik pembicaraan, antara lain: menyangkal, mengaku, dan protes.

d) Verba asertif yang berfokus pada cara berkomunikasi, yaitu:

menekankan, menunjukkan, menyiratkan, mendesak, menekan, dan

menyatakan secara tidak langsung.

e) Verba asertif yang berfokus pada sifat pesan, yaitu: mendikte (secara lisan supaya ditulis oleh orang lain), narasi rekon (tuturan yang menggambarkan suatu rangkaian peristiwa), menasihati (tuturan itu memiliki muatan moral atau etika).

f) Verba asertif yang berfokus pada aspek tuturan, yaitu: memprediksi (tuturan mengenai kejadian yang mungkin akan terjadi di masa depan), recall (tuturan yang berisi tentang peristiwa sebelumnya).

b. Tindak Tutur Direktif

Tindak tutur direktif adalah penutur berusaha supaya petutur melakukan tindakan tertentu atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan. Namun

(11)

begitu, sebuah permintaan atau perintah tidak berarti bahwa penutur mengontrol penuh pada mitra tutur. Adapun yang termasuk ke dalam jenis tindak tutur ini antara lain mengajak, meminta, menyuruh, menasihatkan,

memohon, menyarankan, merekomendasikan, mengusulkan, memerintah,

mengizinkan, menugaskan, berpesan, mengatakan, memperingatkan,

melarang, menghalangi, dan menantang.

Kreidler menjelaskan bahwa tindak tutur direktif tergantung pada bentuk sintaksis, pilihan predikat (harus, meminta, menyarankan), situasi, peserta tutur, dan status relatif penutur dan mitra tutur. Kondisi felisitas meliputi kelayakan tindakan dan kemampuan mitra tutur; mitra tutur harus menerima otoritas penutur, kondisi ini sering ditemui pada tuturan memerintah,

menyuruh, memperingatkan, melarang; sedangkan yang menggambarkan

tindak tutur meminta, menyarankan, berpesan biasanya berupa keinginan penutur, saran dari penutur, dan penilaian penutur.

c. Tindak Tutur Verdiktif

Verdiktif merupakan tindak tutur menilai, di mana penutur memberikan penilaian terhadap penampilan mitra tutur sebelumnya atau dari apa yang telah dialami penutur sebelumnya. Kondisi felisitas (kondisi kelayakan) untuk tindak tutur verdiktif adalah kemungkinan dari tindakan; kemampuan mitra tutur untuk mempercayai ketulusan penutur dalam bertutur; dan keyakinan mitra tutur bahwa penutur tulus. Verba tindak tutur verdiktif yang meliputinya, antara lain: menuduh, menyalahkan, mengucapkan selamat, memuji, mengkritik, menilai, mengucapkan terima kasih, meminta izin, dan menegur.

(12)

d. Tindak Tutur Komisif

Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Verba komisif diilustrasikan dengan pernyataan persetujuan, bertanya, berikrar,

menawarkan, menolak, bersumpah, berjanji, berkaul, menyatakan

kesanggupan, mengancam. Harapan dan kepedulian mitra tutur pada

komitmen penutur untuk tindakan di masa depan merupakan dasar dari tindak tutur ini. Kondisi felisitas tindak tutur komisif, yakni penutur berniat untuk melakukan sesuatu dan mampu menjalankannya. Mitra tutur mempercayai kemampuan dan niat penutur.

e. Tindak Tutur Ekspresif

Tindak tutur ekspresif merupakan tuturan mengenai sesuatu hal yang telah terjadi sebelumnya, atau ungkapan ekspresif dari penutur mengenai tindakan yang sebelumnya. Kreidler meyebutkan kata kerja ekspresif yang paling umum (dalam arti „ekspresif‟) adalah mengakui, meminta maaf, menyangkal atau menolak.

Kondisi felisitasnya serupa dengan tindak tutur verdiktif, yaitu perbuatan itu layak; penutur memiliki kemampuan; penutur berbicara dengan tulus; dan mitra tutur mempercayai penutur. Jenis lain dari tindak tutur ekspresif yaitu membual atau berbohong.

f. Tindak Tutur Performatif

Tindak tutur performatif berlaku jika diucapkan oleh seseorang yang tepat, yaitu tindakan resmi yang mempengaruhi keadaan mitra tutur, seperti tindakan bertaruh dan tuturan pada saat upacara. Verba yang termasuk tindak

(13)

tutur performatif, antara lain: memutuskan, membaptis, pemberian nama,

menominasikan, menawarkan, memberkati, memecat, menikahkan,

menyatakan pembatalan sidang.

Tindak tutur performatif bukan mengenai benar atau salah. Tujuan tindak tutur ini dilakukan untuk membuat suatu keadaan sesuai dengan apa yang dikatakan penutur. Kondisi felisitas tindak tutur performatif, yaitu pada otoritas penutur dalam membuat tuturan; kesesuaian waktu, tempat dan keadaan lain; dan dapat diterima oleh mitra tutur.

g. Tindak Tutur Fatis

Tindak tutur fatis merupakan pertukaran salam, ucapan selamat tinggal, dan basa-basi sopan tentang cuaca, kesehatan satu sama lain, atau apa pun yang diharapkan dalam masyarakat tertentu. Tuturan fatis meliputi, sapaan, ucapan perpisahan, dan formula kesopanan pada tuturan misalnya, "terima kasih", "terima kasih kembali", "permisi". Tuturan-tuturan tersebut tidak benar-benar tergolong dalam tindak tutur verdiktif maupun ekspresif. Tuturan ini, meliputi: komentar pada cuaca, bertanya tentang kesehatan seseorang, dan apa pun yang biasa karena itu diharapkan, dalam masyarakat tertentu.

Dapat dikatakan bahwa tujuan dari ucapan-ucapan fatis seperti di atas adalah untuk menjalin hubungan antara anggota masyarakat yang sama dan menjaga ikatan sosial. Kondisi felisitas tindak tutur ini dapat terpenuhi ketika penutur dan mitra tutur berbagi kebiasaan sosial yang sama dan mengenali ucapan-ucapan fatis mereka.

(14)

4. Teori Prinsip Kerja Sama

Grice merumuskan kaidah bertutur prinsip kerja sama atau cooperative principle. Menurut Grice, prinsip kerja sama adalah prinsip percakapan yang berupaya membimbing para peserta percakapan agar dapat melakukan percakapan secara kooperatif. Prinsip kerja sama oleh Grice dirumuskan sebagai berikut.

“Make your conversational contribution such as required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged!” (Buatlah sumbangan informasi Anda seinformatif yang dibutuhkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati atau arah percakapan yang sedang diikuti). Grice juga mengungkapkan bahwa setiap penutur harus mematuhi 4 maksim percakapan (conversational maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (H. P. Grice, 2006:68; Leech, terjemahan oleh M. D. D. Oka, 1993: 11-12; I Dewa Putu Wijana, 1996:46-53; Rustono, 1999: 54-59; Kunjana Rahardi, 2005: 53-58; George Yule, terjemahan oleh Indah Fajar Wahyuni, 2006:64; Nadar, F. X., 2009:24).

Maksim-maksim prinsip kerja sama Grice dapat diidentifikasi sebagai berikut.

a. Maksim Kuantitas

- Berikanlah informasi sesuai kebutuhan.

- Jangan memberikan informasi yang berlebihan melebihi kebutuhan. Jadi dapat dikatakan maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur

(15)

memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan dan melebihi apa yang dibutuhkan lawan tutur.

Contoh:

Konteks tuturan:

Omesh mengomentari penampilan Voland. Omesh menegaskan Voland terlihat sangat grogi dan sangat berpengaruh pada konsentrasi sehingga banyak rayuan yang lupa dan datar.

Bentuk tuturan:

Soraya : “Grogi dia nampaknya.”

Omesh : “Grogi namun nampak pria jujur, ya! Gak nyambung, ya? Gimana komentator?”

(079/170312/RG/MMKuan) Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim kuantitas, yaitu submaksim memberikan kontribusi yang berlebihan. kontribusi yang berlebihan tersebut ditujukkan oleh tuturan Omesh, “Grogi namun nampak pria jujur, ya!”. Tuturan tersebut merupakan penanda lingual pelanggaran maksim kuantitas. Omesh menegaskan pernyataan Soraya, tetapi dengan memberikan kontribusi yang berlebihan. Semestinya, Omesh bisa menjawab dengan “iya” atau “dia memang terlihat grogi”, tetapi Omesh menambahkan informasi yang tidak dibutuhkan oleh Soraya “nampak pria jujur, ya!”.

b. Maksim Kualitas

- Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar.

- Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai.

Jadi dapat dikatakan maksi kualitas menghendaki setiap peserta tutur mengatakan sesuatu yang logis. Informasi yang diberikan hendaknya disertai dengan bukti.

(16)

Contoh:

Konteks tuturan:

Di pertengahan acara RG berlangsung, Bedu mengeluh kesakitan. Laras merasa khawatir dengan keadaan Bedu karena peristiwa ini terjadi secara tiba-tiba. Laras mempertanyakan bagian apa yang dirasakan sakit oleh Bedu. Bedu menjawabnya dengan rayuan kepada Laras.

Bentuk tuturan:

Bedu : “Aduh…Aduh!”

Laras : “Kenapa, Bang?”

Bedu : “Kok hati aku sakit, ya?” Laras : “Kok bisa sakit?”

Bedu : “ Ooo… ternyata ada yang mengukir nama kamu di hati aku.”

(052/100312/RG/MMKual) Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim kualitas yaitu submaksim jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Pelanggaran tersebut ditunjukkan oleh tuturan Bedu, “Ooo… ternyata ada yang mengukir nama kamu di hati aku.” Tuturan tersebut dituturkan Bedu kepada mitra tuturnya yaitu Laras. Tuturan tersebut sebagai penanda lingual pelanggaran maksim kualitas. Tuturan Mucle, “Ooo… ternyata ada yang mengukir nama kamu di hati aku.” mengandung tuturan yang tidak logis. Bedu mengatakan bahwa hatinya yang sakit disebabkan karena Laras mengukir namanya di hati Bedu. Sebuah hal yang tidak benar bahwa hati manusia dapat diukir. Pelanggaran maksim kualitas juga berfungsi menimbulkan “nilai rasa gombal”.

c. Maksim Relevansi

Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan dengan apa yang sedang dibicarakan.

(17)

Konteks tuturan:

Arie terpilih menjadi komentator yang mengomentari penampilan Udin tetapi, dia selalu lebih memilih merayu dewi cinta.

Bentuk tuturan:

Arie : “Sejak saya ketemu Gina dari kemaren karena dia seorang ibu dokter, saya nanya terus sama dia. Bagaimana caranya saya bisa dapetin obat bius?”

Tike : “Buat apaan?”

Arie : “Buat nahan sakitnya kalau Soraya udah punya pacar.”

(096/170312/RG/MMRel) Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim relevansi. Pelanggaran tersebut ditunjukkan oleh tuturan Arie, “Buat nahan sakitnya kalau Soraya udah punya pacar.” Tuturan tersebut dituturkan Arie kepada mitra tuturnya yaitu Soraya. Tuturan tersebut sebagai penanda lingual pelanggaran maksim relevansi. Pelanggaran maksim relevansi dilakukan karena Arie memberikan kontribusi yang tidak relevan. Arie ingin mendapatkan obat bius jika nanti mendengar kabar Soraya telah mempunyai pacar. Tidak ada relevansinya antara obat bius dengan Soraya yang sudah mempunyai pacar. Penyembuhan kecewa karena sakit hati tidak membutuhkan obat bius. Pelanggaran maksim relevansi yang dilakukan Voland juga berfungsi menimbulkan “nilai rasa gombal”.

d. Maksim Pelaksanaan

- Hindari ungkapan yang tidak jelas. - Hindari ungkapan yang membingungkan. - Hindari ungkapan yang panjang.

- Sebisa mungkin mengukapkan sesuatu secara runtut. Contoh:

(18)

Konteks tuturan:

Tuturan ini terjadi antara perayu cinta dengan dewi cinta. Ricky memberikan sebuah pernyataan tentang sebuah kata “tumbang”. Ricky menggunakan kata itu untuk menaklukkan hati Ale. Tangan Ricky pun menunjuk ke hatinya Ale.

Bentuk tuturan:

Ricky : “Kalau pohon bisa tumbang, aku tumbang kalau aku capek. Aku tumbang waktu aku gak makan, tapi ada tumbang yang gak sedih.”

Ale : “Apa itu?”

Ricky : “Tumbang dihati kamu.” Ale : “Hahaha.”

(006/030312/RG/MMPel) Pada data di atas, terdapat pelanggaran maksim pelaksanaan. Pelanggaran tersebut ditunjukkan oleh tuturan Ricky, “Tumbang dihati kamu.” Tuturan tersebut dituturkan Ricky kepada mitra tuturnya yaitu Ale. Tuturan tersebut sebagai penanda lingual pelanggaran maksim pelaksanaan. Pelanggaran maksim pelaksanaan dikarenakan Ricky menyumbangkan informasi yang ambigu. Ricky menanyakan kepada Ale bahwa ada tumbang yang tidak sedih. Ale merasa apa yang dikatakan oleh Ricky itu membingungkan. Ale merasa bahwa segala sesuatu yang tumbang itu menyakitkan. Ketika Ricky menjawab dengan, “Tumbang dihati kamu.” menjadi sebuah ketertidakdugaan untuk Ale yang menimbulkan efek humor dan menambah nilai rasa gombal. Jadi, tuturan Arie adalah tuturan yang melanggar maksim pelaksanaan karena Arie memberikan kontribusi yang membingungkan sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda pada Ayu.

(19)

Menurut Mey implikatur (implicature) berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold „melipat‟, sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Jadi untuk memahami apa yang dimaksud oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya (dalam Nadar, F. X., 2009:60).

George Yule (edisi terjemahan oleh Indah Fajar Wahyuni, 2006:70) mengatakan dalam implikatur, penuturlah yang menyampaikan makna implikatur dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat inferensi itu. George Yule membedakan implikatur menjadi empat yaitu:

- Implikatur percakapan umum.

implikatur percakapan umum terjadi jika pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna tambahan yang disampaikan.

Contoh:

“ I was sitting in a garden one day. A child ovel the force”.

(Pada suatu hari saya duduk di sebuah kebun. Seorang anak kecil melongok lewat pagar)

Implikatur di atas, menginformasikan bahwa kebun dan anak yang disebutkan di atas bukan milik penutur, diperhitungkan pada prinsip bahwa apabila penutur mampu lebih spesifik. Seharusnya pantur mengatakan kebunku dan anakku.

(20)

Terjadi ketika dalam konteks yang khusus dimana seseorang mengasumsikan informasi yang diketahui secara local. Inferensi-inferensi yang demikian dipersyaratkan untuk memnentukan maksud yang disampaikan menghasilkan implikatur khusus.

- Implikatur konvensional.

Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak tergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata-kata itu digunakan.

- Implikatur berskala.

Adalah informasi tertentu selalu disampaikan bahwa implikatur berskala adalah informasi tertentu selalu disampaikan dengan memilih sebuah kata yang menyatakan suatu nilai dari suatu skala nilai. Implikatur yang dihasilkan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang mungkin tidak kita pikirkan dengan cepat sebagai bagian dari suatu skala.

Grice (dalam Rustono, 1999:77) menyebutkan bahwa implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran prinsip percakapan. Sejalan dengan batasan tentang implikasi pragmatis, implikatur percakapan itu adalah proposisi atau pernyataan implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh penutur yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam percakapan. Grice membedakan

(21)

implikatur menjadi dua, yaitu: 1) implikatur konvensional, adalah makna suatu ujaran yang secra konvensional atau secara umum diterima oleh masyarakat, 2) implikatur nonkonvensional, adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan sebenarnya.

(22)

Kerangka pikir adalah cara kerja yang digunakan oleh penulis untuk menyelisaikan masalah yang sedang diteliti. Kerangka pikir yang terkait dengan penelitian ini secara garis besar digambarkan pada bagan di bawah ini.

Objek yang diteliti adalah bentuk tuturan gombal yang dituturkan oleh perayu cinta, dewi cinta, komentator, dan pembawa acara dalam Acara RG di

Acara Raga Gombal di Trans 7

Pendekatan Pragmatik

Dialog yang berupa tuturan gombal baik dari pembawa acara, perayu cinta, dewi cinta, dan komentator dalam acara Raja Gombal di Trans 7

Pelanggaran Prinsip Kerja Sama: 1. Maksim Kuantitas 2. Maksim kualitas 3. Maksim Relevansi 4. Maksim Pelaksanaan Implikatur Hasil analisis:

1. Bentuk pelanggaran prinsip kerja sama dalam acara RG di Trans .

2. Bentuk implikatur percakapan dalam acara RG di Trans 7.

(23)

Trans 7. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data penelitian selama bulan Maret 2012. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pelanggaran prinsip kerjasama dan implikatur tuturan gombal dalam acara RG di Trans 7. Data yang tersaji, akan dikaji menggunakan teori prinsip kerja sama dan implikatur.

Setelah semua tuturan yang mengandung pelanggaran prinsip kerja sama beserta konteks tersaji, maka tuturan itu diklasifikasikan ke dalam masing-masing maksim seperti apa yang dikemukakan oleh Grice, yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan. Setelah itu, tuturan tersebut dianalisis sesuai dengan teori yang digunakan. Selanjutnya adalah mencari implikatur yang diakibatkan oleh pelanggaran prinsip kerja sama.

Referensi

Dokumen terkait

Rencana Strategis (Renstra) Deputi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi Tahun 2020-2024 merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Tujuan penelitian Untuk mengetahui efektifitas penerapan pendekatan CL versi STAD dalam upaya meningkatkan motivasi dan hasil belajar Matematika peserta didik kelas

r&ssrr

ASUHAN KEBIDANAN KOMPERHENSIF DARI KEHAMILAN, PERSALINAN, BAYI BARU LAHIR (BBL), NIFAS, DAN PERENCANAAN KELUARGA.. BERENCANA (KB) PADA NY.M UMUR 27 TAHUN G2P1AO DI BIDAN SRI

kebersihan (sampah) di Daerah Tujuan Wisata (DTW) pemandian Karang Anyar.

Penjelasan Pasal 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

value for money dalam pengukurannya terintegrasi mempertimbangkan input, output dan outcome , sehingga perlu untuk melakukan pengukuran kinerja keuangan pada