• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Menggugat (Kajian Dalam Film Lost in Papua) T1 362007057 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Menggugat (Kajian Dalam Film Lost in Papua) T1 362007057 BAB I"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Menurut UU No.8 thn

1992 tentang Perfilman Nasional dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan

budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dan dengar yang dibuat

berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video yang

ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik (Dewan Film Nasional

1994:15). Film merupakan gambar yang bergerak dan film dapat disebut juga sebagai

transformasi kehidupan masyarakat karena, dalam film kita dapat melihat gambaran

atau cermin yang sebenarnya dan bahkan kita terkadang tidak menyadarinya. Sebagai

gambar yang bergerak film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya.

Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi

masyarakat. Memang sebuah film bisa merupakan refleksi atau representasi

kenyataan. Sebagai refleksi kenyataan sebuah film hanya memindahkan

permasalahan yang terjadi di masyarakat ke layar tanpa mengubah kenyataan

tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi

peristiwa perang. Sedangkan representasi kenyataan berarti film tersebut membentuk

dan menghadirkan kembali kenyataan berdasarkan kode-kode, konvensi dan ideologi

dari kebudayaan (Sobur, 2003:128). Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti

menawarkan suatu pesan kepada para penonton. Jika dikaitkan dengan kajian

komunikasi maka suatu film yang akan ditawarkan ke masyarakat harusnya memiliki

efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang diharapkan, jangan sampai inti pesan

tidak disampaikan tetapi sebaliknya efek negatif dari film tersebut justru secara

mudah diserap oleh penontonya1.

1

(2)

Keberadaan film di tengah masyarakat mempunyai makna yang unik diantara

media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi yang efektif

dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni

yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas dan media budaya yang melukiskan

kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal tersebut

menjadikan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di masyarakat. Di

satu sisi film dapat memperkaya kehidupan masyarakat dengan hal-hal yang baik dan

bermanfaat, namun disisi lain film juga dapat membahayakan bagi masyarakat.

Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan merupakan

salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang menampilkan

nilai-nilai yang cenderung dianggap negative oleh masyarakat seperti kekerasan,

rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap oleh

audience dan diaplikasikan dalam kehidupannya. Film juga memiliki kemampuan

dalam menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat, dan mampu

menarik orang. Dalam hal ini, ada sebuah nilai yang berbenturan dengan cara

pandang lain yang melibatkan massa yang dapat menimbulkan sebuah wacana atau

pemahaman yang berbeda dalam masyarakat.

Wacana tersebut terus berkembang dalam masyarakat dan akan menjadi

sebuah pendapat yang kemudian dikonsumsi publik. McQuail, (2000:276)

menambahkan bahwa film sebagai media merupakan sarana penyampaian informasi

kepada masyarakat dengan menggabungkan berbagai macam unsur yang membuat

penonton terhibur. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk

disajikan kepada khalayak (Hamad, 2004:11-12).Namun, ada sebuah konsep filosofis

yang mengatakan bahwa yang kita lihat dalam film bukanlah realitas, melainkan

representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya, yang

tidak dapat kita tangkap. Yang dapat ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari

realitas dibaliknya (Straaten dalam Sorbur, 2006:930). Selain membentuk konstruksi

(3)

berkembang dalam masyarakat yang kemudian memproyeksikannya ke atas layar

(Sobur, 2006:127).

Sebagai media massa, film menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang

terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh

isi film adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk

wacana yang bermakna. Isi film dapat dibagi menjadi 6 kategori, yaitu: berita dan

informasi, analisis dan interpretasi, pendidikan dan sosialisasi, hubungan masyarakat

dan persuasi, iklan dan bentuk penjualan lain, hiburan (Ray Elden Hiebert dkk, 1985).

Begitu pula halnya dengan masalah mengenai perempuan yang selalu menarik untuk

dibicarakan dan tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Pandangan

masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama

ini digambarkan oleh media massa, terutama sinema atau film.

Barker, (2005:106) mengatakan dominasi laki-laki di dalam teks yang telah

berlangsung lama secara komulatif telah membentuk suatu kebenaran bahwa

perempuan memang secara kodrati lemah dan laki-laki sebagai pencipta teks

membangun citra akan diri mereka sebagai superior, kuat dan pelindung. Dalam

konteks film, khususnya pemberitaan mengenai perempuan di dalamnya, representasi

perempuan didasarkan atas sebuah ideologi. Menurut Piliang (2003: 137-138), ada

banyak prinsip bagaimana ideologi beroperasi dalam produksi makna-termasuk

makna dalam film. Di antara prinsip tersebut adalah apa yang disebut sebagai prinsip

„oposisi biner‟ (binary opposition), yaitu semacam tanda, kode, makna, stereotip, identitas yang di dalamnya terjadi proses generasilasi dan reduksionisme, sedemikian

rupa sehingga segala sesuatu dikategorikan ke dalam dua kelompok yang ekstrim,

saling bertentangan dan kontradiktif.

Film yang berjudul Lost in Papua, terlihat bahwa representasi bekerja dalam

bentuk oposisi biner. Perempuan Papua digambarkan dalam Suku Perempuan yang

menarik di satu sisi, jahat, primitif, dan suka berkelahi, memperkosa kaum laki-laki,

suka membunuh di sisi lainnya. Oposisi jahat-baik ini penting untuk setiap jenis

(4)

jelas di antara hal-hal yang ingin diklasifikasi. Kasus kekerasan terhadap perempuan

khususnya film membawa konsep-konsep oposisi biner yang terpolarisasi dari

ideologi patriarki secara garis besar. Ideologi patriarki membagi prinsip oposisi biner

dalam konsep maskulinitas dan feminitas2 yang terkonstruksi secara nyata dalam

kehidupan sehari-hari.

Perempuan diposisikan secara budaya sebagai makhluk yang lemah dan tak

berdaya. Sebaliknya laki-laki diposisikan sebagai mahluk yang kuat dan

mendominasi. Pembagian prinsip-prinsip dasar sifat ini terkonstruksi dalam

masyarakat kita yang patriarki, sehingga adanya penerimaan secara mutlak yang tidak

adil dalam masyarakat. Penegasan ini didukung oleh media yang dianggap sebagai

agen informasi. Isu perempuan khususnya di dalam film kemudian menjadi konsisten,

dan menjadi suatu kecenderungan umum. Sebagai contoh, ketika perempuan

terus-menerus ditampilkan sebagai objek seks di film, maka khalayak laki-laki akan

menerima pembenaran dalam memandang perempuan sebagai kaum yang fungsi

utamanya adalah memuaskan nafsu seksual laki-laki. Akibatnya, tertanam anggapan

bahwa „kekuatan‟ utama perempuan adalah tubuhnya, bukan faktor-faktor lain seperti keunggulan intelektual, keluasan wawasan, kecakapan bekerja dan sebagainya.

Perempuan kemudian diperalat dengan seluruh karakter yang diperjualbelikan:

kecantikan, kemolekan tubuh dan seks (seperti: paha, pinggul dan dada) sebagai

wujud dari pola patriarki.

Realitas sosial yang diciptakan media tentang perempuan membawa suatu

perlawanan perempuan terhadap adanya dominasi dari kaum laki-laki. Adanya

pencitraan perempuan yang ditampilkan dalam karakter mereka seperti memiliki

2

(5)

ketergantungan, ramah, rapuh dalam hubungan, mengurus anak, dilihat sebagai suatu

jawaban atas praktek diskriminasi terhadap perempuan. Hal inilah yang menjadi

alasan mengapa umumnya media, terutama dalam isu kejahatan, menggambarkan

perempuan sebagai korban, sedangkan laki-laki sebagai pelaku. Salah satu

perlawanan perempuan terhadap adanya dominasi laki-laki terlihat dalam sebuah film

yang berjudul Lost in Papua.

Film ini menceritakan tentang di suatu pedalaman rimba Papua, Rangga (Edo

Borne) beserta timnya menjalankan sebuah misi eksplorasi mencari titik tambang.

Tanpa mereka sadari telah memasuki wilayah terlarang yang dikenal dengan sebutan

RKT 2000 (Rencana Kerja Tahunan disingkat RKT, sebuah area terlarang di Boven

Digul dan merupakan nama Kabupaten di daerah Papua Merauke, serta tempat

pembuatan film dari Lost in Papua).3

Tidak berapa lama, terjadilah sebuah petaka yang menyebabkan hilangnya

anggota tim satu persatu. Tiga tahun kemudian, Nadia (Fanny Fabriana), mantan

tunangan Rangga, masih terbayang dengan kejadian di Papua itu. Disisi lain, David

(Fauzi Badillah) yang pernah di campakkan Nadia, masih terus mengejar Nadia

dengan segala cara. Nadia tidak menghiraukan David dan mencoba menjauhinya

dengan menerima tugas ke Papua yang di berikan oleh bosnya, Pak Wijaya (Didi

Petet), yang tak lain adalah ayah David. Nadia berangkat ke Papua membawa sebuah

titipan cinderamata dari kakeknya (Piet Pagau) untuk kepala suku Korowai yang

pernah menyelamatkan nyawanya di masa perjuangan lalu. Nadia yang baru pertama

kali datang ke Papua, jatuh cinta dengan keindahan alamnya. Nadia bertemu dengan

teman-temannya yang berasal dari Papua, mereka sangat baik dan ramah. Nadia

diperkenalkan dengan tarian dan nyanyian serta budaya-budaya yang ada di Papua.

Dalam konsep gender, perempuan masih banyak dibedakan dalam makna

diskriminatif dalam segala hal secara gender dengan laki-laki. Padahal, perbedaan

gender (gender differences) itu, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang

3

(6)

tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, fakta empiris

secara komprehensif menunjukkan, bahwa ternyata perbedaan gender tersebut telah

melahirkan peran gender (gender role) yang sarat dengan makna ketidakadilan,

terutama terhadap kaum perempuan.4 Adapaun faktor penyebab terbesar dari

hadirnya konsepsi ideologi gender yang menyebabkan ketidakadilan tersebut, adalah

konstruksi „ideologi patriarki‟ yang ada, berkembang dan diinternalisasikan dari

generasi ke generasi, dalam dimensi ruang waktu yang cukup panjang di masyarakat.

Suku perempuan yang dimunculkan dalam film, membawa suatu gerakan

yang berbeda dengan ideologi gender yang sudah terbentuk. Suku perempuan

digambarkan sebagai suku yang memperkosa kaum laki-laki dan menjadikan mereka

sebagai pejantan untuk penambah keturunan, setelah itu langsung dibunuh

bertentangan dengan adanya budaya yang ada di Papua, yaitu budaya patriarki yang

dianut dalam tiap kepala keluarga. Fakih (1999:85), dengan melalui Eisenstein,

patriarki adalah dasar ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual

dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege.

Sistem budaya patriarki sangat kental dalam kehidupan masyarakat di Papua.5

Di Papua mengusut keturunannya melalui garis ayah, jadi bersifat patrilineal. Oleh

sebab itu, adanya mitos suku perempuan yang ditayangkan dan dipublikasikan

melalui film Lost in Papua tersebut sempat menuai protes. Mitos yang ditampilkan

dirasa tidak sesuai dengan kenyataan tentang budaya yang ada di Papua khususnya

kaum perempuan. Sampai saat ini perempuan Papua masih belum terpenuhi

hak-haknya. Banyak yang menunding masalah adat dan budaya Papua yang menyebabkan

4 Fakih, hlm. 12 dan 72, Menurut Kassiyan dalam buku Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan

dalam Iklan (hal. 45)

5

(7)

perempuan berada di bawah laki-laki. Perempuan Papua tidak hanya melayani suami,

tetapi juga harus menyiapkan makanan, berjualan di pasar, dan lain sebagainya6.

Menurut Dr. Thamrin, Perempuan dalam film umumnya digambarkan sebagai

sosok yang berkisar seputar pigura, pilar, peraduan, pinggan dan pergaulan (5-P).

Piguran menyangkut kecantikan dan pemikat secara bilogis, pilar sebagai pengelola

rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu

berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping

lingkungan kerja.7 Sosok perempuan yang digambarkan dalam film Lost in Papua

bertentangan dengan gambaran perempuan yang dicerminkan oleh media. Perempuan

Papua dalam Lost in Papua dicerminkan sebagai perempuan yang kuat dan perkasa.

Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya adegan kekerasan baik verbal

maupun non verbal yang dilakukan oleh suku perempuan itu, seperti: membunuh

kaum laki-laki dan memakan jantung mereka, memperkosa kaum laki-laki secara

bergiliran, mengumbar kata-kata kasar, menampar dan melakukan tindak kekerasan

lainnya terhadap kaum laki-laki (melucuti pakaian, mengikat dan mencium kaum

laki-laki secara paksa). Film Lost in Papua ini juga memiliki paham berbeda yang ada

dalam masyarakat Papua sendiri, serta memunculkan adanya pro dan kontra tentang

adanya suku perempuan yang membuat representasi terhadap perempuan Papua dan

memunculkan berita negatif.8

Adanya mitos-mitos tentang perempuan yang berkembang dalam masyarakat,

memiliki korelasi sebab-akibat dari gambaran tentang adanya perlawanan perempuan,

antara lain: patriarki dan emansipasi wanita. Adanya suatu ideologi tentang anggapan

dasar masyarakat dimana film Lost in Papua yang memunculkan suku perempuan

menggambarkan perempuan yang berkuasa di atas laki-laki, dimana hal tersebut

kebalikan dari budaya patriarki (perempuan disini sebagai subjek dan laki-laki

6

journal/item/20/Perempuan Papua. diunduh pada 24/5/2012

7 www.amazon.com, Sosok Perempuan dalam Media massa (diunduh 7 Juli 2012)

8 Film Lost in Papua memunculkan berita tentang, Fauzi diperkosa oleh Suku Perempuan Papua dan

(8)

sebagai objek). Tetapi di lain pihak perempuan tersebut tetap membutuhkan kaum

laki-laki untuk menambah keturunan mereka.

Berdasarkan uraian di atas penulis tidak akan membahas secara keseluruhan

tentang film Lost in Papua, akan tetapi penulis lebih membahas tentang “Suku

Perempuan” yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu bagaimana

film Lost in Papua mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos

Suku Perempuan dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan perempuan melalui

mitos suku perempuan dalam film Lost in Papua.

1.2

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana film Lost in Papua mengkonstruksikan perempuan Papua

berkaitan dengan mitos suku Perempuan?

2. Apa bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan melalui

mitos suku Perempuan dalam film Lost in Papua?

1.3

TUJUAN PENELITIAN

Dari persoalan di atas, maka tujuan dari penelitian adalah :

Mengetahui dan menjelaskan sejauh mana film mengkonstruksikan

perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku perempuan dan bentuk-bentuk

perlawanan yang dilakukan oleh perempuan.

1.4

MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat membuka wawasan tentang perspektif gender dan

menambah literature penelitian kualitatif mengenai studi analisis wacana kritis dalam

(9)

1.4.2 Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman tentang bagaimana film mengkonstruksikan

perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku perempuan yang dimunculkan dalam

film Lost in Papua dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan

serta diharapkan bermanfaat bagi khalayak agar lebih kritis dalam memaknai pesan

yang disampaikan media khususnya film.

1.5

BATASAN PENELITIAN

Untuk tidak memperluas ruang lingkup pembahasan, maka diberikan

batasan-batasan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Penelitian ini hanya akan berfokus pada mitos “Suku Perempuan” dalam

film Lost in Papua.

2. Hal-hal yang diidentifikasi adalah tentang bagaimana penggambaran

sosok perempuan Papua melalui mitos Suku Perempuan melalui analisis

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penanganan terhadap penderita retardasi mental bukan hanya tertuju pada penderita saja, melainkan juga pada orang tuanya. Mengapa demikian? Siapapun orangnya

Permasalahan  dasar  adanya  gap  antara  akademi  dan  industri  adalah  karena  karakter  dan  sudut 

 Untuk mengetahui faktor resiko yang diduga berperan dalam terjadinya myoma uteri pada pasien dalam laporan kasus ini..  Untuk mengetahui bagaimana diagnosis myoma uteri

Creswell (2013:5) (dalam (Chih-Pei & Chang, 2017)) menjelaskan mixed methods adalah pendekatan penelitian yang mempergunakan dua pendekatan secara simultan yaitu

Mekanika Lagrange W.S. Mekanika Lagrange W.S. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Fisika Koloid Dasar Suparno, Ph.D. Media Audio Visual *) Nur Kadarisman, M.Si. Mikroprosesor *)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Secara keseluruhan perbedaan pengaruh antara metode Latihan Sit up (A1) dan metode latihan Back lift (B2) terhadap

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang