Analisis Saluran Pemasaran dan Komparatif Analisis Ekonomi Kubis Berdasarkan Bahan Kemasan di DKI Jakarta
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jl. Raya Ragunan No. 30 Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Email : maesary1@gmail.com
ABSTRAK
Kubis atau kol (Brassica oleracea L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura penting di Indonesia. Salah satu yang mempengaruhi harga kubis di pasaran adalah panjang pendeknya pola saluran pemasaran. Apabila melibatkan banyak lembaga pemasaran, maka akan berdampak pula pada harga yang harus dibayar oleh konsumen. Selain itu tingkat kerusakan kubis yang mempunyai kadar air 85-95%, menyebabkan kubis mudah rusak, dan akan mempengaruhi harga serta pendapatan dari pelaku pertanian. Tingkat kerusakan kubis yang masuk ke wilayah DKI Jakarta umumnya terjadi saat pengiriman/ distribusi, hal tersebut terjadi karena pedagang pengumpul tidak menggunakan jenis kemasan dan hanya ditutup terpal plastik. Sehubungan permasalah tersebut, tujuan dari pengkajian ini yaitu a) mengetahui saluran pemasaran kubis di Pasar Induk Kramat Jati, marjin pemasaran dan bagian (share) harga yang diterima petani, b) mengetahui penggunaan kemasan yang paling menguntungkan untuk mengatasi kehilangan dan kerusakan kubis yang berakibat tingginya limbah kubis. Pengkajian ini dilaksanakan di Pangalengan (Kab. Bandung) dan Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur pada Bulan Maret – Nopember 2015. Diperoleh data bahwa saluran pemasaran kubis di Pasar Induk Kramat Jati adalah Petani à Pedagang Pengumpul à Pedagang Besar à Pedagang Pengecer à Konsumen, dengan marjin pemasaran sebesar Rp. 3.200,-/kg bagian harga (share) petani terhadap harga jual
di tingkat pedagang akhir sebesar 41,81%. Selain itu, berdasarkan nilai ekonomi, introduksi bahan kemasan yang memberikan keuntungan lebih tinggi adalah kemasan plastik, hal ini dikarenakan harga plastik yang relatif murah dan nilai susut bobot paling kecil dibandingkan dengan kemasan lain, yaitu sebesar 0.2%.
Kata Kunci: analisis ekonomi, rantai
pemasaran, kubis
ABSTRACT
Cabbage or cabbage (Brassica oleracea L.) is one of the important horticultural commodities in Indonesia. One that affects the price of cabbage in the market is the short length of the pattern of marketing channels. If it involves a lot of marketing agencies, it will impact on the price paid by consumers. In addition the level of damage to cabbage which has a water content of 85-95%, causing cabbage easily damaged, and will affect the price and income from agricultural actors. The level of damage to cabbage that goes into the Jakarta area generally occurs during transmission / distribution, it happens because traders are using this type of packaging and only closed plastic sheeting. In respect of these issues, the purpose of this assessment is a) know marketing channels cabbage in Pasar Kramat Jati, marketing margin and part (share) price received by farmers, b) determine the use of packaging that is most advantageous to cope with the loss and damage cabbage leading to
high waste cabbage. This assessment was conducted in Pangalengan (Kab. Bandung) and the Main Market Kramat Jati in March - November 2015. Provided the data that marketing channels cabbage in the Kramat Jati Merchant Wholesalers Retailers Market is Farmers Trader Gatherer Consumer, the marketing margin of Rp. 3.200,-/kg price part (share) of farmers over the sales price at the merchant end of 41.81%. In addition, based on the economic value, the introduction of packaging materials packaging, this is because the price is relatively cheap plastic and the value of the weight loss is small compared to other packaging, which amounted to 0.2%.
Kata Kunci: economic analysis,
marketing chain, cabbage
PENDAHULUAN
Kubis atau kol (Brassica oleracea L.) merupakan salah satu sayuran utama Indonesia yang memberikan kontribusi limbah cukup banyak, hal ini dikarenakan kubis termasuk sayuran yang mudah mengalami kerusakan. Tercatat, pada laporan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Prov. DKI Jakarta (2012) sampah/ limbah kubis mencapai 5-7 ton per hari. Apabila limbah satu karung kubis seharga Rp. 5.000,- berarti rata-rata dalam 1 (satu) hari kehilangan Rp. 25.000.000 – 35.000.000. Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kehilangan hasil kubis selama waktu transportasi adalah penggunaan wadah yang masih sederhana seperti waring atau keranjang, serta penyusunan produk dalam alat transportasi yang tidak memadai.
Upaya yang dilakukan petani/
pedagang untuk mengurangi
kehilangan hasil adalah mempercepat proses transportasi yaitu secepatnya mencapai daerah konsumen dan melakukan pengiriman pada pagi hari. Hal lain yang dapat menyebabkan kehilangan hasil selama transportasi belum mendapat perhatian seperti
penggunaan kemasan untuk
mengurangi kehilangan hasil dan memperpanjang umur simpan. Pengemas dapat memperlambat proses respirasi sehingga dapat
memperpanjang umur simpan
sayuran dan buah (Rachman, 2007). Menurut BPPHP (2002), tujuan pengemasan menghambat penurunan bobot, meningkatkan citra produk, menghindari atau mengurangi kerusakan pada waktu pengangkutan. Pengemasan dapat dilakukan dengan kardus/karton, keranjang, warring atau plastik.
Tingkat kerusakan komoditas hortikultura khususnya kubis yang masuk ke wilayah DKI Jakarta umumnya terjadi saat pengiriman/ distribusi, hal tersebut terjadi karena pedagang pengumpul tidak menggunakan jenis kemasan dan hanya ditutup terpal plastik. Selain itu, kubis memiliki kadar air yang cukup tinggi (85-95%). Kadar air yang tinggi menyebabkan kubis mudah rusak. Sehubungan permasalah tersebut, BPTP Jakarta melakukan kajian penggunaan kemasan guna mengatasi kehilangan dan kerusakan kubis yang berakibat tingginya limbah kubis. Penggunaan kemasan seperti karton, keranjang bambu atau plastik diharapakan dapat meminimalkan kerusakan dan kehilangan hasil. Selain itu, penggunaan kemasan diharapkan
dapat mempertahankan mutu dan umur simpan kubis.
Selain itu, penting pula untuk mengetahui saluran pemasaran khususnya komoditas kubis di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. perlu diketahui sampai seberapa besar margin dari sebuah saluran pemasaran dapat dinikmati oleh petani, selain berdasarkan ukuran teknis panjang pendeknya saluran pemasaran. Saluran secara ekonomis jika total keuntungan yang diambil oleh pedagang relatif lebih kecil terhadap biaya pemasaran (Muslim dan Darwis dalam Yudhit, 2014).
METODE PENELITIAN Pengkajian dilaksanakan di Pangalengan (Kab. Bandung) dan Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur pada Bulan Maret – Nopember 2015. Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan dan wawancara dengan para pihak terkait, yaitu petani, mitra petani, dan penyuluh. Wawancara dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan (kuesioner).
ANALISIS DATA
Analisis yang dilakukan adalah analisis marjin pemasaran untuk mengetahui (a) komponen biaya pemasaran secara keseluruhan dan terinci yang dikeluarkan oleh masing –masing lembaga pemasaran yang terlibat; (b) keuntungan secara
keseluruhan dan terinci yang diterima oleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat; dan (c) bagian harga yang diterima petani produsen (Popoko, 2013).
Marjin pemasaran merupakan selisih harga antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Jadi harga yang dibayarkan konsumen merupakan (a) bagian harga yang dibayarkan kepada produsen sebagai pembayaran atas faktor produksi yang digunakan dan imbalan jasa melakukan proses produksi; (b) marjin pemasaran merupakan (1) biaya pemasaran, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh pemasaran yang terlibat dalam rangka melakukan fungsi pemasaran, dan (2) keuntungan pemasaran yang diperoleh lembaga pemasaran yang terlibat sebagai imbal jasa melakukan aktivitas pemasaran yang juga membutuhkan analisis data secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:
MP (marjin pemasaran) = Pr (harga di tingkat pengecer) - Pf (harga di tingkat produsen)
Sedangkan untuk menghitung bagian (share) harga yang diterima produsen (petani) dirumuskan sebagai berikut:
Sf = Pf X 100%
Pr Keterangan :
Sf = bagian harga yang diterima petani produsen
Pf = harga di tingkat produsen Pr = harga di tingkat pengecer
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Saluran Pemasaran Kubis
Saluran pemasaran atau saluran distribusi adalah serangkaian organisasi atau lembaga pemasaran yang terkait dalam semua kegiatan yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status pemilikannya dari produsen ke konsumen (Laksana, 2008).
Salah satu yang mempengaruhi harga kubis di pasaran adalah panjang pendeknya pola saluran pemasaran. Apabila melibatkan banyak lembaga pemasaran, maka akan berdampak pula pada harga yang harus dibayar oleh konsumen. Menurut Istanto dkk (2015), sinergitas antara petani produsen kubis dengan lembaga pemasaran yang berada di lingkungan STA Jetis menjadi modal utama dalam membuat ketersediaan kubis di STA Jetis. Ketersediaan kubis dengan harga yang saling menguntungkan bagi petani produsen, pedagang dan konsumen akan menjadikan STA Jetis terus tetap berjalan dengan baik.
Saluran pemasaran kubis yang terdapat di Pasar Induk Kramat Jati dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Berdasarkan pendapat Mieke dan Nurmalinda (1993), bahwa sistem
mendorong peningkatan pendapatan petani kubis dan pelaku pemasaran kubis. Sehingga diharapkan petani kubis akan lebih sejahtera dan mau kubisnya. Menurut Popoko (2013), apabila mampu menyampaikan hasil – hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya semurah - murahnya, serta mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan pemasaran barang itu.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penanganan kubis yang dilakukan oleh pedagang pengumpul meliputi : a) Pemanenan, kubis dipanen oleh petani dan beberapa pekerja yang dikerahkan oleh pedagang pengumpul, b) Pengangkutan, kubis yang sudah dipanen dikumpulkan dalam keranjang rotan, kemudian diangkut menggunakan truk untuk dibawa ke tempat penyimpanan sementara. Penumpukan kubis dalam mobil maupun mekanik. Hal ini yang dapat menyebabkan penurunan mutu kubis, c) Pengangkutan ke daerah konsumen, kubis diangkut ke daerah konsumen (Ps. Kramat Jati) menggunakan truck.
Gambar 1. Saluran Pemasaran Kubis di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur
Kubis di masukan kedalam truk dengan cara di tumpuk/disusun berlapis-lapis. Penumpukan ini memungkinkan kubis mekanis. Setelah kubis dimasukkan kemudian bagian atas ditutup terpal. Lama pengangkutan kubis ke daerah konsumen/Jakarta sekitar 5-6 jam.
Dalam wawancara dengan
pedagang besar di pasar induk Kramat Jati Provinsi DKI Jakarta, diketahui bahwa pedagang besar memperoleh kubis dari pedagang pengumpul yang ada di daerah produsen seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera. Terdapat perbedaan penanganan kubis yang berasal dari Sumatera, yaitu adanya pelapisan semen putih atau kapur untuk pengawetan, sedangkan kubis yang berasal dari daerah Jawa Barat tidak diberikan penambahan perlakuan. Penanganan kubis yang dilakukan oleh pedagang besar meliputi : a) Sortasi, dilakukan di dalam alat angkut/truk oleh 2-4 orang pekerja. Rata-rata penyusutan setelah proses sortasi berkisar antara 1,87-10,1 kwintal dari 12,5-58,75 kwintal yang diterima pedagang besar, b) pengemasan, kubis dikemas/ diletakkan pada keranjang bambu lalu diangkut ke tempat penjualan yang beralas karpet plastik. Kemasan yang digunakan oleh pedagang besar/grosir apabila menjual ke pedagang eceran adalah plastik atau karung plastik yang dapat memuat kubis 10-20 kg. Berdasarkan pengamatan di lapangan, diperoleh data bahwa persentase kerusakan berkisar antara 15-17,2%.
Harga kubis yang diperoleh saat dilakukan pengkajian ini adalah sebagai berikut : a) harga jual di tingkat petani sebesar Rp. 2.300,-/ kg, b) harga jual di tingkat pedagang pengumpul sebesar Rp. 3.000,-/kg, c) harga jual
di tingkat pedagang besar Rp. 4.000,-/ kg, d) harga jual di tingkat pedagang pengecer ke konsumen sebesar Rp. 5.500,-/kg. Berdasarkan data tersebut, maka marjin pemasaran kubis, khususnya di Pasar Induk Kramat Jati sebesar Rp. 3.200,-/kg dengan bagian harga (share) petani terhadap harga jual di tingkat pedagang akhir sebesar 41,81%.
Marketing marjin/ marketing charge atau farm retail spread adalah perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima oleh produsen. Besarnya marketing marjin ini oleh lembaga pemasaran disebarkan atau dialokasikan, di antaranya untuk biaya - biaya pengumpulan, pengolahan, pergudangan, packing, dan keuntungan pedagang (Ginting, 2006).
Dari biaya pemasaran dan harga jual akan didapatkan margin
keuntungan yang merupakan
Berarti semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam suatu usahatani maka akan mengakibatkan semakin tinggi harga yang nantinya harus dibayarkan oleh konsumen akhir. Dari sini dapat disimpulkan bahwa semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam suatu usaha tani maka saluran pemasaran itu Di samping itu, menurut (Mubyarto, 1977) kriteria yang menyatakan bahwa antara lain :
1)
jika mampu menyampaikan hasil-hasil dari produsen ke konsumen dengan biaya yang semurah-murahnya.
2)
jika mampu mengadakan
pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan tataniaga.
B. Analisis Ekonomi Kubis dengan Introduksi Bahan Pengemas
Zuliana (2003) meneliti mengenai kubis di Desa Pulosari, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Zuliana membandingkan tingkat pendapatan usahatani kubis dengan usahatani tomat dan kentang, yaitu bahwa usahatani kubis memiliki nilai R/C Rasio atas biaya total yang lebih rendah dibandingkan R/C Rasio tanaman tomat dan kentang yaitu sebesar 1,73 dibandingkan 2,2 untuk tanaman tomat dan 2,54 untuk tanaman kentang. Biaya total usahatani kubis memang lebih rendah dari pada biaya total usahatani kentang, akan tetapi harga kubis memang relatif Sehingga tingkat keuntungan relatif yang digambarkan oleh nilai R/C rasio untuk tanaman kubis relatif lebih rendah dibandingkan tanaman kentang dan tomat.
Analisa ekonomi dihitung berdasarkan keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul yaitu: Keuntungan (Rp/kg) = harga jual – harga beli – biaya tata niaga (pemanenan, pembersihan, sortasi, penggunaan alat dan pengangkutan), dibandingakan keuntungan dengan penambahan biaya penggunaan kemasan pada biaya tata niaga. Analisa ekonomi bertujuan untuk menghitung
dengan adanya penambahan biaya penggunaan kemasan dibandingkan
dengan kebiasaan pedagang
pengumpul dalam mengantar kubis ke daerah konsumen. Perhitungan nilai ekonomis kubis segar pada penelitian ini adalah berupa ”direct selling” dimana pedagang pengumpul langsung dapat menjual kubis segar kepada konsumen (pembeli). Rantai suplai dari pedagang pengumpul langsung kepada konsumen ini tidak melalui tahap penyimpanan. Porter, et al (2004) menyatakan bahwa tidak ada keuntungan apabila dilakukan pengupasan selama penyimpanan setelah dihitung nilai ekonomi dan biaya buruh untuk pengupasan.
Pengemasan yang buruk
(tanpa bungkus) adalah salah satu sebab turunnya kualitas selama
pengangkutan. Pembungkusan
berfungsi sebagai pelindung terhadap bahaya (resiko) selama perjalanan. Jika tidak cukup, kerusakan mekanis akan terjadi (Pradnyawati, 2006). Selain itu, pengemasan juga merupakan penunjang tranportasi, distribusi, dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan dalam pemasaran (Rahardi et al., 1998).
Hasil wawancara dengan
pedagang pengumpul, dapat diperoleh data bahwa kerusakan kubis di daerah produsen (petani dan pedagang pengumpul) dapat disebabkan oleh : a) alat-alat yang digunakan untuk panen seperti pisau dan keranjang tidak dibersihkan dahulu dan digunakan juga untuk keperluan lain, hal ini menyebabkan alat tidak higines dan dapat menjadi sumber kontaminan mikroba yang menyebakan kerusakan/ kebusukan pada krop kubis, b) alat transportasi yang digunakan (truck) tidak tidak dibersihkan dahulu, c)
penyusunan kubis yang kurang sesuai yaitu dengan cara menumpuk satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan kerusakan mekanis pada kubis.
Upaya yang dilakukan untuk meminimalisir kerusakan kubis adalah dengan mengintroduksi bahan kemasan yang diaplikasikan saat pengiriman barang ke daerah konsumen. Bahan kemasan tersebut meliputi keranjang, plastik, jarring plastic dan kardus. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya penambahan biaya. Biaya tambahan untuk pengemasan keranjang dan jaring adalah Rp 35.71/kg dan 19,25/ kg, sedangkan tambahan biaya untuk kemasan kardus dan plastik adalah Rp 167.14/kg dan 23,33/kg. Perhitungan lebih lanjut untuk introduksi tehnik pengemasan dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan perhitungan
ekonomis kubis terlihat bahwa nilai keuntungan penggunaan kemasan plastik memberikan keuntungan yang lebih tinggi dari pada penggunaan kemasan lain. Hal ini disebabkan susut bobot pada penggunaan kemasan plastik lebih kecil dibandingkan kemasan lainnya. Penggunaan kemasan atau wadah kardus menghasilkan nilai keuntungan terendah. Hal ini disebabkan harga kardus yang
cukup mahal sehingga meningkatkan jumlah biaya operasional. Menurut Poernomo (1979) pemakaian kemasan kotak karton gelombang atau kardus masih kurang tepat atau belum sesuai untuk pengiriman lokal oleh karena harganya masih mahal dan kurang tahan terhadap perlakuan kasar yang biasa dijumpai. Kontrol merupakan kubis tanpa kemasan sehingga struktur biaya operasional tidak memerlukan biaya untuk material pengemasan akan tetapi biaya tata niaga (pengangkutan) tetap dilakukan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diketahui bahwa saluran pemasaran kubis di Pasar Induk Kramat Jati adalah Petani à Pedagang Pengumpul à Pedagang Besar à Pedagang Pengecer à Konsumen, dengan marjin pemasaran sebesar Rp. 3.200,-/kg bagian harga (share) petani terhadap harga jual di tingkat pedagang akhir sebesar 41,81%. Selain itu, berdasarkan nilai ekonomi, introduksi bahan kemasan yang memberikan keuntungan lebih tinggi adalah kemasan plastik, hal ini dikarenakan harga plastik yang relatif murah dan nilai susut bobot paling Tabel 1. Perhitungan Analisis Ekonomi Kubis di Tingkat Pedagang Pengumpul
dengan Introduksi Bahan Pengemas Jenis Kemasan Biaya kemasan (Rp/kg) Susut Bobot (%) Harga beli (Rp/kg) Harga Jual (Rp/kg) Keuntungan (Rp/kg) Kontrol Keranjang Plastik Jaring Plastik Kardus 0 35,71 23,33 19,25 167,14 5,18 2,25 0,20 2,10 1,08 2500 2500 2500 2500 2500 3318,70 3421,25 3493,00 3426,50 3462,20 818,70 885,54 969,67 907,25 795,06
kecil dibandingkan dengan kemasan lain, yaitu sebesar 0.2%.
DAFTAR BACAAN
BPPHP. 2002. Penaganan Pascapanen dan Pengemasan Sayuran. Departemen Pertanian. Jakarta. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Prov. DKI Jakarta. 2012. Laporan Tahunan 2011. Jakarta.
Ginting, P. 2006. Pemasaran Produk Pertanian. USU Press. Medan. Laksana, F. 2008. Manajemen
Pemasaran. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Hasil Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Brawijaya Malang
Mubyarto. 1977. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Mieke, A dan Nurmalinda. 1993.
Kubis. Usaha Tani Kubis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Hortikultura. Lembang.
Poernomo. 1979. Daerah produksi , Tempat Penumpukan , Pengepakan, Pengangkutan , Pemasaran/ Distribusi , dan Pengemasan Hasil Hortikultura merupakan Masalah Penanganan Lepas Panen. Jurnal Hortikultura 6: 168 -174.
Popoko, S. 2013. Pengaruh Biaya Pemasaran Terhadap Tingkat Pendapatan Petani Kopra Di
Kecamatan Tobelo Selatan Kabupaten Halmehara Utara. Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404. Porter. K, Colin.G and Kleber, A. 2004.
Effect of Mechanical Damage on The Postharvest Life of Chinese Cabbage. In : Access to Asian Foods. RIRDC Publication no. 75, October 2004. Australia. Pradnyawati PI. 2006. Pengaruh
Kemasan dan Goncangan
terhadap Mutu Fisik Jambu Biji (Psidium guajava L) selama Transportasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian . Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rahardi, F, R Palungkun dan A. Budiarti, 1998. Agribisnis tanaman sayuran. Cetakan ke-7. Penerbit Swadaya. Jakarta. Rachman. 2007. Kajian Teknik
Pengemasan Buah Pepaya dan Semangka Terolah Minimal Selama Penyimpanan Dingin. Ak. Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Yudhit, R. P. 2014. Farmer Share dan Kacang Hijau (Vigna radiata L) di Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan. Tesis S2 Universitas Diponegoro. Semarang. Program Pascasarjana Universitas Grobogan. Semarang.
Zuliana, Rani. 2003. Analisis Usahatani Kubis (Studi Kasus: Desa Pulosari, Kecamatan
Pengalengan, Kabupaten
Bandung Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.