• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teater Rakyat: Alternatif Komunikasi Politik bagi Pemilih Marginal. (Studi Kasus di Dusun Sembir dan Ngronggo Salatiga) Oleh: Sih Natalia Sukmi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teater Rakyat: Alternatif Komunikasi Politik bagi Pemilih Marginal. (Studi Kasus di Dusun Sembir dan Ngronggo Salatiga) Oleh: Sih Natalia Sukmi"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Teater Rakyat: Alternatif Komunikasi Politik bagi Pemilih Marginal (Studi Kasus di Dusun Sembir dan Ngronggo Salatiga)

Oleh: Sih Natalia Sukmi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

sih.natalia@staff.uksw.edu

Abstract

Mass media should become an alteration bearer in the process of democracy in Indonesia. The alteration is hoped since mass media has significant role in understanding and utterring the society’s needs and matters in any level without exception. The role enables media as a bridge between society and electoral community to dialog and negociate about the needs which should be faced and fullfiled as the representatives.

However, the ownership of media , as if, brings media to become powerless agent which submit to the equity owner only. Media, either as the tools or messages in the legislative elections in Indonesia, on April 9th, 2014, gives a description that the mainstream of it is so obedient to the mandate of owner who has politicaly interference on it. The marginal community does not get the place even to utter their aspiration. This research is important since it aims to create an alternative media which partied to marginal society, using citizen theatrical media.

Action research is a method in this research as an effort involving society in the completion of their matters . The result shows that theater can be an alternative media for marginal society to understand and utter their needs which oftenly strucked down. However, in this research, the planning and implementation’s matters are also found, therefore, it is hoped that this research is able to open the opportunity for the next action research.

(2)

A. Pendahuluan

“Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Judhariksawan menyatakan dalam kampanye yang baru digelar dua hari, beberapa stasiun televisi melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut yaitu tidak berimbangnya komposisi pemberitaan partai dan iklan.”

(https://id.berita.yahoo.com).

Kalimat di atas adalah salah satu headline yang diunggah oleh merdeka.com yang mengungkap bahwa pelanggaran banyak dicatat KPI ketika media digunakan sebagai sarana dalam kampanye calon legislatif pemilu 2014. Data dalam pemberitaan berikutnya terungkap bahwa baru dua hari penayangannya KPI sudah menemui pelanggaran seperti ditayangkannya iklan Nasdem sebanyak 12 kali di MetroTV, Gerindra sebanyak 14 kali di Trans TV, iklan Hanura sebanyak 13 kali di RCTI dan MNCTV, Iklan Golkar sebanyak 14 kali di TVOne, dan 15 kali iklan Golkar di ANTV. Fakta tersebut tentu bertentangan dengan Undang-Undang yang mengatur ketentuan jika dalam 1 hari satu partai diberi jatah maksimal 10 spot dengan durasi 30 detik.

Realitas yang terpapar di atas berkebalikan dengan esensi pemilu sebagai pesta demokrasi. Pesta demokrasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan betapa pentingnya sebuah kondisi dimana rakyat benar-benar bisa menentukan pemerintah yang mereka inginkan melalui wakil-wakil yang menyuarakan kepentingan mereka. Pesta memberi asumsi perayaan dimana setiap komponen diharapkan merasakan bahagia dengan event yang tengah berlangsung. Sementara demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintahan oleh rakyat dapat disebut sebagai demokrasi prosedural, yang di Indonesia dilaksanakan melalui pemilihan umum. Demokrasi prosedural dapat pula dipahami sebagai persaingan partai politik dan/atau para calon pemimpin politik menyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan dalam pemerintahan (legislatif atau eksekutif) di pusat atau daerah. Pesta demokrasi seharusnya benar-benar pesta yang dirasakan oleh semua pihak, bukan hanya kelompok tertentu saja yang berkepentingan, namun semua warga negara. Namun tampaknya pemilu 2014 di Indonesia sebagai pesta demokrasi tak menjadi eforia seluruh lapisan masyarakat karena ada beberapa kelompok yang menggunakan momentum ini hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok semata. Salah satunya adalah media massa. Sayangnya media bukan hanya sebagai alat, namun seperti halnya diungkapkan oleh McLuhan bahwa media adalah pesan itu sendiri, bahkan dengan menghalalkan segala cara hingga melanggar, bukan hanya kode etik namun juga hukum yang ada.

(3)

Jika dikaitkan dengan kepemilikan media, sepertinya tak terlalu berlebihan apabila kita menyebut pemanfaatan media untuk mendukung pemiliknya sebagai sebuah agenda dengan rancangan yang begitu rapi. Karena kalau kita mengamati lebih dalam bukanlah sebuah kebetulan korelasi yang terjadi antara pemilik dan kedudukan pemilik dalam partai yang iklannya begitu gencar di media. Metro TV milik Surya Paloh ternyata sekaligus Ketua Umum Partai Nasdem. Aburizal Bakrie adalah pemilik dari TV One dan ANTV juga Ketua Umum Golkar. MNC Group milik Hary Tanoesudibjo juga giat mendukung pemiliknya untuk berkampanye sebagai calon wakil presiden dari partai Hanura.

Belum berhenti soal iklan yang muncul berlebihan di media massa, kampanye juga masuk ke wilayah konten media. Dalam pemberitaan di televisi, kita dapat mengamati betapa kuantitas pemberitaan partai dengan pemilik yang berkepentingan politik di dalamnya akan lebih intensif memberitakan hal positif dibanding partai yang bukan miliknya. Bukan hanya secara kuantitas, pilihan agenda berita juga mengesankan black campaign terjadi terhadap satu partai oleh media lawannya dan demikian sebaliknya. Namun jika kita amati dalam program talkshow atau program bincang-bincang, ‘solusi’ atas permasalahan bangsa ini seolah selalu diberikan oleh calon-calon legislatif dari partai yang bernaung di bawah pemilik media. Permasalahan oleh partai lain ditanggapi narasumber yang dipilih oleh media yang “kebetulan” juga separtai dengan pemilik media. Seperti temuan peneliti sebelumnya dalam tulisan berjudul Kontestasi Pluralisme di Media Massa (2013: 35-56), narasumber disetting oleh media bukan tanpa kesengajaan, tetapi dipilih dengan sekian banyak pertimbangan yang disesuaikan dengan agenda media.

Tak hanya menghiasi pemberitaan setiap hari yang terkesan tak berimbang, penetrasi citra partai politik juga merasuki program hiburan seperti sinetron dan juga kuis. KPI juga mendapati pelanggaran yang dilakukan oleh RCTI dan Global TV terkait materi penayangan program "Kuis Kebangsaan" dan "Indonesia Cerdas". Sanksi administratif dijatuhkan atas dasar pengaduan masyarakat, pemantauan dan hasil analisis yang dilakukan. Kedua program tersebut dianggap melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS), P3 Pasal 11 dan SPS Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 71 ayat (3). Pelanggaran yang dilakukan terkait dengan materi siaran yang bersifat tidak netral dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran dan atau kelompoknya, seperti mendatangkan caleg dari Partai Hanura, hingga menghadirkan capres dan cawapres Hanura, Wiranto dan Hari Tanoesudibjo. Selain itu KPI menemukan pelanggaran lain berupa penggunaan tagline Bersih, Peduli, dan Tegas sebagai password kuis tersebut. (www.republika.co.id). Selain kuis, sinetron juga menjadi program yang disasar dan tak luput

(4)

untuk media kampanye. Hingga tak mengherankan KPI juga menyemprit media yang menayangkan program sinetron yang bermuatan politik seperi Tukang Bubur Naik Haji. Ada adegan yang disisipi oleh seorang capres untuk bicara soal kebangsaan.

Selain televisi, pelanggaran selama kampanye juga dilakukan di media lain seperti media radio. Selain KPI Pusat, KPID (Komisi Penyiaran Informasi Daerah) DIY juga mengungkap pelanggaran oleh lima media televisi dan dua radio. Pelanggaran yang dicatat adalah ada visi dan misi, program yang disampaikan, nama calon legislatif/calon presiden/calon wakil presiden, nama partai dan ajakan untuk mencoblos. Dianggap melanggar karena sedikitnya ada tiga dari lima kriteria diatas disebutkan oleh caleg/capres/cawapres. (www.republika.co.id).

B. Media (seharusnya) sebagai Ruang Dialog untuk Kaum Marginal

Berdasarkan fakta di atas dapat dipahami bahwa media mainstream kini tidak mempunyai keberpihakan kepada masyarakat marginal. Media lebih mementingkan kepentingan pemilik modal baik sebagai penunjang kepentingan politik maupun kepentingan yang lain. Media seharusnya memiliki fungsi yang berimbang antara informasi, hiburan, edukasi, bahkan pengawas sosial. Dalam tataran sebagai pengawas sosial, seharusnya media bisa menjadi pengontrol kebijakan pemerintah atau kelompok tertentu seperti pemilih modal yang hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompok mereka semata. Media berada dalam wilayah publik atau media pada hakekatnya milik publik, sehingga kepentingan publik sebaiknya lebih mengambil banyak porsi dibanding kepentingan privat.

Dalam konteks penggunaan dan keberpihakan, media sebenarnya bisa menjadi ruang dialog bagi khalayak (masyarakat) dengan pemerintah atau kelompok tertentu. Karena pada hakekatnya media adalah entitas netral yang tak berpihak dan bebas nilai. Namun kita kerap mendapati bahwa media tidaklah demikian. Pilihan-pilihan linguistik yang dibuat dalam sebuah teks bisa menghasilkan representasi linguistik yang berbeda-beda terhadap kejadian. (Thomas&Wareing, 1999: 91). Itulah yang kemudian dimanfaatkan media untuk menyokong kepentingan terbesar mereka entah keuntungan atau kepentingan politik. Ruang publik netral semakin jauh dari harapan yang ada. Produksi media terselubung dalam berbagai hubungan kekuasaan dan berperan dalam mereproduksi kepentingan berbagai daya sosial yang kuat, baik memajukan penguasaan maupun memperkuat berbagai individu guna melawan dan berjuang. (Kelner, 1995: 57).

(5)

C. Ngronggo dan Sembir: Gambaran Masyarakat Marginal

Melihat media massa tak lagi mampu lagi untuk menjadi sarana bagi masyarakat maka riset aksi ini berupaya untuk menemukan media alternatif yang lebih berpihak kepada masyarakat. Dikatakan demikian karena terbukti bahwa media mainstream lebih mendukung kepentingan pemilik modal. Media lebih pada sarana bisnis atau sarana kepentingan untuk mencapai harapan pemilik modal. Kondisi ini tentu membuat media tidak lagi dapat menjalankan fungsinya sebagai kontrol pemerintah atau stakeholder yang tidak berpihak pada masyarakat. Independensi media terutama dalam hal konten media tidak dapat dianggap sebagai kebenaran, karena media mengedepankan kelompok tertentu bukan masyarakat.

Istilah “marginal” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online diartikan, berhubungan dengan batas (tepi); tidak terlalu menguntungkan atau diartikan berada di pinggir. Pinggir berarti tidak menjadi subyek atau poin utama perhatian, sehingga kecenderungannya tidak menjadi prioritas. Apabila masyarakat atau lingkungan “ditempatkan” sebagai kelompok marginal dapat diasumsikan bahwa kelompok atau lingkungan ini tidak menjadi fokus dalam berbagai aspek. Berbeda dengan kondisi dimana masyarakat tidak ditempatkan sebagai kelompok marginal. Di dalam masyarakat yang adil dan seimbang tidak dibutuhkan lagi ideologi karena semua orang akan memiliki kesadaran yang benar mengenai diri dan hubungan sosial yang mereka miliki. (Fiske, 2012: 283). Namun dalam kerangka masyarakat marginal, mereka adalah kelompok sasaran yang bisa dimanfaatkan.

Penelitian ini memilih Ngronggo dan Sembir sebagai subyek kajian karena masyarakat ini adalah marginal. Disebut sebagai masyarakat marginal karena Ngronggo adalah wilayah yang memiliki sekian persoalan karena merupakan wilayah pembuangan sampah atau tempat pembuangan sampah akhir. Dari pemetaan persoalan di lapangan diperoleh hasil bahwa masyarakat di Ngronggo bermasalah dengan air bersih. Sampah membuat masyarakat ini tidak dapat memperoleh air bersih karena resapan sampah akan mempengaruhi kualitas air yang ada disana. Efek domino dari keterbatasan air bersih tersebut, masyarakat menjadi memiliki persoalan kesehatan terutama penyakit kulit. Tidak hanya persoalan kesehatan, dari hasil wawancara dengan ketua RT IV RW IV Dusun Ngronggo, Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo lebih dari 75 persen masyarakat di Ngronggo menggantungkan hidupnya dari sampah. Mereka memilah dan memilih sampah yang kemudian mereka

(6)

setorkan ke pengepul. Observasi yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa ketika mereka sedang memilih dan memilah sampah yang bisa disetor, mereka sama sekali tidak menggunakan pelindung tangan atau tubuh yang layak, sehingga tidak heran jika masyarakat ini sering kali mengalami penyakit kulit seperti gatal-gatal, dan lebih parahnya lagi, di daerah ini tidak ada Puskesmas yang menangani persoalan kesehatan di masyarakat Ngronggo. Faktor kurangnya kesejahteraan mungkin juga memicu persoalan keamanan. Ketika peneliti melakukan pengamatan di daerah tersebut, Yanti salah satu warga yang menyaksikan teater yang sedang digelar sungkan untuk masuk ke tempat duduk yang disediakan, ketika peneliti bertanya, dia menjawab, “Saya sambil ngamati rumah mbak, soalnya tetangga saya kemaren baru saja ada yang kemalingan.” Dari pernyataan tersebut tampak bahwa faktor keamanan di daerah yang cenderung tampak kurang terang di sisi kanan kiri jalan ini juga menjadi persoalan.

Lokasi kedua yang dijadikan lokasi penelitian terkait sosialiasi Pemilu Legislatif 2014 adalah RW 9 Sarirejo, Kelurahan Sidorejo Lor, Kecamatan Sidorejo atau yang terkenal dengan daerah Sembir. Daerah ini awalnya terkenal sebagai daerah lokalisasi di Salatiga, namun kini wilayah ini merupakan daerah yang oleh pemerintah kota Salatiga dijadikan sebagai RW tersendiri yaitu RW 9. Lokasi yang terletak di perbatasan Salatiga bagian barat ini memiliki tiga RT. Warga di lingkungan ini menggantungkan hidup mereka melalui usaha wisata karaoke. Usaha ini memberi peluang, bukan hanya orang di sekitar RW 09 namun juga (hampir kebanyakan) orang-orang di luar Salatiga maupun luar Jawa Tengah untuk menjadi Pemandu Karaoke atau biasa mereka sebut sebagai PK. Dari data yang diperoleh ada sekitar 288 PK yang berasal dari berbagai wilayah seperti Lampung, Kalimantan, dll. Masyarakat di daerah ini memiliki persoalan terutama persoalan kesehatan dan perizinan. Perizinan untuk mendirikan bisnis karaoke atau memperpanjang usaha ini, diakui para pemilik bisnis karaoke tidak mudah didapat. Selain itu, kesehatan adalah persoalan utama dari kampung ini. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu pemandu karaoke bahwa akses kesehatan di daerah ini tidak mudah diperoleh. Berdasarkan wawancara dengan Ibu Titik, Ketua RW 09, permasalahan semakin bertambah tatkala dia seringkali tidak diajak berembug terkait usaha karaoke di wilayahnya. Hal tersebut terkait dengan pendataan warga pendatang yang seringkali keluar masuk wilayah, padahal diungkapkannya hampir sebagian besar pemilik utama dari usaha tersebut berada di luar Salatiga, sehingga kontrol sulit dilakukan.

Dari dua wilayah yang menjadi sasaran penelitian ini terdapat kesamaan yang menarik jika diperhatikan. Selama masa kampanye pemilihan calon legislatif 2014, dua wilayah

(7)

tersebut sama sekali tidak dikunjungi oleh satupun calon legislatif dari partai apapun. Dua wilayah ini seolah bukan wilayah yang dianggap penting oleh calon wakil rakyat yang seharusnya lebih memperhatikan mereka karena masyarakat di wilayah ini memiliki persoalan yang lebih pelik dibanding dengan wilayah yang lain. “Wah, disini adem-adem aja ek mbak, ga ada caleg yang datang kesini untuk sosialisasi pemilu,” ungkap Abdullah, seorang security yang bekerja di RW 09 Sarirejo. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh Ketua RT IV Ngronggo. Bahkan ketika peneliti menanyakan bagaimana ada berbagai papan spanduk dan bendera partai berjajar di wilayah tersebut. Mereka senada pula mengungkapkan bahwa, “Ya, tiba-tiba paginya ada saja gambar itu, kapan masangnya, saya juga tidak tahu.” Ketika ditanya lagi apakah mereka tidak meminta izin, mereka bilang bahwa bahwa di Ngronggo, tidak ada satupun yang minta izin untuk memasang alat peraga kampanye tersebut. Dari pernyataan-pernyataan tersebut tampak bahwa masyarakat hanya dianggap oleh tim sukses atau calon legislatif sebagai obyek mati yang tak mampu diajak berkomunikasi. Mereka hanya bagian dari tujuan para caleg untuk mendapatkan kursi di Dewan, bukan subyek yang mereka dengarkan untuk ditampung aspirasinya dan diselesaikan persoalannya. D. Teater sebagai Media Alternatif

Dalam penelitian ini, peneliti bersama tim merancang media alternatif berupa teater rakyat. Menurut asal kata, teater berasal dari bahasa Yunani “theatron” yang bermakna takjub memandang. Makna teater berkembang hingga sebagian besar masyarakat kini memahaminya sebagai sebuah seni pertunjukan, sementara dalam bahasa Inggris, teater diterjemahkan sebagai seeing place atau dimaknai sebagai ruang atau tempat pertunjukan. Di Indonesia sendiri, istilah teater disebut sandiwara atau tonil. Seni ini dimulai dari tahun 1920. Sandiwara berasal dari kata sandi yang artinya rahasia dan wara yang bermakna pengajaran. Ki Hajar Dewantara dalam Harymawan (1993) berpendapat bahwa istilah sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan dengan perlambang. Dengan kata lain, untuk menggambarkan sebuah realita tertentu maka ada beberapa simbol yang dibangun untuk menggambarkannya. Pesan yang dilambangkan tersebut tentu diupayakan mempunyai ajaran-ajaran yang tersirat di dalamnya. Teater adalah karya seni dari masa ke masa. Dari upacara agama primitif hingga kini, teater berkembang dan memiliki kekhasan tiap masanya. Di Indonesia, teater bukanlah seni yang baru. Tiap daerah membentuk seni teater mereka sebagai wujud seni rakyat. Contoh bentuk teater di Indonesia adalah wayang, wayang wong, mamanda dari Kalimantan Selatan, randai dari Minangkabau, Lenong dari Betawi,dll. Teater lahir dari kebiasaan dan kegemaran rakyat, sehingga teater memiliki kedekatan dan bahkan cerminan rakyat.

(8)

Teater dipilih karena dari media ini diharapkan mampu mengekspresikan kondisi masyarakat. Selain itu survey juga dilakukan oleh tim mahasiswa dan dosen dalam penelitian ini merasa bahwa media ini cocok untuk memberi pemahaman tentang pendidikan pemilih dan pemilu tahun 2014 di daerah Ngronggo dan Sembir. Teater dipilih karena lebih merakyat, melalui cerita atau naskah diharapkan pesan kepada masyarakat dapat lebih ringan diterima. Persoalan-persoalan yang telah dipetakan dapat diubah kedalam sebuah cerita atau skenario, sehingga pesan yang disampaikan lebih menarik dan lebih menghibur masyarakat. Aspek menghibur dirasa penting karena tingkat apatisme masyarakat terhadap Pemilu Tahun sebelumnya tak begitu baik, sehingga pesan yang tak terlalu kaku diharapkan lebih efektif daripada hanya sekedar presentasi yang searah.

Dalam dialog teater dirancang dari persoalan-persoalan yang muncul dari masing-masing wilayah. Di daerah Sembir, skenario teater diberi judul Demokrasi ala Warung Kopi: Menjadi Pemilih yang Cerdas dan Bertanggungjawab. Judul tersebut dipilih karena setting yang dipakai adalah diskusi antar warga yang terjadi di sebuah warung kopi. Mereka memperbincangkan persoalan yang terjadi di Sembir. Dialog juga dilakukan dengan warga supaya mereka juga merefleksikan persoalan yang mereka alami dalam keseharian. Misal, diperankan ada seorang PK yang terkena HIV sebagai bentuk penggambaran persoalan kesehatan di wilayah tersebut. Lantas ada dua jenis caleg yang diperankan, yang pertama sebagai tokoh antagonis yang menerapkan praktik money politic dan kedua, caleg yang lebih mendengarkan aspirasi masyarakat namun tidak memberi uang ketika kampanye. Penonton teater tersebut diminta untuk menilai dan diajak berdialog, menurut mereka mana kelompok yang lebih mereka pilih dan apa alasannya.

Tujuan dari cerita tersebut pada dasarnya menggiring masyarakat untuk berpikir sebenarnya wakil rakyat seperti apa yang mereka butuhkan. Masyarakat diajak berpikir cerdas untuk menyuarakan kebutuhan mereka kepada caleg yang hendak mewakili mereka di kursi dewan. Menyuarakan kebutuhan mereka berarti mereka terlebih dahulu paham akan kebutuhan mereka. Selain itu masyarakat diharapkan mampu menyalurkan keinginan dan kebutuhan mereka kepada para caleg. Sehingga kampanye sebenarnya adalah sebuah proses dialogis antara para caleg dengan masyarakat yang akan diwakili, bukan hanya sekedar mendukung orang-orang tak punya kerjaan untuk memuaskan hasrat mereka menguasai atau memperkaya diri.

(9)

Di wilayah Ngronggo, skenario tentu berbeda dengan wilayah Sembir. Konsep besarnya hampir sejenis, sebuah perbincangan di warung kopi, hanya saja persoalan yang diusung tentu berbeda dengan persoalan di Sembir. Digambarkan melalui peran dalam teater ini seorang pemulung yang memilih-milih sampah tanpa pelindung tubuh yang tampak kotor dan lusuh. Pemulung tersebut berulang kali menggaruk-garuk tubuhnya karena begitu gatal dan mengalami penyakit kulit. Di warung kopi tersebut juga dibahas persoalan mereka seperti air bersih, kesejahtaraan masyarakat, kesehatan, dll melalui bentuk dialog dengan warga yang menyaksikan teater tersebut. Kemudian digambarkan pula dua jenis caleg yang memiliki sifat bertentangan. Yang pertama menggunakan strategi bagi-bagi uang untuk menarik suara warga dan yang satunya adalah caleg yang berupaya mendengar persoalan masyarakat tanpa bagi-bagi uang. Hal yang menarik dari pementasan tersebut, ketika adegan caleg menanyakan persoalan apa yang dimiliki masyarakat, warga yang menonton teater serempak menjawab dengan keras, “duit!”, demikian mereka meneriakkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor ekonomi adalah permasalahan utama di Ngronggo.

Tujuan dari cerita yang dibangun melalui teater rakyat tersebut sejenis dengan di daerah Sembir. Masyarakat diharapkan dapat menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggungjawab dengan pilihannya. Cerdas berarti dapat memilih dengan tepat siapa yang mereka kehendaki. Bukan hanya berdasarkan popularitas yang senantiasa disajikan oleh media mainstream, namun caleg yang mampu memenuhi kepentingan mereka. Tentu saja hal pertama, masyarakat terlebih dahulu mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang mendera kehidupan mereka dan masyarakat mereka. Dan kemudian memilih wakil rakyat yang memiliki visi dan misi sesuai dengan kebutuhan mereka. Praktek politik uang juga dibawa dalam setiap cerita baik di Ngronggo ataupun Sembir, karena praktek ini seringkali dilakukan oleh wakil rakyat sebagai iming-iming yang dianggap efektif untuk menarik suara masyarakat, terutama masyarakat menengah kebawah terlebih marginal.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan kepada masyarakat di Ngronggo atau Sembir, masyarakat sedikit banyak menerima pesan yang disampaikan melalui teater rakyat ini. Hal tersebut tampak dari antusiasme masyarakat ketika mereka diajak berdialog tentang kebutuhan mereka. Sebagian besar warga mencoba berpikir tentang kebutuhan mereka dan lingkungan mereka. Kesan lain yang kemudian muncul adalah bahwa masyarakat ini tampak tak pernah di dengar aspirasi mereka sebagai warga negara, karena ketika wawancara yang kemudian dilakukan setelah pementasan teater tersebut mereka sedikit apatis menghadapi pemilihan caleg. Mereka berpikir bahwa mengikuti pemilu juga tidak akan

(10)

merubah nasib mereka sebagai warga, jadi percuma jika mereka ikut mencoblos. Selain itu bagaimana mereka akan memilih dengan tepat jika mereka tidak mengenal tokoh yang akan mereka pilih. Tidak hanya latar belakang tokoh tersebut, tetapi juga visi misi yang dibawa caleg-caleg tersebut. Masyarakat sebagian besar bingung siapa yang akan dipilih.

E. Penutup

Teater rakyat sebagai media alternatif yang telah dilakukan peneliti dan tim merupakan upaya untuk menemukan bentuk media yang lebih berpihak pada masyarakat. Dalam upaya pencarian media yang tepat bagi masyarakat ternyata tidak mudah. Hal tersebut karena untuk menciptakan media yang benar-benar menjalankan fungsinya seperti informasi, edukasi, hiburan juga kontrol kebijakan, dibutuhkan kepekaan seluruh komponen yang terlibat. Dalam riset aksi ini, peneliti merasakan bahwa pendalaman persoalan di masing-masing wilayah kurang, sehingga dirasa ada beberapa pendekatan yang sebenarnya lebih dalam dapat dilakukan untuk menggali kebutuhan masyarakat. Keterbatasan waktu riset aksi ini membuat kedalaman materi menjadi kurang tajam, walaupun sudah cukup mewakili persoalan yang ada, namun jika waktu yang tersedia lebih banyak tentu identifikasi persoalan menjadi lebih baik.

Teater sebenarnya media yang dirasa cukup tepat untuk melakukan proses dialogis antara pemain yang menjalankan skenario yang telah dirancang dengan penonton yang menjadi sasarannya. Selain penyampaiannya tidak kaku, teater dalam fleksibel membahas persoalan dengan gaya teatrikal yang menghibur, apalagi ditambah musik. Namun untuk merubah persoalan nyata yang begitu sensitif dalam lingkungan marginal ke dalam skenario cerita yang diperankan dalam bentuk teatrikal bukan persoalan sederhana. Visualisasi yang tidak menyinggung perasaan namun mampu membahasakan kebutuhan yang sebenarnya diperlukan kemampuan pemahaman yang dalam terhadap permasalahan yang akan diceritakan.

Pencarian format media alternatif yang tepat untuk sebuah upaya pencapaian demokrasi yang sehat memang membutuhkan proses. Seperti yang diungkap dalam kutipan berikut,

“Teater bukan obat batuk ‘ampuh’ yang langsung menyembuhkan. Teater juga bukan kamus yang serba tahu. Bisajadi, teater Cuma kumpulan pertanyaan yang jawabannya harus dicari bersama. Teater adalah investasi kultural jangka panjang. Jika apa yang disajikan teater tidak dimengerti oleh masyarakat, jangan masyarakat yang disalahkan. Sebaiknya ditilik lagi, berulang kali, mengapa sampai tidak dipahami. Mungkin ada

(11)

bagian yang magol dan tak komunikatif. Atau mungkin, hasil keseniannya buruk. Bahkan Teater pun harus senantiasa bercermin, selalu berupaya meneliti kembali semua kekurangan dan kelebihan. Dan masyarakat adalah ‘cermin yang bening’ bagi teater. Jangan sampai melupakan hal yang sangat penting itu.” (http://www.teaterkoma.org).

Media alternatif tidak bermaksud untuk menandingi atau menggeser media mainstream yang ada. Mungkin juga pencarian format media alternatif tidak langsung menemukan formula yang tepat, namun setidaknya proses ini mampu memberikan pilihan untuk masyarakat bahwa masih ada media yang berpihak kepada mereka.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Fiske, John. 2012. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers.

Idarineni, Neni. Tujuh Media Elektronik Disemprit KPI.

http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/02/20/n1a98n-tujuh-media-elektronik-disemprit-kpi. Diunggah 27 April 2014.

Kellner, Douglas. 1995. Budaya Media. New York: Routledge.

Sudiaman, Maman. KPI Jatuhkan Sanksi Penghentian Sementara untuk Kuis Kebangsaan dan Indonesia Cerdas. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/02/21/n1baab- kpi-jatuhkan-sanksi-penghentian-sementara-untuk-kuis-kebangsaan-dan-indonesia-cerdas. Diunggah 28 April 2014.

Suwartiningsih, dkk. 2013. Media dan Pluralisme. Yogyakarta: FISKOM dan ASPIKOM. Thomas, Linda&Wareing, Shan. 1999. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. New York:

Routledge.

http://www.teaterkoma.org/index.php?option=com_content&view=article&id=44&Itemid=61 . Diunggah 3 Mei 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui pengamatan gambar, siswa dapat menceritakan pengalaman yang mengesankan menggunakan kalimat yang runtut dan mudah dipahami dengan tepat..  Karakter siswa yang diharapkan

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan-Nya penyusunan skripsi yang berjudul “Penyebab Kegagalan Dalam Pemberian ASI

Lokasi pasti bangunan tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan sampai saat ini masih belum dapat diketahui, namun mengacu dari legenda yang ada, maka kelompok bangunan yang

Hasil tersebut menunjukkan bahwa kombinasi ideal fraksi aktif biji saga dan biji pepaya yang memberikan efek antifertilitas optimal adalah 50:50 mg/kg bb yang juga

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hamidi (2014) memperoleh hasil bahwa ada pengaruh positif dan signifikan antara ekuitas merek terhadap keputusan pembelian, untuk

Wakalah bisa diartikan pelimpahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilakan (dalam hal ini

Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi mitra maka solusi yang ditawarkan adalah : 1) Perlu dilakukan pengolahan sampah organik khususnya sampah sayuran menjadi kompos,

Kecamatan Dagangan juga mempunyai nilai c-organik yang sangat rendah sehingga untuk meningkatkan KTK perlu peningkatan bahan organik tanah dengan cara pemberian