• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kampus USU Medan 20155

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kampus USU Medan 20155"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1

Analisis Kerugian Ekonomi serta Pengetahuan Masyarakat terhadap Konflik

Orangutan Sumatera (Pongo abelii)

Analysis of Economic Loss and Community Knowledge of Orangutan Sumatra

(Pongo abelii) Conflict.

Oni Sri Rahayu Sitorus1, Pindi Patana2, Agus Purwoko2

1Mahasiswa Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155 (Penulis Korespondensi, E-mail: onisrrirahayusitorus@yahoo.co.id

2Staf Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Dharma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155

Abstract

Research on “Analysis of Economic Loss and Society Knowledge of Orangutan Sumatra (Pongo abelii) conflict” was conducted in March 2013 until April 2013 at Kuta Gajah and Besilam Village by interview inhabitants whose land damage by the orangutan.The purpose of this research are to calculate the total economic loss caused by the conflicts, to know the cost of community, NGO and government have been spend for mitigating conflict between human and Orangutan Sumatera (P. abelii) and also to analyze community knowledge about the reasons of the conflicts. The result of this research showed that total economic loss at Kuta Gajah is higher than Besilam. Total economics loss occured to Kuta Gajah villager was Rp 2.120.952,00, that clasified to high, while occured to Besilam villager was Rp 340.,00 and clasified to low. In conflict mitigation, governments cooperated with OIC and by evacuating into Gunung Leuser National Park Area.

Keywords: Orangutan Sumatra, Orangutan conflict, Economic Loss, Mitigation Cost, Gunung Leuser National Park. PENDAHULUAN

Ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup satwaliar berasal dari perusakan habitatnya yang disebabkan oleh pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pemukiman. Kegiatan tersebut mengakibatkan populasi satwaliar menurun dan tempat hidupnya terbelah-belah (fragmentasi).

Konflik antara manusia dan orangutan terjadi karena adanya kompetisi untuk sumber daya alam yang terbatas. Sebagian dari masyarakat masih beranggapan, bahwa orangutan “hanyalah binatang’ yang derajatnya lebih rendah daripada manusia sehingga hak dan kebutuhannya untuk hidup sering tidak dipertimbangkan. Ketika kebutuhan manusia akan lahan, sumber daya alam, kekayaan dan kesejahteraan meningkat, ancaman bagi keberadaan dan kelangsungan hidup orangutan juga meningkat (Syukur, 2000).

Konflik antara manusia dengan orangutan termasuk suatu permasalahan yang serius yang harus diperhatikan dan dicari jalan keluarnya. Faktanya konflik yang terjadi bukan hanya di sekitar kawasan TNGL dimana orangutan bebas keluar masuk kawasan TNGL dan merusak hasil tanaman warga yang biasanya berupa buah-buahan yang menjadi makanan kesukaannya. Konflik juga sering terjadi di kawasan yang dulunya merupakan satu kesatuan hutan dengan TNGL, namun setelah adanya aktifitas manusia menyebabkan terjadinya fragmentasi kawasan. Akibat adanya fragmentasi kawasan tersebut orangutan terisolasi di lahan perkebunan masyarakat dan tidak dapat kembali ke habitat aslinya. Hal ini mendorong orangutan untuk hidup di kawasan perladangan dan mencoba bertahan hidup dengan cara mencari makan di ladang masyarakat tersebut. Semakin meningkatnya teknologi di bidang kehutanan dan didukung oleh sumber daya manusia yang tinggi diharapkan bisa menyelesaikan masalah tersebut (Afiff dkk ,2012).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghitung total kerugian ekonomi yang diderita masyarakat Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan di Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat akibat terjadinya konflik antara manusia dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii), menghitung biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat ataupun lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan mitigasi konflik antara manusia dengan orangutan di kedua desa tersebut dan Menganalisis persepsi dan pengetahuan masyarakat mengenai penyebab konflik antara manusia dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan pengetahuan tentang teknik mitigasi konflik yang terjadi dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii).

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi penelitian adalah Lokasi penelitian dilakukan di dua desa yang berbeda yang terletak di ladang masyarakat yaitu di Desa Kuta Gajah (Kecamatan Kutambaru) dan Desa Besilam (Kecamatan Padang Tualang), Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret 2013 sampai dengan Bulan April 2013.

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, seperangkat komputer, kalkulator, tabulasi data, tally sheet, kuisioner, alat tulis serta dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil langsung dari objek data, dan data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen atau instansi terkait.

Data primer yang akan dikumpulkan antaralain adalah : jenis tanaman masyarakat yang dirusak oleh orangutan, penanggulangan secara tradisional yang

(2)

2

dilakukan masyarakat untuk mengusir orangutan,

penanggulangan yang dilakukan oleh instansi pemerintahan dan swasta untuk menangani konflik yang terjadi di desa tersebut, kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat masuknya orangutan ke ladang milik mereka, serta biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, pemerintah dan LSM dalam melakukan pengusiran orangutan. Data skunder yang akan dikumpulkan antara lain : data mengenai kondisi umum wilayah penelitian, data kependudukan yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta data-data catatan kependudukan yang sudah tersedia di Kantor Balai Desa.

1. Teknik dan Tahapan Pengambilan Data Tahapan pengambilan data yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Survei pendahuluan ke lapangan dan penentuan desa konflik.

b. Desa yang akan diteliti adalah desa dengan kriteria : desa yang ladang masyarakatnya sering dimasuki oleh orangutan.

c. Pengumpulan data pengetahuan masyarakat dilakukan dengan metode purposive sampling. Menurut Singarimbun dan Sovian (1989), purposive sampling adalah metode pengambilan sampel yang bersifat tidak acak, dan sampel dipilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yaitu masyarakat yang lahannya terlibat konflik dengan satwa liar.

d. Untuk jumlah sampel yang akan diambil dalam menganalisis pengetahuan masyarakat menurut Arikunto (1993), jika populasi lebih dari 100 orang maka disarankan untuk mengambil jumlah sampel antara 10 % - 15 %, 20 %- 25 % dari jumlah populasi dan ini telah dianggap representatif (Arikunto, 1993 :149). Populasi dalam penelitian ini adalah total jumlah kepala keluarga pada dusun yang berladang di Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru sebanyak 102 kepala keluarga dan di Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang sebanyak 104 kepala keluarga. Jumlah sampel yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak 20%.

e. Data kerugian masyarakat diambil dengan cara sensus, dimana semua data kerugian yang diderita masyarakat yang mengalami konflik dengan orangutan Sumatera (P. abelii) dikumpulkan dan dihitung dengan metode pendekatan harga pasar. f. Responden kunci (key informan) adalah pejabat

instansi terkait, tokoh masyarakat, dan LSM. Responden kunci diambil secara purpossive sampling yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

g. Melakukan diskusi terhadap responden kunci untuk mengetahui kondisi umum desa penelitian.

h. Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuisioner terhadap para responden penelitian untuk memperoleh data tentang :

- Jenis tanaman yang dirusak oleh orangutan, - Kerugian ekonomi yang diderita masyarakat

akibat masuknya orangutan,

- Biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat, atapun instansi terkait,

- Teknik mitigasi konflik yang sudah dilakukan, - Pemahaman dan pengetahuan masyarakat

tentang satwa liar khususnya orangutan serta teknik mitigasinya.

i. Pengolahan data dengan melakukan tabulasi seluruh data, selanjutnya analisis dengan analisis deskriptif.

j. Sedangkan pengolahan data kualitatif dianalisis dengan mendeskripsikan karakteristiknya.

Metode Analisis Data

Besarnya intensitas gangguan satwa liar terhadap komoditas pertanian dilihat dari kerugian secara finansial. Data yang mendukung penaksiran nilai kerugian komoditas pertanian meliputi jumlah kerusakan tanaman, harga jual/kg, dan biaya penanganan yang dikeluarkan petani. Data tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan penduduk yang diambil sebagai responden dan pengamatan langsung di lapangan.

Menghitung rata-rata kerugian ekonomi yang disebabkan oleh konflik satwaliar yang masuk ke perladangan masyarakat dapat dihitung dengan rumus:

Rata-rata kerugian/ KK / bulan = ∑ Kerugian satu desa ∑ Responden

Setelah didapatkan hasil rata-rata kerugian/ KK/ Bulan, kerugian tersebut kemudian dikategorikan kedalam kriteria. Adapun kriteria kerugian dapat dilihat pada Tabel 1. berikut.

Tabel 1. Kriteria kerugian ekonomi

No. Total Kerugian/ KK/ Bulan (Rp.) Kriteria 1. < 1.000.000 Rendah 2. 1.000.000 - <1.500.000 Sedang 3. ≥1.500.000 Tinggi

Perhitungan biaya yang dikeluarkan pemerintah, masyarakat dan pihak LSM dalam melakukan mitigasi konflik orangutan dihitung, kemudian dimasukkan ke dalam kriteria seperti Tabel 2. berikut

Tabel 2. Kriteria biaya mitigasi konflik orangutan

No. Biaya mitigasi konflik orangutan Kriteria 1. <3.000.000 Rendah 2. 3.000.000 - <6.000.000 Sedang 3. ≥6.000.000 Tinggi

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan Konflik

Orangutan mengganggu tanaman masyarakat Desa Kuta Gajah sudah sejak masyarakat membuka ladang di desa tersebut sekitar tahun 1940-an, karena orangutan memang menyukai buah yang mereka tanam. Orangutan selalu masuk ke lahan perkebunan milik masyarakat pada saat musim buah seperti buah durian, mangga atau cempedak yang biasanya berlangsung selama 3 bulan. Sementara itu, untuk Desa Besilam orangutan baru mengganggu tanaman sawit sejak dua tahun terakhir disebabkan karena di desa tersebut sangat jarang ditanam tanaman buah-buahan. Berdasarkan informasi warga bahwa dulunya orangutan

(3)

3

tersebut memakan buah tukas yang tumbuh liar di

sekitar desa mereka. Namun keberadaan pohon tersebut kini telah habis sehingga mendorong orangutan untuk mencari alternatif makanan lain.

Dari hasil wawancara dengan masyarakat Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam diketahui bahwa kedua desa tersebut sama-sama terdapat gangguan dari orangutan. Namun terdapat perbedaan gangguan yang sangat jelas antara Desa Kuta gajah dan Desa besilam karena perbedaan karakteristik lahan konflik di kedua desa tersebut. Perbedaan karakteristik lahan pada Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perbedaan karakteristik lahan Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam

No Karakteristik Desa Kuta Gajah Desa Besilam 1. Jarak lahan dari

TNGL Berbatasan langsung sampai dengan 2 Km

30 Km kearah barat 2. Waktu

terjadinya konflik di ladang

Saat musim buah Satu kali setiap minggu 3. Jenis tanaman

yang diganggu Tanaman durian, mangga dan cempedak

Tanaman sawit dan karet 4. Penyebab orangutan mengganggu Karena orangutan menyukai buah-buahan sehingga orangutan keluar dari TNGL Orangutan terisolasi dilahan milik masyarakat seluas 25 Ha yang dulunya merupakan satu kesatuan hutan dengan TNGL 5. Orangutan mengganggu sejak

Sejak dulu, setiap

tanaman berbuah Sejak dua tahun terakhir untuk tanaman sawit

Kawasan konflik antara petani dengan orangutan yang dialami oleh masyarakat Desa Kuta Gajah kawasan yang berbatasan langsung dengan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Seidensticker (1984) dalam Alikodra (2010), menyatakan bahwa gangguan satwaliar banyak terjadi di desa-desa, pemukiman penduduk, atau tanaman perkebunan yang lokasinya berdekatan/ berbatasan langsung dengan cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional atau habitat-habitat lainnya.

Untuk lokasi yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL di Desa Kuta Gajah hubungan jarak dengan ada tidaknya gangguan orangutan di ladang masyarakat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan jarak dari TNGL dengan ada atau tidaknya gangguan orangutan

No Jarak dari TNGL

Desa Kuta Gajah Desa Besilam

AG % TG % AG % TG % 1 Berbatasan langsung 8 40 1 5 0 0 0 0 2 50 m – 500 m 4 20 1 5 0 0 0 0 3 500 m – 1000 m 2 10 3 15 0 0 0 0 4 >1000 m 1 5 0 0 13 65 7 35 Total 15 75 5 25 13 65 7 35 Keterangan : AG : Ada gangguan

TG : Tidak ada gangguan

Dari data di atas dapat dilihat bahwa dari 9 orang responden yang lahannya berbatasan langsung dengan TNGL hanya satu orang yang mengatakan bahwa

lahannya tidak diganggu oleh orangutan karena orang tersebut tidak menanam jenis buah-buahan di ladang miliknya. Di Desa Besilam, dari seluruh responden 13 orang responden mengatakan bahwa ladang mereka diganggu orangutan dan 7 orang mengatakan tidak ada gangguan orangutan diladang mereka.

Adanya gangguan yang terjadi di Desa Besilam yang rata-rata berjarak 30 Km dari Taman Nasional Gunung Leuser disebabkan karena orangutan tersebut terisolasi dan menetap diladang ladang milik masyarakat. Ditemukannya kasus yang berbeda dengan jarak lokasi konflik dengan taman nasional yang berbeda menunjukkan bahwa konflik orangutan tidak hanya terjadi di sekitar Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser tetapi masih ada konflik orangutan yang berhubungan dengan masalah fragmentasi lahan. Gangguan Satwaliar

Jenis satwaliar pengganggu tanaman di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam berdasarkan peringkat gangguan terbanyak dapat dilihat pada Tabel 5. berikut : Tabel 5. Peringkat gangguan oleh satwaliar pengganggu tanaman berdasarkan wawancara selama satu tahun

No Jenis

satwa Nama latin Desa Kuta Gajah n % R n Desa Besilam % R 1 Babi hutan Sus scrofa 8/20 40 4 0/20 0 - 2 Kera ekor

panjang Macaca fascicularis 13/20 65 3 13/20 65 1

3 Beruk Macaca nemestrina 3/20 15 6 0/20 0 - 4 Kedih Presbytis thomasi 19/20 95 1 10/20 50 2 5 Orangutan Pongo abelii 15/20 75 2 13/20 65 1 6 Rusa Cervus unicolor 6/20 30 5 0/20 0 - 7 Landak Hystrix javanicus 2/20 10 7 0/20 0 - Total 66/20 100 1 36/20 100 2

Keterangan : * Jawaban boleh lebih dari satu *R : Rangking

Berbeda dengan Desa Kuta Gajah, jenis satwaliar yang merusak kebun milik warga di Desa Besilam hanya ada 3 species dianggap menjadi masalah di kebun milik mereka. Dari ketiga jenis satwaliar tersebut semuanya merupakan jenis satwa primata yaitu kera ekor panjang (Macaca fascicularis), kedih (Presbytis thomasi) dan orangutan (Pongo abelii). Satwaliar yang dianggap paling bermasalah adalah beruk (Macaca nemestrina) dan orangutan (Pongo abelii) dengan persentasi yang sama yaitu sebesar 36 % dari total gangguan dan kemudian monyet kedih (28 %). Sebanyak 13 responden di desa ini mengganggap bahwa orangutan merusak jenis tanaman sawit dengan cara mengoyak pucuk daun muda kelapa sawit (umbut) dan juga mematahkan ranting karet untuk membuat sarang.

Keberadaan kera ekor panjang sangatlah mengganggu tanaman masyarakat di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam. Hewan ini dianggap sebagai hewan yang menjadi hama di perkebunan mereka. Menurut

(4)

4

Medway (1978), kera ekor panjang (Macaca fascicularis)

termasuk jenis primata yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya oleh karena itu jenis satwa ini dapat dijumpai di berbagai tipe habitat mulai dari hutan alam hingga hutan sekunder bahkan dapat ditemukan juga di pinggir ladang ataupun perkebunan. Seiring dengan semakin sempitnya kawasan hutan, peranan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) bukan lagi sebagai penyeimbang ekosistem tetapi justru sebagai musuh petani dan dapat menjadi sumber hama di persawahan dan di perkebunan.

Deskripsi Gangguan Satwaliar

Kerusakan bagian tanaman yang disebabkan oleh satwaliar di Desa Kuta Gajah akan dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Jenis gangguan yang disebabkan satwaliar di lahan masyarakat Desa Kuta Gajah

Ket : a : pucuk d : kulit b :akar e : buah c : batang f : ranting

Dari Tabel 6. Dapat dilihat bahwa orangutan lebih menyukai tanaman buah-buahan gangguan pada tanaman dewasa yang telah menghasilkan buah dan juga merusak bagian ranting tanaman dewasa untuk membuat sarang selama musim durian tiba. Keberadaan babi hutan (Sus scrofa) di kebun karet milik warga Desa Kuta Gajah sebagai hama cukup meresahkan. Babi hutan (Sus scrofa) ini masuk ke lahan milik masyarakat pada malam hari dan mencabut tanaman karet milik mereka yang baru saja mereka tanam. Bagian tanaman yang dirusak babi hutan berdasarkan informasi warga yaitu bagian akar dan batang tanaman karet yang masih muda.

Menurut Bailey (2000), babi hutan (Sus scrofa) hidup di berbagai kondisi lingkungan yang beragam di kepulauan Indonesia, yaitu di hutan hujan, rawa, padang rumput, dan area pertanian. Pada umumnya babi hutan termasuk hewan nocturnal, yaitu hewan yang mencari makan pada malam hari, makanan dari babi hutan itu sendiri adalah akar-akaran, buah-buahan yang jatuh, dedaunan, pucuk daun muda dan kadang-kadang memakan tanah. Tingginya tingkat degradasi dan deforestasi hutan serta fragmentasi habitat merupakan ancaman bagi populasi babi hutan. Selain terancam karena semakin tingginya tingkat kerusakan hutan, babi hutan juga sangat rawan terhadap perburuan maupun

diburu karena dianggap sebagai hama perusak lahan pertanian.

Pada Desa Besilam karena jaraknya yang jauh dari TNGL jenis satwaliar yang merusak tidak sebanyak jenis satwaliar yang merusak ladang masyarakat desa Kuta Gajah. Kerusakan bagian tanaman yang disebabkan oleh satwaliar di Desa Kuta Gajah akan dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Jenis gangguan yang disebabkan satwaliar di lahan masyarakat Desa Besilam

Ket : a : pucuk d : kulit b :akar e : buah c : batang f : ranting

Adanya permasalahan gangguan kera ekor panjang diduga karena kawasan hutan di sekitar ladang masyarakat telah mengalami kerusakan habitat akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Sugiharto (1992), perubahan lingkungan sering mengarah kerusakan lingkungan sebagai akibat penduduk telah mengeksploitasi lingkungan pada tingkat melebihi daya dukung lingkungan tersebut sehingga akibatnya dapat menarik populasi kera ekor panjang (M. fascicularis) untuk menggunakan lahan hutan tersebut sebagai habitatnya. Di samping sebagai pengganggu, kera ekor panjang ini mempunyai potensi untuk dimanfaatkan, tetapi hingga saat ini apa yang dirasakan penduduk terhadap keberadaan kera ekor panjang ini lebih sebagai gangguan dari pada potensi yang biasa dimanfaatkan. Salah satu potensi kera ekor panjang ini dapat dimanfaatkan sebagai daya tarik dari suatu objek wisata, sehingga dapat menarik perhatian para pengunjung dalam suatu kawasan wisata.

A B

Gambar 1. Sarang yang dibuat pada pohon durian masyarakat

(A), Tanaman sawit yang dirusak bagian pucuknya oleh orangutan (B)

Kerusakan Habitat di Desa Besilam merupakan faktor pemicu konflik masyarakat desa tersebut dengan orangutan. Orangutan yang kehabisan

No Jenis

hewan Jenis tanaman yang dirusak

Bagian tanaman yang diganggu

A B

a b c a d e f 1 Babi hutan Karet -   - - - - 2 Kera ekor panjang Karet  - -  - - - 3 Beruk Karet - - -  - - - 4 Kedih Karet  - -  - - - 5 Orangutan Durian Cempedak Mangga - - - - - - - - - - - - - -     _ _ 6 Rusa Karet - - - -  7 Landak Karet  - - - - - No Jenis

Hewan Jenis tanaman yang dirusak

Bagian tanaman yang diganggu

A B a b c a d e f 1 Kera ekor panjang Karet  - -  - - - 2 Kedih Karet  - -  - - - 3 Orangutan Sawit Karet  - - - - -   - - - - - 

(5)

5

bahan makanan kemudian memakan umbut sawit

sebagai makan utamanya. Orangutan ini diduga terisolasi dilahan perkebunan masyarakat dan tidak bisa keluar sehingga menganggap lahan karet milik masyarakat merupakan habitatnya. Keadaan ini lama kelamaan akan memicu terjadinya konflik dan akan mengancam keberadaan orangutan tersebut jika dibiarkan tinggal di lahan karet milik masyarakat.

Gambar 2. Kerusakan lahan yang terus meningkat di Desa

Besilam

Faktor Penyebab Konflik Orangutan

Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam diperoleh data tentang faktor penyebab konflik satwaliar dengan masyarakat di kedua desa tersebut. Faktor penyebab konflik menurut responden karena kerusakan habitat akibat perambahan hutan dan tingkat kesukaan satwaliar terhadap jenis tanaman yang ditanam petani. Data faktor penyebab konflik tersebut disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Faktor penyebab konflik orangutan menurut persepsi masyarakat

Faktor penyebab konflik

Desa

Kuta Gajah Besilam ∑ % ∑ % - Kerusakan habitat akibat

perambahan hutan 6 30% 20 100% - Tingkat kesukaan satwaliar

terhadap jenis tanaman 14 70% 0 0% Total 20 100% 20 100%

1. Kerusakan Habitat Akibat Perambahan Hutan Sebanyak 6 dari 20 responden yang diwawancarai di Desa Kuta Gajah menyatakan bahwa faktor penyebab konflik antara masyarakat dengan orangutan disebabkan karena kerusakan habitat orangutan akibat perambahan hutan. Dari hasil pengamatan di lapangan khususnya untuk Desa Kuta Gajah yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL, sebagian sudah ada yang rusak akibat perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang sering menebang kayu di sekitar hutan. Menurut Alikodra (2010), peran manusia dalam masalah gangguan satwaliar salah satunya adalah mereka

merusak/ mengganggu habitat-habitat alam satwaliar yang ada di cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional atau mempersempit habitat-habitat khusus lainnya. Keadaan ini dapat menyebabkan kemerosotan daya dukung habitat-habitat berbagai jenis satwaliar. Pengamatan yang dilakukan di Desa Besilam, sebanyak 100% responden yang diwawancarai juga menyatakan bahwa faktor penyebab konflik karena kerusakan habitat orangutan akibat perambahan hutan.

Berdasarkan informasi masyarakat orangutan yang berada di lahan milik masyarakat memang sudah ada sejak dulu karena daerah ini dulunya memang merupakan satu kesatuan hutan dengan Hutan Taman Nasional Gunung Leuser, namun pertumbuhan manusia yang mengubah fungsi lahan menjadi lahan pertanian dan permukiman semakin mendesak kehidupan orangutan dan mengakibatkan orangutan sampai sekarang tinggal di lahan perkebunan karet masyarakat yang kira-kira hanya seluas 25 Ha. Luasan ini sangat tidak mendukung kehidupan orangutan karena di beberapa daerah, satu individu jantan dewasa bisa menggunakan wilayah jelajah seluas 100 Km2 atau lebih (Singleton et al., 2009).

Gambar 3. Sketsa pola pergerakan orangutan

Dari Gambar 10. dapat kita lihat pola pergerakan yang berbeda terjadi antara Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam. Perbedaan tersebut disebabkan adanya pebedaan karakteristik lahan konfliknya. Untuk lahan konflik orangutan yang ada di Desa Kuta Gajah pola pegerakan orangutan yang ada di desa tersebut dipengaruhi oleh adanya musim buah, dimana orangutan bergerak ke kawasan perladangan masyarakat pada saat musim buah buah tiba dan pada saat musim buah telah habis, maka orangutan tersebut masuk kembali ke habitat aslinya di Taman Nasional Gunung Leuser.

Pola pergerakan orangutan yang ada di Desa Besilam terbatas hanya pada satu luasan saja dimana orangutan tidak dapat kembali ke kawasan TNGL karena kawasan tempat tinggal orangutan yang telah mengalami fragmentasi sehingga terbentuk seperti pulau dan orangutan hanya dapat bergerak di sekitran pulau tersebut saja.

Adanya pengembangan budidaya manusia, baik dibidang pertanian, perkebunan maupun kehutanan yang membuka hutan habitat orangutan akan memicu timbulnya konflik antara manusia dengan orangutan.

(6)

6

Alikodra (1998), menyatakan bahwa setiap spesies

satwaliar mempunyai daerah jelajah dan teritori. Jika daerah jelajah dan teritori ini terpotong oleh kegiatan manusia, mereka akan tetap menganggap bahwa daerah yang dibuka manusia merupakan bagian dari daerah jelajah dan teritorinya karena mereka tidak punya alternatif lain. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya bentrokan kepentingan antar manusia dengan orangutan. dimana manusia merasa terganggu dengan keberadaan orangutan di lahan milik mereka dan orangutan menganggap lahan tersebut sebagai wilayah teritorinya.

Gambar 4. Orangutan yang terisolasi di kebun karet

masyarakat

2. Tingkat Kesukaan Orangutan terhadap Jenis Tanaman

Tingkat kesukaan (palatability) satwaliar terhadap suatu jenis tanaman merupakan salah satu faktor yang menyebabkan konflik satwaliar dengan petani. Pakan mempunyai peran yang sangat penting karena konsumsi makanan merupakan faktor esensial yang menjadi dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999), akan tetapi tidak semua zat makanan dapat diserap dan dicerna oleh alat pencernaan satwaliar, kemampuan satwaliar dalam mencerna bahan pakan juga dapat digunakan untuk menentukan kualitas bahan pakan tersebut bagi satwaliar.

Sebanyak 14 (70%) dari 20 responden yang diwawancarai di Desa Kuta Gajah menyatakan bahwa faktor penyebab konflik antara masyarakat dengan orangutan disebabkan karena tingkat kesukaan satwaliar terhadap jenis tanaman yang ditanam petani. Orangutan di Desa Kuta Gajah masuk ke lahan milik masyarakat hanya pada saat musim berbuah yaitu pada saat musim buah durian, mangga dan cempedak. Selain orangutan beberapa jenis, sementara di Desa Besilam tidak ada satupun responden yang menyatakan bahwa penyebab konflik adalah karena tingkat kesukaan orangutan dengan makanan karena di Desa Besilam orangutan hanya memakan pucuk daun kelapa sawit yang masih muda (umbut sawit). Selain orangutan terdapat beberapa jenis satwaliar yang juga mengganggu tanaman yang ditanam oleh petani di kedua desa tersebut.

Penanganan Konflik Orangutan oleh Masyarakat Jika ditinjau dari keterangan masyarakat di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam, penanganan konflik

yang dilakukan selama ini memang belum ditemukan cara paling efektif karena orangutan akan masuk setiap tahunnya ke ladang milik masyarakat, khususnya ke ladang masyarakat di Desa Kuta Gajah. Di Desa Besilam dalam satu minggu masyarakat mengaku orangutan tersebut masuk sebanyak 1 kali ke lahan pertanian mereka dan membuat sarang di kebun karet milik mereka sebanyak 1 sarang. Berdasarkan informasi masyarakat tidak pernah mengeluarkan biaya sedikitpun pada saat melakukan pengusiran orangutan yang masuk ke lahan milik mereka kalaupun ada hanya sekitar Rp 1000,00. untuk membeli karbit dan membunyikan meriam.

Penanganan konflik orangutan dengan masyarakat di lapangan, biasanya ketika orangutan masuk ke perladangan masyarakat, suatu cara yang selama ini dilakukan adalah dengan cara mengusir mereka. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat dari kedua desa ini, usaha antisipasi untuk menghalau kehadiran orangutan di areal perladangan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat di kedua desa yaitu dengan cara membunyikan mercon, membuat sorakan, menjaga, melempar dan membiarkan saja. Untuk Desa Kuta Gajah masyarakat yang sudah merasa tidak mampu menghalau orangutan melaporkan ke satgas dan menyerahkan sepenuhnya penanganan kepada satgas. Adapun teknik penanganan yang dilakukan masyarakat untuk mengusir orangutan yang masuk ke ladang dapat dilihat pada Tabel 9. berikut : Tabel 9. Teknik penanganan konflik orangutan yang dilakukan masyarakat (n=20)

Keterangan : a : mercon d : lempar b : sorakan e : dibiarkan c : jaga f : melapor ke satgas

Tabel 9. diatas diketahui teknik penanganan yang paling sering digunakan masyarakat Desa Kuta Gajah adalah dengan cara melakukan sorakan terhadap orangutan yang masuk. Sedangkan di Desa Besilam teknik penanganan yang paling sering digunakan masyarakat adalah dengan membiarkan saja orangutan tersebut masuk dan membuat sarang di pohon karet milik mereka.

Menurut Alikodra (2010), untuk mengatasi masalah gangguan satwaliar ini dapat dilakukan dengan pendekatan pemecahan, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Pemecahan jangka pendek bertujuan untuk mengatasi gangguan, biasanya dilakukan dengan menggunakan pemagaran, pembuatan parit, penggiringan, atau pemindahan. Pemecahan jangka panjang harus dimulai dengan penelitian yang komprehensif, sehingga dapat disusun program program pengelolaan yang tepat, misalnya

Desa Jumlah Teknik penanganan

a b c D E f Total Kuta Gajah -F 1 15 6 1 6 6 35

% 3 43 17 3 17 17 100 Besilam -F - 5 - - 20 - 25

(7)

7

dimulai dengan penataan daerah pemukiman satwaliar,

penetapan daya dukung dan jumlah satwaliar target yang harus dilestarikan, serta realokasi tempat-tempat penyebaran beserta penetapan popolasi yang dipertahankan.

Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Konflik dengan Orangutan

Kerugian ekonomi akibat konflik orangutan yang di derita masyarakat Desa Kuta Gajah selama ini belum pernah dikalkulasikan. Rincian kerugian ekonomi yang diderita masyarakat Desa Kuta Gajah dengan adannya konflik antara manusia dengan orangutan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kerugian ekonomi akibat konflik orangutan dii Desa Kuta Gajah setiap tahun

Keterangan : Harga 1 Buah Durian = Rp. 6.,00 Harga 1 Buah Cempedak = Rp. 5.,00 Harga 1 kg Mangga = Rp. 5.,00

Rumus Total Kerugian (d) = ((a x b) – (c x a) ) X Harga / Buah atau Kg

Jumlah pohon yang berbuah / tahun (a)

Produksi tanaman jika tidak diganggu/ batang/tahun (b) Sisa produksi yang diperoleh/ batang/ tahun (c)

Hasil penjabaran Tabel 10. di atas, jenis tanaman yang paling banyak diganggu orangutan dari Desa Kuta Gajah adalah tanaman durian. Jumlah kerugian ekonomi yang diakibatkan orangutan di Desa Kuta Gajah sebesar Rp 356.320.,00 setiap tahunnya.

Jadi dapat diketahui rata-rata kerugian ekonomi yang diderita masyarakat Desa Kuta Gajah adalah sebesar Rp 2.120.952,00/KK/Bulan. Bila dilihat dari angka kerugian tersebut total kerugian di Desa Kuta Gajah termasuk kedalam kategori tinggi . Kerugian ekonomi untuk responden di Desa Kuta Gajah yang paling tinggi adalah kerugian yang diderita Bapak Sabar Sitepu yaitu sebesar Rp 90..,00 dengan jenis komoditi yang dirusak adalah tanaman durian dan menderita kerugian Rp 9..,00 dari komoditi mangga miliknya.

Pada umumnya masyarakat yang mengaku tanaman miliknya diganggu oleh orangutan adalah masyarakat yang memiliki lahan tidak jauh dari Hutan Taman Nasional Gunung Leuser dimana kita ketahui Hutan TNGL tersebut merupakan habitat asli orangutan. Orangutan terlebih dahulu merusak lahan pertanian milik masyarakat yang berada di pinggir–pinggir hutan, setelah ketersediaan pakan di pinggir-pinggir ladang yang berbatasan dengan hutan telah habis, maka orangutan akan masuk ke tengah-tengah ladang dan merusak lahan pertanian.

Dari hasil penelitian di lapangan diketahui bahwa nilai kerugian ekonomi masyarakat Desa Besilam tidak terlalu besar karena kerusakan yang disebabkan oleh orangutan hanya berupa pembuatan sarang di pohon karet dan juga memakan hanya sekitar 2 umbut sawit di kebun sawit milik mereka sekali setiap bulannya dalam waktu 2 tahun terakhir, namun jika tidak ada penanganan yang tepat dari masyarakat maupun pihak yang berwenang dan konflik antara satwaliar dengan masyarakat terus terjadi maka untuk waktu yang lama nilai kerugian ekonomi masyarakat akan semakin meningkat. Meskipun kebanyakan masyarakat mengatakan tidak terjadi kerugian, namun dengan diadakan perhitungan-perhitungan kerugian masyarakat akibat orangutan di Desa Besilam dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kerugian ekonomi yang diderita masyarakat Desa Besilam setiap bulan

N o. Nama Jenis tanama n yang dirusak Jumlah pohon yang berproduks i/ bulan (batang) Produk si jika tidak digangg u/ bulan Sisa produks i yang diperole h/ bulan Total kerugian (Rp)/ bulan a b c d

1 Rajali Sawit 300 1 Ton 800 kg 200. 2 Ngatini Sawit 100 1 Ton 900 kg 100. 3 Sutrisno Sawit 280 3 Ton 2,5 Ton 500. 4 Ilyas Sawit 300 3 Ton 2,5 Ton 500. 5 Juriyah Sawit 400 3,2 Ton 2,8 Ton 400.

Total kerugian 1.700.

Keterangan : Harga 1 Kg Kelapa Sawit = Rp 1.,00 Rumus Total Kerugian = (b – c) X Harga / Kg Produksi jika tidak diganggu/ bulan (b) Sisa produksi yang diperoleh/ bulan (c)

Hasil penjabaran Tabel 11. di atas, jenis tanaman yang paling banyak diganggu orangutan dari Desa Besilam adalah tanaman karet dan sawit. Jumlah kerugian ekonomi yang diakibatkan orangutan di Besilam sebesar Rp 1.700.,00. Jadi dapat diketahui rata-N

o Nama Jenis tanaman yang dirusak Jumla h pohon yang berbu ah / tahun Produksi tanaman jika tidak digangg u / batang / tahun Sisa produks i yang diperole h / batang/ tahun Total kerugian (Rp.000)/ tahun a b c D

1 Darmawanta Durian 30 Buah 200 Buah 60 25.200. 2 Rakot

Durian 10 150

Buah 8 Buah 8.520. Cemped

ak 1 Buah 200 0 Buah 1. 3 Riswanda Durian 15 Buah 200 0 Buah 18. 4 Idana Durian 1 Buah 150 Buah 10 840. 5 Misran Durian 2 Buah 150 0 Buah 1.800. 6 Sabar Sitepu Durian 30 Buah 500 0 Buah 90. Mangga 2 1 Ton 100 Kg 9. 7 Martin Durian 5 Buah 200 0 Buah 6. 8 Mbela Durian 10 Buah 500 Buah 50 27. 9 Tetep Malem Durian 25 Buah 300 0 Buah 45. 1 0 Karya Durian 5 200 Buah Buah 20 5.400. Mangga 1 500 Kg 20 Kg 2.400. 1 1 Paten Durian 10 200 Buah Buah 20 10.800. Mangga 2 1 Ton 100 Kg 9. 1

2 Sahadil Durian 8 Buah 450 Buah 100 16.800. 1

3 Mahadi Durian 30 Buah 250 0 Buah 45. 1

4 Syahrul Durian 32 Buah 200 Buah 20 34.560.

(8)

8

rata kerugian ekonomi yang diderita masyarakat Desa

Kuta Gajah adalah sebesar Rp 340.,00/KK/ Bulan dan kerugian ini termasuk dalam kriteria rendah jika dilihat pada tabel krireia kerugian.

Berbeda dengan Desa Kuta Gajah kerugian di Desa Besilam kerugian dihitung dihitung berdasarkan penurunan produksi kelapa sawit yang umbutnya rusak. Kerugian terbesar yang diderita masyarakat Desa Besilam yaitu diderita oleh Bapak Sutrisno dan Bapak Ilyas yang terjadi penurunan produksi sebesar 500 Kg setelah orangutan masuk dan merusak beberapa umbut sawit milik mereka. Kerugian tidak dirasakan oleh masyarakat lain yang juga tanaman sawit miliknya dirusak oleh orangutan karena mereka tidak mengelola tanaman sawit tersebut untuk diambil hasilnya. Tanaman sawit yang mereka miliki hanya merupakan sawit yang sudah tidak produktif dan seringkali masyarakat melihat orangutan tersebut memakan umbut sawit milik mereka dan membiarkannya karena tidak merasa rugi.

Penanganan yang Dilakukan Pihak Pemerintah dan LSM

Pertimbangan yang tepat akan sangat menentukan keberhasilan pengendalian gangguan. Beberapa kriteria dapat dipertimbangkan, yaitu: (1) secara teknis dapat dilaksanakan, (2) secara ekonomis dapat dijalankan, (3) secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan. Pengambilan keputusan yang bijaksana akan menggabungkan ketiga kriteria ini.

Untuk penanganan konflik yang berada di Desa Kuta Gajah LSM OIC bekerjasama dengan pihak TNGL dengan membangun kantor yang difungsikan sebagai tempat berkumpul masyarakat dalam mensosilaisasikan teknik mitigasi yang dapat dilakukan masyarakat Desa Kuta Gajah. Konflik antara orangutan dengan masyarakat di desa ini hanya terjadi saat musim durian tiba yaitu selama 3 bulan mulai dari bulan agustus sampai dengan bulan Oktober.

Pihak OIC yang telah bekerjasama dengan TNGL diturunkan. Karena wilayah konflik berada di dekat kawasan taman nasional maka kegiatan yang dilakukan tim OIC adalah dengan melakukan pengusiran menggunakan meriam karbit yang terbuat dari bambu agar orangutan balik lagi ke habitat asalanya. Untuk membuat satu buah meriam membutukan biaya Rp 58.,00. Untuk kegiatan pengusiran ini membutuhkan 2 buah meriam karbit sehingga dalam sekali kegiatan pengusiran Tim OIC mengeluarkan biaya sebesar Rp 116.,00. Biaya ini masih termasuk kategori rendah jika dilihat dalam tabel kriteria biaya mitigasi konflik (lihat Tabel 2.). Tahun 2012 masyarakat terlambat melapor ke pihak OIC sehingga saat tim HOCRU (Human-Orangutan Conflict Respon Unit) datang durian warga sudah habis namun tetap dilakukan 5 kali ledakan dari meriam karbit supaya orangutan tidak kembali lagi.

Untuk kasus yang terjadi di daerah Besilam terdapat 2 orangutan yang berada di dalam perkebunan karet milik masyarakat dengan jenis kelamin betina. Keputusan yang diambil untuk menyelamatkan orangutan adalah dengan cara mengevakuasi orangutan tersebut. Keputusan evakuasi diambil karena selain

orangutan tersebut sudah mulai merusak tanaman sawit milik warga dengan memakan umbut sawitnya, orangutan yang keduanya berjenis kelamin betina tersebut tidak akan berkembang lagi jika dibiarkan di Desa Besilam. Salah satu orangutan yang ada di Desa Besilam telah berhasil dievakuasi pada tanggal 20 April 2013 dengan keadaan orangutan yang sehat dan pada hari itu juga orangutan dilepasliarkan ke Hutan Taman Nasional Gunung Leuser Resort Sei Betung, Kecamatan Halaban dan diberi nama Silam. Selama proses evakuasi biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 9.840.,00 yang terdiri dari biaya alat habis pakai, tidak habis pakai dan biaya operasional tim. Jika dilihat dari tabel kriteria biaya mitigasi konflik, biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi konflik di Desa Besilam tergolong tinggi. Adapun rincian biaya yang dikeluarkan oleh pihak OIC untuk proses evakuasi satu orangutan tersebut disajikan dalam Tabel 12. berikut :

Tabel 12. Biaya yang dikeluarkan oleh OIC selama proses evakuasi

Kegiatan evakuasi orangutan dilakukan oleh 5 orang personil OIC. Dua orang bertugas sebagai penembak, dua orang lagi bertugas untuk mengarahkan orangutan agar bergerak ketempat yang dapat dilakukan evakuasi dan satu orang lagi bertugas untuk mengkordinir seluruh kegiatan. Orangutan yang berada pada pohon yang tidak terlalu tinggi penembakan biusnya cukup dengan menggunakan tulup yang menggunakan kekuatan pernafasan manual manusia, sementara untuk kasus orangutan yang memanjat pohon yang terlalu tinggi ditembak dengan menggunakan senapan modifikasi untuk menembakkan bius ke tubuh orangutan.

Setelah orangutan terkena bius dan tidak sadarkan diri semua anggota tim evakuasi bergerak mengikuti dan menunggu tepat di bawah jatuhnya orangutan tersebut dengan menyiapkan jaring dengan tujuan agar saat orangutan terjatuh tidak mengalami patah tulang. Kegiatan untuk menampung orangutan ini di lapangan cukup sulit karena daerah tempat orangutan tersebut dievakuasi terkadang di daerah yang kerapatan pohonnya cukup tinggi.

Kegiatan evakuasi merupakan jalan terakhir yang dimabil dengan pertimbangan resiko untuk orangutan itu sendiri dan juga dengan melihat besarnya biaya yang harus dikeluarkan saat melakukan proses evakuasi. Selain itu proses evakuasi ini rentan terhadap kematian orangutan. Berdasarkan informasi yang di

No Jenis pengeluaran Jumlah Harga persatuan (Rp)

Biaya total (Rp) 1. Barang habis pakai

a. a.Dart 4 Buah 120. 480. b. Obat bius + obat-obatan

lainnya 1 Kotak - 400.

2. Barang tidak habis pakai

a. Jaring 1 Buah 200. 200.

b. Kandang 1 Buah 3.. 3..

c. Senapan modifikasi 1 Buah 700. 700. d. Tulup 1 Buah 3.200. 3.200. 3. Biaya operasional 5 orang

personil tim 5 hari 60.,00 1.500.

(9)

9

dapat dari pihak OIC dan TNGL jika orangutan tidak

berhasil dievakuasi dan mengalami kematian, maka akan diadakan pemeriksaan.

Persepsi Masyarakat terhadap Keberadaan Orangutan

Hasil wawancara dengan masyarakat di Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam. Data pandangan masyarakat terhadap keberadaan orangutan disajikan pada Tabel 13. berikut :

Tabel 13. Persepsi responden terhadap keberadaan orangutan.

Semua masyarakat Desa Kuta Gajah menganggap bahwa orangutan mengganggu, berbeda dengan Desa Kuta Gajah Yang hanya sebagian masyarakatnya (55%) menganggap bahwa orangutan merupakan hewan yang tidak mengganggu. Sekitar 75 % responden Desa Kuta Gajah yang menjawab bahwa orangutan menurunkan hasil panen dan hanya 25 % responden Desa Besilam yang menganggap bahwa orangutan menurunkan hasil panen mereka. Karena tidak ada satu orangpun yang mengeluarkan biaya penanganan konflik antara manusia dengan orangutan maka didapat hasil tidak ada persentase yang menunjukkan masyarakat menganggap keberadaan orangutan menambah biaya penanganan.

Meskipun masyarakat Desa Besilam mengetahui bahwa orangutan merupakan hewan yang dilindungi karena jumlahnya yang sudah sangat sedikit di Indonesia tetapi masyarakat tidak ada yang pernah melaporkan keberadaan orangutan di ladang milik mereka dengan alasan tidak tahu harus melapor kepada siapa. Mitigasi konflik yang dianggap masyarakat kurang menekan kerugian mendorong salah satu warga pemilik pohon durian yaitu Bapak Sabar Sitepu melakukan penebangan 30 pohon durian, dan 2 pohon mangga miliknya. Bapak Sabar Sitepu merasa tidak akan ada penanganan yang efektif dari masalah konflik dengan orangutan tersebut dan memutuskan untuk menebang semua tanaman yang disukai orangutan tersebut sampai habis pada Bulan Januari 2013 karena pada panen 2012 dia tidak mendapatkan sedikitpun hasil dari tanaman durian miliknya. Menurutnya dengan cara menebang dan menjual pohon miliknya maka dia akan mendapat keuntungan dari tanaman miliknya tersebut.

Gambar 7. Areal konflik sisa tebangan pohon durian

masyarakat

Pada Tabel 14. berikut dijelaskan mengenai pengetahuan masyarakat mengenai penanganan konflik orangutan.

Tabel 14. Pengetahuan responden tentang orangutan

Pendapat responden Kuta Gajah Desa Besilam

% % ∑ %

-Satwaliar hewan yang

dilindungi 20/20 100% 20/20 100% -Tidak pernah melapor ke

SATGAS 14/20 70% 20/20 100% -Melakukan penanganan

sendiri 14/20 70% 20/20 100% -Mitigasi konflik kurang

menekan kerugian 14/20 70% 5/20 25% -Cara penanganan sudah

ramah lingkungan 14/20 70% 5/20 25% -Sifat penanganan masih

sementara 14/20 70% 5/20 25%

Di Desa Kuta Gajah telah dilakukan penyuluhan/sosialisasi mengenai orangutan oleh lembaga swadaya masyarakat. Meskipun sudah ada penanggulangan bersama petugas kehutanan, namun masyarakat berpendapat bahwa penanganan yang dilakukan sangat tidak efektif. Berdasarkan persepsi masyarakat, teknik yang paling tepat dalam menangani masalah orangutan yaitu dengan cara membayar ganti rugi dengan memindahkan atau dengan cara memberdayakan masyarakat setempat dengan menggaji masyarakat setempat untuk menjadi petugas penghalau hanya pada saat musim buah durian.

Sebanyak 75% masyarakat yang berpendapat bahwa teknik terbaik adalah dengan cara mengganti rugi tanaman yang dirusak oleh orangutan, 15 % dengan cara pemindahan, dan 10 % menyatakan dengan cara membayar masyarakat untuk menjaga lahan konflik. Teknik penangan dengan cara ganti rugi harus dipertimbangkan secara benar, karena cara ini akan sangat mahal dan menimbulkan peluang terhadap penyalahgunaan terhadap pihak yang tidak bertanggungjawab. Menurut Alikodra (2010), Suaka Margasatwa Gir di India, merupakan tempat tinggal singa Asia. Singa-singa yang berasal dari dalam suaka margasatwa ini hampir setiap tahun memakan sejumlah ternak penduduk. Pejabat-pejabat yang bertanggungjawab dalam masalah satwa liar akan membayar ganti rugi kepada pemilik ternak, jika ternyata

Pendapat responden

Desa

Kuta Gajah Besilam ∑ % ∑ % -Keberadaan orangutan

Mengganggu 20/20 100% 11/20 55% -Menurunkan hasil panen 15/20 75% 5/20 25% -Menambah biaya penanganan 0/20 0% 0/20 0%

(10)

10

dimangsa singa. Namun cara ini mahal, dan

menimbulkan peluang terhadap penyalahgunaan.

Gambar 8. Teknik penanganan konflik paling efektif menurut

masyarakat Desa Kuta Gajah

Pihak TNGL selaku instansi yang berdampingan dengan masyarakat Desa Kuta Gajah dalam menangani masalah konflik dengan orangutan sejauh ini tidak pernah mengganti rugi dan hanya membantu menghalau orangutan saja. Pihak TNGL mengatakan bahwa tidak ada dana khusus yang dialokasikan pemerintah untuk mengganti rugi lahan konflik masyarakat.

Penyuluhan/sosialisasi belum pernah dilakukan di Desa Besilam, karena keberadaan orangutan di desa ini baru diketahui oleh tim penyelamat orangutan OIC baru pada bulan Maret 2013 dan dengan melihat kondisi habitat orangutan tersebut pihak OIC tidak melakukan penyuluhan dan langsung melakukan penyelamatan berupa translokasi orangutan tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Kerugian ekonomi yang diderita masyarakat Desa Kuta Gajah sebesar Rp 2.120.952,00 yang tergolong ketegori tinggi, sementara kerugian yang diderita masyarakat Desa Besilam sebesar Rp 340.,00 dan tergolong kategori rendah.

2. Tindakan penghalauan orangutan yang dilakukan di Desa Kuta Gajah membutuhkan biaya yang rendah yaitu sebesar Rp 116.,00 dan evakuasi yang dilakukan di Desa Besilam mengeluarkan biaya yang tinggi yaitu sebesar Rp 9.480.,00.

3. Masyarakat Desa Kuta Gajah berpendapat bahwa penyebab konflik orangutan adalah karena kesukaan orangutan terhadap jenis makanan, sedangkan masyarakat Desa Besilam berpendapat bahwa konflik yang terjadi di desa mereka akibat perusakan lahan. Pada umumnya masyarakat Desa Kuta Gajah dan Desa Besilam mengetahui orangutan merupakan satwaliar yang wajib dilindungi.

Saran

Perlu upaya serius dalam mengatasi knflik masyarakat dengan orangutan dikarenkan meninmbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar bagi masayarakat. Selain itu, diperlukan adanya studi kelembagaan mengenai konflik antara manusia dengan orangutan agar kerugian ekonomi masyarakat akibat konflik dapat dicegah dan biaya penanganan konflik

antara manusia dengan orangutan agar konflik yang terjadi dapat ditangani secara efektif dan efisien dan dikembangkan teknik mitigasi yang efektif serta berbiaya murah.

DAFTAR PUSTAKA

Afiff,S., Purwanto, A.S., Sunjaya, Chandra, E., Utami, S.P.B. Sosial Ekonomi Masyarakat di Bagian Barat Taman Nasional Gunung Leuser Terkait Konservasi Orangutan Sumatera. Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia. Jakarta.

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwaliar. Jilid I. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor.

___________. 2002. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. PT. Penerbit IPB Press. Bogor.

Bailey ND. 2000. Global and Historical Perspectives on Market Hunting : Implications for the African Bushmeat Crisis. Sustainable Development and Conservation Biology. University of Maryland and Bushmeat Crisis Task Force, Silver Spring, Maryland.

Medway, L. 1978. The Wild Mammals of Malaya (Penninsular Malaysia and Singapure). Oxford University Press. Oxford.

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Singleton, I. dan Wich, S. 2001. Survey Populasi Orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser. Yayasan Ekosistem Lestari - Program Konservasi Orangutan Sumatera. Medan

Singleton, I., Wich, S.A., Husson, S., Stephens, S., Utami Atmoko, S.S., Leighton, M., Rosen, N., Traylor-Holzer, K., Lacy, R., and O. Byers. 2009., Final report orangutan population and habitat viability assessment 15-18 January 2004. Jakarta, Indonesia.

Sugiharto, G. 1992. Studi Perilaku Makan Monyet Ekor Panjang di Pulau Tinjil. Skripsi Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor.

Syukur, F. A. 2000. Estimasi Kepadatan Populasi dan Pola Bersarang (Pongo abelii, Lesson 1827) di Stasiun Penelitian Soraya, Kawasan Ekosistem Leuser. Skripsi. Fakultas Biologi, Universitas Nasional Jakarta. Aceh Selatan.

Gambar

Tabel 2. Kriteria biaya mitigasi konflik orangutan  No.  Biaya  mitigasi  konflik
Tabel 3. Perbedaan karakteristik lahan Desa Kuta                   Gajah dan Desa Besilam
Tabel 6. Jenis gangguan yang disebabkan satwaliar di                   lahan masyarakat Desa Kuta Gajah
Gambar 2. Kerusakan lahan yang terus meningkat di Desa                      Besilam
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dikarenakan belum adanya penelitian yang meneliti preferensi gaya manajemen konflik di Indonesia maka dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh nilai budaya

(Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor

Kota Surakarta yang kemudian dikenal dengan Solo, mempunyai sejarah yang panjang sebagai bagian dari pusat kebudayaan Jawa. Solo Past is Solo Future , merupakan slogan

CIDR menggunakan VLSM (Variable-Length Subnet Masks) untuk mengalokasikan alamat IP sesuai dengan kebutuhannya, daripada menggunakan mengikuti aturan-aturan

Dengan demikian, laki-laki yang berprofesi sebagai nelayan memiliki waktu luang yang lebih luas daripada perempuan sehingga tidak mengherankan waktu istirahat lebih

konteks sosial ( register ). Sebagai semiotik konotatif, konteks sosial membentuk strata dengan ideologi menempati strata tertinggi yang memiliki sifat abstrak dan kemudian

2 Menurut United Nations High Commissioner for Refugees pada tahun 2015, dari jumlah migrasi via Laut Mediterrania yaitu 991,000; 836,000 tiba di Yunani melalui jalur

Metode Case Based Reasoning (CBR) yang diimplementasikan pada Sistem Pendukung Keputusan Konseling Siswa dapat memberikan solusi untuk masalah perilaku siswa,